MAKALAH SEJARAH MASUKNYA AGAMA ISLAM DI

MAKALAH SEJARAH MASUKNYA AGAMA ISLAM DI SULAWESI
Kamis, 21 November 2013

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Masuknya Islam Di Sulawesi
Konon ketika Khatib Sulaiman tiba di Kerajaan Gowa Tallo pada awal abad ke-16 ia
bersama Khatib Bungsu dan Khatib Tunggal yang berasal dari Minangkabau telah
menyebarkan agama Islam pada penduduk setempat. Meski demikian ketiganya juga
mencoba untuk mengislamkan kalangan kerajaan, utamanya raja Gowa dan Tallo. Namun
mereka menemui kendala yang cukup besar. Akhirnya mereka memutuskan untuk mencari
daerah atau kerajaan lain utuk menyebarkan agama Islam.
Sebelum ketiganya pergi, mereka teringat akan pesan dari raja di Pulau Kalimantan yang
sempat mereka singgahi ketika menuju Pulau Celebes. Ketika itu sang raja menyarankan jika
ingin menyebarkan agama Islam di jazirah Sulawesi, maka yang harus mereka lakukan
terlebih dahulu adalah mengislamkan raja Luwu. Karena menurut sang raja, Luwu
merupakan kerajaan yang tertua dan yang disegani di jazirah Sulawesi.

Akhirnya mereka sepakat menuju ke Luwu bersama-sama. Datu Luwu yang berkuasa saat itu
adalah La Pattiware Daeng Parabung (1587-1615). Mereka pun berlabuh di sebuah desa yang

bernama Lapandoso, sesampainya di sana mereka lalu dipertemukan dengan Tandi Pau
(Maddika Bua saat itu). Setelah melalui perbincangan yang panjang, akhirnya Maddika Bua
mau menerima agama yang dibawa oleh ketiga Khatib tersebut asalkan tidak diketahui oleh
sang Datu karena ia takut durhaka bila mendahului sang Datu.
Sebelum ketiganya berangkat ke Pattimang (pusat kerajaan Luwu waktu itu), ketiganya
bersama masyarakat setempat membangun sebuah masjid di desa Tana Rigella. Setelah
mengislamkan penduduk Bua waktu itu, ketiganya pun diantar oleh Maddika Bua menuju
Pattimang menghadap kepada sang Datu. Sesampainya di sana, mereka pun dipertemukan
dengan Datu dan memberitahukan maksud kedatangannya untuk menyebarkan agama Islam.
Sang Datu pun meminta penjelasan kepada ketiga Khatib tersebut mengenai agama yang
mereka bawa. Mendengar penuturan tamunya, Datu hanya tersenyum, ia memang sangat
tetarik dengan agama yang diperkenalkan oleh ketiga Khatib itu. Apalagi konsep
ketuhanannya hampir sama dengan konsep ketuhanan masyarakat Luwu..
Namun sang Datu tidak begitu saja mempercayainya. Datu Luwu pun bermaksud menguji
kemampuan Khatib Sulaiman selaku pimpinan rombongan. Ia menganggap orang yang
membawa agama yang besar pastilah memiliki kekuatan yang besar pula.. Datu Pattiware pun
mengemukakan keinginannya tersebut kepada Khatib Sulaiman, sang khatib pun meluluskan
keinginan sang Datu. Sesuai dengan kesepakatan, apa pun yang dilakukan sang Datu juga
harus dilakukan oleh Khatib Sulaiman begitupun sebaliknya. Dan apabila Khatib Sulaiman
sanggup melakukan semua yang dilakukan sang Datu, maka raja dan seluruh masyarakat

Luwu akan memeluk agama Islam, namun jika tidak maka keduanya harus meninggalkan
Tana Luwu.
Tibalah saatnya pertarungan kekuatan dilaksanakan, masyarakat pun berbondong-bondong
mendatangi lapangan dekat istana yang akan dijadikan sebagai arena pertarungan. Peralatan
pertarungan pun telah disiapkan. Untuk pertarungan pertama, mereka diharuskan menyusun
telur yang telah disiapkan sampai habis. Sesuai dengan kesepakatan, sang Datu lah yang
terlebih dahulu maju. Dengan tenang, ia mengambil telur-telur tersebut dengan tangan kirinya
dan meletakkan di tangan kanannya hingga melebihi tinggi pohon kelapa. Kini tiba giliran
Khatib Sulaiman, dengan membaca basmalah ia mulai mengambil telur-telur itu dan

menaruhnya di tangan kanannya seperti yang dilakukan oleh sang Datu. Rakyat Luwu yang
menonton seolah tidak menyangka Khatib Sulaiman dapat melakukan hal yang sama dengan
raja mereka. Bahkan sang Khatib menarik beberapa butir telur yang berada di tengah-tengah
tanpa ada satupun telur yang jatuh. Melihat hal itu, sang Datu pun melakukan hal yang sama
tanpa ada satu pun butir telur yang jatuh. Karena sang khatib mampu melakukan apa yang
dilakukan oleh raja maka pertarungan kembali diteruskan.
Kali ini dua buah ember yang berisi air telah diletakkan di atas sebuah meja. Adu kekuatan
kali ini adalah membalik ember tersebut tanpa menumpahkan isinya. Sang datu pun terlebih
dahulu maju, dengan tenang ia pun membalik ember berisi air itu tanpa menumpahkan airnya
sedikitpun. Tiba giliran Khatib Sulaiman untuk melakukan hal yang sama dengan terlebih

dahulu meminta izin kepada sang raja. Dengan mengucapkan basmalah, ia pun dapat
melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh sang Datu, bahkan ia dapat membelah
air yang telah berbentuk cetakan itu dengan hati-hati. Melihat kejadian itu, sang Datu kembali
maju dan melakukan hal yang sama.
Adu kekuatan diantara keduanya terus berlangsung dan seperi biasa diantara keduanya tidak
ada yang kalah dan menang sampai matahari telah berada di atas kepala. Pertarungan pun
dihentikan sejenak, ketiga Khatib itupun mengambil air wudhu dan melakukan shalat seraya
berdoa memohon petunuk kepada Yang Maha Kuasa.
Setelah melaksanakan shalat, Khatib Sulaiman menghampiri Datu Pattiware dan mengatakan
kalau kekuatan mereka seimbang, diantara mereka tidak ada yang menang maupun kalah.
Sang Datu pun bertanya, hal apa lagi yang bisa membuat ia percaya dan memeluk agama
Islam?
Lantas sang khatib meminjam cincin raja Pattiware, ia lalu menuju dermaga sambil
membawa cincin tersebut diikuti oleh raja dan masyarakat. Setibanya di dermaga, ia lalu
melemparkan cincin tersebut dengan sekuat tenaga, wajah raja pun memerah namun Khatib
Sulaiman mampu meredam kemarahan sang raja dan masyarakat. Sang Khatib lalu
mengatakan kepada sang raja kalau cincin yang kini berada di laut insya Allah akan kembali
dalam waktu satu purnama atau bahkan bisa lebih cepat.

Mendengar ucapan sang Khatib, Datu Pattiware benar-benar bingung, hal yang dialakukan

oleh sang Khatib kali ini benar-benar tak sanggup dicerna oleh nalarnya. Ia lalu berkata kalau
cincin itu benar-benar kembali, maka ia dan seluruh rakyat Luwu akan memeluk dan
menjadikan Islam sebagai agama kerajaan, kalau tidak kepala mereka akan dipenggal karena
telah berbuat lancang. Ketiganya kemudian ditahan sampai cincin itu kembali.
Waktu terus berlalu, hingga tiba-tiba ada laporan bahwa cincin itu telah kembali dan berada
dalam perut ikan yang besar. Lantas sang raja pun pergi ke dapur kerajaan untuk melihat
kejadian itu. Ia sungguh tidak menyangka kalau cincinnya yang pernah dibuang Khatib
Sulaiman telah kembali dan berada di dalam perut ikan. Sang raja lalu menanyakan darimana
ikan itu di dapat oleh sang juru masak.
Sang juru masak mengatakan kalau tadi pagi ada seorang nelayan yang memberikan ikan
tersebut kepada raja sebagai ungkapan syukur karena hasil tangkapannya banyak.
Sang Raja lalu memanggil ketiga Khatib yang ditahan tersebut dan mengatakan kesediaannya
untuk memeluk agama yang mereka bawa seperti janji yang telah ia katakan sebelumnya.
Ketiga khatib tersebut sujud syukur karena telah melalui tantangan terbesar dalam
mengislamkan jazirah Sulawesi.
Setelah mendapat izin dari raja, ketiganya lalu berangkat mengislamkan daerah lain di jazirah
Sulawesi. Setelah melaksanakan tugasnya, Khatib Sulaiman kembali ke Tana Luwu dan
menetap hingga akhir hayatnya dan diberi gelar Dato’ Pattimang karena ia dikuburkan di
desa Pattimang, sedangkan Khatib Bungsu menetap di Bulukumba dan diberi gelar Dato’ ri
Tiro dan Khatib Tunggal menetap di kerajaan Gowa dan Tallo dan diberi gelar Dato’ ri

Bandang.
DAFTAR PUSTAKA
Beni Sjamsuddin Toni (Admin Wija To Luwu)
Disadur dari berbagai sumber
http://wahyudi-mustamin.blogspot.com

BAB II
PEMBAHASAN

A.SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI BEBERAPA KOTA DI SULAWESI

Makasar-Bugis
Dapat dipastikan bahwa pada tahun 1600 M, suku Makasar dan suku Bugis telah memeluk
agama Isla, Suku Bugis dan suku Makasar ialah yang bertempat tinggal di bagian Selatan
Barat Pulau Sulawesi. Orang-orang Bugis dan Makasar merupakan yang lebih maju dan
terdiri dari pedagang yang kaya. Di samping itu, mereka terkenal sebagai pelaut yang ulung.
Bersamaan dengan masuknya Islam ke Sulawesi Selatan ini, orang Portugis datang pula ke
sana sambil menyiarkan agama Kristen. Saling berebut pengaruh antara Islam dan Kristen,
namun


penduduk

asli

Bugis

dan

Makasar

masuk

ke

dalam

Islam.

Alifuru-Minahasa
Penduduk di Alifuru banyak yang menganut kepercayaan animisme. Kehidupan mereka

masih agak terbelakang. Suku Alifuru merupakan masyarakat penduduk di bagian Utara
kepulauan Sulawesi. Begitu pula orang Minahasa kebanyakan mereka menganut agama

Katolik yang dibawa orang Portugis. Pemerintah Portugis melarang orang Islam menyiarkan
agama di kalangan oraang Alifuru dan orang Minahasa. Setelah Portugis digantikan oleh
penjajah Belanda, mereka mengizinkan berdakwah Islam di sana dengan dibatasi boleh hanya
bagi

orang

pribumi

di

sana.

Pada jaman penjajahan Belanda, penganut Katolik banyak yang pindah kepada Protestan.
Karena mendapat hambatan dan dipersulit oleh penjajah maka perkembagan penyebaran
Islam di kalangan penduduk di Sulawesi bagian Utara itu tidaklah sesubur seperti di Sulawesi
bagian Selatan.


Gowa
Berita tentang agama Islam yang dianut oleh suku Makasar telah menjadi pembicaraan di
kalangan orang-orang Gowa. Mereka telah mendengar betapa indahnya pemujaan orang
Islam terhadap Tuhan di waktu mengerjakan shalat. Di samping itu, sampai pula kepada
mereka berita tentang kegiatan orang Kristen mengembangkan agama mereka yang dibantu
dan

ditunjang

oleh

orang

Portugis.

Orang Gowa mengirimkan utusan ke Aceh meminta bantuan tenaga guru yang dapat
mengajar dan menjelaskan tentang agama Islam bagi orang-orang Gowa. Tidak berapa lama
datanglah serombongan mubaligh dari Aceh untuk mengIslamkan orang Gowa. Kemudian
missionaris Kristen pun berusaha menyiarkan agama Kristen dengan jalan menjelek-jelekkan

agama Islam. Penyiaran agama Islam di Gowa dimulai pada abad 17. Orang Gowa masuk
Islam

dan

menjadi

penganut

Islam

yang

baik.

Bone
Raja Gowa telah memeluk agama Islam beserta rakyatnya, sedangkan raja Bone belum Islam.
Raja Gowa beserta rakyatnya dengan semangat beragama yang menyala-nyala ingin
menyebarkan agamanya ke daerah lain. Pada suatu waktu terjadi suatu perselisihan antara
raja Gowa dengan raja Bone. Raja Gowa menyampaikan kepada raja Bone bahwa dia

dipandang tidak setaraf dengan raja Gowa, kecuali kalau dia bersama rakyatnya masuk Islam
dan mempercayai Tuhan Yang Maha Esa. Hal itu disampaikan oleh raja Bone kepada
rakyatnya dan menurut rakyat Bone belum dapat mengakui kekalahan karena mereka belum
pernah berperang.

Kemudian terjadi peperangan antara Gowa dan Bone. Gowa dapat mengalahkan kerajaan
Bone. Dengan demikian raja Bone bersama rakyatnya masuk Islam. Bone diakui ibertaraf
sama

dengan

kerajaan

Gowa

bersaudara

karena

seagama.


Tallo
Di sebelah Utara Gowa terletak daerah Tallo. Penyiar agama Islam di daerah Tallo tercatat
seorang

mubaligh

yang

bernama

Khotib

Tunggal

pada

tahun

1603

M.

Pengikut Khotib Tunggal ada dua macam, ada golongan yang benar-benar beriman dan
mengharapkan kerajaan agama Islam dan sebagian lain mencari keuntungan keduniaan.

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang.
Agama islam pertama masuk ke Indonesia melalui proses perdagangan, pendidikan,
dll. Tokoh penyebar islam adalah walisongo antara lain; Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan
Muria, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan
Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi
Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk
Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk
Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah

memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan
bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate.
Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra
Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain
juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di
Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of
Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa
Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan
pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara
yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil’alamin.
Dengan

masuk

Islamnya

penduduk

pribumi

Nusantara

dan

terbentuknya

pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan
kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke
Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut,
Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar
sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan
dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia
Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena
kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena
berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah – terutama
Belanda – menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian
yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali
melalui mereka.
Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari
bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk
menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka
yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
B.

Perumusan Masalah

1.

Bagaimana Sejarah masuknya Awal Islam Sulawesi

2.

Bagaimana Kerajaan Islam di Sulawesi

3.

Bagaimana Peninggalan sejarah islam di Sulawesi

4.

Bagaimana Kedatangan Orang Melayu di Tanah Bugis Makassar

C.

Tujuan Penulisan

1.

Untuk mengetahui Sejarah masuknya Awal Islam Sulawesi

2.

Untuk mengetahui Kerajaan Islam di Sulawesi

3.

Untuk Mengetahui Peninggalan sejarah islam di Sulawesi

4.

Untuk mengetahui Bagaimana Kedatangan Orang Melayu di Tanah Bugis Makassar

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Sejarah Awal Islam Sulawesi
Ribuan pulau yang ada di Indonesia, sejak lama telah menjalin hubungan dari pulau
ke pulau. Baik atas motivasi ekonomi maupun motivasi politik dan kepentingan kerajaan.
Hubungan ini pula yang mengantar dakwah menembus dan merambah Celebes atau
Sulawesi. Menurut catatan company dagang Portugis yang datang pada tahun 1540 saat
datang ke Sulawesi, di tanah ini sudah bisa ditemui pemukiman Muslim di beberapa daerah.
Meski belum terlalu besar, namun jalan dakwah terus berlanjut hingga menyentuh raja-raja di
Kerajaan Goa yang beribu negeri di Makassar.
Raja Goa pertama yang memeluk Islam adalah Sultan Alaidin al Awwal dan Perdana
Menteri atau Wazir besarnya, Karaeng Matopa pada tahun 1603. Sebelumnya, dakwah Islam
telah sampai pula pada ayahanda Sultan Alaidin yang bernama Tonigallo dari Sultan Ternate
yang lebih dulu memeluk Islam. Namun Tonigallo khawatir jika ia memeluk Islam, ia merasa
kerajaannya akan di bawah pengaruh kerajaan Ternate.
Beberapa ulama Kerajaan Goa di masa Sultan Alaidin begitu terkenal karena
pemahaman dan aktivitas dakwah mereka. Mereka adalah Khatib Tunggal, Datuk ri Bandang,
datuk Patimang dan Datuk ri Tiro. Dapat diketahui dan dilacak dari nama para ulama di atas,
yang bergelar datuk-datuk adalah para ulama dan mubaligh asal Minangkabau yang
menyebarkan Islam ke Makassar.
Pusat-pusat dakwah yang dibangun oleh Kerajaan Goa inilah yang melanjutkan
perjalanan ke wilayah lain sampai ke Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng, Sidenreng, Tanette,
Luwu dan Paloppo.

B.

Kerajaan Islam di Sulawesi
Pada abad ke 15 di Sulawesi berdiri beberapa kerajaan, diantaranya dari suku bangsa
Makasar (Gowa dan Tallo) dan Bugis (Luwu, Bone, Soppeng dan Wajo). 2 kerajaan yang
memiliki hubungan baik yaitu kerajaan Gowa dan Tallo. Ibu kota kerajaannya adalah Gowa
yang sekarang menjadi Makasar. Kerajaan ini pada abad ke 16 sudah menjadi daerah islam.
Masuk dan berkembangnya Islam di Makasar atas juga datuk Ribandang (Ulama adat
Minangkabau). Secara resmi kerajaan Gowa Islam berdiri pada tahun 1605 M.
Raja-raja yang terkenal diantaranya :

1.

Sultan Alaudin (1605-1639 M) raja pertama Islam di Gowa-Tallo. Kerajaan ini adalah
negara maritim yang terkenal dengan perahu-perahu layarnya dengan jenis Pinisi dan lImbo.
Pada masa Sultan Alaudin berkuasa, Islam mengalami perkembangan pesat yang daerah
kekuasaannya hampir mencakup seluruh daerah Sulawesi. Ia wafat pada tahun 1939 M,
setelah menjadi raja selama 34 tahun dan digantikan putranya yang bernama Muhammad
Said.

2.

Muhammad Said (1639-1653 M). Raja ini berkuasa selama 14 tahun.

3.

Sultan hasanuddin (1653-1669 M). Sultan ini sebagai pengganti dari Muhammad Saed.
Pada masa Sultan hasanuddin berkuasa, Gowa – Tallo mencapai puncak kejayaannya.
Wilayah kekuasaannya sampai ke pulau Selayar, Butung, Sumbawa dan Lombok. Ia berkuasa
selama 16 Tahun.

C.

Peninggalan sejarah islam di Sulawesi

1.

Batu Pelantikan Raja (Batu Pallantikang)
Batu petantikan raja (hatu pallantikang) terletak di sebelah tenggara kompleks makam
Tamalate. Dahulu, setiap penguasa baru Gowa-Tallo di sumpah di atas batu ini (Wolhof dan
Abdurrahim, tt : 67). Batu pallantikang sesungguhnya merupakan batu alami tanpa
pem¬bentukan, terdiri dari satu batu andesit yang diapit 2 batu kapur. Batu andesit
merupakan pusat pemujaan yang tetap disakralkan masyarakat sampai sekarang. Pe-mujaan
penduduk terhadap ditandai dengan banyaknya sajian di atas batu ini. Mereka meyakini
bahwa batu tersebut adalah batu dewa dari kayangan yang bertuah

2.

Mesjid Katangka
Mesjid Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak berdirinya telah mengalami
beberapa kali pemugaran. Pemugaran itu berturut-turut dilakukan oleh: [a] Sultan Mahmud

(1818); [b] Kadi Ibrahim (1921); [c] Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948); dan [d]
Andi Baso, Pabbicarabutta GoWa (1962) sangat sulit meng¬identifikasi bagian paling awal
(asli) bangunan mesjid tertua Kerajaan Gowa ini.
Yang masih menarik adalah ukuran tebal tembok kurang lebih 90 cm, hiasan sulursuluran dan bentuk mimbar yang terbuat dari kayu menyerupai singgasana dengan sandaran
tangan. Hiasan makhuk di samarkan agar tidak tampak realistik. Pada ruang tengah terdapat
empat tiang soko guru yang mendukung konstruksi bertingkat di atasnya. Mimbar dipasang
permanen dan diplaster. Pada pintu masuk dan mihrab terdapat tulisan Arab dalam babasa
Makassar yang menyebutkan pemugaran yang dilakukan Karaeng Katangka pada tahun 1300
Hijriah.
3.

Makam Syekh Yusuf
Kompleks makam ini terletak pada dataran rendah Lakiung di sebelah barat Mésjid
Katangka. Di dalam kompleks ini terdapat 4 buah cungkup dan sejumlah makam biasa.
Makam Syekh Yusuf terdapat di dalam cungkup terbesar, berbentuk bujur sangkar Pintu
masuk terletak di sisi Selatan. Puncak cungkup berhias keramik. Makam ini merupakan
makam kedua. Ketika wafat di pengasingan, Kaap, tanggal 23 Mei 1699, beliau
di¬makamkan untuk pertama kalinya di Faure, Afrika Selatan. Raja Gowa meminta kepada
pemerintah Belanda agar jasad Syekh Yusuf dipulangkan dan dimakamkan di Gowa. Lima
tahun sesudah wafat (1704) baru per¬mintaan tersebut dikabulkan. Jasadnya dibawa pulang
bersama keluarga dengan kapal de Spiegel yang berlayar langsung dan Kaap ke Gowa. Pada
tanggal 6 April 1705, tulang kerangka Syekh Yusuf dimakamkan dengan upacara adat
pemakaman bangsawan di Lakiung. Di atas makamnya dibangun kubah yang disebut
kobbanga oleh orang Makassar.
Makam Syekh Yusuf mempunyai dua nisan tipe Makassar, terbuat dari batu alam
yang permukaannya sangat mengkilap. Hal ini dapat terjadi karena para peziarah selalu
menyiramnya dengan minyak kelapa atau semacamnya. Sampai sekarang peziarah masih
sangat ramai mengunjungi tokoh ulama (panrita)dan intelektual (tulnangngasseng) yang
banyak berperan dalam perkembangan dan kejayaan kerajaan Gowa-Tallo abad pertengahan.
Dalam lontarak "Riwayakna Tuanta Salamaka ri Gowa7, Syekh Yusuf dianggap Nabi
Kaidir (Abu Hamid, 1994: 85). la tokoh yang memiliki keistimewaan, seperti berjalan tanpa
berpijak di tanah. Dalam usia belia ia sudah tamat mempelajari kitab fiqih dan tauhid. Guru
tarekat Naqsabandiayah, Syattariyah, Ba'alaniiyah, dan Qa¬driyah. Wawasan sufistiknya

tidak pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fanzuri yang me-ngembangkan
ajaran Wujudiyah dan Syekh Nuruddin ar-Raniri.
4.

Benteng Tallo
Benteng Tallo terletak di muara sungai Tallo. Benteng dibangun dengan menggunakan
bahan batu bata, batu padas/batu pasir, dan batu kurang. Luas benteng diper¬kirakan 2
kilometer Bardasarkan temuan fondasi dan susunan benteng yang masih tersisa, tebal dinding
benteng

diperkirakan

mencapai

260

cm.

Akibat perjanjian Bongaya (1667) benteng dihancurkan. Sekarang, sisa-sisa benteng dan
bekas aktivitas berserakan. Beberapa bekas fondasi, sudut benteng (bas¬tion) dan batu merah
yang tersisa sering dimanfaatkan penduduk untuk berbagai keperluan darurat, sehingga tidak
tampak lagi bentuk aslinya. Fondasi itu mengelilingi pemukiman dan makam raja-raja Tallo.

D.

Kedatangan Orang Melayu di Tanah Bugis Makassar
Bardasarkan sumber-sumber yang telah ditemukan, dapat dikatakan bahwa

gelombang emigran orang-orang Bugis Makassar ke Semenangjung Melayu melalui tiga
priode. , Pertama berlangsung pada masa sebelum kawasan Sulawesi Selatan memasuki
proses Islamisasi. Mereka itu sudah tersebar di berbagai tempat semenangjung Sumatra,
Malaka dan Kalimantan yang menghubungkan kawasan-kawasan itu dengan rute
perdagangan dengan Pusat Melaka, Kelompok Bugis pada masa itu belum membentuk
dirinya dalam suatu kekuatan militer, mereka umumnya masih hidup dalam kelompokkelompok kecil sebagai pedagang antar pulau dan sebagai nelayan. Itulah sebabnya mereka
pada umumnya tinggal di kawasan pantai mereka dapat dikatakan kelompok the sea men
atau orang laut.
Gelombang

kedua terjadi padamasa proses Islamisasi

sedang berlangsung di

Sulawesi Selatan. Masa berlangsung Islamisasi itu berkaitan erat dengan gerakan politik
yang si lancarkan Kerajaan Gowa dan sekutu-sekutunya untuk menundukkan kwasankawasan yang belum masuk Islam dan sampai Islam diterima masyarakat setempat konflik
politik juga masih berlangsung.
Gelombang ketiga berlangsung setelah kerajaan Gowa dan Wajo jatuh di tangan
VOC . Masa inilah merupakan periode yang paling banyak terjadi perpindahan orang-orang
Bugis Makassar kesemenagjung Melayu. Perpindahan yang terjadi dalam gelombang ini

berbentuk kelompok yang besar . Mereka tidak saja terdiri dari masyarakat lapisan bawah
tatapi apat dikatakan terdiri dari smua lapisan sosial
Dari ketiga gelombang yang disebutkan di atas, gelombang terkhir inilah yang paling
menarik,

masalahnya adalah karena faktor pemindahan

langsung peperangan

berkaitan erat dengan

akibat

yang terjadi di kawasan Sulawesi Selatan. Orang-orang Bugis

Makassar yang termasuk ke dalam gelombang yang terakhir ini dipimpin langsung oleh
kelompok bangsawan. Dengan sisa-sisa kekuatan militer dan kekayaan yang mereka miliki
kelompok bangsawan ini mengikuti pengikut pengikutnya atau rakyat yang meninggalkan
kampung halamannya untuk merantau dengan tujuan

utamanya untuk melanjutkan

perjuangan melawan kekuasaan Belanda.Perjuangan dalam melawan kekuasaan Belanda itu
dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan melakukan gangguan pada rute
perdagangan atau pelayaran Belanda di Selat Makassar, pantai Ambon dan di Selat Malaka
pantau Kaliman tan yang starategis dan Kepulauan Riau. Tindakan mereka dikaitkan dengan
“bajak laut”
Sejak kedatangan orang-orang Melayu di kerajaan Makassar (Kerajaan Gowa)
peranannya tidak hanya dalam perdagangan dan penyebaran agama, tetapi juga dalam
kegiatan sosial budaya. Peranan orang-orang Melayu di Kerajaan

Gowa misalnya,

menyebabkan Raja Gowa ke XII, Mangarai Daeng Pamatte Karaeng Tunijallo membangun
sebuah Mesjid di Kampung Mangallekana untuk kepentingan para saudagar Melayu agar
mereka betah tinggal di Makassar, sekalipun ia sendiri belum beragama Islam. Adanya
perkampungan para saudagara Melayu itu membuat struktur kekuasaan Kerajaan Gowa
dibantu juga oleh orang-orang Melayu dan memegang peranan penting di Istana Kerajaan
Gowa. Hal itu dapat ditemukan dalam untaian kalimat sebagai berikut:
‘Kamilah orang-orang Melayu yang mengajar anak negeri duduk berhadap hadapan
dalam pertemuan adat, mengajar menggunakan keris panjang yang disebut tatarapang, tata
cara berpakaian dan berbagai hiasan untuk para anak bangsawan
Dalam periode tahun .1546-1565 pada masa raja Gowa ke 10, seorang keturunan
Melayu berdarah campuran Bajo yang amat terkemuka bernama I Mangambari Kare
Mangaweang, yang juga dikenal dengan nama I Daeng Ri Mangallekana diangkat sebagai
sahbandar ke II Kerajaan Gowa, sejak saat itu secara turun temurun jabatan Sahbandar
berturut-turut dipegang oleh orang Melayu sampai dengan Sahbandar Ince Husein, Sahbandar
terakhir th 1669 ketika kerajaan Gowa mengalami kekalahan perang melawan VOC.
Jabatan penting lainnya ialah juru tulis istana dijabat pula oleh orang-orang Melayu
Incik Amin, juru tulis istana di zaman Sultan Hasanuddin Raja Gowa ke XVI (1653-1669)

adalah juru tulis istana yang terakhir dan amat terkenal di zaman kebesaran Kerajaan Gowa.
Sebuah karya tulisnya yang amat indah berjudul : Syair Perang Makassar” mengisahkan saatsaat terakhir kerajaan Gowa tahun 1669.
Salah satu sumbangan utama orang-orang Melayu di Indonesia Timur, khususnya di
Sulawesi ialah upayanya dalam menyebarkan Agama Islam dan penyebaran dan penyebaran
Kebudayaan Melayu di Sulawesi. Pada tahun 1632 Rombongan Migran Melayu dari Patani
tiba di Makassar. Rombongan besar ini dipimpin oleh seorang bangsawan Melayu dari Patani
bernama Datuk Maharajalela Turut serta dengannya kemanakannya suami istri yang bergelar
Datuk Paduka Raja bersama istrinya yang bergelar Putri Senapati, Raja Gowa
memberinya tempat di sebelah selatan Somba Opu, Ibu Kota Kerajaan Gowa, karena disana
telah berdiri Perkampungan Melayu asal Patani. Sejak saat itu Salajo diganti menjadi
kampung Patani, hingga sekarang.
DAFTRAR PUSTAKA
Drs. Suwardi. 2006. LKS Merpati. Karanganyar : Graha Multi Grafika.
Siti Waridah Q, Dra. 2001. Sejarah Nasional dan Umum. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Nico Thamiend R.M.P.B. Manus. 2000. Sejarah. Jakarta : Yudhistira.

KATA PENGANTAR
Kami panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah Sejarah ini dapat terselesaikan.
Dengan mempelajari sejarah, manusia akan memperoleh banyak manfaat sehingga
menjadi lebih arif dan bijak. Oleh karena itu, sejarah harus disusun secara jujur, obyektif, dan
tidak direkayasa.
Dalam makalah disebutkan bahwa tujuan pelajaran sejarah nasional dan umum
dimaksudkan untuk menanamkan pemahaman tentang perkembangan masyarakat masa
lampau hingga masa kini, menumbuhkan rasa kebangsaan, cinta tanah air, bangga sebagai
warna negara Indonesia, serta memperluas wawasan hubungan masyarakat antar bangsa.
Makalah ini dimaksudkan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dari
berbagai lapisan dalam mendalami, memahami sejarah nasional dan umum.
Kami sampaikan ucapan terima kasih kepada guru pembimbing dan semua pihak yang telah
membantu, sehingga makalah sejarah ini dapat terselesaikan dan dimanfaatkan.
Kami juga menyadari atas kekurangsempurnaan makalah ini. Suatu kehormatan
apabila para pembaca yang budiman memberi masukan yang membangun. Terima kasih.

Pengakalan,

Nopember 2012

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Awal Islam Sulawesi
B. Kerajaan Islam di Sulawesi
C. Peninggalan sejarah islam di Sulawesi
D. Kedatangan Orang Melayu di Tanah Bugis Makassar
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan Islam di Sulawesi menarik untuk dibahas, karena akan
menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang luas. Dengan membahas proses
masuk dan berkembangnya Islam di Sulawesi kita dapat mengetahui kerajaan-kerajaan
dan raja yang berpengaruh terhadap perkembangan Islam, tradisi dan bukti
perkembangan Islam di Sulawesi, beserta cara agama Islam masuk ke Sulawesi.
Perkembangan agama Islam di Sulawesi tidak sepesat perkembangan agama Islam di
Jawa dan Sumatera. Sebab pertentangan Islam terhadap kerajaan yang belum
menganut agama Islam dilakukan demi kepentingan politik. Bersamaan dengan
perkembangan agama Islam maka berdirilah kerajaan Islam di Indonesia yaitu Demak,
Pajang, Mataram, Banten, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera.
Pada dasarnya secara geografis dan kondisi alam wilayah Sulawesi lebih

bersahabat dibandingkan wilayah Klaimantan, karena wilayah Sulawesi hampir sama
seperti kondisi Jawa. Meskipun hubungan antar suku di wilayah Sulawesi kurang
harmonis, namun dakwah tetap berkembang baik di wilayah Sulawesi Selatan. Kubu
yang terkadang bertentangan adalah Bosowa atau Bone Soppeng, Wajo dengan suku
Makasar. Perkembangan Islam di wilayah Sulawesi selain Sulawesi Selatan seperti
Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara masih perlu ditingkatkan.
B.Rumusan Masalah
saDari latar belakang yang disebutkan di atas, dapatlah ditetapkan rumusan masal
sebagai berikut:
1. Bagaimana keadaan masyarakat Sulawesi sebelum dan sesudah datangnya Islam?
2.Bagaimana proses masuknya Islam di Sulawesi?
3Apa saja bukti-bukti peninggalan sejarah Islam di Sulawesi?
C.Pendekatan yang dilakukan
Jenis pendekatan yang digunakan adalah :
Pendekatan Historis
Pendekatan historis merupakan pendekatan yang dilakukan melalui sisi sejarahnya.
Pendekatan historis dalam makalah ini melihat bagaimana Islam masuk di daerah
Sulawesi. Dan proses perkembangannya.
Pendekatan Fenomenologis
Pendekatan feonomenoligis merupakan pendekatan yang dilakukan dengan melihat
fenomena-fenomena yang terjadi di dalam masyarakat.
D.

Tujuan

1.

Untuk mengetahui keadaan masyarakat Sulawesi sebelum dan sesudah datangnya
Islam.

2.

Untuk mengetahui proses masuknya Islam di Sulawesi.

3.

Untuk mengetahui bukti-bukti peninggalan sejarah Islam di Sulawesi.

E.

Kegunaan

Ø Makalah ini diharapkan mampu menambah bahan mata kuliah bagi mahasiswa
Ushuludin, Studi Agama, dan Pemikiran Islam khususnya mahasiswa jurusan
Perbandingan Agama.
Ø Makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi mahasiswa tentang masuk
dan berkembangnya Islam di Sulawesi.
Ø Makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber pembelajaran bagi mahasiswa

khususnya dalam mata kuliah Sejarah Islam Indonesia.
F.

Kajian Pustaka
Tulisan ini dihadirkan dengan sedikit berbeda dari tulisan yang lain. Dalam
tulisan lain hanya berfokus pada awal masuknya saja. Namun dalam hal ini
ditambahkan beberapa peninggalan sejarah.
Metode yang dilakukan dalam menyusun makalah ini adalah dengan metode
Librarian Research (Penelitian Perpustakaan). Hal ini dimungkinkan karena
menyangkut sejarah. Persamaan tulisan ini dengan tulisan lain adalah mengenai awal
dan berkembangnya Islam di Sulawesi.
Posisi pemakalah dalam tulisan ini adalah sebagai peneliti dengan mengangkat
tema sejarah. Tulisan ini hadir berdasarkan perbedaan dengan penulis lain. Namun ada
juga hal baru. Sehingga diharapkan mampu menyempurnakan tulisan yang lain.

G. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri atas lima bab, yaitu:
BAB I: PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Rumusan Masalah
Pendekatan yang Dilakukan
Tujuan
Kegunaan
Kajian Pustaka
Sistematika Penulisan
BAB II: KEADAAN MASYARAKAT SULAWESI SEBELUM DAN SESUDAH
DATANGNYA ISLAM
Keadaan masyarakat Bone
Keadaan masyarakat Buton
BAB III: PROSES MASUKNYA ISLAM
Proses masuknya Islam di Bone
Proses masuknya Islam di Buton
BAB IV: BUKTI-BUKTI PENINGGALAN SEJARAH ISLAM DI SULAWESI
Bukti-bukti peninggalan sejarah islam yang ada di Sulawesi diantaranya adalah masjid
Hila, batu karang berbentuk bukit karang kecil di tengah pantai Semboang, obyek
tinggalan arkeologi Islam yang berada di kota Manado dan lainnya.
BAB V: PENUTUP

Kesimpulan
Saran-saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB II
KEADAAN MASYARAKAT SULAWESI SEBELUM DAN SESUDAH
DATANGNYA ISLAM
a.

Keadaan Masyarakat Sulawesi sebelum hadirnya Islam
Kronologis keberadaan Islam sebagai bukti sejarah, Islam di Sulsel masih
membutuhkan pengkajian yang mendalam supaya sejarahnya lebih objektif.
Kehadiran budaya Islam pertama kali di Kerajaan Gowa jauh sebelum diterimanya
agama Islam sebagai agama resmi kerajaan. Agama Islam dibawa oleh para pedagang
Muslim dari Arab, Parsia, India, Cina, dan Melayu ke Ibu Kota Kerajaan Gow, Somba
Opu.
Di Mangallekana
Pada abad ke-15, yaitu pada masa pemerintahan Raja Gowa ke- 12 bernama I
Monggorai Dg Mammeta Karaeng Bonto Langkasa Tunijallo (1565-1590) dialah yang
memberikan fasilitas bagi para pedagang-pedagang Muslim untuk bermukim di sekitar
istana kerajaan. Para pedagang juga diberi kemudahan untuk mendirikan masjid di
Kampung Mangallekana. Ini merupakan masjid tertua yang pernah berdiri di Sulsel.
Ribuan pulau yang ada di Indonesia, sejak lama telah menjalin hubungan dari
pulau ke pulau. Hubungan ini pula yang mengantar dakwah menembus dan merambah
Celebes atau Sulawesi. Menurut catatan company dagang Portugis yang datang pada
tahun 1540 saat datang ke Sulawesi, di tanah ini sudah bisa ditemui pemukiman
Muslim di beberapa daerah. Meski belum terlalu besar, namun jalan dakwah terus
berlanjut hingga menyentuh raja-raja di Kerajaan Goa yang beribu negeri di Makassar.
Beberapa ulama Kerajaan Goa di masa Sultan Alaidin begitu terkenal karena
pemahaman dan aktivitas dakwah mereka. Mereka adalah Khatib Tunggal, Datuk ri
Bandang, datuk Patimang dan Datuk ri Tiro. Dapat diketahui dan dilacak dari nama
para ulama di atas, yang bergelar datuk-datuk adalah para ulama dan mubaligh asal

Minangkabau yang menyebarkan Islam ke Makassar.
Pusat-pusat dakwah yang dibangun oleh Kerajaan Goa inilah yang
melanjutkan perjalanan ke wilayah lain sampai ke Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng,
Sidenreng, Tanette, Luwu dan Paloppo.
Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar
dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini
berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi.
Wilayah kerajaan ini sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian
daerah sekitarnya. Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan
Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang
Makassar (1666-1669) terhadap VOC yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang dikuasai
oleh satu wangsa Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka. Perang Makassar
bukanlah perang antarsuku karena pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan Bugis;
demikian pula pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang Makassar. Perang
Makassar adalah perang terbesar VOC yang pernah dilakukannya di abad ke-17.
Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal
dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat
kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata,
Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas
lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa
dimulai oleh Tumanurung sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain
menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang
pertama adalah Batara Guru dan saudaranya
Memerintah pada awal abad ke-16, di Kerajaan Gowa bertakhta Karaeng
(Penguasa) Gowa ke-9, bernama Tumapa'risi' Kallonna. Pada masa itu salah seorang
penjelajah Portugis berkomentar bahwa "daerah yang disebut Makassar sangatlah
kecil". Dengan melakukan perombakan besar-besaran di kerajaan, Tumapa'risi'
Kallonna mengubah daerah Makassar dari sebuah konfederasi antar-komunitas yang
longgar menjadi sebuah negara kesatuan Gowa. Dia juga mengatur penyatuan Gowa
dan Tallo kemudian merekatkannya dengan sebuah sumpah yang menyatakan bahwa
apa saja yang mencoba membuat mereka saling melawan (ampasiewai) akan
mendapat hukuman Dewata. Sebuah perundang-undangan dan aturan-aturan
peperangan dibuat, dan sebuah sistem pengumpulan pajak dan bea dilembagakan di
bawah seorang syahbandar untuk mendanai kerajaan. Begitu dikenangnya raja ini

sehingga dalam cerita pendahulu Gowa, masa pemerintahannya dipuji sebagai sebuah
masa ketika panen bagus dan penangkapan ikan banyak.
Dalam sejumlah penyerangan militer yang sukses penguasa Gowa ini
mengalahkan negara tetangganya, termasuk Siang dan menciptakan sebuah pola
ambisi imperial yang kemudian berusaha ditandingi oleh penguasa-penguasa
setelahnya di abadl ke-16 dan ke-17. Kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan oleh
Tumapa'risi' Kallonna diantaranya adalah Kerajaan Siang, serta Kerajaan Bone,
walaupun ada yang menyebutkan bahwa Bone ditaklukkan oleh Tunipalangga.
Kesultanan Buton terletak di Pulau Buton Propinsi Sulawesi tenggara, di
bagian tenggara Pulau Sulawesi . Pada zaman dahulu memiliki kerajaan sendiri yang
bernama kerajaan Buton dan berubah menjadi bentuk kesultanan yang dikenal dengan
nama Kesultanan Buton. Nama Pulau buton dikenal sejak zaman pemerintahan
Majapahit, Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau Buton.
Mpu Prapanca juga menyebut nama Pulau Buton di dalam bukunya, Negara
Kartagama. Sejarah yang umum diketahui orang, bahwa Kerajaan Bone di Sulawesi
lebih dulu menerima agama Islam yang dibawa oleh Datuk ri Bandang yang berasal
dari Minangkabau sekitar tahun 1605 M. Sebenarnya Sayid Jamaluddin al-Kubra lebih
dulu sampai di Pulau Buton, yaitu pada tahun 815 H/1412 M. Ulama tersebut
diundang oleh Raja Mulae Sangia i-Gola dan baginda langsung memeluk agama
Islam. Lebih kurang seratus tahun kemudian, dilanjutkan oleh Syeikh Abdul Wahid
bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang dikatakan datang dari Johor. Ia berhasil
mengislamkan Raja Buton yang ke-6 sekitar tahun 948 H/ 1538 M.
Riwayat lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimana pun masih banyak
pertikaian pendapat mengenai tahun kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton.
Dalam masa yang sama dengan kedatangan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al- Fathani, diriwayatkan bahwa di Callasusung (Kalensusu), salah sebuah daerah
kekuasaan Kerajaan Buton, didapati semua penduduknya beragama Islam.
Selain pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari
Johor, ada pula pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari
Ternate. Dipercayai orang-orang Melayu dari berbagai daerah telah lama sampai di
Pulau Buton. Mengenainya dapat dibuktikan bahwa walau pun Bahasa yang
digunakan dalam Kerajaan Buton ialah bahasa Wolio, namun dalam masa yang sama
digunakan Bahasa Melayu, terutama bahasa Melayu yang dipakai di Malaka, Johor
dan Patani. Orang-orang Melayu tinggal di Pulau Buton, sebaliknya orang-orang

Buton pula termasuk kaum yang pandai belayar seperti orang Bugis juga.
Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu
dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima
orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.
Kerajaan Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa
pemerintahan Raja Buton ke-6, iaitu Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu
Oleo. Bagindalah yang diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman alFathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul
Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di
Johor. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur).
Kemudian beliau sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu atas yang termasuk dalam
pemerintahan Buton.
Di Pulau Batu atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman alFathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh). Imam
Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke
Pulau Buton, menghadap Raja Buton. Syeikh Abdul Wahid setuju dengan anjuran
yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam, Baginda langsung ditabalkan
menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada tahun 948 H/1538 M.
Walau bagaimanapun. Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena
daripada sumber yang lain disebutkan bahawa Syeikh Abdul Wahid merantau dari
Patani-Johor ke Buton pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan
Buton pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus
iaitu Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan ini ialah Kuasa Pendiri Agama Islam.
Dalam riwayat yang lain menyebut bahawa yang melantik Sultan Buton yang
pertama memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru beliau yang sengaja
didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan Kerajaan
Islam Buton pertama, dinamakan Sultan Murhum.
Ketika diadakan Simposium Pernaskahan Nusantara Internasional IV, 18 - 20
Julai 2000 di Pekan Baru, Riau, salah satu kertas kerja membicarakan beberapa aspek
tentang Buton, yang dibentang oleh La Niampe, yang berasal dari Buton. Maklumat
lain, kertas kerja Susanto Zuhdi berjudul Kabanti Kanturuna Mohelana Sebagai
Sumber Sejarah Buton, menyebut bahawa Sultan Murhum, Sultan Buton yang pertama
memerintah dalam lingkungan tahun 1491 M - 1537 M. Menurut Maia Papara Putra
dalam bukunya, Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki

Dalam Lembaga Kitabullah, bahawa ``Kesultanan Buton menegakkan syariat Islam
ialah tahun 1538 Miladiyah.
Jika kita bandingkan tahun yang saya sebutkan (1564 M), dengan tahun yang
disebutkan oleh La Niampe (948 H/1541 M) dan tahun yang disebutkan oleh Susanto
Zuhdi (1537 M), bererti dalam tahun 948 H/1541 M dan tahun 1564 M, Sultan
Murhum tidak menjadi Sultan Buton lagi kerana masa beliau telah berakhir pada tahun
1537 M. Setelah meninjau pelbagai aspek, nampaknya kedatangan Syeikh Abdul
Wahid di Buton dua kali (tahun 933 H/1526 M dan tahun 948 H/1541 M) yang
diberikan oleh La Niampe adalah lebih meyakinkan.
Yang menarik pula untuk dibahas ialah keterangan La Niampe yang menyebut
bahawa ``Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua kali di Buton pada tahun 948
H/1541 M itu bersama Imam Fathani mengislamkan lingkungan Istana Buton, sekali
gus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton yang pertama. Kampung Parit
Murhum berdekatan dengan Kerisik, iaitu pusat seluruh aktiviti Kesultanan Fathani
Darus Salam pada zaman dahulu. Semua yang tersebut itu sukar untuk dijawab.
Apakah semuanya ini secara kebetulan saja atau pun memang telah terjalin sejarah
antara Patani dan Buton sejak lama, yang memang belum diketahui oleh para
penyelidik.
Namun walau bagaimanapun jauh sebelum ini telah ada orang yang menulis
bahawa ada hubungan antara Patani dengan Ternate. Dan cukup terkenal legenda
bahawa orang Buton sembahyang Jumaat di Ternate.
Jika kita bandingkan dengan semua sistem pemerintahan, sama ada yang
bercorak Islam mahu pun sekular, terdapat perbezaan yang sangat ketara dengan
pemerintahan Islam Buton. Kerajaan Islam Buton berdasarkan Martabat Tujuh.
Daripada kenyataan ini dapat diambil kesimpulan bahawa kerajaan Islam Buton lebih
mengutamakan ajaran tasawuf daripada ajaran yang bercorak zahiri. Walau
bagaimanapun ajaran syariat tidak diabaikan.
Semua perundangan ditulis dalam bahasa Walio menggunakan huruf Arab,
yang dinamakan Buru Wolio seperti kerajaan-kerajaan Melayu menggunakan bahasa
Melayu tulisan Melayu/Jawi. Huruf dan bahasa tersebut selain digunakan untuk
perundangan, juga digunakan dalam penulisan salasilah kesultanan, naskhah-naskhah
dan lain-lain. Tulisan tersebut mulai tidak berfungsi lagi menjelang kemerdekaan
Indonesia 1945.
Pemerintahan

Kerajaan Buton berdiri tahun 1332 M. Awal pemerintahan dipimpin seorang
perempuan bergelar Ratu Wa Kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu
Ratu Bulawambona. Setelah dua raja perempuan, dilanjutkan raja Bataraguru, raja
Tuarade, raja Rajamulae, dan terakhir raja Murhum. Ketika Buton memeluk agama
Islam, maka raja Murhum bergelar Sultan Murhum.
Kerajaan Buton didirikan atas kesepakatan tiga kelompok atau rombongan
yang datang secara bergelombang. Gelombang pertama berasal dari kerajaan
Sriwijaya. Kelompok berikutnya berasal dari Kekaisaran Cina dan menetap di Buton.
Kelompok ketiga berasal dari Kerajaan Majapahit. Sistem kekuasaan di Buton ini bisa
dibilang menarik karena konsep kekuasaannya tidak serupa dengan konsep kekuasaan
di kerajaan-kerajaan lain di nusantara. Struktur kekuasaan kesultanan ditopang dua
golongan bangsawan: golongan Kaomu dan Walaka. Wewenang pemilihan dan
pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun yang menjadi sultan
harus dari golongan Kaomu. Jadi bisa dikatakan kalau seorang raja dipilih bukan
berdasarkan keturunan, tetapi berdasarkan pilihan di antara yang terbaik.
Kelompok Walaka yang merupakan keturunan dari Si Panjonga memiliki tugas
untuk mengumpulkan bibit-bibit unggul untuk dilatih dan dididik sedemikian rupa
sehingga para calon raja memiliki bekal yang cukup ketika berkuasa nanti.
Berdasarkan penelitian, RatuWaa Kaa Kaa adalah proyek percobaan pertama
kelompok Walaka ini Selain sistem pemilihan raja yang unik, sistem pemerintahannya
juga bisa dikatakan lebih maju dari jamannya. Sistem pemerintahan
kerajaan/kesultanan Buton dibagi dalam tiga bentuk kekuasaan. Sara Pangka sebagai
lembaga eksekutif, Sara Gau sebagai lembaga legislatif, dan Sara Bhitara sebagai
lembaga yudikatif. Beberapa ahli berani melakukan klaim kalau sistem ini sudah
muncul seratus tahun sebelum Montesquieu mencetuskan konsep trias politica
Peraturan hukum diterapkan tanpa diskriminasi, berlaku sama bagi rakyat jelata
hingga sultan. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12
di antaranya diganjar hukuman karena melanggar sumpah jabatan. Dan hukumannya
termasuk hukuman mati majelis rakyat kesultanan buton adalah lambang demokrasi
kesultanan buton. di sini dirumuskan berbagai program kesultanan dan juga tempat
untuk melaksanakan proses pemilihan sultan berdasarkan aspirasi masyarakat Buton.
Politik
Masa pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang
Politik Pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah kerajaan serta mulai

menjalin hubungan Politik dengan Kerajaan Majapahit, Luwu, Konawe dan Muna.
Demikian juga bidang ekonomi mulai diberlakukan alat tukar dengan menggunakan
uang yang disebut Kampua (terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang
kemudian ditenun secara tradisional menjadi kain). Memasuki masa Pemerintahan
Kesultanan juga terjadi perkembangan diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang
politik dan pemerintahan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan
Buton yaitu “Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan
kedudukan perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan serta
ditetapkannya Sistem Desentralisasi (otonomi daerah) dengan membentuk 72 Kadie
(Wilayah Kecil).
Masyarakat
Masyarakat Buton terdiri dari berbagai suku bangsa. Mereka mampu
mengambil nilai-nilai yang menurut mereka baik untuk diformulasikan menjadi
sebuah adat baru yang dilaksanakan di dalam pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton
itu sendiri. Berbagai kelompok adat dan suku bangsa diakui di dalam masyarakat
Buton. Berbagai kebudayaan tersebut diinkorporasikan ke dalam budaya mereka.
Kelompok yang berasal dari Tiongkok diakui dalam adat mereka. Kelompok yang
berasal dari Jawa juga diakui oleh masyarakat Buton. Di sana terdapat Desa
Majapahit, dan dipercaya oleh masyarakat sekitar bahwa para penghuni desa tersebut
memang berasal dari Majapahit. Mereka sampai di sana karena perdagangan rempahrempah. Dengan membuat pemukiman di sana, mereka dapat mempermudah akses
dalam memperolah dan memperdagangkan rempah-rempah ke pulau Jawa. Beberapa
peninggalan mereka adalah berupa gamelan yang sangat mirip dengan gamelan yang
terdapat di Jawa.
Imam-imam yang menjabat di dalam dewan agama juga dipercaya merupakan
keturunan Arab. Mereka dengan pengetahuan agamanya diterima oleh masyarakat
Buton dan dipercaya sebagai pemimpin di dalam bidang agama. Berbagai suku dan
adat tersebut mampu bersatu secara baik di dalam kerajaan/kesultanan Buton. Apabila
kita melihat kerajaan/kesultanan lain, perbedaan itu seringkali memunculkan konflik
yang berujung kepada perang saudara, bahkan perang agama. Sedangkan di Buton
sendiri tercatat tidak pernah terjadi perang antara satu kelompok dengan kelompok
lain, terutama bila menyangkut masalah suku dan agama.
Dapat dikatakan bahwa seluruh golongan di buton merupakan pendatang.
Mereka menerapkan sistem yang berdasarkan musyawarah. Para perumus sistem

kekuasaan atau sistem adat di Buton juga berasal dari berbagai kelompok suku dan
agama. Ada yang berasal dari semenanjung Malaysia, Si Tamanajo yang berasal dari
Kerajaan Pagaruyung. Ada pula yang berasal dari Jawa yaitu Sri Batara dan Raden
Jutubun yang merupakan putra dari Jayanegara.
Seluruh golongan tersebut berasal dari kerajaan yang otoriter dan menerapkan
sistem putera mahkota. Hampir semua peralihan kekuasaan tersebut dilakukan dengan
kudeta. Di kerajaan Buton hal tersebut tidak pernah terjadi. Asumsinya, berdasarkan
pengalaman pahit dalam jatuh-bangunnya pemerintahan tersebut, maka mereka yang
berkumpul di tanah Buton tersebut merumuskan suatu sistem yang mampu melakukan
peralihan kekuasaan tanpa harus melalui pahitnya kudeta maupun perang saudara.
Mereka berkumpul di tanah Buton sejak Gajah Mada mengumumkan sumpah palapanya. Pada masa itu Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran. Begitu juga Kerajaan
Singosari. Seluruh raja-raja dan panglima yang tidak takluk pada Kerajaan Majapahit
akan dijadikan budak. Pilihan mereka adalah dengan melarikan diri menuju tempat
yang aman. Pulau Buton