AWAL MULA WALI DI TANAH JAWA (1)
AWAL MULA WALI DI TANAH JAWA
Semua berjumlah delapan disebut Walisana yang berarti Dununganing Wali (tempatnya
Wali) (Bandingkan antara kalimat Walisana dengan Wali Songo
sekarang, barang kali karena ditelan masa dari kalimat Walisana
berubah menjadi Wali Songo. Sedangkan Jumlahnya yang
sembilan disesuaikan dengan keadaan, yaitu di jawa timur ada 5,
jawa tengah ada 3 dan jawa barat ada 1, dimana angka ini dan
angka 9 sangat erat hubungannya dalam syarat laku dalam ilmu
jawa,. Pen.)
TERJEMAHAN BEBAS SULUK WALI SANA
YANG MENCERITAKAN ASAL MULA WALI DI TANAH JAWA
Sumber penulisan ini adalah menyadur bebas dari Suluk Walisana
karangan Kangjeng Susuhunan Giri ke II, yang dikarang pada tahun Suryasangkala
1414 atau tahun Candra Sangkala 1450, berbentuk Tembang Macapat berbahasa
Jawa Kuna, Naskah Aslinya menggunakan huruf jawa, dan sadurannya diterbitkan
oleh Penerbit Tan Khoen Swie – Kediri pada tahun 1938.
Asalmula Wali di tanah jawa berasal dari pengembaraan seorang Ulama
Besar dari Tanah arab yang bernama Syech Maulana Ibrahim masih keturunan Nabi
Muhammad SAW. Beliau mengadakan pengembaraan sampai ke Kerajaan Kijan di
Cempa yang pada akhirnya dia menjadi menantu Raja Kijan kawin dengan Dyah Siti
Asmara dan mempunyai 2 anak yang bernama Raden Santri dan Raden Rahmat.
Pada saat yang sama Permaisuri Raja Kijan juga melahirkan anak yang diberi nama
Ngalim Abuhurerah. Ketiganya yaitu Raden Santri, Raden Rahmat dan Ngalim Abu
Hurerah ingin pergi ke Pulau Jawa menengok Bibi-nya yang menjadi Istri Prabu
Brawijaya V yang berjuluk Putri Cempa. (Mengenai Silsilah para wali
didalam kisah ini dan selanjutnya dalam terjemahan ini
sangat jauh berbeda dengan silsilah kisah Wali Songo yang
lain. Ini bisa dibandingkan dengan Buku Jejak Kanjeng Sunan
Perjuangan Wali Songo yang dibuat oleh Yayasan Festifal
Wali songo dimana buku ini adalah yang paling banyak
menngunakan Daftar Pustaka dibanding dengan buku
tentang kisah Wali Songo yang lain. Pen).
Dalam perjalanan ke Pulau jawa ketiganya menumpang kapal milik
seorang Saudagar dan setelah kapal sampai di Kamboja kapal pecah dan terdampar
yang pada akhirnya dittolomg oleh Saudagar yang lain sehingga sampailah di
Palembang untuk menemui dan mengislamkan Arya Damar, dimana Arya Damar
adalah Ayah dari Raden Patah yang juga mempunyai saudara lain yaitu Raden
Kasan dan Yusup. Selanjutnya ketiganya melanjutkan perjalanan ke Majapahit dan
bertemu dengan Patih Gajah Mada di Kepatihan. Ketiganya kemudian diantar untuk
menemui Brabu Brawijaya V. Dalam pertemuannya dengan Raja, ketiganya
berusaha untuk mengislamkan Raja dimana Raja tetap tidak mau masuk Islam.
Akhirnya Raden Santri, Raden Rahmat dan Ngalim Abu Hurerah tidak senang
tinggal di Majapahit dan ingin pulang ke negri Cempa walaupun Raja Brawijaya V
menginginkan agar ketiganya tetap tinggal di Majapahit. Pada saat itu kebetulan ada
Saudagar dari Cempa yang mengabarkan bahwa Kerajaan Kijan di negri Cempa
sudah hancur yang diakibatkan oleh perang, sehingga ketiganya tidak jadi kembali
ke negri Cempa dan tetap tinggal di Majapahit. Pada akhirnya oleh Prabu Prawijaya
V ketiganya dikawinkan dengan anak dari Aryo Tejo seorang Adipati di Tuban.
Raden Santri mendapatkan Retno Maninjong, Raden Rahmat dengan Siti
Manila sedangkan Ngalim abuhurerah dengan Retno Sadasar. Kemudian Ketiganya
pindah ke Suraswati atau Surabaya wilayah Aryo Lembusuro. Raden Santri
bertempat tinggal di Gresik dan berjuluk Ngalimurtala. Sedangkan Raden Rahmat ke
Suraprinngo dan berjuluk Sunan Ngampel Dento. Sedangkan Ngalim Abuhurerah
bertempattinggal di Majagung (sekarang bernama Mojoagung di Mojokerto) dan
kawin lagi dengan Rara Siti Kantum anak dari Aryo Baribin madura.
Lanjut cerita, Sayid Nges dengan Sayid Jakoeb pergi ke tanah Jawa, Sajid
Nges menuju Majalengka, sayid Jakoeb menuju Balambangan. Sajid Nges oleh
Prabu Brawijaya,diberi gelar Soetamaharadja kemudian pergi ke Ngampel Dento,
dan menjadi Imam di Demak. Sajid Jakoeb kemudian dijadikan menantu oleh Prabu
Blambangan kawin dengan Dewi Sabodi, dan diberi nama Pangeran Lanang.
Pangeran Lanang kemudian diusir oleh Prabu Blambangan disebabkan kerena
menyiarkan Agama Islam. Selanjutnya Pangeran Lanang pergi ke Ngampeldento
dan menjadi imam di Tukangan.
Alkisah Dewi Sabodi pada saat ditinggal oleh Pangeran Lanang sedang
mengandung, dan melahirkan bayi laki-laki yang selanjutnya dilarung oleh Prabu
Blambangan yang kebetulan pada saat itu di Blambangan terjadi Pageblug atau
wabah penyakit dan dikiranya penyebabnya adalah bayi tersebut. Kendaga yang
berisi bayi pada akhirnya ditemukan oleh Juragan Kamboja yang tidak disebutkan
namanya di Gesik dan dirawat, karena usianya yang sudah lanjut akhirnya juragan
tersebut meninggal dunia sedangkan bayinya dipelihara oleh Nyai Juragan yang
kemudian diberi nama Raden Satmata.
Lanjutnya cerita, Janda Juragan Kamboja di Gresik meninggal dunia.
Semua hartanya menjadi milik Raden Satmata , akan tetapi berhubung Raden
Satmata belum dewasa sehingga hartanya dititipkan kepada Saudara dari Janda
Juragan Kamboja tadi. Pada suatu hari Raden Satmata sedang bermain di pinggir
laut, dan kebetulan pada saat itu ada Juragan Layar yang lewat karena tertarik pada
Raden Satmata kemudian mendatangi Raden Satmata dan menawarkan kepada
Raden Satmata agar mau untuk menjadi anaknya. Raden Satmata tidak keberatan,
selanjutnya Raden Satmata di ajak ke rumah Juragan tersebut yang berada di
Benang. Pada akhirnya karena usianya yang sudah lanjut, Juragan tersebut
meninggal dunia dan semua harta warisannya menjadi hak milik Raden Satmata.
Raden Satmata kemudian menjadi Saudagar layar dan berlayar menuju ke pulau
Bali dengan membawa barang dagangan berupa Penjalin dan bermacam-macam
kayu. Keuntungannya dalam berdagang sangat banyak akan tetapi karena di Bali
banyak orang miskin dan pengemis, maka semua uang keuntungan dari hasil
berdagang dibagi-bagikan semuanya sambil berdakwah sampai habis tanpa tersisa.
Oleh sebab semua uangnya habis untuk beramal, tukang perahu dalam
rombongan yang bernama Baroes Samsoe menuntut Raden Satmata soal habisnya
uang. Raden Satmata menjelaskan kepada tukang prahu, bahwa semua orang yang
mau menolong kepada sesama tentu akan mendapatkan pahala dari Tuhan,
kemudian Raden Satmata memuja suatu benda sehingga berubah menjadi emas
dan intan sehingga tukang perahu percaya pada mangunah yang dimiliki Raden
Satmata. Raden Satmata kemudian memerintahkan agar kapal yang berjumlah tiga
buah diisi dengan batu padas, kerikil, pasir dan daun pisang kering untuk dibawa
pulang. Setelah sampai, Raden satmata berdo’a pada Tuhan, sehingga pasir
berubah menjadi beras dan kopi, batu padas jadi emas dan kerikil berubah menjadi
inten dan sesampainya di Benang semua barang tersebut dibagi-bagikankan,
sedangkan Tukang Prahu mendapat bagian paling banyak yang kemudian dijadikan
modal berdagang. Raden Satmata pergi menggembara lagi.
Lanjut cerita, Raden Satmata di Benang ingin pergi ke Mekah dan mampir
dulu di Malaka untuk menemui Maulana Iskak untuk berguru. Setelah Maulana Iskak
bertanya ternyata Raden Satmata adalah cucunya sendiri anak dari Wali Lanang.
Raden Satmata kemudian minta diajari tentang ilmu sejatinya Pangeran, ilmu
sejatinya Allah Muhammad, nama tujuh dan perbuatannya sampai tamat. (Karena
Sulit diterjemahkan inti ajaran tidak diuraikan, demikian pula untuk inti ajaran
selanjutnya hanya pokok-pokoknya saja)
Setelah merasa cukup berguru, Raden Satmata tidak jadi pergi ke Mekah,
tetapi kembali ke Benang. Tidak lama kemudian pindah ke Jipang terus ke Tandes
dengan menumpang kapal milik Ki Panangsang, untuk menemui Pangeran di Nitih.
Setelah bertemu akhirnya Raden Satmata diangkat anak serta dijadikan Imam
Agama bergelar Pangeran Kalifah. Tidak lama kemudian pindah ke Girigajah untuk
bertafakur. Selanjutnya pergi ke Ngampel dan bertemu dengan Sunan Ngampel
untuk berguru. Sunan Ngampel mengajarkan manunggalnya makhluk dengan Tuhan
(Manunggaling Kawulo Gusti). Kemudian Raden Satmata yang telah berjuluk
Pangeran Kalipah diambil manantu oleh Sunan Ngampel kemudian pulang ke
Tandes untuk menjadi Raja Pandita dan menjadi Imam Agama dan akhirnya
menetap di Girigajah.
Syech Walijoelislam (nak sanak Sunan Ngampel) pergi ke tanah jawa
menuju Ngampel. Terus menetap di Pasuruan dan diambil menantu oleh Dipati
Pasuruan kawin dengan Rara Satari. Kemudian pindah menjadi Imam Agama di
Pandanaran – Semarang dan dijadikan adipati oleh Prabu Brawijaya.
Syech Maulana Iskak, Kakek Sunan Ngampel (Anak Syech Yunus) pergi ke
Jawa bersama dengan anaknya yang bernama Kalipah Kusen dengan tujuan ke
Ngampel. Setelah sampai di Ngampel kemudian meneruskan perjalanan ke Madura.
Di Madura diambil menantu ipe oleh Prabu Lembupeteng kawin dengan anak dari
Aya Baribin.Setelah agak lama mengajarkan Agama Islam di Madura, akan tetapi
Sang Parabu tetap tidak mau masuk Islam yang pada akhirnya keduanya diusir dan
Maulana Iskak kembali ke Malaka sedangkan Kalipah Koesen kembali ke Ngampel.
Sepeninggal kedua Maulana tersebut, Prabu Leboepeteng terus menyusul
ke Ngampel dengan tujuan akan menyulik Sunan Ngampel. Akan tetapi tidak bisa
dikarenakan Mangunahnya Sunan Ngampel. Akhirnya Lemboepeteng masuk Islam
dan kembali ke Madura bersama Kalipah Koesen. Kalipan Koesen terus pergi ke
Sumenep menemui Sri Djaran Panolih, kemudian pergi ke Baliga untuk
mengislamkan keduanya dan akhirnya kembali ke wilayah Lemboepeteng.
Maulana Machribi dan Maulana Gaibbi saudara muda dari Maulana Koesen
pergi ke Jawa menuju ke Ngampel Dento. Maulana Machribi kawin dengan Retna
Marakis anak dari Arja Tedja di Tuban. Maulana Gaibbi kawin dengan Niken Soedara
anak dari Gadjah Maodara. Kemudian keduanya menetap di Banten, akan tetapi
Maulana Machribi kembali ke Ngegri Cempa dikarenakan di Banten tidak kerasan.
Sajid Djen juga ke Jawa, menuju ke Ngampel terus menetap di Cirebon dan
terkenal dengan nama Soenan Goenoengdjati.
Alkisah, Sang Syech Walijoel Islam di Semarang sudah mempunyai tiga
orang anak masing-masing bernama Syech Kalkoem bertempat di Pekalongan,
Syech Ngabdullah bertempat di Kendal, Ngabdoelrachman bertempat di Kaliwungu.
Syech Djamhoerngali (Nak sanak dari Maulana Machribi) juga pergi ke
Jawa menuju ke Ngampel, kawin dengan anak dari Dipati Padjarakan yang bernama
Rara Sampoersari dan menjadi Imam di Padjarakan, juga kawin lagi dengan Putri
Kebontjandi.
Syech Samsoetabarit, adalah Paman Misanan dari Sunan Ngampel pergi
ke Jawa, dan menjadi Imam di Panaraga.
Alkisah Prabu Dajaningrat dari Pengging menyerbu Semarang sehinga
terjadi perang besar. Syech Wali’oelislam gugur dalam perang. Syech
Soetamaharadja mengungsi ke Demak dan meninggal dunia. Syech Kaklkoem
mengungsi ke Benggala. Syech Djatiswara mengungsi ke Gunung Merbabu. Syech
Abdoerrachman kembali ke Atasangin.
Siti Oemikasoem, anak dari Syech Wali’oelislam dengan anak dari Syech
Soetamaharadja yang bernama Siti Djenab mengungsi ke Cirebon berlindung
kepada Soenan Goenoengdjati.
Cerita selanjunta Arja Damar di Palembang mempunyai 2 orang anak, yang
pertama bernama Raden Patah dan Raden Koesen putra Majapahit dari seorang ibu
yang bernama Dewi Soebantji. Keinginan Arja Damar agar Raden Patah mau untuk
menjadi Ratu, akan tetapi Raden Patah tidak berkenan, sehingga Arja Damar
memberikan nasihat syarat laku seorang ratu (tidak diterjemahkan)
Raden Patah tetap pada pendiriannya dan tidak mau untuk menjadi raja,
dan akhirnya melarikan diri bersama Raden Koesen. Dalam perjalanan, keduanya
berjumpa dengan Syech Sabil untuk bersama-sama meneruskan perjalanan menuju
ke Pulau Jawa. Dalam perjalanan madapatkankan rintangan dirampok, akan tetapi
ketiganya selamat dan melanjutkan perjalanan menuju Gunung Rasamuko. Pada
akhirnya ketiganya ditolong oleh Juragan Layar sehingga sampai ke Pulau Jawa.
Raden Patah berguru kepada Soenan Ngampel, Raden Koesen dan Syech Sabil
mengabdi kepada Prabu Brawijaya. Raden Koesen diangkat menjadi Dipati Teroeng.
Syech Sabil diutus ke Ngampel, di situ diperintahkan ke Ngudung, sehingga Syech
Sabil terkenal dengan nama Sunan Ngudung.
Oleh Sunan Ngampel Raden Patah diambil menantu dan dikawinkan
dengan Ratoe Panggoeng. Anak Sunan Ngampel yag bernama Makdoem Ibrahim
diutus ke Wilayah Benang sehingga terkenal dengan sebutan Sunan Benang.
Alkisah Tumenggung Wilatikta di Jepara mempunyai seorang anak laki-laki
yang bernama Raden Sahit yang sangat nakal, pekerjaannya judi dan merapok.
Pada suatu hari kebetulan yang dirampok adalah Sunan Benang. Di situ Sunan
Benang menunjukan kelebihannya memasang tanda arah Utara, Timur, Selatan dan
Barat, sehingga Raden Sahit terbalik penglihatannya dan sama sekali tidak bisa
bergerak. Akhirnya memohon maaf kepada Sunan Benang dan berjanji tidak akan
mengulangi lagi segala perbuatannya. Sunan Benang memberikan petuah dan
menancapkan tongkatnya yang kemudian menyuruh Raden Sahid untuk
menunggunya sampai beliau kembali. Sunan Benang meneruskan langkah menuju
ke Cirebon.
Pada saat yang lain, Raden Patah meminta tempat tinggal kepada Sunan
Ngampel, dan akhirnya diperintah untuk menetap di Bintara yang ada tumbuhannya
bernama Glagah Wangi
Anak Sunan Ngampel (Saudara Sunan Benang) yang bernama
Masakehmahmoet, diperintahkan bertempat tinggal di Gunung Moerja untuk menjadi
Imam Agama dan bergelar Sunan Daradjat, sehingga di situ menjadi ramai.
Sunan Girigadjah bertafakur sampai ke Tingkat Insan Kamil. Setelah
bertapa terus pulang ke rumah dan kebetulan pada saat itu ada anak kecil yang
sedang menangis. Sunan Girigadjah merayunya agar tidak menangis, kebetulan
beliau posisinya dekat dengan sebongkah batu yang agak besar. Agar anak itu
berhenti menangis, batu tadi dibilang seperti gajah, ajaibnya batu tersebut benarbenar berubah menjadi gajah. Akhirnya gajah tersebut diruwat kembali oleh Sunan
Girigadjah sambil memohon ampun pada Tuhan, sehingga kembali pada bentuknya
semula.
Soenan Benang kembali menemui Raden Sahid di hutan Jatisari yang
sedang menunggu tongkat.(Pada kisah yang lain makna tongkat
adalah kayu yang mengandung arti pohon kehidupan atau
Pohon Tuba atau Sajartul Qoyum, dimana Raden sahit
disuruh mengamalkan kalimat Ya kayumu yakuyuku atau Ya
Hayyu Ya Qoyum. Tambahan Penerjemah). Di situ setelah Raden
Sahid terbukti setia, terus diwisik atau diajari ilmu rahasia oleh Sunan Benang.
Setelah sempurna akhirnya Sunan Benang pulang. Raden Sahid terus merenung
tentang Kebesaran Tuhan yang berada pada diri manusia.
Alkisah, Sang Prabu Brawijaya mendengar kabar bahwa di Bintara ada
seseorang yang akan memberontak, sehingga Prabu Brawijaya memerintahkan
untuk menyerang lebih dahulu sebelum menjadi besar. Sebelum terlaksana Dipati
Petjatanda memberitahukan bahwa yang berada di Bintoro adalah Saudaranya lain
ayah, dari putri Cina. Prabu Brawijaya ingat bahwa Putri Cina yang dianugerahkan
kepada Arja Damar dahulu sudah dalam keadaan mengandung (Sebetulnya
adalah anak dari Prabu Brawijaya). Pada akhirnya Prabu Brawijaya
memanggil Raden Patah. Yang diutus Dipati Patjatanda dan apabila tidak mau
dipanggil Dipati Patjatanda diperintahkan untuk membunuhnya. Singkat cerita, atas
dasar keterangan dan diplomasi yang sangat baik sehingga Raden Patah mau
menghadap Prabu Brawijaya. Disitu akhirnya Raden Patah diangkat menjadi Dipati
di Bintoro dengan dibekali Prajurit sebanyak 10.000. Dipati bintoro terus kembali ke
Bintoro.
Cerita selanjutnya, Raden Sahid, setelah bertapa Ngluwat dan bertapa
mengikuti arus air sungai, terus meneruskan perjalanan untuk menghadap Sunan
Gunungjati, yang akhirnya Raden Sahid dijadikan menantu, dan dikawinkan dengan
Dewi Siti Djenab. Raden Sahid diberi gelar Syech Melaya dan disuruh menempati
suatu daerah yang diberi nama Kalijaga. Syech Melaya, Raden Sahid atau lebih
dikelanl Sunan Kalijaga juga meminta ilmu kepada Sunan Gunungjati mengenai
kenyataan ilmu. Sunan Gunung Jati mengejarakan ilmu dengan menukil ajaran
‘Ulama besar dari tanah Arab seperti dari Syech Ibrahim, Syech Sabit, Syech
Muchyidina Putra dari Syech Arabi, Syech Abujajid Bestami, Syech Rudadi, Syech
Samamu Ngasarani. (tidak diterjemahkan) Setelah Sunan Gunungjati
sampai mengajarkan pada kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dimana Nabi Musa
mengaku pandai tanpa guru, hanya berpedoman pada tulisan dan mengira sudah
menguasa segala ilmu akan tetapi ternyata masih sangat-sangat jauh, sehingga
Nabi musa mendapat teguran dari Allah agar berguru kepada Nabi Khidir. Sunan
Kalijaga juga diajari cara memilih guru yang sejati dan diberitahu juga contoh guru
palsu sangat banyak. Guru yang sejati adalah bukan guru yang hanya mengajar
ngaji, bukan guru yang mengajarkan ngidung atau nembang jawa, bukan guru yang
mengajarkan tulis, bukan guru yang mengajarkan kesaktian, bukan guru yang
mengajarkan dzikir. (bagi orang jawa kesemuanya itu disebut
guru yang hanya mengajarkan Ilmu (hanya sebatas teori
dimana
yang
mengajarkan
belum
tentu
mampu
menjalankan) atau disebut juga Paguron bukan guru yang
mengajarkan Ngelmu) Sedangkan guru yang sejati adalah guru yang
mengajarkan ilmu sejati. Nabi Musa menguasai Syari’at agung dan juga menjadi
Raja, sedangkan Nabi Khidir tidak menguasai Ilmu Syari’at atau telah meninggalkan
syariat dan tidak dikenal banyak orang. Nabi Khidir hanya menggunakan
ketenangan batin atau dalam bahasa jawa “mung mungkul sareh ing lakon”. Akan
tetapi Nabi Khidir lebih tinggi derajatnya di Hadapan Allah, dimana orang awam
menganggap Nabi Musa lebih tinggi derajatnya. Sebab Ilmu itu tidak tentu berada
pada orang yang luhur, tidak tentu pada orang biasa, tidak tentu pada orang tua
ataupun orang muda. Sebab apabila telah mendapat Ridho Allah, walaupun belum
masanya, tentu akan mendapat ilmu yang sangat tinggi dibanding ulama besar yang
bagaimanapun. Setelah jelas, Sunan Kalijaga menanyakan dimana tempat Nabi
Khidir.Sunan Gunungjati memberitahu bahwa tempat Nabi Khidir adalah di Boeral
Akbar bertempat di Lutmat Goib. Setelah mendengar itu, Sunan Kalijaga mohon ijin
untuk berangkat mencari Nabi Khidir. Sunan Gunungjati termangu-mangu melihat
tekad dari Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga berjalan ke arah Utara sehingga sampai di tepi laut. Sunan
Kalijaga menemui kebingungan yang sangat dalam karena tidak bisa menyebarangi
lautan, sehingga Sunan Kalijaga bertafakur. Pada akhirnya Nabi Khidir datang
menemui Sunan Kalijaga dan mengajarkan Ilmu yang sangat banyak. (tidak
diterjemahkan) Untuk cerita tersebut bisa dibandingkan
dengan kisah Dewa Rutji yang dibuat oleh Kapunjanggan
Surakarta pada abad 19 M. Dan juga hampir sama dengan
Suluk Linglung Sunan Kalijaga/Syech Malaya, karangan
Imam Anom pada tahun 1086 Caka/1884 Masehi. Atau
dalam Wayang ceritanya mirip dengan Lakon Bima Suci
(Tambahan Pen).
Setelah Sunan Kalijaga ditinggal oleh Nabi Khidir, Sunan Kalijaga termangu
di tepi laut. Setelah agak lama Sunan Kalijaga Pulang dan semenjak itu Sunan
Kalijaga terkenal dengan nama Sunan Kalijaga.
Pada saat yang lain Sajid Ngalimurkid saudara Sunan Ngampel lain Ibu
pergi ke Tanah Jawa menuju ke Ngampel. Oleh Sunan Ngampel disuruh menetap di
Mejagung sehingga terkenal dengan nama Pangeran Mejagung (berbeda dengan
Sunan Mejagung), akan tetapi beliau tidak termasuk golongan Wali, hanya termasuk
Wali Nukba yang artinya Wali tututan atau sambungan Wali, atau disebut juga Wali
Anakan. Sedangkan yang termasuk Wali di Tanah Jawa adalah yang disebut
Sinuwun dalam arti sebagai panutan, yaitu :
1. Sunan Ngampel (Raden Rahmat)
2. Sunan Gunungjati ( Sayid Zen)
3. Sunan Ngudung (Seh Sabil)
4. Sunan Giri (Raden Santri Ngali bergelar Ngalimurtala)
5. Sunan Benang (Makdum Ibrahim)
6. Sunan Ngalim Abu Hurerah di Majagung
7. Sunan Drajat di Murya (Seh Masakeh Mahmut)
8. Sunan Kali / Raden Sahit berjuluk Seh Malaya (Wali Pamungkas).
Kesemuanya berjumlah delapan disebut Walisana yang berarti Dununganing Wali
(tempatnya Wali) (Bandingkan antara kalimat Walisana dengan
Wali Songo sekarang, barang kali karena ditelan masa dari
kalimat Walisana berubah menjadi Wali Songo. Sedangkan
Jumlahnya yang sembilan disesuaikan dengan keadaan,
yaitu di jawa timur ada 5, jawa tengah ada 3 dan jawa barat
ada 1, dimana angka ini dan angka 9 sangat erat
hubungannya dalam syarat laku dalam ilmu jawa,. Pen.)
Yang termasuk Wali Nukba atau Wali Tututan di Tanah Jawa adalah,
sebagai berikut :
1. Sunan Tembayat
2. Sunan Giri Parapen
3. Sunan Kudus
4. Sultan Sah Ngalam Akbar
5. Pangran Wijil di Kadilangu
6. Pangran Ngewongga
7. Ke Gede Kenanga Pengging
8. Pangeran Konang
9. Pangeran Cirebon
10. Pangeran Karanggayam
11. Ki Ageng Sela
12. Pangeran Panggung
13. Pangeran di Surapringga
14. Kyai Juru Martani di Giring
15. Kyai Ageng Pamanahan
16. Buyut Ngerang
17. Ki Gede Wanasaba
18. Panembahan Palembang
19. Ki Buyut di Banyubiru
20. Ki Ageng Majasta
21. Ki Ageng Gribig
22. Ki Ageng di Karotangan
23. Ki Ageng Toyajene
24. Ki Ageng Toyareka
25. Pamungkas Wali Raja Soeltan Agung.
Lanjut cerita, Sunan di Girigajah mempunyai murid dari daerah Sitijenar
yang bernama Kasan Ngali Ansar (Pada buku-buku Kisah Wali Songo
dan di semua Serat Siti Jenar tidak ada yang menyebutkan
nama aslinya) yang lebih dikenal dengan nama Sitijenar atau Syech
Lemahbang, Juga disebut Lemah Kuning, sangat ingin diajari ilmu rahasia. Akan
tetapi Sunan Giri belum mau mengajarkan ilmu itu karena belum saatnya, sehingga
menyebabkan Syeh Lemahbang sangat kecewa dan marasa tidak ada artinya pergi
ke Tanah Jawa. Syech Lemahbang sudah mengetahui tempat dimana Sunan Giri
biasa mengajarkan Ilmu Rahasia kepada murid-muridnya. Syech Lemahbang ingin
mencuri dengar ajaran tersebut dengan cara merobah dirinya menjadi Bangau putih,
lalu mendekat ke arah dimana Sunan Giri akan mengajarkan Ilmu. Akan tetapi
Sunan Giri dengan mangunahnya sudah mengetahui, sehingga pada waktu itu tidak
jadi menurunkan ilmunya kepada murid-muridnya dan ditunda pada malam jum’at
yang lain.
Pada hari jum’at yang telah ditentukan, jadilah Sunan Giri akan
mengajarkan Ilmu Rahasia kepada murid-muridnya. Syech Lemahbang segera
merobah dirinya menjadi cacing kalung dan menyusup di bawah perahu yang
digunakan oleh Sunan Giri untuk mengajarkan Ilmu Rahasia. Sunan Giri sebetulnya
sudah tau bahwa ada penyusup, akan tetapi tetap dibiarkan, sehingga Syech
Lemahbang bisa mendengar semua ajaran Ilmu Rahasia-nya Sunan Giri. Setelah
dikuasinya semua Ilmu Rahasia, Syech Lemahbang pergi dari Giri dan mendirikan
Padepokan sendiri serta menjadi Guru Besar dalam oleh Ilmu bathin sehingga
terkenal dengan sebutan Pangeran Sitijenar.
Ajaran Sitijenar hanya mengutamakan oleh rasa dan sudah meninggalkan
sembahyang. Karena kepandaian cara mengajar para murid. Perguruan Sitijenar
sangatlah terkenal. Murid Sitijenar antara lain dari Keturunan Majalengka dan
Pengging banyak yang menjadi muridnya, seperti Ki Ageng Tingkir, Pangeran
Panggung, Buyut Ngerang serta Ki Ageng Pengging.(Dari Keturunan Ki
Ageng Tingkir bersama dengan keturunan Ki Ageng Pengging
bergabung dan Kerajaan Demak yang didukung Wali
Dihancurkan diganti menjadi kerajaan Pajang dengan Jaka
Tingkir sebagai rajanya dimana Organisasi Islam terbesar di
Indonesia pendirinya adalah keturunan dari Jaka Tingkir. Dan
mulai saat itu terjadilah pergumulan Islam di Pulau Jawa
dimana nama wali tetap diagungkan tetapi sebagian
ajarannya dan sejarahnya dihapus, sehingga kacaulah
Sejarah Wali. Sebagai bukti orang Islam awam akan suka
Ziarah ke Sunan Bonang, tetapi tidak akan mau menabuh
Bonang atau gong, justru akan dikatakan apabila
membunyikan kuduanya akan terjadilah larang udan (hujan
akan menjadi jarang) dimana pada saat itu penghidupan
masyarakat banyak yang mengandalkan pertanian, sehingga
kebanyakan wilayah yang dominant dihuni orang beragama
Iskam tidak akan pernah menanggap wayang, dimana
penyempurna wayang adalah Para Wali. Ada juga yang
berpendapat bahwa sejarah kerajaan di Indonesia banyak
yang sudah dirobah oleh Penjajah, dengan tujuan agar
rakyat menilai jelek terhadap Raja, sehingga tidak
memberontak, salah satunya Kitab Pararaton adalah
kisahnya Ken Arok yang sudah dirobah uleh pujangga anthek
Belanda dengan kisah Kerisnya Empu Gandring dan semua
intriknya dimana dalam kisahnya juga didukung atau
disesuaikan dengan prasasti yang ada, sehingga bagi yang
kurang teliti akan percaya karena didukung oleh bukti yang
kuat, dan dalam penyusunan sejarah di Indonesia adalah
lebih banyak bersumber dari Kitab Pararaton tersebut. Ini
juga terjadi pada kisah Para Wali agar Islam tidak
berkembang di Indonesia. Dan Buku-buku yang dbuat oleh
Pujangga yang baik hampir semuanya dibawa ke Negaranya
dan yang terbanyak adalah pada saat Penjajahan Inggris
dengan Tokohnya Rafles yang terbanyak menghabiskan Buku
Ilmu jawa ditambah Penjajah Belanda sehingga Kitab Benang
(Buatan Sunan Bonang ditemukan di Negeri Belanda. Pen.)
Ketenaran padepokan Sitijenar mengalahkan ketenaran wali delapan. Ini bisa
dibuktikan dengan banyaknya para penduduk kota dan desa serta para Ulama
banyak yang menjadi santrinya. Lama kelamaan Sunan Giri mendengar ketenaran
Sitijenar dan berniat memanggil Sitijenar atau dengan nama lain Lemahbang. Sunan
Giri mengutus dua ulama yang tidak disebutkan namanya dan singkat cerita dua
ulama telah sampai di padepokan Lemahbang.
Dua ulama menyampaikan pesan Sunan Giri bahwa Lemahbang dipanggil
oleh Sunan Giri untuk bermusyawarah masalah Ilmu Ketuhanan. Setelah pesan
disampaikan, Lemahbang menjawab bahwa di sini tidak ada Lemahbang, yang ada
adalah Pangeran Sejati. Setelah mendengar ucapan Lemahbang seperti tersebut di
atas, dua ulama tadi pulang meninggalkan padepokan Lemahbang tanpa pamit.
Sesampainya di Giri dua ulama utusan, menyampaikan kepada Sunan Giri apa yang
telah diucapkan oleh Lemahbang. Setelah mendengar laporan dua ulama tadi,
Sunan Giri sangatlah marah, akan tetapi setelah dinasehati oleh Para Wali, Sunan
Giri akhirnya sadar. Sunan Giri kemudian menyuruh kepada dua ulama utusan untuk
kembali memanggil Lemahbang dengan menuruti apasaja kemauan Lemahbang
atau pengakuan nama Pangeran Sejati.
Setelah sampai di Padepokan Lemahbang, dua ulama utusan
menyampaikan pesan Sunan Giri bahwa Pangeran Sejati dipanggil menghadap
Sunan Giri. Pangeran Lemahbang menjawab bahwa Pangeran Sejati tidak ada yang
ada dipadepokan adalah Lemahbang, sedangkan Lemahbang adalah Wajah dari
Pangeran Sejati dan apabila Pangeran Sejati tidak mengijinkan Lemahbang untuk
berangkat, maka tidak mungkin Lemahbang akan berangkat. Akhirnya dua ulama
utusan mengatakan bahwa Pangeran Sejati dan Lemahbang dipanggil menghadap
Sunan Giri. Setelah itu barulah Lemahbang mau menghadap Sunan Giri.
Singkat cerita, sampailah dua ulama utusan dan Lemahbang di Giri.
Lemahbang dan Delapan Wali akhirnya bermusyawarah mengenai Ma’rifat kepada
Allah, dan masing-masing wali mengemukakan pendapatnya masing-masing
(tidak diterjemahkan). Setelah ke delapan Wali menguraikan pendapatnya,
Syeh Lemahbang membantah dan mengatakan jangan banyak ibarat sesungguhnya
Akulah Allah. Sudah nyata bahwa Ingsun kang sejati, bergelar Prabu Satmata dan
tidak ada yang lain. Dan masih banyak uraian yang disampaikan oleh Lemahbang.
Ke delapan wali hanya tersenyum setelah mendengar ucapan Lemahbang. Setelah
Lemahbang pulang, ke delapan wali menyimpulkan bahwa ajaran Lemahbang sesat,
akan tetapi karena belum waktunya, maka para wali yang dipimpin oleh Sunan Giri
akan mengadili Lemahbang setelah Kerajaan Demak berdiri.
Pengakuan Sitijenar tentang Akulah Allah, bisa
dibandingkan dengan Buku Ana Al Haqq Kitab Thowasin
karangan Al Halaj terjemahan terbitan Risalah Gusti, dimana
akulah kebenaran tercantum dalam Thasin bab VI Kitab
tentang Adam, AS. Pada Nomor 23 yang berisi “ Dan Aku
berkata, jika engkau tidak mengenal Dia, maka lihat tanda
abadi-Nya. Tanda yang kekal; dan tanda itu adalah aku dan
Akulah Kebenaran itu (Ana Al Haqq) dan pada hakikatnya
aku selamanya bersama dengan kebenaran itu”. Pernyataan
Al Halaj ini juga menjadi polemik para Ulama, walaupun Al
Halaj menyatakan pada akhir Kitab Thowasin pada Thasin XI,
Kitab Kebun Ma’rifat, nomor 16 menyatakan sebagai berikut,
“Yang benar tetaplah yang benar. Pencipta sebagai Kholiq,
dan segala apa yang termasuk diciptakan tetaplah mahluk.
Ini akan tetap selalu demikian”. Sedangkan kisah Sitijenar
yang
dikenal masyarakat sekarang ini kebanyakan
bersumber pada Serat Siti Djenar karangan R.P. Natarata
(1810 -1890 M) seorang Panji di Distrik Ngijon Jogjakarta
yang lebih dikenal dengan ajaran Wahdatul Wujudiyah atau
ajaran Nataratanan dimana jasadnya digantai dengan
bangkai anjing berpenyakit kudis).(Tambahan Penerjemah)
Kedelapan wali kemudian mengadakan perundingan, merencanakan
menghancurkan Majalengka atau majapahit. Yang dijagokan adalah Raden Patah,
Lembu Peteng Madura dan keluarganya yang sudah masuk Islam. Sunan Ngampel
berusaha menghalangi dengan alasan Raja Brawijaya memberi kemerdekaan
para wali dalam menyebarkan agama Islam. Akan tetapi Raden Patah memberi
alasan bahwa Raja Brawijaya belum masuk islam dan mengharapkan jangan sampai
di Jawa ada percampuran agama dan mengharapkan di jawa hanya ada satu agama
yaitu Agama Islam.
Lanjut cerita Sunan Ngampel meninggal dunia dan dimakamkan di sebelah
utara masjid Ngampel. Sedangkan yang menggantikan menjadi Imam adalah Sunan
Ratugiri dan Sunan Benang. Sunan Ratu Giri mengangkat dirinya menjadi Raja di
Giri dan bergelar Sunan Ratu dan sangat dihormati oleh rakyatnya. Yang menjadi
patih adalah anaknya Adipati Terung yang berada di Tandes, bergelar Pangeran
Palembang.
Sunan Benang setelah mendengar bahwa Sunan Giri mengangkat dirinya
menjadi Raja, Sunan Benang tidak setuju. Sunan Benang selanjutnya pergi ke
Tandes untuk menemui pamannya yang menjadi patih dan menuntut sang paman
mengapa tidak mau mengingatkan. Kedudukan Ratu Giri adalah sebagai Ulama atau
Wali, mengapa mau menjadi Raja.
Jawaban Patih bahwa sudah tidak kurang-kurang mengingatkan, akan
tetapi karenan Sunan Giri Gajah dalam keadaan sedang mendapat wahyu dan besar
mengunahnya, sehingga mengakibatkan peringatan Sang Patih tidak dihiraukan.
Oleh Sang Patih, Sunan Benang dimohon untuk menghadap Sunan Giri sendiri dan
Sunan Benang Sudah bertemu langsung dengan Sunan Giri.
Sunan Benang menanyakan kepada kakaknya yaitu Sunan Giri tetang
bagaimana jalan ceritanya sehingga Sunan Giri mengangkat dirinya menjadi Raja di
Giri. Sunan Giri menjawab bahwa dirinya menjadi raja adalah sudah Kehendak
Tuhan. Sunan Benang tidak percaya, dan meminta saksi. Sunan Giri
menyanggupinya. Sunan Benang akhirnya diajak oleh Sunan Giri untuk pergi ke
Mekah guna meminta saksi kepada Yang Maha Suci, dengan jalan Tafakur di
Rumah Allah. Sunan Benang mengikuti saja kehendak Sunan Giri.
Dalam perjalanan keduanya singgah di Malaka untuk menghadap
Kakeknya yang bernama Syech Maulana Iskak. Setelah sampai, Sunan Giri ditanya
oleh Maulana Iskak tentang apa keperluanya. Sunan Giri menjawab apa adanya.
Pada akhirnya Maulana Iskak memerintahkan kepada keduanya kembali saja ke
tanah jawa, dan tidak usah mengambil saksi ke Mekah. Cukup hanya Maulana Iskak
saja yang menjadi saksi, dengan penjelasan bahwa mengapa sunan Giri
mengangkat dirinya menjadi Raja, adalah sekedar sebagai syarat agar selamat
siapa saja yang akan mengganti raja di belakang hari. Artinya yang akan menjadi
raja pengganti nantinya jangan sampai langsung menggantikan seorang raja yang
bukan dari raja yang beragama Islam. Sunan Giri dan Sunan Benang sangat puas
atas keterangan Maulana Iskak. Pada saat itu pula Sunan Benang meminta ijin
untuk menjadi raja menyamai Sunan Giri. Syech Maulana Iskak juga menyetujui.
Sunan Giri diperintahkan menjadi raja Para Ulama. Sunan Benang diperintahkan
menjadi raja dalam soal agama dan ilmu. Keduanya akhirnya kembali ke Jawa.
Sunan Benang Menjadi raja di Ngampel, bergelar Prabu Nyakra Kusuma, juga
mempunyai nama lain sebagai julukan yaitu Ratu Wahdat.
Lain cerita, bahwa pada saat itu di Majapahit sedang terjadi wabah yang
mengakibatkan banyak para penduduk yang meninggal dunia. Prabu Brawijaya
memerintahkan kepada Kyai Bubak dan Djenal Ngabidin, meminta syarat kepada
Sunan Giri, akan tetapi Sunan Giri tidak berkenan. Sunan Giri menyatakan bahwa
apabila Prabu Brawijaya mau menghadap langsung kepada Sunan Giri, serta
menyerahkan kerajaan kepada Sunan Giri, maka barulah Sunan Giri berkenan
memberi syarat. Sebab sudah kehendak Tuhan Yang Maha Esa, bahwa kerajaan
sudah waktunya dipindahkan ke Giri.
Kyai Bubak setelah mendengar ucapan sunan Giri segera menyampaikan
kepada Prabu Brawijaya tentang apa yang telah diucapkan oleh Sunan Giri.
Sedangkan Djenal Ngabidin masih tetap tinggal di Giri. Singkat cerita Prabu
Brawijaya sangat marah dan memerintahkan untuk menyerang Giri. Dalam
penyerangan tersebut Pasukan Majapahit dipimpin oleh Arya Lekan. Awalnya Arya
Lekan menang perang. Akhirnya Sunan Giri menyipta kalam dijadikan sebuah keris
untuk digunakan melawan Arya Leka sendiri. Keris tersebut diberi nama Keris
Kalamunyeng. Dalam perang tanding antara Arya Leka dengan Sunan Giri, Arya
Leka kalah dan kembali pulang ke Majapahit, melapor kepada Prabu Brawijaya.
Keris Kalamunyeng kemudian dicipta kembali menjadi kalam lagi oleh Sunan Giri.
Lanjut cerita, Prabu Anom di Palembang yaitu anak dari Adipati Pecatonda
yang dahulu diangkat menjadi patih oleh Sunan Giri, pada saat itu sedang berada di
Tandes dengan membawa prajurit. Setelah Sunan Giri mendengar kabar tersebut,
maka Sunan Giri menyuruh untuk memanggil Prabu Anom. Akan tetapi Prabu Anom
tidak berkenan, bahkan jawabannya mau menghadap Sunan Giri dengan syarat
diperbolehkan duduk sama tinggi dengan Sunan Giri. Sunan Giri marah, akan tetapi
ditutupi kemarahannya itu. Akhirnya Prabu anom diperkenankan duduk sama tinggi
dengan Sunan Giri.
Singkat cerita Prabu Anom sudah menghadap dan duduk sama tinggi
dengan Sunan Giri. Pada saat itu Sunan Giri menunjukan kemarahannya. Prabu
Anom dimarahi oleh Sunan Giri sehingga Prabu Anom sangat ketakutan dan tidak
bisa berkata apa-apa, malahan badannya lemas dan turun dari tempat duduk sambil
menyembah kepada Sunan Giri. Akhirnya Prabu Anom dimaafkan dan diambil anak
angkat oleh Sunan Giri. Sunan Giri sangat menyayangi Prabu Anom, bahkan Prabu
anom dianggap sebagai anak kandungnya sendiri dan dianggap sebagai anak yang
paling tua dan diberi gelar Prabu Anom Suradiraja. Prabu Anom menyatakan
kepada ayah angkat sanggup menyerang orang yang bukan Islam, akan tetapi
Sunan Giri tidak menyetujuinya yang disebabkan Prabu Anom kedudukanya bukan
sebagai ahli waris. Sunan Giri takut pada kutukan Tuhan Yang Maha Esa. Prabu
Anom mohon ijin pulang ke Palembang. Sunan Giri menyetujuinya dan memberi
pendaping seorang yang bernama Pecantanda seorang sesepuh di Surabaya.
Pecantanda di Palembang diberi penghargaan tanah di Maospura dan di Balitung.
Pada saat itu Adipati Terung ayah dari Prabu Anom mendengar kabar tentang
keadaan putranya sehingga Adipati Terung sangat bahagia.
Lain cerita, di tanah Pati ada seseoang yang mengajarkan ajaran
menyimpang dari aturan syariat Agama Islam. Sunan Giri mengutus Ki Panangsang
untuk meredam. Akan tetapi Ki Panangsang kalah perang dan kembali ke Giri.
Sunan Giri memerintahkan agar yang membikin onar di Pati dibiarkan dahulu, sebab
pada saat itu belum tiba pada hari naasnya, yang bisa mengakibatkan tanpa hasil.
Pada saat yang lain, Adipati Tuban dan Daha menyimpang juga dari ajaran
syariat Islam. Ki Panagsang mendapat tugas dari Sunan Giri untuk menyerbu ke
Tuban dan Daha. Pasukan Tuban karena merasa kalah kuat tidak mau melawan,
bahkan Adipati Tuban mengutus utusan menyatakan menyerah kepada Sunan Giri.
Sunan Giri sangat bahagia dan mengutus Ki Panagsang menggagalkan
penyerangan dan diperintahkan kembali ke Giri. Atas jasa Ki Pangsang maka Sunan
Giri mengangkat Ki Panangsang menjadi Ariya, sehingga namanya menjadi Ariya
Panangsang.
Lanjut cerita, Sunan Giri meninggal dunia dan dimakamkan di Giri. Atas
kehendak Sunan Benang, sepeninggal Sunan Giri, yang diangkat menjadi raja
adalah anak yang tertua yang bernama Pangeran Dalem, kemudian bergelar Sunan
Giri ke II.
Prabu Brawijaya mendengar bahwa Sunan Giri telah meninggal dunia,
sedangkan yang menggantikannya adalah anaknya. Prabu Brawijaya marah, karena
merasa tidak dianggap oleh Sunan Giri. Sebagai tandanya adalah pengangkatan
raja tidak sepengetahuan dirinya, sehingga dianggap bahwa Giri akan memberontak.
Sebelum menjadi besar Prabu Brawijaya memerintahkan menyerang lebih dahulu.
Yang diutus adalah arya Gajahpramada. Singkat cerita Giri kalah dan Sunan Giri II
melarikan diri ke pinggir laut bersama dengan kerabatnya, juga bersama sahabat
yang bernama Wanapala dan melajutkan pelarian ke hutan Krendawaha guna
mendirikan desa.
Setelah Giri dalam keadaan kosong, semua rumah dibakar oleh pasukan
Gajah Pramada, bahkan makam Sunan Giri I dibongkar, akan tetapi tidak ada yang
bisa, sebab semuanya pingsan. Di dekat makam ada dua orang Giri dan masingmasing mempunyai ciri, yang satu buta dan yang satu pincang. Kedua orang
tersebut oleh Patih Gaja Pramada dipaksa membongkar makam Sunan Giri I.
Karena kedua orang tersebut takut akan dibunuh sehingga mau. Dalam penggalian
tidak ada halangan. Akan tetapi setelah papan penutup makam sudah nampak,
keluarlah banyak lebah dari dalam makam dan menyengat pasukan Majapahit.
Semua pasukan melarikan diri ke Majapahit. Akan tetapi lebah terus mengejar
sampai ke pusat kerajaan Majapahit. Bahkan Prabu Brawijaya beserta kerabatnya
dikejar terus oleh lebah. Singkat cerita Prabu Brawijaya mengungsi ke Wirasaba.
Kerajaan dikosongkan.
Setelah Majapahit kosong, Sunan Giri II kembali ke Giri. Akan tetapi karena
rumah-rumah di Giri telah habis terbakar, maka Sunan Giri II memerintahkan untuk
mengambil rumah-rumah yang kosong di Majapahit untuk dibawa ke Giri. Singkat
cerita Giri sudah kembali seperti sedia kala.
Setelah lebah sudah hilang, Prabu Bwawijaya juga kembali ke Majapahit.
Semua rumah yang sudah dibawa ke Giri diganti, sehingga di Majapahit sudah
kembali seperti sediakala.
Pawa Wali beserta Putra Mapajapit, Prabu Jaran Panolih dari Sumenep, Sri
Lembupeteng dari Madura, Dewa Ketut dari Bali, Batara Katong dari Panaraga,
berkumpul di Bintara bermusyawarah akan menghancurkan Majapahit. Yang
dijadikan Senopati adalah Sunan Benang. Dipati Bintara hanya dipersiapkan
sebagai Raja. Dipati Bintara memerintahkan duta dengan mambawa surat yag
ditujukan kepada Dipati Terung. Duta sudah berangkat. Sepeninggal pembawa surat,
para wali berniat membuat sebuah Masjid. Dalam pembuatan masjid para Wali
berbagi tugas. Sunan Kali ditugasi membuat satu tiang, akan tetapi belum siap yag
akhirnya Sunan Kali mengumpulkan Tatal dan disabda menjadi tiang. Singkat cerita
Masjid sudah selesai dibangun. Akan tetapi Para Wali ragu dan kuatir barangkali
arah kiblat tidak sesuai. Sunan Kali kemudian membentangkan tangannya, tangan
yang satu memegang Ka’bah, dan tangan yang satunya lagi memegang
pengimaman masjid. Kemudian dibetulkan arah kiblatnya. Setelah sempurna barulah
Para Wali Sholat. Setelah pagi di dalam masjid ada sebuah benda tergantung tanpa
gantungan yang kemudian diambil oleh Para Wali. Setelah dibuka benda tadi adalah
sebuah pakaian taqwa yang ada tandanya, bahwa pakaian tersebut adalah untuk
Sunan Kalijaga. Selanjutnya pakaian tersebut oleh Para Wali diserahkan kepada
Sunan Kalijaga, sehingga sangat bersyukurlah beliau kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Sunan Benang mengatakan bahwa baju tersebut adalah bekas dipakai sholat
oleh Kanjeng Nabi Muhammad, SAW. dan baju tersebut bernama antakusuma.
Sedangkan yang pantas memiliki dan memakainya adalah yang akan menjadi Ratu
di Tanah Jawa.
Dalam rencana mengahncurkan Majapahit, Sunan Ngudung yang
diperintahkan untuk menyerang lebih dahulu. Pasukan Sunan Ngudung berkumpul
di Surabaya. Akan tetapi Sunan Ngudung mendapat pesan dari Sunan Benang
apabila berperang dengan Dipati Terung agar sekedarnya saja. Singkat cerita Sunan
Ngudung beserta pasukan berangkat dengan membawa pusaka Kjai Antakusuma
(Kjai Gondil). Prabu Brawijaya mendengar bahwa Majapahit akan diserang,
sehingga Prabu Brawijaya memerintahkan kepada Patih Gajahmada untuk
menghadapinya.
Lanjut cerita, Dipati Terung sudah mendapat surat dari kakaknya yang berisi
rencana penyerangan ke Majapahit. Dipati Terung juga menyetujui, akan tetapi
dalam memberangkatkan pasukan dengan cara menyamar agar tidak diketahui.
Rencana Dipati Terung sangat menggembirakan Sunan Benang, sehingga Sunan
Benang memberangkatkan pasukannya dari Demak.
Dipati Terung mendapat perintah Prabu Brawijaya supaya menghadapi
penyerang, dengan didampingi oleh anak sulung dari Prabu Brawijaya yang
bernama Prabu Anom Atmawijaya. Singkat cerita Sunan Ngudung sudah perang
tanding melawan Dipati Terung. Sunan Ngudung kalah dan meninggal serta
dimakamkan di sebelah barat Masjid Demak. Dan yang menggantikan pimpinan
perang adalah Sunan Kudus.
Dipati Bintara beserta kerabatnya pergi ke Surabaya untuk menyiapkan diri
guna menyerang Majapahit. Dipati Bintara mendapat tugas menjaga pantai utara.
Sunan Benang beserta para Auliya bertugas menjaga di sebelah barat. Batara
Katong dari Panaraga beserta Raja Dewaketut dari Bali menjaga di sebelah selatan.
Sri Lembupeteng dari Madura beserta Prabu Jaran Panolih dari Madura mendapat
tugas di sebelah Timur.
Pabu Brawijaya memerintahkan para senopati perangnya untuk
menyerang. Singkat cerita terjadilah perang besar. Dipati Bintara menggelar Sorban
dari Sunan Gunungjati. Dari dalam Sorban keluar tikus yang sangat banyak.
Pasukan Majapahit lari tunggang langgang. Hari berikutnya Dipati Bintara
mengeluarkan keris Kalamunyeng wasiat dari Giri. Dari situ keluar lebah yang
sangat banyak mengejar dan menyengat pasukan Majapahit. Dipati Bintara
kemudian juga mengeluarkan peti dari Palembang. Dari dalam peti mengeluarkan
suara yang sangat keras bagaikan petir yang mengakibatkan bumi bergetar, yang
kemudian mengeluarkan mahluk halus langsung menyerang atau lebih jelasnya
menyantet pasukan Majapahit. Sunan Benang mengeluarkan tongkat saktinya dari
tongkat keluar keris yang sangat banyak yang bisa bergerak sendiri menyerang
pasukan Majapahit. Pasukan Majapahit kalah dan lari tunggang langgang. Prabu
Brawijaya melarikan diri ke Panaraga. Di Panaraga Prabu Brawijaya mengumpulkan
sisa pasukan serta para penduduk yang masih setia yang bersedia membantu.
Dipati Bintara bermusyawarah dengan para wali serta mengirim surat kepada
ayahnya yaitu Prabu Brawijaya yang isinya agar Prabu Brawijaya berkenan kembali
ke Majaphit dan akan dijadikan sesepuh dengan syarat Prabu Brawijaya bersedia
masuk Islam, dan apabila tidak berkenan, maka terserah Prabu Brawijaya. Setelah
surat dibaca, Prabu Brawijaya sangat marah. Singkat cerita terjadi perang kembali.
Pasukan Majaphit kalah perang. Prabu Brawijaya melarikan diri dan terpisah dengan
Istri dan kerabatnya yang berlari tanpa arah mencari hidup sendiri-sendiri.
Sedangkan runtuhnya Kerajaan Majapahit menurut
fersi Serat Darmagandul dalam bentuk tembang Macapat
Dandanggula sebagai pembanding adalah sebagai berikut :
1. Mula tjrita Madjapahit, nora timbang sahambaning
pradja, ja ambane djadjahane, tjinekak tjaritanipun,
sabab buka wadining Hadji, putra prang lawan bapa,
sakalangkung saru, ing nganggit para pudjangga,
anjemoni bedahe ing Madjapahit, pinatjak lajang babat.
2. Marga saking kramating pra wali, kerisira Sunan
Giripura,
tinarik metu
tawone,
ngentup wong
Madjalangu, Sunan Tjerbon badonge midjil, tikus jutan
awendran, mangsa sakeh sangu, miwah bekakas
turangga, bubar giris wong Madjalengka sru miris, tikus
jutan awendran.
3. Peti saking Palembang nagari, dipun bukak madyanign
paprangan, djumedul metu demite, neluh wong
Madjalangu, bubar giris tineluh demit, Sang Prabu
Brawidjaja, mekrat sedanipun, iku pasemon sadaja
bedahira, ing Madjapahit sajekti kadya kang kotjap
ngarsa.
4. Madjalengka iku wudjud nagri, nora kaja sindjang kena
rusak, rusak dikrikiti bahe, lan malih lumrahipun, tawon
bubar den manusa djanmi, wana kerkeh demitnya,
rusake ginempur, mring wadya kang mamrih bangga,
among lagja bedahe ing Madjapait, pradja gung
bedahira.
5. Marga saking tawon tikus demit, iku kanda ing
tjaritanira, pralambang pasemon bae, sapa pertjaja iku,
tanda djalma uteke isi, tletong babi lan sona, jen djalma
satuhu, kang simpen utek mardika, tan pratjaja nalare
aneh kapati, tan tepung lawan nalar.
6. Nora tjotjok lahir lawan batin, iku tandane tjarita dora,
pralambang pasemon kabeh, jen tinulisa tuhu, tjaritane
ing Madjapahit, ambuka wadi nata, pudjanggane takut,
7.
8.
9.
10
.
11
.
12
.
13
.
mila pasemon kewala, pasemone pralambangira asami,
mangkene tegesira.
Tikus iku watek krikit-krikit, lama-lama jen den umbar
ngrebda,
pangane
angentekake,
Para
Ngulama
Ngarbun, praptanira ing tanah djawi, among badan
sapata, sowan mring Sang Prabu, pada njuwun
panguripan, diparingi bareng wus lemu kang paring,
urip nulja dirusak.
Tawon iku gawa raga manis, gegamane aneng silitira,
tala gowok paturone, puniku semonipun, pan sanjata
wong Islam iku, mung manis rembug ngarsa, ngentup
saking pungkur, akolu angrusak pradja, Madjalengka
Ratu ingkang ngurip-urip, weh gawok kang miharsa.
Dene demit den wadahi pethi, gja binukak neng
madyeng ranangga, djumeglug metu demite, tegese
pralambang niku, nglimbang galih ganti agami, pethi
punika wadah, simpenan kang brukut, demit niku makna
samar, tukang teluh bedah nagri Madjapahit, den teluh
primpen samar.
Nora ana tjritane kawidjil, samudana seba ngestupada,
lakune
kimagetake,
mulane
pra
nung-anung,
Madjalengka tan wikan masih, durung nganti sadija.
Kaprabon prang pupuh, Dipati Terung nagara, wus
bijantu mring demak dipati, ambedah Madjalengka.
Ambijantu ngrajah djroning puri, buku-buku betuwak
karadjan, sarak buda pikukuhe, dipun obong sadarum,
dimen sirna agama budi, supaja mituhuwa, marang
sarak rasul, iku tjritane kang njata, ing bedahe ija nagri
Madjapahit, timbang kalawan nalar.
Nora ana tjrita dingin-dingin, nagri agung kaja
Madjalengka, bedahe den tupi tawon, lan den krikiti
tikus, bubar sarta den teluh demit, bedahe Madjalengka,
apan amisuwur, djumeglug swara lir gelap, suwarane
warata satanah indi, wong Islam watakira.
Kaja tawon, tikus lawan demit, nora weruh betjikanign
Radja, asikara tanpa wite, awit weruh puniku para sunan
sinebut wali, wali iku walikan, kekarepanipun, mawas
ngulon nolih ngetan, jamulane den betjiki angalani,
mring Ratu Madjalengka.
14
.
15
.
Wali wolu sanga kang tinari, den mumule mring sagung
wong djawa, udjar puniku tegese, tegese wali wolu
sunan wolu mbalela mbalik, sangane Raden Patah, tinari
ing kewuh, ing ngangkat djumeneng Nata, sarta ngrusak
karaton ing Madjapait, mungsuh bapa tur radja.
Dst. (Pen)
Cerita selanjutnya, Dipati Bintara terus mencari dan mengejar ayahnya.
Dalam saat pengejaran kebetulan berjumpa dengan Istri Prabu Brawijaya yang
bernama Putri Dwarawati, memohon hidup. Sang Putri kemudian dibawa ke Benang.
Prabu Brawijaya tinggal sendirian, sehingga putus asa. Kemudian mengasingkan diri
di Gunung Sawar. Di situ kemudian meninggal dunia dan dari jasadnya
mengeluarkan cahaya yang sangat terang. Caha yang memancar dari Gunung
sawar kemudian didatangi oleh Dipati Bintara. Setelah tau bahwa ayahnya sudah
meninggal dunia, dipati Bintara memeluk sambil menyesal. Kemudian ketahuan
Sunan Benang. Sang Dipati Bintara dirayu agar hatinya tenang. Kemudian Jasad
Prabu Brawijaya dimakamkan di Demak. Yang mengangkat jasadnya, dipati Bintara
dan Sunan Benang Sendiri. (Berbeda dengan yang diceritakan di
Buku darma Gandul dimana Prabu Brawijaya melarikan diri
ke Timur, berniat mengumpulkan kekuatan Majapahit dari
Bali, Kalimatan, Sumatra dan yang lain. Baru sampai di
Banyuwangi disusul oleh Sunan Kalijaga yang mengemban
tugas dari dipati Bintara untuk mengislamkan Prabu
Brawijaya dan setelah berhasil diislamkan dua abdi yang
bernama Sabda Palon dan Naya Genggong atau sebutan lain
adalah Kyai Semar tidak mau masuk Islam kemudian muksa
dan akan menagih janji dalam kurun waktu kurang lebih 500
tahun. Menurut kisah di sini setelah meninggal dunia Prabu
Brawijaya di Makamkan di Trowulan dan diberi nama Makam
Putri Cempa, dan tempatnya diberi nama Trowulan yang
berarti Sastra Wulan atau Ilmu Wanita (yang bermakna
bahwa Prabu Brawijaya menggunakan rasa seperti wanita
atau rasa kasihan atau tidak tega untuk menghacurkan
pasukan demak karena yang dihadapi adalah putranya
sendiri
sehingga
pasukan
Majapahit
diperintahkan
menyerang sekedarnya saja) dan Taralaya yang berasal dari
Sastra Laya atau matinya ilmu, yang dimaksud adalah
matinya ilmu jawa dan akan bangkit setelah Sabda Palon
Naya Genggong nagih janji.( Pen.).
Setelah pemakaman kemudian para Wali bermusyawarah. Dipati Bintara
diangkat menjadi Raja di Demak dan bergelar Ngawantipura. Akan tetapi dengan
syarat, Sunan Giri II dinobatkan menjadi Raja terlebih dahulu selama 40 hari.
Tujuannya adalah untuk memberi jarak bahwa dalam pengangkatan Dipati Bintara
menjadi raja bukan menggantikan seorang raja yang bukan beragama Islam.
Setelah genap 40 hari Sunan Giri II meletakan jabatannya sebagai raja dan
digantikan oleh Dipati Bintara. Dipati Bintara bergelar Sultan Syah Ngalam Akbar
Brawijaya Sir’ullah Kalipati Rosulillah Waha Amiril Mukminin Tajuddin Ngabdul
Kamitchan. Sedangkan yang diangkat menjadi patih adalah putra dari Ki Ageng
Wanapala yang bernama Patih Mangkurat. Sedangkan yang menjadi Penghulu
adalah Sunan Benang. Untuk Wali yang lain diangkat menjadi Pujangga. Ki Ageng
Wanapala diangkat menjadi Jaksa.
Cerita selanjutnya, Istri Prabu Brawijaya yang bernama Dewi Erawati,
karena tidak kuat menahan kesedihan, akhirnya meninggal dunia. Oleh para Wali,
dimakamkan di Dusun Karangkajenar.
Selanjutnya, Prabu Anom Atmawijaya Putra Prabu Brawijaya, berniat
mengadakan pemberontakan bergabung dengan Dipati Terung. Dalam
pemberontakan ini yang menghadapi adalah Sunan Kudus. Prabu Anom Atmawijaya
kalah perang dan melarikan diri ke Gunung Lawu bergelar Ki Ageng Gugur.
Sedangkan Dipati Pecatanda di Terung menyerahkan diri dengan dikawal oleh
Sunan Kudus menghadap ke Bintara, kemudain diangkat menjadi Dipati di Terung,
juga ikut menyiarkan agama Islam. Anak Dipati Terung yang bernama Ayulinuwih
diambil oleh Sultan, kemudian di
Semua berjumlah delapan disebut Walisana yang berarti Dununganing Wali (tempatnya
Wali) (Bandingkan antara kalimat Walisana dengan Wali Songo
sekarang, barang kali karena ditelan masa dari kalimat Walisana
berubah menjadi Wali Songo. Sedangkan Jumlahnya yang
sembilan disesuaikan dengan keadaan, yaitu di jawa timur ada 5,
jawa tengah ada 3 dan jawa barat ada 1, dimana angka ini dan
angka 9 sangat erat hubungannya dalam syarat laku dalam ilmu
jawa,. Pen.)
TERJEMAHAN BEBAS SULUK WALI SANA
YANG MENCERITAKAN ASAL MULA WALI DI TANAH JAWA
Sumber penulisan ini adalah menyadur bebas dari Suluk Walisana
karangan Kangjeng Susuhunan Giri ke II, yang dikarang pada tahun Suryasangkala
1414 atau tahun Candra Sangkala 1450, berbentuk Tembang Macapat berbahasa
Jawa Kuna, Naskah Aslinya menggunakan huruf jawa, dan sadurannya diterbitkan
oleh Penerbit Tan Khoen Swie – Kediri pada tahun 1938.
Asalmula Wali di tanah jawa berasal dari pengembaraan seorang Ulama
Besar dari Tanah arab yang bernama Syech Maulana Ibrahim masih keturunan Nabi
Muhammad SAW. Beliau mengadakan pengembaraan sampai ke Kerajaan Kijan di
Cempa yang pada akhirnya dia menjadi menantu Raja Kijan kawin dengan Dyah Siti
Asmara dan mempunyai 2 anak yang bernama Raden Santri dan Raden Rahmat.
Pada saat yang sama Permaisuri Raja Kijan juga melahirkan anak yang diberi nama
Ngalim Abuhurerah. Ketiganya yaitu Raden Santri, Raden Rahmat dan Ngalim Abu
Hurerah ingin pergi ke Pulau Jawa menengok Bibi-nya yang menjadi Istri Prabu
Brawijaya V yang berjuluk Putri Cempa. (Mengenai Silsilah para wali
didalam kisah ini dan selanjutnya dalam terjemahan ini
sangat jauh berbeda dengan silsilah kisah Wali Songo yang
lain. Ini bisa dibandingkan dengan Buku Jejak Kanjeng Sunan
Perjuangan Wali Songo yang dibuat oleh Yayasan Festifal
Wali songo dimana buku ini adalah yang paling banyak
menngunakan Daftar Pustaka dibanding dengan buku
tentang kisah Wali Songo yang lain. Pen).
Dalam perjalanan ke Pulau jawa ketiganya menumpang kapal milik
seorang Saudagar dan setelah kapal sampai di Kamboja kapal pecah dan terdampar
yang pada akhirnya dittolomg oleh Saudagar yang lain sehingga sampailah di
Palembang untuk menemui dan mengislamkan Arya Damar, dimana Arya Damar
adalah Ayah dari Raden Patah yang juga mempunyai saudara lain yaitu Raden
Kasan dan Yusup. Selanjutnya ketiganya melanjutkan perjalanan ke Majapahit dan
bertemu dengan Patih Gajah Mada di Kepatihan. Ketiganya kemudian diantar untuk
menemui Brabu Brawijaya V. Dalam pertemuannya dengan Raja, ketiganya
berusaha untuk mengislamkan Raja dimana Raja tetap tidak mau masuk Islam.
Akhirnya Raden Santri, Raden Rahmat dan Ngalim Abu Hurerah tidak senang
tinggal di Majapahit dan ingin pulang ke negri Cempa walaupun Raja Brawijaya V
menginginkan agar ketiganya tetap tinggal di Majapahit. Pada saat itu kebetulan ada
Saudagar dari Cempa yang mengabarkan bahwa Kerajaan Kijan di negri Cempa
sudah hancur yang diakibatkan oleh perang, sehingga ketiganya tidak jadi kembali
ke negri Cempa dan tetap tinggal di Majapahit. Pada akhirnya oleh Prabu Prawijaya
V ketiganya dikawinkan dengan anak dari Aryo Tejo seorang Adipati di Tuban.
Raden Santri mendapatkan Retno Maninjong, Raden Rahmat dengan Siti
Manila sedangkan Ngalim abuhurerah dengan Retno Sadasar. Kemudian Ketiganya
pindah ke Suraswati atau Surabaya wilayah Aryo Lembusuro. Raden Santri
bertempat tinggal di Gresik dan berjuluk Ngalimurtala. Sedangkan Raden Rahmat ke
Suraprinngo dan berjuluk Sunan Ngampel Dento. Sedangkan Ngalim Abuhurerah
bertempattinggal di Majagung (sekarang bernama Mojoagung di Mojokerto) dan
kawin lagi dengan Rara Siti Kantum anak dari Aryo Baribin madura.
Lanjut cerita, Sayid Nges dengan Sayid Jakoeb pergi ke tanah Jawa, Sajid
Nges menuju Majalengka, sayid Jakoeb menuju Balambangan. Sajid Nges oleh
Prabu Brawijaya,diberi gelar Soetamaharadja kemudian pergi ke Ngampel Dento,
dan menjadi Imam di Demak. Sajid Jakoeb kemudian dijadikan menantu oleh Prabu
Blambangan kawin dengan Dewi Sabodi, dan diberi nama Pangeran Lanang.
Pangeran Lanang kemudian diusir oleh Prabu Blambangan disebabkan kerena
menyiarkan Agama Islam. Selanjutnya Pangeran Lanang pergi ke Ngampeldento
dan menjadi imam di Tukangan.
Alkisah Dewi Sabodi pada saat ditinggal oleh Pangeran Lanang sedang
mengandung, dan melahirkan bayi laki-laki yang selanjutnya dilarung oleh Prabu
Blambangan yang kebetulan pada saat itu di Blambangan terjadi Pageblug atau
wabah penyakit dan dikiranya penyebabnya adalah bayi tersebut. Kendaga yang
berisi bayi pada akhirnya ditemukan oleh Juragan Kamboja yang tidak disebutkan
namanya di Gesik dan dirawat, karena usianya yang sudah lanjut akhirnya juragan
tersebut meninggal dunia sedangkan bayinya dipelihara oleh Nyai Juragan yang
kemudian diberi nama Raden Satmata.
Lanjutnya cerita, Janda Juragan Kamboja di Gresik meninggal dunia.
Semua hartanya menjadi milik Raden Satmata , akan tetapi berhubung Raden
Satmata belum dewasa sehingga hartanya dititipkan kepada Saudara dari Janda
Juragan Kamboja tadi. Pada suatu hari Raden Satmata sedang bermain di pinggir
laut, dan kebetulan pada saat itu ada Juragan Layar yang lewat karena tertarik pada
Raden Satmata kemudian mendatangi Raden Satmata dan menawarkan kepada
Raden Satmata agar mau untuk menjadi anaknya. Raden Satmata tidak keberatan,
selanjutnya Raden Satmata di ajak ke rumah Juragan tersebut yang berada di
Benang. Pada akhirnya karena usianya yang sudah lanjut, Juragan tersebut
meninggal dunia dan semua harta warisannya menjadi hak milik Raden Satmata.
Raden Satmata kemudian menjadi Saudagar layar dan berlayar menuju ke pulau
Bali dengan membawa barang dagangan berupa Penjalin dan bermacam-macam
kayu. Keuntungannya dalam berdagang sangat banyak akan tetapi karena di Bali
banyak orang miskin dan pengemis, maka semua uang keuntungan dari hasil
berdagang dibagi-bagikan semuanya sambil berdakwah sampai habis tanpa tersisa.
Oleh sebab semua uangnya habis untuk beramal, tukang perahu dalam
rombongan yang bernama Baroes Samsoe menuntut Raden Satmata soal habisnya
uang. Raden Satmata menjelaskan kepada tukang prahu, bahwa semua orang yang
mau menolong kepada sesama tentu akan mendapatkan pahala dari Tuhan,
kemudian Raden Satmata memuja suatu benda sehingga berubah menjadi emas
dan intan sehingga tukang perahu percaya pada mangunah yang dimiliki Raden
Satmata. Raden Satmata kemudian memerintahkan agar kapal yang berjumlah tiga
buah diisi dengan batu padas, kerikil, pasir dan daun pisang kering untuk dibawa
pulang. Setelah sampai, Raden satmata berdo’a pada Tuhan, sehingga pasir
berubah menjadi beras dan kopi, batu padas jadi emas dan kerikil berubah menjadi
inten dan sesampainya di Benang semua barang tersebut dibagi-bagikankan,
sedangkan Tukang Prahu mendapat bagian paling banyak yang kemudian dijadikan
modal berdagang. Raden Satmata pergi menggembara lagi.
Lanjut cerita, Raden Satmata di Benang ingin pergi ke Mekah dan mampir
dulu di Malaka untuk menemui Maulana Iskak untuk berguru. Setelah Maulana Iskak
bertanya ternyata Raden Satmata adalah cucunya sendiri anak dari Wali Lanang.
Raden Satmata kemudian minta diajari tentang ilmu sejatinya Pangeran, ilmu
sejatinya Allah Muhammad, nama tujuh dan perbuatannya sampai tamat. (Karena
Sulit diterjemahkan inti ajaran tidak diuraikan, demikian pula untuk inti ajaran
selanjutnya hanya pokok-pokoknya saja)
Setelah merasa cukup berguru, Raden Satmata tidak jadi pergi ke Mekah,
tetapi kembali ke Benang. Tidak lama kemudian pindah ke Jipang terus ke Tandes
dengan menumpang kapal milik Ki Panangsang, untuk menemui Pangeran di Nitih.
Setelah bertemu akhirnya Raden Satmata diangkat anak serta dijadikan Imam
Agama bergelar Pangeran Kalifah. Tidak lama kemudian pindah ke Girigajah untuk
bertafakur. Selanjutnya pergi ke Ngampel dan bertemu dengan Sunan Ngampel
untuk berguru. Sunan Ngampel mengajarkan manunggalnya makhluk dengan Tuhan
(Manunggaling Kawulo Gusti). Kemudian Raden Satmata yang telah berjuluk
Pangeran Kalipah diambil manantu oleh Sunan Ngampel kemudian pulang ke
Tandes untuk menjadi Raja Pandita dan menjadi Imam Agama dan akhirnya
menetap di Girigajah.
Syech Walijoelislam (nak sanak Sunan Ngampel) pergi ke tanah jawa
menuju Ngampel. Terus menetap di Pasuruan dan diambil menantu oleh Dipati
Pasuruan kawin dengan Rara Satari. Kemudian pindah menjadi Imam Agama di
Pandanaran – Semarang dan dijadikan adipati oleh Prabu Brawijaya.
Syech Maulana Iskak, Kakek Sunan Ngampel (Anak Syech Yunus) pergi ke
Jawa bersama dengan anaknya yang bernama Kalipah Kusen dengan tujuan ke
Ngampel. Setelah sampai di Ngampel kemudian meneruskan perjalanan ke Madura.
Di Madura diambil menantu ipe oleh Prabu Lembupeteng kawin dengan anak dari
Aya Baribin.Setelah agak lama mengajarkan Agama Islam di Madura, akan tetapi
Sang Parabu tetap tidak mau masuk Islam yang pada akhirnya keduanya diusir dan
Maulana Iskak kembali ke Malaka sedangkan Kalipah Koesen kembali ke Ngampel.
Sepeninggal kedua Maulana tersebut, Prabu Leboepeteng terus menyusul
ke Ngampel dengan tujuan akan menyulik Sunan Ngampel. Akan tetapi tidak bisa
dikarenakan Mangunahnya Sunan Ngampel. Akhirnya Lemboepeteng masuk Islam
dan kembali ke Madura bersama Kalipah Koesen. Kalipan Koesen terus pergi ke
Sumenep menemui Sri Djaran Panolih, kemudian pergi ke Baliga untuk
mengislamkan keduanya dan akhirnya kembali ke wilayah Lemboepeteng.
Maulana Machribi dan Maulana Gaibbi saudara muda dari Maulana Koesen
pergi ke Jawa menuju ke Ngampel Dento. Maulana Machribi kawin dengan Retna
Marakis anak dari Arja Tedja di Tuban. Maulana Gaibbi kawin dengan Niken Soedara
anak dari Gadjah Maodara. Kemudian keduanya menetap di Banten, akan tetapi
Maulana Machribi kembali ke Ngegri Cempa dikarenakan di Banten tidak kerasan.
Sajid Djen juga ke Jawa, menuju ke Ngampel terus menetap di Cirebon dan
terkenal dengan nama Soenan Goenoengdjati.
Alkisah, Sang Syech Walijoel Islam di Semarang sudah mempunyai tiga
orang anak masing-masing bernama Syech Kalkoem bertempat di Pekalongan,
Syech Ngabdullah bertempat di Kendal, Ngabdoelrachman bertempat di Kaliwungu.
Syech Djamhoerngali (Nak sanak dari Maulana Machribi) juga pergi ke
Jawa menuju ke Ngampel, kawin dengan anak dari Dipati Padjarakan yang bernama
Rara Sampoersari dan menjadi Imam di Padjarakan, juga kawin lagi dengan Putri
Kebontjandi.
Syech Samsoetabarit, adalah Paman Misanan dari Sunan Ngampel pergi
ke Jawa, dan menjadi Imam di Panaraga.
Alkisah Prabu Dajaningrat dari Pengging menyerbu Semarang sehinga
terjadi perang besar. Syech Wali’oelislam gugur dalam perang. Syech
Soetamaharadja mengungsi ke Demak dan meninggal dunia. Syech Kaklkoem
mengungsi ke Benggala. Syech Djatiswara mengungsi ke Gunung Merbabu. Syech
Abdoerrachman kembali ke Atasangin.
Siti Oemikasoem, anak dari Syech Wali’oelislam dengan anak dari Syech
Soetamaharadja yang bernama Siti Djenab mengungsi ke Cirebon berlindung
kepada Soenan Goenoengdjati.
Cerita selanjunta Arja Damar di Palembang mempunyai 2 orang anak, yang
pertama bernama Raden Patah dan Raden Koesen putra Majapahit dari seorang ibu
yang bernama Dewi Soebantji. Keinginan Arja Damar agar Raden Patah mau untuk
menjadi Ratu, akan tetapi Raden Patah tidak berkenan, sehingga Arja Damar
memberikan nasihat syarat laku seorang ratu (tidak diterjemahkan)
Raden Patah tetap pada pendiriannya dan tidak mau untuk menjadi raja,
dan akhirnya melarikan diri bersama Raden Koesen. Dalam perjalanan, keduanya
berjumpa dengan Syech Sabil untuk bersama-sama meneruskan perjalanan menuju
ke Pulau Jawa. Dalam perjalanan madapatkankan rintangan dirampok, akan tetapi
ketiganya selamat dan melanjutkan perjalanan menuju Gunung Rasamuko. Pada
akhirnya ketiganya ditolong oleh Juragan Layar sehingga sampai ke Pulau Jawa.
Raden Patah berguru kepada Soenan Ngampel, Raden Koesen dan Syech Sabil
mengabdi kepada Prabu Brawijaya. Raden Koesen diangkat menjadi Dipati Teroeng.
Syech Sabil diutus ke Ngampel, di situ diperintahkan ke Ngudung, sehingga Syech
Sabil terkenal dengan nama Sunan Ngudung.
Oleh Sunan Ngampel Raden Patah diambil menantu dan dikawinkan
dengan Ratoe Panggoeng. Anak Sunan Ngampel yag bernama Makdoem Ibrahim
diutus ke Wilayah Benang sehingga terkenal dengan sebutan Sunan Benang.
Alkisah Tumenggung Wilatikta di Jepara mempunyai seorang anak laki-laki
yang bernama Raden Sahit yang sangat nakal, pekerjaannya judi dan merapok.
Pada suatu hari kebetulan yang dirampok adalah Sunan Benang. Di situ Sunan
Benang menunjukan kelebihannya memasang tanda arah Utara, Timur, Selatan dan
Barat, sehingga Raden Sahit terbalik penglihatannya dan sama sekali tidak bisa
bergerak. Akhirnya memohon maaf kepada Sunan Benang dan berjanji tidak akan
mengulangi lagi segala perbuatannya. Sunan Benang memberikan petuah dan
menancapkan tongkatnya yang kemudian menyuruh Raden Sahid untuk
menunggunya sampai beliau kembali. Sunan Benang meneruskan langkah menuju
ke Cirebon.
Pada saat yang lain, Raden Patah meminta tempat tinggal kepada Sunan
Ngampel, dan akhirnya diperintah untuk menetap di Bintara yang ada tumbuhannya
bernama Glagah Wangi
Anak Sunan Ngampel (Saudara Sunan Benang) yang bernama
Masakehmahmoet, diperintahkan bertempat tinggal di Gunung Moerja untuk menjadi
Imam Agama dan bergelar Sunan Daradjat, sehingga di situ menjadi ramai.
Sunan Girigadjah bertafakur sampai ke Tingkat Insan Kamil. Setelah
bertapa terus pulang ke rumah dan kebetulan pada saat itu ada anak kecil yang
sedang menangis. Sunan Girigadjah merayunya agar tidak menangis, kebetulan
beliau posisinya dekat dengan sebongkah batu yang agak besar. Agar anak itu
berhenti menangis, batu tadi dibilang seperti gajah, ajaibnya batu tersebut benarbenar berubah menjadi gajah. Akhirnya gajah tersebut diruwat kembali oleh Sunan
Girigadjah sambil memohon ampun pada Tuhan, sehingga kembali pada bentuknya
semula.
Soenan Benang kembali menemui Raden Sahid di hutan Jatisari yang
sedang menunggu tongkat.(Pada kisah yang lain makna tongkat
adalah kayu yang mengandung arti pohon kehidupan atau
Pohon Tuba atau Sajartul Qoyum, dimana Raden sahit
disuruh mengamalkan kalimat Ya kayumu yakuyuku atau Ya
Hayyu Ya Qoyum. Tambahan Penerjemah). Di situ setelah Raden
Sahid terbukti setia, terus diwisik atau diajari ilmu rahasia oleh Sunan Benang.
Setelah sempurna akhirnya Sunan Benang pulang. Raden Sahid terus merenung
tentang Kebesaran Tuhan yang berada pada diri manusia.
Alkisah, Sang Prabu Brawijaya mendengar kabar bahwa di Bintara ada
seseorang yang akan memberontak, sehingga Prabu Brawijaya memerintahkan
untuk menyerang lebih dahulu sebelum menjadi besar. Sebelum terlaksana Dipati
Petjatanda memberitahukan bahwa yang berada di Bintoro adalah Saudaranya lain
ayah, dari putri Cina. Prabu Brawijaya ingat bahwa Putri Cina yang dianugerahkan
kepada Arja Damar dahulu sudah dalam keadaan mengandung (Sebetulnya
adalah anak dari Prabu Brawijaya). Pada akhirnya Prabu Brawijaya
memanggil Raden Patah. Yang diutus Dipati Patjatanda dan apabila tidak mau
dipanggil Dipati Patjatanda diperintahkan untuk membunuhnya. Singkat cerita, atas
dasar keterangan dan diplomasi yang sangat baik sehingga Raden Patah mau
menghadap Prabu Brawijaya. Disitu akhirnya Raden Patah diangkat menjadi Dipati
di Bintoro dengan dibekali Prajurit sebanyak 10.000. Dipati bintoro terus kembali ke
Bintoro.
Cerita selanjutnya, Raden Sahid, setelah bertapa Ngluwat dan bertapa
mengikuti arus air sungai, terus meneruskan perjalanan untuk menghadap Sunan
Gunungjati, yang akhirnya Raden Sahid dijadikan menantu, dan dikawinkan dengan
Dewi Siti Djenab. Raden Sahid diberi gelar Syech Melaya dan disuruh menempati
suatu daerah yang diberi nama Kalijaga. Syech Melaya, Raden Sahid atau lebih
dikelanl Sunan Kalijaga juga meminta ilmu kepada Sunan Gunungjati mengenai
kenyataan ilmu. Sunan Gunung Jati mengejarakan ilmu dengan menukil ajaran
‘Ulama besar dari tanah Arab seperti dari Syech Ibrahim, Syech Sabit, Syech
Muchyidina Putra dari Syech Arabi, Syech Abujajid Bestami, Syech Rudadi, Syech
Samamu Ngasarani. (tidak diterjemahkan) Setelah Sunan Gunungjati
sampai mengajarkan pada kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dimana Nabi Musa
mengaku pandai tanpa guru, hanya berpedoman pada tulisan dan mengira sudah
menguasa segala ilmu akan tetapi ternyata masih sangat-sangat jauh, sehingga
Nabi musa mendapat teguran dari Allah agar berguru kepada Nabi Khidir. Sunan
Kalijaga juga diajari cara memilih guru yang sejati dan diberitahu juga contoh guru
palsu sangat banyak. Guru yang sejati adalah bukan guru yang hanya mengajar
ngaji, bukan guru yang mengajarkan ngidung atau nembang jawa, bukan guru yang
mengajarkan tulis, bukan guru yang mengajarkan kesaktian, bukan guru yang
mengajarkan dzikir. (bagi orang jawa kesemuanya itu disebut
guru yang hanya mengajarkan Ilmu (hanya sebatas teori
dimana
yang
mengajarkan
belum
tentu
mampu
menjalankan) atau disebut juga Paguron bukan guru yang
mengajarkan Ngelmu) Sedangkan guru yang sejati adalah guru yang
mengajarkan ilmu sejati. Nabi Musa menguasai Syari’at agung dan juga menjadi
Raja, sedangkan Nabi Khidir tidak menguasai Ilmu Syari’at atau telah meninggalkan
syariat dan tidak dikenal banyak orang. Nabi Khidir hanya menggunakan
ketenangan batin atau dalam bahasa jawa “mung mungkul sareh ing lakon”. Akan
tetapi Nabi Khidir lebih tinggi derajatnya di Hadapan Allah, dimana orang awam
menganggap Nabi Musa lebih tinggi derajatnya. Sebab Ilmu itu tidak tentu berada
pada orang yang luhur, tidak tentu pada orang biasa, tidak tentu pada orang tua
ataupun orang muda. Sebab apabila telah mendapat Ridho Allah, walaupun belum
masanya, tentu akan mendapat ilmu yang sangat tinggi dibanding ulama besar yang
bagaimanapun. Setelah jelas, Sunan Kalijaga menanyakan dimana tempat Nabi
Khidir.Sunan Gunungjati memberitahu bahwa tempat Nabi Khidir adalah di Boeral
Akbar bertempat di Lutmat Goib. Setelah mendengar itu, Sunan Kalijaga mohon ijin
untuk berangkat mencari Nabi Khidir. Sunan Gunungjati termangu-mangu melihat
tekad dari Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga berjalan ke arah Utara sehingga sampai di tepi laut. Sunan
Kalijaga menemui kebingungan yang sangat dalam karena tidak bisa menyebarangi
lautan, sehingga Sunan Kalijaga bertafakur. Pada akhirnya Nabi Khidir datang
menemui Sunan Kalijaga dan mengajarkan Ilmu yang sangat banyak. (tidak
diterjemahkan) Untuk cerita tersebut bisa dibandingkan
dengan kisah Dewa Rutji yang dibuat oleh Kapunjanggan
Surakarta pada abad 19 M. Dan juga hampir sama dengan
Suluk Linglung Sunan Kalijaga/Syech Malaya, karangan
Imam Anom pada tahun 1086 Caka/1884 Masehi. Atau
dalam Wayang ceritanya mirip dengan Lakon Bima Suci
(Tambahan Pen).
Setelah Sunan Kalijaga ditinggal oleh Nabi Khidir, Sunan Kalijaga termangu
di tepi laut. Setelah agak lama Sunan Kalijaga Pulang dan semenjak itu Sunan
Kalijaga terkenal dengan nama Sunan Kalijaga.
Pada saat yang lain Sajid Ngalimurkid saudara Sunan Ngampel lain Ibu
pergi ke Tanah Jawa menuju ke Ngampel. Oleh Sunan Ngampel disuruh menetap di
Mejagung sehingga terkenal dengan nama Pangeran Mejagung (berbeda dengan
Sunan Mejagung), akan tetapi beliau tidak termasuk golongan Wali, hanya termasuk
Wali Nukba yang artinya Wali tututan atau sambungan Wali, atau disebut juga Wali
Anakan. Sedangkan yang termasuk Wali di Tanah Jawa adalah yang disebut
Sinuwun dalam arti sebagai panutan, yaitu :
1. Sunan Ngampel (Raden Rahmat)
2. Sunan Gunungjati ( Sayid Zen)
3. Sunan Ngudung (Seh Sabil)
4. Sunan Giri (Raden Santri Ngali bergelar Ngalimurtala)
5. Sunan Benang (Makdum Ibrahim)
6. Sunan Ngalim Abu Hurerah di Majagung
7. Sunan Drajat di Murya (Seh Masakeh Mahmut)
8. Sunan Kali / Raden Sahit berjuluk Seh Malaya (Wali Pamungkas).
Kesemuanya berjumlah delapan disebut Walisana yang berarti Dununganing Wali
(tempatnya Wali) (Bandingkan antara kalimat Walisana dengan
Wali Songo sekarang, barang kali karena ditelan masa dari
kalimat Walisana berubah menjadi Wali Songo. Sedangkan
Jumlahnya yang sembilan disesuaikan dengan keadaan,
yaitu di jawa timur ada 5, jawa tengah ada 3 dan jawa barat
ada 1, dimana angka ini dan angka 9 sangat erat
hubungannya dalam syarat laku dalam ilmu jawa,. Pen.)
Yang termasuk Wali Nukba atau Wali Tututan di Tanah Jawa adalah,
sebagai berikut :
1. Sunan Tembayat
2. Sunan Giri Parapen
3. Sunan Kudus
4. Sultan Sah Ngalam Akbar
5. Pangran Wijil di Kadilangu
6. Pangran Ngewongga
7. Ke Gede Kenanga Pengging
8. Pangeran Konang
9. Pangeran Cirebon
10. Pangeran Karanggayam
11. Ki Ageng Sela
12. Pangeran Panggung
13. Pangeran di Surapringga
14. Kyai Juru Martani di Giring
15. Kyai Ageng Pamanahan
16. Buyut Ngerang
17. Ki Gede Wanasaba
18. Panembahan Palembang
19. Ki Buyut di Banyubiru
20. Ki Ageng Majasta
21. Ki Ageng Gribig
22. Ki Ageng di Karotangan
23. Ki Ageng Toyajene
24. Ki Ageng Toyareka
25. Pamungkas Wali Raja Soeltan Agung.
Lanjut cerita, Sunan di Girigajah mempunyai murid dari daerah Sitijenar
yang bernama Kasan Ngali Ansar (Pada buku-buku Kisah Wali Songo
dan di semua Serat Siti Jenar tidak ada yang menyebutkan
nama aslinya) yang lebih dikenal dengan nama Sitijenar atau Syech
Lemahbang, Juga disebut Lemah Kuning, sangat ingin diajari ilmu rahasia. Akan
tetapi Sunan Giri belum mau mengajarkan ilmu itu karena belum saatnya, sehingga
menyebabkan Syeh Lemahbang sangat kecewa dan marasa tidak ada artinya pergi
ke Tanah Jawa. Syech Lemahbang sudah mengetahui tempat dimana Sunan Giri
biasa mengajarkan Ilmu Rahasia kepada murid-muridnya. Syech Lemahbang ingin
mencuri dengar ajaran tersebut dengan cara merobah dirinya menjadi Bangau putih,
lalu mendekat ke arah dimana Sunan Giri akan mengajarkan Ilmu. Akan tetapi
Sunan Giri dengan mangunahnya sudah mengetahui, sehingga pada waktu itu tidak
jadi menurunkan ilmunya kepada murid-muridnya dan ditunda pada malam jum’at
yang lain.
Pada hari jum’at yang telah ditentukan, jadilah Sunan Giri akan
mengajarkan Ilmu Rahasia kepada murid-muridnya. Syech Lemahbang segera
merobah dirinya menjadi cacing kalung dan menyusup di bawah perahu yang
digunakan oleh Sunan Giri untuk mengajarkan Ilmu Rahasia. Sunan Giri sebetulnya
sudah tau bahwa ada penyusup, akan tetapi tetap dibiarkan, sehingga Syech
Lemahbang bisa mendengar semua ajaran Ilmu Rahasia-nya Sunan Giri. Setelah
dikuasinya semua Ilmu Rahasia, Syech Lemahbang pergi dari Giri dan mendirikan
Padepokan sendiri serta menjadi Guru Besar dalam oleh Ilmu bathin sehingga
terkenal dengan sebutan Pangeran Sitijenar.
Ajaran Sitijenar hanya mengutamakan oleh rasa dan sudah meninggalkan
sembahyang. Karena kepandaian cara mengajar para murid. Perguruan Sitijenar
sangatlah terkenal. Murid Sitijenar antara lain dari Keturunan Majalengka dan
Pengging banyak yang menjadi muridnya, seperti Ki Ageng Tingkir, Pangeran
Panggung, Buyut Ngerang serta Ki Ageng Pengging.(Dari Keturunan Ki
Ageng Tingkir bersama dengan keturunan Ki Ageng Pengging
bergabung dan Kerajaan Demak yang didukung Wali
Dihancurkan diganti menjadi kerajaan Pajang dengan Jaka
Tingkir sebagai rajanya dimana Organisasi Islam terbesar di
Indonesia pendirinya adalah keturunan dari Jaka Tingkir. Dan
mulai saat itu terjadilah pergumulan Islam di Pulau Jawa
dimana nama wali tetap diagungkan tetapi sebagian
ajarannya dan sejarahnya dihapus, sehingga kacaulah
Sejarah Wali. Sebagai bukti orang Islam awam akan suka
Ziarah ke Sunan Bonang, tetapi tidak akan mau menabuh
Bonang atau gong, justru akan dikatakan apabila
membunyikan kuduanya akan terjadilah larang udan (hujan
akan menjadi jarang) dimana pada saat itu penghidupan
masyarakat banyak yang mengandalkan pertanian, sehingga
kebanyakan wilayah yang dominant dihuni orang beragama
Iskam tidak akan pernah menanggap wayang, dimana
penyempurna wayang adalah Para Wali. Ada juga yang
berpendapat bahwa sejarah kerajaan di Indonesia banyak
yang sudah dirobah oleh Penjajah, dengan tujuan agar
rakyat menilai jelek terhadap Raja, sehingga tidak
memberontak, salah satunya Kitab Pararaton adalah
kisahnya Ken Arok yang sudah dirobah uleh pujangga anthek
Belanda dengan kisah Kerisnya Empu Gandring dan semua
intriknya dimana dalam kisahnya juga didukung atau
disesuaikan dengan prasasti yang ada, sehingga bagi yang
kurang teliti akan percaya karena didukung oleh bukti yang
kuat, dan dalam penyusunan sejarah di Indonesia adalah
lebih banyak bersumber dari Kitab Pararaton tersebut. Ini
juga terjadi pada kisah Para Wali agar Islam tidak
berkembang di Indonesia. Dan Buku-buku yang dbuat oleh
Pujangga yang baik hampir semuanya dibawa ke Negaranya
dan yang terbanyak adalah pada saat Penjajahan Inggris
dengan Tokohnya Rafles yang terbanyak menghabiskan Buku
Ilmu jawa ditambah Penjajah Belanda sehingga Kitab Benang
(Buatan Sunan Bonang ditemukan di Negeri Belanda. Pen.)
Ketenaran padepokan Sitijenar mengalahkan ketenaran wali delapan. Ini bisa
dibuktikan dengan banyaknya para penduduk kota dan desa serta para Ulama
banyak yang menjadi santrinya. Lama kelamaan Sunan Giri mendengar ketenaran
Sitijenar dan berniat memanggil Sitijenar atau dengan nama lain Lemahbang. Sunan
Giri mengutus dua ulama yang tidak disebutkan namanya dan singkat cerita dua
ulama telah sampai di padepokan Lemahbang.
Dua ulama menyampaikan pesan Sunan Giri bahwa Lemahbang dipanggil
oleh Sunan Giri untuk bermusyawarah masalah Ilmu Ketuhanan. Setelah pesan
disampaikan, Lemahbang menjawab bahwa di sini tidak ada Lemahbang, yang ada
adalah Pangeran Sejati. Setelah mendengar ucapan Lemahbang seperti tersebut di
atas, dua ulama tadi pulang meninggalkan padepokan Lemahbang tanpa pamit.
Sesampainya di Giri dua ulama utusan, menyampaikan kepada Sunan Giri apa yang
telah diucapkan oleh Lemahbang. Setelah mendengar laporan dua ulama tadi,
Sunan Giri sangatlah marah, akan tetapi setelah dinasehati oleh Para Wali, Sunan
Giri akhirnya sadar. Sunan Giri kemudian menyuruh kepada dua ulama utusan untuk
kembali memanggil Lemahbang dengan menuruti apasaja kemauan Lemahbang
atau pengakuan nama Pangeran Sejati.
Setelah sampai di Padepokan Lemahbang, dua ulama utusan
menyampaikan pesan Sunan Giri bahwa Pangeran Sejati dipanggil menghadap
Sunan Giri. Pangeran Lemahbang menjawab bahwa Pangeran Sejati tidak ada yang
ada dipadepokan adalah Lemahbang, sedangkan Lemahbang adalah Wajah dari
Pangeran Sejati dan apabila Pangeran Sejati tidak mengijinkan Lemahbang untuk
berangkat, maka tidak mungkin Lemahbang akan berangkat. Akhirnya dua ulama
utusan mengatakan bahwa Pangeran Sejati dan Lemahbang dipanggil menghadap
Sunan Giri. Setelah itu barulah Lemahbang mau menghadap Sunan Giri.
Singkat cerita, sampailah dua ulama utusan dan Lemahbang di Giri.
Lemahbang dan Delapan Wali akhirnya bermusyawarah mengenai Ma’rifat kepada
Allah, dan masing-masing wali mengemukakan pendapatnya masing-masing
(tidak diterjemahkan). Setelah ke delapan Wali menguraikan pendapatnya,
Syeh Lemahbang membantah dan mengatakan jangan banyak ibarat sesungguhnya
Akulah Allah. Sudah nyata bahwa Ingsun kang sejati, bergelar Prabu Satmata dan
tidak ada yang lain. Dan masih banyak uraian yang disampaikan oleh Lemahbang.
Ke delapan wali hanya tersenyum setelah mendengar ucapan Lemahbang. Setelah
Lemahbang pulang, ke delapan wali menyimpulkan bahwa ajaran Lemahbang sesat,
akan tetapi karena belum waktunya, maka para wali yang dipimpin oleh Sunan Giri
akan mengadili Lemahbang setelah Kerajaan Demak berdiri.
Pengakuan Sitijenar tentang Akulah Allah, bisa
dibandingkan dengan Buku Ana Al Haqq Kitab Thowasin
karangan Al Halaj terjemahan terbitan Risalah Gusti, dimana
akulah kebenaran tercantum dalam Thasin bab VI Kitab
tentang Adam, AS. Pada Nomor 23 yang berisi “ Dan Aku
berkata, jika engkau tidak mengenal Dia, maka lihat tanda
abadi-Nya. Tanda yang kekal; dan tanda itu adalah aku dan
Akulah Kebenaran itu (Ana Al Haqq) dan pada hakikatnya
aku selamanya bersama dengan kebenaran itu”. Pernyataan
Al Halaj ini juga menjadi polemik para Ulama, walaupun Al
Halaj menyatakan pada akhir Kitab Thowasin pada Thasin XI,
Kitab Kebun Ma’rifat, nomor 16 menyatakan sebagai berikut,
“Yang benar tetaplah yang benar. Pencipta sebagai Kholiq,
dan segala apa yang termasuk diciptakan tetaplah mahluk.
Ini akan tetap selalu demikian”. Sedangkan kisah Sitijenar
yang
dikenal masyarakat sekarang ini kebanyakan
bersumber pada Serat Siti Djenar karangan R.P. Natarata
(1810 -1890 M) seorang Panji di Distrik Ngijon Jogjakarta
yang lebih dikenal dengan ajaran Wahdatul Wujudiyah atau
ajaran Nataratanan dimana jasadnya digantai dengan
bangkai anjing berpenyakit kudis).(Tambahan Penerjemah)
Kedelapan wali kemudian mengadakan perundingan, merencanakan
menghancurkan Majalengka atau majapahit. Yang dijagokan adalah Raden Patah,
Lembu Peteng Madura dan keluarganya yang sudah masuk Islam. Sunan Ngampel
berusaha menghalangi dengan alasan Raja Brawijaya memberi kemerdekaan
para wali dalam menyebarkan agama Islam. Akan tetapi Raden Patah memberi
alasan bahwa Raja Brawijaya belum masuk islam dan mengharapkan jangan sampai
di Jawa ada percampuran agama dan mengharapkan di jawa hanya ada satu agama
yaitu Agama Islam.
Lanjut cerita Sunan Ngampel meninggal dunia dan dimakamkan di sebelah
utara masjid Ngampel. Sedangkan yang menggantikan menjadi Imam adalah Sunan
Ratugiri dan Sunan Benang. Sunan Ratu Giri mengangkat dirinya menjadi Raja di
Giri dan bergelar Sunan Ratu dan sangat dihormati oleh rakyatnya. Yang menjadi
patih adalah anaknya Adipati Terung yang berada di Tandes, bergelar Pangeran
Palembang.
Sunan Benang setelah mendengar bahwa Sunan Giri mengangkat dirinya
menjadi Raja, Sunan Benang tidak setuju. Sunan Benang selanjutnya pergi ke
Tandes untuk menemui pamannya yang menjadi patih dan menuntut sang paman
mengapa tidak mau mengingatkan. Kedudukan Ratu Giri adalah sebagai Ulama atau
Wali, mengapa mau menjadi Raja.
Jawaban Patih bahwa sudah tidak kurang-kurang mengingatkan, akan
tetapi karenan Sunan Giri Gajah dalam keadaan sedang mendapat wahyu dan besar
mengunahnya, sehingga mengakibatkan peringatan Sang Patih tidak dihiraukan.
Oleh Sang Patih, Sunan Benang dimohon untuk menghadap Sunan Giri sendiri dan
Sunan Benang Sudah bertemu langsung dengan Sunan Giri.
Sunan Benang menanyakan kepada kakaknya yaitu Sunan Giri tetang
bagaimana jalan ceritanya sehingga Sunan Giri mengangkat dirinya menjadi Raja di
Giri. Sunan Giri menjawab bahwa dirinya menjadi raja adalah sudah Kehendak
Tuhan. Sunan Benang tidak percaya, dan meminta saksi. Sunan Giri
menyanggupinya. Sunan Benang akhirnya diajak oleh Sunan Giri untuk pergi ke
Mekah guna meminta saksi kepada Yang Maha Suci, dengan jalan Tafakur di
Rumah Allah. Sunan Benang mengikuti saja kehendak Sunan Giri.
Dalam perjalanan keduanya singgah di Malaka untuk menghadap
Kakeknya yang bernama Syech Maulana Iskak. Setelah sampai, Sunan Giri ditanya
oleh Maulana Iskak tentang apa keperluanya. Sunan Giri menjawab apa adanya.
Pada akhirnya Maulana Iskak memerintahkan kepada keduanya kembali saja ke
tanah jawa, dan tidak usah mengambil saksi ke Mekah. Cukup hanya Maulana Iskak
saja yang menjadi saksi, dengan penjelasan bahwa mengapa sunan Giri
mengangkat dirinya menjadi Raja, adalah sekedar sebagai syarat agar selamat
siapa saja yang akan mengganti raja di belakang hari. Artinya yang akan menjadi
raja pengganti nantinya jangan sampai langsung menggantikan seorang raja yang
bukan dari raja yang beragama Islam. Sunan Giri dan Sunan Benang sangat puas
atas keterangan Maulana Iskak. Pada saat itu pula Sunan Benang meminta ijin
untuk menjadi raja menyamai Sunan Giri. Syech Maulana Iskak juga menyetujui.
Sunan Giri diperintahkan menjadi raja Para Ulama. Sunan Benang diperintahkan
menjadi raja dalam soal agama dan ilmu. Keduanya akhirnya kembali ke Jawa.
Sunan Benang Menjadi raja di Ngampel, bergelar Prabu Nyakra Kusuma, juga
mempunyai nama lain sebagai julukan yaitu Ratu Wahdat.
Lain cerita, bahwa pada saat itu di Majapahit sedang terjadi wabah yang
mengakibatkan banyak para penduduk yang meninggal dunia. Prabu Brawijaya
memerintahkan kepada Kyai Bubak dan Djenal Ngabidin, meminta syarat kepada
Sunan Giri, akan tetapi Sunan Giri tidak berkenan. Sunan Giri menyatakan bahwa
apabila Prabu Brawijaya mau menghadap langsung kepada Sunan Giri, serta
menyerahkan kerajaan kepada Sunan Giri, maka barulah Sunan Giri berkenan
memberi syarat. Sebab sudah kehendak Tuhan Yang Maha Esa, bahwa kerajaan
sudah waktunya dipindahkan ke Giri.
Kyai Bubak setelah mendengar ucapan sunan Giri segera menyampaikan
kepada Prabu Brawijaya tentang apa yang telah diucapkan oleh Sunan Giri.
Sedangkan Djenal Ngabidin masih tetap tinggal di Giri. Singkat cerita Prabu
Brawijaya sangat marah dan memerintahkan untuk menyerang Giri. Dalam
penyerangan tersebut Pasukan Majapahit dipimpin oleh Arya Lekan. Awalnya Arya
Lekan menang perang. Akhirnya Sunan Giri menyipta kalam dijadikan sebuah keris
untuk digunakan melawan Arya Leka sendiri. Keris tersebut diberi nama Keris
Kalamunyeng. Dalam perang tanding antara Arya Leka dengan Sunan Giri, Arya
Leka kalah dan kembali pulang ke Majapahit, melapor kepada Prabu Brawijaya.
Keris Kalamunyeng kemudian dicipta kembali menjadi kalam lagi oleh Sunan Giri.
Lanjut cerita, Prabu Anom di Palembang yaitu anak dari Adipati Pecatonda
yang dahulu diangkat menjadi patih oleh Sunan Giri, pada saat itu sedang berada di
Tandes dengan membawa prajurit. Setelah Sunan Giri mendengar kabar tersebut,
maka Sunan Giri menyuruh untuk memanggil Prabu Anom. Akan tetapi Prabu Anom
tidak berkenan, bahkan jawabannya mau menghadap Sunan Giri dengan syarat
diperbolehkan duduk sama tinggi dengan Sunan Giri. Sunan Giri marah, akan tetapi
ditutupi kemarahannya itu. Akhirnya Prabu anom diperkenankan duduk sama tinggi
dengan Sunan Giri.
Singkat cerita Prabu Anom sudah menghadap dan duduk sama tinggi
dengan Sunan Giri. Pada saat itu Sunan Giri menunjukan kemarahannya. Prabu
Anom dimarahi oleh Sunan Giri sehingga Prabu Anom sangat ketakutan dan tidak
bisa berkata apa-apa, malahan badannya lemas dan turun dari tempat duduk sambil
menyembah kepada Sunan Giri. Akhirnya Prabu Anom dimaafkan dan diambil anak
angkat oleh Sunan Giri. Sunan Giri sangat menyayangi Prabu Anom, bahkan Prabu
anom dianggap sebagai anak kandungnya sendiri dan dianggap sebagai anak yang
paling tua dan diberi gelar Prabu Anom Suradiraja. Prabu Anom menyatakan
kepada ayah angkat sanggup menyerang orang yang bukan Islam, akan tetapi
Sunan Giri tidak menyetujuinya yang disebabkan Prabu Anom kedudukanya bukan
sebagai ahli waris. Sunan Giri takut pada kutukan Tuhan Yang Maha Esa. Prabu
Anom mohon ijin pulang ke Palembang. Sunan Giri menyetujuinya dan memberi
pendaping seorang yang bernama Pecantanda seorang sesepuh di Surabaya.
Pecantanda di Palembang diberi penghargaan tanah di Maospura dan di Balitung.
Pada saat itu Adipati Terung ayah dari Prabu Anom mendengar kabar tentang
keadaan putranya sehingga Adipati Terung sangat bahagia.
Lain cerita, di tanah Pati ada seseoang yang mengajarkan ajaran
menyimpang dari aturan syariat Agama Islam. Sunan Giri mengutus Ki Panangsang
untuk meredam. Akan tetapi Ki Panangsang kalah perang dan kembali ke Giri.
Sunan Giri memerintahkan agar yang membikin onar di Pati dibiarkan dahulu, sebab
pada saat itu belum tiba pada hari naasnya, yang bisa mengakibatkan tanpa hasil.
Pada saat yang lain, Adipati Tuban dan Daha menyimpang juga dari ajaran
syariat Islam. Ki Panagsang mendapat tugas dari Sunan Giri untuk menyerbu ke
Tuban dan Daha. Pasukan Tuban karena merasa kalah kuat tidak mau melawan,
bahkan Adipati Tuban mengutus utusan menyatakan menyerah kepada Sunan Giri.
Sunan Giri sangat bahagia dan mengutus Ki Panagsang menggagalkan
penyerangan dan diperintahkan kembali ke Giri. Atas jasa Ki Pangsang maka Sunan
Giri mengangkat Ki Panangsang menjadi Ariya, sehingga namanya menjadi Ariya
Panangsang.
Lanjut cerita, Sunan Giri meninggal dunia dan dimakamkan di Giri. Atas
kehendak Sunan Benang, sepeninggal Sunan Giri, yang diangkat menjadi raja
adalah anak yang tertua yang bernama Pangeran Dalem, kemudian bergelar Sunan
Giri ke II.
Prabu Brawijaya mendengar bahwa Sunan Giri telah meninggal dunia,
sedangkan yang menggantikannya adalah anaknya. Prabu Brawijaya marah, karena
merasa tidak dianggap oleh Sunan Giri. Sebagai tandanya adalah pengangkatan
raja tidak sepengetahuan dirinya, sehingga dianggap bahwa Giri akan memberontak.
Sebelum menjadi besar Prabu Brawijaya memerintahkan menyerang lebih dahulu.
Yang diutus adalah arya Gajahpramada. Singkat cerita Giri kalah dan Sunan Giri II
melarikan diri ke pinggir laut bersama dengan kerabatnya, juga bersama sahabat
yang bernama Wanapala dan melajutkan pelarian ke hutan Krendawaha guna
mendirikan desa.
Setelah Giri dalam keadaan kosong, semua rumah dibakar oleh pasukan
Gajah Pramada, bahkan makam Sunan Giri I dibongkar, akan tetapi tidak ada yang
bisa, sebab semuanya pingsan. Di dekat makam ada dua orang Giri dan masingmasing mempunyai ciri, yang satu buta dan yang satu pincang. Kedua orang
tersebut oleh Patih Gaja Pramada dipaksa membongkar makam Sunan Giri I.
Karena kedua orang tersebut takut akan dibunuh sehingga mau. Dalam penggalian
tidak ada halangan. Akan tetapi setelah papan penutup makam sudah nampak,
keluarlah banyak lebah dari dalam makam dan menyengat pasukan Majapahit.
Semua pasukan melarikan diri ke Majapahit. Akan tetapi lebah terus mengejar
sampai ke pusat kerajaan Majapahit. Bahkan Prabu Brawijaya beserta kerabatnya
dikejar terus oleh lebah. Singkat cerita Prabu Brawijaya mengungsi ke Wirasaba.
Kerajaan dikosongkan.
Setelah Majapahit kosong, Sunan Giri II kembali ke Giri. Akan tetapi karena
rumah-rumah di Giri telah habis terbakar, maka Sunan Giri II memerintahkan untuk
mengambil rumah-rumah yang kosong di Majapahit untuk dibawa ke Giri. Singkat
cerita Giri sudah kembali seperti sedia kala.
Setelah lebah sudah hilang, Prabu Bwawijaya juga kembali ke Majapahit.
Semua rumah yang sudah dibawa ke Giri diganti, sehingga di Majapahit sudah
kembali seperti sediakala.
Pawa Wali beserta Putra Mapajapit, Prabu Jaran Panolih dari Sumenep, Sri
Lembupeteng dari Madura, Dewa Ketut dari Bali, Batara Katong dari Panaraga,
berkumpul di Bintara bermusyawarah akan menghancurkan Majapahit. Yang
dijadikan Senopati adalah Sunan Benang. Dipati Bintara hanya dipersiapkan
sebagai Raja. Dipati Bintara memerintahkan duta dengan mambawa surat yag
ditujukan kepada Dipati Terung. Duta sudah berangkat. Sepeninggal pembawa surat,
para wali berniat membuat sebuah Masjid. Dalam pembuatan masjid para Wali
berbagi tugas. Sunan Kali ditugasi membuat satu tiang, akan tetapi belum siap yag
akhirnya Sunan Kali mengumpulkan Tatal dan disabda menjadi tiang. Singkat cerita
Masjid sudah selesai dibangun. Akan tetapi Para Wali ragu dan kuatir barangkali
arah kiblat tidak sesuai. Sunan Kali kemudian membentangkan tangannya, tangan
yang satu memegang Ka’bah, dan tangan yang satunya lagi memegang
pengimaman masjid. Kemudian dibetulkan arah kiblatnya. Setelah sempurna barulah
Para Wali Sholat. Setelah pagi di dalam masjid ada sebuah benda tergantung tanpa
gantungan yang kemudian diambil oleh Para Wali. Setelah dibuka benda tadi adalah
sebuah pakaian taqwa yang ada tandanya, bahwa pakaian tersebut adalah untuk
Sunan Kalijaga. Selanjutnya pakaian tersebut oleh Para Wali diserahkan kepada
Sunan Kalijaga, sehingga sangat bersyukurlah beliau kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Sunan Benang mengatakan bahwa baju tersebut adalah bekas dipakai sholat
oleh Kanjeng Nabi Muhammad, SAW. dan baju tersebut bernama antakusuma.
Sedangkan yang pantas memiliki dan memakainya adalah yang akan menjadi Ratu
di Tanah Jawa.
Dalam rencana mengahncurkan Majapahit, Sunan Ngudung yang
diperintahkan untuk menyerang lebih dahulu. Pasukan Sunan Ngudung berkumpul
di Surabaya. Akan tetapi Sunan Ngudung mendapat pesan dari Sunan Benang
apabila berperang dengan Dipati Terung agar sekedarnya saja. Singkat cerita Sunan
Ngudung beserta pasukan berangkat dengan membawa pusaka Kjai Antakusuma
(Kjai Gondil). Prabu Brawijaya mendengar bahwa Majapahit akan diserang,
sehingga Prabu Brawijaya memerintahkan kepada Patih Gajahmada untuk
menghadapinya.
Lanjut cerita, Dipati Terung sudah mendapat surat dari kakaknya yang berisi
rencana penyerangan ke Majapahit. Dipati Terung juga menyetujui, akan tetapi
dalam memberangkatkan pasukan dengan cara menyamar agar tidak diketahui.
Rencana Dipati Terung sangat menggembirakan Sunan Benang, sehingga Sunan
Benang memberangkatkan pasukannya dari Demak.
Dipati Terung mendapat perintah Prabu Brawijaya supaya menghadapi
penyerang, dengan didampingi oleh anak sulung dari Prabu Brawijaya yang
bernama Prabu Anom Atmawijaya. Singkat cerita Sunan Ngudung sudah perang
tanding melawan Dipati Terung. Sunan Ngudung kalah dan meninggal serta
dimakamkan di sebelah barat Masjid Demak. Dan yang menggantikan pimpinan
perang adalah Sunan Kudus.
Dipati Bintara beserta kerabatnya pergi ke Surabaya untuk menyiapkan diri
guna menyerang Majapahit. Dipati Bintara mendapat tugas menjaga pantai utara.
Sunan Benang beserta para Auliya bertugas menjaga di sebelah barat. Batara
Katong dari Panaraga beserta Raja Dewaketut dari Bali menjaga di sebelah selatan.
Sri Lembupeteng dari Madura beserta Prabu Jaran Panolih dari Madura mendapat
tugas di sebelah Timur.
Pabu Brawijaya memerintahkan para senopati perangnya untuk
menyerang. Singkat cerita terjadilah perang besar. Dipati Bintara menggelar Sorban
dari Sunan Gunungjati. Dari dalam Sorban keluar tikus yang sangat banyak.
Pasukan Majapahit lari tunggang langgang. Hari berikutnya Dipati Bintara
mengeluarkan keris Kalamunyeng wasiat dari Giri. Dari situ keluar lebah yang
sangat banyak mengejar dan menyengat pasukan Majapahit. Dipati Bintara
kemudian juga mengeluarkan peti dari Palembang. Dari dalam peti mengeluarkan
suara yang sangat keras bagaikan petir yang mengakibatkan bumi bergetar, yang
kemudian mengeluarkan mahluk halus langsung menyerang atau lebih jelasnya
menyantet pasukan Majapahit. Sunan Benang mengeluarkan tongkat saktinya dari
tongkat keluar keris yang sangat banyak yang bisa bergerak sendiri menyerang
pasukan Majapahit. Pasukan Majapahit kalah dan lari tunggang langgang. Prabu
Brawijaya melarikan diri ke Panaraga. Di Panaraga Prabu Brawijaya mengumpulkan
sisa pasukan serta para penduduk yang masih setia yang bersedia membantu.
Dipati Bintara bermusyawarah dengan para wali serta mengirim surat kepada
ayahnya yaitu Prabu Brawijaya yang isinya agar Prabu Brawijaya berkenan kembali
ke Majaphit dan akan dijadikan sesepuh dengan syarat Prabu Brawijaya bersedia
masuk Islam, dan apabila tidak berkenan, maka terserah Prabu Brawijaya. Setelah
surat dibaca, Prabu Brawijaya sangat marah. Singkat cerita terjadi perang kembali.
Pasukan Majaphit kalah perang. Prabu Brawijaya melarikan diri dan terpisah dengan
Istri dan kerabatnya yang berlari tanpa arah mencari hidup sendiri-sendiri.
Sedangkan runtuhnya Kerajaan Majapahit menurut
fersi Serat Darmagandul dalam bentuk tembang Macapat
Dandanggula sebagai pembanding adalah sebagai berikut :
1. Mula tjrita Madjapahit, nora timbang sahambaning
pradja, ja ambane djadjahane, tjinekak tjaritanipun,
sabab buka wadining Hadji, putra prang lawan bapa,
sakalangkung saru, ing nganggit para pudjangga,
anjemoni bedahe ing Madjapahit, pinatjak lajang babat.
2. Marga saking kramating pra wali, kerisira Sunan
Giripura,
tinarik metu
tawone,
ngentup wong
Madjalangu, Sunan Tjerbon badonge midjil, tikus jutan
awendran, mangsa sakeh sangu, miwah bekakas
turangga, bubar giris wong Madjalengka sru miris, tikus
jutan awendran.
3. Peti saking Palembang nagari, dipun bukak madyanign
paprangan, djumedul metu demite, neluh wong
Madjalangu, bubar giris tineluh demit, Sang Prabu
Brawidjaja, mekrat sedanipun, iku pasemon sadaja
bedahira, ing Madjapahit sajekti kadya kang kotjap
ngarsa.
4. Madjalengka iku wudjud nagri, nora kaja sindjang kena
rusak, rusak dikrikiti bahe, lan malih lumrahipun, tawon
bubar den manusa djanmi, wana kerkeh demitnya,
rusake ginempur, mring wadya kang mamrih bangga,
among lagja bedahe ing Madjapait, pradja gung
bedahira.
5. Marga saking tawon tikus demit, iku kanda ing
tjaritanira, pralambang pasemon bae, sapa pertjaja iku,
tanda djalma uteke isi, tletong babi lan sona, jen djalma
satuhu, kang simpen utek mardika, tan pratjaja nalare
aneh kapati, tan tepung lawan nalar.
6. Nora tjotjok lahir lawan batin, iku tandane tjarita dora,
pralambang pasemon kabeh, jen tinulisa tuhu, tjaritane
ing Madjapahit, ambuka wadi nata, pudjanggane takut,
7.
8.
9.
10
.
11
.
12
.
13
.
mila pasemon kewala, pasemone pralambangira asami,
mangkene tegesira.
Tikus iku watek krikit-krikit, lama-lama jen den umbar
ngrebda,
pangane
angentekake,
Para
Ngulama
Ngarbun, praptanira ing tanah djawi, among badan
sapata, sowan mring Sang Prabu, pada njuwun
panguripan, diparingi bareng wus lemu kang paring,
urip nulja dirusak.
Tawon iku gawa raga manis, gegamane aneng silitira,
tala gowok paturone, puniku semonipun, pan sanjata
wong Islam iku, mung manis rembug ngarsa, ngentup
saking pungkur, akolu angrusak pradja, Madjalengka
Ratu ingkang ngurip-urip, weh gawok kang miharsa.
Dene demit den wadahi pethi, gja binukak neng
madyeng ranangga, djumeglug metu demite, tegese
pralambang niku, nglimbang galih ganti agami, pethi
punika wadah, simpenan kang brukut, demit niku makna
samar, tukang teluh bedah nagri Madjapahit, den teluh
primpen samar.
Nora ana tjritane kawidjil, samudana seba ngestupada,
lakune
kimagetake,
mulane
pra
nung-anung,
Madjalengka tan wikan masih, durung nganti sadija.
Kaprabon prang pupuh, Dipati Terung nagara, wus
bijantu mring demak dipati, ambedah Madjalengka.
Ambijantu ngrajah djroning puri, buku-buku betuwak
karadjan, sarak buda pikukuhe, dipun obong sadarum,
dimen sirna agama budi, supaja mituhuwa, marang
sarak rasul, iku tjritane kang njata, ing bedahe ija nagri
Madjapahit, timbang kalawan nalar.
Nora ana tjrita dingin-dingin, nagri agung kaja
Madjalengka, bedahe den tupi tawon, lan den krikiti
tikus, bubar sarta den teluh demit, bedahe Madjalengka,
apan amisuwur, djumeglug swara lir gelap, suwarane
warata satanah indi, wong Islam watakira.
Kaja tawon, tikus lawan demit, nora weruh betjikanign
Radja, asikara tanpa wite, awit weruh puniku para sunan
sinebut wali, wali iku walikan, kekarepanipun, mawas
ngulon nolih ngetan, jamulane den betjiki angalani,
mring Ratu Madjalengka.
14
.
15
.
Wali wolu sanga kang tinari, den mumule mring sagung
wong djawa, udjar puniku tegese, tegese wali wolu
sunan wolu mbalela mbalik, sangane Raden Patah, tinari
ing kewuh, ing ngangkat djumeneng Nata, sarta ngrusak
karaton ing Madjapait, mungsuh bapa tur radja.
Dst. (Pen)
Cerita selanjutnya, Dipati Bintara terus mencari dan mengejar ayahnya.
Dalam saat pengejaran kebetulan berjumpa dengan Istri Prabu Brawijaya yang
bernama Putri Dwarawati, memohon hidup. Sang Putri kemudian dibawa ke Benang.
Prabu Brawijaya tinggal sendirian, sehingga putus asa. Kemudian mengasingkan diri
di Gunung Sawar. Di situ kemudian meninggal dunia dan dari jasadnya
mengeluarkan cahaya yang sangat terang. Caha yang memancar dari Gunung
sawar kemudian didatangi oleh Dipati Bintara. Setelah tau bahwa ayahnya sudah
meninggal dunia, dipati Bintara memeluk sambil menyesal. Kemudian ketahuan
Sunan Benang. Sang Dipati Bintara dirayu agar hatinya tenang. Kemudian Jasad
Prabu Brawijaya dimakamkan di Demak. Yang mengangkat jasadnya, dipati Bintara
dan Sunan Benang Sendiri. (Berbeda dengan yang diceritakan di
Buku darma Gandul dimana Prabu Brawijaya melarikan diri
ke Timur, berniat mengumpulkan kekuatan Majapahit dari
Bali, Kalimatan, Sumatra dan yang lain. Baru sampai di
Banyuwangi disusul oleh Sunan Kalijaga yang mengemban
tugas dari dipati Bintara untuk mengislamkan Prabu
Brawijaya dan setelah berhasil diislamkan dua abdi yang
bernama Sabda Palon dan Naya Genggong atau sebutan lain
adalah Kyai Semar tidak mau masuk Islam kemudian muksa
dan akan menagih janji dalam kurun waktu kurang lebih 500
tahun. Menurut kisah di sini setelah meninggal dunia Prabu
Brawijaya di Makamkan di Trowulan dan diberi nama Makam
Putri Cempa, dan tempatnya diberi nama Trowulan yang
berarti Sastra Wulan atau Ilmu Wanita (yang bermakna
bahwa Prabu Brawijaya menggunakan rasa seperti wanita
atau rasa kasihan atau tidak tega untuk menghacurkan
pasukan demak karena yang dihadapi adalah putranya
sendiri
sehingga
pasukan
Majapahit
diperintahkan
menyerang sekedarnya saja) dan Taralaya yang berasal dari
Sastra Laya atau matinya ilmu, yang dimaksud adalah
matinya ilmu jawa dan akan bangkit setelah Sabda Palon
Naya Genggong nagih janji.( Pen.).
Setelah pemakaman kemudian para Wali bermusyawarah. Dipati Bintara
diangkat menjadi Raja di Demak dan bergelar Ngawantipura. Akan tetapi dengan
syarat, Sunan Giri II dinobatkan menjadi Raja terlebih dahulu selama 40 hari.
Tujuannya adalah untuk memberi jarak bahwa dalam pengangkatan Dipati Bintara
menjadi raja bukan menggantikan seorang raja yang bukan beragama Islam.
Setelah genap 40 hari Sunan Giri II meletakan jabatannya sebagai raja dan
digantikan oleh Dipati Bintara. Dipati Bintara bergelar Sultan Syah Ngalam Akbar
Brawijaya Sir’ullah Kalipati Rosulillah Waha Amiril Mukminin Tajuddin Ngabdul
Kamitchan. Sedangkan yang diangkat menjadi patih adalah putra dari Ki Ageng
Wanapala yang bernama Patih Mangkurat. Sedangkan yang menjadi Penghulu
adalah Sunan Benang. Untuk Wali yang lain diangkat menjadi Pujangga. Ki Ageng
Wanapala diangkat menjadi Jaksa.
Cerita selanjutnya, Istri Prabu Brawijaya yang bernama Dewi Erawati,
karena tidak kuat menahan kesedihan, akhirnya meninggal dunia. Oleh para Wali,
dimakamkan di Dusun Karangkajenar.
Selanjutnya, Prabu Anom Atmawijaya Putra Prabu Brawijaya, berniat
mengadakan pemberontakan bergabung dengan Dipati Terung. Dalam
pemberontakan ini yang menghadapi adalah Sunan Kudus. Prabu Anom Atmawijaya
kalah perang dan melarikan diri ke Gunung Lawu bergelar Ki Ageng Gugur.
Sedangkan Dipati Pecatanda di Terung menyerahkan diri dengan dikawal oleh
Sunan Kudus menghadap ke Bintara, kemudain diangkat menjadi Dipati di Terung,
juga ikut menyiarkan agama Islam. Anak Dipati Terung yang bernama Ayulinuwih
diambil oleh Sultan, kemudian di