POLA ASUH PADA ANAK USIA DINI

1

POLA ASUH KELUARGA HINDU DI DESA GUNUNGSARI KECAMATAN
SERIRIT BULELENG
Oleh : I Gede Sedana Suci
ABSTRAK
Family has the function to provide religious education spiritual values, knowledge
and basic skills to their children. Good or bad behavior in the next period is determined by
the environment when they are get first in the family. Ideal family in accordance with the
teachings of the Hindu religion is the family that knowing Hita Sukaya (Sukinah). That is
a pretty family clothing, housing, and education is always harmonious. Education to be one
of the family forming Hita Sukaya is very appropriate, as embodied in the concept of moral
education value.
To achieve the goal of a prosperous family, we need a proper upbringing, so kids get
good guidance and does not cause trauma. The issues discussed are 1) How Hindu family
upbringing for Tattwa concept?. 2) How Hindu family upbringing to the concept of Ethics?
and 3) How Hindu family upbringing to the concept Ceremony?. And goal is revealed
three aspects. For that the research field, purposive sampling. Basic theory used is Bond
Stimulus -Respon learning theory and operant conditioning, Data collection techniques
used are observation, interviews and literature. Results of data analyzed by the technique
descriptive qualitative.

Research results show that Hindus Against Family Parenting Concepts Tattwa,
Gunungsari village in instilling values Panca Srada used story a pattern, Pramana
Pratyaksa Pattern and Pattern Anumana Pramana. Meanwhile, the family in the village
Gunungsari Concept instill ethics in practice, excample Parenting Pattern and Pattern
habituation, Authoritarian Parenting and. Families Against ceremony in the village concept
Gunungasari use excample Pattern and Pattern habituation.

Keywords: Parenting, Family Hindu, Tatwa, Ethics, Ceremony.
I. PENDAHULUAN
Manusia adalah mahluk sosial yang memerlukan hubungan dengan sesamanya atau
pertemanan yang didasari untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan hidup bersama, dalam
wujud bersama yang disebut masyarakat. Secara umum masyarakat ini disebut sebagai
kumpulan individu-individu atau unit sosial terkecil.
Mahluk hidup salah satunya adalah manusia memerlukan kebutuhan yaitu rohani dan
fisik, dan diantaranya adalah pemenuhan kebutuhan biologis. Keluarga merupakan
masyarakat paling kecil atau unit sosial yang terkecil yang terdiri dari suami, istri dan

2

anak-anak yang secara sah diikat dengan adat atau agama. Pembentukan keluarga diawali

dengan perkawinan yang merupakan sebagai kebutuhan dasar manusia
Keluarga mempunyai fungsi-fungsi yang menjaga hubungan antar anggota keluarga
sehingga nilai-nilai dapat terjaga dan terpelihara dari suatu generasi ke generasi berikutnya.
Diantara fungsi-fungsi tersebut adalah fungsi biologis, sosialisasi, dan afeksi. Fungsi
tersebut tidak akan berubah atau tergerus oleh jaman (Fadil dann Supriyatno, 2007:119).
Diantara fungsi yang paling menonjol adalah fungsi sosialisasi atau pendidikan.
Keluarga dalam bidang pendidikan diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara (dalam
Shocib, 1998:10) keluarga merupakan pusat pendidikan yang pertama dan terpenting.
Pidarta (1997:19) menggungkapkan bahwa pendidikan keluarga sebagai pendidikan
pertama karena bayi atau anak itu pertama kali berkenalan dengan lingkungan serta
mendapat pembinaan pada keluarga. Pendidikan pertama ini dianggap penting sebagai
dasar dalam pengembangan-pengembangan berikutnya.
Sesuai dengan fungsinya keluarga mempunyai fungsi untuk memberikan pendidikan
nilai-nilai spritual keagamaan, pengetahuan dan keterampilan dasar kepada anak-anak yang
akan menjadi landasan bagi pendidikan yang akan diterimanya pada masa-masa
selanjutnya. Pendidikan keluarga menjadi lingkungan pertama yang memberikan pengaruh
kepada anak. Baik ataupun buruk anak pada masa selanjutnya ditentukan oleh lingkungan
yang mereka peroleh pertama kali yaitu keluarga.
Keluarga yang ideal menurut ajaran Hindu atau keluarga yang Hita Sukaya
((Sukinah) adalah keluarga yang cukup sandag, papan, selalu rukun dan berpendidikan.

Pendidikan sebagi salah satu pembentuk keluarga Hita Sukaya sangat tepat dimana salah
satu tujuan Pendidikan Agama Hindu adalah pembentukan karakater luhur (Swami Satya
Narayana) yang tertuang dalam konsep pendidikan budi pakerti. (Titib,2003:75).
Dengan melihat kondisi saat ini tantangan generasi kedepannya keluarga akan
menjadi pilar utama dalam pembentukan karakter. Tahapannya dimulai tentunya, dari usia
dini sehingga seseorang mempunyai kebiasaaan yang mantap dan bijaksana pada usia
dewasa dan tua. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa orang yang memiliki karakter
dimasyarakat adalah orang tersebut telah mendapatkan pendidikan karakter di tengah
keluarganya.
Permasalahanya sekarang adalah pendidikan nilai yang sumbernya dari konsep ajaran
agama saat ini menghadapai tantangan yang sangat besar, yaitu perkembangan dan

3

pergeseran nilai budaya masyarakat. Pergeseran nilai dan budaya ini dampak dari
kemajuan manusia di bidang teknologi, terutama dibidang komunikasi. Teknologi
komunikasi sering dijadikan alasan atau sebab terjadinya masalah-masalah pendidikan
terutama berkaitan dengan nilai-moral remaja dalam keluarga melalui tayangan senetron.
TV sudah sebagai saran pemenuhan kebutuhan pokok akan hiburan dan informasi
menyebakan TV sudah pasti ada disetiap rumah dalam keluarga tersebut dengan berbagai

tayangan baik yang bersifat mendidik maupun tidak. Sepanjang dua puluh empat jam tanpa
henti, yang menyebabkan merubah pola waktu dan juga mempengaruhi sikap anak-anak
dan remaja. Ini diakibatkan oleh dampak iklan yang ditayangkan terus menerus yang telah
melahirkan sikap konsumerisme dan hedonisme. Selain pengaruh media TV perilaku
menyimpang yang terjadi juga diakibatkan hiburan-hiburan yang menampilkan pornografi
dan fornoaksi, akses internet yang bebas melalui warung internet semakin mendesak dan
mempersempit peranan pendidikan keluarga.
Salah satu sumber yang dapat memperkuat ketahanan keluarga adalah ajaran agama
Hindu. Dalam ajaran agama Hindu keluarga tersebut begitu penting hal ini terungkap
dalam Manawadharma Sastra bahwa orang tua harus mendidik anak dengan baik sebab
anak yang baik akan menebus dosa-dosa leluhurnya di akhirat. Selanjutnya di dalam Weda
Smerti IX. 96 dinyatakan bahwa:
Untuk menjadi ibu, wanita itu diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki tersebut
diciptakan upacara keagamaan karena itu ditetapkan dalam Weda untuk dilakukan
oleh suami bersama dengan istrinya.
Kutipan di atas menjelaskan kepada kita bahwa perkawinan disamping untuk
membentuk keluarga yang bahagia, juga bertujuan untuk menjalankan upacara keagamaan.
Sehingga nampak bahwa didalam pelaksanaanya agama bukan bersifat formalitas tetapi
sudah menjadi sendi-sendi dasar dalam kehidupan. Untuk itu nilai dan norma yang
terkandung dalam sumber ajaran agama Hindu memerlukan penjelasan yang konfrenhensif

juga diperlukan penelitian yang faktual dan normatif.
Kerangka dasar agama Hindu ada tiga yaitu Tattwa, Etika dan Acara, dalam
aplikasinya atau penerapannya harus terjadi keseimbangan, antara ketiga hal tersebut sebab
ketiganya satu kesatuan yang utuh, dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Tattwa sebagai inti
ajara agama Hindu, Etika pelaksanaan dari ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari dan

4

Acara pengorbanan suci yang tulus iklas kehadapan Ida Sanghyang Widhi. Oleh sebab itu
dalam mendidik keluarga Hindu hendaknya orang tua menanamkan konsep tri kerangka
dasar agama Hindu tersebut dari usia dini sehingga anak-anak Hindu sudah mempunyai
karakter yang kuat sesuai dengan konsep agamanya.
Penelitian ini penting dilakukan karena kondisi keluarga saat ini disinyalir mulai
kehilangan fungsi dan peranannya termasuk didalam keluarga Hindu, terutama fungsi
sosialisasinya atau kependidikannya (dari mass media, suarat kabar TV ) apabila dibiarkan
akan mendororng lahir keluarga yang hanya menjadi tempat pemberhentian sementara dari
anggota keluarga. Dampak yang muncul selalu merugikan anak, sehingga kelihatan bahwa
orang tua dalam mendidik anak seperti tidak ada pola atau melepaskan begitu saja anaknya
tanpa konsep yang jelas keluarga yang kering akan nilai-nilai dan etika agama yang
menyebabkan lahirnya generasi baru yang apatis dan tidak mempunyai rasa kemanusiaan

beragama hanya berifat formalitas.
Pemaparan diatas memberi gambaran bahwa secara teoritis pendidikan pertama dan
utama dimulai dari keluarga akan memberikan dampak yang signifikan terhadap
perkembangan anak selanjutnya didalam kehidupan anak tersebut. Untuk itu dipandang
perlu orang tua mengerti dan memahami bahwa untuk bisa mempunyai anak yang suputra
atau anak yang mempunyai budi pakerti yang luhur tidak bisa secara serta merta akan
terwujud apabila tanpa memperhatikan pola asuh yang digunakan untuk menamkan nilainilai tersebut.
Dari permasalahan utama di atas, dapat jabarkan ke dalam beberapa permasalahan
yang perlu diketahui yaitu bagaimanakah pola asuh keluarga Hindu terhadap konsep
Tattwa , Etika dan Acara/Upacara sebagai sumber nilai-nilai pendidikan Hindu. Dari
permasalahan tersebut maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah secara
umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan realisasi pola pendidikan tattwa,
etika dan acara secara dini oleh orang tua terhadap anak-anaknya didalam keluarga yang
dilandasi oleh konsep-konsep ajaran agama Hindu. Lebih dalam lagi penelitian ini ingin
memberikan gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana tiga kerangka dasar agama
Hindu Tattwa, Etika dan Acara bisa laksanakan oleh orang tua melalui pola pendidikan
dini untuk mewujudkan keluarga yang Sukinah (Hita Sukaya).

5


II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang mengungkapkan secara deskriftif
dan

relevan dengan tujuan penelitian. Penelitian ini dilakukan di Desa Gunungsari,

Kecamatan Seririt Kabupaten Buleleng, Data atau informasi yang diperlukan dikumpulkan
dengan menggunakan teknik dokumentasi dan wawancara. Dokumentasi sumber data
dilakukan dengan menbaca buku-buku dan lontar yang ditemukan di toko-toko buku atau
di

perpustakaan-perputakaan (pusat dokumentasi). Wawancara melibatkan warga

masyarakat desa Gunungsari yang memiliki anak-anak kecil. Partisipan tersebut dipilih
setelah terlebih dahulu dilakukan penjajagan terhadap kesediaan mereka dan memiliki
kualifikasi dalam penelitian ini. Analisis data dilakukan dengan teknik analisis interpretatif
yang dibantu dengan teknik triangulasi,yaitu pemeriksaan kesahiahan data dengan
membandingkan data yang diperoleh, bentuk yang dipakai adalah triangulasi metode yaitu
melengkapi kekurangan informasi yang diperoleh dengan metode tertentu dengan
mengunakan metode lain (Danim,2002:196).

III TEMUAN HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa konsep tiga kerangka dasar agama Hindu
dalam pelaksanaanya tidak bisa dipisahkan-pisahkan, sehingga dalam kehidupan prilaku
keagamaan kita sebagai penganut Hindu semestinya selalu berpedoman dan mampu untuk
mengerti dan memahami apa yang semestinnya dijalankan dalam melaksanakan kehidupan
sehari-hari. Adapun secara umum pola yang ada didalam mendidik anak atau pengasuhan
yang digunakan didalam keluarga adalah sebagai berikut: (1). Autoritarian: orang tua
cenderung membentuk, mengontrol,dan mengevaluasi sikap dan perilaku anak dengan
menggunakan standar yang absolut dan kaku, menekankan pada kepatuhan, penghormatan
kekuasaan, tradisi, menjaga keteraturan dan kurang menjalin komunikasi lisan. Kadangkadang orang tua menolak kehadiran anak. (2). Autoritatif: orang tua cenderung
mengarahkan anak berpikir secara rasional, berorientasi pada tindakan atau perbuatan,
mendorong komunikasi lisan, memberi penjelasan atas keinginan dan tuntutan yang
diberikan kepada anak tetapi juga menggunakan kekuasaan jika diperlukan, mengharapkan
anak untuk menyesuaikan dengan harapan orang tua, tetapi juga mendorong anak untuk
mandiri, menetapkan standar perilaku anak yang fleksibel. (3). Permisif: orang tua

6

cenderung bersikap positif terhadap keinginan, sikap dan perilaku anak, sedikit
menggunakan hukuman, tidak banyak menuntut anak terlibat dalam pekerjaan rumah dan

tanggung jawab, membiarkan anak mengatur perilakunya sendiri, menghindari
pengontrolan dan menggunakan rasional dalam mencapai suatu tujuan.
Keluarga Hindu di Desa Gunungsari mempergunakan berbagai pola untuk
mensosialiasikan ataupun mnerapkan nilai-nilai pendidikan agama yang ada seperti hasil
berikut ini:
3.1 Pola Asuh Keluarga Hindu Terhadap Konsep Tattwa di Desa Gunungsari
Konsep Tatwa yang dilaksanakan adalah:

1)Percaya dengan adanya Tuhan, 2)

Percaya dengan adanya Atman, 3) Percaya dengan adanya Karmaphala, 4) Percaya dengan
adanya Punarbawa, 5) Percaya dengan adanya Moksa.
Dalam penelitian ini dapat didokometasikan bahwa konsep-konsep

tatwa yang

ditekankan adalah: a). Percaya dengan adanya Tuhan, adapun caranya adalah keluarga
melaksanakan persembahyangan atau memuja Tuhan karena percaya terhadap adanya Ida
Sanghyang Widhi kepercayaan ini adalah kepercayan yang diterima secara turun temurun,
bahwa mereka percaya terhadap keberadaan Tuhan itu sendiri memang ada, dan penyebab

dari semua yang ada ini. Dengan demikian apa yang diyakini oleh responden tersebut
merupakan sesuatu hal yang wajar sebagaimana tersirat didalam kitab-kitab suci Hindu
yaitu bakti terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah satu hal yang paling utama dalam
kehidupan ini sebagaimana ditegaskan dalam Bagawadgita Bab XVIII Sloka 65 yaitu:
Manmana bhava madbhakto
Madhyaji mam mamaskuru
Mam evaisyasi satyamkuru
Pratijane priyo’si me
Artinya:
Berpikirlah tentang Aku senantiasa, jadilah penyembah-Ku,
Bersembahyang dan berdoa kepada-Ku, dengan demikian,
Pasti engkau datang kepada-Ku, Aku berjanji demikian
Kepadamu, karna engkau angat ku kasihi (Kadjeng:95:2005)

7

Sloka tersebut menggambarkan bahwa sembahyang adalah sesuatu yang wajib
semestinya dilaksanakan dilaksanakan oleh anak atau anggota keluarga sebab ini adalah
sabda Tuhan agar kitab selalu untuk mengingant-Nya, berdoa kepada-Nya dan datang
keapda-Nya. Keyakinan mereka akan keberadaan Tuhan itu adalah hal mutlak agar

anggota keluarga mereka juga ikut dan mempunyai peraaan yang sama sebab beragama
adalah harus sesuai dengan rasa kitab. Diungkapkan bahwa bersama keluarga
melaksanakan persembahyangan. dengan membiasakan anaknya untuk sembahyang pada
saat odalan di merajan ataupun dirumah dilaksanakan dengan mempergunakan canang
tangkih secara bergilir, walaupun dilakukan dengan cara yang sederhana keluarga ini sudah
mencoba untuk memahami bahwa sembahyang tidak harus dilaksanakan dengan sarana
yang megah atau komplit baru melaksanakan sembahyang melainkan dengan
membiasakan anaknya dengan memberi contoh dahulu kemudian baru menyuruh anaknya
untuk melaksanakan hal yang sama seperti orang tuanya.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa mereka mempergunakan Pola
Keteladan tanpa disertai dengan hukuman atau perintah harus tetapi dengan memberikan
contoh terlebih dahulu dan kemudian dilakukan dengan pembiasaan. Menurut teori
konvergensi hasil pendidikan anak dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu pembawaan dan
lingkungan. Diakui bahwa anak lahir telah memiliki potensi yang berupa pembawaan, dari
penjelasan diatas nampak bahwa orang tua membentuk perilaku anggota keluarganya
dengan membentuk lingkungan yang baik sehingga ditiru oleh anggota keluarganya, hal ini
sesuai dengan Teori Belajar R-S Bond Dimana ketika orang tua beriteraksi dengan
anaknya menginginkan adanya perubahan perilaku atau terbentuk perilaku, yaitu dengan
mempersiapkan anak dengan hukum kesiapan belajar Hukum latihan, belajar akan berhasil
apabila banyak latihan, dan ulangan artinya anaknya diuruh untuk mengikuti kegiatan
orang tuanya sehingga lama-lama anggota keluarga tersebut terbiasa dan menjadi pola
perilaku yang tetap.
b)

Percaya dengan adanya Atman, keluarga tersebut untuk memberikan

pemahaman terhadap keberadaan atma mempergunakan PolaCerita secara terus menerus
terutama kepada anak-anak mereka disamping cerita tersebut membuat anak-anak tertarik
orang tua disini sudah menekankan apa sebenarnya arti dibalikCerita tersebut. c) Percaya
Dengan Adanya Karmaphala, Karma phala berarti buah dari perbuatan yang telah

8

dilakukan atau yang akan dilakukan. Karma phala pada dasarnya akan memberi optimisme
kepada setiap manusia, bahkan semua makhluk hidup sebab apapun yang kitab perbuat
pasti mendaptkan hasil. Berdasarkan ungkapan-ungkapan informan menyatakan bahwa apa
yang dialami adalah merupakan karma atau perbuatan yang terdahulu sekarang dipetik
buahnya atau akan cepat sekali menerima perbuatan baik dan buruk tersebut. Untuk
memberikan pemahaman terhadap keluarganya biasanya mengambil kesimpulan, dari apa
yang diterimanya atau memberikan contoh orang lain, ini artinya keluarga ini menerapkan
pola Praktyaksa Pramana yaitu pengalaman langsung apa yang diterimanya, dan
mempergunakan pola Anumana Pramana dimana melalui analisis logis dan contoh yang
nyata di sekitar lingkungannya. d) Percaya dengan adanya Punarbawa Kelahiran
berulang-ulang atau Punarbawa, renkarnasi dari bahasa Latin untuk "lahir kembali" atau
"kelahiran semula" atau t(um)itis, merujuk kepada kepercayaan bahwa seseorang itu akan
mati dan dilahirkan kembali dalam bentuk kehidupan lain. Yang dilahirkan itu bukanlah
wujud fisik sebagaimana keberadaan kita saat ini. Yang lahir kembali itu adalah jiwa orang
tersebut yang kemudian mengambil wujud tertentu sesuai dengan hasil pebuatannya
terdahulu.
Dari hasil wawancara bahwa keluarga di desa Gunungsari didalam memahami
punarbawa ini adalah bahwa ada yang disebut renkarnasi dengan menyatakan bahwa anak
merreka mirib kakeknya atau leluhurnya siapa terdahulu dengan mempergunakan ceritacerita. e) percaya dengan adanya Moksa,

keluarga di desa ini menyatakan bahwa

mereka mengetahui akan adanya konsep moksa tetapi mustahil kita bisa menyatu dengan
Tuhan tersebut sebab dengan adanya proses karmaphala yang memberikan kita hasil
terhadap perbuatan yang dilaksanakan, manusia jaman sekarang pasti sudah kena karma
dan harus kembali lagi ke dunia untuk memperbaiki kesalahan-kesalahanya sehingga akan
lahir berulang-ulang.
Penjelasan tersebut diatas mengidentifikasikan bahwa keluarga di Desa Gunugsari
dalam menerapkan Pola Asuh adalah dengan mempergunakan beberapa pola didalam
menanamkan nilai-nilai atau aspek-aspek lima kepercayaan dalam agama Hindu yaitu
panca srada seperti mempergunakan 1) Pola Keteladan , 2) PolaCerita 4) Pola Anumana
Pramana dan 5) Pratyaksa Pramana .
3.2 Pola Asuh Keluarga Hindu Terhadap Konsep Etika di Desa Gunungsari

9

Etika

adalah

pedoman

manusia

didalam

berperilaku

untuk

menciptakan

keharmonisan dalam hidupnya dengan sesama, dalam Hindu sumber etika Hindu adalah
Dharmasastra yang merupakan sebagai salah satu pedoman dalam kehidupan
bermasyarakat, didalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah tata susila.
Aspek Tri Kaya Parisudha ini adalah begitu penting untuk ditanamkan kepada anakanak sehingga dengan mempergunakan pola yang tepat maka perilaku anak diharapkan
mampu menrapkan konsep ini dan dibawa sampai dewasa nantinya, yang mulai dari proses
berpikir, berkata dan tentunya dapat dilihat dari perilaku kesahari-hariannya baik itu
dilingkungan keluarga, sekolah maupun di lingkungan masyarakat yang menilai secara
umum anak tersebut mempunyai etika atau tidak yang tentunya nantinya membawa juga
nama baik bagi keluarga itu sendiri. Oleh sebab itu keluarga yang baik atau baik tidaknya
suatu keluarga juga ditentukan oleh anak-anaknya, oleh sebab itu etika anak dibina dengan
baik dengan mempergunakan pola asuh yang benar dan tepat sehingga anak menjadi taat
dan patuh serta melaksanakan apa yang ditanamkan. dalam penelitian pola asuh keluarga
Hindu terhadap konsep Etika di Desa Gunungsari yang diamati dan di bahas adalah aspek:
a) Wacika (Berkata yang baik dan benar), didalam menamkan nilai-nilai etika
didalam keluarganya seperti apa yang diungkapkan bahwa keluarga tersebut didalam
menanamkan nilai etika berbicara adalah dengan cara memberikan contoh yang nyata.
Seperti apa yang terkandung didalam Saracamuscaya ada sloka yang isinya
menunjukan bahwa ada beberapa hal yang tidak patut muncul dari kata-kata yaitu empat
banyaknya yaitu perkataan jahat, perkataan kasar, menghardik, perkataan
memfitnah, perkataan bohong, itulah keempatnya harus disingkirkan dari perkataan
jangan diucapkan, jangan dipikirkan akan diucapkan (Kadjeng:630). Penjelasan sastrasastra agama tersebut dihayati dan dilaksanakan, dalam hal ini telah disadari betul oleh
para orang tua didalam mengasuh anaknya yaitu dengan menekankan untuk tidak berkata
bohong dengan mempergunakan Pola Keteladanan.
b). Tidak Berkata Kasar (Madarwa), Untuk menanamkan sikap dan tingkah laku
yang positif dikalangan anak-anaknya keluarga dalam hal ini orang tua menekankan untuk
tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas kepada orang tuanya, maupun kepada
orang lain atau dengan kata lain bisa berkata dengan manis dan sopan. Dalam pandangan
ini orang tua mengangap anak tersebut langgah atau secara umum dianggap tidak

10

mempunyai sopan santun bila anak-anak berbicara kasar ataupun melawan apa yang
disampaikan oleh orang tua kepada anak-anaknya.
Untuk membiasakan hal tersebut orang tua memberikan contoh untuk tidak berkata
keras-keras dengan memberi nasehat kepada anaknya.
Dalam pustaka suci jelas diunggkapkan bahwa berkata kasar atau tidak mempunyai
sopan santun akan berakibat kepada keluarga. Seperti yang tersirat didalam pustaka suci
Saracamuscaya ( Kajeng,2003:98) sloka 117:
Dve karmani narah kurvaniha
Loke mhayate,
Abruvan parusam kincidasato
narthayamathe
Artinya:
Ada dua hal yang menyebabkan orang dipuji
Orang yang tidak suka berkata kasar,
Orang yang tidak suka berbuat yang tidak patut
Demikian itulah orang yang dipuji di dunia.
Sloka tersebut dengan jelas menyatakan bahwa berkata kasar, berbuat yang tidak baik
adalah hal yang patut untuk dihindari sebab, hal-hal ini membuat kitab mudah untuk
tersinggung berbicara galak, dan berigas sehingga hal-hal seperti ini patut untuk di kurangi,
dan yang paling penting adalah kemampuan untuk mengendalikan kemarahaan sehingga
kedamaian di dunia ini akan terwujud.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keluarga didesa Gunungsari didalam
menanamkan nilai-nilai berkata yang baik dan benar mempergunakan Pola Keteladanan,
kemudian juga mempergunakan Pola dengan pengelolaan secara Kasar dan Tegas, orang
tua yang mengurus keluarganya menurut skema neourotik menentukan peraturan yang
keras dan teguh yang tidak akan diubah dan mereka membina suatu hubungan majikanpembantu antara mereka sendiri dan anak-anak mereka yaitu dengan memberikan
hukuman atau dipukul. Sehingga ini artinya mereka menerapkan Pola Otoriter dalam pola
ini orang tua memiliki kaidah-kaidah dan peraturan yang kaku dalam mengasuh anaknya,
setiap pelanggaran dikenakan hukuman dan tidak pernah ada pujian apabila anak
melaksanakan aturan dalam perilakunya

11

c)

Satya (Kejujuran), Dalam agama Hindu jujur adalah satu hal yang sangat

penting seperti apa yang tercantum dalam kitab suci agama Hindu Satya yang artinya
kebenaran dan kejujuran adalah sangat membatu dalam kehidupan manusia itu sendiri
bagaimana dengan penanaman nilai kejujuran ini didalam keluarga Hindu di desa
Gunungsari, didalam menanamkan kejujuran melalui pola keteladan orang tua yaitu
dengan memberi contoh otomatis akan diikuti oleh anggota keluarga yang lain. Artinya
sekecil apaun perbuatan yang dilakukan berkaitan dengan hal-hal yang membuat orang
tidak percaya harus dihindari walaupun didalam kitab suci disebutkan bahwa dalam
beberapa hal boleh kita untuk berbohong tentunya demi kebaikan.
d)Akroda, Akroda adalah sifat manusia yang memang ada didalam setiap manusia
oleh sebab itu kemarahaan akan membawa dampak yang kurang bagus pada setiap
individu manusia itu sendiri. Keluarga didesa Gunungsari dari hasil observasi dan
wawancara nampak bahwa belum semua keluarga mampu untuk mengendalikan atau untuk
menjadi orang yang pemarah apalagi sifat orang tersebut yang tempramental. Untuk bisa
menanamkan nilai agar keluarga bisa mengendalikan amarahnya didalam keluarga
memang sulit tetapi, mereka berusaha untuk menahan marah yaitu tujuannya anak-anak
mereka agar tidak ikut-ikutan gampang marah. Kalau kita simak didalam kitab Slokantara
kemarahan tersebut sebenarnya adalah suatu keharusan tetapi harus dikendalikan seperti
apa yang diungkapakan didalam sloka 40 dalam pembahasan Lima Keharusan menyatakan
”Ahimsa brahamacarya ca Cuddharaharalagagawan Astainyamiti Yama rudrene
bhasitah” kalau diterjemahakan arti bebasnya tidak menyakiti, menguasai hawa nafsu
kesucian, makanan sederhana, tidak mencuri-lima macam keharusan ini diajukan oleh
bhatara rudra. Jelas sekali bahwa tindakan marah pada orang lain sudah tidak sesuai
dengan etika sebab keharmonisan hubungan dengan anggota masyarakat yang lain akan
terganggu
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akroda adalah hal yang harus
ditanamkan kepada anggota keluarga dengan cara orang tua memberikan contoh kepada
anggota keluarganya hal ini sudah dilakukan oleh orang tua didesa Gunungsari dengan
memberikan contoh pergi, bila ada hal-hal yang menimbulkan kemarahaan.

12

e) Apramada, setiap manusia harus melaksanakan kewajiban atau dharma diri
sendiri dari pada mengerjakan tugas orang lain walaupun tidak sempurna daripada
mengerjakan kewajiban orang lain dengan baik.
Dengan demikian kewajiban harus diketahui oleh setiap orang sehingga bisa
mengerjakan dengan baik, begitu pentingnya hal ini maka semenjak dini, harus
ditanamkan kesadaran akan kewajiban, bagaimana dengan keluarga di desa Gunungsari,
Keluarga disini menekankan bahwa didalam menamkan nilai ingat akan kewajiban
ini dilaksanakan dengan pola keteladan ini dapat dilihat dengan apa yang dia lakukukan
terhadap diri sendirinya yaitu apa yang menjadi profesi atau

pekerjaannya harus

dilaksanakan jangan lain-lain. Begitu juga cara untuk mengingatkan anggota keluarga yang
lain yaitu dengan pola otoriter, yaitu perintah yang tegas karena membuat pekerjaan rumah
adalah kewajiban yang harus dilaksankan oleh seorang murid kalau tidak dilaksanakan
akan kena hukuman atau sangsi.
f) Sura, Keluarga didesa Gunungsari kuatir dengan adanya anggota keluarga yang
suka mabuk-mabukan, sebab anak-anak muda sekarang lebih banyak menghabiskan waktu
dengan mabuk-mabukan atau selalu mengkonsumsi minuman keras. terus bagaimana cara
mereka agar anak atau anggota keluarga mereka tidak terjerumus kedalam pergaulan yang
salah. Adapun cara yang dipakai untuk menghindari anak-anaknya tidak suka
mengkonsumsi minuman keras adalah dengan cara memberikan hukuman,
Ini menandakan bahwa orang tua sudah punya cara agar anggota keluarga mereka
tidak terjerumus kedalam pergaulan yang salah. Adapun pola yang digunakan adalah Pola
keteladan dan Pola Otoriter, ini didapat dari apa yang dijelaskan yaitu orang tua tidak akan
melakukan atau mengkonsumsi minuman keras, dan juga mereka akan menghukum anak
mereka bila ketahuan mengkonsumsi minuman keras. Walaupun pada dasarnya mereka
tetap sayang pada anak-anakanya, seperti apa tercantum didalam kitab Nitisastra
disebutkan, Nordna sih mangeluwihaning atanaya (Tidak ada kasih sayang yang melebihi
kasih sayang orangtua kepada anaknya). Artinya kasih sayang orang tua tidak akan pernah
luntur walaupun apa yang terjadi, mereka akan tetap menyayangi anak-anak mereka karena
itu walaupun keras terhadap anak adalah demi kebaikan anak itu sendiri.

13

3.3 Pola Asuh Keluarga Hindu Terhadap Konsep Acara/Upacara di Desa
Gunungsari.
Pada dasarnya atau intinya manusia semenjak lahir telah membawa hutang yang
disebut dengan Tri Rna. Hutang inilah yang mendasarinya timbulnya yadnya atau
pengorbanan suci yang tulus iklas tersebut sebagai ungkapan terima kasih.
Demikian pula dengan keadaan masyarakat desa Gunungsari sediri didalam
kegiatan aktivitasnya lebih banyak berhubungan dengan kepercayaan yang dianutnya yaitu
agama Hindu. Maka aspek panca yadnya tersebut tiap keluarga pasti melaksanakannya.
Dalam penelitian ini rumusan Panca Yadnya yang dirujuk adalah Panca Yadnya
yang diuraikan dalam Lontar Agastya Parwa. (dalam Wiana,2000:52) yang rinciannya
sebagai berikut:
a. Dewa Yadnya, yaitu mempersembahkan minyak, biji-bijian kepada Dewa Siwa,
Agni di tempat pemujaan dewa.
b. Rsi Yadnya, yaitu menghormati pendeta dan membaca-baca kitab suci.
c. Pitra Yadnya, yaitu upacara kematian agar roh mencapai alam Siwa.
d. Butha Yadnya, yaitu menyejahterakan tumbuh-tumbuhan dan menyelenggarakan
upacara tawur dan Panca Wali Krama.
e. Manusa Yadnya, yaitu memberi makanan kepada masyarakat.
Pelaksanaan Panca Yadnya yang terkecil yang dapat dilakukan setiap hari adalah
melakukan Yadnya Sesa setelah selesai masak. Habis masak makanan terlebih dahulu
dipersembahkan kepada Tuhan. Sisa persembahan itulah yang kitab makan. Makanan itu
adalah makanan yang telah mendapat anugerah Tuhan. Karena itu makanan yang dimakan
setelah dipersembahkan disebut prasadam. Prasadam dalam bahasa Sanskerta artinya
anugerah. Sesuai dengan observasi nampak bahwa beberapa hal seperti:
a) Pelaksanaan Pola Asuh Terhadap Aspek Dewa Yadnya, Pola asuh terhadap
pelaksanaan konsep Dewa yadnya orang tua di desa Gunungari sebenarnya sudah
dilaksanakan dengan baik seperti menyadari sebagai umat Hindu melaksanakan upacara
adalah suatu kewajiban.

Dan dinyatakan juga bahwa orang Bali sebagi orang yang

berumat Hindu sesuai dengan kebudayaan Bali wajib melaksanakan yadnya khsususnya

14

persembahan kepada Tuhan dengan jalan menghaturkan apa yang di buat sebagai
ungkapan terima kasih, tetapi masyarakat belum memahami apa yang sebenarnya arti atau
makna itu semua yang dilakukan.
Berdasarkan beberapa kitab suci dengan jelas memaparkan bahwa kitab harus
melaksanakan yadnya sesa sebagai bentuk terkecil dari yadnya itu sendiri seperti
terungakap di dalam (Bagawadgita,III.13) ”Yajna-sistasinah santo mucyante savakilbisaih, bhujante te tv agham papa ye pacanty atma-karanat. Yang mempunyai arti
yaitu, Ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari segala dosa, tetapi ia yang memasak
makanan hanya bagi diri sendiri, sesungguhnya makan dosa.
Maksud dari sloka tersebut adalah bahwa apa yang kitab sajikan kepada para dewa
yang memberi kitab semuanya, apabila kitab menyantapnya artinya dianggap telah bebesa
dari segala dosa dan kesalahan. Dalam konteks ini orang yang memasak nasi hanya untuk
dirinya sendiri tanpa ngejot itulah disebut dosa atau bersalah. Bahwa hakekatnya yadnya
adalah korban kepada Tuhan sebagai ungkapan terima kasih atas apa yang telah diberikan
kepadanya dan sesuai dengan apa yang tertuang didalam kitab-kitab suci Hindu. Adapun
pola yang digunakan untuk kegiatan tersebut adalah dengan menggunakan Pola keteladan
yaitu dengan memberikan contoh kepada anak-anaknya atau anggota keluarga yang lain,
sehingga pola pembiasaan ini akan dikuti dan menjadi kebiasaan dianggota keluarga
tersebut. Artinya sesuai dengan teori R-S Bond dimana orang tua melakukan pembiasaan
kemudian diberikan penguatan sehingga stimulus tersebut direspon dengan baik oleh anakanaknya.
b) Pelaksanaan Pola Asuh Terhadap Aspek Rsi Yadnya,

Menurut rumusan

dalam kitab suci, Rsi Yadnya itu adalah menghormati dan memuja rsi atau pendeta. Dalam
kegiatan upacara, beberapa buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh Hindu di Bali menyebutkan
upacara madiksa digolongkan ke dalam upacara Rsi Yadnya. Dalam lontar Agastya Parwa
disebutkan, Rsi Yadnya ngaranya kapujan ring pandeta muang sang wruh ring
kalingganing dadi wang. Artinya: Rsi Yadnya adalah berbakti pada pendeta dan pada
orang yang tahu hakikat diri menjadi manusia. Kemudian kalau kitab lihat konsep Hindu
seperti upacara Rsi Bojana yaitu upacara penghormatan kepada sulinggih atau pendeta
dalam bentuk menyuguhkan makanan yang disajikan dengan sangat terhormat sudah
terlaksana dengan baik (observasi dalam kegiatan upacara yang melibatkan sulinggih).

15

Dengan demikian tidak ada upacara khusus yang dilaksanakan didesa Gunugsari
tetapi melayani pendeta pada saat-saat beliau memimpin upacara tergolong Rsi Yadnya
sudah dilaksanakan. Ungkapan ini disampaikan oleh hampir semua responden bila
diajukan pertanyaan yang sama artinya disini peran orang tua atau yang dituakan sangat
besar karena biasanya anak-anak muda takut tidak bisa matur sama sulinggih.
Kalau kitab simpulkan dari pernyataan diatas nampak bahwa orang tua sudah
memberikan pola asuh dengan pembiasaan dengan mengikutkan segala kegiatan rsi yadnya
yaitu dengan melakukan pendampingan dengan harapan nanti anak-anaknya bisa
mengikuti kebiasaan tersebut artinya pola keteladannya sudah dilaksanakan. Dengan
hukum belajar pembiasaan yang berulang-ulang sehingga tiba pada waktunya nanti bisa
mengantikan peran orang tuanya.
c) Pelaksanaan Pola Asuh Terhadap Aspek Pitra Yadnya, Pitra yadnya secara
umum dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali adalah Ngaben, Upacara ini bertujuan untuk
menghormati dan memuja leluhur. Pada dasarnya ngaben adalah bentuk penghormatan
orang yang masih hidup terhadap orang tua kita yang sudah meninggal, ini dapat dilihat
dari kata, Katapitra bersinonim dengan pita yang artinya ayah atau dalam pengertian yang
lebih luas yaitu orang tua.
Keluarga di desa Gunungsari dalam menjalankan fungsi ini dilakukan dengan cara
mengajak anak-anaknya terlibat didalam kegiatan ngaben tersebut (hasil observasi) dan
mereka melaksanakan upacara pitra yadnya atau ngaben adalah salah satu bentuk
penghormatan mereka terhadap orang tua mereka yang sudah meninggal dengan
menekankan untuk mendapatkan tempat yang lebih baik bagi kehidupan mereka.
Untuk menanamkan nilai-nilai tersebut terhadap aspek pitra yadnya ini penting
dilakukan agar tidak menimbulkan hal-hal yang mengurangi rasa hormat atau perhatian
generasi berikutnya makin berkurang didalam melaksankan upacara tersebut. Disimpulkan
juga bahwa para keluarga tersebut didalam menjelaskan tentang apa itu upacara ngaben
memang susah tetapi mereka menjalakan dengan Pola keteladan dan Pembiasaan
sehingga anak-anak mereka mampu untuk memahami apa yang ada dalam konsep atau
aspek pitra yadnya tersebut. Adapun cara tersebut dilaksanakan oleh orang tua juga
berdasarkan rasa hormat dan bakti mereka yang tulus iklas dalam memberikan
penghormatan terhadap arwah orang tua mereka sehingga pada dasarnya kita harus hormat
kepada orang tua yang masih hidup maupun sudah meninggal.

16

d). Pelaksanaan Pola Asuh Terhadap Aspek Butha

Yadnya, Upacara ini lebih

diarahkan pada tujuan untuk nyomia Butha Kala atau berbagai kekuatan negatif yang
dipandang dapat mengganggu kehidupan manusia. Butha Yadnya pada hakikatnya
bertujuan untuk mewujudkan Butha Kala menjadi Butha Hita seperti disebutkan dalam
Sarasamuccaya 135. Butha Hita artinya mensejahterakan dan melestarikan alam
Ymgkungan (Sarwapram). Upacara Butha Yadnya yang lebih cenderung untuk nyomia
atau mendamaikan atau menetralisir kekuatan-kekuatan negatif agar tidak mengganggu
kehidupan umat manusia dan bahkan diha-rapkan membantu umat manusia. Bentuk
upacara Bhuta Yadnya itu antara lain segehan, caru sampai dengan tawur. Segehan terdiri
dari lima belas jenis.
Dilihat dari penjelasan konsep butha yadnya tersebut nampak bahwa semua yang
ada dialam ini patut kita hormati, dengan demikian setiap keluarga semsetinya memahami
apa yang harus dilakukan dalam kehidupan ini. Bagaimana dengan keluarga di desa
Gunungsari, terhadap aspek ini menyatakan bahwa mecaru itu adalah cenderung sebagai
upacara nyomia atau mendamaikan atau mengubah fungsi dari negatif menjadi positif.
Sedang arti sebenarnya Bhuta Yadnya adalah memelihara kesejahteraan alam,

untuk

mengenalkan cara-cara melaksanakan kegiatan caru itu juga dilakukan dengan memberi
contoh. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang tua di desa Gunungsari dalam
mengenalkan aspek pitra yadnya sudah dipahami dengan baik dan menanamkan nilai-nilai
tersebut dengan cara Pola Pembiasaan dan Keteladan.
e). Pelaksanaan Pola Asuh Terhadap Aspek Manusa Yadnya, Dalam rumusan
kitab suci Weda dan kitab-kitab sastra Hindu, Manusa Yadnya atau Nara Yadnya itu
adalah memberi makan pada masyarakat (maweh apangan ring kramari) dan melayani
tamu dalam upacara (athiti puja). Upacara manusa yadnya adalah jenis upacara yang paling
sering dilaksanakan mulai dari dalam kandungan sampai mereka melaksanakan upacara
pernikahan. Untuk itu bagaimana keluarga Hindu di desa Gunungari menanamkan nilai-

17

nilai ini terhadap keluarganya bahwa aktivitas dari panca yadnya tersebut lebih dominan
dalam bidang manusia yadnya, aspek upacara manusa yadnya dilaksanakan atau pola asuh
yang dilaksanakan terhadap keluarga mereka adalah dengan Pola Pembiasaan dan
Keteladan ini dapat kita ketahui yaitu dengan apa yang diketahui oleh anak-anak mereka
adalah hasil mereka melihat apa yang dilaksanakan oleh orang tua mereka sebelumnya.
IV. Penutup
Dari hasil pembahasan terhadap permasalahan yang ada maka dengan dapat
disimpulkan bahwa keluarga di desa Gunungsari didalam menerapkan pola asuh terhadap
anggota

keluarganya

terhadap

aspek-aspek

tatwa,

etika

dan

upacara

adalah

mempergunakan berbagai pola seperti 1) terhadap konsep tattwa ditanamkan dengan
mempergunakan Pola Cerita, Pola Keteladan dan Pola Pratyaksa Pramana, dan Pola
Anumana Pramana. 2) terhadap konsep etika ditanamkan dengan mempergunakan Pola
Asuh Keteladan, Pola Pembiasaan dan Pola Otoriter, 3) terhadap konsep Upacara
mempergunakan Pola Keteladan, dan Pola Pembiasaan.
Dengan demikian dapat disarankan kepada: 1)

anggota keluarga didalam

menerapkan pola asuh , hendaknya mempergunakan berbagai pola yang ada baik itu pola
yang ada didalam agama Hindu maupun pola-pola yang ada didalam dunia pendidikan
barat. Kepada umat Hindu secara umum hendaknya lebih banyak mendalami konsepkonsep yang ada didalam agama sehingga bisa melakukan pendekatan-pendekatan pola
asuh yang lebih bernilai agama Hindu. 2) kepada lembaga yang berkaitan dengan keluarga
khususnya Hindu hendaknya lebih banyak meningkatkan bimbingan atau penyuluhan
kepada masyarakat-masyarakat terutama masyarakat pedesaan sehingga mereka lebih
memahami didalam mendidik keluarga mereka

18

DAFTAR PUSTAKA

Adeney, Bernad. 2000. Etika Sosial Lintas Budaya. Yogyakarta: Kanisius.
Atmaja.2003. Perempatan Agung (Catuspata) menguak Konsepsi Palemahan, Ruang dan
Waktu Masyarakat Bali. Denpasar: Bali Media Adhikarsa.
Bertens, K. 2004. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bhartihari. 2005. Niti Sataka (100 Sloka Tentang Etika dan Moralitas). Denpasar: Empat
Warna Komunikasi.
Budha,Gauatama Wayan. 2003. Tutur Lebur Gangsa (Terjemahan Lontar). Surabaya:
Paramita.
C. Fracassi, dan P. Urbani. 2000. Wejanggan Bhagawan Sri Satya Sai Baba (Mendidik
Anak Suputra Dalam Keluarga). Surabaya: Paramitha.
Dantes, Nyoman.1999. Teori-Teori Belajar, Teori-teori Intruksional dan Model
Pembelajaran, Makalah Seminar disajikan dihadapan Dosen JIP STKIP Singaraja
pada tanggal 6 Pebruari 1999.
Darmayasa, I Made.1995. Canakya Niti Sastra. Denpasar: Yayasan Dharma Narada.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2004. Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam Keluarga
(Sebuah Persepektif Pendidikan Islam). Jakarta: Rineka Cipta.
Donder, I Ketut. 2004. Sisya Sista (Pedoman Menjadi Siswa Mulia Dalam Perspektif
Relegiososiolenguistik Edukatif). Denpasar: Pustaka Bali Post.
Dekdibud,.1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Jakarta Balai Pustaka
Jendra, I Wayan. 2006. Berbicara Dalam Sastra Hindu (Tinjauan Relegiososiolenguistik
Filosofis). Denpasar: Empat Warna Komunikasi.
Kadjeng, I Nyoman dkk. 1997. Saracamucaya.Surabaya: Paramita
Mantra, Ida Bagoes. 2004. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

19

Mimbeng, I Gede. 1997.Kakawin Nitisastra dan Putra Sasana, Kecamatan Cakranegara,
Kodya Mataram: Pesantian Sanatagita.
Moleong. 2002. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Pudja, IG, dan Tjok. Rai Sudharta. 1976. Manawa Dharmacastra (Manu Dharmacastra).
Jakarta: Departemen Agama R.I
Pudja. IG. 2003. Bhagawandgita (Pancama Weda). Jakarta: Pustaka Mitra Jaya.
Shocib,Moh. 1998. Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu Anak Mengembangkan
Disiplin Diri. Jakarta: Rineka Cipta.
Soekanto, Soerjono.2004. Sosiologi Keluarga (Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan
Anak. Jakarta: Rineka Jakarta
Su’adah.2005. Sosiologi Keluarga. Malang:UMM .
Subagiasta, I Ketut.2007.Susastra Hindu. Surabaya: Paramita.
Sudarsana.I.B. Putu 1998. Ajaran Agama Hindu (Budi Pakerti) Denpasar: Yayasan
Dharma Acarya.
Suhardana,K.M.2006. Pengantar Etika dan Moralitas Hindu (Bahan Kajian Untuk
Memperbaiki Tingkah Laku),Surabaya: Paramita.
Tantra, Dewa Komang.2003.Penelitian Kualitatif, Disampaikan dalam Penataran
Metodelogi Penelitian Bagi Dosen di Lingkungan Universitas Flores, Yofertif pada
tanggal 5 s.d 9 Agustus di Flores, Nusa Tenggara Timur.
Titib, I Made.2003. Menumbuhkembangkan Pendidikan Budhi Pakerti Pada Anak
(Persefektif Agama Hindu). Bandung: Ganeca Exact Bandung.
----------------,1997. Perkawinan dan Kehidupan Keluarga (Menurut Kitab Suci Veda).
Surabaya: Paramita.
Wiana, I Ketut.1993. Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan, Pengantar Made Titib.
Denpasar: Manikgeni.
Yatim, Irwanto.1991. Kepribadian Keluarga Narkotika. Jakarata:Arcan

20

Tentang Penulis: I Gede Sedana Suci, adalah Dosen tetap pada Fakultas Dharma
Acarya.

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA REGULER DENGAN ADANYA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SD INKLUSI GUGUS 4 SUMBERSARI MALANG

64 523 26

STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN MALANG KOTA LAYAK ANAK (MAKOLA) MELALUI PENYEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN

73 431 39

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25