BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Hubungan Gaya Kepemimpinan Situasional dengan Kesejahteraan Psikologi pada Karyawan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia memiliki konsep ideal dalam hidupnya, salah satunya menurut Gavin dan Mason (2004) adalah kesejahteraan. Dewasa ini, kesejahteraan tidak hanya melihat kebahagiaan

  yang dimaknai dengan kepuasan dan perasaan positif atau negatif yang dimiliki oleh manusia, akan tetapi lebih berkembang ke arah optimalisasi fungsi manusia (Linley, Maltby, Wood, Osborne, & Hurling, 2009).

  Kesejahteraan fisik berkaitan dengan kesehatan jasmani sedangkan kesejahteraan psikologis merupakan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari ( Ryff, 1995). Ryff (1989) mengatakan kebahagiaan dapat disebut juga sebagai kesejahteraan psikologis. Ryff (1989) menyebutkan kebahagian (happiness) merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia. Ryff (1989) menyebutkan bahwa kesejahteraan psikologis terdiri dari enam dimensi, yaitu self-acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery , purpose in life dan personal growth.

  Seiring dengan perkembangan penelitian, konsep kesejahteraan psikologis tidak hanya berada pada ranah klinis, namun telah dirasa penting untuk ranah organisasi (Page & Vella- Brodrick, 2009). Pada organisasi, karyawan akan menunjukkan performa kerja yang baik ketika merasa sejahtera. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lyubomirsky, King, dan Diener (2002) seseorang dengan kesejahteraan psikologis yang tinggi akan menampilkan fleksibilitas dan orisinalitas yang tinggi, respon yang lebih baik atas umpan balik yang diberikan kepadanya, membuat penilaian positif tentang orang lain, menunjukkan tingginya level “keterikatan”, menjadi lebih produktif, dan bahagia ketika berada pada organisasi. Sejalan dengan hal tersebut, Russel (2008) berpendapat bahwa tingkat kesejahteraan psikologis seseorang yang tinggi akan membuat karyawan lebih terikat dengan pekerjaannya, memperoleh pendapatan yang lebih baik, memiliki hubungan yang baik dengan atasan dan juga rekan kerja, serta merupakan karyawan dengan rasa memiliki pada organisasi.

  Karyawan yang memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi berpengaruh positif terhadap produktivitasnya (Envick, 2012). Menurut Envick (2012), karyawan yang sejahtera adalah karyawan yang produktif. Karyawan yang tidak produktif akan menunjukkan performa yang menurun. Dalam hal ini, peran atasan dalam suatu organisasi tidak hanya menuntut karyawan saja, tetapi atasan dapat pula memotivasi dan menciptakan iklim menjadi positif (Walker Jr., 2011). Gilbreath dan Benson (2004) mengungkapkan bahwa kesejahteraan psikologis karyawan meningkat bila para atasan membuat tempat kerja menjadi sehat, namun tidak mengabaikan pengawasan. Sejalan dengan hal tersebut, Arnold, Turner, Barling, Kelloway dan Margaret (2007) menyebutkan bahwa kepemimpinan yang berkualitas secara positif mempengaruhi kesejahteraan psikologis orang lain. Faktor kepemimpinan atasan di suatu perusahaan akan berdampak pada kesejahteraan karyawan (Munandar, 2008). Hal tersebut tercermin dari sejauh mana atasan membantu karyawan untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi karyawan (Badeni, 2013).

  Organisasi tidak bisa berjalan tanpa kepemimpinan yang efektif, dan dibutuhkan pemimpin dengan kepemimpinan yang sesuai untuk memimpin organisasi dan karyawan (Riggio, 2009). Kepemimpinan yang seperti itu nampak terlihat pada jenis kepemimpinan situasional yang mana pemimpin dapat merubah gaya kepemimpinannya sesuai dengan kesiapan karyawan (Badeni, 2013). Daryanto dan Daryanto (1999), mengatakan model kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model perilaku pemimpin dengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan pemimpin. Studi tentang kepemimpinan situasional mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien. Model ini membahas aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan watak kepribadian pemimpin.

  Gaya kepemimpinan situasional merupakan gaya kepemimpinan yang efektif yang mana pemimpin menyesuaikan dengan tingkat kedewasaan dari para pengikutnya (Hersey & Blanchard, 1988: Badeni, 2013). Dalam hal ini bawahan merupakan faktor yang sangat penting dalam kepemimpinan situasional. Tingkat kedewasaan dari para bawahan menentukan gaya efektif dari pemimpin. Gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh Hersey dan Blanchard (1988) meliputi gaya telling, selling, participating, dan delegating. Gaya telling memiliki ciri yang dapat dikatakan arogan, karena apa yang dikehendaki si pemimpin, para bawahan harus mengikuti, komunikasinya bersifat searah. Seluruh pengambilan keputusan berada pada pimpinan, bawahan hanya sebagai pelaksana tanpa memiliki hak untuk menolak, selain itu pengawasan yang ketat pada pelaksanaan tugas. Gaya selling mulai melakukan komunikasi dua arah, bawahan telah diberi kesempatan untuk menyumbangkan pikirannya, namun pengambilan keputusan masih tetap berada pada pimpinan. Gaya participating, pimpinan dan bawahan bersama-sama berperan memberikan sumbangan pikiran, kemudian didiskusikan bersama dalam proses pengambilan keputusan. Sedangkan, gaya delegating merupakan gaya pimpinan yang lebih terbuka pada bawahan, komunikasinya bersifat dua arah atau ada umpan balik, bawahan dibiarkan bertindak sendiri dan menentukan kapan, dimana dan bagaimana tugas harus dilaksanakan. Gaya ini memberikan kepercayaan penuh kepada bawahan. Kepercayaan dan saling kerjasama antara pimpinan dan bawahan semakin meningkat, walaupun bentuknya secara tidak langsung.

  Faktor kunci kepemimpinan situasional yang efektif adalah kemampuan pemimpin mengidentifikasi Kesiapan individu maupun kelompok yang hendak dipengaruhi untuk selanjutnya menggunakan gaya kepemimpinan yang sesuai. Kesiapan merupakan tingkatan dimana seorang bawahan mempunyai kemampuan dan kemauan menyelesaikan tugas secara spesifik. Perilaku bawahan pada dasarnya, merupakan tanggapan terhadap gaya kepemimpinan yang diterapkan pada mereka dalam proses pemecahan masalah dan pembuatan keputusan. Ada empat tingkat kematangan bawahan, yaitu (1) Bawahan tidak mampu dan tidak mau atau tidak ada keyakinan (2) Bawahan tidak mampu tetapi memiliki kemauan dan keyakinan bahwa ia bisa (3) Bawahan mampu tetapi tidak mempunyai kemauan dan tidak yakin (4) Bawahan mampu dan memiliki kemauan dan keyakinan untuk menyelesaikan tugas (Mulyadi dan Rivai, 2012). Oleh karena itu, dalam kepemimpinan situasional penting bagi setiap pemimpin untuk mengadakan diagnosa dengan baik tentang situasi, sehingga pemimpin yang baik menurut teori ini, harus mampu (1) mengubah perilakunya sesuai dengan situasinya (2) mampu memperlakukan bawahan sesuai dengan kebutuhan dan motif yang berbeda-beda (Mulyadi dan Rivai, 2012).

  Karyawan dinilai dapat menghasilkan produk, laba, dan memelihara loyalitas pelanggan yang nantinya akan berdampak pada produktivitas organisasi (Harter, Schmidt & Keyes, 2002).

  Cascio (2003) menyatakan bahwa kinerja karyawan merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh langsung pada performa organisasi. Demi mendapatkan karyawan yang berkualitas dan memiliki kesejahteraan psikologis di sebuah organisasi, penting dilakukan program pengembangan karyawan. Sejalan dengan hal tersebut, Russel (2008) menyebutkan bahwa terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis karyawan, di antaranya adalah memberikan motivasi pada karyawan dengan meningkatkan rasa tanggung jawab dan memberikan upaya pengembangan lainnya yang dilakukan oleh atasan.

  Organisasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BUMN sebagai salah satu pelaku utama perekonomian nasional bertujuan untuk mendukung keuangan Negara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang keberadaannya saat ini diatur dengan UU no 19 tahun 2003 tentang BUMN.

  Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk meneliti apakah terdapat hubungan antara gaya kepemimpinan situasional dengan kesejahteraan psikologis pada karyawan.

  B. Rumusan Masalah

  Masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan penelitian, yaitu : apakah ada hubungan antara gaya kepemimpinan situasional dengan kesejahteraan psikologis pada karyawan?

  C. Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara gaya kepemimpinan situasional dengan kesejahteraan psikologis pada karyawan.

  D. Manfaat Penelitian

  Manfaat penelitian meliputi : 1. Manfaat Teoritis

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dalam memberikan informasi tambahan di bidang Psikologi Industri dan Organisasi, yaitu mengenai Hubungan antara gaya kepemimpinan situasional dengan kesejahteraan psikologis pada karyawan . Selain itu juga, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan di bidang psikologi industri dan organisasi sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penunjang untuk bahan penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

  Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi pada organisasi, mengenai gaya kepemimpinan situasional dengan kesejahteraan psikologis pada karyawan .

E. Sistematika Penulisan

  Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  Bab I : Pendahuluan Bab ini terdiri dari latar belakang masalah yang akan diteliti, rumusan masalah dalam penelitian ini, tujuan dilakukannya penelitian, manfaat penelitian baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis dan sistematika penulisan yang akan digunakan dalam penelitian ini

  Bab II : Landasan Teori Bab ini akan menguraikan kepustakaan yang menjadi landasan teori yang berkaitan dengan variable yang diteliti, hubungan antar variabel dan hipotesa. Bab III : Metode Penelitian Bab ini berisikan uraian mengenai metode penelitian yang akan digunakan oleh peneliti, yaitu identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan sampel, instrument yang akan digunakan, prosedur pelaksanaan penelitian dan metode analisa data.

  Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan Bab ini terdiri dari gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan pembahasan. Bab V : Kesimpulan dan Saran Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan.