BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Pemenuhan Hak-Hak Kaum Disabilitas dalam Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 di Kota Medan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum merupakan salah satu pilar dasar dari sistem negara

  demokrasi. Pemilihan umum dilaksanakan di Indonesia secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemilihan umum dilaksanakan secara nasional, baik di provinsi dan kabupaten/kota di seluruh wilayah Negara Indonesia dan diharapkan seluruh masyarakat Indonesia dapat berpartisipasi aktif di dalamnya. Termasuk juga partisipasi dari kaum disabilitas.

  Disabilitas merupakan orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama dan rentan mengalami hambatan-hambatan yang dapat menghambat mereka untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.

  Maka, diperlukannya perlakuan secara khusus untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan khusus mereka.

  Penyandang disabilitas di Indonesia cukup banyak jumlahnya sehingga tidak boleh diabaikan keberadaannya. Berdasarkan catatan Kementerian Kesejahteraan Sosial, jumlah populasi penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 2.126.000 jiwa pada tahun 2012, dengan klasifikasi jenis kecacatan berbeda-beda. Persentase jumlah populasi penyandang disabilitas di Indonesia tahun 2012 berdasarkan jenis kecacatannya dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut: Tabel 1.1:

  Persentase Kaum Disabilitas di Indonesia Sumber: Badan Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial. 2012.

  4 Tunarungu dan Tunawicara (Bisu Tuli)

  8 Tunalaras 181.135

  7.03

  7 Tunadaksa dan tunagrahita 149.458

  13.68

  6 Tunagrahita (Cacat Mental) 290.837

  33.74

  5 Tunadaksa (Cacat Fisik) 717.312

  3.46

  73.560

  7.12

  Kementrian Sosial dalam Angka, Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial, Jakarta.

  3 Tunawicara (Bisu) 151.371

  10.52

  2 Tunarungu (Tuli) 223.655

  15.93

  1 Tunanetra (Buta) 338.672

  No Jenis Orang Dengan Kecacatan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

  Disabilitas PBB pada tanggal 18 Oktober Tahun 2011 lalu dengan dihadirkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Dimana Konvensi tersebut memuat

  Persons with Disabilities (CRPD) atau Konvensi Hak-Hak Penyandang

  Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Convention on the Rights of

  8.52 TOTAL 2.126.000 100 mengenai hak-hak penyandang disabilitas dalam segala bidang aspek kehidupan. Sehingga, sebagai negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut, negara Indonesia wajib untuk menghormati, melindungi, memenuhi dan memajukan hak- hak penyandang disabilitas di Indonesia dengan memberlakukan kebijakan yang sesuai untuk menjamin akses bagi kaum disabilitas, atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya, baik terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi dan komunikasi, termasuk teknologi serta terhadap fasilitas dan layanan lainnya yang terbuka atau tersedia untuk publik bagi penyandang disabilitas.

  Setiap penyandang disabilitas mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Termasuk dalam kehidupan berpolitiknya, khususnya dalam pemilihan umum. Hak-hak kaum disabilitas dalam pemilihan umum telah tercantum dalam Convention on the Rights of

  

Persons with Disabilities (CRPD) pada pasal 29 mengenai hak-hak kehidupan

  politik dan publik bagi penyandang disabilitas. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa: Negara-negara pihak harus menjamin kepada penyandang disabilitas hak- hak politik dan kesempatan untuk menikmati hak-hak tersebut atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya dan akan mengambil langkah-langkah untuk menjamin agar penyandang disabilitas dapat berpartisipasi secara efektif dan penuh dalam kehidupan politik dan publik atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya, secara langsung atau melalui perwakilan yang dipilih secara bebas, termasuk hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk memilih dan dipilih.

  Dalam buku Advokasi Toolkits untuk Organisasi Penyandang Disabilitas oleh Pusat Pemilihan Umum Akses–Penyandang Cacat (PPUA-PENCA) disebutkan:

  Selain penyandang disabilitas memiliki hak politik untuk memilih dan dipilih, masalah lain yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaran Pemilu atau pilkada agar partisipasi politik penyandang disabilitas bisa terpenuhi secara baik adalah tersedianya sarana dan prasarana yang mudah untuk

   diakses penyandang disabilitas (aksesibilitas).

  Aksesibilitas disini diartikan sebagai kemudahan yang disediakan dalam pemilihan umum bagi penyandang disabilitas agar dapat dengan mudah tanpa mengalami hambatan untuk berpartisipasi secara penuh dan mandiri dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Aksesibilitas terhadap fasilitas umum khususnya fasilitas dalam pemilihan umum, bukan saja merupakan hak bagi penyandang disabilitas semata namun juga akan memberikan kenyamanan lebih bagi warga masyarakat pada umumnya.

  Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh AGENDA (Asean General Election for Disability Access) dalam beberapa pilkada di Indonesia, bahwa masih terdapat hak penyandang disabilitas khususnya tunanetra yang terabaikan dan tidak terfasilitasi dalam pemilu di Indonesia. Misalnya lokasi TPS yang sulit dijangkau karena berada di daerah yang tidak rata atau bertangga, tidak

1 Pusat Pemilihan Umum Akses–Penyandang Cacat (PPUA-PENCA). 2013. Advokasi Toolkits Untuk Organisasi Penyandang Disabilitas . Jakarta: PPUA-PENCA. hal. 39.

  tersedianya alat bantu pilih bagi tunanetra dan permohonan untuk memilih dengan

   didampingi oleh pihak keluarga yang ditolak oleh petugas di TPS.

  Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap pemenuhan hak-hak kaum disabilitas di Kota Medan. Hak-hak kaum disabilitas dalam pemilihan umum di Kota Medan yang akan diteliti yaitu pada pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara yang berlangsung pada tanggal 7 Maret 2013 lalu. Karena Pilgubsu ini merupakan pemilu pertama di Kota Medan setelah diratifikasinya Convention on

  

the Rights of Persons with Disabilities oleh pemerintah Indonesia melalui

Undang-Undang Nomor 19 tahun 2011.

  Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara atau disingkat Pilgubsu, di selenggarakan pada tanggal 7 maret 2013. Pemilihan umum gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara ini merupakan pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur kedua yang dilaksanakan secara langsung setelah Pilgubsu pada tahun 2008 dan dilaksanakan dalam satu kali putaran. Pilgubsu tahun 2013 diikuti oleh lima pasangan calon. Berikut nomor urut kandidat calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara tahun 2013 lalu beserta partai politik pendukungnya:

2 Kharina Triananda. 30 Juli 2013. Hak-Hak Penyandang Disabilitas Masih Terabaikan dalam Pemilu.

   diakses pada tanggal 6 Februari 2014, pukul 13.31 WIB.

  Tabel.1.2: Nomor Urut Kandidat Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara

  Tahun 2013 beserta Partai Politik Pendukungnya Nomor Urut Nama Pasangan Calon Partai Politik Pendukung

  1 H. Gus Irawan Pasaribu, Partai Amanat Nasional, SE, Ak, MM dan Ir. H. Partai Barisan Nasional, Soekirman Partai Bulan Bintang, Partai

  Buruh, Partai Demokrasi Kebangsaan, Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Karya Perjuanga, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Kedaulatan, Partai Kesatuan Demokrasi Indonesia, Partai Matahari Bangsa, Partai Merdeka, Partai Nasional Benteng Kerakyatan, Partai Pelopor, Partai Pemuda Indonesia, Partai Penegak

  Demokrasi Indonesia, Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah, Partai Demokrasi Pembaruan dan Partai Bintang Reformasi.

  2 Drs. Effendi MS Simbolon Partai Demokrasi Indonesia, dan Drs. H. Jumiran Abdi Partai Peduli Rakyat Nasional dan Partai Damai Sejahtera

  3 Dr. H. Chairuman Partai Golongan Karya, Harahap, SH, MH dan H. Partai Persatuan Fadly Nurzal, S.Ag Pembangunan, Partai

  Pengusaha dan Pekerja Indonesia dan Partai Republik Nusantara

  4 Drs. H. Amri Tambunan Partai Demokrat dan Dr. R.E. Nainggolan, MM

  5 H. Gatot Pujo Nugroho, Partai Keadilan Sejahtera,

  ST dan Ir. H. Tengku Erry Partai Hati Nurani Rakyat, Nuradi, M.Si Partai Kebangkitan Nasional

  Ulama, Partai Patriot dan Partai Persatuan Nasional.

  

Sumber: Keputusan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sumatera Utara Nomor

14/Kpts/Kpu-Prov-002/2012 Tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon

Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara dalam Pemilihan Umum

Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013.

  Pemilihan ini dimenangkan oleh pasangan nomor urut 5, yaitu Gatot Pujo Nugroho dan Tengku Erry Nuradi dengan perolehan suara sebesar 1.604.337 atau 33 persen suara dari 33 Kabupaten/ Kota di Sumatera Utara. Pasangan ini berhasil mengalahkan empat kandidat lainnya, yaitu pasangan Efendi MS Simbolon dan Jumiran Abdi, pasangan Gus Irawan Pasaribu dan Soekirman, pasangan Amri Tambunan dan R.E Nainggolan serta pasangan Chairuhman Harahap dan Fadly Nurzal. Pilgubsu tahu 2013 lalu diselenggarakan dalam satu kali putaran dengan tingkat partisipasi memilih masyarakat di Sumatera Utara yang cukup rendah, dimana jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya dalam pemilihan ini

  

  hanya sebesar 5.001.430 suara, terdiri dari 4.861.467 suara sah dan 139.963 suara

  

  tidak sah dari Jumlah DPT sebanyak 10.310.872. Di Kota Medan, dengan 3 2.121.551 jumlah pemilih tetap di 21 Kecamatan, didapatkan jumlah suara sah

  

Lampiran Keputusan KPU Provinsi Sumatera Utara Nomor: 19/Kpts/ KPU Prov-002/2013 tentang

Penetapan dan Pengesahan Jumlah dan Persentase Perolehan Suara Sah Pasangan Calon Gubernur dan Wakil 4 Gubernur Sumatera Utara tahun 2013.

  Irwan Siregar, 15 Maret 2013. Angka Golput Pilgubsu 51,49%, akses 13 Desember 2013, pukul 01.43 WIB. dan tidak sah sebanyak 774.593 suara, atau tingkat partisipasi masyarakat Kota

   Medan pada Pilgubsu 2013 hanya mencapai 36.62%.

  Membahas mengenai permasalahan pemenuhan hak-hak kaum disabilitas dalam pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013 di Kota Medan menurut pandangan penulis cukup menarik untuk diteliti karena pemenuhan akan hak-hak kaum disabilitas dalam pemilihan umum, juga dapat menjadi salah satu penentu meningkatnya tingkat partisipasi penuh kaum disabilitas dalam pemilihan umum di Kota Medan.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah yang akan menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini adalah :

  1. Bagaimanakah pemenuhan hak-hak kaum disabilitas dalam pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013 di Kota Medan? 2. Apa saja kendala dalam pemenuhan hak-hak kaum disabilitas dalam pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013 di

  Kota Medan?

5 Khairul Ikhwan. 12 Maret 2013. Angka Golput di Medan dalam Pilgub Sumut Mencapai 63.38%.

  akses 13 Desember 2013, pukul 01.10 WIB.

  C. Pembatasan Masalah

  Pembatasan masalah ialah usaha untuk menetapkan batasan dari masalah penelitian yang akan diteliti. Hal ini berguna untuk mengidentifikasikan faktor mana saja yang termasuk dalam ruang lingkup masalah penelitian, dan faktor

  

  mana saja yang tidak termasuk dalam ruang lingkup masalah penelitian. Dalam penelitian ini, penulis membatasi masalah penelitian hanya pada penyandang tunanetra. Tunanetra merupakan orang yang penglihatannya terganggu sehingga menghalangi dirinya untuk melakukan aktifitas selayaknya kebanyakan orang lainnya. Sehingga, menurut penulis dalam hal ini tunanetra merupakan penyandang disabilitas fisik yang paling membutuhkan aksesibilitas atau kemudahan untuk ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara tahun 2013 di Kota Medan.

  D. Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penelitian adalah pernyataan mengenai apa yang hendak kita

  

  capai. Tujuan dari penelitian ini adalah : 1.

  Untuk mengetahui bagaimana gambaran umum kaum disabilitas di Kota Medan.

  2. Untuk mengetahui bagaimana pemenuhan hak-hak kaum disabilitas dalam pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 6 tahun 2013 di Kota Medan serta kendala dalam pemenuhan hak-hak

  

Prof. Dr. Husaini Usman, Mpd., M.T. dan Purnomo Setiady Akbar, M.Pd. 2009. Metodologi Penelitian

7 Sosial. Jakarta: PT. Bumi Aksara. hal. 24.

  Suharsimi Arikunto. 1993. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta. hal. 29. kaum disabilitas dalam pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara tahun 2013 di Kota Medan.

E. Signifikansi Penelitian

  Signifikansi penelitian dalam penelitian ini adalah: 1. Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan berpikir dan khasanah ilmu politik khususnya ilmu yang terkait dengan permasalahan mengenai hak asasi manusia dan pemilihan umum.

  2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan menjadi bahan masukan serta evaluasi bagi lembaga-lembaga terkait mengenai pemenuhan hak-hak kaum disabilitas dalam pemilihan umum.

3. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan.

F. Kerangka Teori 1.

  Hak Asasi Manusia Hak asasi manusia (Fundamental rights) diartikan sebagai hak-hak yang bersifat mendasar dan inheren dengan jati diri manusia secara universal.

  

  hal. 63.

  Menurut Prof. Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik, hak asasi manusia adalah “Hak yang sangat mendasar atau asasi sifatnya, yang mutlak diperlukan agar manusia dapat berkembang sesuai dengan bakat, cita-cita serta

8 Tom Campbel. 2001. Human Rights and the Partial Eclipse of Justice. London: Kluwer Academi Publisher.

  martabatnya. Hak ini juga dianggap universal, artinya dimiliki semua manusia

   tanpa perbedaan berdasarkan bangsa, ras, agama, atau jender”.

  Cikal bakal konsep hak asasi manusia, khususnya di dunia barat terdapat dalam karangan beberapa filsuf abad ke-17, antara lain Jhon Locke (1632-1704) yang merumuskan beberapa hak alam (natural rights) yang dimiliki manusia secara alamiah. Dalam bukunya yang telah menjadi klasik, “The Second Treatise

  of Civil Government and a Letter Concerning Toleration ” Locke mengajukan

  sebuah postulasi pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka

  

  sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh negara. Melalui suatu ‘kontrak sosial’ (social contract), perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini diserahkan kepada negara. Tetapi, menurut Locke, apabila penguasa negara mengabaikan kontrak sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat di negara itu bebas menurunkan sang penguasa dan menggantikannya

   dengan suatu pemerintah yang bersedia menghormati hak-hak tersebut.

  Konsep ini bangkit kembali seusai perang dunia II dengan dicanangkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) oleh PBB pada tahun 1948. Walaupun sifatnya tidak mengikat secara yuridis, namun deklarasi ini ternyata mempunyai pengaruh moral, politik, dan edukatif. 9 Sebagai lambang “komitmen moral” dunia internasional pada perlindungan hak 10 Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hal. 212.

  

John Locke, The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration, dalam Rhona

11 K. M. Smith, at.al. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII. hal. 29.

  Ibid. hal. 30. asasi manusia deklarasi ini menjadi acuan di banyak negara dalam undang-undang

   dasar, undang-undang, serta putusan-putusan hakim.

  Kemudian deklarasi ini dijabarkan kembali menjadi suatu perjanjian atau kovenan agar lebih mengikat yaitu pertama mencakup hak politik dan sipil, dan yang kedua meliputi hak ekonomi, sosial, dan budaya. Pada tahun 1976 dua kovenan tersebut ditambah dengan optional protocol tentang pengaduan perorangan, dinyatakan berlaku dengan diratifikasi oleh 35 negara. Naskah- naskah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dua kovenan serta dua Optional

  Protocol dianggap sebagai satu kesatuan yang dinamakan Undang-Undang Internasional Hak Asasi Manusia (International Bill of Human Rights).

  Di masa berikutnya, beberapa negara di belahan dunia seperti Afrika dan Asia timbul beberapa piagam regional terkait masalah hak asasi manusia. Seperti Piagam Afrika mengenai Hak Asasi Manusia dan Bangsa-bangsa (African

  

Charter on Human and Peoples Rights ) pada tahun 1981, Deklarasi Cairo

  mengenai Hak Asasi Manusia dalam Islam (Cairo Declaration on Human Rights in Islam ) pada tahun 1990 dan Bangkok Declaration pada bula April tahun 1993.

  Di Indonesia, terkait dengan masalah hak asasi manusia relatif telah ditegaskan dari seluruh konstitusi (undang-undang dasar) yang berlaku di Indonesia. Secara tegas konstitusi di Indonesia memberikan jaminan atas 12 perlindungan hak asasi manusia secara baik. Adanya jaminan terhadap hak-hak Miriam Budiardjo, op. cit., hal. 218-219. dasar setiap warga negara mengandung arti bahwa setiap penguasa dalam negara tidak dapat dan tidak boleh bertindak sewenang-wenang kepada

   warganegaranya.

  Dalam rangka melaksanakan ketetapan MPR Nomor XVII/ MPR/ 1998 pada tanggal 23 September 1999 diberlakukanlah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Undang-Undang ini, pada pasal 1 disebutkan bahwa:

  Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

  Di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang merupakan payung hukum dari segala perundang-undangan di Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia ini, terdapat sepuluh materi muatan mengenai hak asasi manusia setiap warga negara yang diakui dan dijunjung tinggi tanpa adanya diskriminasi didasarkan pada perbedaan atas dasar agama, ras, suku, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan politik seseorang. Materi tersebut adalah hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta 13 dalam pemerintahan, hak wanita dan hak anak.

  Sri Soemantri. 1992. Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung: Alumni. hal. 74.

2. Kaum Disabilitas

  2. 1. Pengertian Disabilitas Berdasarkan laporan ESCAP (The Economic and Social Commission for

  

Asia and the Pasific ), bahwa setiap negara memiliki definisinya sendiri tentang

  disabilitas. Bahkan, di beberapa negara seperti Indonesia, setiap badan pemerintahan memiliki istilah dan definisinya sendiri. Keragaman definisi membuat organisasi internasional seperti Disabled People’s International (DPI) memutuskan untuk tidak mengadopsi atau membuat definisi untuk menghindari kemungkinan terjadi perselisihan dengan pihak lain. Namun, kini terjadi perkembangan transisi dalam memandang disabilitas dari model medis ke model sosial. Model medis memandang disabilitas sebagai masalah kesehatan, sementara model sosial memandang disabilitas sebagai hasil dari interaksi sosial. Kedua model ini tidak dapat didefinisikan secara terpisah karena disabilitas juga berakar dari dan mempengaruhi kondisi kesehatan seseorang dan kedua model ini saling

   melengkapi.

  Seperti definisi disabilitas berdasarkan Disability Discrimination Act (DDA) bahwa “Penyandang disabilitas merupakan seseorang yang memiliki gangguan

14 General Election Network For Disability Acces. Sekilas Tentang Disabilitas. 2013.

   diakses 13 Desember 2013, pukul 19.15 WIB. fisik atau mental yang memiliki efek samping yang besar dan jangka panjang pada

   kemampuannya untuk melaksanakan aktivitas normal sehari-hari”.

  Terdapat kriteria penyandang disabilitas dalam Disability Discrimination Act

  

  (DDA) yaitu: a.

  Mereka yang memiliki gangguan mental atau fisik.

  b.

  Gangguan tersebut memiliki efek yang buruk pada kemampuan mereka untuk melaksanakan kegiatan normal mereka sehari-hari.

  c.

  Gangguan tersebut memiliki efek samping yang subtansial dan jangka panjang (telah berlangsung selama 12 bulan atau lebih atau selama sisa hidup seseorang).

  World Health Organization (WHO) memiliki definisi sendiri mengenai

  

  disabilitas. Menurut WHO, disabilitas diartikan sebagai: istilah umum yang memiliki gangguan fungsi tubuh atau struktur, keterbatasan aktifitas dan pembatasan partisipasi. Dalam hal ini meliputi gangguan dalam fungsi tubuh atau struktur, pembatasan kegiatan adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas atau tindakan. Sedangkan pembatasan partisipasi adalah masalah yang dialami oleh seseorang individu dalam keterlibatannya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi disabilitas adalah fenomena yang kompleks yang mencerminkan interaksi antara bagian tubuh seseorang dan bagian dari masyarakat dimana dia tinggal. Di Indonesia, terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kaum disabilitas. Salah satunya adalah undang-undang mengenai

  15 Disabled World. 23 Desember 2009. Definitions of Disability.

. diakses 14 Desember 2013, pukul

16 18.04 WIB. 17 Loc. cit.

   Loc. cit. Penyandang Cacat yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997. Pada pasal 1 disebutkan bahwa:

  Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari” : a.

  Penyandang cacat fisik yaitu kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan bicara; b. Penyandang cacat mental yaitu kelainan mental dan/atau tingkah laku, baik cacat bawaan maupun akibat dari penyakit; c.

  Penyandang cacat fisik dan mental yaitu seseorang yang menyandang dua jenis kecacatan sekaligus.

  2. 2. Hak-Hak Kaum Disabilitas sebagai Pemilih di Dalam Pemilihan Umum.

  Penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama. Dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang cacat pada pasal 6 disebutkan mengenai hak-hak yang dimiliki oleh penyandang cacat, yaitu:

  1. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.

  2. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya.

  3. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya.

  4. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya.

  5. rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial dan,

  6. hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampu-an, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

  Hak-hak kaum disabilitas juga tercantum pada Konvensi Mengenai hak-hak penyandang disabilitas atau Convention on The Rights of Persons with Disabilities PBB yang disahkan pada tanggal 13 Desember 2006. Konvensi ini memberikan

  19 Juli -

  1 Oktober 2007

  8 April 2008 -

  25 September 2009

  15 Januari 2008 -

  30 Novenber 2011

  30 Maret 2007 -

  20 Desember 2012

  1 Oktober 2007

  18 Desember 2007 - - - Cambodia

  pandangan dan pemahaman baru dalam melindungi dan menjamin persamaan hak asasi manusia dan kebebasan individu kaum disbailitas. Dari sebelas negara di Asia Tenggara, ada tujuh negara termasuk Indonesia menjadi salah satu Negara yang meratifikasi konvensi ini. Indonesia menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Berikut daftar negara di Asia tenggara yang menandatangani dan meratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (CRPD):

  Brunei Darusalam

  Ratifikasi Protokol

  Ratifikasi Konvensi

  Penandatanganan Protokol

  Penandatanganan Konvensi

  Konvensi Hak Penyandang Disabilitas Negara

  Tabel 1.3 Daftar Negara di Kawasan Asia Tenggara yang Menandatangani dan Meratifikasi

  • Indonesia
  • Laos
  • Malaysia

  2010

  7 Desember

  • Myanmar

  2011

  25 September

  15 April Philipinnes - - 2007 2008

  30 November

  • Singapore 2012

  29 Juli

  30 Maret 2007 - - Thailand 2008

  • Timor Leste

  22 Oktober 2007 - Vietnam

  • Sumbe

  Konvensi tersebut memuat mengenai hak-hak penyandang disabilitas dan akan diambil langkah-langkah untuk menjamin pelaksanaan konvensi ini. Dengan menandatangani CRPD, negara diwajibkan untuk menahan diri dari tindakan- tindakan yang akan mengalahkan objek dan tujuan dari CRPD tersebut. Oleh karena itu, saat menandatangani perjanjian tidak berarti negara wajib mematuhi semua ketentuan CRPD, namun negara telah membuat komitmen untuk hak-hak penyandang cacat. Ketika negara meratifikasi CRPD, mereka kemudian secara hukum terikat untuk mematuhi ketentuan-ketentuannya. Protokol Opsional memungkinkan Komite CRPD untuk memeriksa pengaduan individual berkaitan dengan dugaan pelanggaran CRPD oleh Negara-negara Pihak Protokol.

  Sebagai Negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut melalui Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang pengesahan Convention on the Rights of

  

Persons with Disabilities (Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas), berarti

  Indonesia menunjukan kesungguhannya untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan memajukan hak-hak penyandang disabilitas, yang pada akhirnya diharapkan dapat memenuhi kesejahteraan para penyandang disabilitas di Indonesia. Hal ini diwujudkan antara lain dengan cara mengadopsi kebijakan atau peraturan perundang-undangan yang sesuai untuk implementasi dari hak-hak penyandang disabilitas dalam konvensi ini dengan melibatkan penyandang disabilitas di dalam pembuatan kebijakan.

  Tujuan dari dikeluarkannya konvensi ini adalah untuk memajukan, melindungi dan menjamin penikmatan penuh dan setara terhadap semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental oleh semua penyandang disabilitas, dan untuk meningkatkan penghormatan atas martabat yang melekat pada mereka.

  Penyandang disabilitas termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama di mana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang

   18 lainnya.

  Lihat pasal 1, Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD).

  Sehingga melalui konvensi tersebut, penyandang disabilitas diharapkan tidak lagi mengalami diskriminasi berdasarkan “disabilitas” yaitu dimana terjadinya pembedaan, pengecualian, atau pembatasan atas dasar disabilitas yang bermaksud atau berdampak membatasi atau meniadakan pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan, atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya terhadap semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental dalam bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, sipil atau lainnya. Hal ini mencakup semua bentuk diskriminasi, termasuk penolakan atas pemberian akomodasi yang beralasan.

   Dalam konvensi ini, terdiri dari 50 pasal yang mengandung prinsip-prinsip

  sebagai berikut : 1.

  Penghormatan pada martabat yang melekat, otonomi individu; termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan, dan kemerdekaan perseorangan.

  2. Nondiskriminasi.

  3. Partisipasi penuh dan efektif dan keikutsertaan dalam masyarakat.

  4. Penghormatan pada perbedaan dan penerimaan penyandang disabilitas sebagai bagian dari keragaman manusia dan kemanusiaan.

  5. Kesetaraan kesempatan.

  6. Aksesibilitas.

  7. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan; 8.

  Penghormatan atas kapasitas yang terus berkembang dari penyandang disabilitas anak dan penghormatan pada hak penyandang disabilitas anak untuk mempertahankan identitas mereka. Terkait jaminan kehidupan berpolitik kaum disabilitas, dalam konvensi ini diatur mengenai hak-hak penyandang disabilitas, antara lain hak mendapatkan aksesibilitas (pasal 9) dan hak partisipasi dalam kehidupan politik dan publik (pasal 29). Pada pasal 29 mengenai hak Partisipasi dalam kehidupan politik dan publik disebutkan pada point (a) bahwa: 19 Loc. cit. Negara-Negara Pihak harus menjamin kepada penyandang disabilitas hak- hak politik dan kesempatan untuk menikmati hak-hak tersebut atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya dan akan mengambil langkah-langkah untuk : a)

  Menjamin agar penyandang disabilitas dapat berpartisipasi secara efektif dan penuh dalam kehidupan politik dan publik atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya, secara langsung atau melalui perwakilan yang dipilih secara bebas, termasuk hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk memilih dan dipilih, antara lain dengan: i.

  Memastikan bahwa prosedur, fasilitas, dan bahan-bahan pemilihan bersifat layak, dapat diakses serta mudah dipahami dan digunakan; ii.

  Melindungi hak penyandang disabilitas untuk memilih secara rahasia dalam pemilihan umum dan referendum publik tanpa intimidasi dan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan, untuk memegang jabatan serta melaksanakan seluruh fungsi publik dalam semua tingkat pemerintahan, dengan memanfaatkan penggunaan teknologi baru yang dapat membantu pelaksanaan tugas;

  iii.

   Menjamin kebebasan berekspresi dan keinginan penyandang

  disabilitas sebagai pemilih dan untuk tujuan ini, bilamana diperlukan atas permintaan mereka, mengizinkan bantuan dalam pemilihan oleh seseorang yang ditentukan mereka sendiri.

  Hak untuk mendapatkan kemudahan dalam pemilihan umum di Indonesia sebagai pemilih bagi kaum disabilitas, selain telah tercantum pada Convention on

  the Right Persons with Disabilities (CRPD), juga telah diwujudkan dalam payung

  hukum nasional, salah satunya yaitu dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.

  • Pada pasal 142 disebutkan bahwa: Selain perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1),untuk menjaga keamanan, kerahasiaan, dan kelancaran pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara, diperlukan dukungan perlengkapan lainnya….yang dimaksud dengan ”dukungan perlengkapan pemungutan suaralainnya” meliputi sampul kertas tanda pengenal KPPS/KPPSLN, tanda pengenal TPS/TPSLN, tanda pengenal saksi, karet pengikat surat suara, lem, kantong plastik, ballpoint, gembok, spidol,
formulir untuk berita acara dan sertifikat, sticker nomor kotak suara, tali pengikat alat pemberi tanda pilihan dan alat bantu tuna netra.

  • Pada Pasal 156 disebutkan bahwa: 1.

  Pemilih tuna netra, tuna daksa dan yang mempunyai halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih.

  2. Orang lain yang membantu pemilih dalam memberikan suaranya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan pemilih.

  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan kepada pemilih ditetapkan dengan peraturan KPU.

  • Pada Pasal 164 disebutkan bahwa: 1.

  Pemilih tuna netra, tuna daksa dan yang mempunyai halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPSLN dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih.

  2. Orang lain yang membantu pemilih dalam memberikan suaranya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan pemilih.

  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan kepada pemilih ditetapkan dengan peraturan KPU.

  • Pada Pasal 295 disebutkan bahwa:

  Setiap orang yang bertugas membantu pemilih yang dengan sengaja memberitahukan pililhan pemilih kepada orang lain sebagiamana dimaksud dalam pasal 165 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp.3.000.000.- dan paling banyak Rp.12.000.000.-

  2. 3. Aksesibilitas Bagi Kaum Disabilitas “Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan

  

  penghidupan”. Aksesibilitas terhadap fasilitas umum bukan saja merupakan hak bagi penyandang disabilitas semata namun juga akan memberikan kenyamanan lebih bagi warga masyarakat pada umumnya.

  Aksesibilitas atau kemudahan dalam Convention on the Rights of Persons diatur pada pasal 9 dimana disebutkan bahwa:

  with Disabilities

  Agar penyandang disabilitas mampu hidup secara mandiri dan berpartisipasi secara penuh dalam semua aspek kehidupan, Negara-Negara Pihak harus mengambil kebijakan yang sesuai untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas, atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya, terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi, dan komunikasi, termasuk teknologi dan sistem informasi dan komunikasi, serta terhadap fasilitas dan layanan lainnya yang terbuka atau tersedia untuk publik, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan.

  Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat disebutkan mengenai aksesibilitas pada pasal 10, yaitu : a.

  Kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesibilitas.

  b.

  Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat.

  c.

  Penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat dan dilakukan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.

  Salah satu peraturan kebijakan pemerintah Indonesia terkait masalah 20 aksesibilitas yaitu telah dikeluarkannya Keputusan Menteri Pekerjan Umum

  

Lihat pasal 1 Undang-Undang Negara Republik Indonesia, Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat. Republik Indonesia Nomor: 468/ KPTS/ 1998 mengenai Persyaratan Teknis Aksesibilitas Pada Bangunan Umum dan Lingkungan. Dimana di dalamnya diatur atau dapat dijadikan pedoman bagi pembangunan umum dan lingkungan (semua bangunan pemerintahan, bangunan milik swasta dan fasilitas umum yang dikunjungi atau digunakan penyandang disabilitas) dengan asas kemudahan, kegunaan, keselamatan dan kemandirian untuk menghapus hambatan bagi penyandang disabilitas. Sehingga tercipta suatu Design Universal yaitu suatu desain baik dalam produk, lingkungan, program dan pelayanan yang dapat digunakan oleh semua orang, semaksimal mungkin, tanpa memerlukan suatu adaptasi atau desain khusus dimana tidak mengecualikan alat bantu bagi kelompok penyandang disabilitas tertentu pada saat diperlukan.

  Harus kita ketahui bahwa penyandang disabilitas memiliki hambatan arsitektural sesuai dengan derajat kecacatannya. Sehingga mereka tidak dapat merealisasikan kesamaan haknya sebagai warga masyarakat. Sesungguhnya para penyandang disabilitas tidak mengharapkan dan tidak pula memerlukan lebih banyak hak daripada orang-orang pada umumnya. Mereka hanya menghendaki agar dapat bergerak di dalam lingkungannya dengan tingkat kenyamanan, kemudahan dan keselamatan yang sama dengan warga masyarakat lainnya, memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang normal, dapat semandiri mungkin dalam batas-batas kemampuannya. Tersedianya bangunan dan fasilitas yang dapat diakses oleh semua orang merupakan persoalan kesamaan kesempatan dan keadilan sosial. Akses terhadap fasilitas-fasilitas umum

  

  merupakan hak, bukan pilihan semata. Hambatan arsitektural yang dapat

  

  menghambat mereka terdiri dari tiga kategori kecacatan utama, yaitu: 1.

  Hambatan arsitektural bagi penyandang disabilitas fisik (Tunadaksa).

  Hambatan ini mencakup mereka yang menggunakan kursi roda, semiambulant, dan mereka yang memiliki hambatan manipulatoris yaitu kesulitan gerak otot. Contohnya: Perubahan tingkat ketinggian permukaan yang mendadak seperti pada tangga atau parit, tidak adanya pertautan landai antara jalan dan trotoar, tidak cukupnya ruang untuk lutut di bawah meja atau wastapel, tidak cukupnya ruang untuk berbelok, lubang pintu dan koridor yang terlalu sempit, permukaan jalan yang renjul (misalnya karena adanya bebatuan) menghambat jalannya kursi roda, pintu yang terlalu berat dan sulit dibuka, tombol-tombol yang terlalu tinggi letaknya, bergerak cepat melalui pintu putar atau pintu yang menutup secara otomatis dan menutup terlalu cepat, tangga berjalan tanpa pegangan yang bergerak terlalu cepat.

  2. Hambatan arsitektural bagi penyandang disabilitas sensoris (alat indra) yang meliputi orang tunanetra dan tunarungu. Tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak cukup baik untuk dapat 21 membaca tulisan biasa meskipun sudah dibantu dengan kaca mata.

  

Dr. Didi Tarsidi. 2008. Aksisibilitas Lingkungan Fisik Bagi Penyandang Cacat Upaya Menciptakan

Fasilitas Umum dan Lingkungan yang Aksesibel Demi Kesamaan Kesempatan Bagi Penyandang Cacat untuk 22 Hidup Mandiri dan Bermasyarakat. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. hal. 3.

  Ibid. hal.4-5

  Contoh hambatan bagi tunanetra, yaitu tidak adanya petunjuk arah atau ciri-ciri yang dapat didengar atau dilihat dengan penglihatan terbatas yang menunjukkan nomor lantai pada gedung-gedung bertingkat, rintangan-rintangan kecil seperti jendela yang membuka ke luar atau papan reklame yang dipasang di tempat pejalan kaki, cahaya yang menyilaukan atau terlalu redup, lift tanpa petunjuk taktual (dapat diraba) untuk membedakan bermacam-macam tombol, atau petunjuk suara untuk menunjukkan nomor lantai. Sedangkan untuk tunarungu yaitu Para tunarungu tidak mungkin dapat memahami pengumuman melalui pengeras suara di bandara atau terminal angkutan umum. Mereka juga mengalami kesulitan membaca bibir di auditorium dengan pencahayaan yang buruk, dan mereka mungkin tidak dapat mendengar bunyi tanda bahaya.

  3. Hambatan arsitektural untuk kecacatan intelektual (tunagrahita). Para penyandang kecacatan intelektual akan mengalami kesulitan mencari jalan di dalam lingkungan baru jika di sana tidak terdapat petunjuk jalan yang jelas dan baku.

  Aksesibilitas pada setiap pelaksanaan pemilihan umum merupakan hak setiap penyandang disabilitas. Untuk menciptakan pemilihan umum yang

  

  aksesibel, diperlukan hal-hal sebagai berikut: 1.

  Hukum dan peraturan pemilu Untuk membuat semua proses pemilu yang aksesibel, harus ada kerangka hukum yang memastikan bahwa setiap aspek aksesibilitas dalam pemilu terpenuhi. Hukum tersebut mengatur pengadaan fasilitas untuk menciptakan pemilihan umum yang aksesibel dan bentuk sangsinya jika terjadi pelanggaran.

  2. Anggaran Komisi pemilihan umum harus mengalokasikan anggaran untuk pengadaan akses di awal siklus pemilu.

  3. Logistik

  • Tempat pemungutan suara (TPS) harus berada di daerah yang datar dan pintu masuknya harus berukuran sekurang-kurangnya 90cm agar pengguna kursi roda dapat masuk, keluar dan bergerak secara leluasa di dalam TPS. Jika TPS ditempatkan di gedung yang bertangga, maka harus disediakan bidang landai.
  • Untuk menjamin pemilih tunanetra bisa melakukan pemungutan suara secara rahasia, maka harus disediakan alat bantu disetiap TPS. Alat bantu ini bisa berupa map yang terbuat dari bahan yang teraba atau tercetak dalam huruf braille. Surat suara kemudian kemudian dimasukan kedalam map ini. Surat suara perlu diberi tanda agar pemilih tunanetra bisa mengetahui posisi surat suara.

  4. Pelatihan petugas pemilu Setiap petugas pemilu harus memahami hambatan yang dialami oleh penyandang disabilitas dalam pemilu yang tidak aksesibel dan bagaimana menghilangkan hambatan tersebut. Buku panduan pelaksanaan untuk petugas KPPS harus memuat petunjuk tentang pelaksanaan pemungutan suara bagi penyandang disabilitas dan penyandang disabilitas harus dilibatkan dalam satuan petugas KPPS dan KPU.

  5. Voter materi pendidikan pemilih dan sosialisasi harus dibuat dalam bentuk yang aksesibel. Contohnya, harus ada penerjemah bahasa isyarat dalam iklan layanan masyarakat di televisi, iklan tercetak juga harus tersedia dalam bentuk braille dan bentuk yang mudah dibaca.

  6. 23 Pendaftaran pemilih

General Election Network for Disability Access. Pemilu yang Aksesibel.

  diakses pada tanggal 24 Januari 2014 pukul 22.22 WIB.

  Dalam tahap ini, semua warga yang memiliki hak pilih harus terdaftar. Pusat pendaftaran pemilih harus ditempatkan di gedung yang aksesibel dan materi pendaftaran harus tersedia dalam bentuk yang aksesibel. Di beberapa Negara, penyandang disabilitas dapat menyebutkan jenis akomodasi yang mereka perlukan untuk melakukan pemungutan suara sehingga komisi pemilihan umum setempat bisa membuat perencanaan untuk pengadaan fasilitas yang diminta.

  7. Hari pemungutan suara Kemungkinan ada penyandang disabilitas yang enggan melakukan pemungutan suara karena pengalaman tdak mengenakan yang mereka alami sebelumnya. Petugas pemilu harus mendorong semua orang untuk datang ke TPS dan menjalankan hak pilih mereka. Pemantau bisa membantu mengamati kondisi akses dalam pemilu. Hasil temuannya bisa digunakan untuk meninjau kondisi akses yang ada dan apa saja yang bisa diperbaiki.

  8. Pengaduan Jika terjadi pelanggaran selama hari pemungutan suara, penyandang disabilitas perlu didorong untuk menyampaikan pengaduannya ke komisi pemilihan umum. Proses pengaduan harus bisa diakses oleh penyandang disabilitas.

  9. Evaluasi Komisi pemilihan umum harus mengadakan evaluasi setelah pemiliu selesai dan menelaah mana yang sudah terlaksana dengan baik dan mana yang perlu diperbaiki dalam pemilu berikutnya. Penyandang disabilitas dan pemantau pemilu perlu memberikan masukan dalam evaluasi ini.

  3. Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah Terdapat beberapa pilar yang menjadi prasyarat berjalannya sistem politik

  

  demokrasi, yaitu: 1.

  Adanya penyelenggaraan pemilu yang bebas dan berkala.

  2. Adanya pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif.

  3. Adanya perlindungan terhadap HAM.

  4. Berkembangnya civil society dalam masyarakat. P. Anthonius Sitepu, dalam bukunya Studi Ilmu Politik, menyebutkan 24 bahwa “Penyelenggaraan pemilu yang bebas dan berkala menjadi prasyarat sistem Komisi Pemilihan Umum. 2010. Modul Pemilu Untuk Pemula. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum. hal. 1. politik demokrasi. Pemilhan umum (general election) diakui secara global, diartikan sebagai sebuah arena untuk membentuk demokrasi perwakilan serta

  

  menggelar pergantian pemerintahan secara berkala.” Penyelenggaraan pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004 secara langsung telah mengilhami dilaksanakannya pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala

  Daerah (Pilkada) secara langsung pula. Hal ini didukung pula dengan semangat otonomi daerah yang telah digulirkan pada tahun 1999. Oleh karena itulah, sejak tahun 2005, telah diselenggarakan Pilkada secara langsung, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Penyelenggaraan ini diatur dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,

   rahasia, jujur dan adil”.

  Penyelenggara Pemilihan Umum di Provinsi dan Kabupaten/Kota adalah

lembaga yang menyelenggarakan Pemilu untuk kepala daerah dan wakil kepala

daerah secara langsung oleh rakyat yaitu Komisi Pemilihan Umum Provinsi atau

Kabupaten/Kota yang merupakan lembaga yang bersifat nasional, tetap dan

mandiri. Hal tersebut termuat dalam pasal keempat Peraturan Pemerintah

   Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2005 yang menyebutkan bahwa:

  25 26 P. Anthonius Sitepu. 2012. Studi Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. hal. 177. 27 Komisi Pemilihan Umum, op. cit., hal. 16.

  

Lihat pasal 4 PP Nomor 17 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005

Dokumen yang terkait

Pemenuhan Hak-Hak Kaum Disabilitas dalam Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 di Kota Medan

6 62 116

BAB IV PEMBAHASAN A. Muhammadiyah dan Politik - Pengaruh Kebijakan Muhammadiyah Sumatera Utara Terhadap Pemilihan Kepala Daerah (Analisis Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Periode 2013 – 2018) - Repository UIN Sumatera Utara

0 1 14

BAB II LANDASAN TEORITIS A. Kebijakan - Pengaruh Kebijakan Muhammadiyah Sumatera Utara Terhadap Pemilihan Kepala Daerah (Analisis Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Periode 2013 – 2018) - Repository UIN Sumatera Utara

1 4 9

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Tugas Akhir dengan judul Peranan Sekretaris dalam Perjalanan Dinas Staf Ahli Gubernur pada Sekretariat Staf Ahli Gubernur di Kantor Gubernur Provinsi Sumatera Utara

0 1 9

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Kekuasaan dan Politik Lokal (Studi tentang Peran Pemuda Pancasila dalam Mendukung Syamsul Arifin dan Gatot Pudjonugroho sebagai Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008)

0 0 51

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang - Kebijakan Partai Politik Pada Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Studi Kasus: Kebijakan Partai Demokrat Dalam Penetapan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut Periode 2013-2018)

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Perilaku Politik Pemilih Pemula Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)

0 2 36

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Peran dan Fungsi Komisi Pemilihan Umum Kota Medan Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden Tahun 2009

0 0 27

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG - Peranan Panitia Pengawas Pemilu Kota Medan Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013

0 0 31

Peranan Panitia Pengawas Pemilu Kota Medan Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013

0 0 9