MEMFASILITASI KEPEMIMPINAN PROFETIK DI BIROKRASI PUBLIK

  http://jtrap.ppj.unp.ac.id

MEMFASILITASI KEPEMIMPINAN PROFETIK

DI BIROKRASI PUBLIK

  

Ihsan Rahmat

  P erbankan Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam,

  

Institut Agama Islam Negeri Bengkulu

em

Netta Agusti

  

Manajemen dan Perbankan Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam,

Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

email: netta.agusti@gmail.com

  

Abstract

The aims of this study to discusses prophetic leadership models and how to facilitate it in the public bureaucracy.

  

Prophetic leadership is the ability possessed by leaders to influence subordinates in accordance with Islamic

demands (leading to the pattern of the leadership of Rasulullah SAW). Systematically we work starting with

searching for sources of reading (nash al-Qur'an, hadith, journals and books), then reading interactive, making

reading tables, and reducing the essence of reading before being transferred to the worksheet. This study found that

leadership can be explained through theories of extrinsic and intrinsic motivation. Prophetic leadership belongs to

intrinsic leadership because it uses spirituality as the basis of value. In Islam, prophetic leadership not only stems

from intrinsic or ethical motivation, but the integration of divine-world motivation (hasanah) and akhirat (salamah).

Then it is known that the triggers of prophetic leadership can be the result of imitating the Prophet Muhammad and

also through social experience. The process of its formation took place in a long time, so it is concluded that

prophetic leadership can be applied in the public bureaucracy if the ASN of the country has religious maturity.

Efforts to realize prophetic leadership can begin by analyzing the level of religious maturity. Bringing spiritual

nuances within the organization is considered to be sufficient to facilitate the ASN of a mature country. We are just

at the analytical stage and predict its application opportunities. The next researcher needs to raise the best practice

case from this model and to formulate a measuring tool to assess the successful application of prophetic leadership

in the public bureaucracy. Keywords: Prophetic Leadership, Islam, Spirituality, Indonesian Bureaucracy.

  

Intisari

Studi ini bertujuan untuk membahas model kepemimpinan profetik dan bagaimana memfasilitasinya pada birokrasi

publik. Kepemimpinan profetik adalah kemampuan yang dimiliki oleh para pemimpin untuk mempengaruhi

bawahan sesuai dengan ajaran Islam (sesuai pola kepemimpinan Rasulullah SAW). Penelitian ini dilaksanakan

secara sistematis, dimulai dengan mencari sumber bacaan dari Al-Qur'an, Hadis, Jurnal dan Buku), kemudian

membaca secara interaktif, membuat tabel bacaan, dan mengurangi esensi membaca sebelum dipindahkan ke lembar

kerja. Studi ini menemukan bahwa kepemimpinan dapat dijelaskan melalui teori motivasi ekstrinsik dan intrinsik.

  

Kepemimpinan profetik termasuk kepemimpinan intrinsik karena menggunakan spiritualitas sebagai dasar nilai.

Dalam Islam, kepemimpinan profetik tidak hanya berasal dari motivasi intrinsik atau etis, melainkan integrasi

motivasi duniawi (hasanah) dan akhirat (salamah). Maka diketahui bahwa pemicu kepemimpinan profetik bisa

diperoleh dari hasil menirukan Nabi Muhammad SAW dan juga melalui pengalaman sosial. Proses pembentukannya

berlangsung dalam waktu lama, sehingga disimpulkan bahwa kepemimpinan profetik dapat diterapkan pada

birokrasi publik apabila ASN memiliki kematangan dalam beragama. Upaya mewujudkan kepemimpinan profetik

bisa dimulai dengan menganalisa tingkat kedewasaan religius. Membawa nuansa spiritual dalam organisasi dinilai

cukup memfasilitasi ASN yang telah matang beragama. Peneliti baru berada tahap analisis dan memprediksi peluang

aplikasinya. Peneliti selanjutnya perlu mengemukakan kasus best practice dari model ini. Penting juga untuk

merumuskan alat ukur untuk menilai keberhasilan penerapan kepemimpinan profetik di birokrasi publik.

  Ihsan Rahmat, Netta Agusti |84

  Ihsan Rahmat, Netta Agusti |84 1.

   PENDAHULUAN

  Para ahli administrasi telah lama mengkaji kepemimpinan di sektor publik (Nigro, 1965; Pfiffner & Presthus, 1967; Van Wart, 2003; Van Slyke & Alexander, 2006; Wright & Pandey, 2010). Walau demikian, isu tersebut dinilai seksi untuk diperbincangkan karena adanya dampak lingkungan yang dinamis, globalisasi, hingga meningkatnya kebutuhan desentralisasi setiap daerah. Di Indonesia setelah reformasi, tuntutan akan pemimpin yang mampu menyelesaikan persoalan seperti korupsi, nepotisme, mafia peradilan, rendahnya kapabilitas birokrasi, krisis moral elit, moneter, politik, hingga hilangnya kepercayaan di antara masyarakat, semakin meningkat. Organisasi publik membutuhkan pemimpin yang dapat menerapkan pilar- pilar good governance (Bappenas, 2007).

  Sayangnya, tuntutan dan kebutuhan tersebut tidak jarang berakhir dengan kekecewaan. Pemimpin justru menjadi bencana bagi organisasi yang dipimpinnya. Kepemimpinan kepala daerah sering menjadi sorotan publik karena berbagai kasus negatif. Sri Hartini (Bupati Klaten, Jawa Tengah) terlibat skandal jual-beli jabatan dengan nilai suap hingga Rp. 2 miliar, Tubagus Iman Ariyadi (Walikota Cilegon, Banten) didakwa kasus suap perijinan mall senilai Rp. 1.15, miliar, Ok Arya Zulkarnaen (Bupati Batubara, Sumatra Utara) terlibat suap dana infrastruktur senilai Rp. 346 juta, dan empat kepala daerah lainnya yang ditangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sepanjang tahun 2017 (liputan6.com, 2017). Apabila dilihat ke belakang, sejak 2004-2017 KPK mencatat 392 Kepala Daerah terjerat kasus hukum, jumlah terbesar adalah korupsi sejumlah 313 kasus (jawapos.com, 2017). Puncaknya ketika ketua DPR, Setya Novanto, terlibat skandal ‘papa minta saham’ dan pengaturan anggaran proyek e-

  KTP yang merugikan negara hingga Rp. 2,3 triliun.

  Paulus dalam Buwono (2009) merespon data di atas dengan menyodorkan argumen bahwa syarat utama pemimpin publik di Indonesia adalah memiliki tiga kapasitas yang seimbang, yakni spiritual, emosional, intelektual. Asumsi dasarnya adalah pemimpin yang berkapasitas akan membawa organisasi pada pencapaian kinerja. Sarros, Gray, dan Densten (2002) telah menemukan hubungan yang kuat dan positif antara kepemimpinan dengan budaya organisasi. Sedangkan kepemimpinan dan budaya pada akhirnya berdampak pada kualitas kinerja organisasi (Ogbonna & Harris, 2000). Artinya terdapat dua indikator utama dalam mewujudkan birokrasi publik yang bersih dan melayani, yakni pemimpin yang kapabel dan budaya organisasi yang mendukung.

  Konstruksi budaya birokrasi Indonesia terlihat lekat dengan model Weberian yang mensyaratkan strukturisasi organisasi hirarkis-otoritatif dan ditandai dengan tingkat formalitas yang tinggi. Organisasi publik yang mengandalkan mekanisme kontrol birokrasi akan mengurangi interaksi antara atasan dan bawahan (Bass dan Riggio, 2006). Hal tersebut memunculkan pandangan bahwa kepemimpinan hanya milik orang yang berada di puncak. Pandangan ini diperkuat oleh sikap dan gestur pemimpin yang memaknai otoritas formalnya sebagai sebuah “wilayah kekuasaan”, dan mengkonstruk bawahan sebagai pihak yang melayani wilayah tersebut (Pramusinto, 2009; Wicaksono, 2010).

  Tetapi klaim di atas tidak sepenuhnya benar. muncul bantahan. Pandey dan Wright (2010:86) mengatakan "there is a growing consensus in public management scholarship that 'management matters' and that public Email : jtrap@ppj.unp.ac.id | http://jtrap.ppj.unp.ac.id |85 Vol. 1 No. 2 Tahun 2017 e-ISSN: 2579-3195 P-ISSN: 2579-5072

  organizations and their leaders can overcome structural constraints". Pandangan tersebut terlihat dari model kepemimpinan paradoksal milik Herry Zudianto yang bernuansa “local wisdom”. Herry Zudianto sebagai Walikota Yogyakarta mampu mengatasi hambatan struktural birokrasi, terutama dalam sistem kesultanan di DIY (Priyadi, 2016). Lebih jelas lagi gaya kepemimpinan Basuki Tjahja Purnama (Ahok), terbaca rasional dan menerebos sekat-sekat formal birokrasi di DKI Jakarta (Prasetyo, 2014). Bagaimanapun, argumen yang perlu dipertimbangkan adalah birokrasi merupakan objek, sedangkan pemimpin adalah orang pertama yang mampu membentuk nilai dan budaya dalam birokrasi. Indikator terkuat menuju birokrasi yang kapabel adalah kepemimpinan.

  Barth-Farkas dan Vera (2014) memandang model kepemimpinan dalam birokrasi publik bergantung pada konteks kemunculannya. Prevalensi yang muncul kemudian adalah peluang reorientasi nilai- nilai kepemimpinan di birokrasi Indonesia sangat terbuka lebar. Temuan Price (2015) tentang kegagalan etika kepemimpinan pada dasarnya atas dasar kehendak bukan kognitif, turut memperkuat argumen pentingnya reorientasi nilai dalam kepemimpinan. Karena itu sangat tepat ketika mengatakan salah satu pintu masuk yang strategis untuk melakukan reformasi birokrasi adalah dengan meninjau ulang kepemimpinan di birokrasi.

  Kalau upaya reorientasi nilai dalam praktik kepemimpinan kemudian dianggap sebagai sebuah pendekatan yang strategi, lantas nilai apa yang pantas dipertimbangkan sebagai alternatif membentuk kontruksi kepemimpinan yang efektif? Di antara berbagai tipe kepemimpinan yang lazim dikupas dalam berbagai literatur maupun kurus-kursus kepemimpinan, sudah jamak mendengar konstruk kepemimpinan kharismatik, transaksional, transformasional, laissez faire, dan servant leadership. Namun ada satu konsepsi yang mungkin belum banyak terdengar dan menjadi perhatian khusus dalam lingkup birokrasi publik, yaitu prophetic leadership (selanjutnya disebut kepemimpinan profetik). Secara konsepsi, istilah ini mungkin paradoksal karena menggabungkan dua konsep besar, yaitu “kepemimpinan” dan “profetik” dalam satu terminologi yang utuh. Mengapa disebut sebagai kepemimpinan profetik? Bagaimana konstruk kepemimpinan tersebut? Dan Bagaimana mana kepemimpinan ini meyelesaikan masalah di birokrasi publik?

  2. METODE

  Artikel ini bersumber dari fenomena birokrasi dan riset kepustakaan (library

  research ). Demi menjaga nilai keilmiahan

  sebuah karya, memastikan data-data yang digunakan relevan dengan tema, dan dapat dipertanggungjawabkan, peneliti menggunakan alur kerja yang sistematis.

  Pertama, mencari sumber bacaan yang

  dinilai relevan. Dalam menemukan sumber bacaan, peneliti menggunakan kata kunci

  Islamic leadership, spiritual leadership , dan Indonesian bureaucracy . Kemudian peneliti

  membagi sumber bacaan ke dalam dua bagian, yakni bacaan primer dan skunder. Kendala utama adalah sulit menemukan literatur yang secara khusus mengkaji kepemimpinan profetik, dan peneliti menemukan istilah prophetic leadership belum terdengar dikajian internasional.

  Kedua , membaca dan menyusun hasil

  bacaan ke dalam tabel menggunakan microsoft excel. Penulis membaca buku atau dokumen dengan teknik scanning. Ketika mendapati bagian-bagian bacaan yang dianggap relevan dengan topik bahasan, maka teknik membaca interaktif digunakan.

  Ihsan Rahmat, Netta Agusti |86 Ketiga, Membaca interaktif memberikan

  kesempatan bagi peneliti untuk menggangkat intisari bacaan, kemudian menghubungkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki. Intisari bacaan kemudian disalin ke dalam tabel yang sebelumnya telah dibagi ke dalam beberapa kolom (sesuai kebutuhan, berisi kolom judul, penulis buku, intisari bacaan, halaman bacaan, kata kunci, kategorisasi, pentemaan).

  Keempat , mereduksi data hasil

  pembacaan atau intisari. Maksudnya adalah saat memasuki kerja pentabelan, penulis kembali membaca dengan seksama intisari bacaan guna memahami isi teks secara menyeluruh, melihat kesamaan atau perbedaan ide antar ahli, dan mempermudah penulis untuk melakukan tahap pentemaan. Kemudian melakukan tahap pencarian kata kunci untuk setiap intisari bacaan. Kata kunci tersebut kemudian dikategorisasi berdasarkan kesamaan dengan kata kunci dengan bacaan lain. Terakhir adalah membuat tema-tema besar dari hasil kategorisasi. Tema-tema inilah yang nantinya menjadi sub-bab pada bagian pembahasan. Alur seperti ini diyakini akan menghindari penulis dari bias dalam pembahasan.

  Diskusi ini dimulai dengan penemuan beberapa kesamaan istilah dengan kepemimpinan profetik, yakni kepemimpinan spiritual (Khadra, 1990), kepemimpinan ESQ (Agustian, 2001), kepemimpinan instrinsik (Fry, 2003). Sumber nilai dalam kepemimpinan tersebut adalah etika atau keyakinan pada “sesuatu” yang lebih besar. Apakah keyakinan atau etika tersebut berkaitan pada agama, para ahli memiliki pandangan berbeda. Mitroff dan Denton (1999) menyimpulkan makna keyakinan bagi pekerja di Amerika, dengan mengatakan bahwa spiritualitas tidak mutlak menyoal agama tertentu. Meyakini sesuatu yang lebih besar di alam raya ini (non- material), juga dapat dimaknai sebagai spiritualitas. Hal tersebut menjadi alasan seseorang menyerahkan sebagian besar hidupnya untuk bekerja. Mempertimbangkan dua pemaknaan spiritualitas, peneliti berpandangan bahwa konstruk kepemimpinan profetik dapat dijelaskan dari dua sisi, berdasarkan penjelasan agama dan sains sosial. Penelusuran ini akan menghasilkan pemaknaan yang berbeda, hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh ketidakpuasan sebagian ahli dengan doktrin agama atau sebagai sebuah usaha yang ‘smoothing’ menjelaskan model kepemimpinan profetik berdasarkan teori kepemimpinan.

  Secara literal, Echols dan Shadily (1996) menuliskan prophetic berasal dari kata prophet yang berarti nabi atau rasul.

  Prophetic sendiri berarti bersifat kenabian.

  Atas dasar ini para ahli menggunakan pemaknaan sederhana untuk gaya kepemimpinan profetik sebagai kepemimpinan yang “mengekor” pada praktik nabi atau rasul. Sepanjang penelusuran literatur, studi kepemimpinan profetik justru banyak dikaji di Indonesia (Kuntowijoyo, 1989; Budiharto & Himam, 2006; Hendrawan, 2009; Surya, 2013; Priyadi, 2016). Istilah ini berangkat dari pemikiran Kuntowijoyo (1989) tentang Teologi Transformatif, mengatakan teologi Islam tidak harus selalu membicarakan abstrak dan skolastik, tetapi mampu mempelajari hakikat Tuhan melalui refleksi empiris. Mendasarkan pandangan pada Islam Profetik milik Kuntowijoyo, maka kepemimpinan profetik mengemban visi dan misi suci sebagai sebuah panggilan religius

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Kepemimpinan Profetik dalam Konstruksi Islam

  Email : jtrap@ppj.unp.ac.id | http://jtrap.ppj.unp.ac.id |87 Vol. 1 No. 2 Tahun 2017 e-ISSN: 2579-3195 P-ISSN: 2579-5072

  amanah (profesional dan berkomitmen), tabligh (kemampuan berkomunikasi), dan fathonah (mampu menyelesaikan masalah).

  example

  Sederhananya, konstruk kepemimpinan profetik dalam Islam telah tersedia pada sosok Nabi Muhammad SAW. Proses mencermati dan meneladani (lead by

  Qur’an dan Sunnah, yakni niat, taqwa, ihsan, keadilan, kejujuran, kebenaran, itqan, ikhlas, musyawarah, dan sabar.

  menjamin bagi orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW akan menghantarkan kepada keberhasilan dalam kehidupan. Ketika dilihat lebih global, Branine dan Pollard (2010) menyimpulkan sepuluh atribut dalam kepemimpinan Islam berdasarkan Al-

  rahmatan lil ‘alamin. Agama telah

  Tidak berhenti di empat sifat tersebut, keberhasilan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang utama memiliki akhlaq karimah dan mendapat jaminan sebagai

  Budiharto dan Himam (2006) berpandangan sifat kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang menjadi konstruk kepemimpinan profetik adalah sidiq (berpedoman pada nurani dan kebenaran),

  yang dinilai dari tiga indikator humanisasi (pencerahan), liberalisasi (pembebasan), dan transendensi (spiritualitas). Ali (2009) memberikan pemahaman yang lebih mendalam bahwa kepemimpinan profetik menyoal tentang hati dan jiwa sebagai dua instrumen ilahiah yang mewakili esensi diri manusia. Sehingga keunggulan kepemimpinan profetik -dibanding dengan gaya kepemimpinan lain- adalah kekuatan nurani atau berbicara tentang keyakinan (sesuatu yang lebih besar). Suara hati dan nurani lebih ditonjolkan dalam pengambilan keputusan dibandingkan dengan hawa nafsu karena pertanggungjawaban bukan hanya kepada organisasi, juga kepada Tuhan.

  ’ dari inisiatif Nabi Muhammad saw yang berusaha mempersatukan penduduk Madinah (muhajirin dan anshar) menjadi satu komunitas.

  political unit a new type

  Bahkan Watt (1968:45) menganalisa ‘a

  ”. Nabi Muhammad SAW mampu memimpin sebuah bangsa yang awalnya terbelakang dan terpecah-belah. Rahman (2012) mengungkapkan dalam tempo kurang lebih satu dekade, Nabi Muhammad SAW berhasil meraih berbagai prestasi yang tak mampu diraih pemimpin negara manapun.

  dunia yang sukses sebagai personal, negarawan, hakim teradil, pedagang terjujur, pemimpin militer terhebat, dan pejuang kemanusiaan tergigih

  Qur’an memberikan makna kepemimpinan secara global, sedangkan Nabi Muhammad SAW mempraktikannya dalam kehidupan bermasyarakat atau pemerintahan di Jazirah Arab. Bagaimanapun, diskursus tentang model kepemimpinan profetik tidak mungkin lepas dari pembicaraan tentang Nabi Muhammad SAW, sebab beliau adalah contoh pemimpin yang paling utama di antara banyak contoh kepemimpinan dalam sejarah umat manusia. Hart (1978) secara eksplisit menyatakan “Muhamad adalah satu satunya pemimpin

  Dalam Islam, sumber nilai pada kepemimpinan profetik adalah Al- Qur’an dan Sunnah. Al-

  ) menjadi cara untuk mengimplementasikan nilai-nilai kepemimpinan profetik dalam diri. Walau disadari bahwa kepemimpinan Nabi Muhammad SAW bersifat “made” atau dibentuk oleh wahyu dan pengajaran dari Jibril. Bermaksud memperdalam bahasan diskusi ini, ASN tidak dapat dikatakan sebagai orang-orang yang telah dipersiapkan sejak awal. Kompetensi dan kemampuan ASN telah dipersiapkan melalui proses pendidikan. Maka pertanyaan kemudian yang muncul adalah apakah kepemimpinan

  Ihsan Rahmat, Netta Agusti |88

  profetik yang merunut pada praktik Nabi Muhammad SAW aplikabel dengan ASN di birokrasi publik? Sebagai pemicu untuk menjawab pertanyaan ini, diskusi dilanjutkan dengan mengkaji konstruk kepemimpinan profetik dari sisi empiris. Ketika hal ini dapat dijelaskan, kepemimpinan profetik aplikatif dengan birokrasi publik.

3.2 Kepemimpinan Profetik dalam Teori Kepemimpinan

  Bagaimanapun, kepemimpinan profetik merupakan bagian dari gaya kepemimpinan dalam organisasi. Hal ini menandakan model kepemimpinan ini dapat ditelusuri dari sudut pandang teori kepemimpinan. Merunut kembali sejarah, studi kepemimpinan telah dimulai sejak 1900 dengan memfokuskan perhatian pada perbedaan karakteristik antara pemimpin dan bawahan. Seiring berkembangnya kajian perilaku organisasi sekitar 1950an, fokus kepemimpinan bergeser pada tingkah laku yang diperagakan oleh para pemimpin. Untuk memahami faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkah laku para pemimpin yang efektif, para peneliti menggunakan model kontingensi. Model ini menguji keterkaitan antara watak pribadi, situasi, dan pengaruh pemimpin. Sebagaimana umumnya ilmu sosial, perubahan yang cepat juga terjadi pada studi ini. Sekitar tahun 1970an, studi kepemimpinan mulai memperhatikan individu dalam organisasi sebagai elemen penting dalam kepemimpinan. Hingga periode ini, kepemimpinan menjadi topik yang semakin menarik diperbincangkan karena fokus utamanya bukan lagi pemimpin yang berada di puncak.

  Di akhir tahun 1980an, para ahli mulai menemukan nilai sebagai variabel penting yang ikut mempengaruhi kesuksesan organisasi (Rahmat, 2016). Spiritualitas kemudian menjadi topik yang hangat diperbincangkan di awal tahun 1990an. Organisasi mulai memberikan ruang bagi agama untuk ikut memperbaiki kinerja organisasi, termasuk kepemimpinan. Hendricks dan Ludeman (1996) misalnya menjelaskan The Corporate Mystic sebagai konsep kepemimpinan spiritual. Parcy (1997) mengemukakan Going Deep melalui eksplorasi kedalaman spiriitualitas dalam kepemimpinan. Zaluchu (2003) mengemukakan kepemimpinan spiritual dalam perspektif alkitab. Agustian (2001) mengemukakan kepemimpinan spiritual berdasarkan Rukun Iman dan Rukun Islam yang disebut sebagai powerfull leader. Masih banyak lagi kajian tentang kepemimpinan spiritual dalam ragam perspektif dan dalam ragam kasus.

  West-Burnham (1997:239) juga berpandangan bahwa kepemimpinan spiritual tergolong dalam kepemimpinan moral. Spiritualitas berhubungan dengan “the recognition that many leaders possess

  what might be called ‘‘higher order’’ perspectives ”. Pemimpin seperti ini

  memiliki seperangkat prinsip yang memberikan dasar kesadaran diri. Dalam konteks organisasi publik, Bush (2010) memandang kepemimpinan etika atau spiritual muncul akibat respon ketidakpuasan terhadap asumsi rasional- birokrasi yang dominan pada paradigma kekuasaan dan manajemen. Birokrasi dianggap telah mengkerdilkan makna kepemimpinan yang seharusnya. Melalui konsepsi kekuasaan, pegawai yang berada di tingkat bawah beralih fungsi sebagai pelayan pimpinan.

  Geh (2014) berpikiran spiritualitas organisasi berkaitan erat dengan motivasi instrinsik. Hal ini muncul dari asumsinya pada gagasan tradisional yang hingga sekarang masih dipertahankan bahwa organisasi terus memandang seseorang Email : jtrap@ppj.unp.ac.id | http://jtrap.ppj.unp.ac.id |89 Vol. 1 No. 2 Tahun 2017 e-ISSN: 2579-3195 P-ISSN: 2579-5072

  bekerja untuk mendapatkan penghargaan eksternal. Sisi instrinsik seseorang dalam bekerja cenderung terabaikan, sehingga muncul keluhan uang tidak dapat memberikan kebahagiaan. Tanpa motivasi, hubungan diri sendiri, orang-orang penting lainnya, dan organisasi tidak dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Seseorang merasa termotivasi bila ada tumpang tindih saat menemukan makna dalam pekerjaan pribadi dan dalam keseluruhan tujuan organisasi.

  Berangkat dari motivasi instrinsik, kepemimpinan profetik dapat dijelaskan dalam teori kepemimpinan di birokrasi. Fry (2003) menilai bahwa organisasi birokratis selama ini merefleksikan masyarakat yang mengutamakan sentralisasi, standarisasi, dan formalisasi. Organisasi seperti ini memotivasi para pekerjanya terutama dengan menimbulkan kekuatan dan imbalan- imbalan ekstrinsik, dan juga tidak dapat menjadi sumber pertahanan spiritual. Fry merunut kepemimpinan dengan dasar spiritual muncul atas perkembangan teori motivasi (instrinsik dan ekstrensik). Motivasi instrinsik mengandung makna perilaku seseorang yang muncul dimotivasi oleh faktor dari dalam diri, sedangkan motivasi ekstrinsik dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Fry kemudian menurunkan gaya kepemimpinan berdasarkan dua motivasi ini, dimana kepemimpinan konvensional masuk ke dalam ekstrinsik dan kepemimpinan spiritual menjadi bagian dari motivasi instrinsik. Gaya kepemimpinan yang bersifat intrinsik di antaranya kepemimpinan profetik, karismatik, transformasional. Kemudian, gaya kepemimpinan yang bersifat ekstrinsik termasuk di dalamnya kepemimpinan transaksional.

  Skema 1.1 Konstruk kepemimpinan

  profetik dalam teori kepemimpinan Sumber: Adopsi Fry (2003) Skema di atas telah menggambarkan letak kepemimpinan profetik dalam teori kepemimpinan. Mengulang pernyataan Fry bahwa konstruk kepemimpinan profetik berangkat dari konsep motivasi instrinsik.

  Mendapat tambahan, kepemimpinan profetik perspektif Islam tidak hanya bersumber pada motivasi intrinsik atau etika, tetapi integrasi motivasi Ilahiyah yang berdimensi dunia (hasanah-happines) dan akhirat (salamah-

  salvation ). Karena motivasi Ilahiyah ,

  kepemimpinan profetik harus dimiliki oleh setiap ASN dalam organisasi. Merujuk pada hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim (dalam Nawawi) bahwa “setiap orang

  adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.

  

3.3

Pembentukan Kepemimpinan Profetik

  Mengkaji proses pembentukan kepemimpinan profetik akan menguatkan argumen bahwa kepemimpinan ini aplikabel dengan birokrasi publik. Kepemimpinan profetik perspektif Islam bersumber pada

  Motivasi Ekstrinsik Instrinsik Kepemimpina n

  Konvensional Konvensional Spiritual Transaksional Transformasnl al

  Profetik Ekstrinsik Instrinsik

  Ihsan Rahmat, Netta Agusti |90

  Al- Qur’an dan Sunnah. Sebagian ahli memaknai kepemimpinan profetik sebagai kepemimpinan yang menggunakan sosok Nabi Muhammad SAW sebagai role model. Walau kepemimpinan profetik bersandar pada sosok Nabi Muhammad SAW, tidak mutlak hal tersebut menjadi sumber pemicunya. Keteladanan para khalifah, sahabat, ulama, bahkan pengalaman- pengalaman sosial juga dapat memicu lahirnya nilai-nilai profetik dalam diri. Khadra (1990) memandang dinamika kepemimpinan di Arab, selain merunut pada apa yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, juga melihat pada kepemimpinan khalifah dalam menyelesaikan urusan masyarakat.

  Secara empiris, lingkungan sosial dapat menjadi pemicu tumbuhnya nilai-nilai profetik (Taufan, 2008). Ini dapat diterima karena nilai-nilai agama, selain bersumber dari wahyu, juga terkait dengan aspek-aspek spiritualitas yang terorganisasi seperti seperangkat peraturan dan tradisi. Dalam lingkungan keluarga di beberapa kasus, seorang anak mengamati tingkah laku ayah, cara berbicara, hingga hal-hal terkecil. Asumsi yang berkembang di masyarakat, seorang ayah yang rajin memberikan nasihat kepada anak akan tertanam nilai-nilai kebaikan. Peduli pada kerabat, membantu tetangga, dan gotong-royong dalam masyarakat juga dapat memicu lahirnya perilaku memahami sesama manusia. Artinya, pembentukan kepemimpinan profetik berkaitan dengan pengalaman hidup. Sehingga proses menuju kematangan pengalaman atau keberagamaan diyakini berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama.

  Fry (2003) memperluas area pemicu kepemimpinan profetik melalui pengalaman spiritual seorang pemimpin, kemudian pemimpin dapat merubah budaya organisasi ke arah spiritualitas. Karena itu, salah satu indikator kesuksesan penanaman nilai spiritualitas dalam organisasi adalah pemimpin memiliki visi spiritual. Perlu pemahaman ulang atas pandangan Fry bahwa proses pembentukan nilai berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Kematangan beragama menjadi poin penting untuk mengimplementaikan gaya kepemimpinan profetik. Visi atau budaya spiritualitas dalam organisasi kemungkinan masih memfasilitasi. Butuh kajian lanjutan untuk melihat bagian ini apakah visi pemimpin untuk budaya spiritual organisasi dapat memicu atau melahirkan personel organisasi yang mengutamakan etika dalam bekerja.

  Diketahui bahwa kepemimpinan profetik muncul dari kematangan keberagamaan seseorang. Kematangan beragama sebagai potensi rohani terlihat dalam bentuk karakter (kesalihan dalam agama dan sosial). Pengamalan keberagamaan yang secara sadar dan konsisten telah berdampak pada pembentukan karakter ilahiyah (hablumminallah) dan karakter kemanusiaan (hamlumminannas). Karakter ilahiyah dalam diri menjadikan seseorang hidup berdasar iman dan bekerja dengan orientasi ibadah. Sedangkan karakter kemanusiaan merujuk pada sifat Nabi Muhammad SAW, yakni

  amanah, tabligh, shiddiq, dan, fathonah.

  Karakter ini akan menghasilkan pemimpin berkualitas yang menjadikan kerja sebagai ibadah. Ketika bekerja sudah diniatkan sebagai ibadah, maka tanggung jawab bekerja bukan hanya kepada organisasi, tetapi pada Allah SWT. Pemicu dan pembentuk kepemimpinan profetik yang telah dijelaskan di atas menjadi dasar dalam memfasilitasi budaya kepemimpinan profetik di birokrasi publik.

  3.4 Kepemimpinan Profetik di Birokrasi

  Secara konseptual, kepemimpinan profetik dapat diaplikasikan di birokrasi Email : jtrap@ppj.unp.ac.id | http://jtrap.ppj.unp.ac.id |91 Vol. 1 No. 2 Tahun 2017 e-ISSN: 2579-3195 P-ISSN: 2579-5072

  Indonesia. Argumen ini dapat dijelaskan melalui fakta teoritis dan praktis. Pada dasarnya setiap gaya kepemimpinan aplikabel dengan birokrasi publik, dengan catatan disesuaikan dengan kultur organisasi atau kemampuan pemimpin puncak untuk menggiring kultur organisasi yang telah dipraktikkan dalam waktu lama ke arah gaya kepemimpinan yang diinginkan. Selain itu, kajian empiris mengkomfirmasi kepemimpinan berlandaskan etika –seperti transformasional atau spiritual- signifikan menunjang kinerja organisasi. Model kepemimpinan etika dinilai lebih disukai bawahan, dibandingkan dengan model transaksional atau sejenisnya. Hal ini disebabkan oleh faktor pegawai yang ingin dihargai (materi dan non-materi), diperlakukan secara lembut, pendapatnya didengarkan pimpinan, hingga ketersediaan waktu untuk mengekspresikan kewajiban agama.

  Menimbang asumsi dan hasil kajian empiris ini, maka kepemimpinan profetik dapat membaur dengan budaya birokrasi di Indonesia. Terlebih adanya fakta bahwa ASN di Indonesia didominasi oleh umat Islam, khususnya untuk daerah-daerah di sepanjang pulau Sumatra dan Jawa. Di Sumatra misalnya, Aceh dan Sumatra Barat dapat menjadi provinsi percontohan dalam mengaplikasikan model ini karena instansi pemerintahannya mengusung visi Islam. Begitu juga secara individual, keseharian masyarakat sangat lekat dengan nuansa dan ritual-ritual Islam. Anak-anak sejak dini telah mendapat berbagai pengajaran, baik dari rumah, sekolah, hingga langgar atau mushola. Apabila kepemimpinan profetik memiliki peluang besar untuk berhasil ketika ASN memiliki kematangan dalam beragama, maka tugas pemimpin hanya memfasilitasi dalam bentuk budaya organisasi. Berbeda halnya dengan daerah yang secara visi instansi belum mencantumkan spiritualitas sebagai salah satu tujuan penunjang organisasi. Pada kasus ini, pemimpin terlebih dahulu harus memiliki visi ke arah spiritualitas.

  Kepemimpinan profetik dinilai semakin dekat dengan birokrasi Indonesia tatkala ditinjau dari berbagai tantangan ke depan. Birokrasi di Indonesia pasca reformasi mengalami perubahan budaya yang cukup cepat. Disebabkan oleh berbagai kondisi, seperti terbuka lebarnya kesempatan rakyat untuk menyuarakan saran atau kritik kepada pemerintah, era globalisasi, digital, desentralisasi, hingga isu terbaru tentang persiapan Indonesia menuju bonus demograsi tahun 2020-2030. Menuntut birokrasi untuk lebih responsif dan merevitalisasi perannya agar sesuai dengan paradigma new public service (NPS) yang berorientasi pada pelayanan prima. Kemudian, berbagai usaha dilakukan seperti penyusunan SPM (Standar Pelayanan Minimal), SPP (Standar Pelayanan Publik), termasuk kontrak layanan (citizen charter). Ini merupakan langkah yang baik dan telah dipraktikkan di berbagai negara maju. Lebih mendekatkan birokrasi pada fase kematangan (maturity stage) ketika ASN memiliki cara pandang spiritualitas untuk mengimplementasikan standar yang telah ditentukan instansi atau pemerintah pusat tanpa adanya sifat keterpaksaan. Kepemimpinan profetik dibutuhkan karena memperbaiki cara pandang ASN dalam bekerja. Kepemimpinan ini meniadakan persepsi pelayan publik sebagai penguasa wilayah administratif, tetapi menanamkan keyakinan bekerja sebagai ibadah dan harus dipertanggungjawabkan di akhirat.

  Ketika argumen utama mampu dijelaskan dengan serangkaian bukti, pertanyaan kemudian adalah bagaimana memfasilitasi kepemimpinan profetik dalam birokrasi? Sebelum menjawab pertanyaan

  • –baik itu tanggungjawab ataupun kepercayaan- maka bawahan akan memberikan hal yang sama kepada organisasi.

  Ihsan Rahmat, Netta Agusti |92

  ini, perlu ditelusuri apakah ASN dalam birokrasi telah memiliki kematangan beragama. Jawaban atas pertanyaan ini mengarah pada treatment yang berbeda. Ketika berandai seluruh ASN dalam sebuah instansi berada di tingkat kematangan beragama, maka membangun budaya organisasi menjadi jawaban untuk memfasilitasi kepemimpinan profetik. Organisasi yang direpresentasikan oleh pimpinan puncak perlu menghadirkan nuansa religius dalam pekerjaan misalnya membiasakan salam, bertuturkata yang baik, memberikan waktu untuk beribadah ibadah, mengingatkan perlunya etos kerja melalui

  warming-up di pagi hari, menghargai dan

  menjaga keutuhan faktor instrinsik bawahan, memberikan beban tugas sesuai dengan kemampuan, dan membuka ruang konseling untuk mendengarkan suara hati bawahan.

  Berbeda treatment ketika ASN belum memiliki tingkat pemahaman agama yang matang. Fasih dengan prinsip-prinsip dasar agama, tetapi karena kurang paham pada konteks muamalah. Juga berlaku untuk ASN yang mengetahui prinsip-prinsip manajemen Islam, tetapi tidak ditemukan dalam praktik. Menyimak diskusi Rana dan Malik (2016) hal ini berkaitan dengan budaya kerja nasional atau organisasi yang telah dianut dalam waktu yang cukup lama. Situasi semacam ini dapat dikendalikan oleh pimpinan puncak yang memiliki kharisma dalam memimpin. Pimpinan puncak perlu mereorientasi nilai dalam visi dan tujuan dalam bekerja. Agar reorientasi nilai tidak mengarah pada pemaksaan, maka visi harus mempertimbangkan kesesuaian nilai antara semua level dalam organisasi.

  Visi yang diciptakan harus jelas menggambarkan sesuatu perjalanan yang bila dilaksanakan dapat memberikan rasa terpanggil dalam pekerjaan, individu menemukan makna hidup, dan membuat sesuatu yang berbeda. Dalam memobilisasi bawahan, visi tersebut memberikan daya tarik yang besar, menjelaskan perjalanan dan tujuan akhir visi, merefleksikan idealimse yang tinggi, dan mendorong harapan dan keyakinan. Proses perwujudan visi akan membentuk dasar konstruksi sosial dan budaya organisasi sebagai sebuah organisasi pembelajaran, serta membentuk sistem etika dan nilai-nilai inti yang mendasar. Fry (2003) menjelaskan bahwa kepemimpinan spiritual melalui visi, harapan keyakinan, dan cinta altruistik memberikan dasar motivasi instrinsik melalui keterlibatan dalam tugas dan identifikasi terhadap tujuan.

  Akhirnya, kepemimpinan profetik dapat dipandang sebagai sesuatu yang perlu diwujudkan untuk kesuksesan organisasi. Prinsip kepemimpinan ini mudah untuk disesuaikan dengan visi organisasi karena pada dasarnya tidak ada prinsip yang bertentangan, justru akan sangat membantu organisasi untuk mencapai tujuan. Nilai- nilai luhur yang menjadi perhatian kepemimpinan profetik merupakan karakter yang tertanam dalam diri bawahan. Sehingga bawahan memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri dalam organisasi. Pemimpin puncak membutuhkan bawahan yang dapat dipercaya, begitu juga bawahan sangat mengharapkan keadilan, pengrahgaan, dan keterlibatan dalam pengembilan keputusan organisasi. Hubungannya harus seimbang, dimana teori ekuitas (equity theory) sangat berlaku, yakni optimalnya pekerjaan ASN bergantung pada apa yang organisasi berikan kepada mereka. Karena itu, pimpinan puncak harus memiliki diskursus intelektual, spiritual, dialog, dan keyakinan bahwa bila bawahan dilibatkan dan mendapat porsi yang tepat

  4. PENUTUP Email : jtrap@ppj.unp.ac.id | http://jtrap.ppj.unp.ac.id |93 Vol. 1 No. 2 Tahun 2017 e-ISSN: 2579-3195 P-ISSN: 2579-5072

  Pada bagian penutup ini, peneliti memberikan penegasan poin-poin temuan dalam kajian ini. Konstruk kepemimpinan profetik ternyata dapat dijelaskan dari perspektif Islam dan teori kepemimpinan. Al- Qur’an dan Sunnah menjadi sumber nilai dalam kepemimpinan ini. Al-

  Qur’an memberikan penjelasan secara global, sedangkan Nabi Muhammad SAW mempraktikannya dalam kehidupan bermasyarakat atau dalam mengelola pemerintahan di Madinah. Sifat kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang menjadi konstruk kepemimpinan profetik adalah sidiq (berpedoman pada nurani dan kebenaran), amanah (profesional dan berkomitmen), tabligh (kemampuan berkomunikasi), dan fathonah (mampu menyelesaikan masalah). Berkembangnya berbagai gaya kepemimpinan ternyata dapat dijelaskan dengan meminjam konsep motivasi. Kepemimpinan profetik yang tergolong dalam kepemimpinan spiritual bersumber pada motivasi instrinsik. Sebagai tambahan, kepemimpinan profetik perspektif Islam tidak hanya bersumber pada motivasi intrinsik atau etika, tetapi integrasi motivasi Ilahiyah yang berdimensi dunia (hasanah- happines ) dan akhirat (salamah-salvation).

DAFTAR PUSTAKA

  Kajian ini juga berhasil menjelaskan argumen utama dari sisi teoritis dan praktis bahwa kepemimpinan profetik aplikabel dengan birokrasi publik. Dengan memegang asumsi bahwa apapun gaya kepemimpinan yang ada akan dapat diterapkan dalam birokrasi ketika pemimpin mampu menyesuaikan nilai-nilai yang dibawa dengan kultur organisasi. Diketahui bahwa kepemimpinan profetik dapat secara langsung meneladani Nabi Muhammad SAW atau melalui pengalaman sosial, maka disimpulkan bahwa kepemimpinan ini dapat bekerja dalam birokrasi ketika ASN memiliki kematangan dalam beragama. Sehingga upaya mewujudkan kepemimpinan profetik dapat dimulai dengan menganalisis tingkat kematangan keberagamaan ASN. Kemudian, ASN yang dinilai memiliki kematangan beragama, sebenarnya cukup dengan menghadirkan nuansa spiritual dalam organisasi. Sebaliknya ketika belum memiliki, pemimpin puncak perlu mereorientasi nilai dalam visi dan tujuan bekerja. Agar reorientasi nilai tidak mengarah pada pemaksaan, maka visi harus mempertimbangkan kesesuaian nilai antara semua level dalam organisasi.

  Kepemimpinan profetik dinilai sebagai kajian baru dalam bidang administrasi publik. Peneliti baru berada pada tahap analisa dan memprediksi peluang penerapannya. Peneliti selanjutnya perlu mengangkat sebuah kasus best practice dari model ini guna mendapatkan analisa yang lebih mendalam, faktor pendukung, penghambat, dan syarat penerapannya. Kemudian penting juga merumuskan sebuah alat ukur untuk menilai apakah keberhasilan penerapan kepemimpinan profetik di birokrasi publik.

  Agustian, A. G. (2001). ESQ Emotional Spiritual Quotient . Jakarta: Arga. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

  (Bappenas). (2007). Penerapan Tata

  Pemerintahan yang Baik

  , (Jakarta: Sekretariat Tim Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Pemerintahan yang Baik)

  Barth-Farkas, F., & Vera. A. (2014). Power and Transformational Leadership in Public Organizations, The

  International Journal of Leadership in Public Service , 10(4): 217-232.

  Branine, M., & Pollard, D. (2010). Human Resource Management with Islamic

  Ihsan Rahmat, Netta Agusti |94

  Kumorotomo (Eds.), Governance

  Ogbonna, E., & Harris, L. C. (2000).

  Leadership Style, Organizational Culture and Performance: Empirical Evidence from UK Companies. The

  International Journal of Human Resource Management , 11(4): 766-

  788. Pfiffner, J. D., & Presthus, R. (1967). Public

  Administration. New York: The Ronald Press.

  Pramusinto, A. (2009). Mengembangkan Budaya Kepemimpinan Profesional Birokrasi. In A. Pramusinto & W.

  Reform di Indonesia: Mencari Arah Kelembagaan Politik yang Demokratis dan Birokrasi yang Profesional.

  Nigro, F. A. (1965). Modern Public

  Yogyakarta: Gava Media. Prasetyo, D. (2014). Persepsi Masyakarat

  DKI Jakarta terhadap Figur dan Komunikasi Politik Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Politika, 5(2).

  Van Slyke, D. M., & Alexander, R. W.

  (2006). Public Service Leadership: Opportunities for Clarity and Coherence. American Review of

  Public Administration

  , 36(4): 362- 374. Price, T. L. (2000). Explaining Ethical

  Failures of Leadership. The

  Administration . New York: Harper & Row Publisher.

  Study of Spirituality in The Workplace, Sloan Management Review , 40(4).

  Management Principles: A Dialectic for Reverse Diffusion in Management, Personnel Review, 39(6): 712-727.

  Organization Development Journal , 35(2): 137-151.

  Budiharto, S., & Himam, F. (2006) Konstruk Teoritis dan Pengukuran Kepemimpinan Profetik, Jurnal Psikologi , 33(2): 133-146.

  Bush, T. (2010). Spiritual leadership.

  Educational Management Administration & Leadership , 38(4):

  402-404. Fry, L. W. (2003). Toward a Theory of

  Spiritual Leadership. The Leadership Quarterly, 14(1): 693-727. Geh. E. Z. (2014). Organizational Spiritual

  Leadership of Worlds “made” and “found”: An Experiential Learning Model for “feel”. Leadership &

  Jawa Pos. (2017). 313 Kepala Daerah Tersangkut Korupsi. Diakses melalui laman

   Mitroff, I. I., & Denton, E. A. (1999). A

  Khadra, B. (1990). The Prophetic-Caliphal Model of Leadership: An Empirical Study, International Studies of Management and Organization, 20(3): 37-51.

  Kouzes, J. M., & Posner, B. Z. (2006).

  Leadership is Everyone Business .

  New York: Pfeiffer. Kuntowijoyo. (1989). Ilmu Sosial Profetik.

  Jurnal UQ, 1(1).

  Liputan6. (2017).

  7 Kepala Daerah Tersangka Korupsi. Diakses melalui laman

  Leadership & Organization Email : jtrap@ppj.unp.ac.id | http://jtrap.ppj.unp.ac.id |95 Vol. 1 No. 2 Tahun 2017 e-ISSN: 2579-3195 P-ISSN: 2579-5072

  Development Journal , 21(4): 177-

  Public Administration Review , 63(2): 214-228.

  Administration Research and Theory , 20(1): 75-89

  Transformational Leadership in The Public Sector: Does Structure Matter? Journal of Public

  Wright, B.E. and Pandey, S.K. (2010).

  Ditinjau Kembali. Yogyakarta: Gava Media.

  Kumorotomo & A. Pramusinto (Eds.), Reformasi Aparatur Negara:

  Wicaksono, A. (2010). Servant Leadership dalam Birokrasi Publik. In W.

  West-Burnham, J. (1997). Leadership for Learning: Reeng ineering ‘Mind Sets’. School Leadership and Management , 17(2): 231-243.

  Thought , Edinburgh: Edinburgh University Press.

  Watt, W. M. (1968). Islamic Political

  Van Wart, M. (2003). Public Sector Leadership Theory: An Assessment.

  184 Priyadi, B. P. (2016). Wong Legan Golek

  Journal of Business Studies , 10(2): 1-25.

  (2002). Leadership and its Impact on Organizational Culture, International

  Sarros, J. C., Gray, J., & Densten, I. L.

  International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management , 9(1): 109-124.

  Rana, M. H., & Malik, M. S. (2016). Human Resource Management from an Islamic Perspective: A Contemporary Literature Review.