BUDAYA KEKERASAN DI SEKOLAH. doc
BUDAYA KEKERASAN DI SEKOLAH
Junaidi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Univa Labuhanbatu
Bullying atau kekerasan, kebelakangan ini sempat menyita perhatian banyak
pihak. Seperti para guru sebagai tenaga pendidik yang tampak bingung mengatasi
masalah kekerasan yang terjadi di sekolahnya. Para orang tua murid yang selalu
dihinggapi rasa takut dan cemas, akan keadaan anaknya di sekolah karena takut
menjadi korban kekerasan. Masyarakat luas, LSM dan media masa, serta pihak
penegak hukum seperti polisi dan pengadilan.
Kasus-demi kasus kekerasan silih berganti mewarnai dunia sekolah, tempat
dimana para remaja seharusnya menimba ilmu, baik di Barat, Eropa, maupun di
Asia. Seakan-akan kasus kekerasan tidak pernah meredup dan telah menjadi
budaya pada dunia pendidikan, ironi sekali memang. Contohnya, sebagaimana
yang dimuat di time.com ( Senin, 19 April 2010) seorang gadis belia bernama
Phoebe Prince 11 tahun, berasal dari Irish, Ireland pindah ke kota yang baru South Hadley, United State. Di sekolahnya yang baru ia menjalin hubungan
dengan seorang pemain sepak bola yang tenarkenal. Ternyata, tindakannya itu
membuat
gadis-gadis lain merasa cemburu. Mereka melontarkan ejekan,
memotong dan menempelkan foto Prince di atas poster murid laki-laki, serta
melayangkan caci maki di Facebook. Hal ini dialaminya selama 4 bulan, ketika itu
ibunya berupaya mengadukan hal ini ke pihak sekolah untuk melakukan sesuatu.
Tapi saying puncaknya, pada 14 Januari, sehari setelah ia mengaku mendapatkan
perlakuan kekerasan di perpustakaan, di lorong jalan ia memdapatkan perlakuan
kekerasan dengan botol minuman yang dilemparkan kepadanya, disertai dengan
kata-kata cacian " kamu adalah seorang warga Negara Irish pelacur yang hina"Phobe Prince pulang kerumah, mengambil selendang hadiah pemberian kakanya
kemudian menggantung dirinya di tangga. Begitulah kisah Phobe Prince yang
tragis, ia memilih untuk menyelesaikan masalah dengan bunuh diri.
Pada kasus yang lain 2 orang anak laki-laki yang berusia 11 tahun keduanya
mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Motif utama sebagaimana yang
dikemukakan oleh kedua orang tuanya, dari tempat yang berbeda, satu di Georgia
dan yang satunya di Massachusetts, mereka berdua telah mendapatkan kekerasan
verbal dari teman kelasnya dengan menuduh mereka berdua sebagai
"gay."
Akhirnya, mereka berdua lebih memilih untuk menggantung diri daripada bertatap
muka dengan teman-teman yang lain di sekolah, time.com (Rabu, 20 Mei 2009).
Ini baru dua kasus dari sekian banyaknya kasus yang sampai detik ini terus terjadi
di Amerika, ke depan entah kasus kekerasan apalagi yang terjadi.
Seakan tak mau ketinggalan, kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan kita pun
tidak kala tragisnya. Bahkan tidak sedikit yang berakhir pada kematian juga.
Masih sangat segar ingatan kita terhadap kasus kekerasan yang terjadi di Sekolah
Tinggi Pemerintah Dalam Negeri (STPDN) yang oleh Presiden SBY di lebur
dengan Institut Ilmu Pemerintah (IIP) menjadi wadah baru Institut Pemerintah
Dalam Negeri (IPDN). Hal ini dilakukan karena banyak terjadi kasus kekerasan
sejak tahun 1990an yang menurut salah seorang dosennya, Inu Kencana Syafie,
sudah ada 35 orang praja yang meninggal dunia dan baru 10 kasus yang
terungkap. Kasus ini sempat meyita perhatian semua pihak pada tahun 2007 tiga
tahun yang lalu.
Baru-baru ini juga terjadi kasus kekerasan yang terjadi di SMA 70, sebagaimana
dimuat di media online, tabloidnova.com (Senin, 12 April 2010) Vhia, remaja
putri kelas 1 SMAN 70 mendapat
perlakuan kekerasan baik secara verbal
maupun fisik dari ketiga seniornya yang duduk di kelas 3. Buntut dari kekerasan
itu menyebabkan Vhia trauma datang ke sekolah, dan kasus ini sedang ditangani
oleh Polda Metro Jaya.
Kekerasan di SMAN 70 belum tuntas, kasus kekerasan kembali terjadi di SMAN
46 Jakarta, kali ini yang menjadi korban adalah laki-laki bernama Okke Busiman,
siswa kelas 1 SMA 46 mengaku telah mendapatkan kekerasan dari seniornya
siswa kelas 3. Sebagaimana yang dimuat dalam detik.com (Sabtu, 03 April 2010)
Okke Busiman mengalami beberapa pemukulan dengan helm dan tangan kososng,
tendangan di punggung, dan 5 sundutan rokok di lengan kanannya. Kekerasan ini
menyebabkan Okke trauma datang ke sekolah, akhirnya ia memilih untuk keluar
dari sekolah dan memilih Home Schooling saja. Kasus ini juga sedang ditangani
Polres Jakarta Selatan.
Sebenarnya kasus kekerasan sebagaiman dikutip dari berbagai berita harian diatas
hanyalah secuil dari permasalahan kekerasan yang sesungguhnya lebih besar dan
lebih parah, bahkan kekerasan itu berada di lingkungan terdekat dari kita. Tetapi
sayangnya kita tidak pernah mau belajar dari masa lalu dan kekerasan terus
berulang-berulang dan berulang lagi. Kalau kita amati kebanyakan pemicu
kekerasan yang terjadi di sekolah karena persoalan yang sepele, seperti perkataan
yang menyinggung perasaan, rasa cemburu, tidak memakai kaos singlet dan halhal sepele lainnya. Akan tetapi itu hanya pemicunya saja lebih dari itu ada
persoalan segunung yang sudah mengakar, terutama yang menjadi gerbang
masuknya kekerasan di sekolah yang notabenenya adalah sebagai lembaga
pendidikan.
Gerbang pertama, Seniority Vs Juniority. Banyak kekerasan melibatkan orang
yang lebih senior dengan korban yuniornya atau bisa juga teman sekelas yang
merasa dirinya superior dengan korban yang tentunya lebih inferior. Seorang
peneliti yang menerbitkan penelitiannya di Archives of General Psychiatry,
mengemukakan bahwa kekerasan terus meningkat pada seorang anak yang
mengalami pengalaman negatif yang melibatkan kawan sebaya ataupun orang
yang lebih dewasa, time.com ( Selasa, 14 Oktober 2008).
Biasanya anak yang mengalami kekerasan dari teman sekelas atau seniornya akan
terlihat depression, loneliness, low self-esteem, tidak hadir atau menghindari
sekolah, penurunan prestasi belajar, dan juga sampai ingin mencederai diri sendiri
dan terakhir
munculnya keinginan bunuh diri. Kalau masalah kekerasan ini
terbiarkan maka akan mengakibatkan kefatalan dalam diri korban, atau kalau ia
berhasil melalunya maka kemudian hari korbanlah yang akan menjadi pewaris
dan melakukan kekerasan pada orang lain, dan ini terus berulang menjadi
lingkaran yang sulit diputus.
Gerbang kedua, adalah peer group, banyaknya kelompok remaja sebaya yang
bermunculan di lembaga sekolah yang tidak terorganisir adalah indikasi dari
bermulanya kekerasan. Terutaman bila kelompok itu beraksi untuk menunjukkan
loyalitas individu kepada kelompoknya sebagai syarat untuk diterima oleh
kelompoknya. Tetapi kebanyakan aksinya adalah aktivitas kekerasan yang
dilakukan kepada kelompok lain atau individu yang menajadi santapan untuk
keperluan kelompoknya.
Gerbang ketiga, seeking of identity terkadang seorang remaja atau kumpulan
remaja sengaja melakukan tindakan kekerasan hanya karena ingin diakui
identitasnya. Tetapi karena jiwa remaja merupakan jiwa peralihan kanak-kanak ke
dewasa
terkadang
mereka
melakukan
sesuatu
tanpa
memikirkan
konsekwensinya. Sering mereka melakukan tindakan kekerasan tanpa berfikir
terlebih dahulu, padahal tindakan yang mereka lakukan akan mengakibatkan
kepada kefatalan. Sama halnya dengan jiwa anak-anak yang tidak pernah
memikirkan resiko dari perbuatannya. Kalau kasus yang terjadi di Amerika
Bullying menyebabkan kondisi psikologis korban terguncang yang akhirnya
memeilih jalan penyelesaian dengan bunuh diri, lain halnya di Indonesia ini kasus
Bullying itulah yang menyebabkan korban kehilangan nyawanya.
Gerbang keempat, cultur and environmental, ini adalah gerbang terparah dan
perlu beberapa generasi untuk menghapuskan kekerasan di dunia sekolah. Karena
kekerasan telah merasuk ke dalam alam bawah sadar remaja kemudian menjadi
permainan yang memabukkan. Ini juga tidak terlepas dari peranan masyarakat
sekitar yang memang mempunyai budaya kekerasan bahkan sejak dilahirkan
seorang anak sudah mengalami yang namanya kekerasan. Budaya itu juga tidak
terlepas dari mereka orang dewasa yang sering memberi contoh kepada remaja
baik secara langsung maupun melalui media masa dan media elektronik. Bahkan
televisi telah menjadi guru mereka yang banyak menampilkan adegan kekerasan
dalam setiap tayangannya. Walupun tidak sedikit kasus para guru itu sendiri yang
mengajarkan kekerasan pada muridnya.
Keempat gerbang kekerasan di dunia sekolah, sebagaimana yang telah diungkap
di atas merupakan penyebab utama yang menjadi pintu masuknya kekerasan,
walaupun masih banyak faktor lain yang berkaitan dengan kekerasan di sekolah.
Dari keempat pokok persoalan di atas minimal kita juga harus menyiapkan empat
solusi juga, yaitu :
Pertama, karena kekerasan terjadi di sekolah dan yang menjadi pelaku
kebanyakan adalah senior, maka guru dan pengawas sekolah harus lebih hati-hati
dan memperketat penjagaan terhadap senior terutama masa-masa awal tahun
ajaran baru. Segala program dan tindakan senior yang memungkinkan terjadinya
kekerasan sedini mungkin di cegah atau diminimalisir. Untuk menutup gerbang
kekerasan pertama ini perlu kemauan dan kerja keras dari guru dan pihak sekolah.
Jangan sampai guru malah bingung dan tak tahu apa yang harus mereka perbuat.
Kedua, kebutuhan akan kelompok memang tidak bisa dihindari karena hal ini
merupakan bagian dari jiwa remaja. Tapi paling tidak orang dewasa guru, orang
tua, masyarakat, atau penegak hukum dapat memberikan rambu-rambu bagi para
remaja untuk membatasi atau menutup gerbang kekerasan. Atau paling tidak jiwa
kolektif remaja dapat dialihkan kepada kelompok-kelompok yang lebih positif
yang mengedepankan aspek keseimbangan jasmani dan rohani yang tersublimasi
melalui kegiatan ilmiah seperti belajar, diskusi, membaca, puisi juga kegiatan fisik
seperti, olahraga, bela diri, pecinta alam dan lainnya. Terpenting sekali adalah
peranan dari orang dewasa dalam setiap kumpulan sebaya, sehingga orang dewasa
dapat mengontrol atau mengerem indikasai yang mengarah kepada tindakan
kekerasan
Ketiga, demikian juga dengan identitas diri harus dikenalkan kepada anak-anak
dengan memberiakan contoh suri tauladan dari orang-orang terdekatnya sebelum
anak memasuki usia remaja. Terutama kedua orang tua yang merupakan model
dari anaknya. Dengan demikan begitu anak memasuki usia remaja, anak tidak
perlu lagi mencari jati diri dan mencari vigur di luar selain orang tua. Pada saat ini
anak sudah mantap dengan jati dirinya dan siap memikul tanggung jawab sebagai
orang dewasa. Anak yang sudah paham dengan tanggungjawab, ia akan mampu
memikirkan konsekwensi dari perbuatannya, ia akan berfikir sebelum melakukan
sebuah tindakan, dengan demikian anak akan terhindar untuk melakukan tindakan
kekerasan maupun menjadi korban kekerasan.
Yang terakhir, adalah menjadi tugas semua orang karena anak dilahirkan sebagai
makhluk biologis yang membawa potensi kejiwaan sesuai dengan fitrahnya,
kemudian anak tumbuh kembang sebagai makhluk sosial. Maka secara sosial
masyarakat adalah merupakan benteng bagi perlindungan anak, masyarakat adalah
pendidik sepanjang hayat bagi anak. Dengan demikian ruskanya nilai pundi-pundi
masyarakat akan merusak nilai-nilai pada anak yang selanjutnya menjadi generasi
yang rapuh dan rentan dari kekerasan.
Maka tidak sepatutnya kita
mempercayakan sepenuhnya tugas pendidikan pada lembaga sekolah tanpa
mengambil peduli tanggung jawab secara bersama . Walaupun fungsi dan pernan
antara Masyarakat, keluarga dan sekolah sebenarnya tidak dapat dipisahkan.
Mudah-mudahan kalau kita mau kembali kepada subtansi manusia itu sendiri
yang tercipta dari dua unsusr antara jasad yang berasal dari tanah yang
menggambarkan sisi kerendahan dan kehinaan manusia dengan segala
kegelapannya dengan ruh yang bersumber dari pancaran ruhilahi yang
menggambarkan akan kemuliaan derajat manusia disisi Tuhannya dibandingkan
makhluk lain, dan juga sebagai khalifa di muka bumi ini, maka persoalan
kekerasan yang terjadi di sekolah tidak akan terualang lagi, amin Wallohualam
bissoaf
Junaidi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Univa Labuhanbatu
Bullying atau kekerasan, kebelakangan ini sempat menyita perhatian banyak
pihak. Seperti para guru sebagai tenaga pendidik yang tampak bingung mengatasi
masalah kekerasan yang terjadi di sekolahnya. Para orang tua murid yang selalu
dihinggapi rasa takut dan cemas, akan keadaan anaknya di sekolah karena takut
menjadi korban kekerasan. Masyarakat luas, LSM dan media masa, serta pihak
penegak hukum seperti polisi dan pengadilan.
Kasus-demi kasus kekerasan silih berganti mewarnai dunia sekolah, tempat
dimana para remaja seharusnya menimba ilmu, baik di Barat, Eropa, maupun di
Asia. Seakan-akan kasus kekerasan tidak pernah meredup dan telah menjadi
budaya pada dunia pendidikan, ironi sekali memang. Contohnya, sebagaimana
yang dimuat di time.com ( Senin, 19 April 2010) seorang gadis belia bernama
Phoebe Prince 11 tahun, berasal dari Irish, Ireland pindah ke kota yang baru South Hadley, United State. Di sekolahnya yang baru ia menjalin hubungan
dengan seorang pemain sepak bola yang tenarkenal. Ternyata, tindakannya itu
membuat
gadis-gadis lain merasa cemburu. Mereka melontarkan ejekan,
memotong dan menempelkan foto Prince di atas poster murid laki-laki, serta
melayangkan caci maki di Facebook. Hal ini dialaminya selama 4 bulan, ketika itu
ibunya berupaya mengadukan hal ini ke pihak sekolah untuk melakukan sesuatu.
Tapi saying puncaknya, pada 14 Januari, sehari setelah ia mengaku mendapatkan
perlakuan kekerasan di perpustakaan, di lorong jalan ia memdapatkan perlakuan
kekerasan dengan botol minuman yang dilemparkan kepadanya, disertai dengan
kata-kata cacian " kamu adalah seorang warga Negara Irish pelacur yang hina"Phobe Prince pulang kerumah, mengambil selendang hadiah pemberian kakanya
kemudian menggantung dirinya di tangga. Begitulah kisah Phobe Prince yang
tragis, ia memilih untuk menyelesaikan masalah dengan bunuh diri.
Pada kasus yang lain 2 orang anak laki-laki yang berusia 11 tahun keduanya
mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Motif utama sebagaimana yang
dikemukakan oleh kedua orang tuanya, dari tempat yang berbeda, satu di Georgia
dan yang satunya di Massachusetts, mereka berdua telah mendapatkan kekerasan
verbal dari teman kelasnya dengan menuduh mereka berdua sebagai
"gay."
Akhirnya, mereka berdua lebih memilih untuk menggantung diri daripada bertatap
muka dengan teman-teman yang lain di sekolah, time.com (Rabu, 20 Mei 2009).
Ini baru dua kasus dari sekian banyaknya kasus yang sampai detik ini terus terjadi
di Amerika, ke depan entah kasus kekerasan apalagi yang terjadi.
Seakan tak mau ketinggalan, kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan kita pun
tidak kala tragisnya. Bahkan tidak sedikit yang berakhir pada kematian juga.
Masih sangat segar ingatan kita terhadap kasus kekerasan yang terjadi di Sekolah
Tinggi Pemerintah Dalam Negeri (STPDN) yang oleh Presiden SBY di lebur
dengan Institut Ilmu Pemerintah (IIP) menjadi wadah baru Institut Pemerintah
Dalam Negeri (IPDN). Hal ini dilakukan karena banyak terjadi kasus kekerasan
sejak tahun 1990an yang menurut salah seorang dosennya, Inu Kencana Syafie,
sudah ada 35 orang praja yang meninggal dunia dan baru 10 kasus yang
terungkap. Kasus ini sempat meyita perhatian semua pihak pada tahun 2007 tiga
tahun yang lalu.
Baru-baru ini juga terjadi kasus kekerasan yang terjadi di SMA 70, sebagaimana
dimuat di media online, tabloidnova.com (Senin, 12 April 2010) Vhia, remaja
putri kelas 1 SMAN 70 mendapat
perlakuan kekerasan baik secara verbal
maupun fisik dari ketiga seniornya yang duduk di kelas 3. Buntut dari kekerasan
itu menyebabkan Vhia trauma datang ke sekolah, dan kasus ini sedang ditangani
oleh Polda Metro Jaya.
Kekerasan di SMAN 70 belum tuntas, kasus kekerasan kembali terjadi di SMAN
46 Jakarta, kali ini yang menjadi korban adalah laki-laki bernama Okke Busiman,
siswa kelas 1 SMA 46 mengaku telah mendapatkan kekerasan dari seniornya
siswa kelas 3. Sebagaimana yang dimuat dalam detik.com (Sabtu, 03 April 2010)
Okke Busiman mengalami beberapa pemukulan dengan helm dan tangan kososng,
tendangan di punggung, dan 5 sundutan rokok di lengan kanannya. Kekerasan ini
menyebabkan Okke trauma datang ke sekolah, akhirnya ia memilih untuk keluar
dari sekolah dan memilih Home Schooling saja. Kasus ini juga sedang ditangani
Polres Jakarta Selatan.
Sebenarnya kasus kekerasan sebagaiman dikutip dari berbagai berita harian diatas
hanyalah secuil dari permasalahan kekerasan yang sesungguhnya lebih besar dan
lebih parah, bahkan kekerasan itu berada di lingkungan terdekat dari kita. Tetapi
sayangnya kita tidak pernah mau belajar dari masa lalu dan kekerasan terus
berulang-berulang dan berulang lagi. Kalau kita amati kebanyakan pemicu
kekerasan yang terjadi di sekolah karena persoalan yang sepele, seperti perkataan
yang menyinggung perasaan, rasa cemburu, tidak memakai kaos singlet dan halhal sepele lainnya. Akan tetapi itu hanya pemicunya saja lebih dari itu ada
persoalan segunung yang sudah mengakar, terutama yang menjadi gerbang
masuknya kekerasan di sekolah yang notabenenya adalah sebagai lembaga
pendidikan.
Gerbang pertama, Seniority Vs Juniority. Banyak kekerasan melibatkan orang
yang lebih senior dengan korban yuniornya atau bisa juga teman sekelas yang
merasa dirinya superior dengan korban yang tentunya lebih inferior. Seorang
peneliti yang menerbitkan penelitiannya di Archives of General Psychiatry,
mengemukakan bahwa kekerasan terus meningkat pada seorang anak yang
mengalami pengalaman negatif yang melibatkan kawan sebaya ataupun orang
yang lebih dewasa, time.com ( Selasa, 14 Oktober 2008).
Biasanya anak yang mengalami kekerasan dari teman sekelas atau seniornya akan
terlihat depression, loneliness, low self-esteem, tidak hadir atau menghindari
sekolah, penurunan prestasi belajar, dan juga sampai ingin mencederai diri sendiri
dan terakhir
munculnya keinginan bunuh diri. Kalau masalah kekerasan ini
terbiarkan maka akan mengakibatkan kefatalan dalam diri korban, atau kalau ia
berhasil melalunya maka kemudian hari korbanlah yang akan menjadi pewaris
dan melakukan kekerasan pada orang lain, dan ini terus berulang menjadi
lingkaran yang sulit diputus.
Gerbang kedua, adalah peer group, banyaknya kelompok remaja sebaya yang
bermunculan di lembaga sekolah yang tidak terorganisir adalah indikasi dari
bermulanya kekerasan. Terutaman bila kelompok itu beraksi untuk menunjukkan
loyalitas individu kepada kelompoknya sebagai syarat untuk diterima oleh
kelompoknya. Tetapi kebanyakan aksinya adalah aktivitas kekerasan yang
dilakukan kepada kelompok lain atau individu yang menajadi santapan untuk
keperluan kelompoknya.
Gerbang ketiga, seeking of identity terkadang seorang remaja atau kumpulan
remaja sengaja melakukan tindakan kekerasan hanya karena ingin diakui
identitasnya. Tetapi karena jiwa remaja merupakan jiwa peralihan kanak-kanak ke
dewasa
terkadang
mereka
melakukan
sesuatu
tanpa
memikirkan
konsekwensinya. Sering mereka melakukan tindakan kekerasan tanpa berfikir
terlebih dahulu, padahal tindakan yang mereka lakukan akan mengakibatkan
kepada kefatalan. Sama halnya dengan jiwa anak-anak yang tidak pernah
memikirkan resiko dari perbuatannya. Kalau kasus yang terjadi di Amerika
Bullying menyebabkan kondisi psikologis korban terguncang yang akhirnya
memeilih jalan penyelesaian dengan bunuh diri, lain halnya di Indonesia ini kasus
Bullying itulah yang menyebabkan korban kehilangan nyawanya.
Gerbang keempat, cultur and environmental, ini adalah gerbang terparah dan
perlu beberapa generasi untuk menghapuskan kekerasan di dunia sekolah. Karena
kekerasan telah merasuk ke dalam alam bawah sadar remaja kemudian menjadi
permainan yang memabukkan. Ini juga tidak terlepas dari peranan masyarakat
sekitar yang memang mempunyai budaya kekerasan bahkan sejak dilahirkan
seorang anak sudah mengalami yang namanya kekerasan. Budaya itu juga tidak
terlepas dari mereka orang dewasa yang sering memberi contoh kepada remaja
baik secara langsung maupun melalui media masa dan media elektronik. Bahkan
televisi telah menjadi guru mereka yang banyak menampilkan adegan kekerasan
dalam setiap tayangannya. Walupun tidak sedikit kasus para guru itu sendiri yang
mengajarkan kekerasan pada muridnya.
Keempat gerbang kekerasan di dunia sekolah, sebagaimana yang telah diungkap
di atas merupakan penyebab utama yang menjadi pintu masuknya kekerasan,
walaupun masih banyak faktor lain yang berkaitan dengan kekerasan di sekolah.
Dari keempat pokok persoalan di atas minimal kita juga harus menyiapkan empat
solusi juga, yaitu :
Pertama, karena kekerasan terjadi di sekolah dan yang menjadi pelaku
kebanyakan adalah senior, maka guru dan pengawas sekolah harus lebih hati-hati
dan memperketat penjagaan terhadap senior terutama masa-masa awal tahun
ajaran baru. Segala program dan tindakan senior yang memungkinkan terjadinya
kekerasan sedini mungkin di cegah atau diminimalisir. Untuk menutup gerbang
kekerasan pertama ini perlu kemauan dan kerja keras dari guru dan pihak sekolah.
Jangan sampai guru malah bingung dan tak tahu apa yang harus mereka perbuat.
Kedua, kebutuhan akan kelompok memang tidak bisa dihindari karena hal ini
merupakan bagian dari jiwa remaja. Tapi paling tidak orang dewasa guru, orang
tua, masyarakat, atau penegak hukum dapat memberikan rambu-rambu bagi para
remaja untuk membatasi atau menutup gerbang kekerasan. Atau paling tidak jiwa
kolektif remaja dapat dialihkan kepada kelompok-kelompok yang lebih positif
yang mengedepankan aspek keseimbangan jasmani dan rohani yang tersublimasi
melalui kegiatan ilmiah seperti belajar, diskusi, membaca, puisi juga kegiatan fisik
seperti, olahraga, bela diri, pecinta alam dan lainnya. Terpenting sekali adalah
peranan dari orang dewasa dalam setiap kumpulan sebaya, sehingga orang dewasa
dapat mengontrol atau mengerem indikasai yang mengarah kepada tindakan
kekerasan
Ketiga, demikian juga dengan identitas diri harus dikenalkan kepada anak-anak
dengan memberiakan contoh suri tauladan dari orang-orang terdekatnya sebelum
anak memasuki usia remaja. Terutama kedua orang tua yang merupakan model
dari anaknya. Dengan demikan begitu anak memasuki usia remaja, anak tidak
perlu lagi mencari jati diri dan mencari vigur di luar selain orang tua. Pada saat ini
anak sudah mantap dengan jati dirinya dan siap memikul tanggung jawab sebagai
orang dewasa. Anak yang sudah paham dengan tanggungjawab, ia akan mampu
memikirkan konsekwensi dari perbuatannya, ia akan berfikir sebelum melakukan
sebuah tindakan, dengan demikian anak akan terhindar untuk melakukan tindakan
kekerasan maupun menjadi korban kekerasan.
Yang terakhir, adalah menjadi tugas semua orang karena anak dilahirkan sebagai
makhluk biologis yang membawa potensi kejiwaan sesuai dengan fitrahnya,
kemudian anak tumbuh kembang sebagai makhluk sosial. Maka secara sosial
masyarakat adalah merupakan benteng bagi perlindungan anak, masyarakat adalah
pendidik sepanjang hayat bagi anak. Dengan demikian ruskanya nilai pundi-pundi
masyarakat akan merusak nilai-nilai pada anak yang selanjutnya menjadi generasi
yang rapuh dan rentan dari kekerasan.
Maka tidak sepatutnya kita
mempercayakan sepenuhnya tugas pendidikan pada lembaga sekolah tanpa
mengambil peduli tanggung jawab secara bersama . Walaupun fungsi dan pernan
antara Masyarakat, keluarga dan sekolah sebenarnya tidak dapat dipisahkan.
Mudah-mudahan kalau kita mau kembali kepada subtansi manusia itu sendiri
yang tercipta dari dua unsusr antara jasad yang berasal dari tanah yang
menggambarkan sisi kerendahan dan kehinaan manusia dengan segala
kegelapannya dengan ruh yang bersumber dari pancaran ruhilahi yang
menggambarkan akan kemuliaan derajat manusia disisi Tuhannya dibandingkan
makhluk lain, dan juga sebagai khalifa di muka bumi ini, maka persoalan
kekerasan yang terjadi di sekolah tidak akan terualang lagi, amin Wallohualam
bissoaf