PERAN SINERGITAS ORANGTUA SEKOLAH DALAM
PERAN SINERGITAS ORANGTUA-SEKOLAH
DALAM MEMODERASI IMPLEMENTASI
MANAJEMEN PENJAMINAN MUTU
INTERNAL, DAN IMPLEMENTASI KONSEP
SIT (SEKOLAH ISLAM TERPADU) PADA
PEMBENTUKAN KARAKTER ISLAMI SISWA
DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU
PROPOSAL
TESIS
diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Magister Pendidikan
Oleh
NOVA MEGA PERSDA
0102515022
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
TAHUN 2015
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH PENELITIAN
Dalam membangun generasi pemimpin masa depan, pemilik peradaban,
pendidikanlah yang menjadi ujung tombak yang akan membentuknya. Pendidikan
yang mereka lalui saat ini yang akan mengasah kemampuannya, akan
mempertajam
daya
pikirnya,
akan
melejitkan
kreativitasnya
dan
akan
membimbing emosionalnya. Sebagaimana teori kecerdasan majemuk yang
dicetuskan oleh Dr. Howard Gardner, keberhasilan sesorang tidak hanya diperoleh
melalui kecerdasan intelektualnya saja tetapi ada banyak kecerdasan lain, dimana
masing-masing individu memiliki kecenderungan pada kecerdasan yang berbeda.
Dari semua kecerdasan tersebut ada hal yang paling mendasar yang akan menjadi
pijakan dan pondasi bagi keselarasan kehidupan sesorang, yaitu bagaimana
seseorang mampu beradaptasi dan diterima oleh lingkungannya dimanapun
mereka berada, hal yang dapat membimbingnya selalu melalui jalan kebenaran,
sejalan dengan keyakinan dan norma yang dianutnya serta dianut masyarakat
beradab, hal tersebut adalah Karakter positif.
Karakter seseorang dapat menjadi petunjuk jalan bagi orang tersebut untuk
membedakan perbuatan benar dan perbuatan salah. Karakter juga dapat melandasi
seluruh pengetahuan yang ia miliki menjadi bermanfaat bagi sesama. Bagi
seorang muslim, terdapat beberapa muasshofat/ sifat dasar yang harus dimilikinya
untuk dapat disebut sebagai muslim sejati, berkaitan dengan karakter, sifat yang
berhubungan dengannya adalah Matinul Khuluq/ akhlaq yang kokoh. Akhlaq
seorang muslim dapat terlihat dari perkataan, perbuatan dan paradigma
berfikirnya, dimana lingkungan disekitarnya akan merasa aman dengan
keberadaannya, tidak merasa terganggu dengan lidahnya, dan tidak pula merasa
terganggu dengan tingkah lakunya.
Muhammad Alwi mengatakan bahwa “karakter dimaknai sebagai
kehidupan berperilaku baik/ penuh kebajikan terhadap pihak lain (Tuhan Yang
Maha Esa, manusia, dan alam semesta) serta terdapat diri sendiri”, selanjutnya
beliau menuliskan bahwa “pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai
pendidikan nilai, budi pekerti, moral dan watak yang bertujuan mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara
yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan
sepenuh hati”.
“Berdasarkan penelitian sejarah dari seluruh negara yang ada di dunia ini,
pada dasarnya pendidikan memiliki dua tujuan, yaitu membimbing para generasi
muda untuk menjadi cerdas dan memiliki perilaku berbudi”. (Lickona, 2013;7),
“Pendidikan karakter merupakan salah satu solusi untuk memperbaiki degradasi
moralitas atau degradasi karakter generasi muda saai ini dan di masa depan,
khususnya peserta didik di sekolah. Kesadaran mengintegrasikan nilai-nilai
karakter melalui pendidikan, karena pendidikan terbukti menjadi sarana efektif
bagi penanaman tata nilai, budaya, ideologi, dan sebagainya. Pendidikan juga
dipercaya menjadi sarana proses ‘memanusiakan’ manusia, manusia menjadi
insan kamil (manusia utama), dan investasi masa depan”. (Wibowo,2013;245).
Sungguh disayangkan, generasi muda saat ini mengalami banyak sekali
degradasi moral dan berperilaku yang tidak sepatutnya, mereka kehilangan
karakter baiknya dan menjelma menjadi generasi yang ‘sakit’ dan ‘rusak’.
Perkembangannya dari tahun ke tahun terus menunjukkan kerusakan moral yang
kian bertambah dan semakin parah. Dan yang lebih memperihatinkan adalah
kerusakan itu dari tahun ke tahun melibatkan usia yang semakin muda. Maraknya
perkelahian antar pelajar seperti tawuran, geng motor, perilaku bully di sekolah,
pergaulan sosial yang melenceng, seks bebas, pelecehan seksual, penyimpangan
seksual, mereka tidak lagi menganggap orang tua dan guru sebagai sosok yang
dihormati, berperilaku seenaknya, tidak sopan bahkan seperti memusuhi dan
melecehkan. Kasus demi kasus perilaku menyimpang pelajar diberitakan di
berbagai media, seperti televisi, koran, dan media sosial, memperlihatkan hal yang
sangat ironis terjadi di kalangan generasi muda Indonesia.
Menurut KPAI, saat ini kasus bullying menduduki peringkat teratas
pengaduan masyarakat, dari 2011 hingga Agustus 2014, KPAI mencatat 369
pengaduan terkait masalah tersebut. Jumlah itu sekitar 25% dari total pengaduan
di bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus. (Republika, Rabu 15 Oktober 2014,
dalam www. Kpai.go.id/berita/kasus bullying). KPAI juga melaporkan bahwa data
BNN 2010 menyebutkan, pengguna narkoba mencapai 3,6 juta orang. Rinciannya
generasi muda dan usia produktif adalah pengguna narkoba terbanyak. Mereka
terdiri dari mahasiswa dan pelajar berjumlah 921.695. Komisi perlindingan anak
memperkirakan 21 juta anak Indonesia menjadi perokok dan meningkat setiap
tahunnya. Kini usia Prevalensi anak merokok bergeser hingga usia tujuh tahun.
(www.kpai.go.id/artikel/peta-permasalahan-perlindungan-anak-di-iindonesia/).
Di Samping itu, tidak kalah mencengangkan yakni hasil-hasil penelitian
yang dilakukan oleh Yayasan Kita dan Buah hati terhadap anak Indonesia
diantaranya adalah catatannya mengenai pornografi pada anak, sekitar 67% dari
2.818 siswa SD kelas 4-6 sudah pernah mengakses pornografi, menurut Elly
Risman, S.Psi direktur Yayasan kita dan buah hati “ padahal efeknya dapat
merusak
otak
dan
otomatis
menghancurkan
masa
depan
mereka”.
(http://majalah.hidayatullah.com/2010/08/).
Bila dicermati dari perkembangan lingkungan saat ini banyak terjadi
pergeseran nilai dan norma serta budaya yang ada, karena pemegang peradaban
kini adalah dunia barat maka mau tidak mau segala aspek kehidupan masyarakat
sangat terpengaruh oleh liberalisasi barat, baik pengaruh positif maupun negatif.
Salah satu bentuk pengaruh negatifnya adalah dikalangan pelajar dan pemuda,
seseorang dikatakan modern apabila gaya hidupnya sudah kebarat-baratan,
disinilah perubahan perilaku pergaulan, serta tata nilai bermasyarakat terbentuk,
banyak hal-hal tabu yang kemudian menjadi biasa, seperti pacaran hinggga seks
bebas, merokok, minum minuman keras, perilaku kasar, sikap individualisme,
mengambil hak orang lain secara paksa, menyampaikan pendapat dengan cara
yang anarkis dan lain sebagainya.
Dari paparan di atas menunjukkan ada sesuatu yang hilang dan terkikis
dari diri seseorang yaitu karakter baik, sesuatu yang menggerakkan mekanisme
tubuh dan cara berfikir dari dalam diri yang mampu membedakan perbuatan baik
dan perbuatan buruk, karena sesungguhnya sangatlah tidak berarti pengetahuan
yang dimiliki sesorang apabila digunakan dengan cara yang salah sehingga dapat
merugikan diri sendiri maupun orang lain. Kemampuan seseorang untuk
mengendalikan
emosinya,
mengubah
cara
pandangnya
dan
membentuk
kepribadiannya secara positif sangatlah diperlukan.
Dalam hal ini institusi pendidikan memiliki peran kunci yang dominan
dalam memperoleh pengetahuan, pengalaman, dan pengaplikasian tentang
karakter positif, sepatutnya sekolah bukan hanya tempat untuk mentransfer ilmu
pengetahuan semata, tetapi lebih dalam lagi adalah bagaimana sekolah tersebut
membentuk kepribadian yang baik, dimana kepribadian tersebut mengakar jauh
dan kuat dalam jiwa seseorang sehingga apapun aktivitas dan perbuatannya akan
mencerminkan kedalaman dan kekuatan kepribadian tersebut dan menjelma
menjadi sebuah kebiasaan baik atau positive habitual.
Penanaman karakter yang terbaik adalah di usia yang masih sangat muda,
semakin muda maka akan semakin mudah masuk ke dalam alam bawah sadar
seseorang dan tersimpan permanen dalam otaknya, oleh karena itu pendidikan di
usia dini lebih efektif dalam membentuk fondasi sikap serta kepribadian
seseorang. Dengan menekankan pembentukan karakter positif dalam pendidikan
di usia dini, akan memberikan harapan yang besar dalam mengurangi kerusakan
akhlak pada generasi muda mendatang. Menurut Lickona, karakter yang baik
terdiri dari mengetahui hal yang baik, menginginkan hal yang baik, dan
melakukan hal yang baik-kebiasaan dalam cara berfikir, kebiasaan dalam hati, dan
kebiasaan dalam tindakan. Dengan terbentuknya karakter positif dalam diri
seseorang maka diharapkan akan tercipta generasi yang sehat secara mental dan
jiwanya, serta menciptakan lingkungan yang penuh energi positif yang akan
memberikan motivasi positif pula, demi kesuksesan dan keharmonisan seseorang
dengan lingkungannya.
Untuk mengetahui determinan apasaja yang dapat mempengaruhi
pembentukan karakter ada pendapat yang bisa menjadi pertimbangan diantaranya
adalah Campbell dan R. Obligasi (1982) menyatakan ada beberapa faktor yang
berpengaruh dalam pembentukan karakter seseorang yaitu 1). Faktor keturunan,
2). Pengalaman masa kanak-kanak, 3). Pemodelan oleh orang dewasa atau orang
yang lebih tua, 4) Pengaruh lingkungan sebaya, 5) Lingkungan fisik dan sosial, 6)
Subtansi materi di sekolah atau lembaga pendidikan lain, 7) Media massa.
(http//www.Membumikan-pendidikan.blogspot.com/2014/10)
Dari pendapat Campbell dan R. Obligasi diatas, penulis mencoba untuk
mengambil determinan yang ke 6 yaitu substansi materi di sekolah atau lembaga
pendidikan lain, tetapi lebih kepada bagaimana sekolah tersebut dapat menjamin
kualitas pendidikan yang disampaikannya. Sebuah sekolah akan memberikan
pendidikan terbaik bagi siswa-siswinya, materi, metode, sarana prasarana, serta
pendidik dan tenaga kependidikannya harus sejalan dengan visi, misi dan tujuan
yang dicanangkan sekolah tersebut, untuk menjamin hal tersebut maka sekolah
harus memastikan segala sesuatunya berjalan sesuai dengan rencana maka harus
ada sebuah sistem yang dapat memberikan standarisasi operasional sekolah, di
lembaga-lembaga pendidikan sistem tersebut dikenal dengan penjaminan mutu
internal yang merupakan bagian dari total quality management. Salah satu tujuan
diadakannya penjaminan mutu internal adalah terbentuknya karakter positif siswa.
Dalam riset terdahulu yang dilakukan oleh Sulistyowati (2015), Manajemen
Penjaminan Mutu Internal dalam Pendidikan Karakter di SDIT Al Uswah
Surabaya dan SDIT Insan Permata Malang, mengatakan bahwa “penjaminan mutu
pendidikan (quality assurance) merupakan salah satu bagian dari manajemen
mutu terpadu pendidikan. Penjaminan mutu dalam pendidikan karakter
dimaksudkan agar layanan pendidikan yang diberikan sekolah sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan sehingga menghasilkan profil karakter siswa yang
sesuai dengan standar sekolah”. Sedangkan penjaminan mutu sendiri memiliki
pengertian sebagai berikut “Penjaminan mutu pendidikan adalah kegiatan sistemik
dan terpadu oleh satuan atau program pendidikan, penyelenggara satuan atau
program pendidikan, pemerintah daerah, Pemerintah, dan masyarakat untuk
menaikkan tingkat kecerdasan kehidupan bangsa melalui pendidikan”. (Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional No. 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan
Mutu Pendidikan, pasal 1 ayat 2).
Dalam riset yang dilakukan oleh Harli Trisdiono (2015) yaitu untuk
mengetahui keefektifan dan dampak (effect size) diklat capacity building audit
mutu internal tingkat Provinsi D.I. Yogyakarta yang diselenggarakan oleh
LPMP D.I. Yogyakarta tahun 2015, didapatkan hasil bahwa “Diklat capacity
building
audit
mutu
internal
tingkat Provinsi D.I. Yogyakarta yang
diselenggarakan oleh LPMP D.I. Yogyakarta tahun 2015 memiliki dampak yang
besar yang ditunjukkan dari nilai effect size sebesar 0,80, artinya diklat tersebut
mempunyai
keterampilan
efek
yang
besar
terhadap
perubahan
pengetahuan
dan
peserta, diharapkan pula akan terbentuk karakter positif dalam
peningkatan kualitas kinerjanya”. Riset lainnya mengatakan
bahwa “sekolah
telah berperan dalam pembentukan karakter religius siswa, dengan pemberian
bekal yang baik yang di ajarkan oleh guru seperti menanamkan nilai-nilai Islam
dalam proses pembelajaran, memberi pengetahuan yang cukup di bidang
pengetahuan umum maupun dalam pengetahuan teknologi.” (Agustina, Suntoro,
dan Nurmalisa, 2013). Riset Agustinova (2012) dalam tesisnya mengatakan
bahwa “budaya sekolah yang bermutu mendukung pelaksanaan penanaman
karakter pada siswa, dengan menggunakan pendekatan dan metode pembelajaran
yang bisa mengaktifkan peserta didik, mempermudah proses penanaman nilainilai karakter”. Riset Flurentin (2014), faktor self Awareness juga mempengaruhi
pembentukan karakter siswa, selain itu, riset Juono (2014), konsep sekolah islam
terpadu (integratif) dapat membentuk karakter positif pada siswa.
Dari beberapa riset mengenai pembentukan karakter yang telah ada dan
dilakukan oleh para peneliti, ditemukan adanya research gap, dimana
pengaruhnya masih terlihat fruktuatif, kadang dapat menguat dan kadang juga
lemah, hasil yang ditemukan oleh Agustina, Suntoro dan Nurmalisa (2013) dari
perhitungan dengan menggunakan rumus persentase maka hasil
penelitian
dikategorikan sangat berperan sehingga dari hasil pengujian tersebut dapat
diketahui bahwa terdapat peran yang sangat kuat dan signifikan antara Peran
Sekolah Islam terpadu dalam pembentukan karakter religius siswa. Pada riset
Agustinova (2013), terdapat hambatan pada implementasi konsep SIT pada
pembentukan karakter yaitu pendidik kurang bisa memahami karakteristik
masing-masing siswa dan kurangnya partisipasi aktif orang tua dalam proses
penanaman karakter, sedangkan Sulistiyowati (2015), pengendalian standar mutu
dalam pendidikan karakter untuk memperbaiki faktor penyebab standar mutu
dalam pendidikan karakter tidak tercapai, dan memberikan saran agar kepala
sekolah sebaiknya meningkatkan komunikasi dengan orang tua dalam pengasuhan
karakter siswa.
Dengan adanya kesenjangan penelitian yang telah ada sebelumnya
mengenai pembentukan karakter maka penulis memberikan alternatif baru yang
dapat menjadi penguat positif dalam penanaman karakter anak,berupa hipotesis
dengan menghadirkan variabel moderating yaitu sinergitas orang tua-sekolah.
Dengan adanya sinergitas antara orang tua dengan sekolah diharapkan akan
memberikan dampak yang signifikan. Fenomena banyaknya bermunculan
sekolah-sekolah dengan metode baru, seperti sekolah berdasarkan MIR (Multiple
Intellegence Research), homeschooling, sekolah alam, sekolah sains, dan lain
sebagainya yang mencoba memberikan pendidikan yang optimal untuk
membentuk karakter positif anak, belum mampu sepenuhnya untuk membentuk
karakter secara permanen karena pendidikan di sekolah yang ia terima belum
tentu sinkron dengan pendidikan yang diberikan oleh orang tua di rumah serta
pendidikan yang diteladankan di lingkungan tempat tinggalnya. Namun peneliti
mencoba menemukan benang merah antara pendidikan di sekolah dengan di
rumah melalui sinergitas orang tua dan sekolah.
Lickona
(2013),
mengatakan
bahwa
“meskipun
sekolah
mampu
meningkatkan pemahaman awal para siswanya ketika mereka ada di sekolah,
kemudian
bukti-bukti
yang
ada
menunjukkan
bahwa
sekolah
mampu
melaksanakan hal tersebut, sikap baik yang dimiliki oleh anak-anak tersebut
perlahan akan menghilang jika nilai-nilai yang diajarkan disekolah tersebut tidak
mendapatkan dukungan dari lingkungan rumah. Dengan alasan tersebut, sekolah
dan keluarga harusnya seiring dalam menyikapi masalah yang mncul. Dengan
adanya kerjasama antara kedua pihak, kekuatan yang sesungguhnya dapat
dimunculkan untuk meningkatkan nilai moral sebagai seorang manusia dan untuk
meningkatkan kehidupan sosial di negara ini”. Sumarsono (2015), dalam risetnya
menulis, “Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah,
orang tua, dan masyarakat. Oleh karena itu, orang tua dan guru adalah
mitra yang perlu bergandengan tangan saat menuntun tumbuh kembang
peserta didik”. “The research literature is unequivocal in showing that parental
involvement makes a significant difference to educational achievement”. (Bull,
Brooking, and Campbell : New Zealand Council for Educational Research, 2008).
Oleh karena itu, faktor sinergitas orang tua-sekolah menjadi sangat penting untuk
dapat memoderasi proses pembentukan karakter islami siswa.
Dari seluruh bahasan mengenai fenomena, research gap, serta riset-riset
yang telah ada sebelumnya yang melatarbelakangi penelitian ini, serta dengan
memperhatikan variabel determinan dalam pembentukan karakter islami siswa
maka riset ini akan menguji implementasi penjaminan mutu internal dan
implementasi konsep sekolah islam terpadu terhadap pembentukan karakter islami
siswa dengan sinergitas orang tua-sekolah yang memoderasinya. Apakah dapat
dibuktikan bahwa sinergitas orang tua-sekolah akan mampu menjadi variabel
moderating yang akan memperkuat peran implementasi penjaminan mutu internal
terhadap karakter islami siswa dan implementasi konsep sekolah islam terpadu
terhadap
pembentukan
karakter
islami
melatarbelakangi dilakukannya riset ini.
1.2 RUMUSAN MASALAH PENELITIAN
siswa?
Demikianlah
hal
yang
Dari seluruh paparan diatas, untuk lebih memperjelas arah penelitian ini
maka dapat dituangkan dalam rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah secara signifikan implementasi manajemen penjaminan mutu
internal berpengaruh terhadap pembentukan karakter islami siswa?
2. Apakah segara signifikan implementasi konsep sekolah islam terpadu
berpengaruh terhadap pembentukan karakter islami siswa?
3. Apakah secara signifikan Sinergitas orangtua-sekolah berpengaruh
terhadap implementasi manajemen penjaminan mutu internal?
4. Apakah secara signifikan Sinergitas orangtua-sekolah berpengaruh
terhadap implementasi konsep sekolah islam terpadu?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah penelitian yang telah dikemukakan
sebelumnya maka tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Untuk menganalisis pengaruh implementasi manajemen penjaminan
mutu internal terhadap pembentukan karakter islami siswa
2. Untuk menganalisis pengaruh implementasi konsep sekolah islam
terpadu terhadap pembentukan karakter islami siswa
3. Untuk menganalisis peran Sinergitas orangtua-sekolah terhadap
implementasi manajemen penjaminan mutu internal
4. Untuk menganalisis peran Sinergitas orangtua-sekolah terhadap
implementasi konsep sekolah islam terpadu
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Dilakukannya penelitian ini adalah atas dasar mencari nilai kebaikan dan
kemanfaatan yang akan memberikan jalan ataupun alternatif pilihan untuk dapat
membenahi dan memperbaiki sistem pembentukan karakter yang telah ada saat
ini, selanjutnya dijabarkan sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Verifikasi Teori
Peneliti mengharapkan agar penelitian ini dapat bermanfaat untuk
menjadi alat pembuktian (Verification) berlaku atau tidaknya teori
yang digunakan oleh peneliti, dalam hal ini peneliti membuktikan
bahwa teori kognisi sosial dalam mendasari pembentukan karakter
siswa,
dan
implementasi
dengan
mengemukakan
manajemen
penjaminan
determinannya
mutu
internal
yaitu
dan
implementasi konsep sekolah islam terpadu yang memberikan
pengaruh terhadap pembentukan karakter tersebut.
b. Pengembangan Teori
Peneliti mengharapkan agar penelitian ini dapat memberikan
pengembangan
teori,
yaitu
dengan
menghadirkan
variabel
moderating berupa adanya peran sinergitas orangtua-sekolah yang
dapat memperkuat pengaruh variabel-variabel independen terhadap
dependennya, bahwa dengan hadirnya variabel moderating maka
proses pembentukan karakter siswa akan jauh lebih efektif dan
memberikan pengaruh yang signifikan.
2. Manfaat Praktis
a. Perbaikan Kinerja
Peneliti mengharapkan bahwa dengan adanya penelitian ini dapat
memberikan
sumbangsih
pada
adanya
perbaikan
kinerja
manajemen dalam hal ini adalah sekolah, hasil dari penelitian ini
dapat menjadi acuan dalam menerapkan pembentukan karakter
islami pada siswa secara lebih efektif.
b. Perbaikan strategi
Peneliti mencoba memberikan sebuah strategi baru dalam
menerapkan pembentukan karakter islami siswa di sekolah, agar
sekolah dapat menyusun strategi atau teknik serta prosedur
pelaksanaan pembentukan karakter yang lebih komprehensif.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Kajian Teori Dasar (Grand Theory)
Dalam sebuah hadist Rasulullah Muhammad SAW, beliau bersabda “Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang menyebabkan
ia menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi.” (HR. Bukhari), hadits tersebut
mengatakan bahwa karakter seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat
dimana ia tinggal, sedangkan dalam Al Qur’an surat Ar Rum (30):30, Allah
berfirman “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam),
(sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah)
itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa,
manusia lahir ke dunia telah membawa sifat-sifat positif (Fitrah), hal ini menjadi
dasar teori pembentukan karakter manusia dalam islam yaitu manusia dilahirkan
telah membawa sifat positif dan kemudian lingkungan akan memberikan peranan
lebih dominan dalam pembentukannya. Dalam dunia pengetahuan modern yang
berkiblat ke Barat, beberapa peneliti mencetuskan teori tentang pembentukan
karakter ada yang sejalan dengan teori fitrah dalam islam, yaitu dikenal sebagai
Teori Konvergensi (William Stern), Menurut teori konvergensi hasil pendidikan
anak dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu pembawaan dan lingkungan. Diakui
bahwa anak lahir telah memiliki potensi yang berupa pembawaan. Namun
pembawaan yang sifatnya potensial itu harus dikembangkan melalui pengaruh
lingkungan, termasuk lingkungan pendidikan, oleh sebab itu tugas pendidik
adalah menghantarkan perkembangan semaksimal mungkin potensi anak sehingga
kelak menjadi orang yang berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, nusa, dan
bangsanya.
(http://muhammad-win-afgani.blogspot.co.id/2010/01/tiga-teori-yangmelandasi-pendidikan.html).
Tetapi peneliti memilih teori dasar dalam penelitian ini merupakan turunan dari teori
konvergensi yang sekilas telah dijelaskan, yaitu teori kognisi sosial yang ditemukan oleh
Albert Bandura, teorinya mendeskripsikan manusia sebagai organisme yang dinamis
dalam memproses informasi dan sebagai organisme sosial, kebanyakan proses belajar
manusia biasanya melibatkan orang lain dalam setting sosial.(Hargenhahn & Olson, 383,
2014). Bandura mengatakan bahwa pikiran manusia adalah generatif, kreatif, proaktif,
dan reflektif, tidak sekedar reaktif... bagaimana cara orang bertindak sebagai pemikir atas
pikiran yang mempegaruhi tindakan mereka? Apa pikiran ke depan, perencanaan
proaktif, aspirasi, penilaian diri, dan reflesi diri? Bagaimana itu semua diperoleh?
(Bandura dalam Hargenhahn & Olson, 384, 2014).
Dalam pembentukan perilaku seseorang menurut Bandura dalam teori agen manusia
memiliki ciri utama :
Pertama, agen anusia dicirikan oleh intentionality (intensionalitas) yangn didefinisakan
Bandura (2001) sebagai “representasi arah tindakan yang akan dilakukan di masa depan“
(h.6). Dengan kata lain intensionalitas melibatkan arah perencanaan tindakan untuk
tujuan tertentu. Jadi seseorang yang ingin belajar main golf atau piano akan membuat
rencana untuk mengikuti kursus, berlatih setiap minggu, berlangganan majalah yang
relevan, dan sebagainya. Tetapi, rencana itu sendiri tidak menjamin individu akan bisa
menguasai keterampilan itu; ada kemungkinan hasilnya tidak sesuai rencana.
Kedua, agan manusia ciririkan oleh forethrought (pemikiran ke depan), yang didefinisikan
sebagai antisipasi atau perkiraan konsekuensi dari niat kita. Orientasi ke masa depan ini
memandu perilaku kita ke arah akuisisi hasil positif yang menjauhkan diri dari hasil
negatif, dan karenanya bertindak sebagai fungsi motivasi. Calon pegolf memperkirakan
agan mengikuti liga golf, mendapat teman baru dan kursus golf, bermain di turnamen
amatir, dan sebagainya. Repreentasi kognitif dari tujuan itulah yang akan memberikan
motivasi dan pedoman serta tunduk pada regulasi-diri berdasarkan anggapan kecakapan
diri, keyakinan, dan standar moral. Dalam contoh pegolf di atas, ia tidak
membanyangkan dirinya akan bermain curang, atau menjadi pegolf proifesional tingkat
dunia.
Ketiga, agen manusia dicirikan oleh self-reactiveness (kereaktifan-diri), yang
menghubungkan pikiran dengan tindakan. Bandura (2001) menulis bahwa orang
‘melakukan hal-hal yang membuat mereka pua, rasa bangga, dan bermartabat, dan tak
mau berbuat sesuatu yang menimbulkan kekecewaan, merendahkan diri, dan
mempermalukan diri” (h.8). Ciri ini berfungsi memandu pelaksanaan perilaku aktual.
Terakhir, agen manusia dicirikan oleh self-reflectivenees (kereflektifan diri), kemampuan
metakognisi untuk merenungkan arah, konsekuensi, dan makna dari rencana dan
tindakan kita.
(Hargenhahn
& Olson,
2014:384-385)
Lingkungan
(Pengalaman
langsung
atau observasi tak langsung)
Teori Kognitif
Sosial (Albert
Bandura)perilaku
Teori Bandura ini memberikan dasar yang
jelas mengenai
bagaimana
Karakter Islami Siswa
seseoranng terbentuk, yang apabila terus menerus dilakukan maka akan terbentuklah
pengetahuan sebagai karakter.
an langsung ataupun tak langsung seperti observasi yang dilakukan seseorang pada lingkungannya akan membentuk pengetahuan dan
Penjaminan Mutu Internal Sekolah
Sinergitas Orang tua-Sekolah
Konsep Sekolah Islam Terpadu
Gambar 2.1
Peran Teori Kognisi Sosial menjelaskan pengaruh variabel independen
terhadap variabel dependen
2.2
Kajian Variabel Penelitian
2.2.1
Implementasi Penjaminan Mutu Internal Sekolah
Mutu (Quality) merupakan sebuah faktor penting yang menentukan sebuah
kegiatan dapat dikatakan baik atau tidak, ia merupakan alat ukur yang
menggambarkan ‘derajat’ sebuah aktivitas. Agar mutu sebuah lembaga dabart
berlangsung terus menerus secara konstan atau bahkan semakin meningkat,
dibutuhkan adanya sebuah sistem yang menjamin hal tersebut. Oleh karena itu,
untuk menghasilkan produk yang bermutu pada lembaga yang bersangkutan,
dilakukan fungsi pengembalian mutu (Quality Control) berdasarkan kriteria mutu
tertentu terhadap barang yang diproduksi sebelum masuk pasar, dengan menilai
apakah termasuk katagori tidak bermutu atau bermutu tinggi. (Sani, dkk, 2015).
Dalam sebuah sistem manajemen mutu, penting untuk memastikan agar mutu
tetap dapat dipertahankan sesuai dengan idealisme lembaga dan memenuhi
harapan para konsumennya, sistem manajemen mutu tersebut dikenal sebagai
penjaminan mutu (Quality Assurance).
2.3
2.4
2.5
2.6
2.2.2 Implementasi Konsep Sekolah Islam Terpadu (SIT)
2.2.3 Sinergitas Orang Tua-Sekolah
2.2.4 Karakter Islami Siswa
Kajian Penelitian Terdahulu
Kerangka Teoritik dan Model Teoritik
Kerangka Berfikir dan Model Penelitian Empiris
Hipotesis Penelitian
DALAM MEMODERASI IMPLEMENTASI
MANAJEMEN PENJAMINAN MUTU
INTERNAL, DAN IMPLEMENTASI KONSEP
SIT (SEKOLAH ISLAM TERPADU) PADA
PEMBENTUKAN KARAKTER ISLAMI SISWA
DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU
PROPOSAL
TESIS
diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Magister Pendidikan
Oleh
NOVA MEGA PERSDA
0102515022
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
TAHUN 2015
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH PENELITIAN
Dalam membangun generasi pemimpin masa depan, pemilik peradaban,
pendidikanlah yang menjadi ujung tombak yang akan membentuknya. Pendidikan
yang mereka lalui saat ini yang akan mengasah kemampuannya, akan
mempertajam
daya
pikirnya,
akan
melejitkan
kreativitasnya
dan
akan
membimbing emosionalnya. Sebagaimana teori kecerdasan majemuk yang
dicetuskan oleh Dr. Howard Gardner, keberhasilan sesorang tidak hanya diperoleh
melalui kecerdasan intelektualnya saja tetapi ada banyak kecerdasan lain, dimana
masing-masing individu memiliki kecenderungan pada kecerdasan yang berbeda.
Dari semua kecerdasan tersebut ada hal yang paling mendasar yang akan menjadi
pijakan dan pondasi bagi keselarasan kehidupan sesorang, yaitu bagaimana
seseorang mampu beradaptasi dan diterima oleh lingkungannya dimanapun
mereka berada, hal yang dapat membimbingnya selalu melalui jalan kebenaran,
sejalan dengan keyakinan dan norma yang dianutnya serta dianut masyarakat
beradab, hal tersebut adalah Karakter positif.
Karakter seseorang dapat menjadi petunjuk jalan bagi orang tersebut untuk
membedakan perbuatan benar dan perbuatan salah. Karakter juga dapat melandasi
seluruh pengetahuan yang ia miliki menjadi bermanfaat bagi sesama. Bagi
seorang muslim, terdapat beberapa muasshofat/ sifat dasar yang harus dimilikinya
untuk dapat disebut sebagai muslim sejati, berkaitan dengan karakter, sifat yang
berhubungan dengannya adalah Matinul Khuluq/ akhlaq yang kokoh. Akhlaq
seorang muslim dapat terlihat dari perkataan, perbuatan dan paradigma
berfikirnya, dimana lingkungan disekitarnya akan merasa aman dengan
keberadaannya, tidak merasa terganggu dengan lidahnya, dan tidak pula merasa
terganggu dengan tingkah lakunya.
Muhammad Alwi mengatakan bahwa “karakter dimaknai sebagai
kehidupan berperilaku baik/ penuh kebajikan terhadap pihak lain (Tuhan Yang
Maha Esa, manusia, dan alam semesta) serta terdapat diri sendiri”, selanjutnya
beliau menuliskan bahwa “pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai
pendidikan nilai, budi pekerti, moral dan watak yang bertujuan mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara
yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan
sepenuh hati”.
“Berdasarkan penelitian sejarah dari seluruh negara yang ada di dunia ini,
pada dasarnya pendidikan memiliki dua tujuan, yaitu membimbing para generasi
muda untuk menjadi cerdas dan memiliki perilaku berbudi”. (Lickona, 2013;7),
“Pendidikan karakter merupakan salah satu solusi untuk memperbaiki degradasi
moralitas atau degradasi karakter generasi muda saai ini dan di masa depan,
khususnya peserta didik di sekolah. Kesadaran mengintegrasikan nilai-nilai
karakter melalui pendidikan, karena pendidikan terbukti menjadi sarana efektif
bagi penanaman tata nilai, budaya, ideologi, dan sebagainya. Pendidikan juga
dipercaya menjadi sarana proses ‘memanusiakan’ manusia, manusia menjadi
insan kamil (manusia utama), dan investasi masa depan”. (Wibowo,2013;245).
Sungguh disayangkan, generasi muda saat ini mengalami banyak sekali
degradasi moral dan berperilaku yang tidak sepatutnya, mereka kehilangan
karakter baiknya dan menjelma menjadi generasi yang ‘sakit’ dan ‘rusak’.
Perkembangannya dari tahun ke tahun terus menunjukkan kerusakan moral yang
kian bertambah dan semakin parah. Dan yang lebih memperihatinkan adalah
kerusakan itu dari tahun ke tahun melibatkan usia yang semakin muda. Maraknya
perkelahian antar pelajar seperti tawuran, geng motor, perilaku bully di sekolah,
pergaulan sosial yang melenceng, seks bebas, pelecehan seksual, penyimpangan
seksual, mereka tidak lagi menganggap orang tua dan guru sebagai sosok yang
dihormati, berperilaku seenaknya, tidak sopan bahkan seperti memusuhi dan
melecehkan. Kasus demi kasus perilaku menyimpang pelajar diberitakan di
berbagai media, seperti televisi, koran, dan media sosial, memperlihatkan hal yang
sangat ironis terjadi di kalangan generasi muda Indonesia.
Menurut KPAI, saat ini kasus bullying menduduki peringkat teratas
pengaduan masyarakat, dari 2011 hingga Agustus 2014, KPAI mencatat 369
pengaduan terkait masalah tersebut. Jumlah itu sekitar 25% dari total pengaduan
di bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus. (Republika, Rabu 15 Oktober 2014,
dalam www. Kpai.go.id/berita/kasus bullying). KPAI juga melaporkan bahwa data
BNN 2010 menyebutkan, pengguna narkoba mencapai 3,6 juta orang. Rinciannya
generasi muda dan usia produktif adalah pengguna narkoba terbanyak. Mereka
terdiri dari mahasiswa dan pelajar berjumlah 921.695. Komisi perlindingan anak
memperkirakan 21 juta anak Indonesia menjadi perokok dan meningkat setiap
tahunnya. Kini usia Prevalensi anak merokok bergeser hingga usia tujuh tahun.
(www.kpai.go.id/artikel/peta-permasalahan-perlindungan-anak-di-iindonesia/).
Di Samping itu, tidak kalah mencengangkan yakni hasil-hasil penelitian
yang dilakukan oleh Yayasan Kita dan Buah hati terhadap anak Indonesia
diantaranya adalah catatannya mengenai pornografi pada anak, sekitar 67% dari
2.818 siswa SD kelas 4-6 sudah pernah mengakses pornografi, menurut Elly
Risman, S.Psi direktur Yayasan kita dan buah hati “ padahal efeknya dapat
merusak
otak
dan
otomatis
menghancurkan
masa
depan
mereka”.
(http://majalah.hidayatullah.com/2010/08/).
Bila dicermati dari perkembangan lingkungan saat ini banyak terjadi
pergeseran nilai dan norma serta budaya yang ada, karena pemegang peradaban
kini adalah dunia barat maka mau tidak mau segala aspek kehidupan masyarakat
sangat terpengaruh oleh liberalisasi barat, baik pengaruh positif maupun negatif.
Salah satu bentuk pengaruh negatifnya adalah dikalangan pelajar dan pemuda,
seseorang dikatakan modern apabila gaya hidupnya sudah kebarat-baratan,
disinilah perubahan perilaku pergaulan, serta tata nilai bermasyarakat terbentuk,
banyak hal-hal tabu yang kemudian menjadi biasa, seperti pacaran hinggga seks
bebas, merokok, minum minuman keras, perilaku kasar, sikap individualisme,
mengambil hak orang lain secara paksa, menyampaikan pendapat dengan cara
yang anarkis dan lain sebagainya.
Dari paparan di atas menunjukkan ada sesuatu yang hilang dan terkikis
dari diri seseorang yaitu karakter baik, sesuatu yang menggerakkan mekanisme
tubuh dan cara berfikir dari dalam diri yang mampu membedakan perbuatan baik
dan perbuatan buruk, karena sesungguhnya sangatlah tidak berarti pengetahuan
yang dimiliki sesorang apabila digunakan dengan cara yang salah sehingga dapat
merugikan diri sendiri maupun orang lain. Kemampuan seseorang untuk
mengendalikan
emosinya,
mengubah
cara
pandangnya
dan
membentuk
kepribadiannya secara positif sangatlah diperlukan.
Dalam hal ini institusi pendidikan memiliki peran kunci yang dominan
dalam memperoleh pengetahuan, pengalaman, dan pengaplikasian tentang
karakter positif, sepatutnya sekolah bukan hanya tempat untuk mentransfer ilmu
pengetahuan semata, tetapi lebih dalam lagi adalah bagaimana sekolah tersebut
membentuk kepribadian yang baik, dimana kepribadian tersebut mengakar jauh
dan kuat dalam jiwa seseorang sehingga apapun aktivitas dan perbuatannya akan
mencerminkan kedalaman dan kekuatan kepribadian tersebut dan menjelma
menjadi sebuah kebiasaan baik atau positive habitual.
Penanaman karakter yang terbaik adalah di usia yang masih sangat muda,
semakin muda maka akan semakin mudah masuk ke dalam alam bawah sadar
seseorang dan tersimpan permanen dalam otaknya, oleh karena itu pendidikan di
usia dini lebih efektif dalam membentuk fondasi sikap serta kepribadian
seseorang. Dengan menekankan pembentukan karakter positif dalam pendidikan
di usia dini, akan memberikan harapan yang besar dalam mengurangi kerusakan
akhlak pada generasi muda mendatang. Menurut Lickona, karakter yang baik
terdiri dari mengetahui hal yang baik, menginginkan hal yang baik, dan
melakukan hal yang baik-kebiasaan dalam cara berfikir, kebiasaan dalam hati, dan
kebiasaan dalam tindakan. Dengan terbentuknya karakter positif dalam diri
seseorang maka diharapkan akan tercipta generasi yang sehat secara mental dan
jiwanya, serta menciptakan lingkungan yang penuh energi positif yang akan
memberikan motivasi positif pula, demi kesuksesan dan keharmonisan seseorang
dengan lingkungannya.
Untuk mengetahui determinan apasaja yang dapat mempengaruhi
pembentukan karakter ada pendapat yang bisa menjadi pertimbangan diantaranya
adalah Campbell dan R. Obligasi (1982) menyatakan ada beberapa faktor yang
berpengaruh dalam pembentukan karakter seseorang yaitu 1). Faktor keturunan,
2). Pengalaman masa kanak-kanak, 3). Pemodelan oleh orang dewasa atau orang
yang lebih tua, 4) Pengaruh lingkungan sebaya, 5) Lingkungan fisik dan sosial, 6)
Subtansi materi di sekolah atau lembaga pendidikan lain, 7) Media massa.
(http//www.Membumikan-pendidikan.blogspot.com/2014/10)
Dari pendapat Campbell dan R. Obligasi diatas, penulis mencoba untuk
mengambil determinan yang ke 6 yaitu substansi materi di sekolah atau lembaga
pendidikan lain, tetapi lebih kepada bagaimana sekolah tersebut dapat menjamin
kualitas pendidikan yang disampaikannya. Sebuah sekolah akan memberikan
pendidikan terbaik bagi siswa-siswinya, materi, metode, sarana prasarana, serta
pendidik dan tenaga kependidikannya harus sejalan dengan visi, misi dan tujuan
yang dicanangkan sekolah tersebut, untuk menjamin hal tersebut maka sekolah
harus memastikan segala sesuatunya berjalan sesuai dengan rencana maka harus
ada sebuah sistem yang dapat memberikan standarisasi operasional sekolah, di
lembaga-lembaga pendidikan sistem tersebut dikenal dengan penjaminan mutu
internal yang merupakan bagian dari total quality management. Salah satu tujuan
diadakannya penjaminan mutu internal adalah terbentuknya karakter positif siswa.
Dalam riset terdahulu yang dilakukan oleh Sulistyowati (2015), Manajemen
Penjaminan Mutu Internal dalam Pendidikan Karakter di SDIT Al Uswah
Surabaya dan SDIT Insan Permata Malang, mengatakan bahwa “penjaminan mutu
pendidikan (quality assurance) merupakan salah satu bagian dari manajemen
mutu terpadu pendidikan. Penjaminan mutu dalam pendidikan karakter
dimaksudkan agar layanan pendidikan yang diberikan sekolah sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan sehingga menghasilkan profil karakter siswa yang
sesuai dengan standar sekolah”. Sedangkan penjaminan mutu sendiri memiliki
pengertian sebagai berikut “Penjaminan mutu pendidikan adalah kegiatan sistemik
dan terpadu oleh satuan atau program pendidikan, penyelenggara satuan atau
program pendidikan, pemerintah daerah, Pemerintah, dan masyarakat untuk
menaikkan tingkat kecerdasan kehidupan bangsa melalui pendidikan”. (Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional No. 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan
Mutu Pendidikan, pasal 1 ayat 2).
Dalam riset yang dilakukan oleh Harli Trisdiono (2015) yaitu untuk
mengetahui keefektifan dan dampak (effect size) diklat capacity building audit
mutu internal tingkat Provinsi D.I. Yogyakarta yang diselenggarakan oleh
LPMP D.I. Yogyakarta tahun 2015, didapatkan hasil bahwa “Diklat capacity
building
audit
mutu
internal
tingkat Provinsi D.I. Yogyakarta yang
diselenggarakan oleh LPMP D.I. Yogyakarta tahun 2015 memiliki dampak yang
besar yang ditunjukkan dari nilai effect size sebesar 0,80, artinya diklat tersebut
mempunyai
keterampilan
efek
yang
besar
terhadap
perubahan
pengetahuan
dan
peserta, diharapkan pula akan terbentuk karakter positif dalam
peningkatan kualitas kinerjanya”. Riset lainnya mengatakan
bahwa “sekolah
telah berperan dalam pembentukan karakter religius siswa, dengan pemberian
bekal yang baik yang di ajarkan oleh guru seperti menanamkan nilai-nilai Islam
dalam proses pembelajaran, memberi pengetahuan yang cukup di bidang
pengetahuan umum maupun dalam pengetahuan teknologi.” (Agustina, Suntoro,
dan Nurmalisa, 2013). Riset Agustinova (2012) dalam tesisnya mengatakan
bahwa “budaya sekolah yang bermutu mendukung pelaksanaan penanaman
karakter pada siswa, dengan menggunakan pendekatan dan metode pembelajaran
yang bisa mengaktifkan peserta didik, mempermudah proses penanaman nilainilai karakter”. Riset Flurentin (2014), faktor self Awareness juga mempengaruhi
pembentukan karakter siswa, selain itu, riset Juono (2014), konsep sekolah islam
terpadu (integratif) dapat membentuk karakter positif pada siswa.
Dari beberapa riset mengenai pembentukan karakter yang telah ada dan
dilakukan oleh para peneliti, ditemukan adanya research gap, dimana
pengaruhnya masih terlihat fruktuatif, kadang dapat menguat dan kadang juga
lemah, hasil yang ditemukan oleh Agustina, Suntoro dan Nurmalisa (2013) dari
perhitungan dengan menggunakan rumus persentase maka hasil
penelitian
dikategorikan sangat berperan sehingga dari hasil pengujian tersebut dapat
diketahui bahwa terdapat peran yang sangat kuat dan signifikan antara Peran
Sekolah Islam terpadu dalam pembentukan karakter religius siswa. Pada riset
Agustinova (2013), terdapat hambatan pada implementasi konsep SIT pada
pembentukan karakter yaitu pendidik kurang bisa memahami karakteristik
masing-masing siswa dan kurangnya partisipasi aktif orang tua dalam proses
penanaman karakter, sedangkan Sulistiyowati (2015), pengendalian standar mutu
dalam pendidikan karakter untuk memperbaiki faktor penyebab standar mutu
dalam pendidikan karakter tidak tercapai, dan memberikan saran agar kepala
sekolah sebaiknya meningkatkan komunikasi dengan orang tua dalam pengasuhan
karakter siswa.
Dengan adanya kesenjangan penelitian yang telah ada sebelumnya
mengenai pembentukan karakter maka penulis memberikan alternatif baru yang
dapat menjadi penguat positif dalam penanaman karakter anak,berupa hipotesis
dengan menghadirkan variabel moderating yaitu sinergitas orang tua-sekolah.
Dengan adanya sinergitas antara orang tua dengan sekolah diharapkan akan
memberikan dampak yang signifikan. Fenomena banyaknya bermunculan
sekolah-sekolah dengan metode baru, seperti sekolah berdasarkan MIR (Multiple
Intellegence Research), homeschooling, sekolah alam, sekolah sains, dan lain
sebagainya yang mencoba memberikan pendidikan yang optimal untuk
membentuk karakter positif anak, belum mampu sepenuhnya untuk membentuk
karakter secara permanen karena pendidikan di sekolah yang ia terima belum
tentu sinkron dengan pendidikan yang diberikan oleh orang tua di rumah serta
pendidikan yang diteladankan di lingkungan tempat tinggalnya. Namun peneliti
mencoba menemukan benang merah antara pendidikan di sekolah dengan di
rumah melalui sinergitas orang tua dan sekolah.
Lickona
(2013),
mengatakan
bahwa
“meskipun
sekolah
mampu
meningkatkan pemahaman awal para siswanya ketika mereka ada di sekolah,
kemudian
bukti-bukti
yang
ada
menunjukkan
bahwa
sekolah
mampu
melaksanakan hal tersebut, sikap baik yang dimiliki oleh anak-anak tersebut
perlahan akan menghilang jika nilai-nilai yang diajarkan disekolah tersebut tidak
mendapatkan dukungan dari lingkungan rumah. Dengan alasan tersebut, sekolah
dan keluarga harusnya seiring dalam menyikapi masalah yang mncul. Dengan
adanya kerjasama antara kedua pihak, kekuatan yang sesungguhnya dapat
dimunculkan untuk meningkatkan nilai moral sebagai seorang manusia dan untuk
meningkatkan kehidupan sosial di negara ini”. Sumarsono (2015), dalam risetnya
menulis, “Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah,
orang tua, dan masyarakat. Oleh karena itu, orang tua dan guru adalah
mitra yang perlu bergandengan tangan saat menuntun tumbuh kembang
peserta didik”. “The research literature is unequivocal in showing that parental
involvement makes a significant difference to educational achievement”. (Bull,
Brooking, and Campbell : New Zealand Council for Educational Research, 2008).
Oleh karena itu, faktor sinergitas orang tua-sekolah menjadi sangat penting untuk
dapat memoderasi proses pembentukan karakter islami siswa.
Dari seluruh bahasan mengenai fenomena, research gap, serta riset-riset
yang telah ada sebelumnya yang melatarbelakangi penelitian ini, serta dengan
memperhatikan variabel determinan dalam pembentukan karakter islami siswa
maka riset ini akan menguji implementasi penjaminan mutu internal dan
implementasi konsep sekolah islam terpadu terhadap pembentukan karakter islami
siswa dengan sinergitas orang tua-sekolah yang memoderasinya. Apakah dapat
dibuktikan bahwa sinergitas orang tua-sekolah akan mampu menjadi variabel
moderating yang akan memperkuat peran implementasi penjaminan mutu internal
terhadap karakter islami siswa dan implementasi konsep sekolah islam terpadu
terhadap
pembentukan
karakter
islami
melatarbelakangi dilakukannya riset ini.
1.2 RUMUSAN MASALAH PENELITIAN
siswa?
Demikianlah
hal
yang
Dari seluruh paparan diatas, untuk lebih memperjelas arah penelitian ini
maka dapat dituangkan dalam rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah secara signifikan implementasi manajemen penjaminan mutu
internal berpengaruh terhadap pembentukan karakter islami siswa?
2. Apakah segara signifikan implementasi konsep sekolah islam terpadu
berpengaruh terhadap pembentukan karakter islami siswa?
3. Apakah secara signifikan Sinergitas orangtua-sekolah berpengaruh
terhadap implementasi manajemen penjaminan mutu internal?
4. Apakah secara signifikan Sinergitas orangtua-sekolah berpengaruh
terhadap implementasi konsep sekolah islam terpadu?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah penelitian yang telah dikemukakan
sebelumnya maka tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Untuk menganalisis pengaruh implementasi manajemen penjaminan
mutu internal terhadap pembentukan karakter islami siswa
2. Untuk menganalisis pengaruh implementasi konsep sekolah islam
terpadu terhadap pembentukan karakter islami siswa
3. Untuk menganalisis peran Sinergitas orangtua-sekolah terhadap
implementasi manajemen penjaminan mutu internal
4. Untuk menganalisis peran Sinergitas orangtua-sekolah terhadap
implementasi konsep sekolah islam terpadu
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Dilakukannya penelitian ini adalah atas dasar mencari nilai kebaikan dan
kemanfaatan yang akan memberikan jalan ataupun alternatif pilihan untuk dapat
membenahi dan memperbaiki sistem pembentukan karakter yang telah ada saat
ini, selanjutnya dijabarkan sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Verifikasi Teori
Peneliti mengharapkan agar penelitian ini dapat bermanfaat untuk
menjadi alat pembuktian (Verification) berlaku atau tidaknya teori
yang digunakan oleh peneliti, dalam hal ini peneliti membuktikan
bahwa teori kognisi sosial dalam mendasari pembentukan karakter
siswa,
dan
implementasi
dengan
mengemukakan
manajemen
penjaminan
determinannya
mutu
internal
yaitu
dan
implementasi konsep sekolah islam terpadu yang memberikan
pengaruh terhadap pembentukan karakter tersebut.
b. Pengembangan Teori
Peneliti mengharapkan agar penelitian ini dapat memberikan
pengembangan
teori,
yaitu
dengan
menghadirkan
variabel
moderating berupa adanya peran sinergitas orangtua-sekolah yang
dapat memperkuat pengaruh variabel-variabel independen terhadap
dependennya, bahwa dengan hadirnya variabel moderating maka
proses pembentukan karakter siswa akan jauh lebih efektif dan
memberikan pengaruh yang signifikan.
2. Manfaat Praktis
a. Perbaikan Kinerja
Peneliti mengharapkan bahwa dengan adanya penelitian ini dapat
memberikan
sumbangsih
pada
adanya
perbaikan
kinerja
manajemen dalam hal ini adalah sekolah, hasil dari penelitian ini
dapat menjadi acuan dalam menerapkan pembentukan karakter
islami pada siswa secara lebih efektif.
b. Perbaikan strategi
Peneliti mencoba memberikan sebuah strategi baru dalam
menerapkan pembentukan karakter islami siswa di sekolah, agar
sekolah dapat menyusun strategi atau teknik serta prosedur
pelaksanaan pembentukan karakter yang lebih komprehensif.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Kajian Teori Dasar (Grand Theory)
Dalam sebuah hadist Rasulullah Muhammad SAW, beliau bersabda “Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang menyebabkan
ia menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi.” (HR. Bukhari), hadits tersebut
mengatakan bahwa karakter seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat
dimana ia tinggal, sedangkan dalam Al Qur’an surat Ar Rum (30):30, Allah
berfirman “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam),
(sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah)
itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa,
manusia lahir ke dunia telah membawa sifat-sifat positif (Fitrah), hal ini menjadi
dasar teori pembentukan karakter manusia dalam islam yaitu manusia dilahirkan
telah membawa sifat positif dan kemudian lingkungan akan memberikan peranan
lebih dominan dalam pembentukannya. Dalam dunia pengetahuan modern yang
berkiblat ke Barat, beberapa peneliti mencetuskan teori tentang pembentukan
karakter ada yang sejalan dengan teori fitrah dalam islam, yaitu dikenal sebagai
Teori Konvergensi (William Stern), Menurut teori konvergensi hasil pendidikan
anak dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu pembawaan dan lingkungan. Diakui
bahwa anak lahir telah memiliki potensi yang berupa pembawaan. Namun
pembawaan yang sifatnya potensial itu harus dikembangkan melalui pengaruh
lingkungan, termasuk lingkungan pendidikan, oleh sebab itu tugas pendidik
adalah menghantarkan perkembangan semaksimal mungkin potensi anak sehingga
kelak menjadi orang yang berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, nusa, dan
bangsanya.
(http://muhammad-win-afgani.blogspot.co.id/2010/01/tiga-teori-yangmelandasi-pendidikan.html).
Tetapi peneliti memilih teori dasar dalam penelitian ini merupakan turunan dari teori
konvergensi yang sekilas telah dijelaskan, yaitu teori kognisi sosial yang ditemukan oleh
Albert Bandura, teorinya mendeskripsikan manusia sebagai organisme yang dinamis
dalam memproses informasi dan sebagai organisme sosial, kebanyakan proses belajar
manusia biasanya melibatkan orang lain dalam setting sosial.(Hargenhahn & Olson, 383,
2014). Bandura mengatakan bahwa pikiran manusia adalah generatif, kreatif, proaktif,
dan reflektif, tidak sekedar reaktif... bagaimana cara orang bertindak sebagai pemikir atas
pikiran yang mempegaruhi tindakan mereka? Apa pikiran ke depan, perencanaan
proaktif, aspirasi, penilaian diri, dan reflesi diri? Bagaimana itu semua diperoleh?
(Bandura dalam Hargenhahn & Olson, 384, 2014).
Dalam pembentukan perilaku seseorang menurut Bandura dalam teori agen manusia
memiliki ciri utama :
Pertama, agen anusia dicirikan oleh intentionality (intensionalitas) yangn didefinisakan
Bandura (2001) sebagai “representasi arah tindakan yang akan dilakukan di masa depan“
(h.6). Dengan kata lain intensionalitas melibatkan arah perencanaan tindakan untuk
tujuan tertentu. Jadi seseorang yang ingin belajar main golf atau piano akan membuat
rencana untuk mengikuti kursus, berlatih setiap minggu, berlangganan majalah yang
relevan, dan sebagainya. Tetapi, rencana itu sendiri tidak menjamin individu akan bisa
menguasai keterampilan itu; ada kemungkinan hasilnya tidak sesuai rencana.
Kedua, agan manusia ciririkan oleh forethrought (pemikiran ke depan), yang didefinisikan
sebagai antisipasi atau perkiraan konsekuensi dari niat kita. Orientasi ke masa depan ini
memandu perilaku kita ke arah akuisisi hasil positif yang menjauhkan diri dari hasil
negatif, dan karenanya bertindak sebagai fungsi motivasi. Calon pegolf memperkirakan
agan mengikuti liga golf, mendapat teman baru dan kursus golf, bermain di turnamen
amatir, dan sebagainya. Repreentasi kognitif dari tujuan itulah yang akan memberikan
motivasi dan pedoman serta tunduk pada regulasi-diri berdasarkan anggapan kecakapan
diri, keyakinan, dan standar moral. Dalam contoh pegolf di atas, ia tidak
membanyangkan dirinya akan bermain curang, atau menjadi pegolf proifesional tingkat
dunia.
Ketiga, agen manusia dicirikan oleh self-reactiveness (kereaktifan-diri), yang
menghubungkan pikiran dengan tindakan. Bandura (2001) menulis bahwa orang
‘melakukan hal-hal yang membuat mereka pua, rasa bangga, dan bermartabat, dan tak
mau berbuat sesuatu yang menimbulkan kekecewaan, merendahkan diri, dan
mempermalukan diri” (h.8). Ciri ini berfungsi memandu pelaksanaan perilaku aktual.
Terakhir, agen manusia dicirikan oleh self-reflectivenees (kereflektifan diri), kemampuan
metakognisi untuk merenungkan arah, konsekuensi, dan makna dari rencana dan
tindakan kita.
(Hargenhahn
& Olson,
2014:384-385)
Lingkungan
(Pengalaman
langsung
atau observasi tak langsung)
Teori Kognitif
Sosial (Albert
Bandura)perilaku
Teori Bandura ini memberikan dasar yang
jelas mengenai
bagaimana
Karakter Islami Siswa
seseoranng terbentuk, yang apabila terus menerus dilakukan maka akan terbentuklah
pengetahuan sebagai karakter.
an langsung ataupun tak langsung seperti observasi yang dilakukan seseorang pada lingkungannya akan membentuk pengetahuan dan
Penjaminan Mutu Internal Sekolah
Sinergitas Orang tua-Sekolah
Konsep Sekolah Islam Terpadu
Gambar 2.1
Peran Teori Kognisi Sosial menjelaskan pengaruh variabel independen
terhadap variabel dependen
2.2
Kajian Variabel Penelitian
2.2.1
Implementasi Penjaminan Mutu Internal Sekolah
Mutu (Quality) merupakan sebuah faktor penting yang menentukan sebuah
kegiatan dapat dikatakan baik atau tidak, ia merupakan alat ukur yang
menggambarkan ‘derajat’ sebuah aktivitas. Agar mutu sebuah lembaga dabart
berlangsung terus menerus secara konstan atau bahkan semakin meningkat,
dibutuhkan adanya sebuah sistem yang menjamin hal tersebut. Oleh karena itu,
untuk menghasilkan produk yang bermutu pada lembaga yang bersangkutan,
dilakukan fungsi pengembalian mutu (Quality Control) berdasarkan kriteria mutu
tertentu terhadap barang yang diproduksi sebelum masuk pasar, dengan menilai
apakah termasuk katagori tidak bermutu atau bermutu tinggi. (Sani, dkk, 2015).
Dalam sebuah sistem manajemen mutu, penting untuk memastikan agar mutu
tetap dapat dipertahankan sesuai dengan idealisme lembaga dan memenuhi
harapan para konsumennya, sistem manajemen mutu tersebut dikenal sebagai
penjaminan mutu (Quality Assurance).
2.3
2.4
2.5
2.6
2.2.2 Implementasi Konsep Sekolah Islam Terpadu (SIT)
2.2.3 Sinergitas Orang Tua-Sekolah
2.2.4 Karakter Islami Siswa
Kajian Penelitian Terdahulu
Kerangka Teoritik dan Model Teoritik
Kerangka Berfikir dan Model Penelitian Empiris
Hipotesis Penelitian