CITRA SOSIAL POLITIK DALAM NOVEL GADIS J

CITRA SOSIAL POLITIK DAN IKONITAS DALAM NOVEL GADIS JAKARTA
KARYA NAJIB KAILANI
Disusun untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Matakuliah Dirasat Natsriyyah
Dosen Pembimbing: Rizqi Handayani, MA

Oleh:
Abdullah Maulani
1112021000049

PRODI BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015

A. Pendahuluan
Konflik yang timbul di era 65-an sangat menyedot perhatian publik tanah air dari
generasi ke generasi. Bagaimana tidak, simpang siur fakta dan saling klaim kebenaran
berbagai pihak membuat konflik yang diakhiri dengan drama G 30 S/PKI ini semakin
jauh dan bias dari kebenaran. Banyak pertanyaan yang masih belum terjawab dan banyak
fakta yang masih belum diungkap.


Tidak hanya publik tanah air yang turut memberikan opini akan tragedi 1965
tersebut. Gadis Jakarta karya novelis Mesir kenamaan, Najib Kailani, menceritakan
pergolakan politik Indonesia tahun 1965. Dikisahkan seorang gadis, anak dedengkot
Masyumi yang harus berjuang sendirian membebaskan ayah dan kekasihnya yang ditahan
“Partai”, karena menentang haluan ideology “Partai”. “Partai” (PKI) demikian menguasai
percaturan politik di Indonesia ketika itu menggunakan berbagai cara untuk mencapai
cita-citanya. Namun kegigihan Az-Zaim (Ketua Partai) kandas oleh kegigihan gadis
muda. Karena cintanya ditolak, Az-Zaim nekat menggunakan berbagai cara, termasuk
menculik dan memenjarakan sang ayah dan kekasih gadis itu (Fatimah).

Novel historis ini, menceritakan babak demi babak pergolakan politik, yang
menurut setting cerita ini adalah pemberontakan PKI. Uniknya penulis menggunakan
berbagai simbol untuk memperkuat ide cerita. Namun kesan romantis dari sebuah novel
tetap terjaga dengan baik.

Barangkali novel ini adalah satu-satunya novel yang ditulis oleh orang asing,
khususnya Arab tentang kondisi Indonesia. Bisa jadi karena kedekatan ideologis antara
Indonesia dan Mesir yang mengilhami penulis. Seperti kedekatan ideologis Masyumi
dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir.


Gadis Jakarta karya Najib Kailani ini amat menarik untuk ditelaah dari berbagai
aspek. Selain ditelaah dari segi sosiologisnya, penyusun hendak mengemukakan juga
aspek ikonik dengan menggunakan teori semiotika C.S. Pierce dalam karya Najib Kailani
ini.

2

B. Tinjauan Teori Semiotik C.S. Peirce
Novel sebagai sebuah karya sastra mengandung banyak kemungkinan makna
yang bisa dipahami oleh pembaca sesuai dengan kacamata yang dipakai. Suatu makna
yang ditemukan pembaca dalam melihat sebuah novel bisa saja sama dengan keinginan
pengarang.
Pada dasarnya ada dua pendekatan umum yang bisa diterapkan dalam melihat
sebuah novel, yaitu pendekatan yang bersifat ekstrinsik yang melibatkan aspek-aspek luar
dalam merekonstruksi makna sebuah novel, seperti aspek sosial dan budaya pengarang
yang dihubungkan dengan aspek struktur dalam karya sastra; dan yang kedua adalah
pendekatan yang bersifat intrinsic yang melihat novel dari keterkaitan unsur yang ada di
dalamnya.
Dalam melihat keberadaan tanda, C.S. Peirce mengisyaratkan adanya tiga unsur
yang pokok agar sebuah tanda bisa dipahami sebagai sebuah tanda dalam kehidupan,

yaitu tanda sendiri, ground atau sebuah tata aturan atau konvensi yang mendasari
pemahaman tanda, dana denotatum yaitu suatu kelas dari acuan yang ditunjuknya. Satu
hal yang penting dalam konsep Pierce adalah adanya sebuah tanda baru yang
dikembangkan setelah sebuah proses penafsiran berlangsung yang ia namakan dengan
interpretan. Tanda ini merupakan sebuah gagasan yang muncul dalam benak seseorang
yang melakukan interpretasi sekaligus membuat rangkaian tanda dan denotatum yang
baru, sehingga terjadi rangkaian penafsiran tanda yang tidak terputus untuk menyelami
segala kemungkinan.1
Pembicaraan tentang ikon yang berlandaskan sebuah “persamaan” masih
menyisakan masalah yang cukup rumit, yaitu kesamaan apa yang diinginkan? Aspek
persamaan tidaklah kita sebut sebagai sama secara seratus persen, tetapi cukuplah adanya
sebuah identitas atau persepsi yang terdapat pada suatu tanda dan juga pada acuannya.
Apabila deskripsi-deskripsi dari tanda mempunyai aspek kesamaan dengan deskripsi

1

Tommy Christomy, Pengantar Semiotika Pragmatik Pierce; Nonverbal dan Verbal, makalah dalam
penelitian semiotika yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Universitas Indonesia
tanggal 23-26 September 2001, h. 9.


3

acuannya, maka cukuplah ia menggambarkan sebuah ikonitas. Secara sederhana mungkin
digambarkan sebagai berikut;2

A (Novel) = a + b + c + d
B (Acuan) = p + q + r + d

Pada skema di atas kita melihat adanya huruf-huruf a,b,c,p,q, dan r yang
menunjukkan karakteristik dari tanda dan acuannya sedangkan hadirnya /d/ dalam kedua
karakteristik di atas yang digambarkan menunjukkan adanya ikon. Ada dua tipologi ikon
penting yang cukup berguna dalam melihat detil-detil makna yang mungkin bisa
diungkap dari sebuah karya sastra, yaitu yang dinamakan dengan ikon tipologis dan ikon
diagramatik. Ikon tipologis didasarkan pada adanya “kesamaan” yang bersifat
“spasialitas”, baik profil, garis ataupun tempat antara tanda dan acuannya.3
C. Landasan Teori Sosiologi dalam Karya Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar
kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, dan teman) dan logi
(logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). perkembangan berikutnya mengalami
perubahan makna, sosio/socius berarti masyarakat, logi logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi

berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu
pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam
masyarakat, sifatnya umum, rasional dan empiris. Sastra dari akar kata sas (sansekerta)
berarti mengarahkan , mengajar, member petunjuk dan instruksi. Akhiran tra bearti alat,
sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar atau buku petunjuk pengajaran
yang baik. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi jadian,
yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik4 .

2

Uki Sukiman, Ikonitas dalam Novel Hamamah Salam Karya Najib Kailani, h. 117. Artikel diunduh dari:
http://digilib.uinsuka.ac.id/7933/1/UKI%20SUKIMAN%20IKONITAS%20DALAM%20NOVEL%20HAMAMAH%20SALAM%2
0KARYA%20NAJIB%20AL-KAILANI.pdf.
3
Uki Sukiman, h. 118.
4
Nyoman Kutha Ratna. Paradigma Sosiologi Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) h. 2

4


Teori sosiologi sastra ini berawal dari konsep mimesis (tiruan) Plato (428-348
SM) yang melihat karya sastra sebagai tiruan dari kenyataan. Berbeda dengan Plato,
muridnya Aristoteles (384-322) berpendapat bahwa dalam meniru realitas, sastrawan
tidak semata-mata meniru realitas, melainkan juga menciptakan sesuatu yang baru,
karena karya sastra ditentukan oleh sikap kreatif sastrawan dalam memandang realitas.
Dalam teori sastra Arab, adanya teori muhâkah (meniru) dan taśni’ (mencipta, baik dalam
bentuk tahsin atau memperindah maupun taqbih atau memperburuk) menunjukkan
kuatnya pengaruh teori Aristoteles. 5
Pada abad ke-18, teori mimesis Plato dan Aristoteles itu kemudian dikembangkan
Hippoyte Teine (1766-1817), kritikus naturalis Perancis sebagai peletak dasar sosiologi
sastra modern. Menurutnya, sebuah karya sastra merupakan faktor yang dipengaruhi oleh
ras (apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya), moment (situasi sosial dan
politik pada masanya), dan lingkungan (keadaan iklim, alam dan lingkungan sosial).
Dalam khazanah sastra Arab, kritikus sastra yang dipengaruhi oleh Hippoyte Taine
adalah Ahmad al-Syayib (kritikus abad ke20). Menurutnya faktor yang mempengaruhi
karya sastra adalah tempat tinggal sastrawannya, zaman di mana ia hidup, etnisistas,
kontak dengan bangsa lain, agama, keadaaan politik, dan lainnya seperti kritik dari
kritikus.
Flaubart (1821-1880 M) menilai bahwa pandangan Taine di atas telah menyerang
anggapan yang berlaku pada masanya bahwa kara sastra seolah merupakan meteor yang

jatuh dari langit, sebagaimana telah disinggung di atas. Sebab itu, pandangannya ini
mengalami resistensi dari kalangan yang percaya pada ilham (misteri). Flaubart
sependapat dengan Taine bahwa sekalipun segi-segi sosial tidak diperlukan dalam
penyerapan estetik, tetapi sukar bagi sastrawan untuk mengingkari keberadaannya.6
Sebagaimana dikatakan Abrams (1981), para kritikus Neo-Marxis kemudian
menegaskan teori sosiologi Taine di atas dengan berpandangan, sebagaimana Karl Marx,
bahwa segala sesuatu, termasuk di dalamnya agama, politik, dan sastra, ditentukan oleh
ideologi-ideologi dan suprastruktur-suprastruktur yang berkaitan secara dialektikal dan
merupakan akibat dari struktur dan perjuangan kelas pada zamannya. Menurut George

5
6

Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern , (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), h. 113.
Sukron Kamil, h. 114.

5

Lukacs, kritikus Neo-Marxis asal Hungaria, sebuah novel tidak hanya mencerminkan
realitas sebagai semacam fotografis, tetapi lebih dari itu, memberikan kepada

pembacanya sebuh refleksi yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih
dinamis yangmungkin melampaui pemahaman umum. Th. Adorno dari aliran Frankfurt
selanjutnya menolak pandangan Lukacs. Baginya, meskipun idealnya demikian, tetapi
sebagaimana terjadi dalam sastra avant grande sastra justru telah bersekongkol dengan
sistem ekonomi yang membentuknya, sehingga tidak mampu mengambil jarak dengan
realitas yang sudah dimanipulasi oleh sistem sosial yang ada.

D. Analisa Gadis Jakarta; Citra Sosial Politik Indonesia 1960-an
1. Citra Jakarta 1960-an
Najib menggambarkan suasana Jakarta sebagaimana dalam Gadis Jakarta;
Fatimah berjalan menyususri sepanjang jalan raya. Ia melihat Jakarta
penuh dengan kesia-siaan. Kekacauan dan ketidakpastian semakin
meningkat. Jakarta seperti kota yang dihuni kaum budak, dipenuhi nyanyian,
lolong kesakitan, dan duka. Kesulitan hidup bersembunyi di belakang aroma
harum pembicaraan. Jakarta sudah memakai baju besi yang menutupi ciri
khasnya.7
… Para penyerang keluar ruangan sambil tertawa puas, mereka
memperooleh kemenangan. Pada dada mereka terdapat lambing partai yang
dikalungkan di leher. Fatimah mengawasi tigkah polah mereka. Sejenak
kemudian bangunan sekolah roboh. Para siswa dan guru yang sedang

merawat korban panik. Sementara itu, sejumlah polisi yang menyaksikan
keadaan kacau itu hanya berpangku tangan, seolah-olah merasa lega.
“Ini bukan Jakarta yang aku kenal,”jerit hati Fatimah.8

Firman Lubis menuturkan melalui memoarnya akan ketidakpuasannya dengan
kondisi ekonomi sosial waktu itu. Menjelang peristiwa G30S, keadaan ekonomi
Indonesia sangat buruk. Inflasi melangit dan menyebabkan nilai rupiah merosot tajam
dalam waktu relative singkat. Inflasi waktu itu diperkirakan mencapai 1000% lebih.
Sebagai gambaran, ongkos naik bus umum pada 1962 masih berkisar Rp 1 berubah
menjadi Rp 1000 pada 1965. Bahan pokok untuk hidup sehari-hri sulit didapat.
Orang-orang harus mengantre untuk bisa membeli kebutuhan bahan pokok, seperti
beras, minyak goreng, minyak tanah, dan gula pasir. Ini pun hanya bisa dibeli di tooktoko sandang pangan tertentu yang ditunjuk pemerintah dan dibatasi jumlahnya.
7
8

Najib Kailani, h. 140.
Najib Kailani, h. 143.

6


Akibatnya banyak keluarga kelas bawah yang kekurangan makan. Fasilitas umum
memburuk, pasokan air PAM berhenti mengalir dan listrik seringkali mengalami
pemadaman. Meningkatnya inflasi secara tajam telah mendorong pemerintah untuk
melakukan devaluasi, memotong nilai rupiah sebesar 1000 kali pada desember 1968.9
2. Pergolakan Politik Indonesia 1960-an; Masyumi dan PKI
Partai Masyumi merupakan salah satu partai politik yang lahir dari Rahim
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Partai Masyumi didirikan pada tanggal 7
Nopember 1945 melalui muktamar umat Islam di gedung Mu’allimin Yogyakarta.
Masyumi merupakan satu-satunya partai yang berazaskan Islam yang lahir pada awal
kemerdekaan. Partai Masyumi didukung oleh organsasi-organisasi keagamaan yang
sudah eksis sebelumnya seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan lain-lain. Banyaknya
dukungan dari berbagai organisasi tersebut membuat Masyumi berkembang sangat
pesat dalam tempo ang relatif singkat. Kehadiran Masyumi sebagai partai politik di
Indonesia turut mewarnai kancah perpolitikan Indonesia. Bahkan peran politik
Masyumi sangat besar pengaruhnya terhadap perpolitikan Indonesia. Hal itu tidak
terlalu mengherankan karena Masyumi merupakan salah satu partai besar Indonesia.
Selain itu, Masyumi memiliki kader-kader yang kompeten dan berkualitas di
bidangnya serta memiliki pengaruh yang besar dalam masyarakat. Dengan kata lain
setiap periode politik atau parlemen Indonesia sejak awal kemerdekaan tidak akan
sempurna tanpa melihat peran politik Masyumi.10

Dalam Gadis Jakarta , Partai Masyumi merupakan partai protagonis yang
sangat sering disebut karena merupakan bagian dari identitas beberapa tokoh seperti
Haji Muhammad (ayah Fatimah), Abul Hasan, dan Fatimah itu sendiri. Dalam novel
ini dijelaskan bagaimana Partai Masyumi dan tokoh-tokohnya dibantai dan
diberangus oleh PKI baik fisik seperti yang terjadi pada Haji Muhammad maupun
melalui propaganda-propaganda seperti istilah-istilah yang dipakai Najib seperti
“kaum reaksioner”. Masyumi pada akhirnya dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada

9

Firman Lubis, Jakarta 1960-an Kenangan Semasa Mahasiswa, (Jakarta: Masup Jakarta, 2008), h. 236.
10
Insan Fahmi Siregar, Pasang Surut Politik Masyumi dalam Pemerintahan (1945-1960) Forum Ilmu
Sosial, vol. 35 No. 1, Juni 2008. Arikel diunduh pada 18 Juni 2015 dari:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=136511&val=5664

7

tahun

1960

dikarenakan

tokoh-tokohnya

dicurigai

terlibat

dalam gerakan

pemberontakan dari dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Partai Komunis Indonesia memiliki kira-kira tiga juta anggota dalam
barisannya dan mengklaim mendapat dukungan dari kira-kira 15 juta orang dalam
berbagai ormas di seluruh negeri pada waktu itu. Karena basis yang besar ini, maka
partai ini mampu memobilisasi pendukungnya melakukan berbagai bentuk clash of
actions di tingkat akar rumput. Pada gilirannya, hal ini memungkinkan partai untuk

mempengaruhi secara kuat dan massif lemabag-lembaga pemerintah baik pusat
maupun daerah dalam koalisi nasional partai-partai politik yang dikenal dengan
NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis). Meskipun asset yang luar biasa ini
dan kemampuan memobilisasi massa yang amat mengesankan, sehingga PKI
mendominasi lapangan politik negeri itu di tingkat akar rumput, namun elite
kepemimpinannya tetap cemas mengenai pengaruh marjinal yang dimainkan
partainya di puast kekuasaan negara, terutama sekali dalam cabinet. Partai itu hanya
memiliki tiga orang menteri saja, yaitu Aidit dan Lukman sejak tahun 1962, dan
Njoto sejak tahun 1964. Bedasarkan hal ini, maka Politbiro partai memutuskan untuk
melancarkan sebuah prakarsa yang berani, yang dikenal sebagai sebuah “ofensif
revolusioner”, untuk menonjolkan pengaruh luar-biasa yang dimilikinya di kalangan
masyarakat umum dan membawanya masuk ke dalam kabinet dan badan-badan lain
dari kekuasaan negara. Dengan kata

lain, telah tiba waktunya bagi PKI untuk

mempergunakan segala modalnya ini untuk memulai transisi perubahan dari tahap
“revolusi demokrasi nasional” di Indonesia ke suatu tahap proses revolusioner “yang
lebih tinggi”, yaitu “demokrasi rakyat”, serta membuka jalan kea rah tujuannya yang
tertinggi, yaitu memonopoli kekuasaan dalam kediktatoran kaum proletar (dictator
proletariat).11
Istilah “Partai” yang sering disebut dalam Gadis Jakarta ditengarai istilah
yang digunakan Najib Kailani untuk meyebut PKI. Meskipun tidak terang-terangan
menyebut PKI, namun Najib Kailani menyebut dengan jelas Partai Masyumi yang
notabene musuh besar PKI yang berhasil disingkirkannya dari panggung politik

11

Victor M. Vic, Kudeta 1 Oktober 1965 Sebuah Studi Konspirasi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 52.

8

Indonesia. Berbagai cara licik dan isu negatif dihembuskan PKI untuk menghabisi
lawan politiknya. Najib Kailani pun menggambarkannya dalam Gadis Jakarta :

Sang ibu tidak ikut nimbrung berbicara, ia terlihat bingung. Air bening
menggantung di kelopak matanya. Sedang Fatimah baru sadar, bahwa persoalan
tersebut telah dimanipulasi. Ia mempunyai rencana untuk menghadapi fitnah
mereka dengan cara memberitakan di media massa kebohongan-kebohongan itu. Ia
ingin menyelamatkan organisasi Masyumi yang dibenci pemerintah, dan
digambarkan sebagai gerombolan perampok dan penjahat. Mereka ingin memecah
belah Masyumi dengan menghembuskan kabar bohong mengenai perselisihan di
antara angootanya, dan krisis kepercayaan pada para pimpinan Masyumi. Mereka
juga berusaha memojokkan Masyumi dengan mengidentikkan organisasi itu
sebagai organisasi yang melawan pemerintah, bahkan tuduhan itu juga dialamatkan
pada para anggota Masyumi secara pribadi. 12

Pasca kegagalan pemberontakan PKI 1948, orang-orang komunis kembali
mendapatkan posisinya dengan berbagai cara, seperti dengan memperluas control
dan pengaruh mereka terhadap gerakan serikat dagang; organisasi-organisasi petani
dan pemuda dari sejumlah partai kecil yang mewakili isu-isu daerah atau ras tertentu
(seperti Cina), bermesraan dan bermain-main dengan fraksi-fraksi kepemimpinan
PNI; tidak henti-hentinya berkampanye menyingkirkan Masyumi di samping juga
berusaha mengangkat nama PSI; memelihara hubungan baik dengan Presiden
Soekarno sampai-sampai Soekarno tidak bisa menimbang keuntungan dan kerugian
dukungan PKI.13

E. Analisa Ikonitas Tokoh dalam Tokoh-tokoh Gadis Jakarta
Novel bertemakan historis ini sangat menarik apabila kita coba hubungkan tokoh-tokoh
yang ada di dalamnya dengan tokoh real-nya. Meskipun tidak semua tokoh ditenggarai
ada tokoh aslinya, melainkan tokoh-tokoh ciptaan pengarang sendiri yang membangun
alur cerita.
1. Fatimah; sang tokoh utama merupakan seorang mahasiswi salah satu perguruan tinggi
di Jakarta yang berwatak pemberani dan kritis terhadap ketimpangan sosial yang
12

Najib Kailani, h. 96.
Peter Kasenda, Sukarno Marxisme dan Leninisme Akar Pemikiran Kiri dan Revolusi Indonesia, (Depok:
Komunitas Bambu, 2014), h. 104.
13

9

terjadi di sekelilingnya. Meskipun tokoh yang sentral dalam kisah Gadis Jakarta
namun Fatimah hanya sebagai tokoh utama pengantar namun membangun cerita
secara keseluruhan.
2. Abul Hasan; Tunangan Fatimah ini berwatak penuh dedikasi, responsibility yang
tinggi terhadap keluarganya, dan begitu menyayangi dan mencintai Fatimah. Ia
dipenjara oleh “Partai” karena dianggap membahayakan. tidak ada petunjuk yang
jelas dengan tokoh yang real sama seperti Fatimah.
3. Haji Muhammad; seorang pentolan Partai Masyumi yang menjadi sasaran penculikan
dan penganiayaan PKI terhadap tokoh-tokoh oposisinya. Bertabiat gigih, dan teguh
pendirian terutama terhadap keimanannya. Namun tidak ditemukan ciri-ciri spesifik
dalam Gadis Jakarta yang merujuk ke tokoh Masyumi tertentu, mengingat dalam
kenyataannya, banyak sekali para tokoh agama dan Masyumi yang menjadi sasaran
penculikan PKI.
4. Az-Zaim; tokoh antagonis dalam karya Najib Kailani ini identik dengan D.N. Aidit.
Hal ini diungkap Najib mengenai identitas Aidit;
“Engkau harus menyadari posisimu sebagai istri seorang pemimpin
partai, perdana menteri, anggota dewan Konstituante, anggota
parlemen, dan wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, serta
orang yang memperoleh penghargaan tertinggi dari negara”, ujar AzZaim sombong.14
D.N. Aidit dalam realitanya merupakan Ketua Central Committee PKI, salah

seorang menteri dalam kabinet Dwikora dan sempat menjabat sebagai wakil ketua
sementara MPR RI 1965. Bukti lain yang menunjukkan bahwa Az-Zaim identik
dengan D.N Aidit adalah ketika peristiwa Az-Zaim melarikan diri dari kejaran tentara
sebagaimana diungkap Najib;
Kedua orang itu segera mencari cara untuk bersembunyi, dan akhirnya
mereka menemukan tempat aman, di belakang lemari. Ia merasa
tercekik berada di tempat yang sempit, perasaan takut dan khawatir
akan dibunuh menjalarinya. Ia teringat masa lalu, ketika ribuan orang
mendengarkan ceramahnya yang berapi-api, sambutan hangat saat ia
berkunjungan ke luar negeri, dan peristiwa-peristiwa lain. Semua kini
sudah berlalu. Bahkan istrinya pun tidak berada di sampingnya.15

14
15

Najib Kailani, h. 4.
Najib Kailani, h. 210.

10

… Salah seorang tentara memeriksa di sekitar lemari. Ia berusaha
melongok ke belakang lemari sambil berkata memberi perintah, “Saya
mencium aroma kejahatan, tolong bantu pindahkan lemari ini”
Setelah lemari dipindahkan, mereka menemukan Az-Zaim.16

Penangkapan DN Aidit dilakukan pada 22 November 1965, pukul 23.00 WIB.
Aidit diciduk dari tempat persembunyiannya, di dalam rumah Kasim alias
Harjomartono, di Kampung Sambeng, Solo, Jawa Tengah. Sebelum ke rumah Kasim,
Aidit sempat sembunyi di beberapa tempat. Nahas, di rumah Kasim lah dia berhasil
dijemput paksa tentara bersenjata lengkap ke Loji Gandrung, Solo, tempat
peristirahatan AD. Saat berada di rumah Kasim, sebenarnya Aidit memiliki peluang
untuk melarikan diri. Sebab, saat penggerebekan pertama dilakukan di rumah itu,
tentara tidak berhasil menemukan tempat persembunyiannya. Bahkan, setelah rumah
itu diobrak abrik, hasilnya tetap nihil. Tentara sempat berpikir Aidit telah berhasil
melarikan diri. Namun, pihak intelijen bersikeras dia masih berada dan sembunyi di
dalam rumah Kasim. Akhirnya, Kasim diangkut tentara ke markas, lalu
menginterogasinya. Diduga tidak tahan dengan siksaan dan takut dengan ancaman
tentara, Kasim buka mulut dan menunjukkan lokasi Aidit bersembunyi. Dari markas,
tentara kembali membawa Kasim ke rumahnya. Di sana, sebagian tentara masih
melakukan pengepungan. Di hadapan moncong senapan, Kasim lalu menggeser
lemari di salah satu ruangan rumahnya. "Keluar dari tempat persembunyian! Atau
rumah ini saya bakar," katanya menggertak.17 Merasa terdesak, Aidit pun bersuara
dari balik persembunyiannya, lalu membuka pintu, dan keluar dari balik lemari. Aidit
bertubuh pendek, dan kulitnya bersih. Dia pun balik menggertak Letnan Ming
Priyatno. "Saya Menteri Koordinator (Menko), utusan Paduka yang Mulia Presiden
Soekarno. Saudara mau apa?" balasnya menggertak. Mendapat gertakan Aidit, Letnan
Ming Prayitno sempat kecut dan menjawab pelan."Saya hanya menjalankan tugas
untuk menangkap," katanya. Aidit lalu menjawab, "Baik. Tetapi saya diperlakukan

16

Najib Kailani, 211.
17
Bakri AG Tianlean, Bung Karno Antara Mitos dan Realita, Dana Revolusi, (Michigan: Komite Penegak
Keadilan dan Kebenaran, 2002), h. 153.

11

sebagai Menko," katanya tegas. Demikian drama penangkapan Aidit di Solo, Jawa
Tengah.18
5. Paduka
Mungkin sosok Paduka ini bisa dibilang mudah ditebak. Ya Soekarno.
Beberapa perangai dan karakteristik Soekarno ditemukan dalam Gadis Jakarta ini;
“Aku takut engkau akan menjadi seperti Paduka yang menulis banyak
buku tentang perjuangan hak-hak perempuan, namun pada saat yang
bersamaan ia menikahi banyak wanita. Sungguh aku benci laki-laki
seperti itu”.
“…Aku mempunyai antologi puisi yang mengagungkan mereka”.
Kata Paduka sambil tertawa. “Engkau adalah murid yang cerdas
dalam berpidato,” ujar Paduka sambil menepuk pundak Az-Zaim.
Paduka memang dikenal sebagai seorang orator yang ulung.19

6. Jenderal Besar
Soeharto digambarkan oleh Najib Kailani sebagai seorang Jenderal Besar.
setidaknya terlihat dalam petikan Gadis Jakarta berikut:
“…Jenderal Besar telah menguasai situasi, ia telah mengepung ibukota
dan akan menghabisi kaum revolusioner. Angkatan bersenjata sedang
menyisir kota-kota besar dan kita terdesak..”20

Pada pagi hari 1 Oktober 1965, setelah menerima laporan tentang segala
sesuatu yang terjadi, Panglima Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat
(KOSTRAD) Mayor Jenderal Soeharto segera bertindak cepat. Karena pimpinan
Angkatan Darat lumpuh berkenaan dengan penculikan dan pembunuhan-pebunuhan
yang dilakukan oleh Gerakan 30 September, dan sesuai dengan kebiasaan yang
berlaku bahwa apabila Menteri/Panglima Angkatan Darat berhalangan, Panglima
KOSTRAD yang mewakilinya, maka untuk sementara pucuk pimpinan Angkatan
Darat dipegang oleh Mayor Jenderal Soeharto. Dengan menggunakan unsur-unsur
Kostrad yang ada di Jakarta pada waktu itu, yaitu Resimen Para Komando Angkatan
Darat (RPKAD) sekarang bernama Komando Pasukan Khusus dan Batalyon 328/Para
Kujang/Siliwangi, tindakan penumpasan dimulai. Pasukan-pasukan yang berdiri di
18

http://daerah.sindonews.com/read/985191/29/hari-terbunuhnya-dn-aidit-1428147661. Artikel diakses pada
20 Juni 2015 pukul 00.42 WIB.
19
20

Najib Kailani, 134.
Najib Kailani, h. 198.

12

pihak pemberontak yang berada di sekitar Lapangan Merdeka segera dapat
dinetralisasi. Anggota-anggota pasukan Batalyon 530/Brawijaya dan sebagian
anggota Batalyon 454/Diponegoro mundur ke Pangkalan Halim.21 Maka jelas yang
dimaksud Najib akan tokoh Jenderal Besar adalah Soeharto.

F. Kesimpulan
Novel ini bercerita tentang romantika yang dilatarbelakangi oleh genre historis,
yakni peristiwa G30S/PKI. Dimana penulis menceritakan bagaimana situasi dan kondisi
khususnya ibukota sebelum dan sesudah pemberontakan tersebut.
Novel ini menarik untuk dibahas dengan pendekatan sosiologis dan konteks
sejarah yang melatarbelakanginya. Selain itu menarik pula bagaimana penulis
memberikan simbol bagi para tokoh-tokoh dalam novel ini. Seperti Soekarno disebut
Najib Kailani sebagai Paduka, Soeharto disimbolkan dengan Jenderal Besar, dan
khususnya tokoh antagonisnya yakni Az-Zaim ditengarai sebagai D.N. Aidit.
Novel yang ditulis Najib ini memberikan gambaran betapa peristiwa G30S/PKI
ini sangat berpengaruh tidak hanya nasional tetapi dunia internasional. Karena G30S/PKI
ini bisa dikatakan efek dari pengaruh perang dingin antara blok Barat dan Timur
meskipun Presiden Soekarno dalam berbagai kesempatan menyatakan sikap tidak
memihak melalui KTT non-Blok dan konferensi internasional lainnya. Namun adanya
Nasakom merupakan buah dari adanya paham blok Timur dalam hal ini komunisme
mulai masuk mempengaruhi Indonesia.
Najib Kailani juga menyoroti konflik antara PKI dan lawan-lawan politiknya,
khususnya Masyumi. Bagaimana PKI mengganyang Masyumi dengan propaganda21

Sekretariat Negara RI, 30 Tahun Indonesia Merdeka 1965-1973, (Jakarta: Tira Pustaka, 1983), h. 28.

13

propaganda negatifnya. Meskipun pada akhirnya pertarungan politik dimenangkan oleh
PKI karena Masyumi dibubarkan Presiden Soekarno pada 1960. Penulis menyiratkan
keberpihakannya terhadap Masyumi ditengarai karena kedekatan ideologis Mesir yang
diwakili Ikhwanul Muslimin dengan Indonesia yang diwakili Masyumi itu sendiri.
Begitu juga kondisi sosial ekonomi Indonesia, ibukota khususnya tidak luput dari
pandangan Najib Kailani. Carut marut ekonomi dan inflasi turut mengoyak Indonesia
yang masih hijau saat itu. Sangat tepat bila sebuah karya sastra merupakan media
recording masa lalu bila kita mengkaji novel Gadis Jakarta karya Najib Kailani ini.

G. Daftar Bacaan
AG Tianlean, Bakri. Bung Karno Antara Mitos dan Realita ; Dana Revolusi, Michigan:
Komite Penegak Keadilan dan Kebenaran, 2002.
Christomy,Tommy. Pengantar Semiotika Pragmatik Pierce; Nonverbal dan Verbal,
makalah dalam penelitian semiotika yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya Universitas Indonesia tanggal 23-26 September
2001.
Kailani, Najib. Gadis Jakarta, terj. Pahrurjoji Muhammad Bukhori, Yogyakarta: Navila,
2006.
Kutha Ratna, Nyoman. Paradigma Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Lubis,Firman. Jakarta 1960-an Kenangan Semasa Mahasiswa , Jakarta: Masup Jakarta,
2008.
M. Vic, Victor. Kudeta 1 Oktober 1965 Sebuah Studi Konspirasi, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008.
Sekretariat Negara RI, 30 Tahun Indonesia Merdeka 1965-1973, Jakarta: Tira Pustaka,
1983.
14

Siregar, Insan Fahmi. Pasang Surut Politik Masyumi dalam Pemerintahan (1945-1960)
Forum Ilmu Sosial, vol. 35 No. 1, Juni 2008. Arikel diunduh pada 18 Juni 2015
dari: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=136511&val=5664.
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern , Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2009.
Sukiman,Uki. Ikonitas dalam Novel Hamamah Salam Karya Najib Kailani, h. 117.
Artikel diunduh dari: http://digilib.uinsuka.ac.id/7933/1/UKI%20SUKIMAN%20IKONITAS%20DALAM%20NOVEL
%20HAMAMAH%20SALAM%20KARYA%20NAJIB%20AL-KAILANI.pdf.
http://daerah.sindonews.com/read/985191/29/hari-terbunuhnya-dn-aidit-1428147661.
Artikel diakses pada 20 Juni 2015 pukul 00.42 WIB.

15