FENOMENA UNDERPRICE DALAM INITIAL PUBLIC

FENOMENA UNDERPRICE DALAM INITIAL PUBLIC OFFERING (IPO):
SUATU IMPLIKASI ASIMETRI INFORMASI DAN LEMAHNYA
BARGAINING POWER EMITEN PASAR MODAL
F.X. Kurniawan Tjakrawala 1

TY
ER
OP
PR

Pendahuluan

Penawaran saham di pasar perdana (IPO/Initial Public Offering) merupakan salah satu
masalah yang mengundang pertanyaaan bagi para peneliti yang bergelut di bidang
keuangan dan pasar modal. Hal ini disebabkan, pada umumnya IPO—tak hanya

perusahaan swasta, namun juga BUMN—memberikan abnormal return yang positif bagi
para pemodal dengan segera setelah saham-saham tersebut diperdagangkan di pasar
sekunder. Kendati imbas dari krisis moneter amat terasa bagi dinamika bursa efek di

OF


Indonesia, namun fenomena yang terjadi dalam IPO tetap relevan untuk dikaji.
Hasil penelitian Ritter (1984); Rock(1986); Barry & Jennings(1983) merupakan

KU

sejumlah contoh penelitian yang menunjukkan fenomena di atas. Untuk kasus di

RN

Indonesia, telah dilakukan penelitian oleh Suad Husnan (1991 dan 1996) dan Agus
Sukarsono (1996). Keadaan ini menyiratkan bahwa sejatinya harga saham pada saat

IA

IPO relatif terlampau murah, sehingga para investor yang membeli di pasar perdana

WA

dapat memperoleh abnormal return yang positif. Bahkan sinyalemen majalah Forbes

edisi 28 Februari 1994 mengungkapkan bahwa para investor di Bursa Efek Inggris akan

N

memperoleh abnormal return sebesar 32% untuk saham BUMN yang dijual kembali

TJ

pada minggu pertama di pasar sekunder, setelah privatisasi di pasar perdana. Angka
32% berarti bahwa abnormal return yang diperoleh adalah positif karena dalam waktu

AK

beberapa minggu setelah dijual di bursa sekunder ternyata tingkat keuntungan pasar

RA

jauh di bawah 32%.

Mengapa para investor dapat memperoleh abnormal return positif pada ming-gu


WA

pertama di bursa sekunder ? Apabila pada saat IPO harga saham dinilai terlampau
murah, tidakkah hal ini merugikan emiten ? Dan mengapa emiten bersedia menerima

LA

harga yang relatif murah dari underwriter ? Di dalam artikel ini disajikan sejumlah hasil

,C

penelitian dari kalangan akademisi mancanegara dan domestik, sehingga diharapkan

mampu menjelaskan bahkan memberikan justifikasi tentang fenomena underprice

moneter di Indonesia yang berawal sekitar paruh kedua tahun 1997.

1


Dosen tetap Prodi S1 Akuntansi , Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara, Jakarta.

Published in JURNAL AKUNTANSI Vol. III/03/I/1999, pp.77-87; ISSN: 1410 – 3591

A

dalam IPO. Penyajian data dibatasi dalam rentang waktu sebelum terjadinya krisis

2

Kecenderungan Underprice Dalam Initial Public Offerings(IPO)
Bursa perdana/Primary Market diartikan sebagai suatu penjualan perdana atas
efek/sertifikat yang dilakukan pada saat belum diperdagangkan di bursa sekunder. Pada
bursa ini, efek/sertifikat diperdagangkan dengan harga emisi/nominal. Sebaliknya, bursa

TY
ER
OP
PR


sekunder adalah penjualan efek/sertifikat setelah bursa perdana berakhir. Pada bursa
ini efek/sertifikat diperdagangkan dengan harga/kurs pasar (PT Persero Danareksa,
1986)

IPO merupakan penawaran umum saham pada publik oleh emiten perusahaan

publik. Dalam SK Menkeu No. 1548/90 disebutkan bahwa penawaran umum diartikan
sebagai penawaran efek yang dilakukan dengan menggunakan media massa atau
ditawarkan kepada lebih dari 100 pihak atau telah dijual kepada 50 pihak. IPO seringkali

OF

dinanti-nantikan oleh para investor karena—sebagaimana ditengarai oleh sejumlah
peneliti akademisi—memberikan abnormal return yang positif saat kembali dijual oleh

Aggarwal, 1994).

RN

KU


para investor pada minggu pertama setelah diperdagangkan di bursa sekunder (Kunz &

Harga saham dikatakan mengalami underprice dalam IPO jika saham-saham

IA

tersebut mulai diperdagangkan di bursa sekunder dengan harga yang lebih tinggi
daripada harga penawaran di bursa perdana. Adapun model yang digunakan oleh para

WA

akademisi dalam mengamati underprice adalah dengan model abnormal return.

N

Formula abnormal return adalah sebagai berikut:

AK


TJ

Abnormal Return = Actual Return – Expected Return
Bilamana abnormal return bernilai (+) berarti actual return ! expected return. Sebaliknya

RA

bilamana abnormal return bernilai () berarti actual return  abnormal return. Adapun
return dihitung dengan formula sebagai berikut:

WA

=
=
=

return saham
harga saham pada periode t + 1
harga saham pada periode t


A

R
Pt + 1
Pt

,C

dimana:

LA

R = (P t +1 - P t ) : P t

Oleh karena pada dasarnya investor tak dapat mengetahui secara pasti mengenai hasil
pengembalian dari investasinya di masa yang akan datang, maka investor hanya dapat
memperhitungkan

tingkat


keuntungan

yang

diharapkan

dan

seberapa

besar

kemungkinan hasil yang diperoleh akan menyimpang daripada yang diharapkan.
Published in JURNAL AKUNTANSI Vol. III/03/I/1999, pp.77-87; ISSN: 1410 – 3591

3

Kemungkinan penyimpangan ini yang dikenal dengan risiko investasi saham.
Fenomena underprice dalam IPO menarik minat sejumlah peneliti/akademisi. Adapun
penelitian terhadap fenomena ini demikian luas dan bersifat universal di hampir seluruh

pasar modal dunia. Tabel 1 menyajikan sejumlah hasil penelitian yang dilakukan oleh
akademisi mengenai fenomena underprice di bursa efek dunia.

TY
ER
OP
PR

Para akademisi sebagaimana tersaji dalam Tabel 1 menggunakan pendekatan

event study, dan menemukan bahwa para investor masih dapat memperoleh abnor-mal

return yang positif dan signifikan sampai minggu pertama setelah saham masuk ke
pasar sekunder. Kendati demikian setelah memasuki minggu-minggu berikutnya, harga
saham cenderung turun. Hal ini menunjukkan bahwa investor membeli saham di pasar
perdana lalu menjualnya di pasar sekunder hingga akhir minggu pertama, maka investor
akan mendapatkan keuntungan yang relatif besar. Adapun keuntungan terbesar yang

OF


diperoleh investor di pasar sekunder bukanlah diakibatkan oleh kinerja perusahaan
emiten yang membaik setelah IPO. Selain itu juga bukan berarti pertumbuhan

KU

pendapatan perusahaan meningkat setelah IPO. Akan tetapi hal ini semata adalah

RN

karena harga saham dalam IPO dijual relatif lebih rendah daripada harga pasar
Tabel 1. Penelitian terhadap Masalah underprice dalam IPO

Periode Sampel
1966-1978
1980-1990
1971-1983
1982-1991
1986-1987
1978-1983
1079-1984
1984-1986
1978-1983
1987-1990
1982-1987
1978-1983
1975-1984
1980-1988

N

WA

Abnormal return
(IPO dalam %)
29.20
78.50
11.00
16.30
25.05
13.80
51.90
37.00
166.67
2.80
5.10
39.40
14.32
14.08

RA

AK

TJ

Sumber: Roger M. Kunz. (1994).Journal of Banking and Finance. Hal.15.

WA

Australia
Brazil
Canada
Chile
Perancis
Hongkong
Jepang
Korea
Malaysia
Mexico
Belanda
Singapura
USA
Inggris

Peneliti & Tahun
Penelitian
Higham;1988
Aggarwal;1993
Ridding;1987
Aggarwal;1993
Jenkinson;1990
Dawson;1987
Dawson;1985
Lee kim;1990
Dawson;1990
Aggarwal;1993
Wessels;1989
Dawson;1987
Ritter;1991
Levis;1993

IA

Negara

LA

Kasus underprice dalam IPO di bursa efek Indonesia—dalam hal ini, sampel yang
diambil di BEJ—dilakukan antara lain oleh Suad Husnan beserta Mamduh M. Hanafi

,C

(1991), dan Agus Sukarsono (1996). Suad Husnan (1996) cenderung mengamati

lebih berorientasi pada perusahaan pada umumnya di BEJ.
Agus Sukarsono (1996) melakukan pengolahan data atas 31 sampel
perusahaan yang melakukan IPO di BEJ dalam kurun waktu 1994. Sukarsono
melakukan penghitungan dengan menggunakan Market Adjusted Model dan Single

Published in JURNAL AKUNTANSI Vol. III/03/I/1999, pp.77-87; ISSN: 1410 – 3591

A

fenomena underprice pada emisi saham BUMN di BEJ. Sedangkan Agus Sukarsono

4

Index. Secara keseluruhan saham-saham emiten di BEJ—sebagaimana dalam sampel
yang diambil—mengalami rerata underprice sebesar 15,58% untuk market adjusted.
Sedangkan untuk single index rerata sebesar 15,69%. Tabel 2 menyajikan abnormal
return pada hari pertama perdagangan.

TY
ER
OP
PR

Tabel 2. Abnormal return pada hari Pertama Perdagangan dari 31 (Tiga Puluh Satu)
Perusahaan yang melakukan IPO di BEJ dalam periode 1994
Market Adjusted Model
(AR dalam %)
Andiyani
17,60
Aneka Kimia
5,55
Anwar Sierad
19,18
Barito Pasific
52,77
Ciputra Dev.
5.76
Concord
29,59
Dasa Varia
17,60
Evershine
1,76
Gandawangsa
9,57
Indosat
17,85
Indosepamas
44,07
Jaya Real
5,79
Kabel Metal
14,28
Kabelindo
13,33
Kedaung
56,73
Lion Metal
53,48
Mas Murni
0,92
Matahari
11,18
Modern Land
1,07
Multi Breeder
6,94
Perdana CMF
19,44
Pudjiadi Wiratama
2,00
Putra Surya
14,70
Sekar Laut
37,20
Smart Corp
-Sorim Corp.
12,50
Sumalindo Jaya
-Tancho
3,40
Tempo Scan
1,51
Tira Austine
19,35
Sumber : Agus Sukarsono, 1996
Emiten

OF

N

WA

IA

RN

KU

RA

AK

TJ

Single Index
(AR dalam %)
17,94
5,62
19,28
52,57
8,76
29,56
17,69
1,16
9,17
17,82
44,67
5,86
13,98
13,00
56,70
53,38
1,42
11,28
0,81
8,44
19,37
2,00
18,70
37,23
0,07
11,90
0,70
3,28
1,49
19,05

WA

Di samping melakukan penghitungan underprice secara umum, Sukarsono juga
melakukan pengujian untuk membuktikan apakah benar perusahaan besar mengalami

LA

underprice yang lebih kecil daripada perusahaan kecil. Berkaitan dengan hal ini, Ia

H0 :

Derajat underprice perusahaan besar tidak lebih kecil daripada
derajat underprice perusahaan kecil.

H1 :

Derajat underprice perusahaan besar lebih kecil daripada derajat
underprice perusahaan kecil.

Published in JURNAL AKUNTANSI Vol. III/03/I/1999, pp.77-87; ISSN: 1410 – 3591

A

,C

mengajukan hipotesis sebagai berikut:

5

Dari 31 sampel yang diambil oleh Sukarsono, 13 di antaranya termasuk kategori
perusahaan skala besar; sembilan perusahaan berkategori menengah; dan sisanya
sebanyak sembilan perusahaan lagi berkategori kecil. Sementara itu, ia pun melakukan
uji-t dengan D = 10 % dan derajat bebas (d.f) yakni 20. Berikut ini dalam Tabel 3
disajikan tentang hasil penelitian Agus Sukarsono. Dengan D = 10 %; d.f = 20, diperoleh

TY
ER
OP
PR

t-statistik sebesar - 1,325, sedangkan t-hitung sebesar -1,51 untuk market adjusted

dan untuk single index sebesar -1,50. Dengan demikian. Hipotesis Nol yang
menyatakan bahwa derajat underprice yang dialami oleh perusahaan besar tak lebih
kecil daripada perusahaan kecil ditolak dan Hipotesis Satu diterima.
Tabel 3. Rerata Underprice berdasarkan Size perusahaan di BEJ dalam periode 1994

Emiten

Market Adjusted Model
(AR dalam %)

Single Index
(AR dalam %)

11,63
14,70
22,18

17,94
14,69
22,14

OF

Perusahaan Besar
Perusahaan Menengah
Perusahaan Kecil
Sumber :Agus Sukarsono (1996)

KU

Sukarsono selanjutnya menyatakan bahwa karena informasi yang diberikan oleh

RN

perusahaan besar relatif lebih andal bagi investor dalam menyikapi ketidakpastian di

IA

masa mendatang, maka ketidakpastian yang dihadapi oleh investor perusahaan besar
dapat ditekan sekecil mungkin. Akibatnya harga saham yang terjadi dalam IPO

WA

mendekati kewajaran sehingga abnormal return-nya tidak terlampau besar saat
diperdagangkan di pasar sekunder.

N

Adapun Suad Husnan (1996) melakukan penelitian terhadap saham BUMN di

TJ

BEJ guna mengamati kecenderungan underprice dalam IPO. Sampai dengan bulan Juli

AK

1996, terdapat empat BUMN yang listing di BEJ yakni: SEMEN GRESIK;
INDOSAT;TAMBANG TIMAH; dan TELKOM. Khusus Semen Gresik hanya melakukan

RA

penjualan saham di bursa domestik dan melakukan penjualan saham terbatas kepada

WA

pemegang saham lama (right issue). Sementara itu, Tambang Timah; Indosat; dan
Telkom hanya melakukan IPO, baik di pasar domestik maupun internasional.

LA

Kese-luruhan dana yang terhimpun dari bursa efek—baik domestik maupun
internasional—mencapai jumlah Rp 6.692,225 miliar. Namun tak semua dana tersebut

,C

masuk ke perusahaan, karena dana yang dihimpun di bursa efek internasional diambil

negeri yang relatif berbunga tinggi. Adapun dana yang digunakan untuk melunasi
sebagian utang perusahaan sebesar Rp 4.896,9 miliar. Husnan juga melakukan
pengamatan untuk periode jangka pendek (d 30 hari) dan jangka panjang (d 90 hari).
Tabel 4 menyajikan Cummulative Abnormal return (CAR) saham-saham keempat

Published in JURNAL AKUNTANSI Vol. III/03/I/1999, pp.77-87; ISSN: 1410 – 3591

A

oleh pemilik—dalam hal ini pemerintah—dan digunakan untuk melunasi pinjaman luar

6

BUMN di atas. CAR diambil untuk periode pengamatan jangka panjang. Formula CAR
adalah sebagai berikut (Watts & Zimmerman, 1986) :

T

¦

CAR =

AR i,t

t 1

TY
ER
OP
PR

Dalam hal ini Ar i,t adalah average abnormal return saham I pada waktu t, dan t dimulai

dari hari ke-1 sampai dengan hari ke-T. Dengan menggunakan T = 90 hari bursa, maka
analisis Husnan terhadap ke empat saham BUMN yang go public tersaji dalam Tabel 4.
Tabel 4. CAR masing-masing saham BUMN yang Go Public selama 90 hari bursa
setelah mulai diperdagangkan.

Hari ke-n

GRESIK

INDOSAT

OF

1
-4.73
10
-5.57
20
-7.59
30
-17.38
40
-28.47
50
-34.35
60
-21.53
70
-17.21
80
-20.67
90
-12.93
Sumber : Suad Husnan (1996: 70)

RN

KU

19.76
17.64
18.21
23.69
23.72
18.12
17.81
18.02
23.4
25.69

TIMAH

TELKOM

-0.9
-0.81
-8.17
-2.44
-8.8
-5.7
-14.02
-7.8
-2.02
3.31

5.88
7.71
23.5
28.09
28.4
31.73
37.89
39.88
41.11
39.14

Tabel 4 menyiratkan bahwa rerata CAR selalu positif, meskipun secara

IA

individual tidaklah demikian. Oleh karena jumlah sampel hanya empat, maka Husnan

WA

tak melakukan analisis statistik, dan hasil perhitungan di atas hanya bermakna indikatif
semata. Kalau diperhatikan kinerja individual IPO saham BUMN, maka abnormal return

N

positif hanya disumbangkan oleh Telkom dan Indosat. Sedangkan kinerja Tambang

TJ

Timah dan Semen Gresik selama 90 hari bursa pertama hampir selalu tak lebih baik dari

AK

pasar. Perkembangan CAR harian dari saham-saham tersebut selama 90 hari bursa
tersaji dalam Gambar 1.

RA

Gambar 1. Perkembangan CAR Saham BUMN selama 90 hari Pengamatan

40

GRESIK

20

INDOSAT
TIMAH

0
10

20

30

40

50

60

70

80

90

TELKOM

-40
Hari
Sumber : Suad Husnan (1996)

Published in JURNAL AKUNTANSI Vol. III/03/I/1999, pp.77-87; ISSN: 1410 – 3591

A

-20 1

,C

CAR

LA

60

WA

Perkembangan CAR selama 90 hari Pengamatan

7

Informasi Relevan dan Distribusi Informasi dalam Keputusan Investasi
Informasi merupakan serangkaian data yang telah diolah untuk disajikan sebagai
bahan acuan dalam pengambilan keputusan. Dalam bursa efek, informasi merupakan
faktor penting untuk pengambilan keputusan investasi. Hal ini terjadi karena

TY
ER
OP
PR

harga-harga saham yang terbentuk di pasar, menurut hipotesis pasar yang efisien
merupakan cerminan dari seluruh informasi yang relevan. Dalam memutuskan aktivitas investasi dikenal dua kategori gaya investasi/investment style yakni (Foster, 1986):
1) Active Investment Style, yang mengasumsikan bahwa pasar modal mengalami
mispriced securities dan investor berupaya untuk mendeteksi dan mengekploitasi
misprice ini.

2) Passive Investment Style, yang mengasumsikan bahwa pasar modal tak

OF

mengalami mispriced securities atau jika memang ada investor tak memiliki
kemampuan untuk mendeteksi dan mengeksploitasi.

KU

Investor yang bergaya aktif sangat memperhatikan informasi di bursa. Terdapat

RN

tiga pendekatan terhadap gaya aktif investor yakni: tehcnical analysis; market analysis;
dan fundamental analysis. Analisis fundamental menjadi sangat relevan dengan

IA

kebutuhan informasi. Fundamental analysis mengasumsikan bahwa saham memiliki

WA

nilai intrinsik yang dapat ditentukan berdasarkan earnings; capital structure; dan
potential growth. Dengan membandingkan harga aktual yang tercermin dari kinerja

N

fundamental tersebut dengan harga pasar, maka dapatlah ditentukan apakah suatu

TJ

saham mengalami underprice atau overvalue (Foster, 1986). Underprice bermakna

AK

bahwa harga pasar lebih rendah dari harga aktual, sedangkan overvalue bermakna
bahwa harga pasar lebih besar dari harga aktual. Kualitas informasi—yakni seberapa

RA

jauh informasi mencerminkan keadaan sebenarnya; lengkap; dan jujur—sangat erat
dengan distribusi informasi, yakni seberapa jauh informasi yang tersedia menyebar ke

WA

pihak-pihak yang terkait seperti: emiten; underwriter; dan investor. Distribusi informasi

LA

terdiri dari dua kondisi yakni: Informasi simetri, yakni informasi yang menyebar secara
merata ke semua partisipan pasar; serta informasi asimetri, yakni informasi yang

,C

menyebar secara tak merata di antara para partisipan pasar dimana terdapat pihak yang

Published in JURNAL AKUNTANSI Vol. III/03/I/1999, pp.77-87; ISSN: 1410 – 3591

A

memiliki informasi lebih dari pihak lain.

8

Teori segmentasi pasar berkaitan dengan seberapa jauh emiten bersedia
membuka diri guna menyajikan informasi secaraa lengkap dan jujur yang tentu saja
mempengaruhi keseimbangan distribusi informasi dalam bursa efek. Teori ini
membedakan pasar menjadi pasar perdana dan pasar sekunder. Pada umumnya
informasi di pasar perdana relatif kurang menyebar sehinga cenderung menimbulkan

TY
ER
OP
PR

informasi asimetri.

Penilaian Harga Saham Pada Kondisi Informasi Asimetri Dan Bargaining
Power Emiten
Penilaian harga saham pada kondisi informasi asimetri yang terjadi di bursa efek,

tentu berimplikasi terhadap pertimbangan yang relatif kompleks. Akibat dari kondisi
asimetri informasi menyebabkan adanya mispriced dalam harga saham di pasar

OF

perdana. Hal ini dapat dimaklumi mengingat pembentukan harga di pasar perdana akan
tergantung pada perundingan antara emiten dengan underwriter . Dalam perundingan

KU

tersebut, para underwriter memiliki informasi yang relatif lebih banyak daripada emiten,

RN

dan memanfaatkan informasi tersebut untuk memperkecil resiko. Sebagimana diketahui
bahwa bentuk perundingan antara emiten dengan underwriter dibedakan menjadi tiga

IA

jenis yakni (Anwar, 1991):

menjamin dengan kesanggupan sepenuhnya.

WA

1) Full Commitment: underwriter

Artinya bila ada saham yang tak terjual maka underwriter akan memborong seluruh

N

sisa saham tersebut.

TJ

2) Best Effort : underwriter menjamin dengan kesanggupan terbaik. Artinya jika ada
saham yang belum terjual maka underwriter akan mengembalikan kepada emiten.

AK

3) Standby Commitment : underwriter menjamin dengan kesanggupan siaga. Artinya

harga sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui.

RA

underwriter bersedia membeli saham yang tidak habis terjual pada suatu tingkat

WA

Sebagai akibat dari kondisi informasi asimetri, emiten cenderung menekan harga

LA

saham, sehingga harga saham dalam IPO menjadi underprice. Dengan kata lain,
underprice terjadi karena kekurangtahuan pihak emiten (Husnan, 1996). Hal lain yang

,C

menjustifikasi fenomena underprice dalam IPO adalah adanya kemungkinan perubahan

melakukan IPO bermaksud meningkatkan kapasitas produksi. Investasi demikian hanya
akan dilakukan apabila diharapkan akan memberikan NPV (Net Present Value) yang
bersifat positif. NPV positif merupakan tambahan kemakmuran bagi pemegang
saham. Apabila pasar modal efisien dan tak terjadi underprice, berarti pemegang saham

Published in JURNAL AKUNTANSI Vol. III/03/I/1999, pp.77-87; ISSN: 1410 – 3591

A

prospek perusahaan setelah dilakukan IPO. Pada umumnya perusahaan yang

9

baru hanya akan menikmati NPV = 0, dan pemegang saham lama akan menikmati
seluruh NPV positif. Underprice akan terjadi bilamana pemegang saham baru juga ikut
menikmati NPV positif. Semakin besar bagian NPV yang dinikmati oleh pemegang
saham baru, semakin besar underprice-nya. Dengan demikian pemegang saham lama
mungkin akan bersedia menerima harga saham yang lebih murah di pasar perdana,

TY
ER
OP
PR

sejauh mereka masih ikut menikmati sebagian NPV positif tersebut (Brealey & Myers,

1991). Perubahan prospek ini dapat terjadi tak hanya karena perusahaan akan
melakukan investasi baru (misal: ekspansi), namun juga karena penggantian
manajemen.

Hipotesis kondisi informasi asimetri menyatakan adanya hubungan yang positif

antara derajat ketidakpastian sebagai akibat dari informasi asimetri. Makin besar
ketidakpastian akan masa depan perusahaan emiten, makin kecillah bargaining power

OF

emiten tersebut. Dengan adanya ketidakpastian dalam emisi saham suatu perusahaan,
underwriter berupaya menjaga keseimbangan underprice yakni sebagai suatu

KU

keseimbangan antara dua keadaan yang bersifat trade-off. Apabila underprice terlalu

RN

kecil, maka underwriter akan kehilangan pangsa pasar investor. Sebaliknya bila
underprice terlalu besar maka underwriter akan kehilangan pangsa pasar emiten.

IA

Hipotesis yang konsiten dengan kondisi informasi asimetri adalah hipotesis peraturan,

WA

yaitu bahwa penerapan peraturan mampu mereduksi kondisi asimetri antara
manajemen dengan pihak luar, termasuk pemegang saham. Dengan semakin

N

teraturnya suatu perusahaan, makin banyak informasi yang diungkapkan pada publik

TJ

dalam penawaran saham di pasar perdana. Itulah sebabnya perusahaan perlu bersikap

merugikan emiten (Kunz & Aggarwal, 1994:20).

RA

Sejumlah Pertimbangan Bagi Emiten Dalam IPO

AK

full disclosure dalam prospektusnya untuk meredam gejolak underprice yang relatif

WA

Emiten seyogyanya memberikan informasi secara full disclosure demi menjaga

LA

efek yang relatif merugikan harga sahamnya dalam IPO. Hal ini terutama perlu
diperhatikan oleh emiten skala kecil, yang derajat kepatuhannya terhadap regulasi pasar

,C

modal masih belum merata, dan hal ini akan merugikan posisi bargaining power emiten

pertimbangan terhadap membaiknya prospek kinerja setelah IPO, yang ditunjukkan
dengan NPV positif. Hal ini akan meningkatkan emiten terhadap underwriter . Dalam hal
ini sejatinya terjadi pembagian NPV antara pemegang saham lama dan baru. Pemegang
saham lama akan menikmati kenaikan harga saham dibandingkan bila tak ada investasi

Published in JURNAL AKUNTANSI Vol. III/03/I/1999, pp.77-87; ISSN: 1410 – 3591

A

yang bersangkutan. Pertimbangan untuk melakukan IPO perlu dilandasi dengan

10

baru (melainkan hanya untuk membayar utang, misalnya). Bilamana tak ada harapan
akan kenaikan kinerja, maka underprice akan menjadi biaya kompensasi bagi investor.
Untuk memperoleh harga yang relatif lebih tinggi, maka emisi saham pun
seyogyanya mempertimbangkan timing yang tepat. IPO yang relatif bersamaan antara
sejumlah emiten dengan jumlah yang relatif besar memunginkan tak terserapnya IPO

TY
ER
OP
PR

oleh pasar terlebih untuk bursa yang relatif kecil seperti di Indonesia. Hal ini adalah
karena penawaran yang terlampau tingi daripada permintaan di bursa menyebabkan
indeks harga saham gabungan akan mengalami penurunan. Kendati penurunan
tersebut mungkin bersifat sementara, namun mungkin disalah-tafsirkan oleh investor
bahwa keadaan bursa sedang buruk sehingga akan berdampak negatif untuk IPO.

Selain pertimbangan daya serap pasar, timing IPO maka listing di bursa efek

internasional pun dapat memberikan harga yang relatif baik. Hal ini terjadi karena dua

OF

hal: Pertama, bahwa dengan diversifikasi internasional para investor akan mampu
menghilangkan makin banyak resiko yang seharusnya mareka tanggung, sehingga

KU

mereka pun cenderung mensyaratkan tingkat keuntungan yang relatif rendah saja;

RN

Kedua, dalam konteks Capital Assets Pricing Model/CAPM internasional terdapat
potensi bahwa E saham-saham emiten Indonesia akan relatif rendah bila diamati oleh

IA

investor asing. Akibatnya tingkat keuntungan yang mereka syaratkan akan mendekati

N

Penutup

WA

risk free rate (Husnan, 1996).

TJ

Fenomena underprice terjadi dalam IPO baik di bursa efek domestik maupun

AK

internasional. Kecenderungan underprice dalam konteks informasi asimetri disebabkan
oleh kekurangtahuan emiten akan informasi dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh

RA

underwriter. Untuk menyikapi hal ini para emiten—baik skala besar, menengah, maupun

WA

kecil—perlu mempertimbangkan sejumlah hal yakni: full disclosure; timing yang tepat;
adanya harapan yang lebih baik dari ekspansi yang akan dilakukan (dalam ujud NPV

A

,C

LA

positif), serta upaya diversifikasi menembus bursa efek internasional.

Published in JURNAL AKUNTANSI Vol. III/03/I/1999, pp.77-87; ISSN: 1410 – 3591

11

Daftar Pustaka
Alli, Kasim, et.al. (1994). “ The Underpricing of Financial Institution ”. Journal of Business
Finance and Accounting. October. Hal.24-36.
Anwar, Abdul B. (1991).“ Pasar Modal Bagian 2 ”. Suplemen Usahawan Indonesia.
Oktober. Hal. 11-19.

TY
ER
OP
PR

Barry, C.B. & Jennings R.H. (1993).” The Opening Price Performance of Initial Public
Offering of Common Stock ”. Financial Management. Florida, Spring. Hal. 41-57.
Bayless, M.E. & J.D. Diltz. (1994).“ Securities Ofrings and Capital Structure Theory “.
Journal of Business Finance and Accounting. Hal. 27-40.
Brealey, R. & S. Myers. Principles of Corporate Finance. NewYork: McGraw-Hill. 1991.

Chemmanur, Thomas J.(1993).“ Pricing of Initial Public Offerings: A Dynamic Model with
Information Institution “. Jounal of Finance. March. Hal. 14-31.

OF

Dark, Frederick & R.B. Carter. (1993). “ Effect of Differential Information on The After
Market Valuation of IPO “. Journal of Economy and Business. Hal. 33-42.

KU

Eiteman, D.K.,et.al. (1995). Multinational Financial Management. Addison-Wesley
Publishing Company.

RN

Husnan, Suad. (1996).“ Penjualan Saham BUMN: Apakah Terjadi Distribusi
Kemakmuran? “ Kelola. Yogjakarta: Program Studi MM-UGM. No.13/V. Hal. 62-74.

IA

(1991). “ Efisiensi Pasar Modal Indonesia “. Jurnal Ekonomi
Indonesia. April. Hal. 36-52.

(Persero) Danareksa.(1986). Peranan PT (Persero)
Pengembangan Pasar Modal di Indonesia. Jakarta.

N

PT

WA

Kunz, Roger M. & R. Aggarwal. (1994).“ Why IPO are Underprice: Evidence from
Swetzerland “. Journal of Finance and Banking . Hal. 12-27.
Danareksa

dalam

TJ

Ritter, J. (1984).“ The Hot Issue Market of 1980 “. Journal of Business. April. Hal. 26-39.

AK

Rock, K. (1986).“ Why New Issues are Underpriced ?”. Journal of Financial Econo-mics.
January/February. Hal. 54-67.

RA

Sukarsono, Agus. “ Kualitas Informasi dan Penilaian Harga Saham pada Penawaran
Umum Perdana di BEJ (Pengamatan Periode 1994). Skripsi. FE-UGM. 1996.

WA

Watts, R. & J. Zimmerman. (1986).Positive Accounting Theory. Englewood Cliffs, New
Jersey: Prentice Hall.

A

,C

LA

Weston, J.F. & Eugene Brigham. (1993).Essential of Managerial Finance. 10th Edition.
The Dryden Press.

Published in JURNAL AKUNTANSI Vol. III/03/I/1999, pp.77-87; ISSN: 1410 – 3591