PERAN KEPEMIMPINAN VISIONER DALAM RANGKA
STRATEGIC
OUTLOOK
JURNAL POL I T I K DAN KE AMANAN NASI ONAL
EDISI 2 | OKTOBER 2015
www.dipcentre.org
Peran Kepemimpinan Visioner Dalam
Rangka Menanggulangi Ancaman
Radikalisme Di Indonesia
Pemerintahan Islam Neo-Khalifah, Tantangan
Negara Di Kancah Internasional Dalam
Perspektif Ke-indonesia-an
Opini Publik dan Kebijakan Luar Negeri
Indonesia di Timur Tengah
Partisipasi dan Konsolidasi
Demokrasi di Aras Lokal
Optimalisasi Penerimaan Pajak
Untuk Kesejahteraan Rakyat Melalui
Pendekatan Undang-Undang Tindak
Pidana Pencucian Uang
TERORISME & TANTANGAN
RADIKALISME BARU DALAM
SISTEM KEPEMIMPINAN NASIONAL
(MERANCANG STRATEGI DAN KEBIJAKAN
PENCEGAHAN TERORISME DI DUNIA MAYA)
1
JURNAL POLITIK DAN KEAMANAN NASIONAL
STRATEGIC OUTLOOK
Prof. Dr. Muhammad AS hikam
[Lektor Kepala Prodi Hubungan Internasional President University]
Peran Kepemimpinan Visioner Dalam Rangka
Menanggulangi Ancaman Radikalisme
Di Indonesia
Kepemimpinan visioner merupakan
salah satu syarat mutlak yang dibutuhkan
Indonesia dalam menghadapi berbagai
ancaman yang datang, baik dari dalam
maupun dari luar. Kepemimpinan dibutuhkan
tidak hanya dalam kapasitas dan sosok isik
saja, namun juga dalam kapasitas pandangan
yang strategis dan jauh kedepan untuk
membawa suatu perubahan yang besar bagi
rakyatya. Era reformasi yangmemberikan
ruang yang bebas bagi ajaran, pemikiran, dan
pemahaman, juga mengakibatkan masuk
dan berkembangnya gagasan dangerakan
radikal yang mengancamkeamanan nasional.
Diperlukan kepemimpinan visioner untuk
menghadapi berbagai ancaman terhadap
NKRI, termasuk radikalisme dan terosrisme.
Kata Kunci: Ancaman Terorisme,
Kepemimpinan Presiden, dan
Kepemimpinan Ulama
PendAhuluAn
Dewasa ini masyarakat internasional dan
negara-negara di dunia sedang menghadapi
tantangan yang sangat serius berupa aksiaksi terorisme yang dapat menghancurkan
keberadaan dan keberlangsungan sistem
politik dan kenegaraan yang selama ini
diabsahkan oleh hukum internasional. Bagi
Indonesia, aksi-aksi terorisme yang terjadi
sejak awal 2000, dan telah menelan banyak
korban nyawa dan harta-benda, kini menjadi
salah satu bahaya yang hadir dan nyata (a
clear and present danger) bagi keberadaan
dan keberlangsungannya. Kendati telah
dilakukan berbagai upaya penanggulanagan
terorisme, seperti operasi pemberantasan
teror oleh Polri dan TNI serta pembentukan
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT), tampaknya ancaman ini masih
belum akan mereda di waktu-waktu yang
akan datang. Aksi terorisme justru makin
bervariasi karena selama kurun waktu 20022013 telah terjadi perubahan pada modus
operandi kelompok teroris. Pada tahun
2000-an aksi teror sering dilakukan melalui
serangan bom yang berskala besar. Namun
demikian beberapa tahun terakhir, aksi teror
dilakukan melalui tindakan kriminal seperti
pembakaran, pembunuhan (assassination),
bom buku, perambokan/pembegalan dengan
dalih fa’i (rampasan perang), dan praktik
kriminal lain. Bahkan pada tahun 2013,
aksi teror lebih banyak dilakukan melalui
aksi penembakan-penembakan kepada
aparat keamanan, yaitu Polri (Solahudin,
2015). Perkembangan paling akhir adalah
munculnya ISIS (Islamic State of Iraq and
Syria)atau Negara Islam di Irak dan Syria
(NIIS). Ternyata organisasi teroris tersebut
mampu memobilisasi dukungan melalui
pendanaan yang kuat untuk merekrut relawan
yang akan berjihad ke negara wilayah konlik,
baik di Irak maupun Suriah (Jones, 2014).
Berdasarkan data yang dirilis Polri, sekitar
150 orang telah bergabung dengan ISIS, dan
jumlah ini masih terus diprediksi meningkat.
Pemerintah Indonesia saat ini masih dinilai
kurang dalam menghadapi aksi terorisme.
Selain itu, Indonesia acap kali mendapat
serangan tudingan negatif dari beberapa
pihak sebagai salah satu sarang terorisme
internasional, khususnya yang menggunakan
kedok Islam. Implikasinya adalah citra
negatif terhadap umat Muslim Indonesia
sebagai mayoritas penduduk di Indonesia.
Beberapa fakta tersebut bisa menjadi dasar
bahwa diperlukan sebuah strategi besar dan
menyeluruh dalam menghadapi aksi-aksi
terorisme yang telah, sedang, dan masih akan
mengancam keamanan nasional Indonesia.
faktor yang sangat penting di dalam strategi
tersebut adalah adanya kepemimpinan yang
visioner dan transformatif baik pada tataran
nasional dan negara (state) maupun tataran
akar rumput dalam masyarakat sipil (civil
society).
Tulisan ini bermaksud menunjukkan
bahwa kepemimpinan visioner dapat
memperkuat upaya penanggulangan
radikalisme dan terorisme yang merupakan
ancaman bagi Indonesia. Dalam
pembahasan berikut ini akan diuraikan
:1) terorisme sebagai ancaman terhadap
keamanan nasional; 2) pentingnya
masalah kepemimpinan visioner dalam
upaya penanggulangan terorisme; dan
3) kepemimpinan visioner pada tingkat
nasional (state level) dan akar rumput (grassroots level) yang dapat membantu upaya
penanggulangan terorisme di Indonesia.
Untuk memberikan gambaran yang
lebih kongkrit akan dipakai dua contoh atau
kasus. Yang pertama peran Presiden sebagai
representasi negara (state) dan kepemimpinan
22
23
EDISI 2 | OKTOBER 2015
JURNAL POLITIK DAN KEAMANAN NASIONAL
formal, sedangkan yang kedua adalah peran
ulama sebagai representasi akar rumput
(grass-roots) dan kepemimpinan informal.
terorisme sebAgAi AncAmAn terhAdAP
keAmAnAn nAsionAl
Menurut Jones (2012), terorisme
dideinisikan sebagai tindakan illegal dan
radikal yang dilakukan oleh aktor nonnegara, baik individu maupun kelompok
untuk tujuan politis, ekonomi, dan sosial
melaui penyerangan secara acak. Selain
itu, menurut Cronin (2008), terorisme
memiliki kharakteristik yang banyak, yakni
adanya unsur politis, tindakan kekerasan,
dan aksi yang tidak terduga, dimana aksi
radikal ini dilakukan oleh aktor non-negara
dengan target orang yang tidak bersalah
(innocent). Sementara itu, ada pula yang
menambahkan bahwa terorisme sebagai
upaya komunikasi politik karena mereka
mempunyai tujuan yang seragam, yaitu
ketakutan rakyat yang pada akhirnya menjadi
sukses terbesar mereka (Rahman, 2013).
Ketakutan rakyat yang terekam oleh media
tentunya akan digunakan sebagai pesan
untuk dilayangkan kepada Pemerintah
sebagai target utamanya. Pesan tersebut jelas
menandakan bahwa mereka ingin dianggap
sebagai kelompok yang tetap eksis yang
terus memperjuangkan tujuan politiknya.
Kelompok ini jelas memiliki tujuan yang
universal, yakni ingin mendapatkan perhatian
dan pengakuan, penghormatan, dan
legitimasi oleh Pemerintah sebagai bentuk
ketidakpuasan individu atau kelompok teroris
terhadap kebijakan Pemerintah (Djelantik
dalam Palembangan, 2014). Tulisan ini
akan menggunakan pengertian terorisme
mengikuti rumusan Majelis Umum PBB
tahun 1999, yaitu: “all criminal acts intended
or calculated to provoke a state of terror
in the general public, a group of person or
particular person for political purposes are
in any circumstance, unjustiiable whatever
the consideration of a political, philosophical,
ideological, racial, ethnic, religious or other
nature that maybe invoke to justify them).”
(Semua tindak kriminal yang ditujukan atau
diperhitungkan mampu memprovokasi
timbulnya suatu keadaan terror pada publik
umum, sekelompok orang atau orang tertentu
untuk tujuan-tujuan politik, dalam keadaan
apapun tak dapat diabsahkan baik secara
politik, ilsafat, ideologis, ras, suku, maupun
alasan lain). Para pakar atau para penegak
hukum yang terkait dengan masalah teorisme
umumnya setuju bahwa serangan terhadap
kelompok sipil juga merupakan terorisme.
(Mbay, 2011).
gerAkAn terorisme sebAgAi AncAmAn
kekuAtAn non-negArA
Aksi-aksiterorisme yang dilakukan
oleh gerakan radikal/jihadis Islam kini telah
dianggap sebagai ancaman bagi semua
bangsa dan negara serta umat manusiakarena
daya penghancurnya dan dampaknya yang
sangat serius terhadap keamanan nasional,
regional dan global. Serangan teroris terhadap
gedung WTC di Manhattan, New York,
dan Pentagon, Virginia, AS, yang dikenal
dengan serangan 11 September(9/11 Attacks),
merupakan sebuah peristiwa fenomenal dan
mengejutkan dunia. Belum pernah terjadi
dalam sejarah AS, negara yang berusia
lebih dari 200 tahun itu, suatu serangan dari
kekuatan luar berhasil menciptakan kerugian
nyawa dan harta serta ancaman strategis
sedemikian besar. fakta bahwa pelaku
serangan tersebut bukan suatu entitas negara,
tetapi aktor non-negara (non-state actor)
semakin menambah spektakulernya peristiwa
tersebut.
Selain 9/11 attack aktor non-negara juga
cukup eksis, seperti Boko Haram (Nigeria),
Al-Shabab (Somalia), ISIS (Irak, Syria),
Jama’ah Islamiya (JI), dll. Boko Haramsejak
tahun 2002 sampai sekarang diperkirakan
telah menewaskan 100 ribu jiwa di Nigeria
dan Kamerun.Sementara itu, kelompok AlShabaab yang merupakan kelompok teror di
Somalia sejak tahun 2006-sekarang menjadi
ancaman dibeberapa Negara seperti Kenya
dan Ethiopia, selain di Somalia.Selain itu di
kawasan ASEAN, JI mampu menebar teror
di beberapa wilayah Indonesia sejak 2002
dan menjadi ancaman serius bagi keamanan
di Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand,
dan filipina.
Di satu pihak, aksi-aksi tersebut
menunjukkan rentannya sebuah negara
terhadap serangan teroris internasional,
dan di pihak lain, menjadi bukti bahwa
aksi terorisme oleh kelompok nonnegara memiliki kekuatan yang tak dapat
diremehkan. Para pelaku teroris dari
organisasi Al-Qaeda, misalnya, telah
membuktikan bahwa kekuatan mereka tidak
dapat lagi diremehkan karena kemampuan
mereka dalam organisasi, manajemen,
persenjataan, intelijen, dan bahkan
propaganda melalui jejaring sosialtelah
mampu melakukan penetrasi begitu jauh
sehingga mampu menerobos pertahanan
negara yang masih dianggap sebagai yang
terkuat di dunia. Bahkan organisasi ISIS
yang muncul beberapa tahun terakhir,
memperlihatkan bahwa tindakan teror mereka
mendapat perhatian khusus dari negara-
negara barat, Tidak tanggung-tanggung,
pasukan koalisi AS, Eropa, dan negara-negara
Arab dibentuk untuk melawan ISIS yang
notabene adalah aktor-non negara.
Khusus mengenai ISIS, saat ini ia telah
merambah kawasan Eropa, Afrika, dan Asia
Tenggara, termasuk Indonesia. faktor yang
membuat negeri ini menjadi salah satu target
utama organisasi terorisme internasional
adalah penduduk mayoritas Muslim terbesar
di dunia sehingga aksi teror yang terjadi di
wilayahnya akan menjadi pusat perhatian
seluruh dunia Islam. Salah satu strategi
terorisme adalah tujuannya ingin dilihat dan
diperhatikan publik sehingga eksistensinya
pun secara sadar atau tidak sadar diberikan
ruang untuk berkembang di tengah-tengah
masyarakat (Cronin, 2008).
Selain itu, Indonesia memiliki sejarah
konlik ideologis antara kelompok yang
menghendaki terbentuknya negara
berdasarkan Syariat Islam dengan kelompok
yang menghendaki negara berdasarkan
kebangsaan.Konlik ini dapat memudahkan
kelompok radikal Islam trans-nasional
untuk memperoleh legitimasi dari, dan
menanamkan pengaruhnya kepada sebagian
kelompok Islam di Indonesia.
fakta menunjukkan bahwa sejak tahun
2000, Indonesia telah berberapa kali menjadi
sasaran serangan terorisme, mulai dari bom
Natal (2000), disusul kemudian Bom Bali
I (2002), bom JW Marriott I (2003), bom
Kedubes Australia (2004), bom Bali II
(2005), dan Bom Marriott dan Ritz Carlton
(2009). Belum lagi terjadinya kekerasan
dan konlik horizontal yang juga melibatkan
peran jejaring terorisme internasional seperti
aksi kekerasan di Poso, Ambon, Aceh, dsb.
(Mbay, 2011).
24
25
EDISI 2 | OKTOBER 2015
JURNAL POLITIK DAN KEAMANAN NASIONAL
Pada tahun 2010–2013 terjadi perubahan
kuantitas dan kualitas ancaman terorisme
di Indonesia, dimana secara kuantitas
mengalami peningkatan namun secara
kualitas mengalami penurunan.Saat ini
jumlah aksi tindakan terorisme sering
muncul namun dengan dampak kerusakan
dan korban jiwa yang tidak terlalu besar
dibandingkan aksi-aksi sebelumnya. Saat ini
ISIS dianggap sebagai kelompok yang paling
punya komitmen untuk menegakkan syariat
Islam di dunia.
Bahkan epicentrum ISIS di Indonesia saat
ini dikendalikan dan dipengaruhi oleh para
narapidana dari penjara. Tokoh-tokoh kunci
perkembangan ISIS dapat menyebarkan
ajarang-ajarannya dan melakukan
propaganda dibalik jeruji, yang seharusnya
mendapat penjagaan ketat dari aparat. Selain
itu derasnya dukungan simpatisan dari
media online, seperti website Sautussalam,
Almustaqbal, serta media sosial seperti
facebook dan twitter membuat ISIS semakin
berkembang, sehingga sudah sewajbnya
Pemerintah melakukan aksi yang lebih tegas
melalui pemimpinnya.
Saat ini lembaga pemerintah pun dinilai
sulit melawan rating beberapa website
yang mendukung penyebaran ISIS di
media internet. Contohnya adalah website
“damailahindonesiaku.com” bentukan BNPT
yang hanya menduduki urutan 10,379,317
dunia dibandingkan “VoA-Islam” yang
berada di urutan 14,877. Selain itu website
Arrahmah.com yang memiliki follower
sebanyak 36,200 dan telat di tweet sebanyak
23,4 ribu kali di media sosial Twitter
(Solahudin, 2015). Bahkan sampai saat ini,
Pemerintah masih berpatokan pada UndangUndang Terorisme No. 15 tahun 2002, yang
di dalamnya tidak ada satu pasal pun yang
mendukung untuk menangkap para WNI
yang bergabung dengan ISIS.
Bertolak dari uraian di atas,
penanggulangan terorisme memerlukan
kerjasama seluruh komponen bangsa
dan memerlukan suatu kepemimpinan
nasional (di semua lini) yang mumpuni
untuk melakukan mobilisasi dukungan
dalam memperkuat ketahanan nasional.
Kepemimpinan nasional di sini bukan
hanya yang berada pada sektor negara,
tetapi termasuk pada sektor non-negara atau
masyarakat sipil. Tanpa suatu kepemimpinan
nasional yang kuat dan mumpuni, maka
upaya penanggulangan terorisme akan
mengalami kendala-kendala struktural dan
fungsional, karena magnitude ancaman bukan
saja ada pada tataran isik tetapi juga non
isik. Penanggulangan terorisme bukan hanya
mnggunakan pendekatan hard-power tetapi
juga soft power. Dalam konteks yang terakhir
itulah program deradikalisasi menjadi sangat
penting dan suatu kepemimpinan visioner
di kalangan ummat Islam akan memegang
peran utama di dalam program nasional
tersebut.
kePemimPinAn Visioner dAn keAmAnAn
nAsionAl PAdA tAtArAn nAsionAl dAn
AkAr rumPut
konseP kePemimPinAn Visioner
Kepemimpinan memiliki legitimasi
kuat untuk menjalankan visi dan misi suatu
organisasi/kelompok secara praktis namun
berdampak strategis. Kepemimpinan yang
kuat jelas memberikan dampak perubahan
yang signiikan dan seakan menjawab
kebutuhan-kebutuhan anggotanya. Menurut
Powell (2002), kepemimpinan dilihat dari ada
26
27
EDISI 2 | OKTOBER 2015
JURNAL POLITIK DAN KEAMANAN NASIONAL
atau tidaknya suatu gagasan penting untuk
membangun sebuah rencana besar yang telah
direncanakan. Selain itu menurut Powell
kepemimpinan memiliki dua peran penting,
yakni memiliki kewaspadaan yang tinggi
terhadap setiap perincian yang terjadi dan
memiliki kemampuan dalam menentukan
situasi yang berdampak strategis.
Kepemimpinan visioner (visonary
leadership) adalah kualitas kepemimpinan
yang berpandangan jauh ke depan dan yang
kerja pokoknya difokuskan pada rekayasa
masa depan yang penuh tantangan. Ia
menjadi agen perubahan (agent of change)
yang unggul dan menjadi penentu arah
yang tahu prioritas, menjadi pelatih yang
profesional, dan dapat membimbing para
pengikutnya ke arah profesionalisme
kerja yang diharapkan. Pemimpin yang
bervisi merupakan syarat kepimimpinan
di era otonomi, dimana organisasi harus
menampilkan kekuatan dan ciri khas
budayanya menuju kualitas yang diharapkan.
Dengan demikian kepemimpinan
visioner didasarkan pada tuntutan perubahan
zaman yang meminta dikembangkannya
peran pendidikan secara intensif untuk
menciptakan sumber daya manusia yang
handal bagi pembangunan. Orientasi visi
diarahkan pada mewujudkan nilai komparatif
dan kompetitif para peserta didik sebagai
pusat perbaikan dan pengembangan.
Kepemimpinan visioner, merupakan suatu
kemampuanuntuk mencipta, merumuskan,
mengkomunikasikan, mentransformasikan,
dan mengimplementasikan pemikiranpemikiran ideal yang berasal dari dirinya atau
sebagai hasil interaksi sosial diantara anggota
organisasi dan stakeholders yang diyakini
sebagai cita-cita organisasi dimasa depan
yang harus diraih atau diwujudkan melalui
komitmen semua personil.
Dari pemahaman di atas nyatalah bahwa
seorang pemimpin visioner adalah, ipso
facto, seorang pemimpin yang transformatif.
Pemimpin transformatif “berupaya untuk
meningkatkan motivasi, moral, dan kinerja
pengikutnya.” Pemimpin yang memiliki
kapasitas transformatif selalu memiliki tujuan
yang “melampaui jangka pendek dengan
berfokus pada kebutuhan jangka menengah
dan panjang.” (Lemhannas, 2011a: 46).
Selanjutnya, ada empat komponen yang
harus dikembangkan dalam pembentukan
suatu kepemimpinan yang transformasional.
Komponen-komponen tersebut adalah:
1. Karisma atau pengaruh ideal, yakni
kemampuan pemimpin untuk berperilaku
mengagumkan dan meyakinkan sehingga
para pengikutnya mengidentiikasikan diri
kepadanya.
2. Inspiratif atau kemampuan
pemimpin mengartikulasikan visi yang
menarik dan mengilhami para pengikut untuk
mencapai tujuan dengan optimisme yang
tinggi
3. Stimulatif secara intelektual, yaitu
kemampuan pemimpin merangsang dan
mendorong pengikutnya agar kreatif dengan
menyediakan kerangka kerja yang membuat
mereka terhubung dengan elemen-elemen
lainnya.
4. Kepribadian yang menarik
perhatian, yaitu kemampuan pemimpin untuk
senantiasa hadir atau dirasakan kehadirannya
oleh pengikut yang memerlukannya sebagai
mentor atau pelatih yang dihormati dan
dihargai karena kontribusinya dalam tim.
(Lemhannas, 2011a: 47).
Sementara itu, agar seseorang dapat
disebut memiliki kepemimpinan visioner ia
harus memiliki kemampuan mengelola visi
yang dimilikinya melalui: a) Pemahaman
tentang konsep visi. Visi adalah idealisasi
pemikiran tentang masa depan organisasi/
kelembagaan yang merupakan kekuatan
kunci bagi perubahan yang menciptakan
budaya dan perilaku yang maju dan
antisipatif terhadap tantangan zaman; b)
Pemahaan tentani karakteristik dan unsur
visi. Suatu visi memiliki karakteristik sebagai
berikut: (1) memperjelas arah dan tujuan,
mudah dimengerti dan diartikulasikan,
(2) mencerminkan cita-cita yang tinggi
dan menetapkan standar of excellence,
(3) menumbuhkan inspirasi, semangat,
kegairahan dan komitmen, (4) menciptakan
makna bagi anggota organisasi, (5)
mereleksikan keunikan atau keistimewaan
organisasi, (6) menyiratkan nilai-nilai
yang dijunjung tinggi oleh organisasi, (7)
konstektual dalam arti memperhatikan
secara seksama hubungan organisasi/
lembaga dengan lingkungan dan sejarah
yang bersangkutan; dan c) Pemahaman
tentangtujuan visi.Visi yang baik memiliki
tujuan utama yaitu: (1) memperjelas arah
umum perubahan kebijakan organisasi, (2)
memotivasi pengikut untuk bertindak dengan
arah yang benar, (3) membantu proses
mengkoordinasi tindakan-tindakan tertentu
dari orang yang berbeda-beda.
Presiden sebAgAi rePresentAsi
kePemimPinAn nAsionAl
Dalam kehidupan masyarakat,
kepemimpinan dibentuk melalui mekanisme
dan model pemilihan yang didasari
kompetensi, kekuatan, pengalaman, dan
status sosialnya. Dengan kata lain status
seseorang menjadi pemimpin adalah karena
kepercayaan dan tanggung jawab sosial
yang diberikan kepada rakyatnya karena ia
memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
yang lainnya. Dengan demikian nyata sudah
bahwa kepemimpinan bangsa (national
leadership) berada di tangan Presiden yang
merupakan simbol resmi negara yang
menjalankan kekuasaan eksekutif untuk
melaksanakan tugas-tugas pemerintah setiap
hari.
Sejak Indonesia merdeka pada tahun
1945, masalah kepemimpinan nasional
menjadi isu sentral yang signiikan. Dalam
hal ini terutama kedudukan Presiden,
karena menurut konstitusi Indonesia yaitu
UUD (Undang-Undang Dasar) 1945, ia
memiliki posisi yang kuat dan kekuasaan
yang besar. Presiden Indonesia tidak hanya
sebagai Kepala Negara, tetapi juga Kepala
Pemerintahan dan Panglima Perang Tertinggi
dalam TNI. Karenanya ia dapat menyatakan
perang dan damai, membuat undang-undang,
menyusun RAPBN (Rencana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara), memberi
grasi dan abolisi, serta mengangkat para
pejabat di bawahnya – betapapun semuanya
mesti mendapat persetujuan dari Parlemen,
dalam hal ini DPR RI.
Seorang Presiden dituntut untuk memiliki
integritas, komitmen, serta berpikiran
maju dan modern untuk mensinergikan
seluruh potensi bangsa untuk mencapai
kemajuan, kesejahteraan, dan kemerdekaan
agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain di
dunia (Suwirta dan Hermawan, 2012; 139).
Seorang Presiden dengan demikian memiliki
peran penting dalam pembangunan karakter
bangsa dan juga sebagai igur panutan
dan contoh teladan bagi kepemimpinan
28
29
EDISI 2 | OKTOBER 2015
JURNAL POLITIK DAN KEAMANAN NASIONAL
dalam corak masyarakat Indonesia bersifat
heterogen. Presiden sebagai orang yang
memegang kekuasaan penuh pemerintah
adalah sah menurut Konstitusi negara
menunjukan bahwa perannya yang sangat
strategis dalam menentukan arah kehidupan
bangsa Indonesia. Peran yang strategis pada
akhirnya menuntut Presiden untuk turut aktif
melawan segala bentuk tindakan radikalisme
yang bertentangan dengan peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku.
Kesemuanya itu masuk ke dalam
cakupan peran Presiden dalam memimpin
bangsa Indonesia di dalam dinamika
perkembangan lingkungan strategis tingkat
nasional, regional, dan global. Kondisi
dinamika lingkungan strategis yang sarat
dengan ancaman yang lebih abstrak memang
menuntut Presiden untuk melawan segala
tantangan yang lebih kompleks, selalu
berubah, dan penuh ketidakpastian.
kePemimPinAn Presiden sebAgAi dAlAm
uPAyA PenAnggulAngAn AncAmAn
terorisme
Kepemimpinan dianggap sebagai penentu
arah (direction setter), dimana peran ini
merupakan peran untuk menyampaikan suatu
visinya, memotivasi rekan, dan melibatkan
orang-orang untuk melakukan apa yang
dia inginkan. Salah satu contohnya, ketika
serangan WTC 11 September 2001 terjadi,
tidak lama Presiden AS George Bush Junior
mengumumkan perang melawan kelompok
terorisme dunia. Masa pemerintahan Bush
kala itu memang didominasi oleh “perang
melawan teroris” yang dinyatakan sebagai
salah satu strategi kepentingan nasionalnya,
yakni preserving the freedom of navigation.
Tidak tanggung-tanggung berapa sumber
daya yang dikeluarkan AS saat itu demi
menumpas terorisme yang dianggap sangat
membahayakan keamanan AS. Bahkan,
setelah masa kepemimpinannya diganti
oleh Presiden Barack Obama, AS tetap
melancarkan upaya penangkapan target
teroris yang diakhiri oleh tewasnya Osama
Bin Laden pada tanggal 2 Mei 2011. Segala
bentuk upaya AS dalam memerangi ancaman
terorisme langsung berada di bawah perintah
dan petunjuk presidennya.
Di Indonesia, Presiden perlu memiliki
pendekatan psikologis untuk memudahkan
dan mengajak para staffnya, para Menteri,
Panglima TNI, dan Kapolri untuk terus
melawan ancaman rawan terorisme di
setiap wilayah NKRI. Upaya strategis
seorang Presiden tentunya dapat dilakukan
melalui berbagai cara, misalkan saja
dengan memperkuat perangkat hukum
dengan diajukannya berbagai peraturan
perundang-undangan sebelum disahkan
oleh DPR. Misalkan saja, beberapa tahun
terakhir, Presiden/Pemerintah mengajukan
Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 tentang
pencegahan dan pemberantasan tindak
pendanaan terorisme.Pemerintah tampaknya
menyadari bahwa pemotongan aliran dana
mampu membatasi dan mengurangi aktvitas
kegiatan pelaku teror. Pengajuan undangundang ini sebelum disahkan melalui DPR
tentu saja merupakan strategi Presiden
sebagai pemimpin negara dalam rangka
menumpas ancaman gerakan radikalisme.
Sementara itu apabila kita melihat kondisi
10 tahun lalu, Presiden saat itu Megawati
pun sadar dengan posisi strategisnya sebagai
pemimpin untuk memutuskan membentuk
undang-undang darurat dan telah ditetapkan
menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003
tentang tindak pidana terorisme yang lebih
segala bentuk ancaman dengan disahkannya
memudahkan aparat penegak hukum dalam
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang
penangkapan teroris. Keputusan membentuk
Polri, Undang-Undang No. 3 Tahun 2002
undang-undang
tentang pertahanan
darurat dilakukan
negara, UndangSeorang Presiden
paska Bom Bali I
Undang No. 34 Tahun
dengan demikian
pada oktober 2012
2004 tentang TNI, dan
memiliki peran penting
yang menewaskan
Undang-Undang No.
dalam pembangunan
sekitar 200 orang
karakter bangsa dan juga 15 Tahun 2003 tentang
lebih. Bahkan menurut
pemberantasan tindak
sebagai figur panutan
Palembangan (2014),
pidana terorisme.
dan contoh teladan
Presiden memiliki
Sementara itu,
bagi
kepemimpinan
hak mengajukan
Presiden juga telah
dalam corak masyarakat mengeluarkan Perpres
undang-undang
Indonesia yang bersifat
dan mengeluarkan
No. 12 Tahun 2012
heterogen. Presiden
Peraturan Presiden
tentang Badan Nasional
sebagai
orang
yang
apabila keadaan darurat
Penanggulangan
memegang kekuasaan
menimpa Indonesia,
Terorisme untuk
penuh pemerintah adalah meningkatkan kapasitas
yakni terjadi keadaan
darurat sipil, keadaan
lembaga pemerintah
sah menurut konstitusi
darurat militer, dan
dalam memerangi
negara menunjukan
keadaan perang.
terorisme.
bahwa perannya yang
Pada keadaan
Dari semua
sangat strategis dalam
darurat sipil, apabila
penjabaran
di atas,
menentukan arah
keadaan di wilayah
maka jelaslah Presiden
kehidupan bangsa
NKRI diancam oleh
memiliki kewenangan
Indonesia. Peran yang
pemberontakan dan
yang strategis
strategis pada akhirnya
kerusuhan, maka
untuk menentukan
menuntut
Presiden
Presiden memiliki
arah kebijakan
untuk turut aktif
hak untuk menunjuk
pemerintahnya.
melawan
segala
bentuk
pejabat sipil, gubernur
Kewenangan presiden
tindakan radikalisme
atau kepala daerah
dalam mengajukan
yang
bertentangan
setempat sebagai
undang-undang
penguasa darurat militer dengan peraturan dan
dan mengeluarkan
daerah (Palembangan,
Peraturan tentunya
perundang-undangan
2014; 51). Ataupun
dapat dijadikan
yang berlaku.
dalam penanganan
alat hukum untuk
aksi terorisme, dimana
terus menekan
Presiden tengah mengajukan beberapa
laju perkembangan organisasi radikal di
undang-undang untuk menjaga NKRI dari
Indonesia. Bahkan alat hukum juga dapat
30
31
EDISI 2 | OKTOBER 2015
JURNAL POLITIK DAN KEAMANAN NASIONAL
berfungsi memberikan legitimasi kepada
aparat pertahanan dan keamanan untuk
menumpas segala bentuk tindakan teror
maupun pemikiran-pemikiran radikalisme
yang tidak sejalan dengan Pancasila.
Oleh karena itu memang dibutuhkan
kepemimpinan yang tegas dan visioner di
tangan seorang Presiden untuk mengeluarkan
segala bentuk strategi penumpasan terorisme
yang dilidungi oleh perangkat hukum yang
jelas dan mengikat.
ulAmA sebAgAi rePresentAsi
kePemimPinAn AkAr rumPut
Kepemimpinan bukan hanya dilihat
pada kepala negara saja, namun dapat dilihat
juga dari peran pimpinan sebuah organisasi/
kelompok, baik itu kecil atau besar termasuk
kepemimpinan ulama di pesantren.
Pesantren sebagai salah satu lembaga
keagamaan Islam yang memiliki bukan
saja jejaring sangat luas (lokal, nasional,
regional dan internasional), tetapi juga
memiliki cakupan kegiatan yang multi
dimensional, mulai dari pendidikan,
pengembangan ekonomi, pembangunan
sosial hingga politik (Mas’udi, 2000). faktor
kesejarahan, cakupan kegiatan, jaringan
yang luas, dan kepemimpinan yang khas
dari tokoh utama (igure head) nya, yaitu
Kiyai, maka pesantren memiliki pengaruh
yang sangat luas, dan multi dimensional
dalam masyarakat Indonesia umumnya
dan khususnya pada tataran akar rumput
(grass-roots) baik di perkotaan maupun
pedesaan. Dalam sejarah kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di
Indonesia, keterlibatan komunitas pesantren
dan pemimpinnya tak pernah ketinggalan
dan memiliki pengaruh strategis (Hikam,
1997). Sebagai institusi kemasyarakatan
yang berakar tradisional, peran pesantren
sangatditentukan oleh para Kyainya. Kendati
dalam perkembangan dewasa ini peran dan
fungsi Kyai mulai mengalami diferensiasi
sebagai akibat modernisasi dan industrialisasi
namun masyarakat dan elit pemerintahan
di semua level masih menganggapnya
sebagai pemegang posisi kepemimpinan
strategis. Kepemimpinan Kyai berdasar
kepada legitimasi karismatik yang berasala
dari silsilah, keilmuan, kepemilikan, dan
jejaring politik yang dimilikinya. Kendati
dalam perkembangan saat ini komponen
karisma dan kepemilikan (properti) makin
tersaingi, namun dari komponen keilmuan
dan jejaring sosial dan politik tampaknya
masih utuh kalaupun tidak bertambah kuat
pada kasus-kasus tertentu (Kleden, 2000).
Itulah sebabnya, lembaga pesantren selain
diandalkan sebagai lembaga pendidikan
agama (dan umum melalui sistem sekolah
yang semakin banyak diadopsi dan
diasimilisaikan di dalamnya), ia juga menjadi
wahana pengkaderan pemimpin (lokal
dan juga nasional), dan sebagai anggota
masyarakat sipil Indonesia dengan elemenelemen pendukungnya: pondok, mesjid,
pengajaran kitab-kitab klasik, santri dan kyai.
Kyai atau Ulama pesantren sebagai
pemimpin senantiasa diidealisasikan sebagai
teladan bagi umat Islam di sekitarnya dan
sering melampaui batas-batas komunitasnya,
sehingga pandangan dan kepemimpinannya
diterima masyarakat. Apalagi jika Kyai
tersebut dipandang memiliki sikap netral
dalam politik praktis dan mengambil jarak
dengan konlik-konlik yang berdimensi
politik praktis. Kalaupun Kyai berpolitik,
idealnya adalah politik bagi kemaslahatan
umum (al-maslahah al ‘ammah, the common
good). Sebab pada intinya pesantren
memfokuskan diri pada pendidikan agama
(tafaqquh id-dien) yang meliputi kajiankajian mengenai teologi (aqidah), ilsafat
dan Suisme (tasawwuf), hukum Islam
(iqih), ilmu tentang pengambilan hukum
(ushul iqih), Tafsir Qur’an, Hadits, dan Ilmu
tentang Hadits (musthalah Hadits) dan lainlain, yang tidak banyak berbicara tentang
politik praktis secara langsung (Ali, 2008:
14-58, Dhoier, 1982). Hal itu tak berarti
bahwa komunitas pesantren dan Kyai pada
umumnya tidak peka terhadap dinamika
sosial dan politi dan hanya berurusan dengan
transmisi pengetahuan dan menyiapkan
para penerus Islam tradisionil. Justru
dalam sejarah pesantren dan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di
Indonesia, keterlibatan para Kyai tak dapat
diremehkan termasuk sebagai bagian dari
para pendiri bangsa, pejuang dan pahlawan
revolusi, pejabat di lembaga eksekutif,
legislatif dan yudikatif pada semua tingkatan
dan lain-ain. Munculnya pemimpin nasional
yang pluralis berkaliber internasional
seperti (Alm), KH. Abdurrahman Wahid,
Presiden RI ke IV, misalnya, menunjukkan
kemampuan lembaga pesantren dalam
memberikan pendidikan dasar yang
berorientasi kepada praktek dan kehidupan
nyata dalam masyarakat. Lembaga
pendidikan pesantren tidak hanya sibuk
dengan pendalaman teori dan metodologi
ilmu keagamaan, tetapi juga mendorong
kepada aplikasi karena adanya persentuhan
yang terus menerus dengan masyarakat
dengan kegiatan riil di sekitar lingkungan
mereka pada saat dan selepas dari pesantren
(Roiq, 2000).
kePemimPinAn ulAmA dAlAm uPAyA
PenAnggulAngAn AncAmAn terorisme
Jika dikaitkan dengan model
kepemimpinan visioner dan tranformatif
di dalam pembahasan sebelumnya,
kepemipinan Kyai dan lembaga pesantren
telah memenuhi prinsip-prinsipnya. Hal-hal
yang masih harus dikembangkan adalah
masalah manajemen organisasi dan lembaga
pesantren sehingga terjadi peningkatan mutu
yang dapat berkompetisi dengan lembaga
pendidikan dan organisasi kemasyarakatan
lain di tingkat lokal, nasional, regional, dan
internasional. Pengembangan kapasitas dan
kelembagaan organisasi pendukung pesantren
seperti ormas Nahdlatul Ulama (NU),
misalnya, sangat diperlukan sehingga potensipotensi yang dimiliki, termasuk potensi
kepemimpinan visioner-transformational di
kalangan pesantren, dapat dioptimalkan bagi
kepentingan masyarakat, bangsa dan negara
Republik Indonesia. Jika ini tidak dilakukan,
maka kontaminasi politik akan mudah terjadi
dan pelan tapi pasti kekuatan masyarakat sipil
di Indonesia akan mengalami pelemahan
yang serius. Saat ini NU dianggap oleh dunia
sebagai organisasi keagamaan Islam moderat
yang mampu menekan perkembangan
ideology trans-nasional dan gerakan-gerakan
teroris internasional yang menggunakan
klaim Islam. Organisasi NU juga memiliki
peran yang krusial dalam memberikan
pencerahaan terhadap gejala Islamophobia
di dunia Barat yang saat ini merebak sebagai
akibat tindakan-tindakan radikal gerakan
teroris Al-Qaeda, JI, ISIS, dll. Dalam acara
International Conference on Terrorism and
ISIS yang diselenggarakan baru-baru ini pada
Maret 2015, JIEXPO Kemayoran Jakarta,
dikatakan bahwa NU telah dijadikan role
32
33
EDISI 2 | OKTOBER 2015
JURNAL POLITIK DAN KEAMANAN NASIONAL
model oleh beberapa negara Arab sebagai
organisasi yang memberikan pemahaman
tentang Islam yang toleran dan damai
terhadap perbedaan-perbedaan dalam
kehidupan sosial (Hendropriyono, 2015).
Oleh karena itu, sudah saatnya bagi
Pemerintah untuk secara aktif melibatkan
Ormas-ormas Islam untuk meluruskan
paham-paham radikal, melalui dialog
interaktif dan pemberian pandanganpandangan yang meluruskan arti Jihad yang
lebih kontekstual. Peran ormas-ormas Islam
tentunya membutuhkan tata kelola organisasi
yang terarah dan terencana oleh seorang
yang memiliki jiwa kepemimpinan visionertransformastional. Pimpinan Ormas-ormas
besar meskipun tidak diwajibkan dipimpin
oleh Kyai, namun pada kenyataannya sampai
dengan sekarang pimpinan ormas juga
merangkap sebagai Kyai. Walaupun tidak ada
aturan secara tertulis bahwa pimpinan Ormas
harus Kyai, namun secara tradisi dan moral
organisasi tetap memilih Kyai perannya
yang mampu memberikan pencerahan dan
perubahan sosial.
Pada akhirnya kepemimpinan Kyai yang
visioner dapat menggerakan perubahan sosial
di tengah-tengah lingkungan masyarakat
sekitar pesantrennya. Kyai dapat memainkan
psikologi sosial untuk mengarahkan tingkah
laku dan pemahaman tiap-tiap individu
dan kelompok. Psikologi sosial dapat
dibentuk dan diarahkan oleh Kyai karena
kemampuannya sebagai pemimpin yang
mampu membaca karakter masing-masing
anggota di pesantrennya. Peran Kyai sangat
menentukan hubungan antara masyarakat
dengan pesantren yang diharapkan akan
terjadi simbiosis mutualisme (Munsorif,
2014). Hal ini dapat dilihat dari program-
program yang dibentuk oleh Kyai untuk
kehidupan sosial masyarakat sekitar.
Saat ini ditengarai telah terjadi pergeseran
peran Kyai, yaitu kekuatannya cenderung
digunakan dalam politik. Memang salah
satu segi positif dari masuknya Kyai dalam
politik adalah memungkinkan berbagai
kebijakan yang sensitif dan krusial dari
pemerintah dapat diterima oleh masyarakat.
Tetapi dampak negatif yang dirasakan
adalah dengan masuknya Kyai dalam politik
praktis maka karakter kemandirian Kyai dan
lembaga pesantren menjadi dipertanyakan.
Implikasinya, tingkat kepercayaan
masyarakat akan menurun dan pengaruh
kepemimpinan kyai juga tidak lagi efektif
karena dianggap memiliki kepentingan
tersembunyi (vested interests). Rakyat yang
telah memiliki tingkat pengetahuan yang
makin tinggi, akses informasi yang luas,
dan mobilitas yang tinggi serta didukung
lingkungan yang demokratis akan sangat
kritis terhadap semua pandangan dan
perilaku yang dirasa berlawanan dengan
kaidah-kaidah etis yang dipegang, dan juga
kebiasaan atau tradisi yang baik. Peran
kepemimpinan nasional yang visioner
dan transformatif dalam penanggulangan
terorisme akan dapat dijalankan oleh para
Kyai di komunitas pesantren dan sekitarnya
serta masyarakat pada umumnya. Mereka
dapat menjadi bagian integral dalam program
deradikalisasi dengan tujuan menetralisir
ideologi Islam radikal/jihadis yang menjadi
landsan ideologi kelompok teroris. Para
Kyai sebagai pakar dalam ilmu keagamaan
dapat meluruskan pemahaman yang
menyimpang yaitu radikalisme, liberalisme,
dan fundamentalisme. Pemahaman
terhadap ajaran-ajaran Islam yang moderat,
seimbang, toleran, dan mengedepankan
musyawarah dapat lebih dikembangkan dan
disosialisasikan dan menjadi bagian integral
dalam aktualisasi ideologi negara Pancasila.
Selain itu Kyai dan komunitas pesantren
bisa menjadi bagian penting dalam dialog
antar-iman dengan komunitas agama lain
atau dengan anggota masyarakat sipil
lainnya di seluruh Indonesia. Organisasi
seperti forum Komunikasi Umat Beragama
yang keberadaannya telah tersebar di
hampir seluruh Indonesia dapat menjadi
wahana bagi dialog tersebut, selain sebagai
counter terhadap kegiatan-kegiatan yang
dibuat oleh ormas-ormas yang mendukung
paham-paham sektarian. Oleh karenanya,
pemberdayaan tokoh-tokoh Islam moderat
agar dapat menyebarluaskan pemahaman
moderatnya, yang selama ini dimotori
oleh NU dan Muhammadiyah, akan dapat
menopang strategi penanggulangan terorisme
secara efektif melalui para pemimpin non
formal seperti para Kyai. Bahkan program
rehabilitasi para teroris pada masa penahanan
dan setelah menjalani hukuman pun dapat
melibatkan mereka untuk memberikan
penyadaran mengenai penafsiran ajaran yang
radikal dan monolitik.
PenutuP
Dari uraian dan pembahasan di atas,
kiranya telah dapat diambil kesimpulan
bahwa penanggulangan terorisme di
Indonesia merupakan sebuah tanggung
jawab bersama dari seluruh anak bangsa dan
penyelenggara negara, sebab bahaya tersebut
telah menciptakan bukan saja korban nyawa
dan hancurnya kepemilikan (properties)
di Indonesia, tetapi juga mengancam
keberadaan dan keberlangsungan NKRI
sebagaimana yang diamanatkan oleh
para pendiri bangsa melalui Proklamasi
Kemerdekaan dan UUD 1945. Terorisme
merupakan musuh bersama bangsa-bangsa
di dunia karena akan membahayakan
kemanusiaan dan perdamaian. Sampai saat
ini Indonesia masih tetap menjadi salah satu
target utama aksi terorisme yang tujuannya
adalah mengganti dasar negara Pancasila
dan bentuk negara sebagaimana yang telah
menjadi kesepakatan nasional. Melalui
penyebaran, sosialisasi, dan pendalaman
ideologi radikal/jihadis di dalam masyarakat
dengan segala bentuknya kelompok tersebut
berusaha mempengaruhi dan kemudian
memperoleh dukungan dari kelompokkelompok masyarakat (khususnya Muslim)
untuk kembali memperjuangkan tegaknya
Syariat islam dan berdirinya Negara Islam
yang menjadi bagian dari sistem Khilafah
atau Pan-Islam baru. Berbagai model
propaganda ideologis yang mereka lakukan
melalui jejaring sosial dan media, baik yang
berlingkup nasional maupun internasional,
kelompok garis keras Islam telah dan sedang
memperkuat dirinya. Selain itu melalui
aksi-aksi terorisme atas nama keadilan dan
pembebasan ummat dari cengkeraman
AS dan sekutunya, gerakan terorisme telah
menjadikan Indonesia sebagai target operasi
sejak awal masa reformasi sampai saat ini.
Dalam upaya penanggulangan terhadap
ancaman terorisme, faktor kepemimpinan
yang visioner dan transformasional ternyata
sangat diperlukan sehingga memobilisasi
dukungan dari seluruh komponen bangsa
dapat dilakukan. Kepemimpinan di sini
termasuk pada tataran negara atau Pemerintah
dan masyarakat sipil, serta akar rumput.
Keberadaan kepemimpinan yang tegas dan
34
35
EDISI 2 | OKTOBER 2015
JURNAL POLITIK DAN KEAMANAN NASIONAL
mampu memobilisasi dukungan tersebut,
khususnya pada masyarakat sipil, akan
dapat meningkatkan kapasitas dan kualitas
masyarakat, bangsa dan negara dalam
membendung pengaruh ideologi radikal
Islam karena kepemimpinan tersebut
telah memiliki akar kesejarahan dan
kemasyarakatan yang kokoh, kemampuan
mengajak para pengikut untuk melakukan
tindakan, serta melakukan perubahanperubahan sesuai dengan dinamika yang
berkembang. Dalam masyarakat sipil
Indonesia (MSI), kepemimpinan visioner
dan transformasional ini dapat ditemukan
dalam komunitas pesantren yang selama
ini telah diakui perannya di dalam sejarah
kehidupan bangsa dan negara RI, yaitu
para kyai atau ulama pimpinan pesantren.
Kyai memiliki karakter-karakter dasar
kepemimpinan visioner dan juga memiliki
kapasitas transformatif yang jika didukung
dengan pengembangan dan pemberdayaan
sistem manajemen yang baik, akan menjadi
kekuatan luar biasa dalam melakukan
penanggulangan terhadap terorisme baik
sekarang maupun di masa-masa yang akan
datang. Pemerintah akan memperoleh
partner yang sinergis dan dapat membantu
pelaksanaan kebijakan-kebijakan publik
mulai pada tingkat nasional sampai tingkat
lokal. Sebagai salah satu contoh, Kyai dan
lembaga pesantren dapat menjadi pelaku
utama dan wahana yang efektif dalam
program nasional deradikalisasi yang
ditujukan untuk menetralisasi paham radikal/
jihadis dan meminimalisasi pengaruhnya
di dalam komunitas komunitas Islam. Kyai
dapat memberikan penafsiran-penafsiran
ajaran keagamaan yang menolak kekerasan,
fanatisme, dan sikap-sikap anti terhadap
kelompok agama lain maupun seagama
tetapi berbeda pemahaman, demikian pula,
Kyai dan pesantren dapat mengajak dan
memobilisasi ummat dan masyarakat untuk
mewaspadai ajaran-ajaran dan propaganda
yang bertentangan dengan Pancasila dan
UUD 1945 sehingga ketahanan ideologi
masyarakat dan bangsa akan dapat diperkuat.
dAftAr PustAkA
Ali, As’ad Said. Pergolakan di Jantung
Tradisi: NU Yang Saya Amati. Jakarta:
LP3ES, 2008.
Burt Nanus, Kepemimpinan Visioner.
Jakarta: Prenhallindo, 2001.
Brown, Barbara. Evaluating Leadership
Qualities: 10 Things Effective Leaders Do
To Motivate Employees. http//:www.Ezine1.
com/september11/2008. Diunduh tgl. 23
Maret. 2011.
covey, Stephen R. Principle Centered
Leadership. New York: Simon &
Schuster,1990.
cronin, Audrey. How Terrorism Ends:
Understanding the Decline and Demise of
Terrorist Campaigns. Princeton University,
2009
Dhoier. Zamakhsyari. Tradisi
Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai.
Jakarta: LP2ES, 1982.
hendropriyono, AM. Penangkalan
Terhadap Pengaruh ISIS. International
Conference on Terrorism & ISIS, Jakarta,
2015
hikam, Muhammad AS. “Khittah dan
Penguatan Civil Society di Indonesia: Sebuah
Kajian Historis dan Struktural atas NU Sejak
1984,” dalam Darwis, EKH (ed.). Gus Dur,
NU dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LKiS,
1997
jones, Sidney. Capturing the Impact of
Terrorism for the Last Decade, IPAC, 2012
jones, Sidney. The Evolution of ISIS
in Indonesia. Institute for Policy Analysis of
Conlict, IPAC, September, 2014
Kleden, Ignas. “Melacak Akar Konsep
Demokrasi.” dalam Suaedy, Ahmad (ed.).
Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi.
Yogyakarta: LKiS, 2000, hal. 1-14.
Materi Pokok Bidang Studi
Kepemimpinan Nasional PPSA
Lemhannas XVII 2011. Jakarta: Lemhannas
RI, 2011a.
Materi Pokok Bidang Studi
Kepemimpinan Kontemporer PPSA
Lemhannas XVII 2011. Jakarta: Lemhannas
RI, 2011b.
Mbay, Ansyaad. Irjen.Pol (P).
Terorisme dan Kebijakan Pemerintah Dalam
Penanggulangannya. (Jakarta: BNPT, 2011).
Palembangan, Wellitania. Implementasi
Perjanjian Lombok Mengenai Kerjasama
Polri dan Australia federal Police Dalam
Kontra-Terorisme: 2006-2012. Universitas
Pertahanan, Jakarta, 2014
Powell, colin. The Leadership Secrets.
McGraw-Hill, 2002.
Rahman, Andrea. Terorisme Sebagai
Upaya Komunikasi Politik, Jakarta, 2013
Roiq. Ahmad. “NU/Pesantren dan
Tradisi Pluralisme dalam Konteks Negara
Bangsa.” dalam Suaedy, Ahmad (ed.).
Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi.
Yogyakarta: LKiS, 2000, hal. 209-14
Suwirta, Andi & hermawan, Iyep.
Masalah Karakter Bangsa dan figur
Kepemimpinan di Indonesia: Perspektif
Sejarah. Universitas Pendidikan Indonesia,
2012
36
37
EDISI 2 | OKTOBER 2015
JURNAL POLITIK DAN KEAMANAN NASIONAL
centre
democracy integrity & peace
DIP Centre, lembaga independen yang memiliki misi memberikan pencerahan
terhadap isu-isu strategi KAMNAS yang diwujudkan melalui riset,
penelitian & berbagai pengetahuan
Jurnal Strategic Outlook merupakan jurnal di bidang
politik dan keamanan nasional yang menyajikan berbagai
permasalahan strategis dengan tujuan memberikan
pencerahan dan menambah wawasan bagi para pembaca.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Reaktualisasi Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara
Demokratisasi dan Keamanan Nasional
Hubungan Australia – Indonesia di Abad Asia
Ekonomi Nasional Dalam Perspektif Pengusaha: Tinjauan Dunia
Usaha Pasca Reformasi.
Pokok-pokok pikiran menjadikan Indonesia Berdaulat pangan
sebagai Lumbung pangan Dunia.
What is the grand strategy of Indonesia today? What it should be?
Critical Review RUU Kamnas
Problem Filosois Tentang Konsep ‘Perdamaian Abadi
Grand Wijaya, No. C 31-32 Lantai 2
Jalan Wijaya 2, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Telp / fax +6221-7207848, Email: [email protected]
@dipcentre
80
EDISI 2 | OKTOBER 2015
DIP Centre
www.dipcentre.org
OUTLOOK
JURNAL POL I T I K DAN KE AMANAN NASI ONAL
EDISI 2 | OKTOBER 2015
www.dipcentre.org
Peran Kepemimpinan Visioner Dalam
Rangka Menanggulangi Ancaman
Radikalisme Di Indonesia
Pemerintahan Islam Neo-Khalifah, Tantangan
Negara Di Kancah Internasional Dalam
Perspektif Ke-indonesia-an
Opini Publik dan Kebijakan Luar Negeri
Indonesia di Timur Tengah
Partisipasi dan Konsolidasi
Demokrasi di Aras Lokal
Optimalisasi Penerimaan Pajak
Untuk Kesejahteraan Rakyat Melalui
Pendekatan Undang-Undang Tindak
Pidana Pencucian Uang
TERORISME & TANTANGAN
RADIKALISME BARU DALAM
SISTEM KEPEMIMPINAN NASIONAL
(MERANCANG STRATEGI DAN KEBIJAKAN
PENCEGAHAN TERORISME DI DUNIA MAYA)
1
JURNAL POLITIK DAN KEAMANAN NASIONAL
STRATEGIC OUTLOOK
Prof. Dr. Muhammad AS hikam
[Lektor Kepala Prodi Hubungan Internasional President University]
Peran Kepemimpinan Visioner Dalam Rangka
Menanggulangi Ancaman Radikalisme
Di Indonesia
Kepemimpinan visioner merupakan
salah satu syarat mutlak yang dibutuhkan
Indonesia dalam menghadapi berbagai
ancaman yang datang, baik dari dalam
maupun dari luar. Kepemimpinan dibutuhkan
tidak hanya dalam kapasitas dan sosok isik
saja, namun juga dalam kapasitas pandangan
yang strategis dan jauh kedepan untuk
membawa suatu perubahan yang besar bagi
rakyatya. Era reformasi yangmemberikan
ruang yang bebas bagi ajaran, pemikiran, dan
pemahaman, juga mengakibatkan masuk
dan berkembangnya gagasan dangerakan
radikal yang mengancamkeamanan nasional.
Diperlukan kepemimpinan visioner untuk
menghadapi berbagai ancaman terhadap
NKRI, termasuk radikalisme dan terosrisme.
Kata Kunci: Ancaman Terorisme,
Kepemimpinan Presiden, dan
Kepemimpinan Ulama
PendAhuluAn
Dewasa ini masyarakat internasional dan
negara-negara di dunia sedang menghadapi
tantangan yang sangat serius berupa aksiaksi terorisme yang dapat menghancurkan
keberadaan dan keberlangsungan sistem
politik dan kenegaraan yang selama ini
diabsahkan oleh hukum internasional. Bagi
Indonesia, aksi-aksi terorisme yang terjadi
sejak awal 2000, dan telah menelan banyak
korban nyawa dan harta-benda, kini menjadi
salah satu bahaya yang hadir dan nyata (a
clear and present danger) bagi keberadaan
dan keberlangsungannya. Kendati telah
dilakukan berbagai upaya penanggulanagan
terorisme, seperti operasi pemberantasan
teror oleh Polri dan TNI serta pembentukan
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT), tampaknya ancaman ini masih
belum akan mereda di waktu-waktu yang
akan datang. Aksi terorisme justru makin
bervariasi karena selama kurun waktu 20022013 telah terjadi perubahan pada modus
operandi kelompok teroris. Pada tahun
2000-an aksi teror sering dilakukan melalui
serangan bom yang berskala besar. Namun
demikian beberapa tahun terakhir, aksi teror
dilakukan melalui tindakan kriminal seperti
pembakaran, pembunuhan (assassination),
bom buku, perambokan/pembegalan dengan
dalih fa’i (rampasan perang), dan praktik
kriminal lain. Bahkan pada tahun 2013,
aksi teror lebih banyak dilakukan melalui
aksi penembakan-penembakan kepada
aparat keamanan, yaitu Polri (Solahudin,
2015). Perkembangan paling akhir adalah
munculnya ISIS (Islamic State of Iraq and
Syria)atau Negara Islam di Irak dan Syria
(NIIS). Ternyata organisasi teroris tersebut
mampu memobilisasi dukungan melalui
pendanaan yang kuat untuk merekrut relawan
yang akan berjihad ke negara wilayah konlik,
baik di Irak maupun Suriah (Jones, 2014).
Berdasarkan data yang dirilis Polri, sekitar
150 orang telah bergabung dengan ISIS, dan
jumlah ini masih terus diprediksi meningkat.
Pemerintah Indonesia saat ini masih dinilai
kurang dalam menghadapi aksi terorisme.
Selain itu, Indonesia acap kali mendapat
serangan tudingan negatif dari beberapa
pihak sebagai salah satu sarang terorisme
internasional, khususnya yang menggunakan
kedok Islam. Implikasinya adalah citra
negatif terhadap umat Muslim Indonesia
sebagai mayoritas penduduk di Indonesia.
Beberapa fakta tersebut bisa menjadi dasar
bahwa diperlukan sebuah strategi besar dan
menyeluruh dalam menghadapi aksi-aksi
terorisme yang telah, sedang, dan masih akan
mengancam keamanan nasional Indonesia.
faktor yang sangat penting di dalam strategi
tersebut adalah adanya kepemimpinan yang
visioner dan transformatif baik pada tataran
nasional dan negara (state) maupun tataran
akar rumput dalam masyarakat sipil (civil
society).
Tulisan ini bermaksud menunjukkan
bahwa kepemimpinan visioner dapat
memperkuat upaya penanggulangan
radikalisme dan terorisme yang merupakan
ancaman bagi Indonesia. Dalam
pembahasan berikut ini akan diuraikan
:1) terorisme sebagai ancaman terhadap
keamanan nasional; 2) pentingnya
masalah kepemimpinan visioner dalam
upaya penanggulangan terorisme; dan
3) kepemimpinan visioner pada tingkat
nasional (state level) dan akar rumput (grassroots level) yang dapat membantu upaya
penanggulangan terorisme di Indonesia.
Untuk memberikan gambaran yang
lebih kongkrit akan dipakai dua contoh atau
kasus. Yang pertama peran Presiden sebagai
representasi negara (state) dan kepemimpinan
22
23
EDISI 2 | OKTOBER 2015
JURNAL POLITIK DAN KEAMANAN NASIONAL
formal, sedangkan yang kedua adalah peran
ulama sebagai representasi akar rumput
(grass-roots) dan kepemimpinan informal.
terorisme sebAgAi AncAmAn terhAdAP
keAmAnAn nAsionAl
Menurut Jones (2012), terorisme
dideinisikan sebagai tindakan illegal dan
radikal yang dilakukan oleh aktor nonnegara, baik individu maupun kelompok
untuk tujuan politis, ekonomi, dan sosial
melaui penyerangan secara acak. Selain
itu, menurut Cronin (2008), terorisme
memiliki kharakteristik yang banyak, yakni
adanya unsur politis, tindakan kekerasan,
dan aksi yang tidak terduga, dimana aksi
radikal ini dilakukan oleh aktor non-negara
dengan target orang yang tidak bersalah
(innocent). Sementara itu, ada pula yang
menambahkan bahwa terorisme sebagai
upaya komunikasi politik karena mereka
mempunyai tujuan yang seragam, yaitu
ketakutan rakyat yang pada akhirnya menjadi
sukses terbesar mereka (Rahman, 2013).
Ketakutan rakyat yang terekam oleh media
tentunya akan digunakan sebagai pesan
untuk dilayangkan kepada Pemerintah
sebagai target utamanya. Pesan tersebut jelas
menandakan bahwa mereka ingin dianggap
sebagai kelompok yang tetap eksis yang
terus memperjuangkan tujuan politiknya.
Kelompok ini jelas memiliki tujuan yang
universal, yakni ingin mendapatkan perhatian
dan pengakuan, penghormatan, dan
legitimasi oleh Pemerintah sebagai bentuk
ketidakpuasan individu atau kelompok teroris
terhadap kebijakan Pemerintah (Djelantik
dalam Palembangan, 2014). Tulisan ini
akan menggunakan pengertian terorisme
mengikuti rumusan Majelis Umum PBB
tahun 1999, yaitu: “all criminal acts intended
or calculated to provoke a state of terror
in the general public, a group of person or
particular person for political purposes are
in any circumstance, unjustiiable whatever
the consideration of a political, philosophical,
ideological, racial, ethnic, religious or other
nature that maybe invoke to justify them).”
(Semua tindak kriminal yang ditujukan atau
diperhitungkan mampu memprovokasi
timbulnya suatu keadaan terror pada publik
umum, sekelompok orang atau orang tertentu
untuk tujuan-tujuan politik, dalam keadaan
apapun tak dapat diabsahkan baik secara
politik, ilsafat, ideologis, ras, suku, maupun
alasan lain). Para pakar atau para penegak
hukum yang terkait dengan masalah teorisme
umumnya setuju bahwa serangan terhadap
kelompok sipil juga merupakan terorisme.
(Mbay, 2011).
gerAkAn terorisme sebAgAi AncAmAn
kekuAtAn non-negArA
Aksi-aksiterorisme yang dilakukan
oleh gerakan radikal/jihadis Islam kini telah
dianggap sebagai ancaman bagi semua
bangsa dan negara serta umat manusiakarena
daya penghancurnya dan dampaknya yang
sangat serius terhadap keamanan nasional,
regional dan global. Serangan teroris terhadap
gedung WTC di Manhattan, New York,
dan Pentagon, Virginia, AS, yang dikenal
dengan serangan 11 September(9/11 Attacks),
merupakan sebuah peristiwa fenomenal dan
mengejutkan dunia. Belum pernah terjadi
dalam sejarah AS, negara yang berusia
lebih dari 200 tahun itu, suatu serangan dari
kekuatan luar berhasil menciptakan kerugian
nyawa dan harta serta ancaman strategis
sedemikian besar. fakta bahwa pelaku
serangan tersebut bukan suatu entitas negara,
tetapi aktor non-negara (non-state actor)
semakin menambah spektakulernya peristiwa
tersebut.
Selain 9/11 attack aktor non-negara juga
cukup eksis, seperti Boko Haram (Nigeria),
Al-Shabab (Somalia), ISIS (Irak, Syria),
Jama’ah Islamiya (JI), dll. Boko Haramsejak
tahun 2002 sampai sekarang diperkirakan
telah menewaskan 100 ribu jiwa di Nigeria
dan Kamerun.Sementara itu, kelompok AlShabaab yang merupakan kelompok teror di
Somalia sejak tahun 2006-sekarang menjadi
ancaman dibeberapa Negara seperti Kenya
dan Ethiopia, selain di Somalia.Selain itu di
kawasan ASEAN, JI mampu menebar teror
di beberapa wilayah Indonesia sejak 2002
dan menjadi ancaman serius bagi keamanan
di Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand,
dan filipina.
Di satu pihak, aksi-aksi tersebut
menunjukkan rentannya sebuah negara
terhadap serangan teroris internasional,
dan di pihak lain, menjadi bukti bahwa
aksi terorisme oleh kelompok nonnegara memiliki kekuatan yang tak dapat
diremehkan. Para pelaku teroris dari
organisasi Al-Qaeda, misalnya, telah
membuktikan bahwa kekuatan mereka tidak
dapat lagi diremehkan karena kemampuan
mereka dalam organisasi, manajemen,
persenjataan, intelijen, dan bahkan
propaganda melalui jejaring sosialtelah
mampu melakukan penetrasi begitu jauh
sehingga mampu menerobos pertahanan
negara yang masih dianggap sebagai yang
terkuat di dunia. Bahkan organisasi ISIS
yang muncul beberapa tahun terakhir,
memperlihatkan bahwa tindakan teror mereka
mendapat perhatian khusus dari negara-
negara barat, Tidak tanggung-tanggung,
pasukan koalisi AS, Eropa, dan negara-negara
Arab dibentuk untuk melawan ISIS yang
notabene adalah aktor-non negara.
Khusus mengenai ISIS, saat ini ia telah
merambah kawasan Eropa, Afrika, dan Asia
Tenggara, termasuk Indonesia. faktor yang
membuat negeri ini menjadi salah satu target
utama organisasi terorisme internasional
adalah penduduk mayoritas Muslim terbesar
di dunia sehingga aksi teror yang terjadi di
wilayahnya akan menjadi pusat perhatian
seluruh dunia Islam. Salah satu strategi
terorisme adalah tujuannya ingin dilihat dan
diperhatikan publik sehingga eksistensinya
pun secara sadar atau tidak sadar diberikan
ruang untuk berkembang di tengah-tengah
masyarakat (Cronin, 2008).
Selain itu, Indonesia memiliki sejarah
konlik ideologis antara kelompok yang
menghendaki terbentuknya negara
berdasarkan Syariat Islam dengan kelompok
yang menghendaki negara berdasarkan
kebangsaan.Konlik ini dapat memudahkan
kelompok radikal Islam trans-nasional
untuk memperoleh legitimasi dari, dan
menanamkan pengaruhnya kepada sebagian
kelompok Islam di Indonesia.
fakta menunjukkan bahwa sejak tahun
2000, Indonesia telah berberapa kali menjadi
sasaran serangan terorisme, mulai dari bom
Natal (2000), disusul kemudian Bom Bali
I (2002), bom JW Marriott I (2003), bom
Kedubes Australia (2004), bom Bali II
(2005), dan Bom Marriott dan Ritz Carlton
(2009). Belum lagi terjadinya kekerasan
dan konlik horizontal yang juga melibatkan
peran jejaring terorisme internasional seperti
aksi kekerasan di Poso, Ambon, Aceh, dsb.
(Mbay, 2011).
24
25
EDISI 2 | OKTOBER 2015
JURNAL POLITIK DAN KEAMANAN NASIONAL
Pada tahun 2010–2013 terjadi perubahan
kuantitas dan kualitas ancaman terorisme
di Indonesia, dimana secara kuantitas
mengalami peningkatan namun secara
kualitas mengalami penurunan.Saat ini
jumlah aksi tindakan terorisme sering
muncul namun dengan dampak kerusakan
dan korban jiwa yang tidak terlalu besar
dibandingkan aksi-aksi sebelumnya. Saat ini
ISIS dianggap sebagai kelompok yang paling
punya komitmen untuk menegakkan syariat
Islam di dunia.
Bahkan epicentrum ISIS di Indonesia saat
ini dikendalikan dan dipengaruhi oleh para
narapidana dari penjara. Tokoh-tokoh kunci
perkembangan ISIS dapat menyebarkan
ajarang-ajarannya dan melakukan
propaganda dibalik jeruji, yang seharusnya
mendapat penjagaan ketat dari aparat. Selain
itu derasnya dukungan simpatisan dari
media online, seperti website Sautussalam,
Almustaqbal, serta media sosial seperti
facebook dan twitter membuat ISIS semakin
berkembang, sehingga sudah sewajbnya
Pemerintah melakukan aksi yang lebih tegas
melalui pemimpinnya.
Saat ini lembaga pemerintah pun dinilai
sulit melawan rating beberapa website
yang mendukung penyebaran ISIS di
media internet. Contohnya adalah website
“damailahindonesiaku.com” bentukan BNPT
yang hanya menduduki urutan 10,379,317
dunia dibandingkan “VoA-Islam” yang
berada di urutan 14,877. Selain itu website
Arrahmah.com yang memiliki follower
sebanyak 36,200 dan telat di tweet sebanyak
23,4 ribu kali di media sosial Twitter
(Solahudin, 2015). Bahkan sampai saat ini,
Pemerintah masih berpatokan pada UndangUndang Terorisme No. 15 tahun 2002, yang
di dalamnya tidak ada satu pasal pun yang
mendukung untuk menangkap para WNI
yang bergabung dengan ISIS.
Bertolak dari uraian di atas,
penanggulangan terorisme memerlukan
kerjasama seluruh komponen bangsa
dan memerlukan suatu kepemimpinan
nasional (di semua lini) yang mumpuni
untuk melakukan mobilisasi dukungan
dalam memperkuat ketahanan nasional.
Kepemimpinan nasional di sini bukan
hanya yang berada pada sektor negara,
tetapi termasuk pada sektor non-negara atau
masyarakat sipil. Tanpa suatu kepemimpinan
nasional yang kuat dan mumpuni, maka
upaya penanggulangan terorisme akan
mengalami kendala-kendala struktural dan
fungsional, karena magnitude ancaman bukan
saja ada pada tataran isik tetapi juga non
isik. Penanggulangan terorisme bukan hanya
mnggunakan pendekatan hard-power tetapi
juga soft power. Dalam konteks yang terakhir
itulah program deradikalisasi menjadi sangat
penting dan suatu kepemimpinan visioner
di kalangan ummat Islam akan memegang
peran utama di dalam program nasional
tersebut.
kePemimPinAn Visioner dAn keAmAnAn
nAsionAl PAdA tAtArAn nAsionAl dAn
AkAr rumPut
konseP kePemimPinAn Visioner
Kepemimpinan memiliki legitimasi
kuat untuk menjalankan visi dan misi suatu
organisasi/kelompok secara praktis namun
berdampak strategis. Kepemimpinan yang
kuat jelas memberikan dampak perubahan
yang signiikan dan seakan menjawab
kebutuhan-kebutuhan anggotanya. Menurut
Powell (2002), kepemimpinan dilihat dari ada
26
27
EDISI 2 | OKTOBER 2015
JURNAL POLITIK DAN KEAMANAN NASIONAL
atau tidaknya suatu gagasan penting untuk
membangun sebuah rencana besar yang telah
direncanakan. Selain itu menurut Powell
kepemimpinan memiliki dua peran penting,
yakni memiliki kewaspadaan yang tinggi
terhadap setiap perincian yang terjadi dan
memiliki kemampuan dalam menentukan
situasi yang berdampak strategis.
Kepemimpinan visioner (visonary
leadership) adalah kualitas kepemimpinan
yang berpandangan jauh ke depan dan yang
kerja pokoknya difokuskan pada rekayasa
masa depan yang penuh tantangan. Ia
menjadi agen perubahan (agent of change)
yang unggul dan menjadi penentu arah
yang tahu prioritas, menjadi pelatih yang
profesional, dan dapat membimbing para
pengikutnya ke arah profesionalisme
kerja yang diharapkan. Pemimpin yang
bervisi merupakan syarat kepimimpinan
di era otonomi, dimana organisasi harus
menampilkan kekuatan dan ciri khas
budayanya menuju kualitas yang diharapkan.
Dengan demikian kepemimpinan
visioner didasarkan pada tuntutan perubahan
zaman yang meminta dikembangkannya
peran pendidikan secara intensif untuk
menciptakan sumber daya manusia yang
handal bagi pembangunan. Orientasi visi
diarahkan pada mewujudkan nilai komparatif
dan kompetitif para peserta didik sebagai
pusat perbaikan dan pengembangan.
Kepemimpinan visioner, merupakan suatu
kemampuanuntuk mencipta, merumuskan,
mengkomunikasikan, mentransformasikan,
dan mengimplementasikan pemikiranpemikiran ideal yang berasal dari dirinya atau
sebagai hasil interaksi sosial diantara anggota
organisasi dan stakeholders yang diyakini
sebagai cita-cita organisasi dimasa depan
yang harus diraih atau diwujudkan melalui
komitmen semua personil.
Dari pemahaman di atas nyatalah bahwa
seorang pemimpin visioner adalah, ipso
facto, seorang pemimpin yang transformatif.
Pemimpin transformatif “berupaya untuk
meningkatkan motivasi, moral, dan kinerja
pengikutnya.” Pemimpin yang memiliki
kapasitas transformatif selalu memiliki tujuan
yang “melampaui jangka pendek dengan
berfokus pada kebutuhan jangka menengah
dan panjang.” (Lemhannas, 2011a: 46).
Selanjutnya, ada empat komponen yang
harus dikembangkan dalam pembentukan
suatu kepemimpinan yang transformasional.
Komponen-komponen tersebut adalah:
1. Karisma atau pengaruh ideal, yakni
kemampuan pemimpin untuk berperilaku
mengagumkan dan meyakinkan sehingga
para pengikutnya mengidentiikasikan diri
kepadanya.
2. Inspiratif atau kemampuan
pemimpin mengartikulasikan visi yang
menarik dan mengilhami para pengikut untuk
mencapai tujuan dengan optimisme yang
tinggi
3. Stimulatif secara intelektual, yaitu
kemampuan pemimpin merangsang dan
mendorong pengikutnya agar kreatif dengan
menyediakan kerangka kerja yang membuat
mereka terhubung dengan elemen-elemen
lainnya.
4. Kepribadian yang menarik
perhatian, yaitu kemampuan pemimpin untuk
senantiasa hadir atau dirasakan kehadirannya
oleh pengikut yang memerlukannya sebagai
mentor atau pelatih yang dihormati dan
dihargai karena kontribusinya dalam tim.
(Lemhannas, 2011a: 47).
Sementara itu, agar seseorang dapat
disebut memiliki kepemimpinan visioner ia
harus memiliki kemampuan mengelola visi
yang dimilikinya melalui: a) Pemahaman
tentang konsep visi. Visi adalah idealisasi
pemikiran tentang masa depan organisasi/
kelembagaan yang merupakan kekuatan
kunci bagi perubahan yang menciptakan
budaya dan perilaku yang maju dan
antisipatif terhadap tantangan zaman; b)
Pemahaan tentani karakteristik dan unsur
visi. Suatu visi memiliki karakteristik sebagai
berikut: (1) memperjelas arah dan tujuan,
mudah dimengerti dan diartikulasikan,
(2) mencerminkan cita-cita yang tinggi
dan menetapkan standar of excellence,
(3) menumbuhkan inspirasi, semangat,
kegairahan dan komitmen, (4) menciptakan
makna bagi anggota organisasi, (5)
mereleksikan keunikan atau keistimewaan
organisasi, (6) menyiratkan nilai-nilai
yang dijunjung tinggi oleh organisasi, (7)
konstektual dalam arti memperhatikan
secara seksama hubungan organisasi/
lembaga dengan lingkungan dan sejarah
yang bersangkutan; dan c) Pemahaman
tentangtujuan visi.Visi yang baik memiliki
tujuan utama yaitu: (1) memperjelas arah
umum perubahan kebijakan organisasi, (2)
memotivasi pengikut untuk bertindak dengan
arah yang benar, (3) membantu proses
mengkoordinasi tindakan-tindakan tertentu
dari orang yang berbeda-beda.
Presiden sebAgAi rePresentAsi
kePemimPinAn nAsionAl
Dalam kehidupan masyarakat,
kepemimpinan dibentuk melalui mekanisme
dan model pemilihan yang didasari
kompetensi, kekuatan, pengalaman, dan
status sosialnya. Dengan kata lain status
seseorang menjadi pemimpin adalah karena
kepercayaan dan tanggung jawab sosial
yang diberikan kepada rakyatnya karena ia
memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
yang lainnya. Dengan demikian nyata sudah
bahwa kepemimpinan bangsa (national
leadership) berada di tangan Presiden yang
merupakan simbol resmi negara yang
menjalankan kekuasaan eksekutif untuk
melaksanakan tugas-tugas pemerintah setiap
hari.
Sejak Indonesia merdeka pada tahun
1945, masalah kepemimpinan nasional
menjadi isu sentral yang signiikan. Dalam
hal ini terutama kedudukan Presiden,
karena menurut konstitusi Indonesia yaitu
UUD (Undang-Undang Dasar) 1945, ia
memiliki posisi yang kuat dan kekuasaan
yang besar. Presiden Indonesia tidak hanya
sebagai Kepala Negara, tetapi juga Kepala
Pemerintahan dan Panglima Perang Tertinggi
dalam TNI. Karenanya ia dapat menyatakan
perang dan damai, membuat undang-undang,
menyusun RAPBN (Rencana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara), memberi
grasi dan abolisi, serta mengangkat para
pejabat di bawahnya – betapapun semuanya
mesti mendapat persetujuan dari Parlemen,
dalam hal ini DPR RI.
Seorang Presiden dituntut untuk memiliki
integritas, komitmen, serta berpikiran
maju dan modern untuk mensinergikan
seluruh potensi bangsa untuk mencapai
kemajuan, kesejahteraan, dan kemerdekaan
agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain di
dunia (Suwirta dan Hermawan, 2012; 139).
Seorang Presiden dengan demikian memiliki
peran penting dalam pembangunan karakter
bangsa dan juga sebagai igur panutan
dan contoh teladan bagi kepemimpinan
28
29
EDISI 2 | OKTOBER 2015
JURNAL POLITIK DAN KEAMANAN NASIONAL
dalam corak masyarakat Indonesia bersifat
heterogen. Presiden sebagai orang yang
memegang kekuasaan penuh pemerintah
adalah sah menurut Konstitusi negara
menunjukan bahwa perannya yang sangat
strategis dalam menentukan arah kehidupan
bangsa Indonesia. Peran yang strategis pada
akhirnya menuntut Presiden untuk turut aktif
melawan segala bentuk tindakan radikalisme
yang bertentangan dengan peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku.
Kesemuanya itu masuk ke dalam
cakupan peran Presiden dalam memimpin
bangsa Indonesia di dalam dinamika
perkembangan lingkungan strategis tingkat
nasional, regional, dan global. Kondisi
dinamika lingkungan strategis yang sarat
dengan ancaman yang lebih abstrak memang
menuntut Presiden untuk melawan segala
tantangan yang lebih kompleks, selalu
berubah, dan penuh ketidakpastian.
kePemimPinAn Presiden sebAgAi dAlAm
uPAyA PenAnggulAngAn AncAmAn
terorisme
Kepemimpinan dianggap sebagai penentu
arah (direction setter), dimana peran ini
merupakan peran untuk menyampaikan suatu
visinya, memotivasi rekan, dan melibatkan
orang-orang untuk melakukan apa yang
dia inginkan. Salah satu contohnya, ketika
serangan WTC 11 September 2001 terjadi,
tidak lama Presiden AS George Bush Junior
mengumumkan perang melawan kelompok
terorisme dunia. Masa pemerintahan Bush
kala itu memang didominasi oleh “perang
melawan teroris” yang dinyatakan sebagai
salah satu strategi kepentingan nasionalnya,
yakni preserving the freedom of navigation.
Tidak tanggung-tanggung berapa sumber
daya yang dikeluarkan AS saat itu demi
menumpas terorisme yang dianggap sangat
membahayakan keamanan AS. Bahkan,
setelah masa kepemimpinannya diganti
oleh Presiden Barack Obama, AS tetap
melancarkan upaya penangkapan target
teroris yang diakhiri oleh tewasnya Osama
Bin Laden pada tanggal 2 Mei 2011. Segala
bentuk upaya AS dalam memerangi ancaman
terorisme langsung berada di bawah perintah
dan petunjuk presidennya.
Di Indonesia, Presiden perlu memiliki
pendekatan psikologis untuk memudahkan
dan mengajak para staffnya, para Menteri,
Panglima TNI, dan Kapolri untuk terus
melawan ancaman rawan terorisme di
setiap wilayah NKRI. Upaya strategis
seorang Presiden tentunya dapat dilakukan
melalui berbagai cara, misalkan saja
dengan memperkuat perangkat hukum
dengan diajukannya berbagai peraturan
perundang-undangan sebelum disahkan
oleh DPR. Misalkan saja, beberapa tahun
terakhir, Presiden/Pemerintah mengajukan
Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 tentang
pencegahan dan pemberantasan tindak
pendanaan terorisme.Pemerintah tampaknya
menyadari bahwa pemotongan aliran dana
mampu membatasi dan mengurangi aktvitas
kegiatan pelaku teror. Pengajuan undangundang ini sebelum disahkan melalui DPR
tentu saja merupakan strategi Presiden
sebagai pemimpin negara dalam rangka
menumpas ancaman gerakan radikalisme.
Sementara itu apabila kita melihat kondisi
10 tahun lalu, Presiden saat itu Megawati
pun sadar dengan posisi strategisnya sebagai
pemimpin untuk memutuskan membentuk
undang-undang darurat dan telah ditetapkan
menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003
tentang tindak pidana terorisme yang lebih
segala bentuk ancaman dengan disahkannya
memudahkan aparat penegak hukum dalam
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang
penangkapan teroris. Keputusan membentuk
Polri, Undang-Undang No. 3 Tahun 2002
undang-undang
tentang pertahanan
darurat dilakukan
negara, UndangSeorang Presiden
paska Bom Bali I
Undang No. 34 Tahun
dengan demikian
pada oktober 2012
2004 tentang TNI, dan
memiliki peran penting
yang menewaskan
Undang-Undang No.
dalam pembangunan
sekitar 200 orang
karakter bangsa dan juga 15 Tahun 2003 tentang
lebih. Bahkan menurut
pemberantasan tindak
sebagai figur panutan
Palembangan (2014),
pidana terorisme.
dan contoh teladan
Presiden memiliki
Sementara itu,
bagi
kepemimpinan
hak mengajukan
Presiden juga telah
dalam corak masyarakat mengeluarkan Perpres
undang-undang
Indonesia yang bersifat
dan mengeluarkan
No. 12 Tahun 2012
heterogen. Presiden
Peraturan Presiden
tentang Badan Nasional
sebagai
orang
yang
apabila keadaan darurat
Penanggulangan
memegang kekuasaan
menimpa Indonesia,
Terorisme untuk
penuh pemerintah adalah meningkatkan kapasitas
yakni terjadi keadaan
darurat sipil, keadaan
lembaga pemerintah
sah menurut konstitusi
darurat militer, dan
dalam memerangi
negara menunjukan
keadaan perang.
terorisme.
bahwa perannya yang
Pada keadaan
Dari semua
sangat strategis dalam
darurat sipil, apabila
penjabaran
di atas,
menentukan arah
keadaan di wilayah
maka jelaslah Presiden
kehidupan bangsa
NKRI diancam oleh
memiliki kewenangan
Indonesia. Peran yang
pemberontakan dan
yang strategis
strategis pada akhirnya
kerusuhan, maka
untuk menentukan
menuntut
Presiden
Presiden memiliki
arah kebijakan
untuk turut aktif
hak untuk menunjuk
pemerintahnya.
melawan
segala
bentuk
pejabat sipil, gubernur
Kewenangan presiden
tindakan radikalisme
atau kepala daerah
dalam mengajukan
yang
bertentangan
setempat sebagai
undang-undang
penguasa darurat militer dengan peraturan dan
dan mengeluarkan
daerah (Palembangan,
Peraturan tentunya
perundang-undangan
2014; 51). Ataupun
dapat dijadikan
yang berlaku.
dalam penanganan
alat hukum untuk
aksi terorisme, dimana
terus menekan
Presiden tengah mengajukan beberapa
laju perkembangan organisasi radikal di
undang-undang untuk menjaga NKRI dari
Indonesia. Bahkan alat hukum juga dapat
30
31
EDISI 2 | OKTOBER 2015
JURNAL POLITIK DAN KEAMANAN NASIONAL
berfungsi memberikan legitimasi kepada
aparat pertahanan dan keamanan untuk
menumpas segala bentuk tindakan teror
maupun pemikiran-pemikiran radikalisme
yang tidak sejalan dengan Pancasila.
Oleh karena itu memang dibutuhkan
kepemimpinan yang tegas dan visioner di
tangan seorang Presiden untuk mengeluarkan
segala bentuk strategi penumpasan terorisme
yang dilidungi oleh perangkat hukum yang
jelas dan mengikat.
ulAmA sebAgAi rePresentAsi
kePemimPinAn AkAr rumPut
Kepemimpinan bukan hanya dilihat
pada kepala negara saja, namun dapat dilihat
juga dari peran pimpinan sebuah organisasi/
kelompok, baik itu kecil atau besar termasuk
kepemimpinan ulama di pesantren.
Pesantren sebagai salah satu lembaga
keagamaan Islam yang memiliki bukan
saja jejaring sangat luas (lokal, nasional,
regional dan internasional), tetapi juga
memiliki cakupan kegiatan yang multi
dimensional, mulai dari pendidikan,
pengembangan ekonomi, pembangunan
sosial hingga politik (Mas’udi, 2000). faktor
kesejarahan, cakupan kegiatan, jaringan
yang luas, dan kepemimpinan yang khas
dari tokoh utama (igure head) nya, yaitu
Kiyai, maka pesantren memiliki pengaruh
yang sangat luas, dan multi dimensional
dalam masyarakat Indonesia umumnya
dan khususnya pada tataran akar rumput
(grass-roots) baik di perkotaan maupun
pedesaan. Dalam sejarah kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di
Indonesia, keterlibatan komunitas pesantren
dan pemimpinnya tak pernah ketinggalan
dan memiliki pengaruh strategis (Hikam,
1997). Sebagai institusi kemasyarakatan
yang berakar tradisional, peran pesantren
sangatditentukan oleh para Kyainya. Kendati
dalam perkembangan dewasa ini peran dan
fungsi Kyai mulai mengalami diferensiasi
sebagai akibat modernisasi dan industrialisasi
namun masyarakat dan elit pemerintahan
di semua level masih menganggapnya
sebagai pemegang posisi kepemimpinan
strategis. Kepemimpinan Kyai berdasar
kepada legitimasi karismatik yang berasala
dari silsilah, keilmuan, kepemilikan, dan
jejaring politik yang dimilikinya. Kendati
dalam perkembangan saat ini komponen
karisma dan kepemilikan (properti) makin
tersaingi, namun dari komponen keilmuan
dan jejaring sosial dan politik tampaknya
masih utuh kalaupun tidak bertambah kuat
pada kasus-kasus tertentu (Kleden, 2000).
Itulah sebabnya, lembaga pesantren selain
diandalkan sebagai lembaga pendidikan
agama (dan umum melalui sistem sekolah
yang semakin banyak diadopsi dan
diasimilisaikan di dalamnya), ia juga menjadi
wahana pengkaderan pemimpin (lokal
dan juga nasional), dan sebagai anggota
masyarakat sipil Indonesia dengan elemenelemen pendukungnya: pondok, mesjid,
pengajaran kitab-kitab klasik, santri dan kyai.
Kyai atau Ulama pesantren sebagai
pemimpin senantiasa diidealisasikan sebagai
teladan bagi umat Islam di sekitarnya dan
sering melampaui batas-batas komunitasnya,
sehingga pandangan dan kepemimpinannya
diterima masyarakat. Apalagi jika Kyai
tersebut dipandang memiliki sikap netral
dalam politik praktis dan mengambil jarak
dengan konlik-konlik yang berdimensi
politik praktis. Kalaupun Kyai berpolitik,
idealnya adalah politik bagi kemaslahatan
umum (al-maslahah al ‘ammah, the common
good). Sebab pada intinya pesantren
memfokuskan diri pada pendidikan agama
(tafaqquh id-dien) yang meliputi kajiankajian mengenai teologi (aqidah), ilsafat
dan Suisme (tasawwuf), hukum Islam
(iqih), ilmu tentang pengambilan hukum
(ushul iqih), Tafsir Qur’an, Hadits, dan Ilmu
tentang Hadits (musthalah Hadits) dan lainlain, yang tidak banyak berbicara tentang
politik praktis secara langsung (Ali, 2008:
14-58, Dhoier, 1982). Hal itu tak berarti
bahwa komunitas pesantren dan Kyai pada
umumnya tidak peka terhadap dinamika
sosial dan politi dan hanya berurusan dengan
transmisi pengetahuan dan menyiapkan
para penerus Islam tradisionil. Justru
dalam sejarah pesantren dan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di
Indonesia, keterlibatan para Kyai tak dapat
diremehkan termasuk sebagai bagian dari
para pendiri bangsa, pejuang dan pahlawan
revolusi, pejabat di lembaga eksekutif,
legislatif dan yudikatif pada semua tingkatan
dan lain-ain. Munculnya pemimpin nasional
yang pluralis berkaliber internasional
seperti (Alm), KH. Abdurrahman Wahid,
Presiden RI ke IV, misalnya, menunjukkan
kemampuan lembaga pesantren dalam
memberikan pendidikan dasar yang
berorientasi kepada praktek dan kehidupan
nyata dalam masyarakat. Lembaga
pendidikan pesantren tidak hanya sibuk
dengan pendalaman teori dan metodologi
ilmu keagamaan, tetapi juga mendorong
kepada aplikasi karena adanya persentuhan
yang terus menerus dengan masyarakat
dengan kegiatan riil di sekitar lingkungan
mereka pada saat dan selepas dari pesantren
(Roiq, 2000).
kePemimPinAn ulAmA dAlAm uPAyA
PenAnggulAngAn AncAmAn terorisme
Jika dikaitkan dengan model
kepemimpinan visioner dan tranformatif
di dalam pembahasan sebelumnya,
kepemipinan Kyai dan lembaga pesantren
telah memenuhi prinsip-prinsipnya. Hal-hal
yang masih harus dikembangkan adalah
masalah manajemen organisasi dan lembaga
pesantren sehingga terjadi peningkatan mutu
yang dapat berkompetisi dengan lembaga
pendidikan dan organisasi kemasyarakatan
lain di tingkat lokal, nasional, regional, dan
internasional. Pengembangan kapasitas dan
kelembagaan organisasi pendukung pesantren
seperti ormas Nahdlatul Ulama (NU),
misalnya, sangat diperlukan sehingga potensipotensi yang dimiliki, termasuk potensi
kepemimpinan visioner-transformational di
kalangan pesantren, dapat dioptimalkan bagi
kepentingan masyarakat, bangsa dan negara
Republik Indonesia. Jika ini tidak dilakukan,
maka kontaminasi politik akan mudah terjadi
dan pelan tapi pasti kekuatan masyarakat sipil
di Indonesia akan mengalami pelemahan
yang serius. Saat ini NU dianggap oleh dunia
sebagai organisasi keagamaan Islam moderat
yang mampu menekan perkembangan
ideology trans-nasional dan gerakan-gerakan
teroris internasional yang menggunakan
klaim Islam. Organisasi NU juga memiliki
peran yang krusial dalam memberikan
pencerahaan terhadap gejala Islamophobia
di dunia Barat yang saat ini merebak sebagai
akibat tindakan-tindakan radikal gerakan
teroris Al-Qaeda, JI, ISIS, dll. Dalam acara
International Conference on Terrorism and
ISIS yang diselenggarakan baru-baru ini pada
Maret 2015, JIEXPO Kemayoran Jakarta,
dikatakan bahwa NU telah dijadikan role
32
33
EDISI 2 | OKTOBER 2015
JURNAL POLITIK DAN KEAMANAN NASIONAL
model oleh beberapa negara Arab sebagai
organisasi yang memberikan pemahaman
tentang Islam yang toleran dan damai
terhadap perbedaan-perbedaan dalam
kehidupan sosial (Hendropriyono, 2015).
Oleh karena itu, sudah saatnya bagi
Pemerintah untuk secara aktif melibatkan
Ormas-ormas Islam untuk meluruskan
paham-paham radikal, melalui dialog
interaktif dan pemberian pandanganpandangan yang meluruskan arti Jihad yang
lebih kontekstual. Peran ormas-ormas Islam
tentunya membutuhkan tata kelola organisasi
yang terarah dan terencana oleh seorang
yang memiliki jiwa kepemimpinan visionertransformastional. Pimpinan Ormas-ormas
besar meskipun tidak diwajibkan dipimpin
oleh Kyai, namun pada kenyataannya sampai
dengan sekarang pimpinan ormas juga
merangkap sebagai Kyai. Walaupun tidak ada
aturan secara tertulis bahwa pimpinan Ormas
harus Kyai, namun secara tradisi dan moral
organisasi tetap memilih Kyai perannya
yang mampu memberikan pencerahan dan
perubahan sosial.
Pada akhirnya kepemimpinan Kyai yang
visioner dapat menggerakan perubahan sosial
di tengah-tengah lingkungan masyarakat
sekitar pesantrennya. Kyai dapat memainkan
psikologi sosial untuk mengarahkan tingkah
laku dan pemahaman tiap-tiap individu
dan kelompok. Psikologi sosial dapat
dibentuk dan diarahkan oleh Kyai karena
kemampuannya sebagai pemimpin yang
mampu membaca karakter masing-masing
anggota di pesantrennya. Peran Kyai sangat
menentukan hubungan antara masyarakat
dengan pesantren yang diharapkan akan
terjadi simbiosis mutualisme (Munsorif,
2014). Hal ini dapat dilihat dari program-
program yang dibentuk oleh Kyai untuk
kehidupan sosial masyarakat sekitar.
Saat ini ditengarai telah terjadi pergeseran
peran Kyai, yaitu kekuatannya cenderung
digunakan dalam politik. Memang salah
satu segi positif dari masuknya Kyai dalam
politik adalah memungkinkan berbagai
kebijakan yang sensitif dan krusial dari
pemerintah dapat diterima oleh masyarakat.
Tetapi dampak negatif yang dirasakan
adalah dengan masuknya Kyai dalam politik
praktis maka karakter kemandirian Kyai dan
lembaga pesantren menjadi dipertanyakan.
Implikasinya, tingkat kepercayaan
masyarakat akan menurun dan pengaruh
kepemimpinan kyai juga tidak lagi efektif
karena dianggap memiliki kepentingan
tersembunyi (vested interests). Rakyat yang
telah memiliki tingkat pengetahuan yang
makin tinggi, akses informasi yang luas,
dan mobilitas yang tinggi serta didukung
lingkungan yang demokratis akan sangat
kritis terhadap semua pandangan dan
perilaku yang dirasa berlawanan dengan
kaidah-kaidah etis yang dipegang, dan juga
kebiasaan atau tradisi yang baik. Peran
kepemimpinan nasional yang visioner
dan transformatif dalam penanggulangan
terorisme akan dapat dijalankan oleh para
Kyai di komunitas pesantren dan sekitarnya
serta masyarakat pada umumnya. Mereka
dapat menjadi bagian integral dalam program
deradikalisasi dengan tujuan menetralisir
ideologi Islam radikal/jihadis yang menjadi
landsan ideologi kelompok teroris. Para
Kyai sebagai pakar dalam ilmu keagamaan
dapat meluruskan pemahaman yang
menyimpang yaitu radikalisme, liberalisme,
dan fundamentalisme. Pemahaman
terhadap ajaran-ajaran Islam yang moderat,
seimbang, toleran, dan mengedepankan
musyawarah dapat lebih dikembangkan dan
disosialisasikan dan menjadi bagian integral
dalam aktualisasi ideologi negara Pancasila.
Selain itu Kyai dan komunitas pesantren
bisa menjadi bagian penting dalam dialog
antar-iman dengan komunitas agama lain
atau dengan anggota masyarakat sipil
lainnya di seluruh Indonesia. Organisasi
seperti forum Komunikasi Umat Beragama
yang keberadaannya telah tersebar di
hampir seluruh Indonesia dapat menjadi
wahana bagi dialog tersebut, selain sebagai
counter terhadap kegiatan-kegiatan yang
dibuat oleh ormas-ormas yang mendukung
paham-paham sektarian. Oleh karenanya,
pemberdayaan tokoh-tokoh Islam moderat
agar dapat menyebarluaskan pemahaman
moderatnya, yang selama ini dimotori
oleh NU dan Muhammadiyah, akan dapat
menopang strategi penanggulangan terorisme
secara efektif melalui para pemimpin non
formal seperti para Kyai. Bahkan program
rehabilitasi para teroris pada masa penahanan
dan setelah menjalani hukuman pun dapat
melibatkan mereka untuk memberikan
penyadaran mengenai penafsiran ajaran yang
radikal dan monolitik.
PenutuP
Dari uraian dan pembahasan di atas,
kiranya telah dapat diambil kesimpulan
bahwa penanggulangan terorisme di
Indonesia merupakan sebuah tanggung
jawab bersama dari seluruh anak bangsa dan
penyelenggara negara, sebab bahaya tersebut
telah menciptakan bukan saja korban nyawa
dan hancurnya kepemilikan (properties)
di Indonesia, tetapi juga mengancam
keberadaan dan keberlangsungan NKRI
sebagaimana yang diamanatkan oleh
para pendiri bangsa melalui Proklamasi
Kemerdekaan dan UUD 1945. Terorisme
merupakan musuh bersama bangsa-bangsa
di dunia karena akan membahayakan
kemanusiaan dan perdamaian. Sampai saat
ini Indonesia masih tetap menjadi salah satu
target utama aksi terorisme yang tujuannya
adalah mengganti dasar negara Pancasila
dan bentuk negara sebagaimana yang telah
menjadi kesepakatan nasional. Melalui
penyebaran, sosialisasi, dan pendalaman
ideologi radikal/jihadis di dalam masyarakat
dengan segala bentuknya kelompok tersebut
berusaha mempengaruhi dan kemudian
memperoleh dukungan dari kelompokkelompok masyarakat (khususnya Muslim)
untuk kembali memperjuangkan tegaknya
Syariat islam dan berdirinya Negara Islam
yang menjadi bagian dari sistem Khilafah
atau Pan-Islam baru. Berbagai model
propaganda ideologis yang mereka lakukan
melalui jejaring sosial dan media, baik yang
berlingkup nasional maupun internasional,
kelompok garis keras Islam telah dan sedang
memperkuat dirinya. Selain itu melalui
aksi-aksi terorisme atas nama keadilan dan
pembebasan ummat dari cengkeraman
AS dan sekutunya, gerakan terorisme telah
menjadikan Indonesia sebagai target operasi
sejak awal masa reformasi sampai saat ini.
Dalam upaya penanggulangan terhadap
ancaman terorisme, faktor kepemimpinan
yang visioner dan transformasional ternyata
sangat diperlukan sehingga memobilisasi
dukungan dari seluruh komponen bangsa
dapat dilakukan. Kepemimpinan di sini
termasuk pada tataran negara atau Pemerintah
dan masyarakat sipil, serta akar rumput.
Keberadaan kepemimpinan yang tegas dan
34
35
EDISI 2 | OKTOBER 2015
JURNAL POLITIK DAN KEAMANAN NASIONAL
mampu memobilisasi dukungan tersebut,
khususnya pada masyarakat sipil, akan
dapat meningkatkan kapasitas dan kualitas
masyarakat, bangsa dan negara dalam
membendung pengaruh ideologi radikal
Islam karena kepemimpinan tersebut
telah memiliki akar kesejarahan dan
kemasyarakatan yang kokoh, kemampuan
mengajak para pengikut untuk melakukan
tindakan, serta melakukan perubahanperubahan sesuai dengan dinamika yang
berkembang. Dalam masyarakat sipil
Indonesia (MSI), kepemimpinan visioner
dan transformasional ini dapat ditemukan
dalam komunitas pesantren yang selama
ini telah diakui perannya di dalam sejarah
kehidupan bangsa dan negara RI, yaitu
para kyai atau ulama pimpinan pesantren.
Kyai memiliki karakter-karakter dasar
kepemimpinan visioner dan juga memiliki
kapasitas transformatif yang jika didukung
dengan pengembangan dan pemberdayaan
sistem manajemen yang baik, akan menjadi
kekuatan luar biasa dalam melakukan
penanggulangan terhadap terorisme baik
sekarang maupun di masa-masa yang akan
datang. Pemerintah akan memperoleh
partner yang sinergis dan dapat membantu
pelaksanaan kebijakan-kebijakan publik
mulai pada tingkat nasional sampai tingkat
lokal. Sebagai salah satu contoh, Kyai dan
lembaga pesantren dapat menjadi pelaku
utama dan wahana yang efektif dalam
program nasional deradikalisasi yang
ditujukan untuk menetralisasi paham radikal/
jihadis dan meminimalisasi pengaruhnya
di dalam komunitas komunitas Islam. Kyai
dapat memberikan penafsiran-penafsiran
ajaran keagamaan yang menolak kekerasan,
fanatisme, dan sikap-sikap anti terhadap
kelompok agama lain maupun seagama
tetapi berbeda pemahaman, demikian pula,
Kyai dan pesantren dapat mengajak dan
memobilisasi ummat dan masyarakat untuk
mewaspadai ajaran-ajaran dan propaganda
yang bertentangan dengan Pancasila dan
UUD 1945 sehingga ketahanan ideologi
masyarakat dan bangsa akan dapat diperkuat.
dAftAr PustAkA
Ali, As’ad Said. Pergolakan di Jantung
Tradisi: NU Yang Saya Amati. Jakarta:
LP3ES, 2008.
Burt Nanus, Kepemimpinan Visioner.
Jakarta: Prenhallindo, 2001.
Brown, Barbara. Evaluating Leadership
Qualities: 10 Things Effective Leaders Do
To Motivate Employees. http//:www.Ezine1.
com/september11/2008. Diunduh tgl. 23
Maret. 2011.
covey, Stephen R. Principle Centered
Leadership. New York: Simon &
Schuster,1990.
cronin, Audrey. How Terrorism Ends:
Understanding the Decline and Demise of
Terrorist Campaigns. Princeton University,
2009
Dhoier. Zamakhsyari. Tradisi
Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai.
Jakarta: LP2ES, 1982.
hendropriyono, AM. Penangkalan
Terhadap Pengaruh ISIS. International
Conference on Terrorism & ISIS, Jakarta,
2015
hikam, Muhammad AS. “Khittah dan
Penguatan Civil Society di Indonesia: Sebuah
Kajian Historis dan Struktural atas NU Sejak
1984,” dalam Darwis, EKH (ed.). Gus Dur,
NU dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LKiS,
1997
jones, Sidney. Capturing the Impact of
Terrorism for the Last Decade, IPAC, 2012
jones, Sidney. The Evolution of ISIS
in Indonesia. Institute for Policy Analysis of
Conlict, IPAC, September, 2014
Kleden, Ignas. “Melacak Akar Konsep
Demokrasi.” dalam Suaedy, Ahmad (ed.).
Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi.
Yogyakarta: LKiS, 2000, hal. 1-14.
Materi Pokok Bidang Studi
Kepemimpinan Nasional PPSA
Lemhannas XVII 2011. Jakarta: Lemhannas
RI, 2011a.
Materi Pokok Bidang Studi
Kepemimpinan Kontemporer PPSA
Lemhannas XVII 2011. Jakarta: Lemhannas
RI, 2011b.
Mbay, Ansyaad. Irjen.Pol (P).
Terorisme dan Kebijakan Pemerintah Dalam
Penanggulangannya. (Jakarta: BNPT, 2011).
Palembangan, Wellitania. Implementasi
Perjanjian Lombok Mengenai Kerjasama
Polri dan Australia federal Police Dalam
Kontra-Terorisme: 2006-2012. Universitas
Pertahanan, Jakarta, 2014
Powell, colin. The Leadership Secrets.
McGraw-Hill, 2002.
Rahman, Andrea. Terorisme Sebagai
Upaya Komunikasi Politik, Jakarta, 2013
Roiq. Ahmad. “NU/Pesantren dan
Tradisi Pluralisme dalam Konteks Negara
Bangsa.” dalam Suaedy, Ahmad (ed.).
Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi.
Yogyakarta: LKiS, 2000, hal. 209-14
Suwirta, Andi & hermawan, Iyep.
Masalah Karakter Bangsa dan figur
Kepemimpinan di Indonesia: Perspektif
Sejarah. Universitas Pendidikan Indonesia,
2012
36
37
EDISI 2 | OKTOBER 2015
JURNAL POLITIK DAN KEAMANAN NASIONAL
centre
democracy integrity & peace
DIP Centre, lembaga independen yang memiliki misi memberikan pencerahan
terhadap isu-isu strategi KAMNAS yang diwujudkan melalui riset,
penelitian & berbagai pengetahuan
Jurnal Strategic Outlook merupakan jurnal di bidang
politik dan keamanan nasional yang menyajikan berbagai
permasalahan strategis dengan tujuan memberikan
pencerahan dan menambah wawasan bagi para pembaca.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Reaktualisasi Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara
Demokratisasi dan Keamanan Nasional
Hubungan Australia – Indonesia di Abad Asia
Ekonomi Nasional Dalam Perspektif Pengusaha: Tinjauan Dunia
Usaha Pasca Reformasi.
Pokok-pokok pikiran menjadikan Indonesia Berdaulat pangan
sebagai Lumbung pangan Dunia.
What is the grand strategy of Indonesia today? What it should be?
Critical Review RUU Kamnas
Problem Filosois Tentang Konsep ‘Perdamaian Abadi
Grand Wijaya, No. C 31-32 Lantai 2
Jalan Wijaya 2, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Telp / fax +6221-7207848, Email: [email protected]
@dipcentre
80
EDISI 2 | OKTOBER 2015
DIP Centre
www.dipcentre.org