PEMBERDAYAAN KESEHATAN MENTAL DALAM KELU

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan fundasi primer
bagi perkembangan anak, juga memberikan pengaruh yang menentukan bagi
pembentukan watak dan kepribadian anak, yaitu memberikan stempel yang tidak
bisa dihapuskan bagi kepribadian anak. Maka baik-buruknya keluarga ini
memberikan dampak yang positif atau negatif pada pertumbuhan anak menuju
kepada kedewasaannya.
Pola tingkah laku, fikiran, dan sugesti ayah ibu dapat mencetak pola yang
hampir sama pada anggota-anggota keluarga lainnya. Oleh karena itu tradisi,
kebiasaan sehari-hari, sikap hidup, cara berfikir, dan filsafat hidup keluarga itu
sangat besar sekali pengaruhnya dalam proses membentuk tingkah laku dan sikap
anggota keluarga, terutama anak-anak. Sebab tingkah laku orang tua itu mudah
sekali menular kepada anak-anak puber dan adolesens yang jiwanya belum stabil,
dan tengah mengalami banyak gejolak batin.
Kualitas rumah tangga atau kehidupan keluarga, jelas memainkan peranan
penting sekali dalam membentuk kepribadian anak menuju pada keseimbangan
batin dan kesehatan mental atau justru membuat mental anak-anak yang masih
muda in jadi tidak waras.
Sebabnya ialah antara lain sebagai berikut:

1) Karena ayah dan ibu masing-masinng terlalu pusing mengurusi permasalahan
dan konflik-konflik sendiri yang berlarut-larut, maka anak-anak kurang terurus,
tidak mendapatkan perhatian (pengabaian edukatif).
2) Kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikis anak-anak menjadi tidak terpenuhi.
Mereka menjadi sangat kecewa dan merasa diabaikan (ada pengabaian
psikofisik).

1

3) Anak-anak tidak pernah mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat
diperlukan bagi hidup susila/etis, tidak mengenal tanggung jawab dan disiplin
(pengabaian moril).
Sebagai akibat dari ketiga jenis pengabaian tersebut diatas, anak sering
menjadi risau, bingung, merasa tersudut atau ditinggalkan. Di kemudian hari
anak-anak ini mencari kompensasi bagi kerisauan hatinya itu di luar lingkungan
keluarga. Lalu masuk satu gang immoril atau kumpulan anak-anak kriminil, dan
menderita macam-macam gangguan mental.
Anak-anak yang kurang mendapatkan perhatian dan kasih-sayang dari
orang tua itu selalu merasa tidak aman, dan merasa kehilangan tempat berpijak
atau tempat berlindung. Di kemudian hari mereka akan mengembangkan reaksi

kompensatoris berbentuk dendam dan sikap bermusuh terhadap dunia luar. Anakanak ini mulai “menghilang” dari rumah, lebih suka bergentayangan di luar
lingkungan keluarga sendiri.
Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sedikit sekali
atau tanpa mendapatkan supervisi/pengawasan dan latihan disiplin yang teratur,
jelas tidak akan sanggup menginternalisasikan dalam pribadi sendiri norma-norma
hidup moral dan susila. Bahkan banyak dari mereka menjadi kebal terhadap nilai
kesusilaan (jadi a-susila atau immoril), sebaliknya mereka menjadi lebih peka
terhadap pengaruh-pengaruh jahat dari luar. Sehingga untuk selama-lamanya
anak-anak muda dan orang dewasa macam itu tidak akan pernah mampu
mengembangkan disiplin diri dan pengendalian diri.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dari itu penulis menyusun
makalah dengan judul Strategi Pengelolaan Kesehatan Mental dalam Keluarga.

2

1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Strategi Pengelolaan Kesehatan Mental dalam
Keluarga?
2. Ada berapa macam Strategi Pengelolaan Kesehatan Mental dalam
Keluarga?

3. Mengapa diperlukan Strategi Pengelolaan Kesehatan Mental dalam
Keluarga?
4. Bagaimana Strategi Pengelolaan Kesehatan Mental dalam Keluarga?
5. Bagaimana pengembangan Strategi Pengelolaan Kesehatan Mental
dalam Keluarga?
6. Bagaimana peranan dalam Strategi Pengelolaan Kesehatan Mental
dalam Keluarga?
7. Bagaimana integrasi islam mengenai Strategi Pengelolaan Kesehatan
Mental dalam Keluarga?
1.3 Manfaat dan Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Kesehatan Mental
2. Untuk memenuhi Apa pengertian dari Strategi Pengelolaan Kesehatan
Mental dalam Keluarga.
3. Untuk memenuhi Ada berapa macam Strategi Pengelolaan Kesehatan
Mental dalam Keluarga.
4. Untuk memenuhi Bagaimana Strategi Pengelolaan Kesehatan Mental
dalam Keluarga.
5. Untuk memenuhi Bagaimana Strategi Pengelolaan Kesehatan Mental
dalam Keluarga.
6. Untuk memenuhi Bagaimana pengembangan Strategi Pengelolaan

Kesehatan Mental dalam Keluarga
3

7. Untuk memenuhi Bagaimana peranan dalam Strategi Pengelolaan
Kesehatan Mental dalam Keluarga.
8. Untuk memenuhi Bagaimana integrasi islam mengenai Strategi
Pengelolaan Kesehatan Mental dalam Keluarga.

4

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Strategi Pengelolaan Kesehatan Mental dalam Keluarga
2.1.1 Pengertian Strategi Pengelolahan Kesehatan Mental
Dalam mendefinisikan kesehatan mental, sangat dipengaruhi oleh
kultur dimana seseorang tersebut tinggal. Apa yang boleh dilakukan
dalam suatu budaya tertentu, bisa saja menjadi hal yang aneh dan
tidak normal dalam budaya lain, dan demikian pula sebaliknya (Sias,
2006). Menurut Pieper dan Uden (2006), kesehatan mental adalah
suatu keadaan dimana seseorang tidak mengalami perasaan bersalah

terhadap dirinya sendiri, memiliki estimasi yang relistis terhadap
dirinya sendiri dan dapat menerima kekurangan atau kelemahannya,
kemampuan menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya, memiliki
kepuasan dalam kehidupan sosialnya, serta memiliki kebahagiaan
dalam hidupnya. Notosoedirjo dan Latipun (2005), mengatakan bahwa
terdapat banyak cara dalam mendefenisikan kesehatan mental (mental
hygene) yaitu: (1) karena tidak mengalami gangguan mental, (2) tidak
jatuh sakit akibat stessor, (3) sesuai dengan kapasitasnya dan selaras
dengan lingkungannya, dan (4) tumbuh dan berkembang secara
2.1.2

positif.
Pengertian Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan paling berpengaruh dalam proses
pembelajaran dan perkembangan anak. Pengalaman yang didapat
bersama orangtua diyakini akan selamanya tertanam dalam kehidupan
mereka bahkan ketika mereka telah dewasa (Bronfenbrenner, dalam
Swick, 2006). Keluarga didefinisikan sebagai sebuah kelompok yang
memiliki relasi intim yang terdiri atas dua atau lebih individu di
dalamnya dan memiliki beberapa ciri berikut ini: hidup bersama di

dalam relasi yang berkomitmen, saling asuh dan membimbing anak,
dan berbagi aktivitas serta memiliki ikatan emosional yang relatif
dekat (Benokraitis, 2011). Anak-anak yang memiliki pengalaman

5

emosional cukup kaya, ketika dewasa akan menjadi individu yang
peduli (Brazelton dan Greenspan, 2000).
Ada empat fungsi keluarga sebagai agen pembelajaran kepedulian
menurut Swick (2006) :
1. Keluarga merupakan ekologi yang dapat dipercaya, didalamnya
dibutuhkan tempat yang aman, nyaman, penuh cinta, dan
menganggap

anak-anak

bermakna

agar


mereka

dapat

mengembangkan relasi positif.
2. Keluarga merupakan tempat dimana anggota keluarga saling
melayani dan membantu, sehingga anak-anak mendapati dirinya
dipedulikan dan mendapat kesempatan untuk mempedulikan orang
lain.
3. Keluarga mengajari anak untuk membantu orang lain, dengan
begitu

anak-anak

belajar

mengenai:

identitas


kepedulian,

menyadari pentingnya memberikan bantuan kepada orang lain,
serta mengembangkan pemahaman baru mengenai orang lain dan
bakat kepedulian yang mereka miliki.
4. Keluarga merupakan alat untuk memecahkan permasalahan dengan
penuh kedamaian.
KELUARGA

SEBAGAI

DASAR

KETAHANAN.

Keluarga

menjadi sumber utama bagi: anak untuk menyediakan dasar ketahanan
anak dalam masyarakat, suami istri saling bergantung dalam hal
companionship, serta anak-anak karena membutuhkan kasih sayang

dan pengasuhan dari orangtua. Fungsi dasar keluarga adalah
reproduksi, sosialisasi, pendidikan, penugasan peran-peran sosial,
dukungan ekonomi, serta dukungan emosi.
MEMBANTU ANAK DAN REMAJA. Ada beberapa langkah dalam
membantu anak dan remaja mengatasi permasalahannya, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.

Jalin hubungan yang dekat & terbuka dengan anak atau remaja
Identifikasi, perjelas, dan fokuskan pada kebutuhan / masalah
Memahami perasaan anak-anak / remaja
Menyimak dengan seksama
Berkomunikasi dengan jelas.

6

BERBICARA PADA ANAK MENGENAI BENCANA. Ada

beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penanganan anak-anak
yang mengalami bencana, antara lain:
a. Jangan beranggapan bahwa anak tidak mengetahui tentang
bencana yang terjadi.
b. Dengarkan apa yang ingin dikatakan anak tentang bencana,
karena ini adalah kesempatan untuk mengetahui apakah ada
kesalahpahaman sehingga dapat segera diberikan penjelasan
serta dukungan yang tepat.
2.2 Strategi Pengelolaan Kesehatan Mental dalam Keluarga
Keluarga mempunyai peranan penting, karena dipandang sebagai sumber
pertama dalam proses sosialisasi (Uichol Kim & John W. Berry). Keluarga
juga berfungsi sebagai transmitter budaya, atau mediator sosial budaya anak
(Hurlock, 1956; dan Pervin, 1970).
Keluarga juga dipandang sebagai instansi (lembaga) yang dapat memenuhi
kebutuhan insani (manusiawi), terutama kebutuhan bagi pengembangan
kepribadiannya, dan pengembangan ras manusia. Jika mengaitkan peranan
keluarga dengan upaya memenuhi kebutuhan individu, maka keluarga
merupakan lembaga pertama yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Melalui perawatan, dan perlakuan yang baik dari orang tua, anak dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, baik fisik-bilogis, maupun

sosiopsikologisnya.
Keluarga yang bahagia merupakan suatu hal yang sangat penting bagi
perkembangan emosi para anggotanya (terutama anak). Kebahagiaan itu
diperoleh, apabila keluarga dapat memerankan fungsinya secara baik. Fungsi
dasar keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang;
dan mengembangkan hubungan yang baik di antara anggota keluarga.
Hubungan cinta kasih dalam keluarga tidak sebatas perasaan, akan tetapi juga
menyangkut pemeliharaan, rasa tanggung jawab, perhatian, pemahaman,
respek, dan keinginan untuk menumbuhkembangkan anak yang dicintainya.

7

Keluarga yang hubungan antar anggotanya tidak harmonis, penuh konflik,
atau gap communication, dapat mengembangkan masalah-masalah kesehatan
mental (mental illness) bagi anak.
Mengkaji lebih jauh tentang fungsi keluarga ini, dapat dikemukakan
bahwa secara sosiopsikologis, keluarga berfungsi sebagai :
a. Pemberi rasa aman bagi anak dan anggota keluarga lainnya
b. Sumber pemenuhan kebutuhan, baik fisik maupun psikis
c. Sumber kasih sayang dan penerimaan
d. Model pola perilaku yang tepat bagi anak untuk belajar menjadi
anggota masyarakat yang baik
e. Pemberi bimbingan bagi pengembangan perilaku yang secara sosial di
anggap tepat
f. Pembantu anak dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dalam
rangka menyesuaikan dirinya terhadap kehidupan
g. Pemberi bimbingan dalam belajar keterampilan, motor, verbal, dan
sosial yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri
h. Stimulator bagi pengembangan kemampuan anak untuk mencapai
prestasi, baik di sekolah maupun di masyarakat
i. Pembimbing dalam mengembangkan aspirasi
j. Sumber persahabatan (teman bermain) anak, sampai cukup usia untuk
mendapatkan teman di luar rumah, atau apabila persahabatan di luar
rumah tidak memungkinkan.
Sedangkan dari sudut pandang sosiologis, fungsi keluarga itu dapat
diklasifikasikan ke dalam fungsi-fungsi biologis, ekonomis, edukasi,
sosialisasi, proteksi, rekreasi, dan religius (M.I. Soelaeman, 1978; Sudardja
Adiwikarta, 1988; dan Melly SS Rifai, dalam Jalaluddin Rahmat dan Muhtar
G., 1994).
2.2.1

Strategi Pendekatan Kesehatan Keluarga sebagai Kontek (Family
as Context)
Berikut

ini

merupakan

relasional

yang

menunjang

terhadap

kesinambungan pelayanan kesehatan dengan keluarga sebagai kontek,
yakni :
- Individu ditempatkan pada fokus pertama sedangkan keluarga yang
kedua
8

- Fokus pelayanan keperawatan: individu.
- Individu atau anggota keluarga akan dikaji dan diintervensi.
- Keluarga akan dilibatkan dalam berbagai kesempatan.
2.2.2

Strategi Pendekatan Kesehatan Keluarga sebagai Klien (Family
as Client)
Berikut

ini

merupakan

relasional

yang

menunjang

terhadap

kesinambungan pelayanan kesehatan dengan keluarga sebagai klien,
yakni:
- Perhatian utama pada keluarga sedangkan individu kedua
- Keluarga dilihat sebagai penjumlahan dari individu-individu
anggota keluarga
- Perhatian

dikonsentrasikan

bagaimana

kesehatan

individu

berdampak pada keluarga secara keseluruhan
2.2.3

Strategi Pendekatan Kesehatan Keluarga sebagai Sistem (Family
as System)
Berikut

ini

merupakan

relasional

yang

menunjang

terhadap

kesinambungan pelayanan kesehatan dengan keluarga sebagai sistem,
yakni:
- Fokus pada keluarga sebagai klien dan keluarga adalah sistem yang
berinteraksi
- Pendekatan pada individu sebagai anggota keluarga dan keluarga
secara bersamaan
- Interaksi antara anggota keluarga menjadi target intervensi
keperawatan (seperti: hubungan orang tua dan anak, antara hirarki
orang tua)
2.2.4

Strategi Pendekatan Kesehatan Keluarga sebagai Komponen
Sosial (Family as Component of Society)
Berikut

ini

merupakan

relasional

yang

menunjang

terhadap

kesinambungan pelayanan kesehatan dengan keluarga sebagai
komponen sosial, yakni:
- Keluarga dilihat sebagai sebuah institusi sosial, pendidikan,

9

spiritual, ekonomi, dan kesehatan.
- Kelurga adalah unit utama dan kumpulan keluarga akan
membentuk sistem yang lebih besar yaitu masyarakat
- Keluarga berinteraksi dengan institusi lain untuk menerima,
bertukar dan saling memberi layanan.
2.2.5

Lima Pendekatan Promkes (Similarly, Ewles dan Simnett (1999)):
1.

Pendekatan medis (preventif)
Pendekatan ini dikonsepkan pada keberadaan penyakit. Hal ini
digunakan untuk mencegah penyakit dan kematian imunisasi.
Kegiatan : melalui kampanye media dan edukasi
Fokus : individu membuat keputusan untuk tetap sehat dengan
mencegah penyakit

2. Pendekatan Perilaku
Pendekatan ini bertujuan untuk mendorong masyarakat agar
mengadopsi perilaku kesehatan yang yang digunakan dalam
pemeliharaan kesehatan. Pendekatan ini membuat masyarakat
bebas membuat pilihan tentang perubahan perilaku yang
berhubungan dengan kesehatan.
Kegiatan : komunikasi dan konseling
3. Pendekatan edukasi
Pendekatan ini memfasilitasi proses belajar melalui dialog dan
diskusi dengan mengintegrasikan kehidupan dengan model
pendidikan
Taktik yang digunakan ialah : Health Education Authority (HEA),
seperti meningkatkan kepedulian resiko merokok pada ibu hamil.
4. Pendekatan perubahan sosial
Pendekatan ini harus menjamin bahwa sehat lebih mudah dicapai
dan mendukung perhatian kesehatan untuk semua.
Fokus : tidak merubah perilaku individu tetapi pada pengaruh
positif kesehatan masyarakat.
5. Pendekatan berpusat pada klien

10

Pendekatan ini berdasar pada hubungan seimbang antara profesi
kesehatan dengan klien. Profesi kesehatan memberi bimbingan,
dukungan dan dorongan agar klien dapat membuat pilihan
2.3 Pengembangan Strategi Pengelolaan Kesehatan Mental dalam Keluarga
Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya untuk
mengembangkan kepribadian anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih
sayang, dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun
sosial budaya yang diberikannya merupakan faktor yang kondusif untuk
mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat.
Adanya perbedaan kebiasaan, keinginan, dan sikap-sikap antara suami
dan istri. Apabila suami dan istri kurang memiliki sikap saling memahami
dan menerima, maka hal tersebut dapat menjadi faktor pemicu pertengkaran
atau perselisihan, sehingga iklim kehidupan keluarga dirasakan tidak
harmonis (sunda : awet rajet).
a. Penghasilan suami yang kurang mencukupi kebutuhan keluarga.
b. Minimnya biaya pendidikan dan kesehatan bagi anak.
c. Penyakit salah seorang anggota keluarga yang tidak sembuh-sembuh dan
memerlukan perawatan yang cukup mahal.
d. Anak berperilaku nakal.
e. Terjadinya perceraian yang dapat menyebabkan dampak yang kurang
baik terhadap kehidupan keluarga, terutama terhadap nasib masa depan
anak.
f. Suami atau istri berselingkuh.
g. Adanya sikap saling mendominasi antara suami dan istri.
h. Salah seorang anggota keluarga mengalami gangguan/sakit jiwa.
Pada uraian berikut akan dibahas tentang pengaruh keluarga terhadap
perkembangan kepribadian atau kesehatan mental anak (remaja), yaitu
menyangkut keberfungsian, dan perlakuan keluarga.
Seiring dengan perjalanan hidupnya yang diwarnai oleh faktor
internal (kondisi fisik, psikis, dan moralitas para anggota keluarga), dan faktor
eksternal

(perubahan

sosial

budaya),

maka

maisng-masing

keluarga

11

mengalami perubahan yang beragam. Ada keluarga yang semakin kokoh
dalam menerapkan fungsinya (fungsional-normal), namun ada juga keluarga
yang mengalami keretakan atau ketidakharmonisan (disfungsional-tidak
normal).
Pada uraian berikut akan dibahas tentang pengaruh keluarga terhadap
perkembangan kepribadian atau kesehatan mental anak (remaja), yaitu
menyangkut keberfungsian, dan perlakuan keluarga.
1. Keberfungsian Keluarga
Seiring dengan perjalanan hidupnya yang diwarnai oleh faktor
internal (kondisi fisik, psikis, dan moralitas para anggota keluarga), dan
faktor eksternal (perubahan sosial budaya), maka maisng-masing keluarga
mengalami perubahan yang beragam. Ada keluarga yang semakin kokoh
dalam menerapkan fungsinya (fungsional-normal), namun ada juga
keluarga

yang

mengalami

keretakan

atau

ketidakharmonisan

(disfungsional-tidak normal).
Stinnet dan John de Frain (Didin Hafidhuddin, dalam Iqbal S., dan
M.Solihat, 1996) mengemukan tentang upaya untuk menciptakan keluarga
yang sehat dan bahagia (happy and healthy family), yaitu sebagai berikut.
a.
b.
c.
d.
e.

Terciptanya kehidupan beragama dalam keluarga
Tersedianya waktu bersama dalam keluarga
Terciptanya komunikasi yang baik antar anggota keluarga
Saling menghargai antar sesama anggota keluarga
Keluarga sebagai ikatan sosial terkecil dalam masyarakat hendaknya

kuat, erat, dan tidak longgar
f. Apabila dalam keluarga terjadi krisis, utamakan keutuhan rumah
tangga di atas kepentingan pribadi (egoisme) masing-masing, dan
selesaikan secara konstruktif-positif, bahkan kalau perlu dengan
bantuan seorang profesional (marriage counselor).
Alexander A. Schneiders (1960 : 405) mengemukakan bahwa
keluarga yang ideal (fungsional-normal) ditandai oleh ciri-ciri : (a)
minimnya perselisihan antar orang tua atau orang tua-anak, (b) ada

12

kesempatan untuk menyatakan keinginan, (c) penuh kasih sayang, (d)
penerapan disiplin yang tidak keras, (e) ada kesempatan untuk bersikap
mandiri dalam berpikir, merasa, dan berperilaku, (f) saling menghormati,
menghargai (mutual respect) di antara orang tua dan anak, (g) ada
konferensi (musyawarah) keluarga dalam memecahkan masalah atau
kesulitan, (h) menjalin kebersamaan (kerjasama) antara orang tua dan
anak, (I) orang tua memiliki emosi yang stabil, (j) berkecukupan dalam
bidang ekonomi, dan (k) mengamalkan nilai-nilai moral dan agama.
Apabila

suatu

keluarga

tidak

mampu

menerapkan

atau

melaksanakan fungsi-fungsi seperti telah dipaparkan di atas, maka
keluarga tersebut berarti telah mengalami stagnasi (kemandegan) atau
disfungsi, yang pada gilirannya akan merusak kekokohan konstelasi
keluarga tersebut (khususnya terhadap perkembangan kepribadian anak).
Organisasi Wanita se-Asia Pasifik (Pan Pacific South East Asia
Women’s Association, PPSEAWA) dalam konferensinya yang ke 20 di
Kuala Lumpur Malaysia menyimpulkan bahwa “Kerusakan-kerusakan
yang terjadi dalam keluarga di abad ke 20, semakin memburuk. Percraian
dan perpisahan, nyata-nyata menempati posisi tinggi. Malah diperkirakan
sekitar 40-50 % generasi mendatang akan menjadi keluarga yang broken
home, akibat perceraian orang tuanya. Atau mereka yang hanya
mempunyai orang tua tunggal (single parent). Oleh karena itu, tidak perlu
kaget apabila kenakalan remaja, kekerasan dan tindak kriminal yang
dilakukan anak-anak muda akan semakin mewabah. Disamping itu,
ketergantungan para pemuda pada obat-obat terlarang, tidak akan dapat
dikontrol lagi, di sebagian besar negara di dunia ini (Suara Pembaharuan :
27 November 1997).
Menurut Dadang Hawari (1997 : 163-165) anak yang dibesarkan
dalam keluarga yang mengalami disfungsi mempunyai resiko lebih besar
untuk terganggu tumbuh kembang jiwanya (berkerpibadian anti sosial
misalnya) daripada anak yang dibesarkan dalam keluarga yang harmonis
13

dan utuh (keluarga sakinah). Adapun ciri-ciri keluarga yang mengalami
disfungsi itu adalah (1) kematian salah satu atau kedua orang tua, (2)
kedua orang tua berpisah atau bercerai (divorce), (3) hubungan kedua
orang tua tidak baik (poor marriage), (4) hubungan orang tua dengan anak
tidak baik (poor parent-child realtionship),(5) suasana rumah tangga yang
tegang dan tanpa kehangatan (heigh tension and low warmth), (6) orang
tua sibuk dan jarang di rumah (parent’s absence), (7) salah satu atau kedua
orang tua mempunyai kelainan kepribadian atau gangguan kejiwaan
(personality or psychological disorder).
Salah satu ciri disfungsi keluarga di atas, adalah perceraian orang
tua. Perceraian ini ternyata memberikan dampak yang kurang baik kepada
perkembangan kepribadian anak. Remaja yang orang tuanya bercerai, dia
akan mengalami kebingungan dalam mengambil keputusan, apakah akan
mengikuti ibu atau ayah; dia cenderung mengalami kefrustrasian, karena
kebutuhan dasarnya seperti : persaan ingin disayangi, dilindungi rasa
amannya, dan dihargai telah tereduksi bersamaan dengan peristiwa
perceraian orang tuanya.
Keadaan keluarga yang tidak harmonis, tidak stabil, atau
berantakan

(broken

home),

merupakan

faktor

penentu

bagi

berkembangnya kepribadian anak yang tidak sehat.
Berkaitan dengan masalah disfungsional keluarga di atas, Stephen
R. Covey (1997 : 17, 20-21, dan 390) mengemukakan bahwa sekitar 30
tahun yang lalu telah terjadi perubahan situasi keluarga yang sangat kuat
dan dramatis, yaitu dengan terjadinya peristiwa berikut :
a. Angka kelahiran anak yang tidak sah meningkat menjadi lebih dari 400
persen;
b. Persentase kepala keluarga oleh “orang tua tunggal” (single
parent) telah terjadi berlipat ganda;
c. Angka perceraian telah terjadi berlipat ganda, banyak pernikahan yang
terjadi berakhir dengan perceraian;
d. Peristiwa bunuh diri di kalangan remaja meningkat sekitar 300 persen;
14

e. Skor tes bakat skolastik para siswa turun sekitar 73 butir;
f. Masalah nomor satu para wanita Amerika pada saat ini adalah tindakan
kekerasan (pemerkosaan). Sekitar empat juta wanita telah mendapat
perlakuan kasar dari partnernya;
g. Seperempat remaja yang melakukan hubungan seksual telah terkena
penyakit kelamin, sebelum menamtkan sekolahnya di SLTA.
Untuk merespon tentang berbagai masalah yang mengganggu
keharmonisan keluarga, Covey telah mengajukan suatu “resep” yang dia
namakan “The 7 Habits of Highly Effective Families”.
Yang dimaksud dengan “effective family” adalah “a beautiful
family culture” (budaya keluarga yang indah), yaitu sebagai :
1.
2.
3.

Semangat keluarga, perasaan, kimia, iklim, atau atmosfir keluarga;
Karakter keluarga, kedalaman kualitas, dan kematangan hubungan,
Cara para anggota keluarga dalam berhubungan antara satu sama

4.

lainnya, dan bagaimana mereka dapat merasakan satu sama lainnya,
Spirit atau perasaan yang mengembangkan pola tingkah laku kolektif
yang menandai interaksi keluarga.
“Culture” keluarga dapat diartikan sebagai peralihan orientasi

dari “me” ke “we”. Keluarga sendiri merupakan suatu pengalaman “we”,
yaitu mentalitas “we”. Peralihan “me” ke “we” berarti peralihan
dari independensi ke interdependensi (yang dipandang sebagai salah satu
tantangan dan aspek yang sulit dalam kehidupan keluarga). Covey
mengatakan “Jika kebahagiaan anda muncul berasal dari kebahagiaan
orang lain, anda tahu bahwa anda telah beralih dari “me” ke “we”.
Sedangkan kata “beautiful” digunakan untuk menggambarkan
pemeliharaan budaya : para anggota keluarga secara mendalam, tulus, dan
jujur menyenangi satu sama lainnya, (2) mereka saling tukar keyakinan
dan nilai-nilai, (3) mereka berinteraksi dalam cara-cara kerja yang nyata,
yang didasarkan kepada prinsip-prinsip yang dibangun dalam seluruh
kehidupan.

15

Keindahan budaya keluarga merupakan (1) budaya “we”, sebagai
suatu jenis kebudayaan yang memungkinkan anda bekerja bersama untuk
mereaksi dan bergerak ke arah nasib orang lain, dan memberikan
kontribusi; (2) juga memungkinkan anda memiliki kekuatan untuk
menolak cuaca yang bergelora di luar kapal keluarga.
Adapun ke 7 kebiasaan keluarga yang efektif itu adalah :
1. Kebiasaan Pertama : “Be Proactive” (menjadi agen pembaharu dalam
keluarga).
Keluarga dan para anggotanya bertanggungjawab terhadap pilihannya
sendiri, dan mempunyai kebebasan untuk memilih berdasarkan prinsipprinsip dan nilai-nilai daripada berdasarkan kondisi atau suasana hati.
Mereka

mengembangkan

dan

menggunakan

empat

anugrah

kemanusiaan yang unik (kesadaran diri, kata hati, imajinasi, dan
independensi),

dan

mengambil

pendekatan

untuk

menciptakan

perubahan. Mereka memilih, bukan untuk menjadi korban, bersifat
reaktif, atau mencela yang lain.
2. Kebiasaan Kedua : “Begin with The End in Mind”
Keluarga membangun masa depannya sendiri

melalui

upaya

menciptakan visi mental dan tujuan untuk berbagai persoalan, besar
atau kecil. Mereka tidak hanya hidup dari hari ke hari tanpa tujuan yang
jelas dalam pikirannya. Bentuk kreasi mental yang paling tinggi adalah
pernyataan misi pernikahan atau keluarga.
3. Kebiasaan Ketiga : “Put First Tings First “ (menjadikan keluarga
sebagai prioritas)
Keluarga mengorganisasikan dan melaksanakan prioritas-prioritasnya
yang sangat penting, seperti yang diekspresikan dalam pernyataan misi
pribadi, pernikahan, dan keluarganya. Mereka mempunyai waktu untuk
setiap minggunya, dan secara reguler satu sama lainnya sudah
mengontrak (menjanjikan) waktu tersebut.
4. Kebiasaan Keempat : “Think Win-win” (Bergerak dari “me” ke “we”)
Para anggota keluarga berpikir dalam tataran yang saling
menguntungkan. Mereka memelihara dukungan dan sikap saling
menghormati (mutual respect). Mereka berpikir seara interdependensi,

16

yaitu dengan budaya “we”, bukan “me’, dan mengembangkan
kesempatan “win-win”. Mereka tidak berpikir secara “selfishly” (“winlose” = menang-kalah), atau seperti martyr (“lose-win” = kalahmenang).
5. Kebiasaan Kelima : “Seek first to Understand... Then to be Understood”
(Memecahkan masalah keluarga melalui komunikasi yang empatik)
Para anggota keluarga pertama kali mendengarkan secara intensif untuk
memahami pikiran dan perasaan anggota lainnya, sehingga mampu
berkomunikasi secara efektif terhadap pikiran dan perasaannya sendiri.
Melalui pemahaman, mereka membangun hubungan kepercayaan dan
kasih sayang yangmendalam.
6. Kebiasaan Ke enam : “Syner Gize”
Para anggota keluarga mengembangkan kekuatan-kekuatan keluarga
dan para anggotanya, melalui : sikap menghormati dan penilaian
terhadap perbedaan masing-masing, dalam hal ini keutuhan menjadi
lebih penting dari sejumlah bagian-bagian. Mereka membangun saling
memecahkan masalah dan kesempatan untuk memahami budaya
keluarga. Mereka memelihara spirit keluarga dalam kasih sayang,
belajar, dan saling memberi kontribusi.
7. Kebiasaan Ketujuh : “Sharpen the saw “ (Memperuncing gergaji :
Memperbaharui spirit Keluarga melalui Tradisi)
Keluarga mengembangkan efektivitasnya melalui pembaharuan pribadi
dan keluarga secara reguler dalam empat bidang dasar kehidupan,
yaitu : (1) Fisik, (olah raga, memelihara gizi, dan mengelola stresss), (2)
Sosial/Emosional

(menjalin

persahabatan,

memberikan

bantuan,

mendengarkan orang lain secara empatik, dan menciptakan sinerji), (3)
Spiritual (berdo’a, shalat, membaca kitab suci), dan (4) Mental
(membaca, menulis, mengembangkan bakat, dan belajar keterampilan).
Untuk mengembangkan atau menanamkan ke 7 kebiasaan tersebut, Covey
mengajukan empat prinsip peranan keluarga, yaitu :
a. Modeling (Example of Trustwortness). Orang tua adalah contoh atau
model bagi anak. Tidak dapat disangkal lagi bahwa contoh dari orang

17

tua mempunyai pengaruh yang sangat kuat bagi anak. Ketika Abert
Schweitzer ditanya tentang bagaimana mengembangkan anak, dia
menjawab : “ada tiga prinsip, yaitu : pertama contoh, kedua contoh, dan
ketiga contoh”. Orang tua merupakan model yang pertama dan
terdepan bagi anak (baik positif atau negatif), dan merupakan pola bagi
“way of life” anak. Cara berpikir dan berbuat anak dibentuk oleh cara
berpikir dan berbuat orang tuanya. Melalui “modeling” ini orang tua
telah mewariskan cara berpikirnya kepada anak, yang kadang-kadang
sampai kepada generasi ketiga atau keempat.
b. Mentoring, yaitu kemampuan untuk menjalin atau membangun
hubungan, investasi emosional (kasih sayang kepada orang lain) atau
pemberian perlindungan kepada orang lain secara mendalam, jujur, dan
tidak bersyarat.
c. Organizing, yaitu keluarga seperti perusahaan yang memerlukan tim
kerja dan kerjasama antar anggota dalam menyelesaikan tugas-tugas
atau memenuhi kebutuhan keluarga.
d. Teaching, yaitu terkait dengan peran orang tua sebagai guru atau
pengajar bagi anak-anaknya mengenai hukum-hukum dasar kehidupan.
Disini orang tua menciptakan conscious competence pada diri anak,
yaitu anak mengalami tentang apa yang mereka kerjakan dan alasan
tentang mengapa mereka mengerjakan itu.
2. Pola Hubungan Orang Tua-Anak (Sikap atau Perlakuan Orang tua
terhadap Anak)
Terdapat beberapa pola sikap atau perlakuan orang tua terhadap anak, yang
masing-masing mempunyai pengaruh tersendiri terhadap kepribadian
(kesehatan mental) anak (Hurlock, 1956 : 504-512; Schneiders, 1964 :
150-156; Loree, 1970 : 145).
TABEL
SIKAP ATAU PERLAKUAN ORANG TUA DAN DAMPAKNYA
TERHADAP KESEHATAN MENTAL ANAK
POLA PERLAKU-

PERILAKU

PROFILE

TINGKAH

18

AN ORANG TUA

ORANG TUA

1.Overprotection

1.

(terlalu melindungi)

Kontak

LAKU ANAK
yang

berlebihan1.

dengan anak.
2.

Perawatan/pemberian

bantuan kepada anak yang terus

Perasaan tidak aman

2.

Agresif dan dengki

3.

Mudah gugup

Melarikan diri dari
menerus, meskipun anak sudah4.
mampu merawat dirinya sendiri. kenyataan
3.

Mengawasi kegiatan anak5.

secara berlebihan
4.

Sangat tergantung

6.

Ingin menjadi pusat

Memecahkan masalah anak perhatian
7.

Bersikap menyerah

8.

Lemah dalam “ego

strength”,

aspi-rasi,

dan

toleransi terhadap frustrasi
9.

Kurang

mampu

mengendalikan emosi
10.

Menolak

tanggung

jawab
11.

Kurang percaya diri

12.

Mudah terpengaruh

13.

Peka terhadap kritik

14.

Bersikap “yes men”

15.

Egois/selfish

16.

Suka bertengkar

17.

Troublemaker

19

(pembuat onar)
18.

Sulit dalam bergaul

19.

Mengalami

“homesick”.
2.Permissiveness

1.

Memberikan

kebebasan1.Pandai

untuk berpikir (berusaha)
2.

Menerima

gagasan,atau2. Dapat bekerjasama
3. Percaya diri

Membuat

anak

merasa

diterima dan merasa kuat
4.

jalan

keluar

pendapat
3.

mencari

Toleran

dan

4.Penuntut

dan

tidak

sabaran

memahami

kelemahan anak
5.

Cenderung

memberi

yang

lebih

suka

diminta

anak

daripada menerima

3. Rejection

1.

Bersikap masa bodoh

2.

Bersikap kaku

3.

Kurang

Menampilkan

permusuhan
terhadap anak

Agresif

marah,

(mudah

gelisah,

patuh/keras

kepala,

tidak
suka

mempedulikanbertengkar, dan nakal)

kesejahte-raan anak
4.

1.

atau

2.
Submissive (kurang
sikapdapat menger-jakan tugas,
dominasipemalu, suka mengasingkan
diri, mudah tersing-gung,
dan penakut)
3.

Sulit bergaul

20

4. Acceptance

4.

Pendiam

5.

Sadis

1. Memberikan perhatian dan1.Maubekerjasama (koopecinta kasih yang tulus kepadaratif)
anak
2. Menempatkan anak dalam
posisi yang penting di dalam
rumah

2. Bersahabat (friendly)
3. Loyal
4. Emosinya stabil

hubungan5. Ceria
optimis
yang hangat dengan anak
3.Mengembangkan

dan

bersikap

4. Bersikap respek terhadap anak 6. Mau menerima tanggung
jawab
5. Mendorong anak untuk
menyatakan
perasaan
atau7. Jujur
pendapatnya

8. Dapat dipercaya

6. Berkomunikasi dengan anak9.Memiliki
perencanaan
secara
terbuka,
dan
mauyang jelas untuk mencapai
mendengarkan
masa depan
masalahnya.

10.Bersikap

realistik

(memahami kekuatan dan
kelemahan dirinya secara
objektif).
5. Domination

* Mendominasi anak

1.

Bersikap sopan, dan

sangat hati-hati
2.

Pemalu,

inferior,

dan

penurut,
mu-dah

bingung

21

3.

Tidak

bisa

bekerjasama
6. Submission

1.

Senantiasa

memberikan1. Tidak patuh

sesuatu yang diminta anak
2.

Membiarkan

2.
anak

berperilaku semaunya di rumah

Tidak bertanggung

Jawab
3. Agresif dan teledor
4.

Bersikap otoriter

5. Terlalu percaya diri
7. Punitiveness/
Overdiscipline

1. Mudah memberikan hukuman 1.

Impulsif

2.

Tidak dapat mengambil

Menanamkan

kedisiplinan2.

secara keras

keputusan
3.

Nakal

4. Sikap bermusuhan atau
agresif

2.4 Peranan Strategi Pengelolaan Kesehatan Mental dalam Keluarga
Dapat kita pahami sekarang, bahwa faktor sosial paling utama yang
memberikan pengaruh predisposisional baik atau buruk ialah keluarga.
Selanjutnya, keluarga yang memberikan pengaruh predisposisional psikotis
(bisa berkembang menjadi gila) kepada anak-anak, para remaja dan orangorang muda, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Keluarga dengan ayah-ibu yang tidak mampu berfungsi sebagai
pendidik, yang defisien sebagai pendidik. Anak-anak akan terganggu kondisi
kejiwaannya dan tidak hygienis mentalnya, disebabkan oleh banyaknya
kekisruhan dan krisis-krisis yang dialami oleh orang tua. Karena itu anak-

22

anak tadi tidak bisa menjadi dewasa secara psikis, dan tidak bisa mandiri
dalam kedewasaannya.
Tidak berfungsinya keluarga sebagai lembaga psikososial. Orang
tua tidak sanggup mengintegrasikan anak-anak dalam kebutuhan keluarga.
Masing-masing bercerai berai. Anak-anak tidak bisa menyalurkan implusimplus kekanakannya lewat kenal-penyalur yang wajar, atau menurut jalanjalan formal yang susila serta penuh kasih-sayang. Keluarga juga tidak
mampu memberikan peranan sosial dan status sosial kepada anak-anak,
sehingga hal ini memusnahkan martabat dan harga-diri anak, mereka merasa
sangat kecewa atau putus asa.
Karena itu defisiensi/kerusakan dalam struktur keluarga selalu akan
memprodusir banyak gangguan psikis pada anak-anak yaitu berupa tidak
adanya integrasi dari fungsi-fungsi psikis dan kemunculan disintegrasi paa
ego-fungsi anak/orang muda, yang pada akhirnya menjadi neorotik dan
psikotik.
Di bawah ini dituliskan pula bentuk keluarga yang biasanya
memprodusir anak-anak yang mentalnya sakit atau neurotik (terganggu
syarafnya) yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Keluarga yang menuntut kepatuhan total anak
Keluarga mau menerima dan menyayang anak, asal anak tunduk mutlak
pada perintah-perintah orang tua, dan menjauhi larangan-larangan
tertentu. Karena ada larangan dan tekanan-tekanan orang tua, anak
mengembangkan mekanisme pelarian diri guna mengalahkan implusimplus dan keinginan sendiri. Oleh kondisi tersebut di atas, lamakelamaan jiwa anak menjadi terganggu dan sakit atau anak menjadi
neurotik.
2. Dominasi dan ke kuasaan mutlak serta otoriter orang tua menimbulkan
agresi pada diri anak.
Karena dominasi yang dipaksa-paksakan, anak tidak pernah mampu
menemukan jalan hidupnya sendiri. Karena itu, gangguan-gangguan
psikis pada diri anak-anak pada intinya merupakan perpanjangan dari
23

gangguan-gangguan psikis, ilusi-ilusi, delusi-delusian simptom patalogis
orang tuanya. Maka pengaruh-pengaruh orang tua yang psikotis sifatnya,
akan membuat anak-anaknya menjadi gila. Dan pengaruh orang tua yang
neurotis akan membuat anak-anak menjadi neurotis pula.
3. Pengaruh ayah yang bertentangan dengan pengaruh ibu
Khususnya bila mereka berbeda pendirian, prinsip, dan pandangan hidup,
juga berbeda jalan hidup yang ditempuh. Bagi anak, menganut prinsip
salah seorang dari kedua orang tuanya, berarti menentang pihak lainnya.
Dia merasa tidak pasti dan tidak aman dalam lingkungan keluarganya, di
samping tidak mampu mengembangkan reality-testingnya (karena berfikir
tidak logis dan selalu memalsukan realitas lingkungan). Karena itu anak
menjadi semakin neurotic
4. Pola hidup orang tua yang berantakan
Jika orang tua tidak konstan dan tidak stabil dalam emosi, fikiran,
kemauan dan tingkah lakunya apabila ayah dan ibu berbeda ideal, simpati
dan antipatinya, maka pada diri anak-anak pasti akan berlangsung proses
identifikasi yang menjurus pada keterbelahan. Munculah pribadi-pribadi
terbelah (splitted personality, multiple personality) yang neurotik sifatnya.
Ringkasannya, keluarga yang memberikan pengaruh-pengaruh buruk dan
membuat anak-anaknya menjadi “gila” (memberi pengaruh psikotik) itu jelas
tidak melatih anak-anak belajar melakukan adaptasi di tengah masyarakat, dan
tidak mengajar anak mengembangkan fungsi-egonya. Ini bukan berarti bahwa
orang tua atau keluarga yang bersangkutan memang dengan segaja melakukan
semua perbuatan itu. Sebab sebenarnyalah, bahwa mereka itu sendiri adalah
neurotik atau psikotik diluar pengetahuan atau diluar kesadaran mereka.
Maka perkembangan jiwa yang sehat itu hanya bisa berlansung apabila
keluarga bisa menyajikan kondisi sebagai berikut:
1. Keluarga bisa menuntun anak untuk bertanggungjawab dan belajar
menemukan jalan hidupnya sendiri.
2. Orang tua bisa bersikap toleran terhadap implus-implus dan emosi-emosi
anak-anaknya, dan bisa memberikan bimbingan penyalurannya dengan
cara yang sehat.
24

3. Adanya identifikasi anak yang sehat terhadap orang tua, guna memperkuat
kepribadian anak.
4. Orang tua mampu membimbing anak menentukan sikap sendiri, membuat
rencana hidup yang realitas, dan memilih tujuan finalnya sendiri.
5. Orang tua memberikan contoh sikap hidup dan perilaku yang baik. Berani
menghadapi semua kesulitan dan tantangan dengan tekad yang besar, dan
menyingkiru mekanisme pelarian diri sert pembelaan diri yang negatif
(yang tidak sehat
2.5

Integrasi Islam mengenai Strategi Pengelolaan Kesehatan Mental
dalam Keluarga
Agama memberikan petunjuk tentang tugas dan fungsi orang tua
dalam merawat dan mendidik anak, agar dalam hidupnya berada dalam jalan
yang benar, sehingga terhindar dari malapetaka kehidupan, baik di dunia ini
maupun di akhirat kelak (kandungan Al-Quran, S.Attahrim : 6). Rasulullah
Saw dalam salah satu haditsnya bersabda “Setiap anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah (tauhiidulllah), karena orang tuanyalah anak itu menjadi
yahudi, nashrani, atau majusi” (H.R. Bukhori & Muslim, dalam Panitia
Mudzakarah Ulama, 1988).
Berkenaan dengan peran keluarga (orang tua) dalam mendidik anak,
Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ikhtisar Ihyau Ulumuddin terjemahan
Mochtar Rasjidi dan Mochtar Jahja (1966 : 189) mengemukakan bahwa
anak merupakan amanat bagi orang tuanya, dia masih suci laksana permata,
baik atau buruknya perkembangan anak, amat tergantung kepada baik atau
buruknya pembiasaan yang diberikan kepadanya.
Keluarga merupakan aset yang sangat penting, individu tidak bisa
hidup sendirian, tanpa ada ikatan-ikatan dengan keluarga. Begitu menurut
fitrahnya, menurut budayanya, dan begitulah perintah Allah Swt. Keluarga
memberikan pengaruh yang besar terhadap seluruh anggotanya, sebab selalu
terjadi interaksi yang paling bermakna, paling berkenan dengan nilai yang
sangat mendasar dan sangat intim (Djawad Dahlan, dalam Jalaluddin
Rahmat dan Muhtar Gandaatmaja, 1994 : 49).
25

Keluarga mempunyai peranan penting, karena dipandang sebagai
sumber pertama dalam proses sosialisasi (Uichol Kim & John W. Berry).
Keluarga juga berfungsi sebagaitransmitter budaya, atau mediator sosial
budaya anak (Hurlock, 1956; dan Pervin, 1970).
Keluarga juga dipandang sebagai instansi (lembaga) yang dapat
memenuhi kebutuhan insani (manusiawi), terutama kebutuhan bagi
pengembangan kepribadiannya, dan pengembangan ras manusia. Jika
mengaitkan peranan keluarga

dengan upaya memenuhi kebutuhan

individu, maka keluarga merupakan lembaga pertama yang dapat memenuhi
kebutuhan tersebut. Melalui perawatan, dan perlakuan yang baik dari orang
tua, anak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, baik fisik-bilogis,
maupun sosiopsikologisnya.
Keluarga yang bahagia merupakan suatu hal yang sangat penting bagi
perkembangan emosi para anggotanya (terutama anak). Kebahagiaan itu
diperoleh, apabila keluarga dapat memerankan fungsinya secara baik. Fungsi
dasar keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang;
dan mengembangkan hubungan yang baik di antara anggota keluarga.
Hubungan cinta kasih dalam keluarga tidak sebatas perasaan, akan tetapi
juga

menyangkut

pemeliharaan,

rasa

tanggung

jawab,

perhatian,

pemahaman, respek, dan keinginan untuk menumbuhkembangkan anak yang
dicintainya.
Keluarga yang hubungan antar anggotanya tidak harmonis, penuh
konflik, atau gap communication, dapat mengembangkan masalah-masalah
dalam kesehatan mental (mental illness) bagi anak. Mengkaji lebih jauh
tentang

fungsi

keluarga

ini,

dapat

dikemukakan

bahwa

secara

sosiopsikologis, keluarga berfungsi sebagai : (1) pemberi rasa aman bagi
anak dan anggota keluarga lainnya, (2) sumber pemenuhan kebutuhan, baik
fisik maupun psikis, (3) sumber kasih sayang dan penerimaan, (4) model
pola perilaku yang tepat bagi anak untuk belajar menjadi anggota
masyarakat yang baik, (5) pemberi bimbingan bagi pengembangan perilaku
26

yang secara sosial di anggap tepat, (6) pembantu anak dalam memecahkan
masalah yang dihadapinya dalam rangka menyesuaikan dirinya terhadap
kehidupan, (7) pemberi bimbingan dalam belajar keterampilan, motor,
verbal, dan sosial yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri, (8) stimulator
bagi pengembangan kemampuan anak untuk mencapai prestasi, baik di
sekolah maupun di masyarakat, (9) pembimbing dalam mengembangkan
aspirasi, dan (10) sumber persahabatan (teman bermain) anak, sampai
cukup usia untuk mendapatkan teman di luar rumah, atau apabila
persahabatan di luar rumah tidak memungkinkan.
Sedangkan dari sudut pandang sosiologis, fungsi keluarga itu dapat
diklasifikasikan ke dalam fungsi-fungsi biologis, ekonomis, edukasi,
sosialisasi, proteksi, rekreasi, dan religius (M.I. Soelaeman, 1978; Sudardja
Adiwikarta, 1988; dan Melly SS Rifai, dalam Jalaluddin Rahmat dan Muhtar
G., 1994).
Pengokohan penerapan nilai-nilai agama dalam keluarga merupakan
landasan fundamental bagi perkembangan kondisi atau tatanan masyarakat
yang damai dan sejahtera. Namun sebaliknya, apabila terjadi pengikisan atau
erosi nilai-nilai agama dalam keluarga, atau juga dalam masyarakat, maka
akan timbul malapetaka kehidupan yang dapat menjungkirbalikan nilai-nilai
kemanusiaan. Hal ini seperti diungkapkan oleh Menteri Agma, Tarmizi
Taher dalam ceramahnya yang berjudul Peace, Prosperity, & Religious
Harmony in The 21 Century : Indonesian Muslim Perspectives (Perdamaian,
Kesejahteraan, dan Kerukunan Ummat Beragama di Abad 21 : Perspektif
Seorang Muslim Indonesia) di Georgetown AS : “Akibat disingkirkannya
nilai agama dalam kehidupan modern, kita menyaksikan semakin meluasnya
kepincangan sosial, seperti : merebaknya kemiskinan, dan gelandangan di
kota-kota besar; mewabahnya pornografi dan prostitusi, HIV, dan AIDS;
meratanya penyalahgunaan obat bius, kejahatan terorganisasi, pecahnya
rumah tangga hingga mencapai 67 % di negara-negara modern; kematian
ribuan orang karena kelaparan di Afrika dan Asia di tengah melimpahnya

27

barang konsumsi di sementara bagian belahan dunia utara” (Suara
Pembaharuan : 27 November 1997).
Untuk menciptakan keluarga sebagai lingkungan yang kondusif bagi
perkembangan mental yang sehat, suasana sosiopsikologis keluarga yang
bahagia, khususnya perkembangan karakteristik pribadi anak yang shaleh,
agama Islam telah memberikan petunjuk atau rambu-rambu, yang
diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Bangunlah keluarga itu dengan melalui pernikahan yang syah
berdasarkan syariat atau ketentuan agama.
2. Pernikahan itu hendaknya didasarkan kepada niat beribadah kepada
Allah, karena menikah adalah sunnah Rasulullaah SAW (Annikaahu
sunnatii famanlamyargobu ‘an sunnatii palaisa minnii = nikah adalah
sunnahku, barangsiapa yang membenci nikah berarti dia bukan
ummatku). Dengan demikian suami dan istri, atau orang tua dan anak
adalah mitra dalam beribadah kepada Allah.
3. Pada saat berhubungan suami-istri (jima’ atau bersenggama), berdo’alah
kepada Allah agar diberi anak yang terhindar dari godaan syetan.
4. Perbanyaklah doa’ Robbanaa hablanaa min azwaajinaa

wa

dzurriyyatinaa qurrota ‘ayun waj’alnaa lilmuttaqiina imaamaa (Ya Allah
Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami dari pasangan-pasangan kami
(suami/istri) dan keturunan kami yang membahagiakan mata hati kami,
dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa). Do’a lain
yang sebaiknya didawamkan dalam rangka memohon anak yang shaleh
adalah Rabbii wablii minashshaalihiin (Ya Tuhanku anugrahkanlah
kepadaku anak-anak yang shaleh).
5. Pada saat istri mengandung, hendaknya melakukan beberapa amalanl
ibadah : (a) membaca Al-Quran (selama sembilan bulan mengandung,
bacalah Al-Quran dari mulai surat Alfatihah s.d. surat Annaas, jangan
hanya membaca surat-surat tertentu saja); (b) melaksanakan shalat
tahajjud, dan memperbanyak do’a setelahnya; (c) memperbanyak
shadaqah atau infaq; dan (d) memperbanyak dzikir kepada Allah, atau

28

membaca kalimatuttoyyibah, seperti : tasbih (subhaanallaah), tahmid
(alhamdulillaah), takbir (Allaahu akbar), dan tahlil (laa ilaaha
illallaah). Yang melakukan ‘amalan ini bukan hanya istri, tetapi juga
suami.
6. Menciptakan pola pergaulan yang ma’ruf (baik atau harmonis) antara
suami - sitri, atau orang tua - anak.
7. Pada saat anak lahir, ucapkanlah kalimah toyyibah (minimal membaca
tahmid); ada juga yang menyarankan untuk mengumandangkan (dengan
suara yang lembut) adzan pada telinga kanan anak dan qomat pada
telinga kirinya.
8. Pada saat anak sudah berusia tujuh hari, lakukan aqiqah bagi anak, yaitu
menyembelih kambing/domba jantan (bagi anak laki-laki dua ekor, dan
bagi anak perempuan satu ekor), mencukur rambut anak (rambut ini
ditimbang seperti menimbang emas, hasilnya dihargai dengan harga
emas, kemudian uangnya dibagikan kepada fakir miskin atau yatim
piatu); dan memberi nama yang baik kepada anak. Pada acara ini
undanglah keluarga, kerabat, atau tetangga dekat untuk bersama-sama
mensyukuri ni’mat dari Allah.
9. Pada saat anak sudah masuk usia taman kanak-kanak, didiklah mereka
(melalui pengajaran, ketauladanan, dan pembiasaan) tentang berbagai
aspek kehidupan yang penting bagi perkembangan kepribadiannya yang
mantap, seperti (a) mengajar rukun iman dan rukun islam, mengajar dan
membiasakan ibadah shalat, memberikan contoh dalam membayar zakat
atau infaq, mengajar membaca Al-Quran, dan do’a-do’a; (b) melatih dan
memberi contoh tentang cara merawat kebersihan dan kesehatan diri dan
lingkungan : mandi, gosok gigi, makan dan minum yang teratur,
membuang sampah pada tempatnya, memelihara kebersihan dan
kerapihan rumah; (c) memberi contoh tentang bertutur kata yang sopan
(sesuai dengan bahasa ibunya); dan (d) mengajar dan memberi contoh
tentang tata krama (etika) bergaul dengan orang lain.
10. Bersikap tabah atau bersabar pada saat menghadapi masalah atau
persoalan, karena dalam mengarungi kehidupan berkeluarga tidak steril

29

atau tidak lepas dari masalah tersebut. Masalah-masalah yang mungkin
dihadapi itu diantaranya sebagai berikut.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dapat kita pahami sekarang, bahwa faktor sosial paling utama yang
memberikan pengaruh predisposisional baik atau buruk ialah KELUARGA.
Selanjutnya, keluarga yang memberikan pengaruh predisposisional psikotis (bisa
berkembang menjadi gila) kepada anak-anak, para remaja dan orang-orang muda,
memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Keluarga dengan ayah-ibu yang tidak mampu
berfungsi sebagai pendidik, yang defisien sebagai pendidik. Anak-anak akan
terganggu kondisi kejiwaannya dan tidak hygienis mentalnya, disebabkan oleh
banyaknya kekisruhan dan krisis-krisis yang dialami oleh orang tua. Karena itu
anak-anak tadi tidak bisa menjadi dewasa secara psikis, dan tidak bisa mandiri
dalam kedewasaannya. Tidak berfungsinya keluarga sebagai lembaga psikososial.
Orang tua tidak sanggup mengintegrasikan anak-anak dalam kebutuhan keluarga.
Masing-masing bercerai berai. Anak-anak tidak bisa menyalurkan implus-implus
kekanakannya lewat kenal-penyalur yang wajar, atau menurut jalan-jalan formal
yang susila serta penuh kasih-sayang. Keluarga juga tidak mampu memberikan
peranan sosial dan status sosial kepada anak-anak, sehingga hal ini memusnahkan
martabat dan harga-diri anak, mereka merasa sangat kecewa atau putus asa.
Karena itu defisiensi/kerusakan dalam struktur keluarga selalu akan
memprodusir banyak gangguan psikis pada anak-anak yaitu berupa tidak adanya
integrasi dari fungsi-fungsi psikis dan kemunculan disintegrasi paa ego-fungsi
anak/orang muda, yang pada akhirnya menjadi neorotik dan psikotik.
Ringkasannya, keluarga yang memberikan pengaruh-pengaruh buruk dan
membuat anak-anaknya menjadi “gila” (memberi pengaruh psikotik) itu jelas
tidak melatih anak-anak belajar melakukan adaptasi di tengah masyarakat, dan
tidak mengajar anak mengembangkan fungsi-egonya. Ini bukan berarti bahwa

30

orang tua atau keluarga yang bersangkutan memang dengan sengaja melakukan
semua perbuatan itu. Sebab sebenarnyalah, bahwa mereka itu sendiri adalah
neurotik atau psikotik diluar pengetahuan atau diluar kesadaran mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin M. (1976). Psikologi dan Beberapa Aspek Kehidupan Rohaniah
Manusia. Jakarta : Bulan Bintang.
Covey, Stephen, R. (1997). The 7 Habits of Highly Effective Families. New York :
Golden Books.
Dadang Hawari. (1997). Al-Quran, Ilmu Kedokteran Jiwa, dan Kesehatan
Jiwa. Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa.
Effendy, Nasrul. 1998. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
EGC.
Ekasari, Mia Fatma, dkk. 2008. Keperawatan Komunitas Upaya Memandirikan
Masyarakat untuk Hidup Sehat. Jakarta: Trans Info Media.
Friedman, M. M. (1998). Keperawatan Keluarga Teori dan Praktek.(Family
nursing teori and practice). Edisi 3. Alih bahasa Ina debora R. L. Jakarta:
EGC
Iqbal Setyarso dan M. Solihat (Penyunting). (1996). Sakit Menguatkan
Iman. Jakarta : Gema Insani Press.
Jalaluddin Rahmat & Muhtar (Ed). Keluarga Muslim dalam Masyarakat
Mode