BAB 1 PENDAHULUAN 1.6. Latar Belakang. - Hubungan Kompetensi Supervisi dengan Gaya Manajemen Konflik Perawat Supervisor Rumah Sakit Pemerintah di Banda Aceh

BAB 1 PENDAHULUAN 1.6. Latar Belakang. Konflik merupakan pertentangan atau perselisihan yang terjadi hampir di

  setiap organisasi di dunia. Kejadian konflik dalam lingkup keperawatan tersebar diberbagai ruang perawatan rumah sakit. J ohnson (2009) mengungkapkan dalam sebuah survei terhadap prilaku dokter dan perawat di Amerika tentang adanya konflik tingkat tinggi di tempat kerja. Survei tersebut menunjukkan bahwa 98% dari perawat dan dokter memiliki pengalaman pernah menyaksikan kejadian masalah prilaku antara perawat dan dokter, seperti komentar merendahkan atau menghina, berteriak, mengutuk dan bercanda yang tidak pantas. Sebanyak 30% dari perawat dan dokter mengatakan masalah prilaku itu terjadi setiap minggu sedangkan 10% lainnya menyaksikan masalah antara perawat dan dokter terjadi setiap hari.

  Sebuah riset yang dilakukan oleh Azoulay (2009) terhadap perawat

  

Intensive Care Unit (ICU) di Amerika, melaporkan bahwa 71% dari 7498 perawat

yang disurvei merasakan adanya konflik di ruang ICU pada minggu sebelumnya.

  80% dari konflik dipandang sebagai hal berbahaya dan lebih dari 50% dari konflik digambarkan masuk dalam kategori parah. Data statistik juga menunjukkan konflik antara perawat dan dokter adalah yang paling umum terjadi (32,6%),

  Di Indonesia konflik kerja antar perawat dapat terjadi diberbagai rumah sakit baik rumah sakit pemerintah maupun swasta. Di Rumah Sakit Islam Yogyakarta PDHI, konflik terjadi berhubungan dengan stres kerja dan kelelahan. Survei terhadap 52 perawat di rumah sakit ini menunjukkan angka 82,3% mengalami konflik katagori sedang dan 28,85% mengalami konflik dengan frekwensi tinggi. Angka kejadian ini berpotensi untuk naik, apabila faktor pemicu konflik meningkat atau sebaliknya (Hariyono et al, 2009).

  Dampak buruk dari kejadian konflik dapat diturunkan dengan manajemen konflik yang tepat. Saat ini pimpinan perawat rumah sakit telah menggunakan gaya manajemen konflik yang berbeda-beda dalam menyelesaikan konflik. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Al-Hamdan, Shukri, dan Anthony (2010) di negara Kesultanan Oman mengatakan bahwa manajer perawat rumah sakit di negara tersebut banyak yang menggunakan gaya integrasi (integrating) sebagai pilihan utama sebagai gaya manajemen konflik, diikuti gaya kompromi (compromising), menurut (obliging), dominasi (dominating) dan menghindar (avoiding).

  Sedangkan Hendel (2005) menyatakan bahwa gaya manajemen konflik yang banyak digunakan oleh setiap kepala perawat atau perawat rumah sakit di Negara Israel adalah gaya compromising sebesar 13%, dan yang paling sedikit adalah

  

collaborating dan avoiding sebesar 5,6%. Perbedaan gaya manajemen konflik ini

dipengaruhi oleh berbagai faktor individu.

  Dalam penelitian yang dilakukan oleh Al-Hamdan, Shukri dan Anthony cenderung lebih menggunakan gaya manajemen konflik interaktif. Perawat manajer yang pendidikan tinggi sedikit menggunakan gaya manajemen konflik

  

obliging. Manajer yang memiliki waktu luang dalam pekerjaanya cenderung lebih

  sedikit menggunakan gaya manajemen konflik integrative. Laki-laki lebih banyak menggunakan gaya compromising dari pada perempuan. Manajer dari Negara Oman dan Yordania lebih cenderung menggunakan gaya manajemen konflik

  

dominating sedangkan manajer dari Negara India lebih cenderung menggunakan

  gaya manajemen konflik avoiding dan sedikit menggunakan gaya manajemen konflik integrative. Berdasarkan fenomena tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan karakter individu atau demografi dengan gaya manajemen konflik seorang perawat manajer.

  Berdasarkan penelitian Iglesias dan Vallejo (2012), dalam profesi keperawatan perbedaan gaya penyelesaian konflik yang digunakan perawat disesuaikan dengan lingkungan kerja yang spesifik dan tingkat pekerjaan yang berbeda. Hasil penelitian ini menemukan perawat yang bekerja di akademis lebih banyak menggunakan gaya akomodatif. Sedangkan perawat yang bekerja di klinis lebih banyak menggunakan gaya kompromi dalam menyelesaikan konfliknya.

  Menurut Wirawan (2010), perbedaan gaya ini terbentuk saat perawat tersebut menghadapi lawan konfliknya. Kompetensi seseorang menjadi faktor yang mempengaruhi perbedaan gaya manajemen konflik yang digunakan tersebut.

  Bagi seseorang yang tidak mempunyai kekuasaan, pengetahuan, menang cenderung memilih gaya berkompetisi. Proses interaksi komunikasi yang berjalan baik menunjukkan kemungkinan besar kedua belah pihak yang terlibat konflik akan menggunakan gaya manajemen konflik kolaborasi dan kompromi tinggi. Hal ini serupa dengan faktor kecerdasan emosional, dimana gaya manajemen compromising mempunyai hubungan positif dengan manajemen emosi dan kesadaran diri (Wirawan, 2010).

  Kompetensi seseorang manusia menentukan perbedaan gaya manajemen konflik yang digunakan. Hal tersebut dikarenakan dalam kompetensi terdapat unsur pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan yang dapat menghasilkan karya dan prestasi dalam kinerja (Nursalam & Efendi, 2008). Kepuasan kerja perawat

  

pelaksana dapat dipengaruhi oleh pelaksanaan supervisi yang dilakukan oleh

kepala ruangan. Dalam sebuah penelitian oleh Widaningsih (2013) di Rumah

Sakit Royal Taruma Jakarta Barat, menunjukkan bahwa ada hubungan kompetensi

supervisi kepala ruangan dengan kepuasan kerja perawat pelaksana. Kompetensi

entrepreneurial, intelektual, dan sosioemosional mempengaruhi kepuasan kerja

perawat pelaksana.

  Pengetahuan merupakan salah satu karakteristik kompetensi komplek yang harus dimiliki seorang supervisor. Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Ismail dan Naccache (2013) ditemukan ada 47 skala karakteristik supervisor dimana berpengetahuan luas menjadi karakteristik paling penting kedua setelah karakteristik percaya diri. Sedangkan Mataiti (2008) mengklasifikasikan didasari pada unsur pendidikan, kemampuan mengajar dan belajar seorang perawat.

  Seorang perawat supervisor yang memiliki pengetahuan yang baik tentang gaya manajemen konflik dapat memilih salah satu gaya yang paling sesuai untuk menyelesaikan konflik. Menurut Wirawan (2010), bagi seseorang yang memiliki pengetahuan rendah, kecil kemungkinan menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi. Semakin tinggi tingkat pengetahuan semakin selektif seseorang memilih gaya manajemen konflik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Silaban (2013) yang menemukan bahwa tingkat pendidikan berbeda berhubungan dengan penggunaan gaya dominating dan obliging dalam manajemen konflik.

  Ketrampilan diperlukan dalam menganalisa atau memproses pengetahuan menjadi sebuah kinerja. Salah satu ketrampilan yang diinginkan dari seorang supervisor adalah keterampilan berkomunikasi. Ketrampilan komunikasi merupakan kompetensi utama dalam menjalin hubungan, memahami dan menerima ide-ide dari orang lain (Slocum & Hellriegel, 2009). Menurut Tobing dan Napitupulu (2011), kebanyakan supervisor menghabiskan 80 sampai 90 % waktunya berkomunikasi di dalam organisasi yang dipimpinnya. Wirawan (2010) berpendapat bahwa keterampilan seseorang dalam berkomunikasi berpengaruh besar dalam memilih gaya manajemen konflik. Orang yang memiliki kemampuan komunikasinya rendah akan kesulitan menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi, kolaborasi, maupun kompromi. Hal ini dikarenakan ketrampilan Maka dari itu kompetensi komunikasi sangat dibutuhkan dalam gaya manajemen konflik.

  Setiap rumah sakit telah merumuskan uraian tugas perawat supervisi untuk dijalankan dengan penuh tanggung jawab. namun dalam penatalaksanaannya masih ditemukan perawat supervisor yang tidak menjalankan tugas dengan baik. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Pribadi (2008) menemukan sebanyak 58,1% perawat pelaksana di rumah sakit berpendapat bahwa waktu yang digunakan kepala ruangan dalam kegiatan supervisi terlalu singkat untuk melakukan pengamatan kinerja bawahan dan penelitian Winani (2012), menemukan 55,8 % perawat pelaksana mengatakan fungsi pengawasan kepala ruangan kurang baik. Hasil wawancara tiga orang perawat pelaksana (Ruang Cempaka, Bougenvil dan Dahlia) Badan Layanan Umum Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dan 2 perawat pelaksana (ICU dan ICCU) RSUDZA Banda Aceh pada tanggal 14 januari 2014 menyimpulkan bahwa berdasarkan pengamatan mereka, pada umumnya perawat pengawas yang melakukan supervisi ke ruang rawat inap baik tugas sore maupun malam hanya menanyakan jumlah pasien yang dirawat dan jumlah perawat dinas yang hadir saat itu. Hal ini menunjukkan bahwa perawat supervisor tidak menjalankan tugasnya dalam mengkaji adanya masalah konflik di rumah sakit.

  Sebagian rumah sakit di Indonesia belum semuanya menerapkan Kepmenkes RI No.129/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit dan dianalisa secara periodik, baik setiap hari maupun setiap triwulan. Dan kini standar akreditasi baru rumah sakit mensyaratkan penggunaan pendekatan komprehensif yang terkait dengan penetapan, pengukuran, evaluasi dan tindak lanjut indikator mutu dan keselamatan pasien. Dalam hal ini dibutuhkan pengawasan dan supervisi yang bersifat berkesinambungan. Berdasarkan hal tersebut Rumah sakit pemerintah yang ada di kota Banda Aceh terus berupaya meningkatkan mutu layanan rumah sakit dengan indikator-indikator yang terus dinilai dan diawasi. Salah satu caranya melalui program supervisi terhadap kinerja perawat di ruangan.

  Program supervisi telah lama dicanangkan rumah sakit dengan melibatkan kepala ruang rawat, bidang keperawatan dan perawat pelaksana. Dalam daftar jadwal dinas perawat supervisor bulan Desember 2013 menunjukkan sebanyak 36 perawat supervisor digunakan rumah sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin (RSUDZA) terhadap 489 orang perawat pelaksana di 16 pelayanan (Data rumah sakit online, 2013) sedangkan di rumah sakit jiwa Banda Aceh terdapat 187 orang perawat pelaksana di 14 ruang rawat inap yang diawasi oleh 36 perawat supervisor (Data rumah sakit online, 2014). Namun belum diketahui keefektifan program supervisi ini mengingat perbandingan jumlah perawat dan jumlah ruang pelayanan dengan kompetensi perawat supervisor yang berbeda.

  Berdasarkan hasil wawancara dengan 2 orang ketua tim perawat ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin (RSUDZA) pada kepala bidang keperawatan dan beberapa perawat pelaksana senior. Namun penunjukan perawat supervisor lebih mengedepankan faktor usia, senioritas dan pengalaman kerja dari pada tingkat pendidikan. Hal ini menjadi tanda tanya terhadap kinerja perawat supervisor kompeten atau tidak dalam pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan menjalankan tugasnya. Sehingga tidak menutup kemungkinan mereka memandang masalah konflik dengan cara yang berbeda.

  1.2. Permasalahan

  Berdasarkan fenomena yang melatarbelakangi penelitian ini, maka yang menjadi masalah penelitian adalah apakah ada hubungan kompetensi supervisi dengan gaya manajemen konflik pada perawat supervisor di Rumah Sakit Pemerintah di Kota Banda Aceh ?

  1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1.

  Tujuan Umum Untuk mengetahui dan menganalisis hubungan kompetensi supervisi dengan gaya manajemen konflik pada perawat supervisor di Rumah Sakit

  Pemerintah di Kota Banda Aceh.

1.3.2. Tujuan khusus.

1.3.2.1. Untuk mengidentifikasi kompetensi supervisi pada perawat supervisor

1.3.2.2. Untuk mengetahui gaya manajemen konflik perawat supervisor Rumah Sakit Pemerintah di Kota Banda Aceh.

  1.3.2.3. Untuk mengetahui hubungan kompetensi supervisi dengan gaya manajemen konflik pada perawat supervisor Rumah Sakit Pemerintah di Kota Banda Aceh.

  1.4. Hipotesis

  Hipotesis yang di uji pada penelitian ini adalah hipotesis alternatif (Ha), yaitu ada hubungan kompetensi supervisi dengan gaya manajemen konflik pada perawat supervisor Rumah Sakit Pemerintah di Kota Banda Aceh.

  1.5. Manfaat penelitian

  Pelaksanaan penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi : 1.5.1.

  Pelayanan keperawatan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan atau pedoman dalam penyelesaian konflik perawat dan perencanaan program supervisi di rumah sakit.

  1.5.2. Pendidikan keperawatan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi ilmu pengetahuan baru untuk tenaga pendidik maupun peserta didik tenaga keperawatan.

  1.5.3. Penelitian keperawatan, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber data (database) untuk penelitian selanjutnya dalam bidang

Dokumen yang terkait

Hubungan Supervisi Klinis dengan Kepuasan Kerja Perawat Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemerintah Propinsi Sumatera Utara

4 54 130

Hubungan Kompetensi Supervisi dengan Gaya Manajemen Konflik Perawat Supervisor Rumah Sakit Pemerintah di Banda Aceh

4 75 137

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Motivasi Perawat dan Supervisi Kepala Ruangan Terhadap Kinerja Perawat di Rumah Sakit Grand Medistra Lubuk Pakam.

0 0 11

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Hubungan Fungsi Supervisi Kepala Ruangan dengan Produktivitas Kerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Pirngadi Medan

0 2 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Supervisi Klinis 2.1.1. Pengertian Supervisi - Hubungan Supervisi Klinis dengan Kepuasan Kerja Perawat Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemerintah Propinsi Sumatera Utara

0 0 39

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Beban Kerja Perawat Pelaksana dengan Perilaku Caring Perawat di ICU Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 1 7

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang - Hubungan Budaya Organisasi dengan Produktivitas Kerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Kota Medan

0 2 10

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan Terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Provinsi Sumatera Utara

0 2 8

Hubungan Kompetensi Supervisi dengan Gaya Manajemen Konflik Perawat Supervisor Rumah Sakit Pemerintah di Banda Aceh

0 0 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gaya Manajemen Konflik - Hubungan Kompetensi Supervisi dengan Gaya Manajemen Konflik Perawat Supervisor Rumah Sakit Pemerintah di Banda Aceh

0 0 29