TIDAK TUTUR MENURUT AUSTIN DAN SEARLE
STRATEGI BERTUTUR
”Diajukan untuk memenuhi tugas perkuliahan Pragmatik
yang diampu oleh Prof. Dr. Syahrul R., M. Pd.
Kelompok 3
1. Meta Darmawanti
2. Oksi Jelliza Putri
3. Winda Sevni Yenti
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
PADANG
2014
STRATEGI BERTUTUR
A. Pengantar
Bertutur merupakan satu aktivitas mengujarkan kalimat yang memiliki
makna untuk mencapai tindak sosial tertentu seperti berjanji, memberi nasehat,
meminta sesuatu, dan lain-lain. Tindakan tersebut dinamakan tindak tutur, atau
tindak ilokusioner. Bertutur berarti berkomunikasi antara pelaku tutur, yaitu
penutur dan petutur. Penutur adalah orang yang bertutur dan petutur adalah orang
yang diajak bertutur dan sering juga disebut dengan mitra tutur/lawan tutur.
Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang tak pernah lepas dari aktivitas
bertutur. Sebagaimana yang telah dikatakan sebelumnya bahwa, bertutur memiliki
makna mencapai tindak sosial tertentu seperti memberi nasehat, meminta sesuatu,
dan lain-lain adakalanya lawan tutur merasa tersinggung atau merasa tak enak
hati. Oleh sebab itu, dalam bertutur diperlukan suatu strategi bertutur untuk
menjaga kesopanan bertutur atau kesantunan dalam bertutur.
B. Strategi Bertutur
1. Strategi Bertutur Menurut Brown dan Levinson
Strategi berututur adalah cara atau teknik penyampaian tuturan secara
spesifik yang dipilih penutur dengan maksud dan tujuan berbeda dengan
mempertimbangkan berbagai faktor situasi tutur. Brown dan Levinson (dalam
Syahrul 2008:18) menjelaskan bahwa pertimbangan yang dijadikan dasar
pemilihan strategi bertutur adalah faktor-faktor sebagai berikut: (1) Jarak sosial
antara penutur dan mitra tutur (social distance = D). (2) Perbedaan kekuasaan
antara penutur dan mitra tutur (power = P). (3) Ancaman suatu tindak tutur
berdasarkan pandangan budaya tertentu (the absolute rangking of inposisition in
the particular culture = Rx).
Menurut Manaf (2011) dalam kebudayaan tertentu ada bentuk tuturan
tertentu yang dianggap santun dan ada pula bentuk tuturan tertentu yang dianggap
tidak santun. Strategi kesopanan yang dipilih oleh penutur didasarkan
atas
bobot keterancaman muka penutur dan petutur (weightiness of the FTAx= Rx).
Pertimbangan pemilihan strategi kesopanan itu diformulasikan oleh Brown dan
Levinson menjadi sebagai berikut: Wx = D (S, H) + P (H, S) + Rx.
Strategi bertutur menurut Brown dan Levinson (dalam Shahrul 2008:18) ada
lima macam, yaitu: (1) bertutur terus terang tanpa basa-basi, (2) bertutur terus
terang dengan basa-basi kesantunan positif, (3) bertutur dengan basa-basi
kesantunan negatif, (4) bertutur secara samar-samar, dan (5) bertutur di dalam hati
atau diam.
1) Bertutur Terus Terang Tanpa Basa-Basi (bald on record)
Strategi bertutur tanpa basa basi mencakup bentuk-bentuk tuturan yang
dilakukan untuk melarang suatu tindakan secara langsung tanpa basa-basi.
Strategi ini biasanya sedikit dilunakkan.
Alasannya karena bertutur dengan
strategi ini tidak ada basa-basi untuk membuat tuturan tersebut lembut dan manis.
Jadi untuk menjaga kesopanan bertuturnya dilakukan dengan melunakkannya.
Contoh: ”Dik, tolong piringnya jangan dibiarkan kotor begitu, ya!”
Kalimat di atas merupakan kalimat larangan yang dilunakkan dengan
menggunakan kata ‘tolong’ dan kata sapaan ‘Dik’.
2) Bertutur dengan Basa-Basi Kesantunan Posistif (BBKP)
Strategi ini menyatakan bentuk-bentuk tuturan yang melarang suatu
tindakan, dilakukan dengan kesantunan positif. Kesantunan positif ini maksudnya
si penutur memasukkan dirinya sebagai kelompok yang sama dengan si petutur
misalnya dengan menggunakan kata saudara, bagi saya, atau saya juga. Artinya,
strategi ini mengarahkan penutur sebagai pemohon untuk menarik tujuannya
dengan basa-basi.
Strategi ini terdiri atas sepuluh strategi, yaitu: (1) tuturan menggunakan
penanda identitas sebagai anggota kelompok yang sama, (2) tuturan memberikan
alasan, (3) tuturan melibatkan penutur dan mitra tutur dalam suatu kegiatan, (4)
tuturan mencari kesepakatan, (5) tuturan melipatgandakan simpati kepada mitra
tutur, (6) tuturan berjanji, (7) tuturan memberikan penghargaan kepada mitra
tutur, (8) tuturan bersikap optimis kepada mitra tutur, (9) tuturan bergurau, (10)
tuturan menyatakan saling membantu.
Dalam strategi bertutur dengan basa-basi dengan kesantunan positif ada 15
substrategi yang dapat dipakai, yaitu:
(1) Pesan petutur, contohnya ”Saya akan melakukannya, tetapi kamu
jangan pulang dulu!” Kalimat ini dituturkan oleh seorang mahasiswa yang
diminta pergi solat oleh temannya.
(2) Simpati yang berlebihan kepada petutur contohnya ”Saya akan
memperhatikan pekerjaan Anda.” Kalimat ini dituturkan oleh seorang menejer
kepada karyawan bawahannya yang pemalas.
(3) Mempererat minat terhadap petutur, contohnya ”Ibu suka baju yang ini,
Bu?” Kalimat ini dituturkan oleh seorang penjaga toko pakaian kepada seorang
wanita yang sedang melihat-lihat baju yang ia jual.
(4) Menggunakan pemarkahan identitas kesamaan kelompok, contohnya
”Aku dan kamu sama-sama dari kampung yang sama, jadi tidak seharusnya kita
bertengkar seperti ini, Wahyu.” Kalimat ini dituturkan oleh seorang mahasiswa
kepada temannya yang mengajak bertengkar.
(5) Mencari persetujuan contohnya ”Saya setuju dengan usulmu, dan lebih
setuju lagi jika kita menambah peserta talk show.” Kalimat ini dituturkan oleh
panitia talk show saat rapat kepada temannya yang mengusulkan untuk mengubah
konsep acara.
(6) Menghindari ketidaksetujuan, contohnya ”Bagaimana jika kita satukan
pendapat untuk mengambil tawaran dari perusahaan itu?” Kalimat ini dituturkan
oleh seorang karyawan kepada karyawan lainnya ketika terjadi perbedaan ide.
(7) Menyatakan syarat umum, ”Kita tidak boleh melanggar perintah yang
ada di AD/ART organisasi ini.” Kalimat ini dituturkan oleh seorang mahasiswa
kepada temannya yang akan melakukan sebuah pelanggaran dengan maksud
melarangnya.
(8) Kelakar atau humor, contohnya ”Kamu memang cantik pakai baju itu,
tapi lebih cantik jika kamu mengenakan jilbab.” Kalimat ini dituturkan oleh
seorang mahasiswa kepada temannya yang memakai baju baru dan menasehati
untuk mengenakan jilbab.
(9) Satukan pengetahuan penutur dengan kekurangan petutur, contohnya
”Apa yang kamu katakan sama dengan pendapatku.” Kalimat ini dituturkan oleh
seorang mahasiswa kepada temannya yang sedang mengemukakan pendapat
dalam suatu diskusi.
(10) Menjanjikan, contohnya ”Bagaimana kalau kita lanjutnya pembahasan
masalah ini besok saja?” Kalimat ini dituturkan oleh seorang forum diskusi
kepada anggota diskusi lainnya.
(11) Optimis, contohnya ”Saya yakin, kamu pasti akan menang.” Kalimat
ini dituturkan oleh seorang teman kepada temannya yang akan ikut berlomba.
(12) menghubungkan janji yang bersifat optimis,
(13) meminta pertimbangan,
(14) menyatakan anggapan,
(15) berikan simpati kepada petutur.
3) Bertutur dengan Basa-Basi Kesantunan Negatif (BBKN)
Kesantunan negatif khusus diungkapkan dengan pertanyaan-pertanyaan
yang kelihatan seperti meminta izin untuk menyatakan suatu pertanyaan. Strategi
ini direalisasikan dalam bentuk sembilan substrategi sebagai berikut: (1) tuturan
berpagar, contohnya ”Saya sebenarnya ingin meminta bantuanmu mengerjakan
tugas ini.” Kalimat ini dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya
untuk membantunya mengerjakan tugasnya (2) tuturan tidak langsung, contohnya
”Kata Naya, Ibu mencari saya?” Kalimat ini dituturkan oleh ketua kelas kepada
gurunya (3) tuturan meminta maaf, contohnya ”Maafkan saya terlambat, Bu.”
Kalimat ini dituturkan oleh seorang mahasiswa yang terlambat kepada dosennya
(4) tuturan meminimalkan beban, contohnya ”Biar saya saja yang membawakan
tas Ibu.” Kalimat ini dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada dosennya (5)
tuturan permintaan dalam bentuk pertanyaan, ”Bisakah saya melihat korannya?”
Kalimat ini dituturkan oleh seorang pria di dalam bus kepada orang yang duduk di
bangku sebelahnya (6) tuturan impersonal, contohnya ”Anda yakin ingin
melakukannya?” Kalimat ini dituturkan oleh seorang pria kepada temannya ketika
temannya ingin bolos kerja (7) tuturan yang menyatakan kepesimisan, contohnya
”Saya tidak yakin program acara kita bakal berjalan sesuai rencana.” Kalimat ni
dituturkan oleh seorang pria kepada temannya sesama anggota organisasi (8)
tuturan yang mengungkapkan pernyataan sebagai aturan umum, (9) tuturan yang
menyatakan rasa hormat, contohnya ”Silakan Ibu yang berjalan di depan.”
Kalimat ini dituturkan oleh mahasiswa kepada dosennya saat berjalan keluar dari
kelas.
4) Bertutur Secara Samar-samar (BSs)
Strategi ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu tuturan yang mengandung
isyarat kuat dan tuturan yang mengandung isyarat lunak. Tuturan yang
mengandung isyarat kuat mengacu pada tuturan yang mempunyai daya ilokusi
kuat. Sebaliknya, tuturan yang mengandung isyarat lunak mengacu pada tuturan
yang daya ilokusinya lemah. Dalam strategi ini, ada 12 substrategi yang dipakai,
yaitu (1) menggunakan isyarat, contohnya ”Kamu harus ke sana!” Kalimat ini
dituturkan oleh seorang wanita kepada temannya dengan menunjuk arah
tempatnya (2) menggunakan metafora, contoh ”Jangan samakan aku dengan
tikus berdasi!” Kalimat ini dituturkan oleh seorang pria kepada temannya yang
menuduhnya korupsi (3) menggunakan syarat, (4) menggunakan status bawah,
contohnya ”Kamu terlalu berlebihan aku tidak sehebat itu, kok.” Kalimat ini
dituturkan oleh seorang wanita kepada temannya yang sedang memujinya (5)
menggunakan tautologi, contohnya ”Saya melihat apa yang kamu lakukan
dengan mata kepala saya sendiri.” Kalimat ini dituturkan oleh seorang remaja
kepada temannya yang kedapatan mencuri uang di kelas (6) menggunakan
pertentangan, (7) ironis, contohnya ”Tulisanmu bagus sekali sampai-sampai saya
tidak dapat mengerti satu pun maksudnya.” Kalimat ini dituturkan oleh seorang
editor kepada penulis yang mengirimkan naskah tulisannya (8) gunakan kiasan,
(9) gunakan pertanyaan retoris, contohnya ”Zaman sekarang, siapa yang tidak
pakai twitter?” Kalimat ini dituturkan oleh seorang laki-laki kepada temannya
yang bertanya apakah ia menggunakan twitter (10) bersifat rancu dan samarsamar, (11) meremehkan petutur, dan (12) penggunaannya tidak sempurna.
5) Bertutur di dalam Hati atau Diam
Strategi bertutur di dalam hati (diam saja) tidak melakukan tindak ujaran
merupakan tindak penutur menahan diri untuk tidak mengatakan secara verbal
perkataan kepada mitra tutur. Strategi bertutur dalam hati adalah strategi yang
paling tidak langsung jika dibandingkan dengan strategi bertutur lainnya karena
tidak ada satu katapun yang menandai pesan penutur kepada mitra tutur melalui
tuturan.
2. Strategi Bertutur Menurut Blum-Kulka
Blum-Kulka (dalam Syahrul 2008:24) mengemukakan bahwa sistem
kesantunan mewujudkan penafsiran budaya tentang interaksi di antara empat
parameter penting, yaitu motivasi sosial, cara pengungkapan, perbedaan sosial,
dan makna sosial. Blum-Kulka menguji kesantunan dalam konteks bahasa Yahudi
Israel dengan menginterpretasikan kembali teori-teori kesantunan dengan cara
kultur-relativistik. Istilah 'norma-norma budaya' atau 'skrip budaya' merupakan
istilah terpenting pada pendekatan teori yang diterapkannya. Ia memperkenalkan
perbedaan antara pilihan-pilihan linguistik strategi dan obligatori, tetapi
berargumen bahwa ruang lingkup dan kedalaman kesantunan tersebut berbeda
antara satu budaya dengan budaya yang lain. Posisi teoritisnya adalah bahwa
kesantunan memanifestasi interpretasi yang secara kultur tersaring terhadap
interaksi antara empat paremeter penting tersebut. Menurutnya, konsep-konsep
budaya saling terkait dalam menentukan sifat masing-masing parameter tersebut,
sehingga memengaruhi pemahaman sosial tentang kesantunan pada berbagai
masyarakat di dunia.
Motivasi sosial merujuk kepada alasan-alasan mengapa orang santun, yakni
alasan-alasan
keberfungsian
kesantunan;
mode-mode
pengungkapan) merujuk kepada bentuk-bentuk linguistik
ekspresif
(cara
yang berbeda yang
digunakan untuk memperlihatkan kesantunan; perbedaan sosial merujuk kepada
parameter penilaian situasi yang berperan dalam kesantunan; dan makna sosial
merujuk kepada nilai kesantunan dari ungkapan linguistik khusus dalam konteks
situasi yang khusus.
Selanjutnya, strategi bertutur dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1)
bertutur secara langsung, (2) bertutur secara tidak langsung, dan (3) bertutur
dengan menggunakan isyarat.
1) Tuturan Langsung
Tuturan langsung ialah tuturan yang menggunakan modus kalimat yang
secara konvensional sesuai dengan fungsinya. Misalnya, meminta dilakukan
dengan modus kalimat imperatif, ”Pergi belikan obat Ayah di warung Siti!”
Kalimat ini dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya saat menyuruh anaknya
membelikan obat untuk ayahnya. Bertanya dilakukan dengan modus kalimat
interogatif, misalnya ”Kenapa kalian tidak mengumpulkan tugas?” Kalimat ini
dituturkan oleh seorang guru kepada siswanya yang tidak mengumpulkan tugas.
2) Tuturan Tidak Langsung
Tuturan tidak langsung ialah tuturan yang menggunakan modus kalimat
yang telah mengalami peralihan fungsi konvensioanalnya. Misalnya, meminta
dilakukan dengan kalimat tanya atau deklaratif contohnya, ”Ibu masih lama di
Padang, kan? Saya mau berdiskusi dengan Ibu soal skripsi saya.” Kalimat ini
dituturkan oleh seorang mahasiswa yang meminta dosennya untuk berdiskusi
mengenai skripsinya. Maksud tuturan tersebut adalah permintaan yang dilakukan
dengan kalimat interogatif dan deklaratif yang membuat tuturan ini terdengar
sopan. Bertanya menggunakan kalimat deklaratif misalnya ”Lina, aku tidak dapat
menjawab soal nomor tujuh.” Kalimat ini dituturkan oleh seorang siswa kepada
temannya saat mengerjakan latihan dari guru mereka di kelas. Tuturan ini adalah
tuturan deklaratif dengan maksud bertanya jawaban soal nomor tujuh apa? dan
sebagainya.
3) Tuturan dengan Isyarat
Tuturan dengan isyarat ialah tuturan yang isinya tidak ada relevansi dengan
maksud tuturan tersebut. Contoh tuturan isyarat adalah, ”Aduh, cantiknya bunga
yang satu itu, Buk. Bagaimana kalau dipindahkan saja ke rumah saya, Buk?”
Kalimat ini dituturkan oleh seorang pemuda yang menginginkan sebatang bunga
yang tumbuh di pekarangan seorang ibu dan kini berbunga dengan cantik milik
orang tua teman perempuan pemuda itu. Secara literal, tuturan tersebut bermakna
pujian yang diiringi keinginan penutur untuk memiliki bunga milik mitra tutur.
Secara kontekstual, penutur seorang pemuda dan petutur seorang ibu yang
memiliki anak gadis terlibat dalam tuturan yang bermaksud permintaan dari
penutur. Permintaan tersebut adalah penutur meminta agar petutur memberikan
anak gadisnya sebagai calon istri dan menjadikannya menantu.
C. Implementasi dalam Pembelajaran di Kelas
Kegiatan bertutur di dalam kelas memerlukan strategi bertutur seperti yang
telah dijelaskan di atas. Strategi bertutur diperlukan untuk menjaga kesantunan
bertutur antara siswa sebagai penutur dan guru sebagai petutur, atau antara guru
sebagai penutur dan siswa sebagai petutur, dan antara siswa sebagai penutur dan
siswa lainnya sebagai petutur.
Implementasi strategi bertutur di dalam kelas di antaranya adalah:
1. Seorang guru melarang siswa mencoret-coret meja dengan mengatakannya
secara langsung tanpa basa-basi, ”Dodi, jangan mencoret-coret meja, Nak!
Nanti pena kamu habis dan mejanya jadi tidak enak dipandang.”
2. Seorang siswa malarang temannya yang sedang mematahkan kapur tulis,
”Den, kita nggak boleh matahin kapur kata Bu Guru.”
3. Seorang siswa mengusulkan kepada gurunya agar tempat belajar mereka di
sebuah sungai yang asri dengan meminta persetujuan dan menghindari
ketidaksetujuan, ”Ibu, bagaimana kalau kita ke luar dari kelas dan
mencari tempat yang lebih banyak memberikan inspirasi untuk membuat
puisi?”
4. Seorang guru membangkitkan semangat siswanya yang akan mengikuti
olimpiade dengan kata-kata yang optimis, ”Kamu pasti bisa menang dan
mengharumkan nama sekolah kita.”
5. Seorang guru melarang siswanya datang terlambat dengan mengucapkan
kalimat berpagar, ”Ibu sebenarnya ingin melihat kamu datang tepat
waktu.”
6. Seorang siswa berkata kepada wali kelasnya saat gurunya itu sedang sibuk
mengoreksi tugas teman sekelasnya, ”Biar saya bantu pekerjaan Ibu.”
7. Seorang siswa mengadukan temannya yang kedapatan mencuri uang
teman sekelas mereka di jam istirahat dengan menggunakan tautologi
”Saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri, Bu. Sungguh, saya
tidak bohong.”
8. Seorang guru berkata kepada seorang muridnya ketika tugasnya
menggunakan ironi, ”Tugasmu rapi sekali, sampai-sampai Ibu tidak bisa
membacanya. Ayo kamu ulangi dengan lebih bagus!”
D. Rangkuman
Strategi bertutur menurut Brow dan Levinson ada lima, yaitu bertutur secara
terus terang tanpa basa-basi; (2) bertutur dengan menggunakan basa-basi
kesopanan posistif; (3) bertutur dengan menggunakan basa-basi kesopapanan
negatif; (4) bertutur secara samar-samar; dan (5) tidak menuturkan sesuatu atau
diam. Selanjutnya, strategi bertutur menurun Blum-Kulla ada tiga macam, yaitu
(1) bertutur secara langsung; (2) betutur secara tidak langsung; dan (3) bertutur
dengan isyarat.
E. Kepustakaan
Manaf, Ngusman Abdul. 2011. ”Kesopanan Tindak Tutur Menyuruh dalam
Bahasa Indonesia”, Litera. Oktober Vol. 2 No. 2, hlm 213.
Syahrul. 2008. Pragmatik Kesantunan Berbahasa: Menyibak Fenomena
Berbahasa Indonesia Guru dan Siswa. Padang: UNP Press.
”Diajukan untuk memenuhi tugas perkuliahan Pragmatik
yang diampu oleh Prof. Dr. Syahrul R., M. Pd.
Kelompok 3
1. Meta Darmawanti
2. Oksi Jelliza Putri
3. Winda Sevni Yenti
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
PADANG
2014
STRATEGI BERTUTUR
A. Pengantar
Bertutur merupakan satu aktivitas mengujarkan kalimat yang memiliki
makna untuk mencapai tindak sosial tertentu seperti berjanji, memberi nasehat,
meminta sesuatu, dan lain-lain. Tindakan tersebut dinamakan tindak tutur, atau
tindak ilokusioner. Bertutur berarti berkomunikasi antara pelaku tutur, yaitu
penutur dan petutur. Penutur adalah orang yang bertutur dan petutur adalah orang
yang diajak bertutur dan sering juga disebut dengan mitra tutur/lawan tutur.
Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang tak pernah lepas dari aktivitas
bertutur. Sebagaimana yang telah dikatakan sebelumnya bahwa, bertutur memiliki
makna mencapai tindak sosial tertentu seperti memberi nasehat, meminta sesuatu,
dan lain-lain adakalanya lawan tutur merasa tersinggung atau merasa tak enak
hati. Oleh sebab itu, dalam bertutur diperlukan suatu strategi bertutur untuk
menjaga kesopanan bertutur atau kesantunan dalam bertutur.
B. Strategi Bertutur
1. Strategi Bertutur Menurut Brown dan Levinson
Strategi berututur adalah cara atau teknik penyampaian tuturan secara
spesifik yang dipilih penutur dengan maksud dan tujuan berbeda dengan
mempertimbangkan berbagai faktor situasi tutur. Brown dan Levinson (dalam
Syahrul 2008:18) menjelaskan bahwa pertimbangan yang dijadikan dasar
pemilihan strategi bertutur adalah faktor-faktor sebagai berikut: (1) Jarak sosial
antara penutur dan mitra tutur (social distance = D). (2) Perbedaan kekuasaan
antara penutur dan mitra tutur (power = P). (3) Ancaman suatu tindak tutur
berdasarkan pandangan budaya tertentu (the absolute rangking of inposisition in
the particular culture = Rx).
Menurut Manaf (2011) dalam kebudayaan tertentu ada bentuk tuturan
tertentu yang dianggap santun dan ada pula bentuk tuturan tertentu yang dianggap
tidak santun. Strategi kesopanan yang dipilih oleh penutur didasarkan
atas
bobot keterancaman muka penutur dan petutur (weightiness of the FTAx= Rx).
Pertimbangan pemilihan strategi kesopanan itu diformulasikan oleh Brown dan
Levinson menjadi sebagai berikut: Wx = D (S, H) + P (H, S) + Rx.
Strategi bertutur menurut Brown dan Levinson (dalam Shahrul 2008:18) ada
lima macam, yaitu: (1) bertutur terus terang tanpa basa-basi, (2) bertutur terus
terang dengan basa-basi kesantunan positif, (3) bertutur dengan basa-basi
kesantunan negatif, (4) bertutur secara samar-samar, dan (5) bertutur di dalam hati
atau diam.
1) Bertutur Terus Terang Tanpa Basa-Basi (bald on record)
Strategi bertutur tanpa basa basi mencakup bentuk-bentuk tuturan yang
dilakukan untuk melarang suatu tindakan secara langsung tanpa basa-basi.
Strategi ini biasanya sedikit dilunakkan.
Alasannya karena bertutur dengan
strategi ini tidak ada basa-basi untuk membuat tuturan tersebut lembut dan manis.
Jadi untuk menjaga kesopanan bertuturnya dilakukan dengan melunakkannya.
Contoh: ”Dik, tolong piringnya jangan dibiarkan kotor begitu, ya!”
Kalimat di atas merupakan kalimat larangan yang dilunakkan dengan
menggunakan kata ‘tolong’ dan kata sapaan ‘Dik’.
2) Bertutur dengan Basa-Basi Kesantunan Posistif (BBKP)
Strategi ini menyatakan bentuk-bentuk tuturan yang melarang suatu
tindakan, dilakukan dengan kesantunan positif. Kesantunan positif ini maksudnya
si penutur memasukkan dirinya sebagai kelompok yang sama dengan si petutur
misalnya dengan menggunakan kata saudara, bagi saya, atau saya juga. Artinya,
strategi ini mengarahkan penutur sebagai pemohon untuk menarik tujuannya
dengan basa-basi.
Strategi ini terdiri atas sepuluh strategi, yaitu: (1) tuturan menggunakan
penanda identitas sebagai anggota kelompok yang sama, (2) tuturan memberikan
alasan, (3) tuturan melibatkan penutur dan mitra tutur dalam suatu kegiatan, (4)
tuturan mencari kesepakatan, (5) tuturan melipatgandakan simpati kepada mitra
tutur, (6) tuturan berjanji, (7) tuturan memberikan penghargaan kepada mitra
tutur, (8) tuturan bersikap optimis kepada mitra tutur, (9) tuturan bergurau, (10)
tuturan menyatakan saling membantu.
Dalam strategi bertutur dengan basa-basi dengan kesantunan positif ada 15
substrategi yang dapat dipakai, yaitu:
(1) Pesan petutur, contohnya ”Saya akan melakukannya, tetapi kamu
jangan pulang dulu!” Kalimat ini dituturkan oleh seorang mahasiswa yang
diminta pergi solat oleh temannya.
(2) Simpati yang berlebihan kepada petutur contohnya ”Saya akan
memperhatikan pekerjaan Anda.” Kalimat ini dituturkan oleh seorang menejer
kepada karyawan bawahannya yang pemalas.
(3) Mempererat minat terhadap petutur, contohnya ”Ibu suka baju yang ini,
Bu?” Kalimat ini dituturkan oleh seorang penjaga toko pakaian kepada seorang
wanita yang sedang melihat-lihat baju yang ia jual.
(4) Menggunakan pemarkahan identitas kesamaan kelompok, contohnya
”Aku dan kamu sama-sama dari kampung yang sama, jadi tidak seharusnya kita
bertengkar seperti ini, Wahyu.” Kalimat ini dituturkan oleh seorang mahasiswa
kepada temannya yang mengajak bertengkar.
(5) Mencari persetujuan contohnya ”Saya setuju dengan usulmu, dan lebih
setuju lagi jika kita menambah peserta talk show.” Kalimat ini dituturkan oleh
panitia talk show saat rapat kepada temannya yang mengusulkan untuk mengubah
konsep acara.
(6) Menghindari ketidaksetujuan, contohnya ”Bagaimana jika kita satukan
pendapat untuk mengambil tawaran dari perusahaan itu?” Kalimat ini dituturkan
oleh seorang karyawan kepada karyawan lainnya ketika terjadi perbedaan ide.
(7) Menyatakan syarat umum, ”Kita tidak boleh melanggar perintah yang
ada di AD/ART organisasi ini.” Kalimat ini dituturkan oleh seorang mahasiswa
kepada temannya yang akan melakukan sebuah pelanggaran dengan maksud
melarangnya.
(8) Kelakar atau humor, contohnya ”Kamu memang cantik pakai baju itu,
tapi lebih cantik jika kamu mengenakan jilbab.” Kalimat ini dituturkan oleh
seorang mahasiswa kepada temannya yang memakai baju baru dan menasehati
untuk mengenakan jilbab.
(9) Satukan pengetahuan penutur dengan kekurangan petutur, contohnya
”Apa yang kamu katakan sama dengan pendapatku.” Kalimat ini dituturkan oleh
seorang mahasiswa kepada temannya yang sedang mengemukakan pendapat
dalam suatu diskusi.
(10) Menjanjikan, contohnya ”Bagaimana kalau kita lanjutnya pembahasan
masalah ini besok saja?” Kalimat ini dituturkan oleh seorang forum diskusi
kepada anggota diskusi lainnya.
(11) Optimis, contohnya ”Saya yakin, kamu pasti akan menang.” Kalimat
ini dituturkan oleh seorang teman kepada temannya yang akan ikut berlomba.
(12) menghubungkan janji yang bersifat optimis,
(13) meminta pertimbangan,
(14) menyatakan anggapan,
(15) berikan simpati kepada petutur.
3) Bertutur dengan Basa-Basi Kesantunan Negatif (BBKN)
Kesantunan negatif khusus diungkapkan dengan pertanyaan-pertanyaan
yang kelihatan seperti meminta izin untuk menyatakan suatu pertanyaan. Strategi
ini direalisasikan dalam bentuk sembilan substrategi sebagai berikut: (1) tuturan
berpagar, contohnya ”Saya sebenarnya ingin meminta bantuanmu mengerjakan
tugas ini.” Kalimat ini dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya
untuk membantunya mengerjakan tugasnya (2) tuturan tidak langsung, contohnya
”Kata Naya, Ibu mencari saya?” Kalimat ini dituturkan oleh ketua kelas kepada
gurunya (3) tuturan meminta maaf, contohnya ”Maafkan saya terlambat, Bu.”
Kalimat ini dituturkan oleh seorang mahasiswa yang terlambat kepada dosennya
(4) tuturan meminimalkan beban, contohnya ”Biar saya saja yang membawakan
tas Ibu.” Kalimat ini dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada dosennya (5)
tuturan permintaan dalam bentuk pertanyaan, ”Bisakah saya melihat korannya?”
Kalimat ini dituturkan oleh seorang pria di dalam bus kepada orang yang duduk di
bangku sebelahnya (6) tuturan impersonal, contohnya ”Anda yakin ingin
melakukannya?” Kalimat ini dituturkan oleh seorang pria kepada temannya ketika
temannya ingin bolos kerja (7) tuturan yang menyatakan kepesimisan, contohnya
”Saya tidak yakin program acara kita bakal berjalan sesuai rencana.” Kalimat ni
dituturkan oleh seorang pria kepada temannya sesama anggota organisasi (8)
tuturan yang mengungkapkan pernyataan sebagai aturan umum, (9) tuturan yang
menyatakan rasa hormat, contohnya ”Silakan Ibu yang berjalan di depan.”
Kalimat ini dituturkan oleh mahasiswa kepada dosennya saat berjalan keluar dari
kelas.
4) Bertutur Secara Samar-samar (BSs)
Strategi ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu tuturan yang mengandung
isyarat kuat dan tuturan yang mengandung isyarat lunak. Tuturan yang
mengandung isyarat kuat mengacu pada tuturan yang mempunyai daya ilokusi
kuat. Sebaliknya, tuturan yang mengandung isyarat lunak mengacu pada tuturan
yang daya ilokusinya lemah. Dalam strategi ini, ada 12 substrategi yang dipakai,
yaitu (1) menggunakan isyarat, contohnya ”Kamu harus ke sana!” Kalimat ini
dituturkan oleh seorang wanita kepada temannya dengan menunjuk arah
tempatnya (2) menggunakan metafora, contoh ”Jangan samakan aku dengan
tikus berdasi!” Kalimat ini dituturkan oleh seorang pria kepada temannya yang
menuduhnya korupsi (3) menggunakan syarat, (4) menggunakan status bawah,
contohnya ”Kamu terlalu berlebihan aku tidak sehebat itu, kok.” Kalimat ini
dituturkan oleh seorang wanita kepada temannya yang sedang memujinya (5)
menggunakan tautologi, contohnya ”Saya melihat apa yang kamu lakukan
dengan mata kepala saya sendiri.” Kalimat ini dituturkan oleh seorang remaja
kepada temannya yang kedapatan mencuri uang di kelas (6) menggunakan
pertentangan, (7) ironis, contohnya ”Tulisanmu bagus sekali sampai-sampai saya
tidak dapat mengerti satu pun maksudnya.” Kalimat ini dituturkan oleh seorang
editor kepada penulis yang mengirimkan naskah tulisannya (8) gunakan kiasan,
(9) gunakan pertanyaan retoris, contohnya ”Zaman sekarang, siapa yang tidak
pakai twitter?” Kalimat ini dituturkan oleh seorang laki-laki kepada temannya
yang bertanya apakah ia menggunakan twitter (10) bersifat rancu dan samarsamar, (11) meremehkan petutur, dan (12) penggunaannya tidak sempurna.
5) Bertutur di dalam Hati atau Diam
Strategi bertutur di dalam hati (diam saja) tidak melakukan tindak ujaran
merupakan tindak penutur menahan diri untuk tidak mengatakan secara verbal
perkataan kepada mitra tutur. Strategi bertutur dalam hati adalah strategi yang
paling tidak langsung jika dibandingkan dengan strategi bertutur lainnya karena
tidak ada satu katapun yang menandai pesan penutur kepada mitra tutur melalui
tuturan.
2. Strategi Bertutur Menurut Blum-Kulka
Blum-Kulka (dalam Syahrul 2008:24) mengemukakan bahwa sistem
kesantunan mewujudkan penafsiran budaya tentang interaksi di antara empat
parameter penting, yaitu motivasi sosial, cara pengungkapan, perbedaan sosial,
dan makna sosial. Blum-Kulka menguji kesantunan dalam konteks bahasa Yahudi
Israel dengan menginterpretasikan kembali teori-teori kesantunan dengan cara
kultur-relativistik. Istilah 'norma-norma budaya' atau 'skrip budaya' merupakan
istilah terpenting pada pendekatan teori yang diterapkannya. Ia memperkenalkan
perbedaan antara pilihan-pilihan linguistik strategi dan obligatori, tetapi
berargumen bahwa ruang lingkup dan kedalaman kesantunan tersebut berbeda
antara satu budaya dengan budaya yang lain. Posisi teoritisnya adalah bahwa
kesantunan memanifestasi interpretasi yang secara kultur tersaring terhadap
interaksi antara empat paremeter penting tersebut. Menurutnya, konsep-konsep
budaya saling terkait dalam menentukan sifat masing-masing parameter tersebut,
sehingga memengaruhi pemahaman sosial tentang kesantunan pada berbagai
masyarakat di dunia.
Motivasi sosial merujuk kepada alasan-alasan mengapa orang santun, yakni
alasan-alasan
keberfungsian
kesantunan;
mode-mode
pengungkapan) merujuk kepada bentuk-bentuk linguistik
ekspresif
(cara
yang berbeda yang
digunakan untuk memperlihatkan kesantunan; perbedaan sosial merujuk kepada
parameter penilaian situasi yang berperan dalam kesantunan; dan makna sosial
merujuk kepada nilai kesantunan dari ungkapan linguistik khusus dalam konteks
situasi yang khusus.
Selanjutnya, strategi bertutur dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1)
bertutur secara langsung, (2) bertutur secara tidak langsung, dan (3) bertutur
dengan menggunakan isyarat.
1) Tuturan Langsung
Tuturan langsung ialah tuturan yang menggunakan modus kalimat yang
secara konvensional sesuai dengan fungsinya. Misalnya, meminta dilakukan
dengan modus kalimat imperatif, ”Pergi belikan obat Ayah di warung Siti!”
Kalimat ini dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya saat menyuruh anaknya
membelikan obat untuk ayahnya. Bertanya dilakukan dengan modus kalimat
interogatif, misalnya ”Kenapa kalian tidak mengumpulkan tugas?” Kalimat ini
dituturkan oleh seorang guru kepada siswanya yang tidak mengumpulkan tugas.
2) Tuturan Tidak Langsung
Tuturan tidak langsung ialah tuturan yang menggunakan modus kalimat
yang telah mengalami peralihan fungsi konvensioanalnya. Misalnya, meminta
dilakukan dengan kalimat tanya atau deklaratif contohnya, ”Ibu masih lama di
Padang, kan? Saya mau berdiskusi dengan Ibu soal skripsi saya.” Kalimat ini
dituturkan oleh seorang mahasiswa yang meminta dosennya untuk berdiskusi
mengenai skripsinya. Maksud tuturan tersebut adalah permintaan yang dilakukan
dengan kalimat interogatif dan deklaratif yang membuat tuturan ini terdengar
sopan. Bertanya menggunakan kalimat deklaratif misalnya ”Lina, aku tidak dapat
menjawab soal nomor tujuh.” Kalimat ini dituturkan oleh seorang siswa kepada
temannya saat mengerjakan latihan dari guru mereka di kelas. Tuturan ini adalah
tuturan deklaratif dengan maksud bertanya jawaban soal nomor tujuh apa? dan
sebagainya.
3) Tuturan dengan Isyarat
Tuturan dengan isyarat ialah tuturan yang isinya tidak ada relevansi dengan
maksud tuturan tersebut. Contoh tuturan isyarat adalah, ”Aduh, cantiknya bunga
yang satu itu, Buk. Bagaimana kalau dipindahkan saja ke rumah saya, Buk?”
Kalimat ini dituturkan oleh seorang pemuda yang menginginkan sebatang bunga
yang tumbuh di pekarangan seorang ibu dan kini berbunga dengan cantik milik
orang tua teman perempuan pemuda itu. Secara literal, tuturan tersebut bermakna
pujian yang diiringi keinginan penutur untuk memiliki bunga milik mitra tutur.
Secara kontekstual, penutur seorang pemuda dan petutur seorang ibu yang
memiliki anak gadis terlibat dalam tuturan yang bermaksud permintaan dari
penutur. Permintaan tersebut adalah penutur meminta agar petutur memberikan
anak gadisnya sebagai calon istri dan menjadikannya menantu.
C. Implementasi dalam Pembelajaran di Kelas
Kegiatan bertutur di dalam kelas memerlukan strategi bertutur seperti yang
telah dijelaskan di atas. Strategi bertutur diperlukan untuk menjaga kesantunan
bertutur antara siswa sebagai penutur dan guru sebagai petutur, atau antara guru
sebagai penutur dan siswa sebagai petutur, dan antara siswa sebagai penutur dan
siswa lainnya sebagai petutur.
Implementasi strategi bertutur di dalam kelas di antaranya adalah:
1. Seorang guru melarang siswa mencoret-coret meja dengan mengatakannya
secara langsung tanpa basa-basi, ”Dodi, jangan mencoret-coret meja, Nak!
Nanti pena kamu habis dan mejanya jadi tidak enak dipandang.”
2. Seorang siswa malarang temannya yang sedang mematahkan kapur tulis,
”Den, kita nggak boleh matahin kapur kata Bu Guru.”
3. Seorang siswa mengusulkan kepada gurunya agar tempat belajar mereka di
sebuah sungai yang asri dengan meminta persetujuan dan menghindari
ketidaksetujuan, ”Ibu, bagaimana kalau kita ke luar dari kelas dan
mencari tempat yang lebih banyak memberikan inspirasi untuk membuat
puisi?”
4. Seorang guru membangkitkan semangat siswanya yang akan mengikuti
olimpiade dengan kata-kata yang optimis, ”Kamu pasti bisa menang dan
mengharumkan nama sekolah kita.”
5. Seorang guru melarang siswanya datang terlambat dengan mengucapkan
kalimat berpagar, ”Ibu sebenarnya ingin melihat kamu datang tepat
waktu.”
6. Seorang siswa berkata kepada wali kelasnya saat gurunya itu sedang sibuk
mengoreksi tugas teman sekelasnya, ”Biar saya bantu pekerjaan Ibu.”
7. Seorang siswa mengadukan temannya yang kedapatan mencuri uang
teman sekelas mereka di jam istirahat dengan menggunakan tautologi
”Saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri, Bu. Sungguh, saya
tidak bohong.”
8. Seorang guru berkata kepada seorang muridnya ketika tugasnya
menggunakan ironi, ”Tugasmu rapi sekali, sampai-sampai Ibu tidak bisa
membacanya. Ayo kamu ulangi dengan lebih bagus!”
D. Rangkuman
Strategi bertutur menurut Brow dan Levinson ada lima, yaitu bertutur secara
terus terang tanpa basa-basi; (2) bertutur dengan menggunakan basa-basi
kesopanan posistif; (3) bertutur dengan menggunakan basa-basi kesopapanan
negatif; (4) bertutur secara samar-samar; dan (5) tidak menuturkan sesuatu atau
diam. Selanjutnya, strategi bertutur menurun Blum-Kulla ada tiga macam, yaitu
(1) bertutur secara langsung; (2) betutur secara tidak langsung; dan (3) bertutur
dengan isyarat.
E. Kepustakaan
Manaf, Ngusman Abdul. 2011. ”Kesopanan Tindak Tutur Menyuruh dalam
Bahasa Indonesia”, Litera. Oktober Vol. 2 No. 2, hlm 213.
Syahrul. 2008. Pragmatik Kesantunan Berbahasa: Menyibak Fenomena
Berbahasa Indonesia Guru dan Siswa. Padang: UNP Press.