KIPRAH MUHAMMADIYAH DALAM KANCAH POLITIK NASIONAL

Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X

KIPRAH MUHAMMADIYAH DALAM KANCAH POLITIK
NASIONAL
Oleh : H.Nilwani, S.Ag, M.Pd
Abstrak
Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang modernis, Terobosan-terobosan
yang dilakukan Muhammadiyah yang cukup revolusioner pada jamannya. Dalam
konteks sejarah reformasi yang pertama dilakukan Muhammadiyah adalah menggeser
tradisi-tradisi yang kontra produktif terhadap kemajuan umat dan bangsa. Karena alam
pikiran tradisionalis telah membelenggu kreatifitas dengan dogma-dogma yang
irrasional dan anti kemajuan. Muhammadiyah merupakan gerakan amar ma’ruf nahi
mungkar, gerakan sosial dan pendidikan. Muhammadiyah dalam perkembengannya
tampil menjadi organisasi masyarakat yang besar di Indonesia. Besarnya organisai ini
ditandai dengan berbagai kiprahnya yang sukses dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakatIndonesia. Terbukti dengan tumbuhnya amal usaha Muhammadiyah seperti
ribuan sekolah, ratusan perguruan tinggi, rumah sakit, panti asuhan dan amal usaha
lainya. Dengan perkembangan Muhammadiyah, perlu adanya pemikiran pada bidang
politik Muhammadiyah untuk mendukung gerakan dakwah Muhammadiyah amar
ma’ruf nahi mungkar. Cacatan sejarah mengungkapkan bahwa kelompok ini

menginginkan tegaknya satu bentuk masyarakat sosial-ekonomi dan politik Indonesia
modern yang berdasarkan kepada ajaran islam. Contoh keterlibatan muhammadiyah
atau sejumlah tokoh-tokohnya mendirikan PII,MIAI, partai masyumi dan parmusi.
Dengan gerakan bidang sosial politik, Muhammadiyah telah mampu menempatkan diri
dalam kedudukan sejajar dalam soal tawar-menawar dengan pemerintah, sehingga
Muhammadiyah hingga saat ini cukup aman dari konflik kepentingan pemerintah.

33

Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X

politik.
Namun,
sejatinya
muhammadiyah tidaklah seperti itu,
Muhammmadiya memang organisasi
keagamaan namum tidak berarti awam
dalam dunia politik. Sepanjang sejarah
membuktikan

keterlibatan
Muhammadiyah atau tokoh-tokohnya
yang memperjuangankan masyarakat
dan pengembangan pergerakan amar
ma’ruf nahi mungkar. Untuk menjaga
kemurnian ruh pergerakan sebagai
organisasi keagamaan. Muhammadiyah
lebih memilih/memposisikan dirinya
untuk terbebas dari afiliasi dengan
kekuatan
orsospol.
Sebagaimana
ditegaskan dalam "Matan Keyakinan
Cita-Cita Hidup, Muhamrnadiyah"
tahun 1968. meski demikian tidak
mengisolasikan diri dari perkembangan
politik yang memiliki implikasi
langsung terhadap kehidupan umat,
masyarakat, bangsa dan negara. Ini
merupakan tradisi yang tumbuh sejak

Kongres Solo (1929), AR Fachruddin,
ketua PP Muhammadiyah menyatakan
secara
sederhana,
bahwa
Muhammadiyah
bukan
organisasi
politik, namun tidak "buta" politik.
Tulisan
ini
berusaha
menelusuri,menelaah bagaimana Kiprah
Muhammadiyah dalam kancah Politik
Nasional, mendeskripsikan khittah
Muhammadiyah
dalam
kehidupan
berbangsa dan bernegara, sikap politik
Muhammadiya

dalam
sejarah
perpolitikan
Indonesia
serta
model/bentuk
peran
politik
Muhammadiyah

Pendahuluan
Sejak
awal
berdirinya
Muhammadiyah merupakan pergerakan
dakwah Amal ma’ruf nahi mungkar.
Bergerak demi terciptanya masyarakat
utama adil, makmur dan sejahtera
sehingga terwujud masyarakat Islam
yang sebener benarnya.Muhammadiyah

seperti
halnya
semua
gerakan
pembaharuan Islam di seluruh dunia
sudah sejak dini berpendapat bahwa
ijtihad tidak pernah tertutup. Ia terbuka
selama-lamanya dengan tujuan untuk
aktualisasi
ajaran
Islam
dalam
menghadapi segala perubahan yang
terjadi
Sebagaimana dikatakan Ahmad
Syafi’i Maarif bahwa ijtihad adalah
metode berpikir dalam memahami
ajaran Islam yang meliputi seluruh
dimensi kehidupan manusia. Tanpa
ijtihad

Islam
dapat
kehilangan
relevansinya dengan perkembangan
zaman.Untuk itu, perumusan yang tepat
terhadap perkembangan dan perubahan
dalam masyarakat, sebagaimana dilansir
Menteri Agama H.Tarmidzi Taher,
adalah perwujudan ijtihad, yang
merupakan salah satu tema pokok
pandangan Muhammadiyah. Ijtihad di
sini tidak sekadar kembali kepada alQur’an dan Sunnah, tetapi juga melihat
dan
mengkaji
relevansi
dan
kontekstualisasi ajaran-ajaran Islam
dengan perubahan dan perkembangan
zaman. Dengan cara seperti itu ijtihad
dapat fungsional dan menjadi factor

penting untuk mengembangkan umat
yang dinamis, yang dengan penuh
keyakinan dan percaya diri siap
menghadapi
tantangan
di
masa
mendatang.
Sebagian publik di negeri tercinta
ini,
banyak
yang
melihat
Muhammadiyah sebagai organisasi
gerakan masyarakat yang buta dengan
politik tidak mau bersentuhan dengan

Khittah Muhammadiyah
Kehidupan
Berbangsa

Bernegara

Dalam
Dan

Khittah artinya garis besar perjuangan.
Khittah
mengandung
konsepsi
(pemikiran)
perjuangan
yang
merupakan tuntunan, pedoman, dan

34

Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X

arah berjuang. Hal tersebut mempunyai

arti penting karena menjadi landasan
berfikir dan amal usaha bagi semua
pimpinan dan anggota Muhammadiyah.
Dari periode ke periode Kepemimpinan
dalam Muhammadiyah telah dilahirkan
beberapa Khittah. Khittah tersebut
disusun
mengikuti
perkembangan
persyarikatan dari masa ke masa. Isi
suatu Khittah sesuai dengan dasar dan
tujuan
Muhammadiyah
serta
menunjukkan situasi masa dalam satu
periode. Begitu pula sasaran yang akan
dicapai dalam suatu periode tergambar
dalam suatu khittah. Umumnya suatu
khittah
bersifat

pembinaan
kepemimpinan dan bimbingan untuk
berjuang
bagi
para
anggota
Muhammadiyah.
Muhammadiyah adalah gerakan dakwah
Islam amar ma’ruf nahi munkar dengan
maksud dan tujuan menegakkan dan
menjunjung tinggi agama Islam
sehingga terwujud masyarakat Islam
yang
sebenar-benarnya.
Muhammadiyah berpandangan bahwa
agama Islam menyangkut seluruh aspek
kehidupan meliputi: aqidah, ibadah,
akhlak dan muamalah duniawiyah yang
merupakan satu kesatuan yang utuh dan
harus dilaksanakan dalam kehidupan

perseorangan maupun kolektif. Dengan
mengemban misi gerakan tersebut
Muhamadiyah dapat mewujudkan atau
mengaktualisasikan
agama
Islam
menjadi rahmatan lil ‘alamin dalam
kehidupan di muka bumi ini.
Adapun Khittah Denpasar tahun 2002
atau Khittah Muhammadiyah dalam
Berbangsa dan Bernegara yang bersifat
lengkap itu berisi sembilan butir
pernyataan pokok, yaitu sebagai
berikut:
1. Muhammadiyah meyakini bahwa
politik dalam kehidupan bangsa dan
negara merupakan salah satu aspek
dari ajaran Islam dalam urusan

2.

3.

4.

5.

35

keduniawian
(al-umur
addunyawiyat) yang harus selalu
dimotivasi, dijiwai, dan dibingkai
oleh nilai-nilai luhur agama dan
moral yang utama.
Muhammadiyah meyakini bahwa
negara
dan
usaha-usaha
membangun kehidupan berbangsa
dan bernegara, baik melalui
perjuangan politik maupun melalui
pengembangan masyarakat, pada
dasarnya merupakan wahana yang
mutlak
diperlukan
untuk
membangun kehidupan di mana
nilai-nilai Ilahiah melandasi dan
tumbuh subur bersamaan dengan
tegaknya nilai-nilai kemanusiaan,
keadilan, perdamaian, ketertiban,
kebersamaan, dan keadaban untuk
terwujudnya
“Baldatun
Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur”.
Muhammadiyah
memilih
perjuangan
dalam
kehidupan
berbangsa dan bernegara melalui
usaha-usaha
pembinaan
atau
pemberdayaan masyarakat guna
terwujudnya masyarakat madani
(civil
society)
yang
kuat
sebagaimana
tujuan
Muhammadiyah
untuk
mewujudkan masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya.
Muhammadiyah mendorong secara
kritis atas perjuangan politik yang
bersifat praktis atau berorientasi
pada kekuasaan (real politics)
untuk dijalankan oleh partai-partai
politik
dan
lembaga-lembaga
formal kenegaraan dengan sebaikbaiknya menuju terciptanya sistem
politik yang demokratis dan
berkeadaban sesuai dengan cita-cita
luhur bangsa dan negara.
Muhammadiyah
senantiasa
memainkan peranan politiknya
sebagai wujud dari dakwah amar
ma’ruf nahi munkar dengan jalan

Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X

mempengaruhi
proses
dan
kebijakan negara agar tetap berjalan
sesuai dengan konstitusi dan citacita luhur bangsa. Muhammadiyah
secara aktif menjadi kekuatan
perekat bangsa dan berfungsi
sebagai wahana pendidikan politik
yang sehat menuju kehidupan
nasional
yang
damai
dan
berkeadaban.
6. Muhammadiyah tidak berafiliasi
dan tidak mempunyai hubungan
organisatoris dengan kekuatankekuatan politik atau organisasi
manapun.
Muhammadiyah
senantiasa mengembangkan sikap
positif
dalam
memandang
perjuangan politik dan menjalankan
fungsi kritik sesuai dengan prinsip
amar ma’ruf nahi munkar demi
tegaknya sistem politik kenegaraan
yang demokratis dan berkeadaban.
7. Muhammadiyah
memberikan
kebebasan kepada setiap anggota
Persyarikatan untuk menggunakan
hak pilihnya dalam kehidupan
politik sesuai hati nurani masingmasing. Penggunaan hak pilih
tersebut
harus
merupakan
tanggungjawab sebagai warga
negara yang dilaksanakan secara
rasional dan kritis, sejalan dengan
misi
dan
kepentingan
Muhammadiyah,
demi
kemaslahatan bangsa dan negara.
8. Muhammadiyah meminta kepada
segenap anggotanya yang aktif
dalam politik untuk benar-benar
melaksanakan tugas dan kegiatan
politik secara sungguh-sungguh
dengan mengedepankan tanggung
jawab (amanah), akhlak mulia
(akhlaq al-karimah), keteladanan
(uswah hasanah), dan perdamaian
(ishlah). Aktifitas politik tersebut
harus sejalan dengan upaya
memperjuangkan
misi

Persyarikatan dalam melaksanakan
da’wah amar ma’ruf nahi munkar.
9. Muhammadiyah
senantiasa
bekerjasama dengan pihak atau
golongan mana pun berdasarkan
prinsip
kebajikan
dan
kemaslahatan,
menjauhi
kemudharatan, dan bertujuan untuk
membangun kehidupan berbangsa
dan bernegara ke arah yang lebih
baik, maju, demokratis dan
berkeadaban.
Muhammadiyah
berpandangan
bahwa berkiprah dalam kehidupan
bangsa dan negara merupakan
salah satu perwujudan dari misi dan
fungsi melaksanakan da’wah amar
ma’ruf nahi munkar sebagaimana
telah menjadi panggilan sejarahnya
sejak zaman pergerakan hingga
masa
awal
dan
setelah
kemerdekaan Indonesia. Peran
dalam kehidupan bangsa dan
negara tersebut diwujudkan dalam
langkah-langkah strategis dan taktis
sesuai kepribadian, keyakinan dan
cita-cita hidup, serta khittah
perjuangannya
sebagai
acuan
gerakan sebagai wujud komitmen
dan
tanggungjawab
dalam
mewujudkan
“Baldatun
Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur”.
Sikap
Politik
Muhammadiyah
Dalam
Sejarah
Perpolitikan
Indonesia
a) Muhammadiyah sebelum
penjajahan Jepang
Muhammadiyah
didirikan
di
Kampung Kauman Yogyakarta
pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 H
/18
Nopember
1912
oleh
Muhammad Darwis yang kemudian
setelah
pulang
melaksanakan
ibadah haji di tanah suci makkah
berganti nama menjadi K.H.
Ahmad Dahlan, seorang pegawai

36

Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X

Kesultanan
Yogyakarta
yang
bertindak sebagai khatib dan
bekerja
sebagai
pedagang.
Organisasi ini didirikannya untuk
mengorganisir
kegiatannya
mengajak kembali ke Qur'an dan
Hadits
yang
pada
mulanya
mengalami
penolakan
namun
kemudian
berangsur-angsur
diterima tidak hanya di Kauman
tapi
di
tempat-tempat
perdagangannya di luar Yogyakarta
bahkan hingga ke luar Pulau Jawa.
Di samping pengajian kepada kaum
laki-laki, K.H. Ahmad Dahlan juga
mengadakan pengajian kepada
kaum ibu-ibu yang diberi nama
"Sidratul Muntaha".
Tahun
1913-1918
beliau
mendirikan 5 buah Sekolah Dasar.
Tahun 1919 mendirikan Hooge
School
Muhammadiyah
yang
kemudian pada tahun 1921 diganti
namanya menjadi Kweek School
Muhammadiyah. Sekolah ini pada
tahun 1923 dipecah menjadi dua,
untuk laki-laki dan perempuan.
Pada tahun 1930 namanya diganti
menjadi Muallimin dan Muallimat.
Selanjutnya
Muhammadiyah
mendirikan organisasi untuk kaum
perempuan Aisyiyah yang dipimpin
istrinya Ny. Walidah Ahmad
Dahlan. Aisyiyah bermula dari
badan otonom SAPATRESNA,
kelompok pengajian wanita yang
didirikan pada tahun 1914. Nama
Aisyiyah digunakan sejak tahun
1920.
Pada
tahun
1918
Muhammadiyah
mendirikan
organisasi
kepanduan
yang
bernama Hizbul Wathan. Tahun
1920 dibentuk media massa yang
dinamai Suara Muhammadiyah.
Pada tahun 1927 Muhammadiyah
mempunyai 176 cabang, dan
Aisyiyah mempunyai 68 cabang

yang tersebar di seluruh kekuasaan
Hindia Belanda.
Sesuai dengan kondisi Hindia
Belanda yang saat itu gerakan
kepartaian
dibatasi,
Muhammadiyah
lebih
banyak
bergerak di bidang sosial. Sampai
dikeluarkannya aturan disiplin pada
SI tahun 1928, Fachruddin tokoh
Muhammadiyah berkiprah di SI,
bahkan
sampai
menduduki
Bendahara.
b) Era Jepang
Pada tahun 1937, yakni tanggal 21
September 1937, Muhammadiyah
bersama Nahdatul Ulama (NU)
mendirikan MIAI (Majelis Islam
A'la Indonesia) yang diwakili oleh
K.H.
Mas
Mansyur
dari
Muhammadiyah,
K.H.
Abdul
Wahab Chasbullah dari Nahdatul
Ulama, dan K.H. Ahmad Dahlan
mewakili
organisasi
nonpartai/ormas. Meskipun MIAI
bukan bergerak di bidang politik,
tetapi MIAIlah yang kemudian
menjadi embrio Masyumi. MIAI
dibubarkan oleh Jepang pada tahun
1943 dan menggantikannya dengan
Masyumi yang di dalamnya juga
terdapat Muhammadiyah. Pada
tahun 1937 pula, K.H. Mas
Mansyur bersama Dr.Sukiman
Wirjosanjaya
mendirikan
PII
(Partai Islam Indonesia) sebagai
penimbangan atas sikap nonkooperatif dari PSII.
c) Era Kemerdekaan
Pada tanggal 7-8 November 1945,
Masyumi
tempat
bernaung
Muhammadiyah dan ormas Islam
lainnya
memutuskan
untuk

37

Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X

mengusung suatu misi yakni
kemerdekaan. Masyumi menjadi
partai politik yang amat kental
perjuangannya
dalam
era
kemerdekaan. Sudirman, kepala
Hizbul Wathan diangkat menjadi
pemimpin TNI. Tahun 1947
Muhammadiyah
membentukan
Angkatan Perang Sabil (APS)
dengan Ketua Hajid, Wakil Ketua
A.Badawi dan penasihat Ki Bagus
Hadikusumo.

f) Era Reformasi
Pada bulan Agustus 1998, Amien
Rais, Ketua Muhammadiyah saat
itu mendirikan Partai Amanat
Nasional (PAN) yang mendapat
dukungan dan fasilitasi dari
Muhammadiyah.
Pengajuan
Bambang Sudibyo dan Hatta Rajasa
yang dua kali menjadi menteri dari
PAN, menimbulkan disharmoni
PAN
dan
Muhammadiyah.
Ketidakpuasan
terhadap
PAN
menyebabkan
generasi
muda
Muhammadiyah melahirkan partai
sendiri yakni Partai Matahari
Bangsa pada tanggal 26 November
2006.

d) Pasca Kemerdekaan
Muhammadiyah aktif di Masyumi
pasca kemerdekaan. Pada waktu
pemilu
1955
Muhammadiyah
masih bergabung dengan Masyumi
meski NU waktu itu sudah keluar
dan menjadi peserta Pemilu.
Seiring
dengan
menurunnya
"keuntungan-keuntungan politik"
yang didapat
Muhammadiyah
selaku anggota istimewa Masyumi,
Sidang Tanwir Muhammadiyah
1956 memutuskan meninjau ulang
keanggotaan
istimewa
Muhammadiyah di Masyumi. Pada
sidang
tanwir
1959
Muhammadiyah resmi keluar dari
Masyumi.

Bentuk
Peran
Muhammadiyah

Politik

Khittah
Muhammadiyah
bagaimanapun lengkapnya tidaklah
sempurna, selalu terdapat celah
kekurangan. Tetapi dengan Khittah
terdapat garis pembatas sekaligus
bingkai
bahwa
Muhammadiyah
sejatinya berposisi dan berperan sebagai
organisasi kemasyarakatan (sosialkeagamaan) yang bergerak dalam
lapangan pembangunan masyarakat,
sebaliknya Muhammadiyah bukanlah
organisasi politik atau yang berperan
sebagaimana organisasi politik seperti
halnya partai politik dengan segala
aktivitasnya
dalam
perjuangan
kekuasaan di ranah negara atau
pemerintahan. Namun baik organisasi
kemasyarakatan maupun organisasi
politik melalui jalur yang berbada tetap
bertemu dalam satu titik yaitu bersamasama membangun bangsa dan negara.
Karenanya
baik
ormas
keagamaan/kemasyarakatan
maupun
partai politik memiliki posisi dan peran
yang berbeda tetapi sama-sama penting

e) Era Orde Baru
K.H.
Faqih
Usman
dari
Muhammadiyah dan Dr.Anwar
Haryono pernah mengirimkan surat
kepada Soeharto untuk mencabut
larangan terhadap partai masyumi.
Nota Faqih Usman tersebut tidak
ditanggapi.
Selanjutnya
Muhammadiyah
dan
bekas
pendukung masyumi mendirikan
Parmusi, yang pasca Pemilu 1971
berfusi ke PPP.

38

Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X

dan strategis dalam membangun
kehidupan bangsa dan negara.
Muhammadiyah akan menjadi
salah posisi dan tidak tepat manakala
dipandang dan diposisikan dari sudut
partai
politik
atau
kepentingan
perjuangan kekuasaan yang bersifat
praktis. Partai politik dan perjuangan
politik kekuasaan itu sendiri memang
penting dan strategis tetapi juga bukan
segala-galanya. Urusan bangsa dan
negara terlalu penting hanya diserahkan
dan menjadi garapan partai politik dan
sekadar
kepentingan
perjuangan
kekuasaan belaka. Lebih dari itu
kenyataan juga menunjukkan bahwa
kehidupan partai politik dan perjuangan
politik kekuasaan sebagaimana menjadi
agenda utama urusan politik tidaklah
serba ideal sebagaimana dibayangkan
oleh para pendukung politik praktis.
Dalam sejumlah hal, untuk tidak
menyatakan banyak hal, ranah politik
kekuasaan bahkan seringkali sarat
masalah, sehingga bukan sekadar dunia
yang indah. Seorang pimpinan partai
politik di negeri ini berangkat dari
pengalamannya di lapangan bahkan
sempat menyatakan bahwa politik itu
dalam praktiknya sungguh jahat dan
kotor, kendati tentu saja dalam sisi lain
politik itu juga menunjukkan nilai luhur
terutama ketika dibingkai moral dan
sepenuhnya memperjuangkan hajat
hidup bangsa dan negara.
Jika
sebagian
pandangan
menyatakan hasil kerja politik itu luar
biasa bagaikan memancing ikan hiu,
sedangkan dakwah sekadar mengail
ikan teri, sesungguhnya tidak selamanya
demikian. Ketika menang memang
besar ikan tangkapannya, tetapi
manakala kalah juga tak kalah besar
jatuh dan bangkrutnya. Ormas-ormas
Islam yang di masa lalu jaya kemudian
berubah menjadi partai politik pada
akhirnya juga tenggelam, atau ketika

menjadi partai politik kemudian sarat
masalah sedangkan urusan dakwah
kemasyarakatannya terlantar. Partai
politik Islam yang di masa lalu jaya
kemudian mati dan menjadi beban
sejarah atau partai-partai politik yang
demikian ideal sejak awal tetapi setelah
di perjalanan bagaikan kacang lupa
kulit, sehingga resikonya pun tak kalah
bera. Kerja politik dapat menghasilkan
menteri atau posisi strategis di
kekuasaan, tetapi pada saat yang sama
kehilangan menteri atau jabatan
kekuasaan karena tawar menawar
politik selalu disertai pertukaran
kepentingan, akhirnya dapat satu
kehilangan satu. Perjuangan di ranah
politik pun selalu diwarnai prgamatisasi
yang luar biasa sehingga konflik, intrik,
saling jegal, politik uang, dan masalahmasalah perebutan kepentingan menjadi
sangat vulgar dan terbuka. Hal-hal yang
demikian jangan diabaikan dari neraca
politik, sehingga dunia politik kendati
sekali lagi penting dan strategis, tidak
seindah sebagaimana yang diagungkan
para pejuang politik kekuasaan.
Adapun gerakan-gerakan sosial
kemasyarakatan memang kelihatan
genggaman tangannya tak seberapa,
mungkin kecil dan mengais-ngais.
Tetapi dalam jangka panjang sering
tidak kalah besar hasil dan manfaatnya.
Kalau
berandai-andai
bahwa
Muhammadiyah menjadi partai politik
atau terus bergumul dalam perjuangan
politik mungkin meraih sukses besar,
tetapi juga terbuka kemungkinan
bangkrut besar sehingga tidak seperti
sekarang memiliki 171 perguruan
tinggi, ribuan sekolah dan taman kanakkanak, puluhan rumah sakit, ratusan
balai pengobatan dan panti asuhan, dan
lebih penting lagi masih mengakar di
masyarakat luas dengan kepercayaan
yang melekat di dalamnya. Ketika
sesekali masuk ke ranah perjuangan

39

Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X

atau dukungan politik, sering dengan
mudah
kritik
dan
peluruhan
kepercayaan mengemuka ke ruang
publik. Muhammadiyah juga tidak akan
memiliki basis sosial yang kuat dalam
berdakwah, sehingga boleh jadi
kehilangan kepercayaan dari umat atau
masyarakat, yang lama kelamaan surut
dan mengecil sebagaimana ormas Islam
yang lebih dulu lahir dan kemudian
nyaris
hilang
dari
peredaran.
Pertimbangan yang demikian juga perlu
dikemukakan dan menjadi perhatian
agar tidak dengan mudah menegasikan
posisi
dan
peran
penting
Muhammadiyah karena demikian kuat
hasrat membawa gerakan Islam ini
masuk ke kancah perjuangan politikpraktis baik langsung maupun tidak
langsung. Politik sekali lagi penting dan
strategis,
tetapi
juga
ekonomi,
pendidikan, kesehatan, dan lebih-lebih
dakwah kemasyarakatan tak kalah
penting dan strategisnya manakala
ditekuni,
digarap,
dikelola,
dan
diperjuangkan sepenuh hati dengan
istiqamah.
Karena itu, Muhammadiyah baik
dengan Khittah maupun tanpa Khittah,
sesungguhnya telah berada di jalur yang
tepat,
sebagaimana
pihak
atau
organisasi lain yang mengambil jalur
perjuangan politik sama tepatnya,
manakala semuanya dilakukan dengan
terfokus, optimal, sungguh-sungguh,
dan lebih penting lagi dengan
mengerahkan segala potensi dan
berpijak pada idealisme. Kepalan
tangan yang kecil dalam jalur gerakan
dakwah kemasyarakatan manakala
disatukan dari ratusan ribua hingga
jutaan warga Muhammadiyah dalam
menyangga gerakan Islam ini insya
Allah akan melahirkan karya amaliah
yang luar biasa.
Dalam posisi yang demikian
maka sebagaimana Khittah Denpasar,

Muhammadiyah dengan tetap berada
dalam kerangka gerakan dakwah dan
tajdid yang menjadi fokus dan orientasi
utama
gerakannya,
dapat
mengembangkan fungsi kelompok
kepentingan atau sebagai gerakan
sosial civil-society dalam memainkan
peran berbangsa dan bernegara tanpa
harus
bergumul
dalam
kancah
perjuangan politik-praktis sebagaimana
partai politik. Muhammadiyah sebagai
gerakan
sosial-keagamaan
yang
memerankan
fungsi
kelompok
kepentingan
sebagai
kekuatan
masyarakat
madaniah
merupakan
format yang tepat dalam memainkan
peran
politik-kebangsaan
untuk
mewujudkan Indonesia sebagai bangsa
dan negara yang maju, adil, makmur,
sejahtera, bermartabat, dan berdaulat
sebagaimana
cita-cita
nasional
kemerdekaan tahun 1945.
Muhammadiyah
sebagai
kelompok
kepentingan
dapat
memainkan
peran
politik
lobi,
komunikasi politik, sosialisasi politik,
pendidikan politik, melakukan kritik
atau tekanan publik, dan distribusi kader
politik atau kader profesional lainnya
yang dapat masuk ke seluruh lini
pemerintahan.
Peran
kelompok
kepentingan tersebut dengan tetap
dilakukan berdasarkan spirit dakwah alamr bi al-ma’ruf wa nahyu ‘an almunkar, yang dilakukan dengan
pendekatan berwajah kultural dan tidak
sebagaimana peran politisi dan partai
politik yang sering bersifat serba
terbuka, vulgar, dan sarat tawar
menawar kepentingan yang bersifat
pragmatis. Dalam menjalankan fungsi
kelompok kepentingan tersebut dapat
dilakukan melalui kelembagaan sesuai
mekanisme yang
berlaku dalam
Muhammadiyah maupun perseorangan
dengan tetap menjunjung tinggi prinsip,
etika, dan kepentingan Muhammadiyah.

40

Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X

Kendati
fungsi
kelompok
kepentingan sebagai aktualisasi peran
politik kebangsaan selaku kekuatan
masyarakat madaniyah dan wujud dari
peran amar makruf dan nahi munkar,
Muhammadiyah dan para pelaku
gerakannya tetap harus memperhatikan
prinsip-prinsip dan etika organisasi
termasuk di dalamnya komitmen pada
Khittah Muhammadiyah. Tidak boleh
karena alasan menjalankan fungsi
kelompok
kepentingan
kemudian
terjebak pada langkah politik-praktis
dan menjadikan organisasi sebagai
pertaruhan politik, karena sampai batas
tertentu pula melalui fungsi kelompok
kepentingan akan terjadi proses politikpraktis manakala tidak dijaga jarak dan
keseimbangan dalam menjalankannya.
Baik dalam mendukung (amar makruf)
maupun mengkritisi (nahi munkar)
kebijakan
pemerintah
misalnya
manakala dilakukan melampaui garis
Khittah dan kepatutan organisasi maka
pada akhirnya akan bermuara pada
proses politik-praktis pula. Hingga di
sini faktor etika gerakan dan kearifan
dalam menjalankan fungsi kelompok
kepentingan dari para pelaku gerakan
menjadi penting dalam Muhammadiyah.
Segala sesuatu dan langkah harus tetap
berada dalam koridor organisasi dan
tidak melampaui batas takaran. Hal
tersebut kelihatan rumit atau konservatif
tetapi apapun dalam menjalankan
amanah organisasi memang perlu garis
pembatas, kearifan, dan pertimbangan
yang matang karena menyangkut sistem
dan amanat gerakan yang tidak boleh
dipertaruhkan dengan sembarangan
tanpa mekanisme dan etika organisasi
yang membingkainya.
Kesantunan,
objektivitas,
moralitas atau akhlak, dan kearifan
dalam menjaga batas-batas prinsip
gerakan maupun dalam menjalankan
fungsi kelompok kepentingan tetap

diperlukan dari seluruh pelaku gerakan
Muhammadiyah. Hindari pemaksaan
kehendak, berjalan sendiri tanpa
memperhatikan koridor organisasi, dan
sikap berlebihan atau melampaui
takaran dalam menjalankan fungsi
politik
kepentingan
atas
nama
Muhammadiyah. Sebab manakala peran
atau fungsi kelompok kepentingan itu
dilakukan melampaui takaran atau
kebablasan maka proses dan hasil
akhirnya akan sama dengan fungsi atau
peran partai politik dan masuk ke
kancah atau jalur perjuangan politikpraktis. Pada situasi yang demikian
maka selain selalu memperhatikan spirit
dan binkai Khittah maupun prinsipprinsip organisasi yang selama ini
menjadi
manhaj
gerakan
Muhammadiyah, pada saat yang sama
perlu dikedepankan kearifan dan etika
dari para elite atau pelaku gerakan
kelompok
kepentingan
dan
Muhammadiyah secara keseluruhan. Di
sinilah
integrasi
antara
koridor
organisasi dan akhlak politik setiap
anggota Muhammadiyah sebagaimana
terkandung dalam Pedoman Hidup
Islami Warga Muhammadiyah menjadi
sangat penting dan harus menjadi
pijakan bagi setiap kader, elite,dan
pimpinan Persyarikatan dalam kancah
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam mengoptimalkan peran
Muhammadiyah
dalam
politik
kebangsaan dapat dikembangkan pula
jaringan kader politik kebangsaan,
baik yang berada dan melalui jalur
partai politik dan lembaga legislatif,
maupun di jalur lembaga eksekutif dan
yudikatif
serta
lembaga-lembaga
pemerintahan lainnya. Jika secara
kelembagaan Muhammadiyah tidak
memainkan fungsi politik-praktis, maka
secara fungsional dan non-institusional
dapat dikembangkan jaringan kader
politik sebagai langkah pengembangan

41

Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X

potensi kader di berbagai struktur
kelembagaan di luar organisasi.
Pengembangan jaringan kader politik
atau
kader
kebangsaan
tersebut
berfungsi sebagai kepanjangan tangan
atau
anak
panah
gerakan
Muhammadiyah. Dengan demikian
sekaligus dapat dipecahkan kesenjangan
hubungan antara kader politik / kader
bangsa dengan Persyarikatan yang
selama ini sampai batas tertentu
menjadi keluhan sementara pihak.
Lebih jauh lagi melalui jaringan kader
politik kebangsaan tersebut dapat
diptimalkan
misi
Muhammadiyah
dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara melalui para kadernya di
ranah kebangsaan.
Agar peran kader
politik
kebangsan tersebut dapat dioptimalkan
bagi kepentingan misi Muhammadiyah
maka
diperlukan
usaha-usaha
pemahaman misi ideologi gerakan bagi
para
kader
bangsa
tersebut.
Muhammadiyah tentu akan terus
mendorong para kadernya yang
berkiprah di dunia politik-praktis
maupun di berbagai jalur kehidupan
lainnya secara positif, karena dakwah
memang memerlukan penyangga dari
seluruh lini dan struktur kehidupan.
Namun para kader politik atau kader
bangsa dari Muhammadiyah tersebut
seyogyianya terus memupuk idealisme,
prinsip, etika, dan modal dasar yang
kuat atau memadai untuk berkiprah di
ranah politik-praktis atau di ranah
kebangsaan, selain faktor kemampuankemampuan objektif yang diperlukan
sebagaimana layaknya pelaku politik
yang idealis dan profesional.

sekarang ini,organisasi yang bergerak
dibidang keagamaan dengan maksud
berdakwah amal ma’ruf nahi mungkar
dengan
segala
lini
kehidupan
masyarakat.
Muhammadiyah
juga
melakukan gerakan politik, namun
bukan politik praktis, perpolitikan
muhammadiyah berdasarkan khittah
perjuangan Muhammadiyah yang dibuat
sebagai
batasan
gerak
politik
Muhammadiyah.
Muhammadiyah dengan khittah dan
manhaj gerakan yang melandasai serta
membingkainya dapat memainkan
peran kebangsaan secara lebih proaktif
melalui aktualisasi kerja-kerja dakwah
kemasyarakatan yang lebih progresif,
baik untuk memperkuat basis civilsociety maupun penguatan kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Khittah
perjuangan
Muhammadiyah ini harus dapat
mencerminkan peran muhammadiyah
dalam
menjalankan
fungsinya
organisasi modern yang berorientasi
masa depan. Selain itu, Khittah
perjuangan harus menjadi variabel
pengubah kultural dalam berorganisasi
para kader terutama sekali dari kalangan
angkatan muda Muhammadiyah ke arah
yang lebih baik, agar kultural hasanah
mereka dalam setiap nadi gerakan
Muhammadiyah, maka diperlukan
upaya pembumian semangat saling
menasehati dalam kebaikan dan
kesabaran dan saling berlomba-lomba
untuk menuju cinta dan kasih sayang
Allah. yang melandasi perjuangan pada
cita-cita
Muhammadiyah
untuk
menciptakan masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya

PENUTUP
Dari paparan di atas dapat
dikatakan bahwa Muhammadiyah sarat
dengan dinamika dalam menapaki
sejarahnya sejak berdiri hingga saat

42

Jurnal’ Tarbawi Khatulistiwa’ Vol.2 No. 2 2016
ISSN : 2442-756X

DAFTAR PUSTAKA
Jainuri, Achmad 2002. Ideologi Kaum
Reformis. Surabaya : LPAM
Nasir, Haedar,2011. Aktualisasi Khittah
Muhammadiyah dan Format
Peran
Politik
kebangsaan,
blog.spot .com
Prasetyo Hendro dan Ali Munhanif,
2002. Islam dan civil society,
pandangan muslim Indonesia.
Jakarta : Gramedia pustaka utama
Sartono Kartodirjo, 1993. Pendekatan
Ilmu Sosial dalam Metode
Sejarah. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama
Shobron Sudarsono dan Ali Marpuji,
2010 Membangun Konstruksi
Ideal Relasi Muhammadiyah dan
Politik, Tajdida Jurnal Pemikiran
dan Gerakan Muhammadiyah Vol
8, No.1
Suwarno,
2001.
Muhammadiyah
Sebagai Oposisi. Yogyakarta: UII
Press
Rais Amien, 1998. Membangun Pilitik
Adiluhung. Bandung : Zaman
Wacana Mulia

43