RELEVANSI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA I
“RELEVANSI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA DAN SASTRA
INDONESIA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA”
Bangsa yang maju tidak semata-mata disebabkan oleh kompetensi, teknologi
canggih, atau kekayaan alamnya, tetapi yang terutama adalah dorongan semangat dan
karakternya. Di Indonesia akhir-akhir ini dijumpai fenomena sosial, antara lain
penyimpangan yang dilakukan pelajar seperti seks bebas, tawuran, maupun
ditemukannya beberapa video porno. Kondisi ini menimbulkan kecurigaan masyarakat
mengenai kegagalan pendidikan. Pendidikan selama ini lebih cenderung memberikan
porsi yang berlebih pada penanaman aspek-aspek kompetensi hard skills dan kurang
memberi porsi yang layak pada penanaman soft skills.
Kondisi nyata lainnya yang kita hadapi berkaitan dengan pendidikan bahasa
Indonesia atau pembelajaran bahasa Indonesia di kalangan pelajar dan masyarakat
Indonesia pada umumnya adalah (a) tidak tumbuhnya sikap positip terhadap bahasa
Indonesia, (b) belum ditemukannya strategi pembelajaran bahasa Indonesia yang baik,
(c) kurangnya usaha-usaha terutama yang bersifat individual untuk memahiri bahasa
Indonesia, (d) belum tumbuhnya kepercayaan diri dengan bahasa Indonesia, dan (e)
sikap merasa tidak perlu mempelajari bahasa Indonesia.
Dewasa ini, kondisi-kondisi seperti yang dikemukakan di atas semakin menguat
dengan kehadiran telepon selular. Komunikasi lisan yang nonstandar yang telah
merajalela di tengah-tengah masyarakat semakin menguat dengan praktik ber-SMS.
Praktik keseharian itu menyebabkan kebanyakan pengguna bahasa Indonesia tidak teliti
berbahasa. Dunia akademis yang menuntut penggunaan bahasa tulis yang tertib dan
bersistem
mengalami
kesulitan
yang
mengkibatkan
kurang
berkembangnya
pengetahuan dan pemikiran yang tertib dan bernalar. Hal ini menurut Felicia (2001 : 1),
karena dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan
adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada
bahasa, terutama bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan
mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa,
orang Indonesia tidak terampil menggunakan bahasa. Suatu kelemahan yang tidak
disadari.
Seperti yang kita ketahui bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita menggunakan
bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Oleh karena itu, kita harus mempelajari ilmu
5
pendidikan tentang bahasa dan sastra Indonesia. Agar kita dapat belajar dan mengetahui
bagaimana cara kita menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Terutama
bagi calon pendidik, pendidikan bahasa dan sastra Indonesia dirasakan memang sangat
penting. Karena ketika seorang pendidik memberikan pengajaran kepada anak-anak
didiknya, ia harus bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Apabila
seorang pendidik mengunakan bahasa yang kurang baik, maka akan dicontoh oleh anakanak didiknya dan itu akan mengakibatkan peran bahasa dan sastra dalam dunia
pendidikan berkurang
Kondisi ini menggambarkan bahwa Bahasa Indonesia seperti yang dikatakan
Keraf dalam Kunarto (2007) bahwa “bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang
digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan
diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan
beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk
melakukan kontrol sosial”, menjadi lemah fungsinya di tengah-tengah masyarakat
Indonesia masa kini.
Dalam hal ini, pendidikan sastra dan bahasa Indonesia mempunyai peranan yang
penting didalam dunia pendidikan. Dalam penanaman pendidikan karakter yang utama
adalah keteladanan. Orang tua memberikan contoh perilaku yang positif kepada anakanaknya, guru memberi contoh kepada anak didiknya. Sementara itu, para pemimpin
memberikan teladan karakter yang baik kepada masyarakat. Nilai dan perilaku itu
dinamis dan berkembang, arah perkembangannya yang perlu di arahkan. Anak muda
harus disodori contoh. Bangsa adalah bukan merupakan suku ataupun daerah melainkan
kesadaran untuk bersatu.
Mengembangakan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa merupakan fungsi dari sistem
pendidikan nasional kita. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 623) karakter
merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang
dari yang lain; tabiat; watak. Dengan demikian, karakter (watak; tabiat) dapat dipahami
sebagai sikap, tingkah laku, dan perbuatan baik atau buruk yang berhubungan dengan
norma sosial. Karakter juga merupakan nilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Karakter juga
5
merupakan cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk
hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun
negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang mampu membuat suatu
keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang
dibuatnya. “Karakter juga adalah identitas yang membedakan dan pencerahan dirinya
melalui agamanya serta sebagai hidden kurikulum berdasarkan proses pembiasaan dan
pemberian contoh” menurut Mantan Sekretaris Jenderal Kemenag, Bahrul Hayat, Ph.D.
Pendidikan kejiwaan yang berorientasi pada pembentukan karakter bangsa itu
dapat diwujudkan melalui pengoptimalan peran sastra. Untuk membentuk karakter
bangsa ini, sastra diperlakukan sebagai salah satu media atau sarana pendidikan
kejiwaan. Hal itu cukup beralasan sebab sastra mengandung nilai etika dan moral yang
berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Sastra tidak hanya berbicara tentang
diri sendiri (psikologis), tetapi juga berkaitan dengan Tuhan (religiusitas), alam semesta
(romantik), dan juga masyarakat (sosiologis). Sastra mampu mengungkap banyak hal
dari berbagai segi. Banyak pilihan genre sastra yang dapat dijadikan sarana atau sumber
pembentukan karakter bangsa.
Berkaitan dengan karakter, Saryono (2009:52—186) mengemukakan bahwa
genre sastra yang dapat dijadikan sarana untuk membentuk karakter bangsa, antara lain,
genre sastra yang mengandung nilai atau aspek (1) literer-estetis, (2) humanistis, (3) etis
dan moral, dan (4) religius- sufistis-profetis. Keempat nilai sastra tersebut dipandang
mampu mengoptimalkan peran sastra dalam pembentukan karakter bangsa. Melalui
bahasa kita dapat mengetahui budaya dan pola pikir suatu masyarakat. Karakter
seseorang tampak dari perilaku berbahasanya, sebagaimana ditegaskan oleh Effendi
(2009: 75) bahwa cara berpikir seseorang tercermin dalam bahasa yang digunakannya.
Jika cara berpikir seseorang itu teratur, bahasa yang digunakannya pun teratur pula.
Pembelajaran sastra diarahkan pada tumbuhnya sikap apresiatif terhadap karya
sastra, yaitu sikap menghargai karya sastra. Dalam pembelajaran sastra ditanamkan
tentang pengetahuan karya sastra (kognitif), ditumbuhkan kecintaan terhadap karya
sastra (afektif) , dan dilatih keterampilan menghasilkan karya sastra (psikomotor).
Kegiatan apresiatif sastra dilakukan melalui kegiatan (1) reseptif seperti membaca dan
mendengarkan karya sastra, menonton pementasan karya sastra, (2) produktif, seperti
mengarang, bercerita, dan mementaskan karya sastra, (3) dokumentatif, misalnya
mengumpulkan puisi, cerpen, membuat kliping tentang infomasi kegiatan sastra.
5
Ketika seseorang menciptakan karya sastra, pikiran kritisnya dikembangkan,
imajinasinya dituntun ke arah yang positif sebab ia sadar karya sastra harus indah dan
bermanfaat. Penulis akan menuangkan imajinasinya sesuai dengan kaidah genre sastra
yang dipilihnya. Ia akan memilih diksi, menyusun dalam bentuk kalimat, menggunakan
gaya bahasa yang tepat, dan sebagainya. Sementara itu, pada benak pengarang terbersit
keinginan untuk menyampaikan amanat, menanamkan nilai-nilai moral, baik melalui
karakter tokoh, perilaku tokoh, ataupun dialog.
Dalam penulisan karya sastra
orisinalitas sangat diutamakan. Pengarang berusaha akan berusaha menghindari
penjiplakan apalagi plariarisme. Dengan demikian, nilai-nilai kejujuran sangat dihargai
dalam karang- mengarang.
Penguasaan terhadap keterampilan berbahasa juga dapat menunjukkan karakter
seseorang sebagai orang yang berkepribadian utuh atau tidak. Seseorang yang
berkarakter tahu kapan harus berbicara dan kapan harus mendengar. Cerdas menentukan
apa yang harus dibicarakan dan cerdas memilih apa yang harus didengar. Selanjutnya
keterampilan berbahasa juga diperlukan seimbang, ada saatnya seseorang sangat serius
dalam reseptive (mendengarkan dan membaca), tetapi pada saat yang berbeda ia
sungguh-sungguh dalam productive (berbicara dan menulis). Memperlakukan keempat
keterampilan berbahasa ini secara porporsional dapat menggambarkan yang
bersangkutan memiliki karakter yang utuh atau tidak.
Di dalam memfungsikan keterampilan berbahasa perlu diperhatikan perlakuan
norma bahasa sebagai komoditas budaya, sebagai kemampuan intelektual, sebagai
kebajikan moral, dan ideologi politik memberikan motivasi kuat untuk pembicara agar
sesuai dengan standar dan hal itu berkaitan dengan perbaikan perasaan, kecerdasan,
pendidikan, karakter, dan komitmen untuk persatuan nasional atau nilai-nilai politik
yang utama. (Battistell, 2005: 13).
Semua keterampilan berbahasa memerlukan bahasa sebagai medianya dan
beberapa dari unsur bahasa tersebut harus dikuasai dengan baik dan penguasaan yang
baik akan menjadikan orang yang menggunakannya berprilaku sopan seperti
mengucapkan sesuatu secara benar, memilih kata yang tepat, menyusun pikiran dalam
kalimat yang lengkap dan menyampaikan makna secara reprsentatif. Terampil
berbahasa berarti juga terampil menggunakan unsur bahasa yang baku atau di Indonesia
dikenal dengan bahasa Indoneisa yang benar.
5
Kenyataan ini menunjukkan bahwa sastra sangat relevan dengan pendidikan
karakter. Karya sastra sarat dengan nilai-nilai pendidikan akhlak seperti dikehendaki
dalam pendidikan karakter. Cerita rakyat ”Bawang Putih Bawang Merah” mengandung
nilai pendidikan tentang kemanusiaan. Cerita binatang ”Pelanduk Jenaka” mengandung
pendidikan tentang harga diri, sikap kritis, dan protes sosial. Sementara itu, bentuk puisi
seperti pepatah, pantun, dan bidal penuh dengan nilai pendidikan.
Referensi :
http://uny.ac.id/berita/peran-pendidikan-dalam-pembangunan-karakter-bangsa.html
diakses pada tanggal 15 Oktober 2014
http://bahasakudansastraku.blogspot.com/2011/10/peran-bahasa-dan-sastra-dalam.html
diakses pada tanggal 15 Oktober 2014
http://ikadebunny.blogspot.com/2012/04/pembentukan-karakter-melalui.html diakses
pada tanggal 15 Oktober 2014
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/323
diakses pada tanggal 15 Oktober 2014
http://www.infodiknas.com/peran-sastra-dalam-pembentukan-karakter-bangsa.html
diakses pada tanggal 15 Oktober 2014
http://digilib.unimed.ac.id/public/UNIMED-Article-23454-Mutsyuhito%20Solin.pdf
diakses pada tanggal 15 Oktober 2014
5
INDONESIA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA”
Bangsa yang maju tidak semata-mata disebabkan oleh kompetensi, teknologi
canggih, atau kekayaan alamnya, tetapi yang terutama adalah dorongan semangat dan
karakternya. Di Indonesia akhir-akhir ini dijumpai fenomena sosial, antara lain
penyimpangan yang dilakukan pelajar seperti seks bebas, tawuran, maupun
ditemukannya beberapa video porno. Kondisi ini menimbulkan kecurigaan masyarakat
mengenai kegagalan pendidikan. Pendidikan selama ini lebih cenderung memberikan
porsi yang berlebih pada penanaman aspek-aspek kompetensi hard skills dan kurang
memberi porsi yang layak pada penanaman soft skills.
Kondisi nyata lainnya yang kita hadapi berkaitan dengan pendidikan bahasa
Indonesia atau pembelajaran bahasa Indonesia di kalangan pelajar dan masyarakat
Indonesia pada umumnya adalah (a) tidak tumbuhnya sikap positip terhadap bahasa
Indonesia, (b) belum ditemukannya strategi pembelajaran bahasa Indonesia yang baik,
(c) kurangnya usaha-usaha terutama yang bersifat individual untuk memahiri bahasa
Indonesia, (d) belum tumbuhnya kepercayaan diri dengan bahasa Indonesia, dan (e)
sikap merasa tidak perlu mempelajari bahasa Indonesia.
Dewasa ini, kondisi-kondisi seperti yang dikemukakan di atas semakin menguat
dengan kehadiran telepon selular. Komunikasi lisan yang nonstandar yang telah
merajalela di tengah-tengah masyarakat semakin menguat dengan praktik ber-SMS.
Praktik keseharian itu menyebabkan kebanyakan pengguna bahasa Indonesia tidak teliti
berbahasa. Dunia akademis yang menuntut penggunaan bahasa tulis yang tertib dan
bersistem
mengalami
kesulitan
yang
mengkibatkan
kurang
berkembangnya
pengetahuan dan pemikiran yang tertib dan bernalar. Hal ini menurut Felicia (2001 : 1),
karena dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan
adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada
bahasa, terutama bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan
mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa,
orang Indonesia tidak terampil menggunakan bahasa. Suatu kelemahan yang tidak
disadari.
Seperti yang kita ketahui bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita menggunakan
bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Oleh karena itu, kita harus mempelajari ilmu
5
pendidikan tentang bahasa dan sastra Indonesia. Agar kita dapat belajar dan mengetahui
bagaimana cara kita menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Terutama
bagi calon pendidik, pendidikan bahasa dan sastra Indonesia dirasakan memang sangat
penting. Karena ketika seorang pendidik memberikan pengajaran kepada anak-anak
didiknya, ia harus bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Apabila
seorang pendidik mengunakan bahasa yang kurang baik, maka akan dicontoh oleh anakanak didiknya dan itu akan mengakibatkan peran bahasa dan sastra dalam dunia
pendidikan berkurang
Kondisi ini menggambarkan bahwa Bahasa Indonesia seperti yang dikatakan
Keraf dalam Kunarto (2007) bahwa “bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang
digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan
diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan
beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk
melakukan kontrol sosial”, menjadi lemah fungsinya di tengah-tengah masyarakat
Indonesia masa kini.
Dalam hal ini, pendidikan sastra dan bahasa Indonesia mempunyai peranan yang
penting didalam dunia pendidikan. Dalam penanaman pendidikan karakter yang utama
adalah keteladanan. Orang tua memberikan contoh perilaku yang positif kepada anakanaknya, guru memberi contoh kepada anak didiknya. Sementara itu, para pemimpin
memberikan teladan karakter yang baik kepada masyarakat. Nilai dan perilaku itu
dinamis dan berkembang, arah perkembangannya yang perlu di arahkan. Anak muda
harus disodori contoh. Bangsa adalah bukan merupakan suku ataupun daerah melainkan
kesadaran untuk bersatu.
Mengembangakan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa merupakan fungsi dari sistem
pendidikan nasional kita. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 623) karakter
merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang
dari yang lain; tabiat; watak. Dengan demikian, karakter (watak; tabiat) dapat dipahami
sebagai sikap, tingkah laku, dan perbuatan baik atau buruk yang berhubungan dengan
norma sosial. Karakter juga merupakan nilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Karakter juga
5
merupakan cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk
hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun
negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang mampu membuat suatu
keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang
dibuatnya. “Karakter juga adalah identitas yang membedakan dan pencerahan dirinya
melalui agamanya serta sebagai hidden kurikulum berdasarkan proses pembiasaan dan
pemberian contoh” menurut Mantan Sekretaris Jenderal Kemenag, Bahrul Hayat, Ph.D.
Pendidikan kejiwaan yang berorientasi pada pembentukan karakter bangsa itu
dapat diwujudkan melalui pengoptimalan peran sastra. Untuk membentuk karakter
bangsa ini, sastra diperlakukan sebagai salah satu media atau sarana pendidikan
kejiwaan. Hal itu cukup beralasan sebab sastra mengandung nilai etika dan moral yang
berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Sastra tidak hanya berbicara tentang
diri sendiri (psikologis), tetapi juga berkaitan dengan Tuhan (religiusitas), alam semesta
(romantik), dan juga masyarakat (sosiologis). Sastra mampu mengungkap banyak hal
dari berbagai segi. Banyak pilihan genre sastra yang dapat dijadikan sarana atau sumber
pembentukan karakter bangsa.
Berkaitan dengan karakter, Saryono (2009:52—186) mengemukakan bahwa
genre sastra yang dapat dijadikan sarana untuk membentuk karakter bangsa, antara lain,
genre sastra yang mengandung nilai atau aspek (1) literer-estetis, (2) humanistis, (3) etis
dan moral, dan (4) religius- sufistis-profetis. Keempat nilai sastra tersebut dipandang
mampu mengoptimalkan peran sastra dalam pembentukan karakter bangsa. Melalui
bahasa kita dapat mengetahui budaya dan pola pikir suatu masyarakat. Karakter
seseorang tampak dari perilaku berbahasanya, sebagaimana ditegaskan oleh Effendi
(2009: 75) bahwa cara berpikir seseorang tercermin dalam bahasa yang digunakannya.
Jika cara berpikir seseorang itu teratur, bahasa yang digunakannya pun teratur pula.
Pembelajaran sastra diarahkan pada tumbuhnya sikap apresiatif terhadap karya
sastra, yaitu sikap menghargai karya sastra. Dalam pembelajaran sastra ditanamkan
tentang pengetahuan karya sastra (kognitif), ditumbuhkan kecintaan terhadap karya
sastra (afektif) , dan dilatih keterampilan menghasilkan karya sastra (psikomotor).
Kegiatan apresiatif sastra dilakukan melalui kegiatan (1) reseptif seperti membaca dan
mendengarkan karya sastra, menonton pementasan karya sastra, (2) produktif, seperti
mengarang, bercerita, dan mementaskan karya sastra, (3) dokumentatif, misalnya
mengumpulkan puisi, cerpen, membuat kliping tentang infomasi kegiatan sastra.
5
Ketika seseorang menciptakan karya sastra, pikiran kritisnya dikembangkan,
imajinasinya dituntun ke arah yang positif sebab ia sadar karya sastra harus indah dan
bermanfaat. Penulis akan menuangkan imajinasinya sesuai dengan kaidah genre sastra
yang dipilihnya. Ia akan memilih diksi, menyusun dalam bentuk kalimat, menggunakan
gaya bahasa yang tepat, dan sebagainya. Sementara itu, pada benak pengarang terbersit
keinginan untuk menyampaikan amanat, menanamkan nilai-nilai moral, baik melalui
karakter tokoh, perilaku tokoh, ataupun dialog.
Dalam penulisan karya sastra
orisinalitas sangat diutamakan. Pengarang berusaha akan berusaha menghindari
penjiplakan apalagi plariarisme. Dengan demikian, nilai-nilai kejujuran sangat dihargai
dalam karang- mengarang.
Penguasaan terhadap keterampilan berbahasa juga dapat menunjukkan karakter
seseorang sebagai orang yang berkepribadian utuh atau tidak. Seseorang yang
berkarakter tahu kapan harus berbicara dan kapan harus mendengar. Cerdas menentukan
apa yang harus dibicarakan dan cerdas memilih apa yang harus didengar. Selanjutnya
keterampilan berbahasa juga diperlukan seimbang, ada saatnya seseorang sangat serius
dalam reseptive (mendengarkan dan membaca), tetapi pada saat yang berbeda ia
sungguh-sungguh dalam productive (berbicara dan menulis). Memperlakukan keempat
keterampilan berbahasa ini secara porporsional dapat menggambarkan yang
bersangkutan memiliki karakter yang utuh atau tidak.
Di dalam memfungsikan keterampilan berbahasa perlu diperhatikan perlakuan
norma bahasa sebagai komoditas budaya, sebagai kemampuan intelektual, sebagai
kebajikan moral, dan ideologi politik memberikan motivasi kuat untuk pembicara agar
sesuai dengan standar dan hal itu berkaitan dengan perbaikan perasaan, kecerdasan,
pendidikan, karakter, dan komitmen untuk persatuan nasional atau nilai-nilai politik
yang utama. (Battistell, 2005: 13).
Semua keterampilan berbahasa memerlukan bahasa sebagai medianya dan
beberapa dari unsur bahasa tersebut harus dikuasai dengan baik dan penguasaan yang
baik akan menjadikan orang yang menggunakannya berprilaku sopan seperti
mengucapkan sesuatu secara benar, memilih kata yang tepat, menyusun pikiran dalam
kalimat yang lengkap dan menyampaikan makna secara reprsentatif. Terampil
berbahasa berarti juga terampil menggunakan unsur bahasa yang baku atau di Indonesia
dikenal dengan bahasa Indoneisa yang benar.
5
Kenyataan ini menunjukkan bahwa sastra sangat relevan dengan pendidikan
karakter. Karya sastra sarat dengan nilai-nilai pendidikan akhlak seperti dikehendaki
dalam pendidikan karakter. Cerita rakyat ”Bawang Putih Bawang Merah” mengandung
nilai pendidikan tentang kemanusiaan. Cerita binatang ”Pelanduk Jenaka” mengandung
pendidikan tentang harga diri, sikap kritis, dan protes sosial. Sementara itu, bentuk puisi
seperti pepatah, pantun, dan bidal penuh dengan nilai pendidikan.
Referensi :
http://uny.ac.id/berita/peran-pendidikan-dalam-pembangunan-karakter-bangsa.html
diakses pada tanggal 15 Oktober 2014
http://bahasakudansastraku.blogspot.com/2011/10/peran-bahasa-dan-sastra-dalam.html
diakses pada tanggal 15 Oktober 2014
http://ikadebunny.blogspot.com/2012/04/pembentukan-karakter-melalui.html diakses
pada tanggal 15 Oktober 2014
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/323
diakses pada tanggal 15 Oktober 2014
http://www.infodiknas.com/peran-sastra-dalam-pembentukan-karakter-bangsa.html
diakses pada tanggal 15 Oktober 2014
http://digilib.unimed.ac.id/public/UNIMED-Article-23454-Mutsyuhito%20Solin.pdf
diakses pada tanggal 15 Oktober 2014
5