KRISIS KEAMANAN PANGAN DI ACEH

KRISIS KEAMANAN PANGAN DI ACEH
Ilham Zulfahmi1
1

Dosen Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Almuslim
Email: ilhamgravel@yahoo.com

Salah satu nawacita pemerintahan Jokowi-JK adalah mewujudkan kemandirian
ekonomi dengan menggerakkan sektor strategis ekonomi domestik. Indikator
terwujudnya kemandirian ekonomi tersebut diantaranya adalah terciptanya kedaulatan
dan ketahanan pangan nasional. Ketahanan pangan dicerminkan pada kekuatan untuk
mengatur masalah pangan secara mandiri yang didukung pengaturan kebijakan pangan
yang dirumuskan dan ditentukan oleh bangsa sendiri serta mampu melindungi serta
menyejahterakan pelaku utama pangan terutama petani dan nelayan.
UU No 18 Tahun 2012 Tentang Pangan mendefinisikan Ketahanan Pangan
sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan. Interpretasi UU tersebut diatas mengamanahkan kepada pemerintah agar
pengelolaan pangan tidak hanya terfokus kepada ketersediaan pangan (food availability)

tetapi juga tertuju pada keamanan produk pangan (food security).
Keamanan pangan menurut UU No 18 Tahun 2012 didefinisikan sebagai kondisi
dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis,
kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan
kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.
Tingkat keamananan pangan

Tingkat keamananan pangan Indonesia tahun 2016 apabila diacu pada
perhitungan Global Food Security Index hanya menempatkan Indonesia pada urutan ke
77 dari 113 negara, jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga Malaysia yang
menempati urutan 35 dan Singapura yang menempati urutan ke 3. Rendahnya tingkat
keamanan pangan juga dibuktikan dengan banyaknya temuan produk makanan yang
menggunakan bahan pengawet berbahaya berupa formalin (Serambi Indonesia 4 juli
2016) bahkan pemutih kain (Serambi Indonesia 22 Juni 2016).
Meningkatnya jumlah penduduk yang menderita penyakit kanker juga dapat
dijadikan sebagai salah satu indikator rendahnya tingkat keamanan pangan, mengingat
penggunaan bahan pengawet makanan berbahaya memiliki dampak negatif bagi tubuh
manusia karena bersifat akumulatif dan karsiogenik (menyebabkan kanker). Data riset
kesehatan dasar tahun 2013 mengungkapkan bahwa tingkat prevelensi kangker pada

penduduk semua umur di provinsi Aceh mencapai 1,4 ‰ (rata-rata nasional 1,4 ‰) serta
menempati urutan ke 14 dari seluruh provinsi di Indonesia. Tingginya angka penderita
kanker di provinsi Aceh juga teramati dengan meningkatknya pasien yang melakukan
kemoterapi berjumlah 635 orang pada tahun 2015 dan cenderung meningkat pada tahun
2016 (Serambi Indonesia, 20 Juni 2016).

Ancaman keamanan pangan
Ancaman terhadap keamanan pangan sebenarnya tidak hanya bersumber pada
penggunaaan pengawet berbahaya pada produk makanan saja, akan tetapi banyak pula
sumber-sumber lain yang juga berpotensi menyebabkan suatu produk makanan menjadi
bahaya untuk dikonsumsi. Beberapa diantaranya adalah masih tingginya penggunaaan
pestisida kimia dalam usaha pertanian. Secara umum diketahui bahwa pestisida kimia

memiliki kandungan zat aktif berupa Organoklorin (bersifat karsogenik) yang apabila
digunakan secara berlebih dapat meningkatkan residu pestisida pada produk pertanian
baik berupa sayur, beras maupun produk pertanian lainnya. Produk pertanian dengan
residu pestisida yang berada diatas Batas Maksimum Residu (BMR) menjadi sangat
berbahaya untuk dikonsumsi.
Dalam bidang perikanan, penggunaan berbagai jenis antibiotik dalam jumlah
berlebih dengan tujuan melakukan pencegahan dan perlakuan terhadap berbagai

penyakit pada ikan juga perlu diwaspadai. Residu antibiotik yang terkandung dalam
tubuh ikan apabila dikonsumsi oleh manusia dalam jumlah banyak maka akan bersifat
karsiogenik.
Disamping itu meningkatnya pencemaran limbah terutama pada badan perairan
akibat aktivitas penambangan, industri, pertanian maupun rumah tangga, tidak hanya
mengancam produktivitas perikanan dan kesehatan ekosistem, tetapi juga menjadi
ancaman terhadap keamanan pangan. Beberapa penelitian mengungkapkan tingginya
kandungan polutan pada beberapa jenis ikan dan kerang-kerangan di lingkungan
perairan yang tercemar, diantaranya berupa logam berat sehingga menjadi sangat
berbahaya untuk dikonsumsi oleh manusia.

Solusi
Sebagai upaya untuk meningkatkan keamanan pangan, pemerintah Aceh dan
pihak-pihak terkait hendaknya mampu menyikapi masalah keamanan pangan ini secara
komperhensif. Hal ini mengingat begitu banyaknya sumber-sumber yang berpotensi
menjadi penyebab menurunkan kualitas keamanan produk pangan. Saat ini pengawasan
terhadap produk pangan cenderung dilakukan dengan menguji produk yang telah siap

dikonsumsi dan terbatas hanya pada pengunaan bahan pengawet makanan berbahaya
saja. Padahal seharusnya, pengawasan dan penerapan langkah preventif untuk mencapai

keamanan pangan juga harus mencakup beberapa sumber lainnya seperti pertanian,
perikanan, serta kondisi lingkungan.
Masih maraknya produk makanan yang mengandung bahan pengawet berbahaya
telah menimbulkan perubahan persepsi masyarakat terhadap beberapa produk makanan
tertentu. Persepsi masyarakat cenderung menjadi lebih takut dalam mengkonsumsi
beberapa jenis produk makanan berimbas terhadap menurunnya permintaan pasar yang
berujung pada rendahnya omset penjualan (termasuk kepada produsen yang sebenarnya
tidak menggunakan bahan pengawet makanan berbahaya).
Oleh karenanya selain memberikan edukasi kepada masyarakat dan melakukan
pengawasan terhadap produk pangan, pemerintah hendaknya dapat melakukan sertifikasi
terhadap unit usaha yang berpotensi menimbulkan efek negatif bagi tubuh konsumen.
Sertifikasi produk pangan dapat berupa “eco-labels atau green sticker” yang disertakan
pada setiap produk maupun unit usaha.
Upaya meminimalisasi produk pangan berbahaya yang berasal dari usaha
pertanian dapat dilakukan diantaranya dengan menggalakkan promosi atau “branding”
terhadap produk pertanian yang dibudidayakan secara organik (tanpa penggunaan
pestisida kimia). Branding atau promosi diharapkan dapat meningkatkan permintaan
pasar terhadap produk tersebut sehingga jumlah unit usaha pertanian organik ikut
meningkat dan penggunaan pestisida kimia dalam produk pangan pertanian menjadi
menurun.

Alternatif lain untuk meminimalisasi produk pangan berbahaya yang berasal
dari sektor perikanan dilakukan dengan meningkatkan jumlah unit usaha budidaya

perikanan yang tersertifikasi Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB). Dengan
meningkatkanya jumlah unit usaha yang tersertifikasi maka efek negatif yang
ditimbulkan dari usaha budidaya perikanan baik terhadap lingkungan maupun
kemananan pangan dapat diminimalisir. Terlebih lagi provinsi Aceh merupakan satu dari
15 provinsi di Indonesia yang diberikan kewenanagan untuk melakukan sertifikasi CBIB
(KKP, 2016)
Ketahanan pangan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan
kemakmuran dan kesejahteraan suatu bangsa. Rendahnya mutu keamanan pangan suatu
bangsa dapat menciptakan berbagai efek negatif terhadap berbagai bidang lainnya
seperti kesehatan, ekonomi, lingkungan dan tatanan sosial. Oleh karena itu sudah
semestinya kita lebih menaruh perhatian terhadap keamanan pangan, demi mewujudkan
generasi Aceh yang sehat dan gemilang. Insya Allah.