Analisis Tingkat Konsumsi dan Preferensi Konsumen Bawang Merah Segar di Kota Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bawang Merah
Bawang merah (Allium ascalonicum, L) atau dikalangan internasional
menyebutnya shallots merupakan komoditi hortikultura yang tergolong sayuran
rempah. Dalam bahasa batak dikenal dengan sebutan pia. Bawang merah semarga
dengan bawang bombay, bawang daun, dan bawang putih ini masuk dalam
golongan famili Liliaceae. Bawang merah merupakan tanaman semusim, yang
termasuk klasifikasi tumbuhan tema berumbi lapis atau siung yang bersusun
(Singgih, 1999).
Di Indonesia bawang merah lebih banyak diusahakan di dataran rendah
dibanding di dataran tinggi karena pengusahaannya lebih efisien dan kondisi
agroklimat mendukung untuk pertumbuhan tanaman secara optimal (Suherman
dan Basuki 1990).
Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang penting bagi
masyarakat

Indonesia.

Namun


demikian,

bawang

merah

mempunyai

permasalahan produksi yang mengikuti iklim / musim, dan juga cirinya sebagai
produk pertanian yaitu mudah rusak/busuk (perishable). Hal ini berdampak
terhadap perkembangan harga bawang merah yang sangat fluktuaktif.
Kebutuhan bawang

merah segar sangat begitu besar. Hampir semua

masakan pada umumnya menggunakan bawang merah sebagai sebagai bumbu
penyedap. Komoditas sayuran ini termasuk ke dalam kelompok sayuran rempah

ii


yang berguna menambah cita rasa dan kenikmatan pada masakan. Tanaman ini
juga bermanfaat sebagai obat tradisional (Estu dan Nur Berlian, 1996).
Permintaan bawang merah cenderung merata setiap saat, sementara
produksi bawang merah bersifat musiman. Kondisi ini menyebabkan terjadinya
gejolak karena adanya kesenjangan (gap) antara pasokan (suplai) dan permintaan
sehingga dapat menyebabkan gejolak harga antar waktu. Permintaan bawang
merah segar terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan
kebutuhan konsumsi bawang merah segar oleh masyarakat. Kesenjangan yang
terjadi antara produksi dan konsumsi diilustrasikan pada gambar 2 berikut ini:

Gambar 2. Perkembangan produksi dan kebutuhan konsumsi bawang merah, 2011

Dari Gambar 2 tersebut terdapat kesenjangan produksi dan konsumsi yang
cukup lebar, dimana pada saat produksi lebih rendah daripada permintaan (sekitar
bulan April sampai dengan Nopember) produksi seharusnya disimpan sebagai
stok atau diekspor, sementara pada bulan Oktober atau Maret atau saat off
season dilakukan impor untuk menutup kekurangan konsumsi (RPJMN, 2015).
Konsumsi


penduduk Indonesia per kapita per tahun bawang merah

disajikan pada Tabel 4, yang menunjukkan peningkatan rata-rata konsumsi per
kapita secara lambat yaitu 0,05 persen/tahun. Pada tahun 2008 rata-rata konsumsi
per kapita bawang merah sebesar 2,74 kg/kapita/tahun, meningkat menjadi 2,76

ii

kg/kapita/tahun, dan bahkan konsumsi bawang merah mengalami penurunan
cukup besar pada tahun 2011 yaitu turun menjadi 2,36 kg/kapita/tahun, pada
tahun 2012 terjadi peningkatan kembali sebesar 2,76 kg/kapita/tahun.
Tabel 4. Konsumsi Bawang Merah Rata-rata Per Kapita Per Tahun.
Tahun

Kg/kap/tahun

2008
2009
2010
2011

2012
Laju (%/tahun)

2.74
2.52
2.53
2.36
2.76
-0,51

Sumber: BPS, 2011

Bawang merah dapat dikatakan sebagai barang ekonomi, karena bersifat
terbatas. Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang memiliki
nilai ekonomis tinggi, baik ditinjau dari sisi pemenuhan konsumsi nasional,
sumber penghasilan petani, maupun potensinya sebagai penghasil devisa negara.
Peningkatan produksi bawang merah yang diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan domestik dan meningkatkan daya saing dapat ditempuh melalui
perluasan areal baru serta peningkatan produktivitas (Iriani E, 2013).
Tingginya fluktuasi harga bawang merah tersebut memaksa Pemerintah

untuk membuat kebijakan berupa harga referensi untuk bawang merah melalui
Permentan No 86/2013, Permendag 47/2013 dan SK Dirjen Perdagangan Dalam
Negeri No 118/PDN/2013.
Berdasarkan keputusan tersebut, harga referensi bawang merah ditetapkan
sebesar Rp. 25.700,-per kg dirantai konsumen. Harga referensi ini merupakan
batas atas harga eceran bawang merah ditingkat konsumen yang dijadikan acuan
untuk mengambil keputusan impor bawang merah. Apabila harga eceran bawang
ii

merah ditingkat konsumen melebihi harga referensi tersebut maka pemerintah
akan membuka kran impor bawang merah. Dengan adanya ketetapan harga
referensi ini diharapkan dapat meregulasi harga bawang merah dan juga
mencegah terjadinya pemasokan bawang merah impor yang tidak tepat.
Dalam rumusan Rencana
(RPJMN, 2015)

Pembangunan

Jangka Menengah


Nasional

bidang pangan dan pertanian, pemerintah juga telah

mengeluarkan beberapa kebijakan terkait dengan bawang merah diantaranya
kebijakan jangka pendek yang mengatur tentang kebijakan tekhnologi dan
kebijakan regulasi. Sedangkan untuk kebijakan jangka menengah yaitu
mendukung program Road Map bawang merah dan pada Dirjen Hortikultura
untuk penambahan luas tanam. Pengaturan impor hortikultura termasuk bawang
merah juga diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.
16/M-DAG/PER/4/2013. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa bawang merah
menjadi salah satu komoditas yang diatur impornya.
Pemerintah juga menetapkan tarif bea masuk untuk bawang merah impor
sebesar 20 persen melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 241/PMK.001/2010.
Kebijakan - kebijakan tersebut disusun dalam rangka mengendalikan impor
bawang merah dalam negeri, menjaga kestabilan harga di dalam negeri dan untuk
mendukung perkembangan produksi bawang merah di dalam negeri.

2.2. Standarisasi Bawang Merah di Indonesia
Untuk menjamin perlindungan terhadap masyarakat dan mendukung pasar

nasional

dalam

menghadapi

globalisasi

perdagangan

serta

tetap

dapat

meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional diperlukan adanya perangkat

ii


hukum nasional dibidang standarisasi. Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor
102 Tahun 2000, disebutkan bahwa standarisasi adalah proses merumuskan,
menetapkan, menerapkan dan merevisi standar yang dilaksanakan secara tertib
dan

bekerjasama

dengan

semua

pihak.

Sedangkan

penyelenggaraan

pengembangan dan pembinaan dibidang standarisasi dilakukan oleh Badan
Standarisasi Nasional. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan standar mutu
untuk komoditas bawang merah. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 013159-1992) syarat mutu bawang merah tersaji seperti pada Tabel 5 berikut :

Tabel 5. Karekteristik dan Standar Mutu Bawang Merah di Indonesia
Syarat

Karekteristik

Mutu I

Mutu II

Pengujian

Kesamaan sifat Varietas

Seragam

Seragam

Organoleptik

Ketuaan


Tua

Cukup tua

Organoleptik

Kekerasan

Keras

Cukup Keras

Organoleptik

Diameter (cm) minimal

1,7

1,3


SP-SMP-309-1981

Kekeringan
Kerusakan, % (bobot/bobot)
maksimal
Busuk, % (bobot/bobot)
maksimal
Kotoran, % (bobot/bobot)
maksimal
Kadar air (%)

Kering simpan

Kering simpan

Organoleptik

5

8

SP-SMP-310-1981

1

2

SP-SMP-311-1981

Tidak ada

Tidak ada

SP-SMP-313-1981

80 – 85

75 – 80

SP-SMP-313-1982

Sumber: Tabloid Sinar Tani, 2014

2.3. Siklus Hidup Produk
Siklus hidup produk adalah suatu konsep penting yang memberikan
pemahaman tentang dinamika kompetitif suatu produk. Seperti halnya dengan
manusia, suatu produk juga memiliki siklus atau daur hidup. Siklus Hidup Produk
(Product Life Cycle) ini yaitu suatu grafik yang menggambarkan riwayat produk
sejak diperkenalkan ke pasar sampai dengan ditarik dari pasar . Siklus Hidup
Produk (Product Life Cycle) ini merupakan konsep yang penting dalam
ii

pemasaran karena memberikan pemahaman yang mendalam mengenai dinamika
bersaing suatu produk. Konsep ini dipopulerkan oleh Levitt (1978) yang
kemudian penggunaannya dikembangkan dan diperluas oleh para ahli lainnya.
Ada berbagai pendapat mengenai tahap – tahap yang ada dalam Siklus
Hidup Produk (Product Life Cycle) suatu produk. Ada yang menggolongkannya
menjadi introduction, growth, maturity, decline dan termination. Sementara itu
ada pula yang menyatakan bahwa keseluruhan tahap – tahap Siklus Hidup Produk
(Product Life Cycle) terdiri dari introduction (pioneering), rapid growth (market
acceptance), slow growth (turbulance), maturity (saturation), dan decline
(obsolescence). Meskipun demikian pada umumnya yang digunakan adalah
penggolongan ke dalam empat tahap, yaitu introduction, growth, maturity dan
decline.
Menurut Basu Swastha (1984), daur hidup produk itu dibagi menjadi empat
tahap yaitu :
1.

Tahap Perkenalan (Introduction)
Pada tahap ini, barang mulai dipasarkan dalam jumlah yang besar walaupun
volume penjualannya belum tinggi. Barang yang dijual umumnya barang
baru (betul-betul baru) Karena masih berada pada tahap permulaan,
biasanya ongkos yang dikeluarkan tinggi terutama biaya periklanan.
Promosi yang dilakukan memang harus agresif dan menitik beratkan pada
merek penjual. Disamping itu distribusi barang tersebut masih terbatas dan
laba yang diperoleh masih rendah.

2.

Tahap Pertumbuhan (growth)

ii

Dalam tahap pertumbuhan ini, penjualan dan laba akan meningkat dengan
cepat. Karena permintaan sudah sangat meningkat dan masyarakat sudah
mengenal barang bersangkutan, maka usaha promosi yang dilakukan oleh
perusahaan tidak seagresif tahap sebelumnya. Disini pesaing sudah mulai
memasuki pasar sehingga persaingan menjadi lebih ketat. Cara lain yang
dapat dilakukan untuk memperluas dan meningkatkan distribusinya adalah
dengan menurunkan harga jualnya.
3.

Tahap kedewasaan (maturity)
Pada tahap kedewasaan ini kita dapat melihat bahwa penjualan masih
meningkat dan pada tahap berikutnya tetap. Dalam tahap ini, laba produsen
maupun laba pengecer mulai turun. Persaingan harga menjadi sangat tajam
sehingga perusahaan perlu memperkenalkan produknya dengan model yang
baru. Pada tahap kedewasaan ini, usaha periklanan biasanya mulai
ditingkatkan lagi untuk menghadapi persaingan.

4.

Tahap kemunduran (decline)
Hampir semua jenis barang yang dihasilkan oleh perusahaan selalu
mengalami kekunoan atau keusangan dan harus diganti dengan barang yang
baru. Dalam tahap ini, barang baru harus sudah dipasarkan untuk
menggantikan barang lama yang sudah kuno. Meskipun jumlah pesaing
sudah berkurang tetapi pengawasan biaya menjadi sangat penting karena
permintaan sudah jauh menurun. Apabila barang yang lama tidak segera
ditinggalkan tanpa mengganti dengan barang baru, maka perusahaan hanya
dapat beroperasi pada pasar tertentu yang sangat terbatas alternatif-alternatif

ii

yang dapat dilakukan oleh manajemen pada saat penjualan menurun antara
lain:
a.

Memperbaharui barang (dalam arti fungsinya)

b.

Meninjau kembali dan memperbaiki program pemasaran serta
program produksinya agar lebih efisien.

c.

Menghilangkan ukuran, warna dan model yang kurang baik.

d.

Menghilangkan sebagian jenis barang untuk mencapai laba optimum
pada barang yang sudah ada.

e.

Meninggalkan sama sekali barang tersebut.

Pada saat ini bawang merah berada pada masa kedewasaan (maturity)
berdasarkan siklus hidup produk (produk life cycle). Dalam tahap ini di tandai
dengan produk telah mencapai titik tertinggi dalam penjualannya, dan pada tahap
selanjutnya tetap, namun terjadi persaingan harga yang cukup tajam. Sehingga
laba produsen dan laba pengecer mulai menurun.
Menurut Kotler dan Keller (2009), tahap kedewasaan pada siklus hidup
produk adalah penurunan pertumbuhan penjualan karena produk telah diterima
oleh sebagian besar pembeli potensial. Laba stabil atau menurun

karena

persaingan meningkat. Tingkat pertumbuhan penjualan mulai menurun akibat
tidak ada lagi saluran distribusi yang harus diisi.
Pada tahap kedewasaan (maturity) salah satu strategi yang dapat digunakan
dalam perkembangan siklus produk adalah strategi bertahan (Defensive Strategy).
Strategi ini bertujuan untuk mempertahankan pangsa pasar dari pesaing dan
menjaga kelompok produk (product category) dari serangan produk substitusi.
Bentuk strategi ini adalah berupa modifikasi bauran pemasaran (product, price,

ii

place, & promotion) untuk memperoleh tambahan penjualan. Pada kenyataannya
bawang merah segar bukanlah produk yang dapat bersubsitusi, namun dari
sumber produksi bawang merah segar, yakni bawang merah impor merupakan
produk subsitusi dari

produksi bawang merah lokal yang pada akhirnya

mrmpengaruhi harga bawang merah di dalam negri. Persaingan harga yang cukup
tajam menuntut produsen menyediakan berbagai pilihan bawang merah sesuai
dengan selera dan kemampuan konsumen dalam mengkonsumsi bawang merah.
Sehingga untuk jenis produk pada tahap maturity, salah satu metode analisis yang
digunakan adalah metode analisis Konjoin.

2.4. Penelitian Terdahulu
Pada penelitian terdahulu Skreli dan Imami (2012) menganalisis preferensi
konsumen terhadap buah apel di Tirana, Albania. Preferensi konsumen dianalisis
menggunakan Conjoint Analysis. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi
preferensi konsumen terhadap buah apel sebagai bahan rekomendasi pemasaran
dan pembuatan kebijakan. Analisis konjoin diawali dengan memilih atribut
produk dan tarafnya. Pada penelitian ini atribut-atribut yang teridentifikasi ialah
warna (varietas), asal, harga dan ukuran. Atribut-atribut yang terpilih berdasarkan
literatur, pra survei dan wawancara dengan konsumen dan pemasar produk.
Dalam studi ini, peneliti mengaitkan warna dengan varietasnya. Masyarakat
di Albania umumnya tidak mengenali apel berdasarkan varietasnya namun dari
warnanya. Oleh karena itu, peneliti menggunakan warna sebagai atribut
menggantikan varietas. Studi Chan-Halbrendth et al. (2010), mengenai preferensi
konsumen terhadap olive oil yang juga dilakukan di Albania menyatakan

ii

konsumen lebih menyukai dan mau membayar untuk produk yang ditanam lokal
dibandingkan yang impor. Sementara untuk harga meskipun bukan atribut teknis,
umumnya dimasukan sebagai atribut dalam analisis konjoin karena merupakan
faktor yang umumnya dipertimbangkan dalam pembelian.
Adiyoga dan Nurmalinda (2012) menggunakan analisis Konjoin dalam
melihat ‘Preferensi Konsumen Terhadap Atribut Produk Bawang Merah, Kentang
dan Cabai Merah”. Hasil yang ditemukan bahwa preferensi konsumen terhadap
kentang adalah ukuran umbinya, untuk preferensi konsumen bawang merah
adalah ukuran umbi dan warna kulit merah ungu tua, sedangkan untuk Cabe
merah preferensi konsumen lebih kepada warna kulit merah terang, ukuran dan
rasa agak pedas.
Studi selanjutnya yaitu “Analisis Preferensi Konsumen Pasar Tradisional
Terhadap Buah Jeruk Lokal Dan Buah Jeruk Impor Di Kabupaten Kudus” oleh
Isni Yuniar Riska (2012), menggunakan Analisis Chi Square dalam menganalisa
perbedaan preferensi konsumen terhadap buah jeruk lokal dan buah jeruk impor,
sedangkan Analisis Multiatribut Fishbein digunakan untuk mengetahui atribut
buah jeruk lokal dan buah jeruk impor yang paling dipertimbangkan oleh
konsumen pada saat memutuskan untuk membeli buah jeruk lokal dan buah jeruk
impor. Diketahui bahwa buah jeruk lokal yang menjadi kesukaan konsumen di
Kabupaten Kudus adalah buah jeruk yang memiliki warna buah kuning hijau, rasa
buah yang manis sedikit asam, ukuran buah yang sedang, dan aroma buah yang
segar, sedangkan untuk buah jeruk impor yang menjadi kesukaan konsumen di
Kabupaten Kudus adalah buah jeruk yang memiliki warna buah jeruk oranye, rasa
buah manis, ukuran buah sedang dan aroma buah yang segar. Kepercayaan

ii

konsumen terhadap atribut buah jeruk lokal maupun jeruk impor sama sama yang
memiliki kategori yang sangat baik dan tertinggi terdapat pada atribut rasa
buahnya.
Pada penelitian Laila Yuni dan Yuni Rukhbaniyah (2013), Variabelnya
adalah kepuasan konsumen dan atribut kopi seperti rasa, aroma warna dan
kemasan. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan analisis Multi
atribut Fishbein. Hasil analisa sikap (Ao) diperoleh kopi tubruk kapal api sangat
positif disukai responden, sedangkan kopi tubruk Djempol disukai responden
dengan positif. Hasil analisa sikap (Ao) kopi instan ABC Mocca sangat positif
disukai responden, sedangkan Kapal Api Mocca disukai responden dengan positif.
Ni Putu Widyawati Listyari (2006) pada studi “Analisis Keputusan
Pembeli dan Kepuasan Konsumen. Konsumen Coffe Shop De Koffie Pot Bogor”.
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif, dengan Importance
Performance Analysis dan Customer Satisfaction Index. Dari Hasil penelitian
konsumen merasa nyaman dan puas terhadap kinerja De-Koffie dan 98 persen
mengatakan akan berkunjung kembali.

ii

Tabel. 6 Penelitian Terdahulu
Nama
peneliti
/Tahun

Judul

Metode
Analisis

Hasil Penelitian

Adiyoga dan
Nurmalinda
/2012

Preferensi Konsumen
Terhadap
Atribut
Produk
Bawang
Merah, Kentang dan
Cabai Merah

Analisis
Konjoin
dengan
SPSS

Hasil penelitia menunjukkan bahwa Preferensi
konsumen terhadap kentang adala ukuran umbi,
untuk Bawang Merah adalah ukuran umbi dan
warna kulit merah ungu tua,sedangkan untuk cabe
merah preferensi konsumen lebih kepada warna
kulit merah terang, ukuran dan rasa agak pedas.

Isni Yuniar
Riska / 2012

Analisis
Preferensi
Konsumen
Pasar
Tradisional Terhadap
Buah
Jeruk Lokal
Dan
Buah Jeruk
Impor Di Kabupaten
Kudus

Analisis Chi
Square dan
Analisis
Multiatribut
Fishbein

Diketahui bahwa buah jeruk lokal yang menjadi
kesukaan konsumen adalah buah jeruk yang
memiliki warna buah kuning hijau, rasa buah yang
manis sedikit asam, ukuran. untuk buah jeruk
impor yang menjadi kesukaan konsumen di
Kabupaten Kudus adalah buah jeruk yang memiliki
warna buah jeruk oranye, rasa buah manis, ukuran
buah. Kepercayaan konsumen terhadap atribut buah
jeruk lokal maupun jeruk impor sama sama yang
memiliki kategori yang sangat baik dan tertinggi
terdapat pada atribut rasa buahnya. sedang dan
aroma buah yang segar buah yang sedang, dan
aroma buah yang segar.

Laila Yuni
dan
Yuni
Rukhbaniyah
/ 2013

Prilaku
Konsumen
terhadap Kopi Tubruk
dan Kopi Instan di
Kecamatan Pejagaon
Kabupaten Kebumen.

Deskriptif
dengan
Analisis
Fishbein

Hasil analisa sikap (Ao) di peroleh kopi
tubrukkapal,api
sangat
positif
disukai
responden,sedangkan kopi tubruk djempol disukai
responden dengan positif.hasil analisa sikap ( Ao)
kopi instan ABC Mocca sangat positif di sukai
responden,sedangkan Kapal api Mocca disukai
responden dengan positif.

Ni
Putu
Widyawati
Listyari
/
2006

Analisis Keputusan
Pembeli
dan
Kepuasan
Konsumen.Konsumen
Coffe Shop De Koffie
Pot Bogor

Deskriptif
dengan
Importance
Performance
Analysis
dan
Customer
Satisfaction
index

Dari hasil penelitian konsumen merasa nyaman dan
puas terhadap kinerja
De- Koffie, dan 98%
menyatakan akan kembali lagi ke Coffe Shop
tersebut.

2.5. Landasan Teori
2.5.1. Karekteristik Konsumen
Karekteristik konsumen menurut Sumarwan (2004) meliputi pengetahuan
dan pengalaman konsumen, kepribadian konsumen, dan karekteristik demografi
konsumen. Konsumen yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang banyak
mengenai produk mungkin tidak termotivasi untuk mencari informasi, karena

ii

konsumen sudah merasa cukup dengan pengetahuannya untuk mengambil
keputusan.

2.5.2. Karekteristik Sikap
Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan
merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap juga dapat diartikan adalah
kecenderungan bertindak, berpikir, berpersepsi, dan merasa, dalam menghadapi
objek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukanlah perilaku, tetapi merupakan
kecenderungan untuk berperilaku

dengan cara tertentu terhadap objek sikap.

Sikap relatif lebih menetap atau jarang mengalami perubahan. Manifestasi sikap
tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari
perilaku yang tertutup.
Menurut Heri Purwanto (1999), sikap adalah pandangan-pandangan atau
perasaan yang disertai kecendrungan untuk bertindak sesuai objek itu. Teori
selanjutnya menurut Soekidjo Notoatmojo (2007) sikap adalah merupakan reaksi
atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek.
Ada tiga komponen yang secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh
(total attitude) yaitu :
a. Kognitif (cognitive)
Berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar
bagi objek sikap. Sekali kepercayaan itu telah terbentuk maka ia akan menjadi
dasar seseorang mengenai apa yang dapat diharapkan dari objek tertentu.
b. Afektif (affective) sikap. Secara umum komponen ini disamakan dengan
perasaan yang dimiliki objek tertentu.

ii

c. Konatif (conative)
Komponen konatif atau komponen perilaku dalam struktur sikap menunjukkan
bagaimana perilaku atau kecendrungan berperilaku dengan yang ada dalam diri
seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapi ( Notoatmodjo, 2007).
Faktor yang mempengaruhi sikap antara lain adalah ;
a. Adanya akumulasi pengalaman dari dari tanggapan tanggapan tipe yang sama.
b. Pengamatan terhadap sikap yang lain berbeda.
c. Pengalaman (baik/buruk) yang pernah dialami.
d. hasil peniruan terhadap sikap pihak lain secara sadar / tidak sadar.

2.5.3. Karekteristik Produk
Karakteristik kualitas suatu produk yang diinginkan konsumen, dapat
diperoleh

melalui

pengkajian

terhadap

perilaku

konsumen

berdasarkan

pendekatan konsep atribut produk. Konsep ini menganggap bahwa konsumen
memandang suatu produk sebagai kesatuan dari atribut-atribut tertentu, yang
dikenal sebagai petunjuk kualitas (Manalo 1990, Baker 1999, Luce et al.2000,
Schupp et al. 2003, Abdul Hadi et al. 2010).
Petunjuk kualitas ini merupakan stimulus yang bersifat informatif bagi
konsumen, berhubungan dengan produk dan dapat diketahui oleh konsumen
melalui panca indera. Melalui petunjuk kualitas ini, konsumen dapat menilai
bahwa suatu produk mempunyai kualitas yang sesuai dengan preferensinya atau
tidak (Adiyoga dan Nurmalinda, 2012).

2.5.4. Keputusan Pembelian Konsumen

ii

Teori keputusan adalah teori mengenai cara manusia memilih pilihan
diantara pilihan-pilihan yang tersedia secara acak guna mencapai tujuan yang
hendak diraih. Teori keputusan dibagi dua yaitu: (1). Teori keputusan normatif
yaitu teori bagaimana keputusan dibuat berdasarkan prinsip rasionalitas, dan (2).
Teori keputusan deskriptif yaitu teori tentang bagaimana keputusan dibuat secara
faktual (Hansson, 2005). Menurut George R. Terry menyatakan pengambilan
keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku (kelakuan) tertentu dari dua atau
lebih alternatif yang ada.
Keputusan pembelian konsumen merupakan hasil akhir dari suatu proses
yang dilakukan konsumen, keputusan ini didasari oleh beberapa tahapan yang
pada umumnya dilalui oleh setiap konsumen sebelum akhirnya membuat
keputusan untuk mengkonsumsi suatu produk.
Kotler (2005) menyatakan bahwa terdapat lima tahapan yang dilalui oleh
konsumen dalam melakukan proses pembelian yaitu, pengenalan masalah,
melakukan proses pencarian informasi, mengevaluasi alternatif pilihan yang ada,
melakukan keputusan pembelian, dan perilaku pasca pembelian. Pada tahap
pembelian, konsumen harus mengambil tiga keputusan yaitu kapan membeli,
dimana membeli dan bagaimana membayarnya. Pembelian merupakan fungsi dari
dua determinan yaitu niat pembelian serta pengaruh lingkungan dan perbedaan
individu. Niat pembelian biasanya dapat digolongkan menjadi dua kategori.
Kategori pertama adalah pembelian yang terencana penuh karena pembelian yang
terjadi merupakan hasil dari keterlibatan dan pemecahan masalah yang diperluas.
Kedua adalah pembelian yang tidak terencana (mendadak), jika pilihan merek
diputuskan ditempat pembelian (Engel et al.1994).

ii

2.5.5. Perilaku Konsumen
Perilaku konsumen merupakan proses pertukaran yang melibatkan
serangkaian langkah-langkah, dimulai dengan tahap perolehan atau akuisisi, lalu
ketahap konsumsi, dan berakhir dengan tahap disposisi produk atau jasa (Mowen
dan Minor, 2002).
Menurut Kotler (2000), “faktor budaya yang secara luas dan mendalam
mempengaruhi perilaku konsumen dalam melakukan pembelian. Faktor ini akan
berhubungan dengan tata nilai, persepsi, preferensi, kebangsaan, agama,
kelompok ras, dan daerah geografi. Faktor budaya ini akan membentuk segmen
pasar yang penting.
Perilaku konsumen juga dipengaruhi oleh faktor sosial, seperti : kelompok
acuan, keluarga, serta peranan dan status sosial. Keputusan seorang pembeli juga
dipengaruhi oleh karakteristik pribadi, yaitu usia pembelian dan tahap siklus
hidup, pekerjaan, keadaan ekonomis, gaya hidup serta kepribadian dan konsep
pribadi pembeli. Pilihan pembelian seseorang dipengaruhi lagi oleh faktor
psiklogis, yang termasuk dalam hal ini adalah motif persepsi, pengetahuan serta
kepercayaan dan pendirian”.

2.5.6.Tingkat Konsumsi
Menurut J. M Keynes, tingkat konsumsi seseorang atau rumah tangga
ditentukan oleh pendapatannya. Konsumsi merupakan kegiatan manusia dalam
penggunaan barang dan jasa untuk mengurangi atau menghabiskan daya guna atau
manfaat suatu barang dan jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.

ii

Menurut Kotler dan Keller (2009) perilaku pembelian konsumen (konsumsi)
dipengaruhi oleh faktor budaya (kebangsaan, agama, kelompok ras, dan wilayah
geografis), faktor sosial (kelompok referensi, keluarga, peran sosial dan status)
dan faktor pribadi (usia dan tahap siklus hidup, pekerjaan dan keadaan ekonomi,
konsep diri serta gaya hidup dan nilai).
Sangadji (2013) menyatakan bahwa ada tiga faktor utama yang
mempengaruhi prilaku konsumen untuk mengambil keputusan pembelian
(konsumsi) yaitu faktor psikologis (persepsi, motivasi, pembelajaran, sikap dan
kepribadian), faktor situasional (tempat, waktu, penggunaan produk, dan kondisi
saat pembelian) dan faktor sosial (peraturan, keluarga, kelompok, referensi, kelas
sosial dan budaya).
Perilaku konsumen merupakan difrensiasi dari permintaan sehingga perilaku
pembelian dapat pula dipengaruhi oleh harga barang, harga barang lain,
pendapatan konsumen dan selera konsumen (Nuraini, 2007).

2.5.7. Prinsip Teori Konsumsi
Barang yang dikonsumsi mempunyai sifat semakin banyak akan semakin
besar manfaatnya. Utilitas (utility) adalah manfaat yang diperoleh seseorang
karena mengkonsumsi barang. Dengan kata lain utilitas merupakan ukuran
manfaat (kepuasan) bagi seseorang yang mengkonsumsi barang atau jasa.
Keseluruhan manfaat yang diperoleh konsumen karena mengkonsumsi sejumlah
barang disebut dengan Utilitas Total. Pada teori Utilitas berlaku konsistensi
preferensi, yaitu bahwa konsumen dapat secara tuntas (complete) menentukan
rangking pilihan diantara kombinasi/ paket barang atau pun jasa yang tersedia.

ii

Pada teori Utilitas juga diasumsikan bahwa konsumen mempunyai pengetahuan
yang cukup baik berkaitan dengan keputusan konsumsinya. Tingkat konsumsi
pada kajian ini diartikan sebagai volume bawang merah segar yang dikonsumsi
konsumen dalam satuan waktu (gram/hari).
Faktor –Faktor Penentu Tingkat Konsumsi :
1.

Pendapatan rumah tangga (Household income), semakin besar pendapatan
semakin besar pula pengeluaran untuk konsumsi.

2.

Kekayaan rumah tangga (Household wealth), semakin besar kekayaan,
maka tingkat konsumsi juga akan menjadi semakin tinggi.

3.

Prakiraan masa depan (Household iexpectations), bila masyarakat
memperkirakan harga barang-barang akan mengalami kenaikan

maka

mereka akan lebih banyak membeli barang –barang tersebut.
4.

Tingkat suku bunga (Interest rate), bila tingkat bunga tabungan tinggi/naik,
masyarakat merasa lebih diuntungkan jika uangnya ditabung dari pada
dibelanjakan.

5.

Pajak (taxation),pengenaan pajak akan menurunkan pendapatan yang
diterima masyarakat, akibatnya akan menurunkan tingkat konsumsi.

6.

Jumlah Penduduk, jumlah penduduk yang banyak akan memperbesar
pengeluaran konsumsi.

7.

Faktor Sosial Budaya, misalnya pada pola kebisaan makan, perubahan etika
dan tata nilai karena ingin meniru kelompok masyarakat tertentu yang
dianggap lebih modern.

ii

2.5.8. Preferensi Konsumen
Preferensi Konsumen didefinisikan sebagi pilihan suka atau tidak suka oleh
seseorang terhadap suatu produk barang atau jasa yang di konsumsi. Preferensi
merupakan bagian dasar konsumen dalam keseluruhan berprilaku terhadap dua
atau lebih objek (Kotler 2002). Seseorang tidak akan memiliki preferensi terhadap
makanan sebelum seseorang tersebut merasakannya.
Preferensi makanan dipengaruhi oleh tiga faktor :
1.

Karakteristik Individual meliputi: usia, jenis kelamin, pendidikan,
pendapatan, suku, orientasi nilai mengenai kesehatan, ukuran dan komposisi
dari keluarga dan status kesehatan.

2.

Karakteristik Lingkungan meliputi: musim, lokasi geografis, asal, tingkat
urbanisasi, dan mobilitas.

3.

Karakteristik Produk meliputi: rasa, warna, aroma, kemasan dan tekstur.
Perubahan pola konsumsi umumnya dipicu oleh kombinasi pertumbuhan

pendapatan dan pergeseran preferensi konsumen (Adiyoga 2008). Menurut
Kusnardi (2014) pola konsumsi konsumen kini juga dipengaruhi oleh aspek
kesehatan dan keamanan. Pergeseran pendekatan pengembangan produk dari
konvensional ke nonkonvensional, memposisikan preferensi konsumen sebagai
indikator permintaan pasar. Terminologi preferensi konsumen terutama digunakan
untuk menjelaskan suatu opsi yang diantisipasi memiliki nilai tertinggi dibanding
dengan opsi-opsi lainnya (Eastwood et al. 1987, Ernst et al. 2006, Jesionkowska
2008, Hinson & Bruchhaus 2008). Produk yang disukai konsumen ialah produk
yang dapat memenuhi/memuaskan keinginan kebutuhan konsumen.

ii

2.5.9. Analisis Konjoin
Analisis Konjoin adalah akronim dari Considered joinly (dipertimbangkan
bersamaan), yaitu adalah tekhnik analisa yang digunakan untuk meneliti dampak
atribut-atribut suatu barang atau jasa secara serempak terhadap preferensi
seseorang atas barang dan jasa tersebut. Analisis Konjoin banyak dipakai dalam
aplikasi pemasaran dan berpotensi diterapkan pada bidang lainnya, yang
membutuhkan pembobotan beberapa atribut secara serempak dan yang melibatkan
pertukaran kepentingan (trade off) antar atribut untuk menilai sesuatu (Gudono,
2015).
Menurut Churchill (2012) metode konjoin merupakan suatu metode dimana
nilai yang diberikan responden disimpulkan dari preferensi terhadap kombinasi
atribut yang ditetapkan peneliti.
Menurut Suryana (2008), analisis konjoin adalah sebuah teknik guna
mengukur preferensi konsumen terhadap atribut (spesifikasi atau fitur) sebuah
produk atau jasa. Analisis konjoin berdasarkan pada subjektifitas konsumen
terhadap beberapa kombinasi fitur yang ditawarkan. Subjektifitas konsumen ini
diukur melalui peringkat (rank) atau skore (skala Likert). Hasil analisis konjoin
berupa informasi kuantitatif yang dapat memodelkan preferensi konsumen untuk
beberapa kombinasi fitur produk. Analisis konjoin terdiri dari beberapa tahap,
pertama, memilih kombinasi beberapa atribut dan level dari masing masing
atribut. Kemudian, kombinasi atribut ini di berikan peringkat oleh beberapa
responden (konsumen). Tahap akhir, analisis penilaian responden dilakukan untuk
mengetahui preferensi konsumen.

ii

Pada analisis konjoin, tahap awal yang perlu dibuat adalah produk (barang
atau jasa) baik yang bersifat riil ataupun hipotesis dengan cara mengkombinasikan
level-level yang telah dipilih dari setiap atribut. Kombinasi-kombinasi ini
selanjutnya diperlihatkan pada responden yang selanjutnya akan memberikan
evaluasi terhadap setiap kombinasi tersebut.
Guna memperoleh hasil yang akurat, maka harus mampu menggambarkan
produk yang akan dinilai tersebut lengkap dengan semua atributnya dan semua
nilai yang relevan untuk setiap atribut tersebut. Istilah faktor digunakan untuk
menggambarkan atribut yang spesifik dari suatu produk (baik barang maupun
jasa). Sedangkan nilai yang mungkin dari tiap faktor dinamakan level. Pada
analisis konjoin, sebuah pruoduk digambarkan dalam level dari sejumlah faktor
yang membentuknya.
Analisis konjoin merupakan salah satu teknik multivariat yang digunakan
secara spesifik untuk memahami bagaiman responden membangun preferensi
terhadap suatu produk (barang / jasa). Teknik ini berdasarkan premis sederhana
bahwa konsumen mengevaluasi nilai dari suatu produk, jasa ataupun ide dengan
mengkombinasi nilai terpisah yang dikontribusikan oleh setiap atribut.
Utilitas yang merupakan dasar konseptual untuk mengukur nilai dalam
analisis konjoin, merupakan penilaian preferensi subjektif yang unik bagi tiap
individu. Produk dengan nilai utilitas lebih tinggi memiliki preferensi lebih tinggi
dan memiliki kesempatan terpilih lebih tinggi.
Menurut Surjandari (2009), analisis konjoin merupakan suatu metode
untuk menganalisis preferensi pelanggan mengenai suatu produk dan syaratsyarat sifat yang menyusun atribut produk tersebut. Keluaran utama dari

ii

analisis konjoin adalah serangkaian skala interval parth-worth (utilitas) dari
masing-masing level untuk setiap atribut dimana penggabungan utilitas ini
akan didapatkan prediksi preferensi dari masing-masing level untuk setiap
atribut dari produk tersebut.
Total utility = utility (level atribut ke 1 ke-i) + utility (level atribut 2 ke-i) +
utility ( level atribut 3 ke-i)+.....+ utility (level atribut n ke-i) +
konstanta
Dalam memilih atribut dan level, diupayakan agar atribut dan level terpilih
berpeluang besar mempengaruhi preferensi responden. Pemilihan atribut dan level
dapat dilakuikan melalui diskusi pakar, eksplorasi data sekunder maupun
penelitian pendahuluan. Bila suatu atribut yang dianggap berperan penting telah
dipilih, maka level-levelnya harus ditentukan sehingga memiliki kemungkinan
untuk diterima oleh responden. Untuk mendapatkan hipotesa yang akurat bagi
parameter dan juga untuk memudahkan responden dalam mengevaluasi stimuli,
maka sangat dianjurkan agar jumlah atribut dan level dibatasi. Pada umumnya
jumlah atribut yang akan dievaluasi dalam analisis konjoin berjumlah maksimum
tujuh atribut dengan level masing-masing berkisar dua hingga empat (Hair et
al.,2006).
Stimuli adalah kombinasi dari atribut barang, jasa atau ide yang akan
dibentuk, disebut pula sebagai profil produk. Untuk memperoleh stimuli yang
efektif dan kesimpulan yang akurat, dibutuhkan kehati -hatian dalam memilih dan
mendefinisikan atribut dan level. Karena itu harus dipastikan bahwa atribut dan
level yang diikutsertakan dalam stimuli telah memenuhi dua hal berikut (Hair
et.,al, 2006):

ii

1). Communicable, artinya atribut dan taraf mudah diungkapkan secara realistis.
2). Actionable, artinya atribut dan taraf sanggup dipraktikkan.
Setelah stimuli-stimuli berhasil ditentukan, tahap selanjutnya adalah
menyampaikan stimuli-stimuli tersebut secara realistis, efisien, serta mudah
dimengerti oleh responden.

2.5.10. Fungsi Analisis Konjoin
Analisis Konjoin mempunyai manfaat yang dapat digunakan produsen
dalam mencari solusi kompromi yang optimal guna merancang atau mendesain
serta mengembangkan suatu produk.
Menurut Green dan Krieger (1991) analisis Konjoin dapat dimanfaatkan
untuk beberapa kegunaan sebagai berikut :
1.

Merancang Harga
Memprediksi tingkat penjualan atau penggunaan produk (market share), uji
coba konsep produk baru.

2.

Segmentasi preferensi

3.

Merancang strategi promosi

Fungsi umum dari analisis konjoin menurut Agustinus (2012) adalah :
1.

Mendefinisikan objek atau konsep dengan kombinasi fitur yang optimal.
Menunjukkan kontribusi relatif dari tiap atribut dan level terhadap evaluasi
keseluruhan dari objek.

2.

Menggunakan estimasi dari penilaian pembeli atau konsumen untuk
memprediksi preferensi diantara objek-objek yang memiliki kumpulan fitur
berbeda (dengan asumsi faktor lain konstan).

ii

3.

Mengisolasi kelompok konsumen potensial yang memberi tingkat
kepentingan berbeda pada fitur untuk mendefinisikan segmen potensial
menengah keatas maupun menengah kebawah.

4.

Mengidentifikasi kesempatan pemasaran dengan cara mengeksplorasi
potensi pasar untuk kombinasi fitur yang belum ada.

2.5.11. Atribut Produk
Atribut dapat didefinisikan sebagai karakteristik yang membedakan dengan
merek

atau

produk

lain

atau

dapat

juga

sebagai

faktor-faktor

yang

dipertimbangkan konsumen dalam mengambilan keputusan tentang pembelian
suatu merek ataupun kategori produk, yang melekat pada produk atau bagian
produk (Simamora, 2004).
Atribut yang dimiliki suatu produk menunjukkan keunikan dari produk
tersebut dan dapat juga mudah menarik perhatian konsumen. Menurut Simamora
(2004) atribut produk terdiri dari tiga tipe yaitu:
1. Ciri atau rupa (feature)
Ciri dapat berupa ukuran, bahan dasar, karakteristik estetis, proses
manufaktur, servis atau jasa, penampilan, harga, susunan maupun trademark.
2. Manfaat (benefit)
Manfaat dapat berupa kegunaan, kesenangan yang berhubungan dengan
panca indera, manfaat non material seperti waktu.
3. Fungsi (function)
Atribut fungsi jarang digunakan dan lebih sering diperlakukan sebagai ciriciri atau manfaat.

ii

Menurut Kotler dan Amstrong (2008) atribut produk merupakan suatu
komunikasi atas manfaat dari hasil pengembangan produk atau jasa yang akan
ditawarkan produk atau jasa tersebut.

2.6. Kerangka Pemikiran
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen, definisi konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak diperdagangkan.
Menurut Kotler (2005), konsumen didefinisikan sebagai individu atau
kelompok yang berusaha untuk memenuhi atau mendapatkan barang atau jasa
yang dipengaruhi untuk kehidupan pribadi atau kelompoknya. Konsumen
merupakan target akhir dalam suatu perdagangan yang memanfaatkan barang atau
jasa untuk memenuhi kebutuhannya.
Sumarwan menyatakan (2003), konsumen dapat dikelompokkan menjadi
dua :
1.

Konsumen akhir (final costumer), adalah setiap rumah tangga atau individu
yang membeli produk atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau
untuk dikonsumsi langsung.

2.

Konsumen

organisasi

(organizatoinal

customer),

adalah

organisasi,

perusahaan, pedagang, pemerintah dan lembaga non-profit yang membeli
barang atau jasa untuk diproses lebih lanjut hingga menjadi produk akhir.
Konsumen yang terlibat dalam penelitian ini termasuk ke dalam konsumen
akhir, yaitu individu yang membeli produk berupa bawang merah segar

ii

untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau digunakan untuk industri dan
restoran.
Engel et al. (1994) membagi beberapa karakteristik konsumen menjadi dua yaitu:
1.

Karakteristik demografi, merupakan karakteristik konsumen berdasarkan
jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir, pekerjaan, status, pendapatan per
bulan dan tempat tinggal.

2.

Karakteristik psikografi, merupakan karakteristik konsumen berdasarkan
gaya hidup yaitu aktivitas, minat dan opini kelompok pembeli.
Menurut Sumarwan (2004), karakteristik konsumen meliputi pengetahuan

dan pengalaman konsumen, kepribadian konsumen, dan karakteristik demografi
konsumen. Konsumen yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang banyak
mengenai produk mungkin tidak termotivasi untuk mencari informasi, karena ia
sudah merasa cukup dengan pengetahuannya untuk mengambil keputusan.
Konsumen yang mempunyai kepribadian sebagai seorang yang senang
mencari informasi (information seeker) akan meluangkan waktu untuk mencari
informasi lebih banyak. Dalam penelitian ini, karakteristik umum konsumen
bawang merah akan dilihat berdasarkan jenis kelamin, usia, pekerjaan, jumlah
anggota keluarga, tingkat pendapatan dan tingkat konsumsi.
Preferensi konsumen menunjukkan kesukaan konsumen dari berbagai
pilihan produk yang ada. Menurut Simamora (2005) preferensi merupakan konsep
abstrak yang menggambarkan peta peningkatan kepuasan yang diperoleh dari
kombinasi barang dan jasa sebagai cerminan dari selera pribadi seseorang.
Teori preferensi digunakan untuk menganalisis tingkah laku konsumen,
misalnya bila seorang konsumen ingin mengkonsumsi produk dengan sumberdaya

ii

terbatas maka ia harus memilih alternatif sehingga nilai guna atau utilitas yang
diperoleh mencapai optimal.
Kotler (2005) mendefinisikan preferensi didefinisikan sebagai derajat
kesukaan, pilihan atau sesuatu yang lebih disukai konsumen. Preferensi dapat
terbentuk melalui pola pikir konsumen yang didasari oleh beberapa alasan, antara
lain:
a)

Pengalaman yang diperoleh sebelumnya.
Konsumen merasakan kepuasan dalam membeli produk tertentuk dan
merasakan kecocokan dalam mengkonsumsi produk yang dibelinya. Maka
konsumen akan terus-menerus memakai atau menggunakan merek produk.
tersebut, sehingga konsumen mengambil keputusan untuk membeli.

b)

Kepercayaan turun-menurun.
Kebiasaan keluarga menggunakan produk tersebut, maka konsumen merasa
puas untuk mengulangi membeli produk tersebut.
Menurut Kotler (2005) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi

preferensi adalah kepercayaan, atribut, kepentingan dan kepuasan. Pengetahuan
akan preferensi konsumen terhadap bawang merah

dapat dijadikan bahan

pertimbangan atau acuan bagi pihak-pihak terkait untuk dapat memproduksi,
mengembangkan dan memasarkan bawang merah sesuai dengan harapan
konsumen. Sehingga bawang merah

dari sentra-sentra produksi yang ada di

Indonesia khususnya Sumatera Utara dan petani bawang merah sebagai tonggak
utama penghasil bawang merah mampu berproduksi lebih optimal sehingga
diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dalam negri khususnya daerah Sumatera

ii

Utara dan dapat bersaing dengan bawang merah lokal dari luar Sumatera Utara,
serta bawang merah impor yang ada dipasaran
Adapun kerangka pemikiran operasional secara sistematis dapat dilihat
sebagai berikut :
Konsumen Bawang Merah Segar

Tingkat Konsumsi Konsumen Bawang
Merah Segar

Atribut dan Level Atribut Bawang
Merah Segar

Preferensi Konsumen Bawang Merah
Segar

Secara Umum :
Atribut Produk

Berdasarkan karakteristik konsumen:
Usia, JenisKelamin, Jumlah anggota keluarga, Tingkat
Pendapatan dan Tingkat Konsumsi.

Gambar 3. Kerangka Pemikiran

ii