Pola Distribusi Dan Stabilitas Harga Pangan ( Cabai Merah, Daging Sapi, Daging Ayam, Telur dan Beras ) Di Kota Medan

(1)

POLA DISTRIBUSI DAN STABILITAS HARGA PANGAN

( Cabai Merah, Daging Sapi, Daging Ayam, Telur dan Beras )

DI KOTA MEDAN

SKRIPSI

Oleh :

RYAN ALDY NABABAN

070304023

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ABSTRAK

RYAN ALDY NABABAN (070304023) dengan judul penelitian POLA DISTRIBUSI DAN STABILITAS HARGA PANGAN ( Cabai Merah, Daging Sapi, Daging Ayam, Telur dan Beras ) DI KOTA MEDAN. Penelitian ini

dibimbing oleh Bapak Prof.Dr.Ir.Hiras M.L. Tobing dan Bapak Dr. Ir Satia Negara Lubis, MEc.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola distribusi komoditi pangan di Kota Medan, untuk mengetahui daerah sentra produksi yang memasok komoditi pangan ke Kota Medan, untuk mengetahui jumlah pasokan dan share pasokan komoditi di Kota Medan dan untuk mengetahui stabilitas harga komoditi pangan di Kota medan.

Penentuan daerah penelityian dilakukan secara purposive (sengaja) yaitu daerah dipilih secara sengaja dengan mempertimbangkan waktu dan jangkauan penelitian. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan metode simple random sampling dan snow ball. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif.

Hasil dari penelitian adalah pola distribusi komoditi pangan memiliki pola yang sama dan dinilai sudah cukup bagus. Daerah pemasok, jumlah dan share pasokan cabai merah Kota Medan adalah Takengon 13 ton / bulan (2,25%), Tanah Karo 371 ton / bulan (64,08%) dan Indrapura 195 ton / bulan (33,68%). Daerah pemasok, jumlah dan share pasokan daging sapi Kota Medan adalah Jakarta 6.670 ton / bulan (95,8%), Lubuk Pakam 14 ton / bulan (0,2%), New Zealand 28 ton / bulan (0,4%) dan Rumah Potong Hewan 247,4 ton / bulan (3,56 %). Daerah pemasok, jumlah dan share pasokan daging ayam Kota Medan adalah Perbaungan 418 ton / bulan % (46,70) dan Deli Serdang 477 ton / bulan (53,3%). Daerah pemasok, jumlah dan share pasokan telur Kota Medan adalah Perbaungan 1747 ton / bulan (89,58%), Blarang 138,75 ton/bulan (7,11%), Pantai Labu 10,5 Ton/Bulan dan Patumbak sebesar 54 ton / bulan (2,77%). Daerah pemasok, jumlah dan share pasokan beras Kota Medan adalah Rantau Prapat 7.109 ton / bulan (30,96 %), Simalungun 4.919,26 ton / bulan (21,4%), Deli Serdang 3.973,1 ton / bulan (17,3%), Bulog 1.690 ton / bulan (7,36 %), Bagan Batu 1.254,95 ton / bulan (6 %), Asahan 2.163,47 ton / bulan (11,60 %), Medan 864,32 ton / bulan (3,76%). Pantai Labu 260 ton / bulan (1,13 %), Perbaungan 215,69 ton / bulan (0,94 %), dan Dairi 10,66 ton / bulan (0,05%). Stabilitas seluruh komoditi pangan dinilai sudah stabil, kecuali komoditi cabai merah.


(3)

RIWAYAT HIDUP

RYAN ALDY NABABAN (070304023) dilahirkan di Binjai pada tanggal 15

Oktober 1989 sebagai anak ketiga dari 4 bersaudara, dari keluarga Bapak Chandra Nababan dan Ibu Lili.

Pendidikan yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut: 1. Sekolah Dasar (SD) Tahun 1995-2001 di SUTOMO 2 Medan.

2. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Tahun 2001-2004 di SUTOMO 2 Medan.

3. Sekolah Menengah Atas (SMA) Tahun 2004-2007 di SUTOMO 2 Medan.

4. Melalui jalur SPMB Tahun 2007 di terima di Program Studi Agribisnis, Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera utara, Medan.

5. Bulan Juni – Juli 2011, melaksanakan PKL di Desa Perupuk, Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batubara.

6. Bulan Agustus 2011, melaksanakan penelitian skripsi di Kota Medan. Selama perkuliahan, penulis juga aktif dalam kegiatan organisasi diantaranya:

1. Anggota Organisasi Ikatan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian (IMASEP) Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

2. Anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Kebaktian Mahasiswa Kristen USU Tahun 2007-2009.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul dari skripsi ini adalah ”Pola Distribusi dan Stabilitas Harga Pangan ( Cabai Merah, Daging Sapi, Daging Ayam, Telur dan Beras ) di Kota Medan” yang merupakan syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

• Bapak Prof. Dr. Ir. Hiras M.L. Tobing sebagai Ketua Pembimbing yang telah

meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

• Bapak Dr. Ir. Satia Negara, MEc sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang

telah banyak membimbing, mengarahkan dan membantu penulis dalam pembuatan skripsi ini.

• Ibu Dr. Salmiah, MS selaku Ketua Departemen Agribisnis, FP-USU dan

Bapak Dr. Ir. Satia Negara, MEc selaku Sekertaris Departemen Agribisnis, FP-USU yang telah memberikan kemudahan dalam hal kuliah di kampus. • Seluruh Dosen Departemen Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas

Sumatera Utara yang telah membekali ilmu pengetahuan kepada penulis selama ini.

• Seluruh pegawai di Fakultas Pertanian khususnya pegawai Departemen


(5)

• Pegawai-pegawai yang bekerja di dinas pemerintahan baik Dinas

Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Medan, Dinas Badan Ketahanan Pangan Kota Medan dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan yang telah banyak membantu penulis dalam mendapatkan data-data yang dibutuhkan.

• Seluruh responden yaitu pedagang pengecer dan pedagang pengumpul yang

telah meluangkan waktu untuk memberikan informasi bagi penulis guna melengkapi penulisan skripsi ini.

Segala hormat dan terima kasih secara khusus penulis ucapkan kepada kedua orang tua penulis Bapak Chandra Nababan dan Ibunda Lili yang telah membesarkan, memberi semangat, memelihara dan mendidik penulis selama ini.

Penulis menyadari di dalam pembuatan skripsi masih banyak terdapat kekurangan. Penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Akhir kata penulis berhharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2011


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Kegunaan Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka ... 9

2.2 Landasan Teori ... 17

2.3 Kerangka Pemikiran ... 26

2.4 Hipotesis ... 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 30

3.2 Metode Penentuan Sampel ... 30

3.2.1 Pedagang Pengecer ... 30

3.2.2 Pedagang Perantara ... 30

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 31

3.4 Metode Analisis Data ... 31

3.5 Defenisi dan Batasan Operasional ... 34

3.5.1 Defenisi ... 34

3.5.2 Batasan Operasional ... 35

BAB IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN 4.1 Sejarah Kota Medan ... 36

4.2 Kondisi Geografis Kota Medan ... 36

4.3 Kondisi Demografis Kota Medan ... 38

4.3.1 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk ... 38


(7)

4.3.3 Struktur Penduduk ... 39

4.4 Kota Medan Secara Ekonomi ... 40

4.5 Kota Medan Secara Sosial ... 42

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Distribusi dan Jumlah Pasokan... 44

5.1.1 Komoditi Cabai Merah ... 45

5.1.2 Komoditi Telur ... 49

5.1.3 Komoditi Daging Ayam ... 53

5.1.4 Komoditi Daging Sapi... 57

5.1.5 Komoditi Beras ... 63

5.2 Stabilitas Harga ... 73

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 75

6.2 Saran ... 76 DAFTAR PUSTAKA


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Tabel 4.1 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Medan .. 38

Tabel 4.2 Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Kota Medan ... 39

Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Menurut Kolompok Umur dan Jenis Kelamin ... 40

Tabel 4.4 Struktur Perekonomian Kota Medan ... 41

Tabel 4.5 Statistik Pembangunan Kota Medan ... 43

Tabel 5.1. Proyeksi Kebutuhan Konsumsi Cabai Merah ... 47

Tabel 5.2. Jumlah Pasokan Komoditi Cabai Merah ... 48

Tabel 5.3. Proyeksi Kebutuhan Konsumsi Telur Ayam ... 51

Tabel 5.4. Jumlah Pasokan Komoditi Telur ... 52

Tabel 5.5. Proyeksi Kebutuhan Konsumsi Daging Ayam ... 55

Tabel 5.6. Jumlah Pasokan Daging Ayam ... 56

Tabel 5.7. Nama Perusahaan dan Jumlah Pengambilan... 58

Tabel 5.8. Jumlah Pasokan Daging Sapi ... 60

Tabel 5.9. Jumlah Pemotongan Daging Sapi ... 61

Tabel 5.10. Proyeksi Kebutuhan Konsumsi Daging Sapi ... 62

Tabel 5.11. Jumlah Pasokan Beras ... 66

Tabel 5.12. Jumlah Pasokan BULOG Kepada Masyarakat Miskin ... 68

Tabel 5.13. Jumlah Pasokan BULOG Kepda Instansi Lain ... 68

Tabel 5.14. Luas Tanam, Panen dan Produksi Padi ... 69

Tabel 5.15. Proyeksi Kebutuhan Konsumsi Beras ... 70

Tabel 5.16. Nama Perusahaan Kilang Padi ... 71


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Bagian Aktivitas Ekonomi ... 17

Gambar 2.2. Rantai Tata Niaga hasil pertanian ... 20

Gambar 5.1. Pola Distribusi Cabai Merah ... 45

Gambar 5.2. Pola Distribusi Telur ... 49

Gambar 5.3. Pola Distribusi Daging Ayam... 53

Gambar 5.4. Pola Distribusi Daging Sapi ... 57

Gambar 5.5. Pola Distribusi Beras ... 63


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

1.

Harga komoditi pangan di setiap pasar tradisonal bulan Mei 2011

2.

Harga komoditi pangan di setiap pasar tradisonal bulan Juni 2011

3.

Harga komoditi pangan di setiap pasar tradisonal bulan Juli 2011

4.

Harga komoditi pangan di setiap pasar tradisonal bulan Agustus 2011


(11)

ABSTRAK

RYAN ALDY NABABAN (070304023) dengan judul penelitian POLA DISTRIBUSI DAN STABILITAS HARGA PANGAN ( Cabai Merah, Daging Sapi, Daging Ayam, Telur dan Beras ) DI KOTA MEDAN. Penelitian ini

dibimbing oleh Bapak Prof.Dr.Ir.Hiras M.L. Tobing dan Bapak Dr. Ir Satia Negara Lubis, MEc.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola distribusi komoditi pangan di Kota Medan, untuk mengetahui daerah sentra produksi yang memasok komoditi pangan ke Kota Medan, untuk mengetahui jumlah pasokan dan share pasokan komoditi di Kota Medan dan untuk mengetahui stabilitas harga komoditi pangan di Kota medan.

Penentuan daerah penelityian dilakukan secara purposive (sengaja) yaitu daerah dipilih secara sengaja dengan mempertimbangkan waktu dan jangkauan penelitian. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan metode simple random sampling dan snow ball. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif.

Hasil dari penelitian adalah pola distribusi komoditi pangan memiliki pola yang sama dan dinilai sudah cukup bagus. Daerah pemasok, jumlah dan share pasokan cabai merah Kota Medan adalah Takengon 13 ton / bulan (2,25%), Tanah Karo 371 ton / bulan (64,08%) dan Indrapura 195 ton / bulan (33,68%). Daerah pemasok, jumlah dan share pasokan daging sapi Kota Medan adalah Jakarta 6.670 ton / bulan (95,8%), Lubuk Pakam 14 ton / bulan (0,2%), New Zealand 28 ton / bulan (0,4%) dan Rumah Potong Hewan 247,4 ton / bulan (3,56 %). Daerah pemasok, jumlah dan share pasokan daging ayam Kota Medan adalah Perbaungan 418 ton / bulan % (46,70) dan Deli Serdang 477 ton / bulan (53,3%). Daerah pemasok, jumlah dan share pasokan telur Kota Medan adalah Perbaungan 1747 ton / bulan (89,58%), Blarang 138,75 ton/bulan (7,11%), Pantai Labu 10,5 Ton/Bulan dan Patumbak sebesar 54 ton / bulan (2,77%). Daerah pemasok, jumlah dan share pasokan beras Kota Medan adalah Rantau Prapat 7.109 ton / bulan (30,96 %), Simalungun 4.919,26 ton / bulan (21,4%), Deli Serdang 3.973,1 ton / bulan (17,3%), Bulog 1.690 ton / bulan (7,36 %), Bagan Batu 1.254,95 ton / bulan (6 %), Asahan 2.163,47 ton / bulan (11,60 %), Medan 864,32 ton / bulan (3,76%). Pantai Labu 260 ton / bulan (1,13 %), Perbaungan 215,69 ton / bulan (0,94 %), dan Dairi 10,66 ton / bulan (0,05%). Stabilitas seluruh komoditi pangan dinilai sudah stabil, kecuali komoditi cabai merah.


(12)

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling azasi, sehingga ketersedian pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin. Manusia dengan segala kemampuannya selalu berusaha mencukupi kebutuhannya dengan berbagai cara. Dalam perkembangan peradaban masyarakat untuk memenuhi kualitas hidup yang maju, mandiri, dalam suasana tenteram, serta sejahtera lahir dan batin, semakin dituntut penyediaan pangan yang cukup berkualitas dan merata. Oleh karena itu, kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis untuk mewujudkan pembangunan sumberdaya manusia yang sehat, aktif dan produktif (BKP, 2010).

Dalam UU No. 7 tahun 1996 tentang pangan disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah, mutu, aman, merata, dan terjangkau. Dengan demikian, ketahanan pangan dihasilkan oleh suatu sistem ketahanan pangan yang terdiri dari tiga subsistem, yaitu : (1) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh masyarakat, (2) distribusi pangan yang lancar dan merata, dan (3) keterjangkauan pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi dan kaidah kesehatan (Sutawi, 2007).

Yang disebut bahan pangan adalah berbagai komoditi pangan sebagai sumber-sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Karbohidrat bersumber pada beras, jagung, ubi kayu, terigu, gula dan sebagainya. Protein


(13)

terkandung di dalam kacang tanah, minyak kelapa sawit, daging berlemak, susu berlemak, dan sebagainya. Adapun vitamin dan mineral banyak dijumpai pada sayuran dan buah-buahan (Prayitno, 1987).

Pentingnya ketahanan pangan dalam pembangunan nasional sudah bukan lagi topik perdebatan. Pemerintah dan rakyat, yang diwakili oleh parlemen dan organisasi non-pemerintah, sepakat bahwa ketahanan pangan harus menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan nasional. Paling tidak ada tiga alasan penting yang melandasi kesadaran semua komponen bangsa atas pentingnya ketahanan pangan. Pertama, akses atas pangan yang cukup dan bergizi bagi setiap penduduk merupakan salah satu pemenuhan hak azasi manusia. Kedua, konsumsi pangan dan gizi yang cukup merupakan basis bagi pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas. Ketiga, ketahanan pangan merupakan basis bagi ketahanan ekonomi, bahkan bagi ketahanan nasional suatu negara berdaulat (Suryana, 2004).

Pembangunan ketahanan pangan pada umumnya ditujukan untuk membangun ketahanan dan kemandirian pangan masyarakat baik secara makro

(tingkat daerah/kelurahan) maupun mikro (tingkat rumah tangga/individu). Terbangunnya ketahanan dan kemandirian pangan ditandai dengan tersedianya pangan dalam jumlah yang cukup, bermutu, dan aman serta mendistribusikannya secara merata mulai dari tingkat kelurahan hingga ke rumah tangga dari waktu ke waktu, berkelanjutan, dan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat (Laurensius, 2010).

Lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia. Lahan diperlukan dalam setiap kegiatan manusia, seperti untuk pertanian, daerah industri, daerah perumahan (real estate), jalan


(14)

untuk transportasi, daerah rekreasi atau daerah-daerah yang dipelihara kondisi alamnya untuk tujuan ilmiah. Sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Lahan juga merupakan sumberdaya strategis yang memiliki nilai secara ekonomis. Saat ini, jumlah luasan lahan pertanian tiap tahunnya terus mengalami pengurangan. Berkurangnya jumlah lahan pertanian ini merupakan akibat dari adanya peningkatan jumlah dan aktivitas penduduk serta aktivitas pembangunan. Kondisi ini mengakibatkan permintaan akan lahan pun meningkat. Konversi lahan yang terjadi tidak lepas dari kepentingan berbagai pihak seperti pemerintah, swasta dan komunitas atau masyarakat (Pasandaran, 2006).

Penggunaan konversi lahan sawah tidak terlepas dari situasi ekonomi secara keseluruhan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan beberapa sektor ekonomi tumbuh dengan cepat. Pertumbuhan sektor ekonomi akan membutuhkan lahan yang lebih luas. Apabila lahan sawah letaknya lebih dekat dengan sumber ekonomi maka akan menggeser penggunaannya kebentuk lain, untuk perumahan (real estate), industri manufaktur dan fasilitas infrastruktur. Hal ini terjadi karena land rent persatuan luas yang diperoleh dari aktivitas baru lebih tinggi daripada yang dihasilkan sawah. Namun konversi lahan sawah yang terjadi ditentukan juga oleh pertumbuhan sektor tanaman pangan (Ashari, 2003).

Fenomena konversi lahan sawah terus terjadi sampai tingkat mencemaskan dan mengganggu. Secara umum, faktor eksternal dan internal mendorong konversi lahan sawah. Faktor eksternal merupakan dampak transformasi struktur ekonomi dan demografis. Lahan tak berubah, tetapi permintaan meningkat akibat


(15)

pertumbuhan penduduk. Akibatnya, penggunaan lahan bergeser pada aktivitas nonsawah yang lebih menguntungkan. Faktor internal yang menyebabkan konversi lahan adalah kemiskinan. Buruknya kondisi sosial ekonomi memicu petani menjual lahan sawahnya. Mereka merasa tidak mendapat keuntungan ekonomis dari lahan itu (Anonimus, 2006).

Kota Medan adalah salah satu Kota yang dalam sepuluh tahun terakhir terus mengalami konversi lahan, khususnya lahan sawah. Konversi ini mengakibatkan luas lahan sawah di Kota Medan cenderung mengalami penurunan. Lahan yang paling banyak mengalami konversi adalah jenis lahan sawah yang beralih fungsi menjadi lahan kering, dan menjadi lahan nonpertanian, seperti digunakan untuk bangunan, industri, perumahan (real estate), pusat bisnis dan sebagainya. Menurut data BPS, pada tahun 2004 terjadi penurunan jumlah luas lahan sawah di Kota Medan dari 3.312 Ha menjadi 1.849 Ha di tahun 2005. Terlihat bahwa ada penurunan luas panen dalam kurun waktu satu tahun sebesar 1.463 Ha yang mengindikasikan adanya gejala konversi lahan sawah di Kota Medan. Luas lahan sawah yang semakin berkurang di Kota Medan, sudah tentu akan ikut mempengaruhi jumlah produksi padi ( BPS, 2008).

Seiring dengan semakin maraknya alih fungsi lahan untuk pembangunan, menyebabkan Kota Medan bukanlah merupakan daerah potensial untuk sentra produksi pertanian. Kota Medan telah berkembang pesat sebagai pusat perdagangan, Jasa, dan Industri di Sumatera Utara. Disisi lain, kemajuan tersebut juga telah mendorong Kota Medan menjadi pasar yang strategis dan potensial bagi daerah-daerah hinterlandnya dalam memasarkan berbagai komoditas bahan pangan hasil produksi pertaniannya. Sehingga secara otomatis, Kota Medan dapat


(16)

memenuhi ketersediaan dan kebutuhan bahan pangan pokok dan strategis masyarakatnya (Laurensius, 2010).

Distribusi bahan pangan di Kota Medan pada umumnya lancar mulai dari tingkat produsen sampai ke tingkat konsumen. Harga bahan pangan pun stabil, terkecuali menjelang hari-hari besar keagamaan yang menyebabkan terjadinya lonjakan harga pada beberapa jenis bahan pangan. Untuk mengantisipasi fluktuasi kenaikan harga tersebut, Pemerintah Kota Medan sering menyelenggarakan operasi Pasar Murah secara serentak di setiap kecamatan pada 115 titik yang tersebar di 151 kelurahan sehingga masyarakat dapat terbantu untuk memperoleh kebutuhan bahan pangannya (Laurensius, 2010).

Perkembangan kebutuhan berbagai komoditas bahan pangan pokok dan strategis di Kota Medan pada Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2009, produksi Beras di Kota Medan secara signifikan terus mengalami penurunan, sementara jumlah penduduk yang berkorelasi dengan kebutuhan terhadap Beras terus mengalami peningkatan. Contoh kasus, dengan jumlah penduduk yang mengalami peningkatan dari sebanyak 2.120.436 jiwa pada Tahun 2008 meningkat menjadi 2.121.053 jiwa pada Tahun 2009 hasil produksi Beras justru mengalami penurunan yaitu dari 11.452 ton pada Tahun 2008 turun menjadi 10.144 ton pada Tahun 2009. Sedangkan tingkat swasembada hasil produksi Beras di Kota Medan hanya mampu memenuhi 3,53 % untuk kebutuhan masyarakatnya (Laurensius, 2010).

Dengan demikian, ketersediaan Beras untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Medan mengalami Minus 274.460,54 ton (96,47 %) pada Tahun 2009. Kekurangan ketersediaan dan kebutuhan Beras bagi masyarakat Kota


(17)

Medan sebesar 96,47 % tersebut dapat terpenuhi dari berbagai daerah hinterlandnya yang memiliki lahan pertanian dan sentra produksi Beras di Sumatera Utara seperti Kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai, Langkat, dan daerah lainnya (Laurensius, 2010).

Di samping itu dalam pemasaran komoditas pertanian seringkali dijumpai rantai pemasaran yang panjang, sehingga banyak lembaga pemasaran yang dilibatkan dalam rantai pemasaran. Hal ini menyebabkan terlalu besarnya keuntungan pemasaran yang diambil oleh pelaku pemasaran. Beberapa penyebab panjangnya rantai pemasaran dan pihak produsen sering dirugikan, antara lain : 1) pasar tidak bekerja sempurna, 2) lemahnya informasi pasar, 3) lemahnya produsen/petani memanfaatkan peluang pasar, 4) lemahnya produsen/petani untuk melakukan penawaran dalam mendapatkan harga yang layak, 5) produsen/petani

melakukan usaha tidak didasarkan pada permintaan pasar (Prasetyo dan Mukson, 2003).

Dari uraian diatas, dapat kita lihat akibat pengalih fungsian lahan pertanian menjadi daerah pemukiman menyebabkan Kota Medan harus memenuhi kebutuhan pangannya dari daerah lain dan panjangnya jalur distribusi maka perlu dilakukan penelitian terhadap pola distribusi atau jalur pemasaran komoditi pangan, sehingga kita mengetahui bentuk pemasaran dan dari mana saja kebutuhan pangan khusunya cabai merah, daging ayam, daging sapi, telur dan beras diperoleh.


(18)

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pola distribusi komoditi pangan ( cabai merah, daging sapi, daging ayam, telur, dan beras) di Kota Medan?

2. Dimana daerah setra produksi yang memasok pangan ( cabai merah, daging sapi, daging ayam, telur, dan beras) ke Kota Medan?

3. Berapa jumlah dan share pasokan komoditi pangan ( cabai merah, daging sapi, daging ayam, telur, dan beras) dari daerah lain ke Kota Medan? 4. Apakah harga komoditi pangan ( cabai merah, daging sapi, daging ayam,

telur, dan beras) stabil?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian adalah untuk :

1. Mengetahui pola distribusi komoditi pangan ( cabai merah, daging sapi, daging ayam, telur, dan beras) di Kota Medan.

2. Mengetahui daerah setra produksi yang memasok pangan ( cabai merah, daging sapi, daging ayam, telur, dan beras) ke Kota Medan.

3. Mengetahui jumlah dan share pasokan komoditi pangan ( cabai merah, daging sapi, daging ayam, telur, dan beras) di Kota Medan

4. Mengetahui stabilitas harga komoditi pangan ( cabai merah, daging sapi, daging ayam, telur, dan beras) di Kota Medan.


(19)

1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian adalah:

1. Sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan bagi setiap orang yang terlibat dalam jalur distribusi komoditi pangan ( cabai merah, daging sapi, daging ayam dan telur ) untuk perbaikan dan peningkatan proses tata niaga.

2. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi pihak yang membutuhkan.


(20)

2.1 Tinjauan Pustaka

Keberadaan lahan sawah memberi manfaat yang sangat luas secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Oleh karena itu, hilangnya lahan sawah akibat dikonversi ke penggunaan non pertanian akan mengurangi manfaat dari lahan. Namun, itu hanya dinilai secara ekonomi karena ada pasarnya (tangible and marketabel goods), sedangkan lahan sawah sulit dinilai karena lebih mengedepankan pada manfaat lingkungan dan sosial, bukan semata ekonomi (Sitorus, 2001).

Penggunaan konversi lahan sawah tidak terlepas dari situasi ekonomi secara keseluruhan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan beberapa sektor ekonomi tumbuh dengan cepat. Pertumbuhan sektor ekonomi akan membutuhkan lahan yang lebih luas. Apabila lahan sawah letaknya lebih dekat dengan sumber ekonomi maka akan menggeser penggunaannya kebentuk lain, untuk perumahan (real estate), industri manufaktur dan fasilitas infrastruktur. Hal ini terjadi karena land rent per satuan luas yang diperoleh dari aktivitas baru lebih tinggi daripada yang dihasilkan sawah. Namun konversi lahan sawah yang terjadi ditentukan juga oleh pertumbuhan sektor tanaman pangan (Ashari, 2003).

Disini internal sektor pertanian, berbagai karakteristik dari usaha tani sendiri belum sepenuhnya mendukung kearah pelaksanaan pelestarian lahan pertanian yang ada. Sempitnya rata-rata luas lahan yang diusahakan petani karena proses pragmentasi. Sempitnya lahan berakibat pada tidak tercukupinya hasil kegiatan usaha pertanian teknologi baru untuk peningkatan produktivitas, yang terjadi kemudian bukan moderenisasi tapi penjualan lahan sawah untuk penggunaan lainnya (konversi lahan sawah). Hal ini yang memperparah adalah


(21)

dengan adanya desentralisasi maka daerah berlomba-lomba untuk meningkatkan pertumbuhan untuk pendapatan daerah yang lebih besar. Selanjutnya daerah mengutamakan pengembangan sarana dan prasarana fisik yang juga berakibat pada penggunaan lahan sawah secara langsung atau peningkatan nilai lahan (land rent) karena penawaran yang lebih baik (Fauzi, 2002).

Sektor lain, pertumbuhan perekonomian menuntut pembangunan infrastruktur baik berupa jalan, bangunan industri dan perumahan (real estate). Dengan kondisi demikian, diduga permintaan lahan untuk penggunaan berbagai sektor itu semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan banyak lahan sawah, terutama yang berada di sekitar perkotaan, mengalami konversi ke penggunaan lain. Di samping itu, dalam sektor pertanian itu sendiri, kurangnya insentif pada usahatani lahan sawah diduga akan menyebabkan terjadi konversi lahan ke tanaman pertanian lainnya. Permasalahan di atas diperkirakan akan mengancam kesinambungan produksi beras nasional. Karena beras merupakan bahan pangan utama, oleh karena itu isu konversi lahan perlu mendapat perhatian. Jika tidak ketergantungan pada impor akan semakin meningkat. Sementara itu pasar beras internasional sifatnya thin market. Artinya ketergantungan terhadap impor sifatnya tidak stabil dan akan menimbulkan kerawanan pangan dan pada gilirannya akan mengancam kestabilan nasional (Ilham, dkk, 2003).

Tujuan pembangunan pangan adalah menyediakan pangan yang cukup bagi masyarakat baik dari segi jumlah , mutu dan keragamannya. Kecukupan tersebut juga meliputi ketersediaan pangan secara terus menerus, merata di setiap daerah dan terjangkau daya beli masyarakat. Bertitik tolak dari tujuan


(22)

pembangunan pangan dan sifat penanganannya maka ada 4 sukses yang perlu dicapai yaitu :

1. Sukses peningkatan ketahanan pangan 2. Sukses diversifikasi konsumsi pangan 3. Sukses peningkatan keamanan pangan dan 4. Sukses pengembangan kelembagaan.

Dengan demikian peningkatan ketahanan pangan merupakan salah satu sukses pembangunan pangan (Aritonang, 2000).

Masalah pangan adalah keadaan kelebihan pangan, kekurangan pangan dan/atau ketidakmampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan. Masih adanya penduduk miskin, daerah rawan pangan, produksi pangan dihasilkan tidak merata antar wilayah dan sepanjang waktu, potensi SDA yang berbeda di masing-masing daerah akan berpengaruh terhadap distribusi dan pasokan bahan pangan. Kondisi ini, pada akhirnya akses pangan bagi setiap individu rumah tangga akan semakin menjadi rendah apabila ketersediaan pangan setempat terbatas, pasar tidak tersedia, transportasi terbatas, pendapatan rendah, pendidikan terbatas, pengangguran tinggi, budaya setempat belum memadai. Oleh sebab itu, peranan distribusi pangan yang terjangkau dan merata sepanjang waktu kiranya akan berpengaruh terhadap peningkatan akses pangan bagi setiap rumah tangga di dalam memenuhi kecukupan pangannya (Anonimus, 2011).

Pada umumnya komoditi hasil pertanian memiliki beberapa sifat lemah dilihat dari sudut ekonomi pemasaran.


(23)

artinya produk yang mudah busuk, mudah rusak atau tidak tahan lama misalnya sayur-sayuran, buah-buahan, ikan yang ditangkap pada pagi hari hanya beberapa jam saja sudah akan layu, layu berarti penurunan kualitas dan efeknya, harga jual jadi turun. Itu sebabnya pada pagi hari sayur-sayuran, ikan, daging cenderung harga yang ditawarkan tinggi sebagai kompensasi penurunan harga di siang/ sore hari.

Sifat mudah rusak ini pun membuat hasil-hasil pertanian didalam pengangkutan banyak mengalami kerusakan dan hal ini oleh middlemen

diperhitungkan sebagai biaya susut/rusak yang disebut marketing loss. Kedalamnya termasuk juga penyusutan dalam penyimpanan. Oleh sebab itu masalah tingginya marketing loss ini sebagai akibat dari sifat produk pertanian yang mudah rusak, sehingga perlakuan atas hasil pertanian sangat penting sekali, misalnya bahan pembungkus, alat transport khusus, tempat penyimpanan khusus seperti ruang pendingin, cara menyimpan, dan sebagainya.

b. Seasonal product (Berproduksi Secara Musiman)

Meskipun teknologi pemeliharaan tanaman dan teknologi klimatologi telah demikian maju, namun pengaruh musim terhadap tumbuhan/tanaman masih belum dapat diatur sepenuhnya oleh manusia. Panjangnya masa penyinaran (fotoperodisitas) atas tanaman, banyaknya curah hujan, bulan-bulan hujan, suhu udara, kelembaban, dll, belum dapat dikuasai teknologi sekarang.

Oleh sebab itu kertergantungan produksi usahatani dan tumbuhan budidaya masih terletak pada musim. Contoh, musim buah-buahan, musim panen padi yang serentak. Sehingga pada musimnya produk melimpah dan harga turun. c. Bulky atau Voluminous product


(24)

Yang berarti produk usaha tani/pertanian sifatnya memakan ruangan atau tempat yang relatif besar sedangkan nilai produk itu sendiri relatif rendah.

( Sihombing, 2010 ).

Pengelolaan distribusi dan akses pangan pada dasarnya diarahkan kepada sistem pendistribusian bahan pangan secara efisien dan efektif guna menjamin pasokan bahan pangan, stabilitas harga, pemerataan akses pangan, serta pemberdayaan peran aktif dunia usaha dan masyarakat. Untuk itu, aspek distribusi pangan juga harus didukung oleh kelembagaan usaha ekonomi yang kuat dan ditunjang dengan sarana/prasarana yang memadai sehingga pada akhirnya dapat mendorong terwujudnya tingkat stabilitas harga bahan pangan. Dengan peran aktif kelembagan dan didukung dengan sarana yang memadai dapat mendorong bahan pangan terdistribusikan dengan tepat waktu, terakses secara merata, dan stabilitas harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat (Anonimous, 2011).

Saluran distribusi/pemasaran adalah rute dan status kepemilikan yang ditempuh oleh suatu produk ketika produk ini mengalir dari penyedia bahan mentah melalui produsen sampai ke konsumen akhir. Saluran ini terdiri dari semua lembaga atau pedagang perantara yang memasarkan produk atau barang/jasa dari produsen sampai ke konsumen. Di sepanjang saluran distribusi terjadi beragam pertukaran produk, pembayaran, kepemilikan dan informasi. Saluran distribusi diperlukan karena produsen menghasilkan produk dengan memberikan kegunaan bentuk (form utility) bagi konsumen setelah sampai ke tangannya, sedangkan lembaga penyalur membentuk atau memberikan kegunaan waktu, tempat dan pemilikan dari produk itu (Dillon, 1998).


(25)

Menurut Swastha ( 2000 ) Distribusi adalah saluran yang digunakan oleh produsen untuk menyalurkan barang tersebut dari produsen sampai ke konsumen atau pemakai industri. Sedangkan menurut Assauri ( 2002) Distribusi adalah “ lembaga - lembaga yang memasarkan produk, yang berupa barang atau jasa dari produsen sampai ke konsumen.”

Menurut Sudiyono (2002) pemasaran pertanian termasuk komoditas pangan olahan adalah proses aliran komoditi yang disertai perpindahan hak milik dan penciptaan guna waktu, tempat dan bentuk yang dilakukan oleh lembaga pemasaran dengan melaksanakan satu atau lebih fungsi pemasaran.

Kompleksitas permasalahan pemasaran komoditas pertanian menuntut adanya suatu pendekatan (approach). Pendekatan dapat diartikan sebagai cara pandang terhadap suatu masalah dari satu sisi sudut pandang tertentu, sehingga masalah menjadi jelas dan mudah untuk diselesaikan (Sudiyono, 2002). Selanjutnya dikatakan bahwa ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mempelajari sistem pemasaran yaitu pendekatan komoditi, pendekatan lembaga, pendekatan fungsi, pendekatan ekonomi dan pendekatan sistem. Pendekatan komoditi dilakukan dengan menetapkan komoditi yang diteliti dan diikuti aliran komoditi mulai dari produsen sampai konsumen akhir (Sudiyono, 2002). Kelebihan utama dari pendekatan ini adalah proses penyederhanaan, sehingga hanya dengan menitikberatkan pada suatu komoditi saja kompleksitas pemasaran pertanian dapat disederhanakan.

Pendekatan serba fungsi mempelajari pemasaran dari segi penggolongan kegiatan (jasa) atau fungsi-fungsi (Swastha, 1990). Pendekatan ini dapat


(26)

digunakan untuk membahas fungsi-fungsi tertentu, seperti pengolahan, jual eceran, transportasi, konsumsi, dll.

Pendekatan lembaga pemasaran mempelajari pemasaran dari segi lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses pemasaran (Swastha, 1990). Tujuan lembaga ini adalah untuk mengetahui struktur yang berdaya guna dan berpengaruh terhadap biaya-biaya yang berkaitan dengan rugi laba. Pendekatan teori ekonomi menelaah pemasaran pertanian dalam teori ekonomi yang menggunakan konsep-konsep penawaran serta permintaan, pergeseran permintaan dan penawaran dan keseimbangan pasar.

Pendekatan sistem diterapkan untuk menganalisa sistem pemasaran yang memerlukan pemahaman karakteristik sistem dari yang sederhana sampai yang kompleks yang meliputi :

1). Pemasaran merupakan proses ekonomi yang sedang dan berkembang 2). Sistem mempunyai pusat kontrol guna mengendalikan aktivitas-aktivitas

Aliran produk dari produsen ke konsumen disertai dengan peningkatan nilai guna. Peningkatan nilai guna ini terwujud hanya apabila terdapat lembaga pemasaran yang melaksanakan fungsi pemasaran atas komoditas tersebut. Fungsi-fungsi pemasaran yang dilaksanakan oleh lembaga pemasaran bermacam-macam yang pada prinsipnya terdapat 3 (tiga) fungsi yaitu : 1) fungsi pertukaran, 2) fungsi fisik dan 3) fungsi penyediaan fasilitas (Sudiyono, 2002).

Fungsi pertukaran dalam pemasaran produk meliputi kegiatan yang menyangkut kegiatan pengalihan pemilikan. Fungsi pertukaran ini terdiri dari fungsi penjualan dan pembelian. Fungsi fisik meliputi pengangkutan dan penyimpanan, sedangkan fungsi penyediaan fasilitas pada hakekatnya adalah


(27)

untuk memperlancar fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Fungsi penyediaan fasilitas merupakan usaha-usaha perbaikan sistem pemasaran untuk meningkatkan efisiensi operasional dan penetapan harga. Fungsi penyediaan fasilitas ini meliputi standarisasi, penanggungan resiko, informasi harga dan penyediaan dana (Sudiyono, 2002).

Saluran distribusi produk-produk agroindustri terutama dibutuhkan karena adanya perbedaan yang menimbulkan celah-celah atau kesenjangan (gap) diantara produksi dan konsumsi, yang terdiri dari:

1. Geographical gap : perbedaan jarak geografis yang disebabkan oleh perbedaan tempat pusat produksi dengan lokasi konsumen yang tersebar dimana-mana, sehingga jarak yang semakin jauh menimbulkan peranan lembaga penyalur menjadi bertambah penting ;

2. Time gap : perbedaan jarak waktu yang disebabkan oleh celah waktu yang terjadi antara produksi dan konsumsi dari produk-produk yang dihasilkan secara besar-besaran. Hal ini terjadi karena pembelian dan konsumsi produk timbul dalam waktu tertentu, sedangkan produksi dilakukan secara lebih hemat dengan kegiatan produksi yang terus menerus, sehingga terdapat perbedaan waktu antara saat produksi dengan saat konsumsi atau penggunaannya ;

3. Quantity gap : dimana produksi dilakukan dalam skala besar untuk memperoleh biaya per unit/satuan rendah, sedangkan konsumsi dalam jumlah yang kecil-kecil untuk jenis produk pada saat tertentu ;

4. Variety gap : sebagian besar produsen/perusahaan agroindustri menspesialisasikan dirinya dalam memproduksi produk tertentu, sedangkan


(28)

konsumen menginginkan produk yang beraneka ragam, sesuai dengan selera atau cita rasanya.

5. communication & information gap : konsumen sering tidak mengetahui sumber-sumber produksi dari produk-produk agroindustri yang dibutuhkan, sedangkan produsen tidak mengetahui siapa dan dimana konsumen potensial berada. Akibatnya dibutuhkan fungsi distribusi yang dijalankan dalam saluran distribusi yang ada (Dillon, 1998).

2.2 Landasan Teori

Pada dasarnya keseluruhan aktivitas ekonomi dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu:

a. aktivitas produksi b. aktivitas konsumsi c. aktivitas distribusi

dari sini terbentuk tiga sektor kegiatan ekonomi dan terjadi diseluruh kehidupan ekonomi.

Gambar 2.1. Bagan Aktivitas Ekonomi

Disektor produksi, barang-barang dan jasa dihasilkan, disektor konsumsi barang-barang dan jasa dikonsumsi oleh para konsumen. Jarak antara kedua sektor sangat relative. Ada yang jauh dan ada yang dekat. Umumnya jarak fisik produksi dan konsumsi hasil pertanian/usahatani relatif cukup jauh, karena usahatani

Sektor DISTRIBUSI

Sektor KONSUMSI Sektor


(29)

berada dipelosok desa yang membutuhkan areal yang cukup luas. Oleh karena itu, jarak ini harus dijembatani agar barang-barang yang dibutuhkan oleh konsumen memenuhi azas yaitu tempat, jumlah, waktu, mutu, jenis dan pada tingkat harga yang layak dibayar konsumen. Sektor distribusilah yang merupakan jembatan penghubung tersebut. Sektor ini yang bertanggung jawab memindahkan, mengalokasikan, mendayagunakan, menganekaragamkan barang-barang yang dihasilkan disektor produksi.

Bergeraknya barang-barang dari sektor produksi ke sektor konsumen akan membentuk suatu perjalanan. Jalan yang ditempuh barang tersebut akan mengalami perpindahan tangan atau hak (ownership utility), satu, dua atau sejumlah tangan. Jalan atau saluran yang dijalani/ditempuh oleh barang-barang ini disebut mata rantai saluran tata niaga (marketing channel). Sering juga disingkat dengan mata rantai tata niaga atau saluran tata niaga ( Sihombing, 2010).

Tata niaga pertanian adalah proses aliran komoditi yang disertai perpindahan hak milik dan penciptaan guna waktu, guna tempat dan guna bentuk, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tata niaga dengan melaksanakan satu atau lebih fungsi-fungsi tata niaga. Ditinjau dari aspek ekonomi kegiatan tata niaga pertanian dikatakan sebagai kegiatan produktif sebab tata niaga pertanian dapat meningkatkan guna waktu, guna tempat, guna bentuk, dan guna pemilikan (Sudiyono, 2004).

Umumnya defenisi yang memberikan gambaran tentang saluran distribusi sebagai suatu rute atau jalur. Saluran adalah sekelompok pedagang dan agen perusahaan yang mengkombinasikan antara pemindahan fisik dan nama dari suatu produk untuk menciptakan kegunaan bagi pasar tertentu. Saluran melaksanakan


(30)

dua kegiatan penting untuk mencapai tujuan, yaitu mengadakan penggolongan produk dan mendistribusikannya (Swastha, 1999).

Komoditi pertanian dipasarkan melalui suatu jalur atau rute yang disebut saluran tata niaga atau jalur distribusi. Di dalam jalur tataniaga ini terdapat pedagang perantara (middlemen) yang menyalurkan komoditas dari produsen hingga ke konsumen. Pedagang perantara (middlemen) ini melakukan fungsi-fungsi tata niaga. Saluran atau jalur distribusi dapat berbeda-beda menurut tingkatnya atau banyaknya perantara yang terlibat dalam suatu saluran hingga komoditas tersebut sampai kepada konsumen ( Rahardi dkk, 1993 ).

Jalur tata niaga hasil pertanian adalah saluran yang digunakan petani produsen untuk menyalurkan hasil pertanian dari produsen sampai ke konsumen. Lembaga-lembaga yang ikut aktif dalam saluran ini adalah petani produsen, pedagang pengumpul, pedagang besar, pengecer dan konsumen. Setiap lembaga tata niaga ini melakukan fungsi-fungsi tataniaga seperti : membeli dari petani (produsen), menjual kepada pedagang berikutnya, mengangkut, menyortir, menyimpan dan lain-lain (Rahardi dkk, 1993).

Mata rantai saluran tata niaga bagi satu-satu komoditi dapat berbeda-beda panjang pendeknya. Pengertian panjang dalam hal ini ada dua macam yaitu:

a. panjang-pendek dari sudut pandang fisik, yaitu jarak antara produsen ke konsumen diukur dengan satuan jarak (meter, km,dll)

b. panjang-pendek dari sudut banyaknya jumlah middlemen yang berperan sepanjang saluran.


(31)

Bentuk channel tata niaga hasil pertanian dapat bervariasi menurut komoditinya, secara umum bentuk saluran tata niaga hasil pertanian adalah sebagai berikut:

Gambar 2.2. Rantai Tata Niaga hasil Pertanian

Bentuk bagan channel tata niaga hasil pertanian diatas tampaknya seperti bentuk X. Hal ini disebabkan karena petani berada di pelosok desa, tersebar luas sebab harus memanfaatkan lahan yang cukup luas dan petani Indonesia yang masih tergolong petani subsistance hanya menjual dalam jumlah yang relatif kecil/sedikit sehingga dibutuhkan sejumlah pedagang pengumpul untuk menghimpun jumlah yang relatif kecil itu lalu dijual kepada pedagang perantara. Dan seterusnya ke pedagang perantara berikutnya hingga sampai di pedagang

grosier(whole sales). Dari sini barang menyebar lagi kepada pedagang perantara

di daerah konsumen lalu ke pengecer dan barulah menyebar ke konsumen ( Sihombing, 2010 ).


(32)

Saluran distribusi memegang peranan penting dalam penciptaan faedah (Utility), yakni dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan konsumen. Faedah bentuk merupakan faedah yang diciptakan oleh adanya perubahan – perubahan dalam usaha memperbaiki suatu barang. Faedah waktu merupakan faedah yang diciptakan oleh adanya waktu yang tepat untuk suatu barang dibutuhkan konsumen. Dalam hal ini penyimpanan sangat berperan. Faedah tempat memberikan nilai jual tinggi suatu produk jika berada di tempat di mana konsumen membutuhkannya. Faedah milik menciptakan kepuasan bagi pihak yang ingin memilikinya ( Royan, 2004 ).

Menurut Musrid (2003), berdasarkan panjang pendeknya saluran distribusi dikenal tiga macam penyaluran suatu barang hasil produksi yaitu :

1. Penyaluran langsung yaitu penyaluran yang langsung dari produsen ke konsumen.

2. Penyaluran semi langsung yaitu penyaluran melalui satu perantara.

3. Penyaluran tidak langsung yaitu penyaluran yang menggunakan dua atau lebih perantara.

Menurut Angipora (1999), saluran distribusi langsung adalah bentuk penyaluran barang-barang / jasa-jasa dari produsen ke konsumen dengan tidak melalui perantara. Bentuk saluran ini dapat dibagi empat macam, yaitu:

• Penjualan langsung dilakukan di tempat produksi (selling at the point production).

• Penjualan yang dilakukan di tempat pengecer (selling at the producer retailer store).


(33)

• Penjualan yang dilakukan oleh produsen langsung ke konsumen dengan

mengerahkan salesman (selling door to door).

• Penjualan yang dilakukan dengan menggunakan jasa pos (selling through mail).

Lembaga niaga adalah orang atau badan ataupun perusahaan yang terlibat dalam proses tata niaga hasil pertanian. Di tingkat desa ada tengkulak, pedagang perantara dan pedagang pengecer. Di tingkat kecamatan juga ada pedagang perantara, pengumpul dan pengecer. Keadaan ini juga terjadi di tingkat kabupaten dan provinsi. (Daniel, 2002).

Pedagang perantara (middleman) memerankan kegiatan satu atau dua atau semua kegiatan (utility) tempat, bentuk, hak milik dan waktu. Pelaksanaan kegiatan ini menimbulkan adanya biaya. Biaya tata niaga dapat dijadikan sebagai indikator efisiensi sistem tataniaga (Gultom, 1996).

Secara luas, terdapat dua golongan besar lembaga-lembaga tata niaga yang mengambil bagian dalam saluran distribusi. Mereka ini disebut perantara pedagang dan perantara agen. Pedagang berhak memiliki barang-barang yang dipasarkan, meskipun pemiliknya tidak secara fisik. Agen dapat didefinisikan sebagai lembaga yang melaksanakan perdagangan dengan menyediakan jasa-jasa atau fungsi-fungsi khusus yang berhubungan dengan penjualan atau distribusi barang, tetapi mereka tidak memiliki hak untuk memiliki barang yang diperdagangkan (Swastha, 1999).

Pedagang dapat digolongkan menjadi tiga macam yaitu produsen, pedagang besar dan pengecer. Pedagang besar adalah pedagang yang melakukan aktivitas dagang besar meliputi penjualan dan semua kegiatan yang langsung


(34)

bertalian dengan penjualan barang-barang atau jasa-jasa kepada mereka yang membelinya dengan maksud untuk dijual kembali atau digunakan dalam usaha mereka (Saladin, 1996).

Eceran meliputi semua kegiatan yang dilakukan dalam penjualan barang atau layanan secara langsung kepada konsumen akhir, yang membeli untuk kebutuhan pribadi tidak untuk dibisniskan. Pengecer adalah setiap organisasi bisnis yang sumber utama penjualannya berasal dari eceran. Secara garis besar, pengecer dapat dibedakan menjadi eceran toko (store retailing) dan eceran bukan toko (non-store retailing). Eceran toko ditandai dengan terdapatnya tempat untuk memamerkan produk secara tepat. Sedangkan dalam eceran bukan toko, produknya tidak dipajang (Simamora,2001).

Menurut ( Nitisemito : 2001 ) Saluran distribusi Barang Konsumsi adalah Penjualan barang konsumsi ditujukan untuk pasar konsumen, dimana umumnya dijual melalui perantara. Hal ini dimaksudkan untuk menekan biaya pencapaian pasar yang luas menyebar yang tidak mungkin dicapai produsen satu persatu.

Dalam menyalurkan barang konsumsi ada lima jenis saluran yang dapat digunakan.

a) Produsen - Konsumen

Bentuk saluran distribusi yang paling pendek dan yang paling sederhana adalah saluran distribusi dari produsen ke konsumen, tanpa menggunakan perantara. Produsen dapat menjual barang yang dihasilkannya melalui pos atau langsung mendatangi rumah konsumen (dari rumah ke rumah). Oleh karena itu saluran inidisebut saluran distribusi langsung.


(35)

b) Produsen - Pengecer - Konsumen

Seperti hainya dengan jenis saluran yang pertama (Produsen - Konsumen), saluran ini juga disebut sebagai saluran distribusi langsung. Disini, pengecer besar langsung melakukan pembelian kepada produsen. Adapula beberapa produsen yang mendirikan toko pengecer sehingga dapat secara langsung melayani konsumen. Namun alternatif akhir ini tidak umum dipakai.

c) Produsen - Pedagang Besar - Pengecer - Konsumen

Saluran distribusi semacam ini banyak digunakan oleh produsen, dan dinamakan sebagai saluran distribusi tradisional. Disini, produsen hanya melayani penjualan dalam jumlah besar, kepada pedagang besar saja, tidak menjual kepada pengecer. Pembelian oleh pengecer dilayani pedagang besar, dan pembelian oleh konsumendilayani pengecer saja.

d) Produsen - Agen - Pengecer - Konsumen

Disini, produsen memilih agen sebagai penyalurnya.la menjalankan kegiatan perdagangan besar, dalam saluran distribusi yang ada. Sasaran penjualannya terutama ditujukan kepada para pengecer besar.

e) Produsen - Agen - Pedagang Besar – Pengecer - Konsumen

dalam saluran distribusi, sering menggunakan agen sebagai perantara untuk menyalurkan barangnya kepedagang besar yang kemudian menjualnya kepada toko- toko kecil. Agen yang terlihat dalam saluran distribusi ini terutama agen penjualan.

Dari berbagai aspek ekonomi pangan, harga merupakan salah satu aspek penting yang perlu mendapat perhatian. Pentingnya harga pangan terutama di tingkat petani-produsen (dengan tetap melindungi konsumen), dilakukan oleh


(36)

pemerintah di berbagai negara melalui kebijakan intervensi. Beberapa instrumen kebijakan harga pangan dalam rangka melindungi petani produsen yang umum dilakukan pemerintah adalah melalui (1) penetapan harga tertinggi-terendah dan atau harga pembelian pemerintah, (2) penetapan waktu dan volume impor, (3) pengaturan volume stok pangan pemerintah dan pelepasan stok ke pasar dan (4) penetapan larangan ekspor.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor:

65/Permentan/Ot.140/12/2010 Tanggal : 22 Desember 2010 tentang Pencapaian Standar Pelayanan minimal distribusi pangan dan akses pangan, dioperasionalkan melalui indikator ketersediaan informasi pasokan, harga dan akses pangan, dan indikator stabilisasi harga dan pasokan pangan. Harga dinyatakan stabil jika gejolak harga pangan di suatu wilayah kurang dari 25 % dari kondisi normal.


(37)

2.3 Kerangka Pemikiran

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi demi kelangsungan hidupnya, untuk memenuhi kebutuhan ini maka kulitas, kuantitas dan stabilitas pangan harus tetap terjaga.

Kota Medan memiliki jumlah penduduk yang besar sekitar 2.121.053 jiwa dan merupakan wilayah yang telah banyak melakukan pengalih fungsian lahan pertanian menjadi pemukiman penduduk. Dalam memenuhi kebutuhan atas pangannya, maka Kota Medan didukung oleh daerah sekitarnya dan mengimpor barang dari luar. Sehingga Kota Medan memiliki pasokan pangan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan Kota Medan.

Untuk dapat dinikmati oleh konsumen dengan kualitas dan kuantitas yang terjaga, maka penyaluran pangan dari produsen harus cepat sampai kepada konsumen. Seperti yang kita ketahui bahwa produk pertanian memiliki beberapa sifat yaitu: mudah rusak dan berjumlah sangat banyak, oleh karena itu saluran distribusi yang sederhana akan memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan konsumen dengan cepat.

Melalui para agen yang memiliki kekuatan untuk dapat membeli produk dari wilayah terdekat di luar Kota Medan, produk pangan yang dapat dikatakan sebagai hasil import domestic tersebut dapat di salurkan kepada konsumen yang ada di Kota Medan.

Produk pangan ( cabai merah, kacang kedelai, daging sapi, daging ayam, telur dan beras ) memiliki tahapan-tahapan dalam pendistribusiannya mulai dari tingkat petani yang menjual langsung kepada pedagang pengumpul, selanjutnya dari pedagang pengumpul I, produk didistribusikan kepada pedagang pengumpul


(38)

II, selanjutnya pengumpul II akan menjual produknya kepada pedagang besar, selajutnya pedagang besar akan menjual kepada para pedagang pengecer dan akhirnya pedagang pengecer akan menjualnya kepada konsumen akhir. Tetapi ada juga konsumen yang membeli langsung dari petani, ada juga yang langsung membeli dari pedagang pengumpul atau membeli langsung kepada agen tanpa melalui pedagang pengecer yang ada di pasar.

Jumlah pasokan yang di peroleh dari Kota Medan sendiri, daerah di luar Kota Medan, impor pangan dan kebutuhan akan konsumsi pangan akan mempengaruhi stabilitas harga pangan itu sendiri. Stabilitas harga akan tercapai apabila jumlah pasokan sama dengan jumlah kebutuhan akan konsumsi, dan sebaliknya harga dikatakan tidak stabil apabila jumlah pasokan berlebih atau kurang dibandingkan dengan jumlah kebutuhan akan konsumsi pangan.


(39)

Keterangan :

: Arah Aliran Barang : Menyatakan Hubungan : Menyatakan Pengaruh

: Menyatakan Hubungan timbal balik

Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran PETANI

PEDAGANG PENGUMPUL

PEDAGANG BESAR

PEDAGANG PENGECER

KONSUMEN

PASOKAN PANGAN PEDAGANG

PENGUMPUL II

KEBUTUHAN PANGAN

STABILITAS HARGA

IMPOR PANGAN PEMASOK DAERAH LAIN

PETANI PEDAGANG


(40)

2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah dan landasan teori yang dibuat, maka hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. Harga komoditi pangan cabai merah tidak stabil.


(41)

III METODOLOGI PENELITIAN

3.1Metode Penentuan Daerah Penelitian

Penelitian ini akan mempunyai lingkup cakupan yakni 9 pasar yang ada di kota medan dan ditentukan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan ke-9 pasar tersebut telah mewakili setiap daerah yang ada di Kota Medan. Pasar tersebut antara lain : pasar tradisional Petisah, pasar tradisional Pusat Pasar, pasar tradisional Sei kambing, pasar tradisional Kampung lalang, pasar tradisional Sukaramai, pasar tradisional Belawan, pasar tradisional Pulau Brayan, pasar tradisional Aksara, pasar Sambas.

3.2 Metode Penentuan Sampel 3.2.1 Pedagang Pengecer

Populasi dalam penelitian ini adalah pedagang pengecer yang menjual kepada konsumen akhir. Jumlah sampel adalah 90 orang.

Pemilihan sampel dalam penelitian ini mengunakan metode Simple Random Sampling yakni proses pengambilan sampel dimana anggota yang sudah dipilih tidak dapat dipilih lagi ( Sugiyono, 2006).

3.2.2 Pedagang Perantara

Di daerah penelitian terdapat kategori pedagang perantara yang terlibat dalam penyaluran atau distribusi komoditi pangan yaitu pedagang pengumpul, pedagang perantara I, pedagang perantara II, agen, dan pedagang besar. Penarikan sampel dilakukan dengan metode snow-ball sampling.


(42)

3.3 Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung melalui wawancara kepada tiap pedagang yang dijadikan sampel dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) yang dibuat terlebih dahulu. Sedangkan data sekunder merupakan data pelengkap yang diperoleh dari instansi atau lembaga terkait, serta literatur yang berhubungan dengan penelitian.

3.4 Metode Analisis Data

Untuk menyelesaikan masalah 1) dan 2), digunakan analisis deskriptif (dengan cara mengambarkan) yaitu dengan menganalisis:

1. Saluran distribusi yang dilalui dari pedagang pengumpul hingga ke pedangan pengecer di daerah penelitian.

2. Daerah luar Kota Medan yang memasok komoditi pangan ke Kota Medan.

Untuk menjawab identifikasi masalah no. 3, analisa dilakukan dengan menghitung persentase pasokan produk pangan dari setiap wilayah pemasok produk pangan ke Kota Medan. Dengan menggunakan rumus :

SP

=

∑P

x 100 %

∑ SU

Dimana; SP = Share Pasokan P = Pasokan

SU = Total seluruh pasokan

Untuk hipotesis (1) Stabilitas Harga (SH) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :


(43)

1

)

(

1 ___ 2

=

=

n

HRi

HRi

SDHRi

n i Keterangan:

SHi = Stabilitas Harga komoditas ke-i

I = 1,2,3...n

n = jumlah komoditas

dimana:

Stabilitas Harga (SH) di gambarkan dengan koefisien keragaman (CV) Stabilitas Harga ke i (SHi) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

CVHRi = Koefisien keragaman Realisasi untuk Harga komoditas ke-i

CVHTi = Koefisien keragaman Target untuk Harga komoditas ke-i

CVHRi dihitung dari rumus sebagai berikut :

Dimana :

SDHRi = Standar deviasi realisasi untuk Harga komoditas ke-i

n SHi SH n i

= = 1 % 100 2 x CVHTi CVHRi SHi      = % 100 _____ x HRi SDHRi CVHRi=


(44)

HRi = Realisasi harga komoditas ke-i

= Rata-rata realisasi Harga komoditas ke-i

Rata-rata harga komoditas pangan dihitung dengan rumus sebagai berikut:

(Permentan, 2010) _____

HRi

n HRi HRi

n

i

=

= 1


(45)

3.5 Definisi dan Batasan Operasional

Untuk memperjelas dan menghindari kesalahpahaman mengenai pengertian tentang istilah-istilah dalam penelitian, maka dibuat definisi dan batasan operasional sebagai berikut :

Definisi

1. Pangan adalah kebutuhan yang paling mendasar bagi sumber daya manusia suatu bangsa

2. Saluran adalah sekelompok pedagang dan agen perusahaan yang dalam pemindahan fisik dari suatu produk sampai pada konsumen akhir.

3. Pola distribusi adalah jalur yang dilalui oleh suatu komoditi mulai dari petani sampai kepada konsumen akhir.

4. Pedagang pengumpul adalah lembaga atau orang yang melaksanakan perdagangan dengan menyediakan jasa-jasa atau fungsi-fungsi khusus yang berhubungan dengan penjualan atau distribusi barang.

5. Pedagang besar adalah pedagang yang melakukan aktivitas dagang besar meliputi penjualan dan semua kegiatan yang langsung bertalian dengan penjualan barang-barang atau jasa-jasa kepada mereka yang membelinya dengan maksud untuk dijual kembali.

6. Pedagang eceran adalah pedagang menjual barang atau layanan secara langsung kepada konsumen akhir.

7. Konsumen adalah orang yang membeli untuk memenuhi kebutuhan pribadinya dan bukan untuk dibisniskan atau dijual.


(46)

8. Harga adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh konsumen kepada pedangang untuk memperoleh barang yang diinginkan, dinyatakan dalam satuan Rupiah (Rp)

Batasan Operasional

1. Penelitian dilakukan di Kota Medan pada 9 pasar tradisional yaitu : pasar

tradisional Petisah, pasar tradisional Pusat Pasar, pasar tradisional Sei kambing, pasar tradisional Kampung lalang, pasar tradisional Sukaramai,

pasar tradisional Belawan, pasar tradisional Pulau Brayan, pasar tradisional Aksara, pasar Sambas di Kota Medan.


(47)

IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN

4.1 Sejarah Kota Medan

Keberadaan Kota Medan saat ini tidak lepas dari dimensi historis yang panjang, dimulai dari dibangunnya Kampung Medan Putri tahun 1590 oleh Guru Patimpus, berkembang menjadi Kesultanan Deli pada tahun 1669 yang diproklamirkan oleh Tuanku Perungit yang memisahkan diri dari Kesultanan Aceh. Perkembangan Kota Medan selanjutnya ditandai dengan perpindahan ibukota Residen Sumatera utara dari bengkalis ke Medan pada tahun 1887, sebelum akhirnya statusnya diubah menjadi Gubernemen yang dipimpin oleh seorang Gubernur pada tahun 1915.

Secara historis, perkembangan Kota medan sejak awal memposisikannya menjadi jalur lalulintas perdagangan. Posisinya yang terletak di dekat pertemuan Sungai Deli dan Babura, serta adanya kebijakan Sultan Deli yang mengembangkan perkebunan tembakau dalam awal perkembangannya, telah mendorong berkembangannya Kota medan sebagai pusat perdagangan (eksor-impor) sejak masa lalu. Sedang dijadikannya Kota medan sebagai Ibukota Deli juga telah mendorong Kota medan berkembang menjadi pusat pemerintahan. Sampai saat ini, disamping merupakan salah satu daerah kota, juga sekaligus sebagai ibukota propinsi

4.2 Kondisi Geografis Kota Medan

Sebagai salah satu daerah otonom dengan status kota, maka kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis baik secara regional


(48)

sering digunakan sebagai tolak ukur dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Secara geografis Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian utara sehingga relative dekat dengan kota/negara yang lebih maju seperti Pulau Penang, Kuala Lumpur Malaysia, dan Singapura.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996 tentang pendefenitif 7 kelurahan Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1992 tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan Kotamadya Daerah Tingkat II, Medan dimekarkan kembali menjadi 21 kecamatan dengan 151 kelurahan dan 2.001 lingkungan.

Secara astronomis Kota Medan terletak pada posisi 3o30’–3o43’ Lintang Utara dan 98o35’–98o44’ Bujur Timur dengan luas wilayah 265,10 Km2. Sebagian besar wilayah Kota Medan merupakan dataran rendah dengan topografi yang cenderung miring ke utara dan menjadi tempat pertemuan dua sungai penting, yaitu Sungai Babura dan Sungai Deli.

Disamping itu, Kota Medan berada pada ketinggian 2,5–37,5 meter di atas permukaan laut dan secara administratif mempunyai batas wilayah sebagai berikut:

- Sebelah Utara : Kabupaten Deli Serdang dan Selat Malaka - Sebelah Selatan : Kabupaten Deli Serdang

- Sebelah Barat : Kabupaten Deli Serdang - Sebelah Timur : Kabupaten Deli Serdang


(49)

-4.3 Kondisi Demografis Kota Medan

Penduduk Kota Medan memiliki ciri penting yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota Medan bersifat terbuka. Secara demografi Kota Medan pada saat ini juga sedang mengalami masa transisi. Kondisi tersebut menunjukkan proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi menuju keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian semakin menurun. Berbagai faktor yang mempengaruhi proses penurunan tingkat kelahiran adalah perubahan pola pikir masyarakat dan perubahan sosial ekonominya. Di sisi lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga mempengaruhi tingkat kematian.

4.3.1 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk

Berdasarkan data BPS Kota Medan diketahui ada peningkatan jumlah penduduk Kota Medan dari 2.083.156 jiwa pada tahun 2007 menjadi 2.102.105 jiwa pada tahun 2008 dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,91%. Sedangkan pada tahun 2009, jumlah penduduk Kota Medan meningkat menjadi 2.121.053 jiwa atau tumbuh sebesar 0,90%. Laju pertumbuhan penduduk Kota Medan dapat dilihat pada Tabel 4.1

Tabel 4.1 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Medan Tahun 2007-2009

Tahun Jumlah

Penduduk

Laju Pertumbuhan Penduduk (%)

2005 2.036.185,00 1,50

2006 2.067.288,00 1,53

2007 2.083.156,00 0,77

2008 2.102.105,00 0,91

2009 2.121.053,00 0,90


(50)

4.3.2 Rasio Kepadatan Penduduk

Keadaan jumlah penduduk yang semakin meningkat di Kota Medan juga menyebabkan peningkatan rasio kepadatan penduduk. Hal ini dikarenakan luas wilayah Kota Medan tidak mengalami perubahan (tetap). Pada tabel 4.2 dapat dilihat bahwa rasio kepadatan penduduk Kota Medan mengalami peningkatan dari 7.858 jiwa/Km2 pada tahun 2007 menjadi 7.929 jiwa/Km2 pada tahun 2008 dan meningkat kembali menjadi 8.001 jiwa/Km2 pada tahun 2009. Kecendrungan semakin menyempitnya luas lahan berpeluang menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Tabel 4.2 Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Kota Medan Tahun 2007-2009

Indikator Tahun

2007 2008 2009

Luas Wilayah (Km2) 265,10 265,10 265,10

Kepadatan Penduduk 7.858 7.929 8.001

Sumber : BPS Kota Medan, 2010

4.3.3 Struktur Penduduk

Struktur penduduk pada suatu daerah sangat ditentukan oleh perkembangan tingkat kelahiran, kematian dan migrasi. Jika angka kelahiran pada suatu daerah cukup tinggi, maka dapat mengakibatkan daerah tersebut tergolong sebagai daerah penduduk usia muda. Keadaan struktur penduduk Kota Medan dapat dilihat pada Tabel 4.3.


(51)

Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Menurut Kolompok Umur dan Jenis Kelamin di Kota Medan Tahun 2009

Golongan Umur

Laki-laki Perempuan Jumlah

Jiwa % Jiwa % Jiwa %

0 – 4 85.479 8.15 92.031 8.59 177.510 8.37

5 – 9 92.938 8.86 95.831 8.94 188.769 8.90

10 – 14 93.816 8.94 101.718 9.49 195.534 9.22 15 – 19 112.384 10.71 102.112 9.53 214.496 10.11 20 – 24 118.376 11.28 123.835 11.56 242.211 11.42 25 – 29 101.077 9.63 105.293 9.83 206.370 9.73

30 – 34 85.089 8.11 72.358 6.75 157.447 7.42

35 – 39 75.751 7.22 88.369 8.25 164.120 7.74

40 – 44 77.067 7.34 77.986 7.28 155.053 7.31

45 – 49 57.601 5.49 51.876 4.84 109.477 5.16

50 – 54 47.369 4.51 52.936 4.94 100.305 4.73

55 – 59 36.150 3.44 38.715 3.61 74.865 3.53

60 – 64 27.363 2.61 23.351 2.18 50.714 2.39

65 -69 21.220 2.02 19.092 1.78 40.312 1.90

70-74 11.793 1.12 13.230 1.23 25.023 1.18

75+ 5.984 0.57 12.863 1.20 18.847 0.89

Jumlah 1049.457 100,00 1071.596 100,00 2121.053 100,00

Sumber : BPS Kota Medan, 2010

4.4 Kota Medan Secara Ekonomi

Pada hakekatnya pembangunan ekonomi daerah adalah serangkaian usaha dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan kerja dan pemerataan pembagian pendapatan masyarakat. Kinerja pembangunan ekonomi daerah mempunyai peranan yang amat penting karena keberhasilan di bidang ekonomi dapat menyediakan sumber daya yang lebih luas bagi pembangunan daerah di bidang lainnya. Oleh karena itu aspek ekonomi secara umum dijadikan salah satu ukuran penting untuk menilai kamajuan, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat daerah.


(52)

Peranan atau kontribusi sektor ekonomi menunjukkan besarnya kemampuan masing-masing sektor ekonomi dalam menciptakan nilai tambah dan menggambarkan ketergantungan daerah terhadap kemampuan memproduksi barang dan jasa dari masing-masing sektor ekonomi. Untuk mengetahui struktur perekonomian Kota Medan dapat dilihat dari kontribusi setiap sektor dalam pembentukan PDRB menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku.

Tabel 4.4 Struktur Perekonomian Kota Medan Tahun 2007-2009

Kelompok Sektor Kontribusi Terhadap PDRB (%) 2007 2008 2009

Primer 2,85 2,87 2,73

a. Pertanian 2,84 2,86 2,72

b. Pertambangan dan Penggalian 0,01 0,01 0,01 Sekunder 27,93 27,26 26,50 a. Industri Pengolahan 16,28 15,98 15,09 b. Listrik, Gas dan Air Bersih 1,88 1,73 1,79

c. Bangunan 9,77 9,56 9,63

Tersier 69,21 69,87 70,76 a. Perdagangan, Hotel dan Restoran 25,44 25,94 25,79 b. Pengangkutan dan Komunikasi 19,02 19,09 19,47 c. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 14,13 14,53 14,73 d. Jasa-jasa 10,63 10,30 10,77 Jumlah 100,00 100,00 100,00

Sumber : BPS Kota Medan, 2010

Berdasarkan Tabel 4.4, struktur ekonomi Kota Medan relatif tidak mengalami pergeseran selama periode 2007–2009. Untuk sektor perdagangan, perhotelan, dan restoran yang merupakan sektor yang paling besar peranannya terhadap pembentukan PDRB Kota Medan diikuti sektor pengangkutan dan telekomunikasi. Selanjutnya sektor industri pengolahan dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor jasa-jasa dan sektor bangunan(konstruksi). Sedangkan sektor ekonomi yang berkontribusi paling


(53)

rendah adalah sektor pertambangan dan penggalian, diikuti sektor listrik, gas dan air minum serta sektor pertanian.

4.5 Kota Medan Secara Sosial

Kondisi sosial yang terbagi atas pendidikan, kesehatan, kemiskinan, keamanan dan ketertiban, agama dan lainnya, merupakan faktor penunjang dan penghambat bagi pertumbuhan ekonomi Kota Medan.

Tingkat partisipasi pendidikan di Kota Medan cenderung menunjukkan peningkatan akses pendidikan masyarakat yang ditandai dengan tingkat kesadaran masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang semakin meningkat. Selain itu, indikator lain yang dapat digunakan untuk menilai kemajuan penyelenggaraan pendidikan dapat dilihat dari angka partisipasi sekolah (APS) menurut usia sekolah.

IPM (Indeks Pembangunan Masyarakat) Kota Medan mengalami peningkatan selama periode 2007-2009. Peningkatan IPM Kota Medan mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat cenderung semakin membaik. Selain itu, peningkatan ini juga meningkatkan daya beli masyarakat dan pendapatan masyarakat sehingga mampu meningkatkan derajat kesehatan dan tingkat pendidikan yang ditandai dengan bertambahnya usia harapan hidup, rata-rata lama sekolah dan meningkatnya konsumsi (daya beli) per kapita masyarakat Kota Medan.

Jumlah penduduk usia sekolah Kota Medan selama periode 2007-2009 menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun untuk seluruh kolompok usia sekolah.Kondisi sosial Kota Medan dapat dilihat pada Tabel 4.5 berikut ini


(54)

Tabel 4.5 Statistik Pembangunan Kota Medan Tahun 2007-2009

Indikator Satuan Tahun

2007 2008 2009 APK (Angka Partisipasi Kasar)

- SD/MI Persen (%) 112,18 112,85 113,52

- SMP/MTS Persen (%) 98,36 98,49 98,52

- SMA/MA Persen (%) 89,34 89,59 90,84

APM (Angka Partisipasi Murni)

- SD/MI Persen (%) 91,79 92,54 93,29

- SMP/MTS Persen (%) 76,18 77,53 78,88

- SMA/MA Persen (%) 64,71 65,51 66,31

APS (Angka Partisipasi Sekolah)

- 7 – 12 Persen (%) 99,31 99,50 99,70

- 13 – 15 Persen (%) 94,04 96,00 97,00

- 16 – 18 Persen (%) 79,21 81,00 82,00

- 19 – 24 Persen (%) 24,19 26,00 27,00

Angka Kelahiran Total (TFR) Persen (%) 2,13 2,11 2,01

Angka Harapan Hidup Tahun 71,10 71,20 71,50

Angka Kematian Bayi (IMR) Persen (%) 13,80 10,50 9,80

Rata-rata Anak Lahir Hidup Orang 1,31 1,33 1,31

Rata-rata Anak Masih Hidup Orang 1,29 1,29 1,29

Angka Kesakitan Umum Persen (%) 20,13 20,15 18,00

IPM (Indeks Pembangunan Masyarakat) Persen (%) 75,60 76,00 76,60

Sumber : BPS Kota Medan

Dari Tabel 4.5, juga dapat diketahui bahwa angka kelahiran total (TFR) mengalami penurunan dari tahun 2007-2008, Penurunan ini mengindikasikan bahwa kesadaran masyarakat untuk ikut serta dalam program Keluarga Berencana semakin meningkat.


(55)

V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pola distribusi dan Jumlah Pasokan

Pola distribusi pangan Kota Medan memiliki banyak pola, mulai dari pola distribusi sederhana yaitu petani ke pedangang pengumpul dan langsung di jual kepada konsumen, dan pola distribusi yang sangat panjang yaitu dari petani ke pedagang pengumpul desa dan didistribusikan kepada pedagang pengumpul yang akan menjual ke Kota Medan, kemudian disalurkan kepada pedagang besar atau grosir dan diteruskan kepada pedagang pengecer yang ada diseluruh pasar tradisional yang ada di Kota Medan, dan akhirnya dapat dinikmati oleh seluruh konsumen atau masyarakat yang ada di Kota Medan.

Jumlah pasokan yang masuk ke Kota Medan harus melalui jembatan timbang, jembatan timbang yang ada di provinsi Sumatera Utara berjumlah 13 buah yaitu jembatan timbang Gebang, jembatan timbang Sibolangit, Jembatan timbang Tanjung Morawa I dan II, jembatan timbang Dolok Merangir, jembatan timbang Simpang Dua, jembatan timbang Dolok Estate, jembatan timbang Aek Kanopan, jembatan timbang Aek Batu, jembatan timbang Simpang runding, jembatan timbang Jembatan Merah, jembatan timbang Sabungan, dan Jembatan timbang PAL XI.

Menurut data yang ada dari ke-13 jembatan timbang yang ada di Sumatera Utara, hanya 7 jembatan timbang yang mempunyai catatan tentang jumlah pasokan dan daerah asal pemasok yang masuk ke Kota Medan. Ke-7 jembatan timbang itu adalah : jembatan timbang Gebang, Aek Batu, tanjung Morawa I, Sibolangit, Simpang Dua, Sambungan, dan jembatan timbang Aek Kanopan.


(56)

Komoditi Cabai Merah

Gambar 5.1. Pola Distribusi Cabai Merah Di Kota Madya Medan

195 ton (33, 86%) Tanah Karo 371 ton (64,08%) PETANI PETANI PETANI PEDAGANG PENGUMPUL 13 ton (2,25%) PETANI PEDAGANG PENGUMPUL Indrapura Takengon PETANI PETANI PETANI PEDAGANG PENGUMPUL PETANI PETANI KONSUME 597 Ton/Bln (100%) PEDAGANG PEDAGANG PENGECER DI PASAR TRADISIONAL Pedagang Pengumpul di pasar Sentral


(57)

Pemenuhan kebutuhan cabai merah di Kota Medan diperoleh dari 3 daerah sentral produksi yaitu dari Tanah Karo, Indrapura dan Takengon (Aceh). Terdapat 2 pola distribusi dalam penyaluran cabai merah sampai kepada konsume, yaitu :

1. Produksi cabai merah dari ketiga daerah produksi dijual oleh petani kepada pedagang pengumpul yang ada di daerah produksi, kemudian para pedagang pengumpul secara langsung menjual kepada pedagang besar / distributor yang ada di pasar sentral dan baru dipasarkan oleh pedagang pengecer yang ada di seluruh pasar tradisional di Kota Medan kepada seluruh konsumen cabai merah.

2. Produksi cabai merah dari ketiga daerah produksi dijual oleh petani kepada pedagang pengumpul yang ada di daerah produksi, kemudian para pedagang pengumpul secara langsung menjual kepada pedagang besar / distributor yang ada di pasar sentral dan langsung dibeli oleh konsumen yang secara langsung datang ke pusat pasar.

Jalur distribusi atau mata rantai pemasaran komoditi cabai merah tergolong singkat dan efisien karena lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses pemasaran sedikit sehingga harga yang sampai kepada konsumen juga tidak terlalu mahal.

Berdasarkan proyeksi kebutuhan tahun 2010 dengan jumlah penduduk 2.121.053 jiwa maka kebutuhan konsumsi cabai di kota Medan adalah 395,2 Ton/bulan, ini dapat dilihat dari Tabel 5.1 Proyeksi kebutuhan komoditi cabai merah.


(58)

5.1. Tabel proyeksi kebutuhan komoditi cabai merah

Kecamatan Jumlah

Kebutuhan Cabe Merah Gr/hr/org Kg/Bulan

Medan Tuntungan 70.073 6.21 13.054,60

Medan Johor 116.220 6.21 21.651,79

Medan Amplas 115.156 6.21 21.453,56

Medan Denai 139.939 6.21 26.070,64

Medan Area 109.253 6.21 20.353,83

Medan Kota 84.292 6.21 15.703,60

Medan Maimun 57.859 6.21 10.779,13

Medan Polonia 53.427 6.21 9.953,45

Medan Baru 44.216 6.21 8.237,44

Medan Selayang 85.678 6.21 15.961,81

Medan Sunggal 110.667 6.21 20.617,26

Medan Helvetia 145.376 6.21 27.083,55

Medan Petisah 68.120 6.21 12.690,76

Medan Barat 79.098 6.21 14.735,96

Medan Timur 113.874 6.21 21.214,73

Medan Perjuangan 105.702 6.21 19.692,28

Medan Tembung 141.786 6.21 26.414,73

Medan Deli 150.076 6.21 27.959,16

Medan Labuhan 106.922 6.21 19.919,57

Medan Marelan 126.619 6.21 23.589,12

Medan Belawan 96.700 6.21 18.015,21

TOTAL 395.152,17

Sumber : Badan Ketahanan Pangan Kota Medan 2010

Dengan jumlah kebutuhan yang sangat besar maka Kota Medan dengan luas lahan yang sudah banyak dikonversikan sebagai lahan perumahan atau daerah pemukiman dan bukan sebagai daerah sentral produksi cabai merah, maka Kota Medan membutuhkan daerah lain sebagai pemasok untuk memenuhi kebutuhan. Daerah produksi yang memasok cabai merah ke Kota Medan adalah Takengon, Tanah Karo dan Indrapura. Persentase masing-masing daerah produksi adalah Takengon 2,25% (13 ton), Tanah Karo 64,08% (371 ton) dan Indrapura 33,68%


(59)

(195 ton). Jumlah pasokan kebutuhan dari ketiga daerah tergantung pada musim panen di daerah masing-masing.

Tabel 5.2. Jumlah Pasokan komoditi cabai merah pada bulan juli 2011

Asal Jumlah (Ton) Persentase

Takengon 13 2,25

T.Karo 371 64,08

Indrapura 195 33,68

Total 579 100,00

Sumber : Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Utara dan Pengolahan data sekunder

Jumlah pasokan cabai merah memenuhi semua kebutuhan masyarakat yang ada di Kota Medan dan jumlah pasokan yang masuk ke Kota Medan lebih besar dari kebutuhan masyarakat Kota Medan. Kelebihan jumlah pasokan cabai merah yang masuk ke Kota Medan juga di distribusikan ke daerah lain yaitu Rantau Prapat dan Pekan Baru oleh pedagang besar.

Kelebihan jumlah pasokan cabai merah yang sudah tidak dapat dijual lagi akibat rusak dan menurunan kualitas, juga dimanfaatkan oleh pengelolah cabai yang ada di Kota Medan untuk di jadikan sebagai bahan dasar pembuatan saos cabai merah yang memiliki kualitas yang sangat rendah, biasanya hasil pengolahan didistribusikan kepada para pedagang yang menjual makanan ringan seperti gorengan dan pedagang bakso yang berjualan di pinggir jalan.


(60)

Komoditi Telur

Gambar 5.2.Pola distribusi Telur di Kota Medan PETERNAK PERBAUNGAN PETERNAK PANTAI LABU PEDAGANG PENGUMPUL PEDAGANG BESAR PEDAGANG BESAR 1747 Ton/bln 89,58% 138,75 Ton/bln 7,11% 54 Ton/bln 2,77% PEDAGANG PENGUMPUL PEDAGAN G PENGECER DI PASAR TRADISION PEDAGANG

PENGUMPUL PEDAGANG

PETERNAK PATUMBAK KONSUME 10,5 Ton/bln PETERNAK BLARANG PEDAGANG

PENGUMPUL PEDAGANG


(61)

Telur merupakan bahan pangan yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena merupakan sumber protein yang besar dan berharga ekonomis. Telur yang beredar di pasaran memiliki ukuran yang sangat beragam dengan harga yang berbeda-beda, telur yang diteliti merupakan telur yang berukuran besar (1 kg berjumlah 16 butir).

Kota Medan merupakan daerah yang memiliki jumlah penduduk yang sangat padat sehingga peternakan unggas untuk menghasilkan telur sangat dilarang karena akan mengganggu kesehatan masyarakat yang ada di sekitar, sehingga banyak peternak yang mencari daerah luar kota yang masih memiliki daerah yang cukup luas untuk beternak dan jauh dari pemukiman penduduk.

Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi telur maka ada 4 daerah yang menjadi pemasok telur ke Kota Medan yaitu Blarang, Patumbak, Pantai Labu dan Perbaungan. Untuk mendistribusikan telur ke Kota Medan maka ada satu pola distribusi yang sering digunakan yaitu peternak menjual produk telurnya kepada pedagang pengumpul di masing-masing daerah ( Blarang, Patumbak, Perbaungan dan Pantai labu ) kemudian produk dijual kepada pedagang besar yang akan mendistribusikan barang dagangan yang berupa telur kepada pedagang pengecer yang ada di Kota Medan, setelah itu produk akan dibeli oleh masyarakat yang berada di dekat pasar tradisional yang tersebar di seluruh daerah Kota Medan.

Sesuai dengan perhitungan proyeksi kebutuhan telur ayam 2010 yaitu 27,83 gr/hari dengan jumlah penduduk yang berjumlah 2.121.053 jiwa maka kebutuhan konsumsi Kota Medan adalah 1.770,9 ton/bulan. Kebutuhan konsumsi telur dapat dilihat pada Tabel 5.3 dibawah ini.


(62)

5.3. Tabel Proyeksi Kebutuhan Konsumsi Telur Ayam 2011

Kecamatan Jumlah

Kebutuhan Telur Gr/hr/org Kg/bln

Medan Tuntungan 70.073 27.83 58.503,95

Medan Johor 116.220 27.83 97.032,08

Medan Amplas 115.156 27.83 96.143,74

Medan Denai 139.939 27.83 116.835,07

Medan Area 109.253 27.83 91.215,33

MedanKota 84.292 27.83 70.375,39

Medan Maimun 57.859 27.83 48.306,48

Medan Polonia 53.427 27.83 44.606,20

Medan Baru 44.216 27.83 36.915,94

Medan Selayang 85.678 27.83 71.532,56

Medan Sunggal 110.667 27.83 92.395,88

MedanHelvetia 145.376 27.83 121.374,42

Medan Petisah 68.120 27.83 56.873,39

Medan Barat 79.098 27.83 66.038,92

Medan Timur 113.874 27.83 95.073,40

Medan Perjuangan 105.702 27.83 88.250,60

Medan Tembung 141.786 27.83 118.377,13

Medan Deli 150.076 27.83 125.298,45

Medan Labuhan 106.922 27.83 89.269,18

Medan Marelan 126.619 27.83 105.714,20

Medan Belawan 96.700 27.83 80.734,83

TOTAL 1.770.867,15

Sumber :

Setelah melakukan penelitian maka diperoleh 4 daerah yang memasok telur ke Kota Medan yaitu : Blarang, Pantai Labu, Patumbak dan perbaungan. Dengan masing-masing memberikan konstribusi sebesar Perbaungan 1747 ton / bulan (89,58%), Blarang 138,75 ton/bulan (7,11%), Pantai Labu 10,5 Ton/Bulan dan Patumbak sebesar 54 Ton / bulan (2,77%). Secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel dibawah ini.


(1)

5.2Stabilitas Harga

Tabel 5.18 Harga Rata-rata, SDH dan CVH Semua komoditi pangan

KOMODITI HARGA RATA-RATA SDH CVH

BERAS 7.779,- 0.224 2.879

DAGING SAPI 69.457,- 3.023 4.352

DAGING AYAM 22.635,- 1.736 7.671

TELUR 959,- 0,021 2.219

CABAI MERAH 9.281 2.737 29.485

Sumber: Data Diolah Dari lampiran

Dari table harga rata, SDH dan CVH dapat kita lihat bahwa harga rata-rata beras selama bulan Mei-Agustus adalah Rp 7.779, harga rata-rata-rata-rata daging sapi selama bulan Mei-Agustus adalah Rp 69,457, harga rata-rata daging ayam selama bulan Agustus adalah Rp 22,635, harga rata-rata telur selama bulan Agustus adalah Rp 959, dan harga rata-rata cabai merah selama bulan Mei-Agustus adalah Rp 9.281,-.

Nilai standart deviasi masing-masing komoditi adalah beras dengan nilai SDH 0.224 , daging sapi dengan nilai SDH 3.023 , daging ayam dengan nilai SDH 1.736 , telur dengan nilai SDH 0,021, dan cabai merah dengan nilai SDH 2..737..


(2)

perubahan harga semakin besar pula, dan sebaliknya jika nilai standard deviasi semakin kecil maka harga komoditi pangan cenderung tidak berubah.

Nilai CVH untuk masing-masing komoditi adalah beras dengan nilai kofisien keragaman 2.789 , daging sapi dengan nilai kofisien keragaman 4.352 , daging ayam dengan nilai kofisien keragaman 7.671 , telur dengan nilai kofisien keragaman 2.219, dan cabai merah dengan nilai kofisien keragaman 29.485.

Dari nilai koefisien keragaman atau CVH diketahui bahwa stabilitas harga semua komoditi dapat dikatakan stabil kecuali komoditi cabai merah yang mencapai angka koefisien 29.485, angka yang telah melewati 25%. Sesuai dengan peraturan dinas pertanian tentang stabilitas harga maka komoditas cabai merah dikatakan tidak stabil.


(3)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1KESIMPULAN

1. Pola distribusi pangan dinilai sudah cukup bagus, kecuali untuk komoditi beras khususnya dari BULOG. Banyak masyarakat miskin yang tidak menerima bantuan beras miskin ini disebabkan pemberian yang tidak dibarengi dengan pengawasan terhadap pendistribusian beras kepada masyarakat.

2. Daerah yang memasok cabai merah ke Kota Medan adalah Takengon (Aceh), Tanah Karo dan Indrapura. Daerah yang memasok daging sapi ke Kota Medan adalah Lubuk Pakam, Jakarta, New Zealand dan Australia. Daerah yang memasok daging Ayam ke Kota Medan adalah Perbaungan dan Deli Serdang. Daerah yang memasok telur ke Kota Medan adalah perbaungan, Blarang, Pantai Labu, dan Patumbak. Daerah yang memasok beras ke Kota Medan adalah Rantau Prapat, Simalungun, Deli Serdang, Bagan Batu, Ashan, Pantai labu, Perbaungan, Dairi, Medan dan BULOG.

3. Jumlah dan share pasokan cabai merah Kota Medan adalah Takengon 2,25% (13 ton), Tanah Karo 64,08% (371 ton) dan Indrapura 33,68% (195 ton). Jumlah dan share pasokan daging sapi Kota Medan adalah Jakarta 95,8%


(4)

Kota Medan adalah Perbaungan 1747 ton / bulan (89,58%), Blarang 138,75 ton/bulan (7,11%), Pantai Labu 10,5 Ton/Bulan dan Patumbak sebesar 54 Ton / bulan (2,77%). Jumlah dan share pasokan beras Kota Medan adalah Rantau Prapat 30,96 % (7.109 Ton), Simalungun 21,4% (4.919,26 Ton), Deli Serdang 17,3% (3.973,1 Ton), Bulog 7,36 % (1.690 Ton), Bagan Batu 6 % (1.254,95 Ton), Asahan 11,60 % (2.163,47 Ton), Medan 3,76% (864,32 Ton). Pantai Labu 1,13 % (260 Ton), Perbaungan 0,94 % (215,69 Ton), dan Dairi 0,05% (10,66 Ton).

4. Stabilitas seluruh komoditi pangan dinilai sudah stabil, kecuali komoditi cabai merah yang memiliki koefisien yang melebihi batas, sehingga komoditi cabai merah merupakan komoditi yang tidak stabil dalam harga.

6.2SARAN

1. Kepada Pemerintah

Diharapkan pengawasan terhadap distribusi beras miskin atau RASKIN lebih di perketat sehingga tidak terjadi penyalahgunaan yang menyebabkan banyak warga miskin tidak memperoleh hak mereka.

2. Kepada Lembaga yang terlibat dalam pendistribusian

Diharapkan semua lembaga yang ikut andil dalam pendistribusian komoditi pangan dapat berperan aktif terhadap kelancaran pendistribusian dan jangan melakukan penyimpanan barang untuk menaikkan harga di pasaran.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Angipora, Marius P. 1999. Dasar-dasar Pemasaran. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Aritonang, I. 2000. Krisis Ekonomi : Akar Masalah Gizi. Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta.

Anonimus 2006. Kemiskinan dan Konversi Lahan. http://www.bapeda-jabar.go.id Anonimus. 2011. Distribusi pangan

Ashari, 2003.Tinjauan Tentang Ahli Fungsi Lahan Sawah Ke Non Sawah dan Dampaknya di Pulau Jawa.

http://pse.litbang.deptan.go.id/publikasi/FAE_21_2_2003_0.pdf.

BKP Kota Medan. 2010. Analisis dan Penyusunan Pola Konsumsi dan Supply Pangan Kota Medan.

BPS Kota Medan. 2008. Luas Areal Lahan Sawah Kota Medan Perkecamatan. Daniel, Moehar. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. Bumi Aksara, Jakarta. Dillon, H.S. 1998. Manajemen Distribusi Produk-Produk Agroindustri.

http://netseminar.tripod.com/dillon.htm.

Fauzi, 2002. Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian di Daerah Pinggiran Kota (Studi Kasus di Kab.Tangerang dan Bekasi). IPB Press. Bogor.

Gultom, G.L.T. 1996. Tata Niaga Pertanian. USU-Press, Medan.

Ilham, dkk, 2003. Perkembangan dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Konversi Lahan Sawah Serta Dampak Ekonominya. IPB Press. Bogor.

Laurensius, Ferry. 2010. Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kota Medan Tahun 2011. ferrylaurensius.files.wordpress.com/2010/10/prioritas-8-10.docx. Mursid. 2003. Manajemen Pemasaran. Bumi Aksara, Jakarta.


(6)

Prasetyo, Edy dan Mukson. 2003. Kajian Pemasaran Produk Pangan Olahan. Penerbit Universitas Diponegoro. Jawa Tengah.

Prayitno, H dan Umar Burhan. 1987. Pembangunan Ekonomi Pedesaan. BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta .

Rahardi, F., Y.H. Indriani, dan Haryono. 1993. Agribisnis Tanaman Buah. Penebar Swadaya, Jakarta.

Royan, F.M. 2004. Winning in The Battle with Distribution Strategy. Andi, Yogyakarta.

Saladin, Djaslim. 1996. Unsur-Unsur Inti Pemasaran dan Manajemen

Pemasaran. Mandar Maju, Bandung.

Sihombing, L. 2010. Tataniaga HasilPertanian. Medan : USU Press.

Simamora, Bilson. 2001. Memenangkan Pasar dengan Pemasan Efektif dan Profitabel. PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta.

Sitorus, S.R.P. 2001. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Edisi Kedua. Lab. Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Sudiyono, Armand. 2002. Pemasaran Pertanian. UMM, Malang. Sudiyono, Armand. 2004. Pemasaran Pertanian. UMM, Malang.

Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Bisnis. Bandung : Penerbit CV. Alfabeta Suryana, Achmad. 2004. Kapita Selekta Ketahanan Pangan. BPFE-Yogyakarta,

Yogyakarta.

Sutawi. 2007. Menagih Realisasi Janji-janji Presiden yang Peduli Pertanian. UMM Press, Malang.

Swastha, Baru. 1990. Azaz-azaz Marketing. Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Swastha, Basu. 1999. Saluran Pemasaran Konsep dan Strategi Analisis Kuantitatif. BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta.