Pengaruh Budaya Organisasi dan Iklim Organisasi terhadap Motivasi Berprestasi Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah Porsea Tahun 2011

28

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Teori tentang Motivasi

2.1.1. Pengertian Motivasi
Motivasi berasal dari bahasa latin movere

yang berarti mendorong atau

menggerakkan. Motivasi (motivation) dalam manajemen hanya ditujukan pada
sumber daya manusia umumnya dan bawahan khususnya.
Menurut Hasibuan (2003) motivasi adalah pemberian daya penggerak yang
menciptakan kegairahan kerja seseorang, agar mau bekerja sama, bekerja efektif dan
terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk mencapai kepuasan. Peterson dan
Plowman sebagaimana dikutip Hasibuan (2003), menyatakan bahwa seseorang akan
bekerja keras dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya antara

lain ; (1) the desire to live, artinya keinginan untuk hidup merupakan keinginan utama
dari setiap orang, (2) the desire for possession, artinya keinginan untuk memiliki
sesuatu, (3) the desire for power, artinya keinginan akan kekuasaan,(4) the desire for
recognition, artinya keinginan akan pengakuan.
Keinginan atau desire seseorang yang dijabarkan di atas, untuk bekerja
kerasnya perawat pelaksana yang ada di Rumah Sakit Umum Daerah Porsea masih
mengarah ke the desire for possesion, hal ini disebabkan perawat pelaksana bekerja
hanya melaksanakan tugas yang sudah ditentukan oleh perawat perencana. Sehingga
perawat pelaksana bekerja keras untuk memiliki sesuatu, meliputi kebutuhan primer

Universitas Sumatera Utara

29

seperti sandang, pangan, papan dan perumahan. Keinginan perawat pelaksana ini
belum sampai pada tahap keinginan untuk berkuasa ataupun keinginan untuk
pengakuan.
Setiap pekerja mempunyai motif (wants) tertentu dan mengharapkan kepuasan
dari hasil pekerjaannya. Kebutuhan (needs) dan keinginan (wants) yang dipuaskan
dengan bekerja itu adalah ; (1) kebutuhan fisik dan keamanan: menyangkut kepuasan

kebutuhan fisik (biologis), seperti makan, minum, tempat tinggal, di samping
kebutuhan akan rasa aman dalam menikmatnya, (2) kebutuhan sosial : karena
manusia saling tergantung satu sama lain, maka terdapat berbagai kebutuhan yang
hanya dapat terpuaskan bila masing-masing individu ditolong atau diakui oleh orang
lain, (3) kebutuhan egoistik : ini berhubungan dengan keinginan orang untuk bebas
mengerjakan sesuatu sendiri dan puas karena berhasil menyelesaikannya dengan baik.
Motivasi berprestasi menurut McClelland dalam Hasibuan (2003) adalah ;
(1) motivasi power, yaitu dorongan untuk mempengaruhi orang lain dan situasi
lingkungan (klien), (2) motivasi affiliation, yaitu merupakan dorongan untuk
berhubungan dengan orang lain atas dasar pelayanan, (3) motivasi reward, yaitu
dorongan unutk mendapat imbalan tertentu.
Menurut McClelland dalam Mangkunegara (2005) terdapat 6 (enam)
karakteristik orang yang mempunyai motif berprestasi tinggi, yaitu ; (1) Memiliki
tingkat tanggungjawab pribadi yang tinggi, (2) berani mengambil dan memikul
resiko, (3) memiliki tujuan yang realistis, (4) memiliki rencana kerja yang
menyeluruh dan berjuang merealisasikan tujuan, (5) memanfaatkan umpan balik yang

Universitas Sumatera Utara

30


konkrit dalam semua kegiatan yang dilakukan, (6) mencari kesempatan untuk
merealisasikan rencana yang telah diprogramkan.
2.1.2. Teori Motivasi
Teori motivasi merupakan teori-teori yang membicarakan bagaimana motivasi
manusia dalam melaksanakan pekerjaan dan mencapai tujuan, yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor pembentuk terciptanya motivasi. Menurut Gibson et.al (2006), secara
umum mengacu pada 2 (dua) kategori :
1. Teori kepuasan (Content Theory), yang memusatkan perhatian kepada faktor
dalam diri orang yang menguatkan (energize), mengarahkan (direct), mendukung
(sustain) dan menghentikan (stop) perilaku petugas.
2. Teori proses (Process Theory), menguraikan dan menganalisa bagaimana perilaku
itu dikuatkan, diarahkan, didukung dan dihentikan.
Menurut Gibson et.al (2006), mengelompokkan teori motivasi sebagai
berikut:
1. Teori kepuasan terdiri dari ; (a) teori Hirarki kebutuhan dari Abraham Maslow, (b)
teori Dua Faktor dari Frederick Herzberg, (c) teori ERG (Existence, Relatedness,
Growth) dari Alderfer, (d) teori prestasi dari McClelland.
2. Teori Proses terdiri dari ; (a) teori harapan, (b) teori pembentukan perilaku, (c)
teori keadaan.

Teori Kebutuhan (motivasi berprestasi) dari David McClelland. Teori ini
berfokus pada 3 kebutuhan. Hal-hal yang memotivasi seseorang menurut McClelland
dalam Robbin (2006), adalah :

Universitas Sumatera Utara

31

a) Kebutuhan akan prestasi (Need for achievement)
Kebutuhan akan prestasi diartikan sebagai dorongan untuk melebihi,
mencapai standar-standar, berusaha keras untuk berhasil. Kebutuhan akan prestasi
merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang untuk
mengembangkan kreativitas dan mengarahkan semua kemampuan serta energi yang
dimilikinya guna mencapai prestasi yang maksimal. Hanya dengan mencapai prestasi
kerja yang tinggi akan memperoleh pendapatan yang besar, yang akhirnya dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Beberapa individu memiliki dorongan yang kuat untuk berhasil. Individu ini
lebih berjuang untuk memperoleh pencapaian pribadi daripada memperoleh
penghargaan dan memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik
atau lebih efisien dibandingkan sebelumnya. McClelland menemukan bahwa individu

dengan prestasi tinggi membedakan diri dari individu lain menurut keinginan untuk
melakukan hal-hal dengan lebih baik. Individu dengan karakter ini mencari situasi
dimana bisa mendapatkan tanggung jawab pribadi guna mencari solusi atas berbagai
masalah, bisa menerima umpan balik yang cepat tentang kinerja sehingga dapat
dengan mudah menentukan berkembang atau tidak, dan bisa menentukan tujuantujuan yang cukup menantang. Lebih menyukai tantangan menyelesaikan sebuah
masalah dan menerima tanggung jawab pribadi untuk keberhasilan atau kegagalan
daripada menyerahkan hasil pada kesempatan atau tindakan individu lain. Individu
dengan prestasi tinggi lebih menyukai tugas-tugas dengan kesulitan tingkat
menengah.

Universitas Sumatera Utara

32

Individu berprestasi tinggi tampil dengan sangat baik ketika merasa
kemungkinan berhasil adalah 0,5 yaitu, ketika memperkirakan bahwa

memiliki

kesempatan 50-50 untuk berhasil. Individu ini tidak suka berspekulasi dengan

ketidaktetapan yang tinggi karena tidak mendapatkan pencapaian kepuasan dari
keberhasilan yang kebetulan. Demikian pula, tidak menyukai ketidaktetapan rendah
(kemungkinan untuk berhasil) karena nantinya tidak akan ada tantangan untuk
keterampilan-keterampilan mereka. Individu berprestasi tinggi menentukan tujuantujuan yang mengharuskan mereka berjuang.
b) Kebutuhan akan kekuasaan (Need for power)
Kebutuhan akan kekuasaan adalah keinginan untuk memiliki pengaruh,
menjadi yang berpengaruh, dan mengendalikan individu lain. Kebutuhan akan
kekuasaan merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang.
Merangsang dan memotivasi gairah kerja seseorang serta mengerahkan semua
kemampuannya demi mencapai kedudukan atau kekuasaan yang terbaik. Seseorang
dengan kebutuhan kekuasaan tinggi akan bersemangat bekerja apabila bisa
mengendalikan orang yang ada disekitarnya. Individu dengan need for power yang
tinggi suka bertanggung jawab, berjuang untuk memengaruhi individu lain, senang
ditempatkan dalam situasi yang kompetitif dan berorientai status, serta cenderung
lebih khawatir dengan wibawa dan mendapatkan pengaruh atas individu lain denga
kinerja yang lebih efektif.

Universitas Sumatera Utara

33


c) Kebutuhan akan afiliasi (Need for affiliation)
Kebutuhan akan afiliasi menjadi daya penggerak yang memotivasi semangat
bekerja seseorang. Kebutuhan akan afiliasi akan merangsang gairah kerja seseorang
yang menginginkan kebutuhan akan perasaan diterima orang lain, perasaan dihormati,
perasaan maju dan tidak gagal, dan perasaan ikut serta. Individu dengan motif
hubungan yang tinggi berjuang unutk persahabatan, lebih menyukai situasi-situasi
yang kooperatif dibandingkan situasi yang kompetitif.
Beberapa prediksi yang didukung dengan baik bisa dibuat berdasarkan
hubungan antara kebutuhan pencapaian dan prestasi kerja. Individu dengan
kebutuhan pencapaian yang tinggi lebih menyukai situasi pekerjaan yang memiliki
tanggung jawab pribadi, umpan balik, dan resiko tingkat menengah. Ketika
karakteristik ini merata, individu yang berprestasi tinggi akan sangat termotivasi.
2.1.3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Motivasi
Faktor motivasi dibedakan menjadi dua, yang pertama dinamakan situasi
motivasi yang “subjective” atau faktor intrinsik dan yang kedua adalah faktor
“objective” atau faktor ekstrinsik.
Faktor-faktor intrinsik adalah faktor-faktor yang timbul dari individu petugas
dengan pekerjaannya yang sering disebut pula sebagai “job content factor”. Faktor
tersebut diantaranya meliputi keberhasilan dalam melaksanakan tugas, memperoleh

pengakuan atas prestasinya, memperoleh tanggungjawab yang lebih besar dan
memperoleh kemajuan kedudukan melalui promosi jabatan. Sejauh mana semuanya

Universitas Sumatera Utara

34

itu dapat terpenuhi secara positif bagi petugas, maka sejauh itu pula dorongan/daya
motivasinya untuk bekerja bagi tercapainya tujuan organisasi.
Gibson et.al. (2006), menyatakan bahwa manusia termotivasi untuk bekerja
dengan bergairah ataupun bersemangat tinggi, apabila ia memiliki keyakinan akan
terpenuhinya harapan-harapan yang didambakan serta tingkat manfaat yang akan
diperolehnya. Motivasi yang timbul karena adanya usaha secara sadar dari manusia
dan dilakukan untuk menimbulkan daya/ kekuatan/ dorongan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tertentu (perilaku) bagi tercapainya tujuan organisasi di tempat
bekerja. Faktor-faktor tersebut meliputi gaji atau upah yang meningkat, adanya atasan
atau pimpinan yang bijak, hubungan rekan kerja yang baik, kebijaksanaan
organisasi/instansi yang tepat, lingkungan kerja fisik yang baik, kebijaksanaan
organisasi/instansi yang tepat, lingkungan kerja fisik yang baik dan terjaminnya
keselamatan kerja. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi terpenuhinya akan harapanharapan dan hasil kongkrit yang akan diperolehnya, maka semakin tinggi pula

motivasi positif yang akan ditunjukkan olehnya.

2.2.

Teori tentang Budaya Organisasi

2.2.1. Pengertian Budaya Organisasi
Budaya berasal dari bahasa sansekerta “budhayah” sebagai bentuk jamak dari
kata dasar “budhi” yang artinya akal atau segala sesuatu yang berkaitan dengan akal,
pikiran, nilai-nilai dan sikap mental ( Kepmenpen No. 25/KEP/M.PAN/04/2002).
Budaya merupakan perilaku, perasaan dan kerangka psikologis yang melekat sangat

Universitas Sumatera Utara

35

mendalam dan dimiliki bersama oleh anggota organisasi. Sehingga untuk merubah
suatu budaya harus pula merubah paradigma orang yang telah melekat. Budaya
mempunyai kekuatan yang penuh, berpengaruh pada individu dan kinerjanya bahkan
terhadap lingkungan kerja.

Robbin (2006), menyatakan bahwa budaya organisasi (organization culture)
sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang
membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lain. Lebih lanjut, Robbin (2006),
menyatakan bahwa sebuah sistem pemaknaan bersama dibentuk oleh warganya yang
sekalian menjadi pembeda dengan organisasi lain. Sistem pemaknaan bersama
merupakan seperangkat karakter kunci dari nilai-nilai organisasi.
Menurut Gibson et al (2006) budaya organisasi adalah cara pandang para
pegawai dan bagaimana hal tersebut dipersepsikan sebagai suatu pola seperti
kepercayaan, nilai yang menjadi suatu harapan. Budaya organisasi berkaitan dengan
harapan, nilai dan perilaku, hal tersebut mempengaruhi secara individu, kelompok
dan proses organisasi.
Owen dalam Wirawan (2007) mendefinisikan budaya organisasi sebagai
norma yang menginformasikan kepada anggota organisasi mengenai apa yang dapat
diterima dan apa yang tidak dapat diterima, nilai-nilai dominan yang dihargai
organisasi di atas nilai lainnya, asumsi dasar dan kepercayaan yang dianut bersama
oleh anggota organisasi, dan filsafat yang mengarahkan organisasi dalam
berhubungan dengan karyawan dan kliennya.

Universitas Sumatera Utara


36

Berbagai teori dari hasil penelitian menghasilkan berbagai pandangan dan
perbedaan tipe budaya. Tipologi yang digeneralisasi menjadi budaya organisasi
secara umum adalah : (a) budaya yang dikembangkan dalam organisasi secara
kekeluargaan (clan culture), (b) organisasi dengan peraturan, kebijakan, prosedur
kerja, serta pengambilan keputusan yang jelas (bureaucratic culture), (c) organisasi
dengan dinamika pegawai untuk berkreasi dan berinovasi (entrepreneaurial culture),
(d) organisasi dengan orientasi pengembangan pemasaran (market culture) (Gibson
et. al, 2006).
Budaya organisasi merupakan suatu kekuatan yang tidak tampak, yang dapat
menggerakkan orang-orang untuk melakukan suatu aktivitas kerja. Budaya organisasi
yang kuat mendukung tujuan organisasi, sebaliknya yang lemah atau negatif
menghambat atau bertentangan dengan tujuan organisasi. Budaya yang kuat dan
positif sangat berpengaruh terhadap perilaku dan efektivitas kinerja organisasi
sebagaimana dinyatakan oleh Deal & Kennedy, Miner, Robbin dalam Sutrisno
(2007), karena menimbulkan antara lain sebagai berikut:
1.

Nilai-nilai kunci yang saling menjalin, tersosialisasikan, menginternalisasikan,
menjiwai pada para anggota, dan merupakan kekuatan yang tidak tampak;

2.

Perilaku-perilaku karyawan secara tidak disadari terkendali dan terkoordinasi
oleh kekuatan yang informal dan tidak tampak;

3. Para anggota merasa komit dan loyal pada organisasi;
4.

Adanya musyawarah dan kebersamaan atau kesertaan dalam hal-hal yang berarti
sebagai bentuk partisipasi, pengakuan dan penghormatan terhadap karyawan;

5.

Semua kegiatan berorientasi atau diarahkan kepada misi atau tujuan organisasi;

Universitas Sumatera Utara

37

6.

Para karyawan merasa senang, karena diakui dan dihargai martabat dan
kontribusinya, yang sangat rewarding.

7.

Adanya koordinasi, integrasi dan konsistensi yang menstabilkan kegiatankegiatan organisasi;

8.

Berpengaruh kuat terhadap organisasi dalam tiga aspek : pengarahan perilaku
dan kinerja organisasi, penyebarannya pada para anggota organisasi, dan
kekuatannya, yaitu menekan para anggota untuk melaksanakan nilai-nilai
budaya;

9.

Budaya berpengaruh terhadap perilaku individual maupun kelompok.
Greenberg dan Baron dalam Wibowo (2010) menyatakan budaya organisasi

adalah kerangka kerja kognitif yang terdiri dari sikap, nilai-nilai, norma perilaku dan
harapan yang diterima bersama oleh anggota organisasi. Akar setiap budaya
organisasi adalah serangkaian karakteristik inti yang dihargai secara kolektif oleh
anggota organisasi.
Menurut Robbin (2006) terdapat kesepakatan luas bahwa budaya oganisasi
merujuk kepada suatu sistem pengertian bersama yang dipegang oleh anggotaanggota suatu organisasi, yang membedakan organisasi tersebut dari organisasi
lainnya. Sistem pengertian bersama ini, dalam pengamatan yanng lebih seksama,
merupakan serangkaian karakter penting yang menjadi nilai bagi suatu organisasi.
Penelitian teakhir mengungkapkan 7 karakteristik utama budaya organisasi, yang
kesemuanya menjadi elemen-elemen penting suatu budaya organisasi yaitu ;

Universitas Sumatera Utara

38

1.

Inovasi dan pengambilan resiko : merupakan tingkat daya pendorong karyawan
untuk bersikap inovatif dan berani mengambil resiko. Karyawan didorong rela
berkorban untuk memberikan yang terbaik bagi organisasi dan dapat
menciptakan Sesuatu hal yang baru dalam menghadapi ketidakpastian
lingkungan. Organisasi berorientasi bagi para pengambil resiko dan inovator,
juga berorientasi pada hasil yang dicapai oleh karyawan dan lebih menyukai
karyawan yang agresif. Organisasi cenderung untuk mencari orang-orang
berbakat dari segala usia dan pengalaman, organisasi juga menawarkan insentif
finansial yang sangat besar dan kebebasan besar bagi mereka yang sangat
berprestasi

2.

Perhatian terhadap detail : yaitu tingkat tuntutan terhadap karyawan untuk
mampu memperlihatkan ketepatan, analisis dan perhatian terhadap detail. Sejauh
mana karyawan diharapkan menunjukkan kecermatan, analisis dan perhatian
terhadap detail. Dimana diperlukan karyawan yang handal dan memiliki
kompetensi dalam memberikan perhatian kepada masalah-masalah yang perlu
ditangani dengan lebih serius. Organisasi akan merekrut para lulusan muda
universitas, memberi pelatihan istimewa, dan kemudian mengoperasikan lulusan
muda ini dalam suatu fungsi yang khusus. Organisasi lebih menyukai karyawan
yang lebih cermat, teliti dan mendetail dalam menghadapi dan memecahkan
suatu masalah.

3.

Orientasi terhadap hasil : yaitu tingkat tuntutan terhadap manajemen untuk lebih
memusatkan perhatian terhadap hasil, dibandingkan perhatian pada teknik dan

Universitas Sumatera Utara

39

proses yang digunakan untuk meraih hasil tersebut. Hasil yang didapat harus
sesuai dengan yang diharapkan organisasi.
4.

Orientasi terhadap individu : yaitu tingkat keputusan manajemen dalam
mempertimbangkan efek-efek hasil terhadap individu yang ada di dalam
organisasi.

5.

Orientasi terhadap tim : yaitu tingkat aktifitas pekerjaan yang diatur dalam tim,
bukan secara perorangan. Kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim yaitu
diperlukan kerjasama dalam melaksanakan tugas bersama untuk mendapatkan
hasil yang maksimal, bukan individu. Organisasi lebih condong ke arah orientasi
orang dan orientasi tim dimana perusahaan memberi nilai tinggi pada karyawan
yang dapat menyesuaikan diri dalam sistem organisasi. Organisasi juga
menyukai karyawan yang setia dan mempunyai komitmen yang tinggi dan
mengutamakan kerja sama tim.

6.

Agresivitas : tingkat tuntutan terhadap orang-orang agar berlaku agresiv dan
bersaing dan tidak bersikap santai. Berkaitan dengan semangat dan spirit dalam
melakukan suatu pekerjaan.

7.

Stabilitas : tingkat penekanan aktifitas organisasi dalam mempertahankan status
quo berbanding pertumbuhan.
Masing-masing karakteristik utama budaya organisasi ini, dari tingkat yang

rendah menuju tingkat yang lebih tinggi. Penilaian organisasi berdasarkan tujuh
karakteristik ini, akan diperoleh gambaran majemuk dari budaya organisasi itu.
Gambaran ini menjadi dasar untuk pemahaman bersama yang dimiliki para anggota

Universitas Sumatera Utara

40

mengenai organisasi, bagaimana segala sesuatu dikerjakan berdasarkan pengertian
bersama, dan cara para anggota berperilaku.
Budaya organisasi dalam bidang pelayanan perawat pelaksana dapat dilihat
dari filosofi, tujuan dan sasaran, struktur organisasi, fasilitas dan perawatan, dan
kualifikasi pegawai adalah beberapa komponen dari struktur organisasi. Standar
proses mencakup aktifitas yang terkait dengan memberikan pelayanan kesehatan
kepada pasien.
2.2.2. Pembentukan Budaya Organisasi
Menurut Robbin (2006) budaya organisasi terbentuk pada dasarnya melalui
beberapa tahap, seperti pada gambar 2.2 berikut ini.

Filosofi
Organisasi

Kriteria
Seleksi

Manajemen
Puncak

Budaya
Organisasi

Sosialisasi
Sumber : Robbin (2006)
Gambar 2.1 Pembentukan Budaya Organisasi
Budaya organisasi terbentuk diawali dengan falsafah dasar pemilik organisasi
yang merupakan budaya asli organisasi yang mempunyai pengaruh sangat kuat dalam
kriteria yang tepat. Tahap selanjutnya adalah falsafah dasar yang diturunkan manejer
puncak yang bertugas menciptakan suatu budaya organisasi yang kondusif dan dapat
diterima oleh seluruh anggota berupa nilai-nilai peraturan, kebiasaan agar dapat

Universitas Sumatera Utara

41

dimengerti. Tahap selanjutnya adalah tahap sosialisasi, dengan sosialisasi yang tepat,
maka akan terbentuk budaya organisasi yang diharapkan (Robbin,2006).
2.2.3. Dimensi Budaya Organisasi.
Hofstede dalam Sobirin (2007) mengelompokkan budaya organisasi ke dalam
6 dimensi:
1.

Process Oriented vs. Result Oriented
Pada process oriented culture, perhatian organisasi lebih ditujukan pada

proses aktivitas yang berjalan dan sejauh mana orang-orang yang bekerja pada
organisasi patuh terhadap ketentuan atau kebijakan yang telah digariskan organisasi.
Sementara, pada result oriented culture perhatian organisasi lebih ditujukan pada
hasil kegiatan ketimbang prosesnya sehingga sering organisasi tidak memerdulikan
bagaimana proses dilakukan yang penting hasilnya cepat didapat dan sesuai dengan
harapan organisasi.
2.

Employee Oriented vs. Job Oriented
Employee oriented culture menggambarkan lingkungan internal organisasi

pekerja yang menginginkan agar organisasi terlebih dahulu memperhatikan
kepentingan para pekerja sebelum berorientasi pada pekerjaan. Job oriented culture
beranggapan bahwa para pekerja harus mendahulukan pekerjaan sebelum menuntut
dipenuhinya kepentingan mereka.
3.

Parochial vs. Profesional
Parochial culture menjelaskan bahwa tingkat kebergantungan karyawan pada

atasan dan pada organisasi cenderung sangat tinggi. Karyawan merasa bahwa dirinya

Universitas Sumatera Utara

42

adalah bagian integral dari organisasi. Professional culture karyawan merasa bahwa
kehidupan pribadi adalah urusan sendiri dan alasan organisasi merekrut karyawan
adalah karena kompetensi dalam melakukan pekerjaan bukan latar belakang keluarga
atau alasan lain.
4.

Open system vs. Close System
Open system culture menjelaskan bahwa organisasi cenderung tidak menutup

diri dari perubahan baik yang terjadi pada lingkungan internal maupun eksternal.
Close system culture sebaliknya, organisasi diperlakukan sebagai sebuah mesin
(machine organization) yang bekerja mengikuti pola yang sudah ada tanpa banyak
melakukan perubahan.
5.

Loose Control vs. Tight Control
Loose control culture, organisasi dengan tingkat pengendalian yang longgar,

organisasi seolah tidak memiliki alat pengendali dan tata aturan formal yang
memungkinkan organisasi bisa mengendalikan pekerjanya. Tight

control

culture,

organisasi semacam ini cenderung menetapkan aturan yang ketat bahkan dalam batas
yang cenderung kaku. Penyimpangan terhadap aturan sangat tidak ditolerir.
6.

Normative vs. Pragmatic
Normative culture menganggap bahwa tugas yang diemban organisasi

terhadap dunia luar merupakan bentuk implementasi dari peraturan konvensi maupun
tertulis, yang tidak boleh dilanggar. Pragmatic culture adalah organisasi yang
berorientasi pada konsumen. Aturan dan prosedur kerja bisa saja dilanggar jika hal
tersebut menghambat pencapaian hasil dan pemenuhan kebutuhan konsumen.

Universitas Sumatera Utara

43

Dimensi budaya organisasi yang dijabarkan di atas, budaya organisasi yang
terlihat di Rumah Sakit Umum Daerah Porsea adalah Proccess Oriented, perhatian
organisasi lebih ditujukan pada proses aktivitas yang berjalan yaitu proses perawatan
terhadap pasien dan sejauh mana orang-orang yang bekerja pada organisasi patuh
terhadap ketentuan atau kebijakan yang telah digariskan organisasi contohnya disiplin
yang ditetapkan meliputi jam masuk kerja yang terbagi atas 3 shift yaitu pagi, sore
dan malam.
2.2.4. Peranan dan Fungsi Budaya Organisasi
Wheelen & Hunger yang dikutip Nimran (1999), secara spesifik
mengemukakan sejumlah peranan penting yang dikemukakan sejumlah peranan
penting yang dimainkan oleh budaya organisasi, yaitu ; a) Membantu menciptakan
rasa memiliki jati diri bagi pekerja, b) Dapat dipakai untuk mengembangkan keikatan
pribadi dengan organisasi, c) Membantu stabilisasi organisasi sebagai suatu sistem
sosial, d) Menyajikan pedoman perilaku, sebagai hasil dari norma-norma perilaku
yang sudah terbentuk.
Fungsi budaya organisasi menurut Robbin (2006) adalah ; (1) budaya
menciptakan pembedaan yang jelas antara organisasi yang satu dengan yang lain, (2)
budaya menjadi identitas bagi anggota perusahaan, (3) budaya mempermudah
timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri
individual seseorang, (4) budaya merupakan perekat sosial yang membantu
mempersatukan anggota oraganisasi dengan memberikan standar-standar yang tepat

Universitas Sumatera Utara

44

yang dapat dilakukan oleh masyarakat, (5) budaya sebagai mekanisme pembuat
makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.
Menurut Kotter dan Heskett dalam Ndraha (2003) dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa betapapun kuatnya budaya dan cocok untuk situasi atau
lingkungan (context), tetapi tidak untuk situasi lainnya. Dibutuhkan dimensi lain yaitu
ketepatan dan kecocokan. Budaya yang kuat namun pelaksanaannya tidak sesuai
dengan situasi sesungguhnya dapat membuat orang berperilaku menghancurkan.
2.2.5. Sumber-Sumber Budaya Organisasi
Isi dari suatu budaya organisasi terutama berasal dari tiga sumber (Robbin,
2006), yaitu :
a.

Pendiri organisasi. Pendiri sering disebut berkepribadian dinamis, nilai yang
kuat, dan visi yang jelas tentang bagaimana organisasi seharusnya. Pendiri
mempunyai peranan kunci dalam menarik karyawan. Sikap dan nilai mereka siap
diteruskan kepada karyawan baru.

b.

Pengalaman

organisasi

menghadapi

lingkungan

eksternal.

Penghargaan

organisasi terhadap tindakan tertentu dan kebijakannya mengarah pada
pengembangan berbagai sikap dan nilai.
c.

Karyawan, hubungan kerja. Karyawan membawa harapan, nilai dan sikap ke
dalam organisasi. Hubungan kerja mencerminkan aktivitas utama organisasi yang
membentuk sikap dan nilai.

Universitas Sumatera Utara

45

2.2.6. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Budaya Organisasi
Menurut Tosi, Rizzo, Carrol dalam Munandar (2001), budaya organisasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor,yaitu ;
a.

Pengaruh umum dari luar yang luas
Mencakup faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan atau hanya sedikit dapat
dikendalikan oleh organisasi.

b.

Pengaruh dari nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Keyakinan-keyakinan dan nilai yang dominan dari masyarakat luas, misalnya
kesopansantunan dan kebersihan.

c.

Faktor-faktor yang spesifik dari organisasi
Organisasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam mengatasi baik
masalah internal maupun eksternal organisasi akan mendapatkan penyelesaianpenyelesaian yang berhasil. Keberhasilan dalam mengatasi berbagai masalah
tersebut merupakan dasar bagi tumbuhnya budaya organisasi.

2.2.7. Konsep Budaya Organisasi dalam Pelayanan Keperawatan
Konsep budaya organisasi dalam pelayanan keperawatan sebagai bagian
organisasi rumah sakit merupakan hal yang penting. Menurut Mukhlas (2005),
budaya organisasi rumah sakit adalah pedoman atau acuan untuk mengendalikan
perilaku organisasi dan perilaku perawat, tenaga kesehatan lainnya dalam berinteraksi
antara mereka dan berinteraksi dengan rumah sakit lain.
Keberadaan perawat di rumah sakit merupakan bagian yang penting dari
berbagai macam tim kesehatan yang ada, oleh karena itu npenciptaan nilai-nilai dasar

Universitas Sumatera Utara

46

yang dijadikan pedoman bekerja bagi semua anggota rumah sakit dapat
diikutsertakan oleh peran perawat. Selain itu kemampuan perawat dalam pelayanan
keperawatan secara professional dipengaruhi oleh budaya organisasi di tempat
perawat bekerja, karena nilai-nilai antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lain
berbeda.
Menurut Kotter dan Heskett dalam Ndraha (2003) ada keterkaitan yang erat
antara budaya organisasi dengan kinerja. Budaya yang kuat akan menghasilkan
kinerja organisasi dalam jangka panjang. Budaya yang kuat akan membantu kinerja
dalam menciptakan motivasi dalam diri pekerja, menimbulkan rasa nyaman bekerja,
kemudian timbul komitmen yang membuat karyawan lebih meningkatkan hasil kerja.
2.2.8. Budaya yang Kuat versus Budaya yang Lemah
Perbandingan antara budaya yang kuat dengan budaya yang lemah telah
menjadi hal yang umum. Alasannya adalah budaya yang kuat memiliki dampak yang
lebih besar terhadap sikap karyawan dan lebih tertuju langsung untuk mengurangi
keluar masuknya karyawan.
Suatu budaya yang kuat ditandai oleh nilai-nilai inti organisasi yang dipegang
kukuh dan disepakati secara luas. Semakin banyak anggota organisasi yang menerima
nilai-nilai inti dan semakin besar komitmen mereka terhadap nilai-nilai tersebut,
semakin kuat suatu budaya. Sejalan dengan definisi ini, suatu budaya yang kuat jelas
sekali akan memiliki pengaruh yang besar dalam sikap anggota organisasi
dibandingkan dengan budaya ang lemah.

Universitas Sumatera Utara

47

Hasil spesifik dari suatu budaya yang kuat adalah keluar masuknya pekerja
yang rendah. Suatu budaya yang kuat akan memperlihatkan kesepakatan yang tinggi
mengenai tujuan organisasi di antara anggota-anggotanya. Kebulatan suara terhadap
tujuan akan membentuk keterikatan, kesetiaan, dan komitmen organisasi. Kondisi ini
selanjutnya akan mengurangi kecenderungan karyawan untuk keluar dari anggota
organisasi.

2.3. Teori tentang Iklim Organisasi
Istilah Iklim organisasi (organizational climate) pertama kali dipakai oleh
Hurt Lewin pada tahun 1930-an, yang menggunakan istilah iklim psikologi
(pshycological climate). Kemudian istilah iklim organisasi dipakai oleh R Tagiuri dan
G Litwin. Tagiuri mengemukakan sejumlah istilah untuk melukiskan perilaku dalam
hubungan dengan latar atau tempat (setting) dimana perilau muncul: lingkungan
(environment),

lingkungan

pergaulan

(milieu),

budaya

(culture),

suasana

(atmosphere), situasi (situation), pola lapangan (field setting), pola perilaku
(behaviour setting), dan kondisi (conditions) (Stringer, 2002)
2.3.1. Pengertian Iklim Organisasi
Menurut Tagiuri dalam Stringer (2002) : iklim organisasi adalah kualitas
lingkungan internal organisasi yang : (a) dialami oleh anggota organisasi, (b)
memengaruhi tingkah laku anggota organisasi dan, (c) dapat diterangkan dari nilai
karakteristik (atau atribut) tertentu dari organisasi bersangkutan.

Universitas Sumatera Utara

48

Menurut Litwin dan Stringer juga dikutip Stringer (2002) : iklim organisasi
adalah suatu konsep yang menerangkan kualitas lingkungan organisasi yang
dirasakan dan dialami oleh anggota-anggotanya dan dapat diukur dengan
menggunakan kuesioner yang tepat.
Menurut Swansburg (2000), iklim organisasi adalah status emosi yang
ditunjukkan oleh anggota sistem. Iklim ini dapat formal, rileks, defensif, berhati-hati,
menerima, percaya, dan sebagainya. Iklim ini adalah impresi subyektif karyawan atau
persepsi tentang organisasi perawat.
2.3.2. Iklim Organisasi Rumah Sakit
Pada konsep Quality Assurance penilaian baik buruknya sebuah rumah sakit
dapat dilihat dari empat komponen yang mempengaruhinya, yaitu :
1.

Aspek klinis, yaitu komponen yang menyangkut pelayanan dokter, perawat dan
terkait dengan teknisi medis.

2.

Efisiensi dan efektifitas, yaitu pelayanan yang murah, tepat guna, tidak ada
diagnosis dan terapi berlebihan.

3.

Keselamatan pasien, yaitu upaya perlindungan pasien dari hal-hal yang dapat
membahayakan keselamatan pasien, seperti jatuh, kebakaran dan lain-lain.

4.

Kepuasan pasien, yaitu yang berhubungan dengan kenyamanan, keramahan dan
kecepatan pelayanan.
Organisasi rumah sakit mempunyai sejumlah sifat-sifat yang secara serentak

tidak dipunyai organisasi lain pada umumnya. Sifat dan karateristik itu adalah
(Rakich & Darr dalam Supriyantoro, 2000).

Universitas Sumatera Utara

49

a.

Sasaran utama organisasi rumah sakit adalah memberikan pelayanan pribadi
(perawatan dan pengobatan) kepada masing-masing pasien, berbeda dari kegiatan
manufaktur benda yang sifatnya seragam. Nilai ekonomis produk dan sasaran
organisasi tersebut harus tunduk pada nilai sosial dan perikemanusiaan.

b.

Jika dibandingkan dengan industri manufaktur, rumah sakit sangat bergantung
pada, dan agresif dalam bekerjaif terhadap masyarakat sekitarnya. Segala
kegiatannya harus diintegrasikan dengan kebutuhan dan permintaan para
“pelanggan” dan calon-calon “pelanggan”. Kebutuhan pasien harus diatas
keperluan rumah sakit dan para karyawannya.

c.

Hampir seluruh kegiatan di rumah sakit bersifat urgent dan tidak dapat
ditangguhkan. Kegiatan ini menjadi beban fungsional dan moral bagi organisasi
dan para anggotanya. Tanggung jawab dan tanggung gugat harus jelas bagi setiap
karyawan. Kesilapan dan kesalahan tidak dapat ditolerir.

d.

Sifat dan jumlah pekerjaan tidak merata. Rumah sakit tidak dapat menggunakan
prosedur dan teknik manufaktor misal rumah sakit lebih cenderung pada bentuk
sistem sosio-prosedural dan bukan tekno-struktural.

e.

Sebagian besar karyawan rumah sakit adalah tenaga profesional, yang mana
menimbulkan kerumitan administratif dan operasional.

f.

Beban kerja di rumah sakit dan kegiatan staf profesional hampir tidak dapat
dikendalikan, khususnya kegiatan para dokter dan jumlah orang sakit yang
membutuhkan perawatan.

Universitas Sumatera Utara

50

g.

Kepala rumah sakit hampir tidak mempunyai wewenang, kekuasaan, dan
kebijaksanaan yang sama jika dibanding pemimpin-pemmpin perusahaan. Hal ini
disebabkan keanekaragaman profesi dan keterlibatan orang awam dalam
operasional rumah sakit. Para dokter, perawat dan ahli tenaga medis lainnya
menganggap profesinya sesuatu yang suci, sehingga pengendalian dan perintah
merupakan sesuatu yang dipantangkan. Sebaliknya para penyantun atau
pemegang saham merasa perlu adanya manajemen yang dapat menjamin
“surplus” demi kelangsungan hidup rumah sakit.

h.

Rumah sakit adalah badan formal yang semi-birokratis, dan semi-otoriter, tetapi
sangat bergantung pada hirarki konvensional, peraturan dan prosedur.
Pembidangan dan profesionalisme sangat menonjol di bidang rumah sakit. Oleh
karena itu yang erat sangat dituntut.

i.

Rumah sakit menuntut kegiatan yang efisien dan prestasi kerja yang dapat diatur
agar efektivitas organisasi secara keseluruhan dapat dicapai. Untuk itu, organisasi
rumah sakit harus memungkinkan :
1.

Pembagian tugas seluas-luasnya;

2.

Ketergantungan pelayanan yang baik;

3.

Koordinasi kegiatan yang selaras.
Swansburg (2000) menyatakan bahwa salah satu iklim kerja di rumah sakit

adalah iklim kerja keperawatan. Iklim kerja keperawatan disusun oleh manajer
perawat yang pada gilirannya menentukan perilaku dari perawat klinik yang
berpraktek dalam menyesuaikan dengan iklim kerja keperawatan. Iklim kerja

Universitas Sumatera Utara

51

keperawatan rumah sakit yang dirasakan baik dan dapat meningkatkan kepuasan
kerja perawat pelaksana, antara lain: 1) Dihargai oleh manajer dan pasien, 2)
Pembagian otoritas yang jelas diantara diantara sejawat dengan manajer perawat, 3)
kondisi kerja yang baik, 4) Gaji tinggi, 5) Kesempatan pengembangan karier yang
meningkatan kemampuan perawat profesional untuk mengembangkan diri mereka
melalui aktualisasi diri perawat melalui aktualisasi diri, 6) Dukungan administratif
yang mencakup pengaturan staf adekuat dan pilihan waktu dinas (shift), 7)
Peningkatan berorientasi tim dan saling percaya antara manajer perawat dengan
perawat pelaksana, 8) Manajer perawat harus membuat strategi manajemen untuk
mendukung perawat baru dan melibatkannya dalam pembuatan keputusan, 9)
Manajer perawat membuat suatu iklim dimana inovasi dan pengambilan resiko
diterapkan dengan adil dan sama.
Menurut Stringer yang dikutip dalam Kosasih (2002) iklim kerja pada suatu
organisasi rumah sakit secara obyektif hanya bisa dijelaskan dan diukur secara tidak
langsung melalui persepsi daripada para anggota-anggotanya.
2.3.3. Dimensi Iklim Organisasi
Iklim organisasi secara objektif berada dalam suatu organisasi, tetapi ia hanya
bias dijelaskan dan diukur secara tidak langsung melalui persepsi dari pada anggotaanggotanya (Stringer, 2002).
Penelitian oleh Stringer (2002) dilakukan untuk menetapkan iklim kerja,
dalam bisnis, industri dan organisasi pelayanan kesehatan. Karena iklim mewakili
sekumpulan persepsi-persepsi subyektif terhadap suatu organisasi, maka bisa

Universitas Sumatera Utara

52

dijumpai banyak variasi iklim organisasi. Penelitian mengenai iklim organisasi ini,
diawali oleh Stringer dan Litwin pada tahun 1968 di Harvard Bussiness School.
Setelah itu kuesioner yang digunakan dalam penelitian telah mengalami beberapa kali
revisi dan sejak 1986 Stringer mengembangkan sendiri kuesioner yang lebih
konsisten dan sederhana. Menurut Stringer, perlu pengelompokan ciri-ciri tertentu
dalam iklim ke dalam kelompok-kelompok yang akan menjadi ciri khas suatu
organisasi jika dibandingkan dengan organisasi lain. Pengelompokan ini berguna bagi
pimpinan organisasi sebagai suatu pedoman untuk meningkatkan motivasi dan
kinerja serta kepuasan kerja para anggotanya.
Kuesioner iklim organisasi yang dikembangkan dan telah digunakan Stringer
(2002) terdiri atas 24 (dua puluh empat) item yang dikelompokkan atas 6 (enam)
dimensi yaitu, Struktur, Standar, Tanggung jawab, Pengakuan, Dukungan,

dan

Komitmen.
a.

Struktur
Struktur menerangkan dan mengukur persepsi karyawan terhdap kejelasan
pembagian kerja serta peranan dan tanggung jawab mereka dalam unit organisasi
masing-masing. Skor struktur yang tinggi menunjukkan karyawan merasa tugastugas didefinisikan dengan jelas. Skor struktur yang rendah menunjukkan adanya
rasa kebingungan tentang siapa yang melaksanakan tugas-tugas apa dan siapa
yang berhak mengambil keputusan.

Universitas Sumatera Utara

53

b.

Standar
Standar menerangkan dan mengukur tekanan yang dirasakan oleh karyawan
untuk meningkatkan kinerjanya dan kebanggaan yang dirasakan oleh karyawan
karena telah melaksanakan tugas dengan baik. Skor standar yang tinggi
menunjukkan karyawan merasakan adanya tekanan manajemen untuk selalu
berusaha meningkatkan kinerjanya. Skor standar yang rendah menunjukkan
bahwa

karyawan

tidak

merasakan adanya

tekanan

manajemen

untuk

meningkatkan kinerja.
c.

Tanggung jawab
Tanggung jawab menerangkan dan mengukur persepsi karyawan tentang
kesangggupan menyelesaikan suatu masalah tanpa dikontrol oleh orang lain.
Skor tanggung jawab yang tinggi menunjukkan karyawan merasakan diberi
semangat

dan

dorongan

untuk

menyelesaikan

suatu

masalah.

Skor

tanggungjawab yang rendah menunjukkan karyawan merasa tidak diberi
semangat dan dorongan untuk mengambil suatu resiko atau mencoba suatu
pendekatan baru untuk menyelesaikan suatu masalah.
d.

Pengakuan
Pengakuan

menerangkan

dan

mengukur

persepsi

karyawan

terhadap

penghargaan yang diterima karena telah melakukan tugas dengan baik, demikian
juga kritik dan hukuman yang diterima karena telah melakukan kesalahan. Skor
pengakuan yang tinggi menunjukkan karyawan merasakan adanya keseimbangan
antara pemberian penghargaan dan hukuman. Skor pengakuan yang rendah

Universitas Sumatera Utara

54

menunjukkan karyawan merasakan bahwa penghargaan tidak secara konsisten
diberikan.
e.

Dukungan
Dukungan menerangkan dan mengukur persepsi karyawan terhadap kepercayaan
dan kerja sama saling mendukung yang ada dalam satu kelompok kerja. Skor
dukungan yang tinggi menunjukkan karyawan merasakan bahwa karyawan
adalah bagian dari suatu kelompok yang bertugas dengan baik dan mudah
mendapatkan bantuan atau dukungan (terutama dari atasan) bila diperlukan. Skor
dukungan yang rendah menunjukkan karyawan merasakan bekerja sendirian dan
terpisah dari kelompok.

f.

Komitmen
Komitmen menerangkan dan mengukur perasaaan kebanggaan karyawan sebagai
bagian dari organisasi dan tingkat komitmen mereka dalam mencapai tujuan
organisasi. Skor komitmen yang tinggi menujukkan loyalitas terhadap organisasi
adalah tinggi. Skor komitmen yang rendah menunjukkan karyawan merasakan
apatis terhadap perkembangan dan pencapaian tujuan organisasi.

2.4.

Budaya Organisasi dan Iklim Organisasi
Kalangan awam tidak banyak yang mengerti dan dapat membedakan antara

budaya dan iklim organisasi. Sebagai suatu konsep, budaya dan iklim organisasi
mempunyai pengertian yang berbeda, namun saling berhubungan. Struktur budaya
organisasi berakar pada nilai-nilai, norma, kepercayaan dan asumsi organisasi.

Universitas Sumatera Utara

55

Walaupun dapat berkembang dan berubah, budaya organisasi relatif tetap. Budaya
organisasi dapat secara langsung dapat memengaruhi perilaku anggota organisasi.
Budaya organisasi dapat juga memengaruhi perilaku pribadi anggota organisasi.
Iklim organisasi melukiskan lingkungan internal organisasi dan berakar pada
budaya organisasi. Bila budaya organisasi bersifat relatif tetap, maka iklim organisasi
bersifat relatif sementara dan dapat berubah dengan cepat. Jika penerapan budaya
organisasi dapat memengaruhi perilaku organisasi secara positif, maka pengaruh
iklim organisasi terhadap perilaku organisasi dapat bersifat positif dan negatif.
Menurut Schwartz dan Davis dalam Wirawan (2007), budaya organisasi
bukanlah iklim organisasi. Budaya organisasi menunjukkan struktur dalam organisasi
yang berakar pada nilai–nilai, kepercayaan dan asumsi yang dikembangkan dan
dipegang teguh oleh anggota organisasi dalam melaksanakan tugas dan perannya.
Penguasaan nilai-nilai, asumsi, dan kepercayaan dilakukan melalui sosialisasi kepada
individu dan kelompok secara sistematis. Karena dikelola, budaya bersifat stabil,
walaupun juga bersifat fragil, karena sistem organisasi bergantung pada tindakan
anggotanya. Sebaliknya, iklim organisasi merupakan lingkungan organisasi yang
relatif statis yang berakar pada sistem nilai organisasi.
Stringer dalam Wirawan (2007), menyatakan bahwa budaya dan iklim
organisasi merupakan dua hal yang berbeda. Budaya organisasi menekankan diri pada
asumsi-asumsi tidak diucapkan yang mendasari organisasi, sedangkan iklim
organisasi berfokus pada persepsi-persepsi yang masuk akal dan dapat dinilai,
terutama yang memunculkan motivasi, sehingga mempunyai pengaruh langsung

Universitas Sumatera Utara

56

terhadap kinerja anggota organisasi. Berbeda dengan budaya organisasi, maka iklim
organisasi memfokuskan pada persepsi anggota organisasi terhadap lingkungan
kerjanya yang terutama dapat meningkatkan motivasi kerja dan kinerja kerja.

2.5

Keperawatan di Rumah Sakit
Tenaga keperawatan merupakan salah satu sumber daya manusia di rumah sakit

yang menentukan penilaian terhadap kualitas pelayanan kesehatan. Hal ini wajar
mengingat perawat adalah tenaga paramedis yang memberikan perawatan kepada
pasien secara langsung, sehingga pelayanan keperawatan yang prima secara
psikologis merupakan sesuatu yang harus dimiliki dan dikuasai oleh perawat.
Seorang perawat dikatakan profesional jika memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan
keperawatan profesional serta memiliki sikap profesional sesuai kode etik profesi.
Asuhan keperawatan adalah

adalah kegiatan profesional perawat yang

dinamis, membutuhkan kreatifitas dan berlaku rentang kehidupan dan keadaan
(Carpenito,2000). Adapun tahap dalam melakukan asuhan keperawatan yaitu:
pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana, implementasi, evaluasi.
Kusumapraja (2006) menyatakan bahwa pelayanan prima yang memberikan
kepada pelanggan apa yang memang mereka harapkan pada saat mereka
membutuhkan serta dengan cara yang mereka inginkan dapat diupayakan dengan
pembenahan budaya organisasi dan iklim organisasi. Dengan adanya upaya
pembenahan budaya organisasi dan iklim organisasi diharapkan terjadi peningkatan
motivasi berprestasi perawat yang diharapkan meningkatkan kinerja perawat

Universitas Sumatera Utara

57

sehingga setiap tenaga keperawatan mampu melaksanakan pelayanan prima dalam
memberikan asuhan keperawatan.
Fungsi perawat dalam melakukan pengkajian pada individu sehat maupun
sakit dimana segala aktifitas yang dilakukan berguna untuk pemulihan kesehatan
berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, aktifitas ini dilakukan dengan berbagai cara
untuk mengembalikan kemandirian pasien secepat mungkin dalam bentuk proses
keperawatan yang terdiri dari tahap pengkajian, identifikasi masalah (diagnosa
keperawatan), perencanaan, implementasi dan evaluasi.
Kelompok kerja Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia di
tahun 2001 merumuskan kompetensi yang harus dicapai oleh perawat profesional
adalah sebagai berikut :
1.

Menunjukkan landasan pengetahuan yang memadai untuk praktek yang aman.

2.

Berfungsi sesuai dengan peraturan/undang-undang ketentuan lain yang
mempengaruhi praktek keperawatan.

3.

Memelihara lingkungan fisik dan psikososial untuk meningkatkan keamanan,
kenyamanan dan kesehatan yang optimal.

4.

Mengenal kemampuan diri sendiri dan tingkat kompetensi profesional.

5.

Melaksanakan pengkajian keperawatan secara komprehensif dan akurat pada
individu dan kelompok di berbagai tatanan.

6.

Merumuskan kewenangan keperawatan melalui konsultasi dengan individu
/kelompok dengan memperhitungkan regimen teraupetik anggota lainnya dari
tim kesehatan.

Universitas Sumatera Utara

58

7.

Melaksanakan asuhan keperawatan yang direncanakan.

8.

Mengevaluasi perkembangan terhadap hasil yang diharapkan dan meninjau
kembali sesuai data evaluasi.

9.

Bertindak untuk meningkatkan martabat dan integritas individu dan kelompok.

10. Membantu individu atau kelompok membuat keputusan berdasarkan informasi
yang dimiliki.
Menurut Henderson yang dikutip Nursalam (2002), keperawatan dalam
menjalankan pelayanan sebagai nursing services menyangkut bidang yang amat luas,
secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk membantu orang sakit
maupun sehat dari sejak lahir sampai meninggal dunia dalam bentuk peningkatan
pengetahuan, kemauan dan kemampuan yang dimiliki, sedemikian rupa sehingga
orang tersebut dapat secara optimal melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri
tanpa memerlukan bantuan dan ataupun tergantung pada orang lain.
Masyarakat dewasa ini sudah mulai memerhatikan pemberi jasa pelayanan
kesehatan termasuk tenaga perawat yang merupakan penghubung utama antara
masyarakat dengan pihak pelayanan secara menyeluruh. Bahkan menurut Nash et.al
yang dikutip oleh Swisnawati (2000), melaporkan penelitian yang dilakukan oleh
ANA (American Nurse’s Association) bahwa 60 % sampai 80 % pelayanan preventif
yang semula dilakukan oleh dokter, sebenarnya dapat diberikan oleh perawat dengan
kemampuan profesional dan menghasilkan kualitas pelayanan yang sama.
Beban dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh perawat sering
menimbulkan permasalahan, karena perawat merupakan orang yang paling banyak
berhubungan dengan pasien dibandingkan dengan petugas lain di rumah sakit, maka

Universitas Sumatera Utara

59

pelayanan perawat sangat diperlukan dalam memenuhi kepuasan pasien yang sedang
dirawat di rumah sakit. Perhatian perawat profesional pada waktu menyelenggarakan
pelayanan keperawatan adalah pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Profil
perawat profesional adalah gambaran dan penampilan secara menyeluruh. Perawat
dalam melakukan aktifitas keperawatan sesuai dengan kode etik keperawatan.
2.5.1 Definisi Perawat
Perawat adalah karyawan rumah sakit yang mempunyai dua tugas yaitu
merawat pasien dan mengatur bangsal (Hadjam, 2001). Menurut Ali (2002),
menyatakan bahwa perawat adalah seseorang yang telah dipersiapkan melalui
pendidikan untuk turut serta merawat dan menyembuhkan orang yang sakit, usaha
rehabilitasi, pencegahan penyakit, yang dilaksanakannya sendiri atau dibawah
pengawasan dan supervisi dokter atau suster kepala.
Lokakarya

Keperawatan

Nasional

pada

tahun

1983 mendefinisikan

keperawatan sebagai suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian
integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan bahwa ilmu dan kiat keperawatan,
berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif kepada individu,
keluarga dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh siklus
kehidupan manusia. Pelayanan keperawatan disini adalah perawat memberikan
dukungan emosional kepada pasien dan memperlakukan pasien sebagai manusia.
Pada hakekatnya keperawatan merupakan suatu ilmu dan kiat, profesi yang
berorientasi pada pelayanan, memiliki empat tingkatan klien (individu, keluarga,

Universitas Sumatera Utara

60

kelompok dan masyarakat) serta pelayanan yang mencakup seluruh rentang
pelayanan kesehatan secara keseluruhan (Hidayat, 2004).
2.5.2 Fungsi Perawat
Berdasarkan lokakarya keperawatan nasional tahun 1983 dalam Hidayat
(2004), disebutkan bahwa fungsi perawat adalah :
a.

Mengkaji kebutuhan pasien, keluarga, kelompok dan masyarakat serta sumber
yang tersedia dan potensial untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

b.

Merencanakan tindakan keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok dan
masyarakat berdasarkan diagnosis keperawatan.

c.

Melaksanakan rencana keperawatan meliputi upaya peningkatan kesehatan,
pencegahan penyakit, penyembuhan, pemulihan dan pemeliharaan kesehatan
termasuk pelayanan pasien dan keadaan terminal.

d.

Mengevaluasi hasil asuhan keperawatan.

e.

Mendokumentasikan proses keperawatan.

f.

Mengidentifikasikan

hal-hal

yang

perlu

diteliti

atau

dipelajari

serta

merencanakan studi kasus guna meningkatkan pengetahuan dan pengembangan
keterampilan dan praktek keperawatan.
g.

Berperan serta dalam melaksanakan penyuluhan kesehatan kepada pasien,
keluarga, kelompok serta masyarakat.

h.

Mengelola perawatan pasien dan berperan sebagai ketua tim dalam memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien, keluarga, kelompok dan masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

61

i.

Mengelola perawatan pasien dan berperan sebagai ketua tim dalam
melaksanakan kegiatan keperawatan.
Perawat dalam memberikan pelayanan prima harus peka dalam memahami

alur pikiran dan perasaan pasien serta bersedia mendengarkan keluhan pasien tentang
penyakitnya. Sehingga perawat dapat mengerti bahwa apa yang dikeluhkan
merupakan kondisi yang sebenarnya, sehingga respon yang diberikan terasa tepat dan
benar bagi pasien. Seorang perawat sangat besar peranannya dalam mengurangi
buruknya kondisi psikologis pasien yang muncul sebagai akibat penyakit yang
dideritanya seperti cemas, takut, stres sampai depresi. Dalam hal ini perawat berperan
dalam menciptakan suasana psikologis yang kondusif bagi usaha penyembuhan yang
optimal yaitu dengan memberikan pelayanan prima (Taylor, 1995 dalam Ali, 2002).
2.6.

Landasan Teori
Robbin (2006) menyatakan bahwa teori-teori motivasi sangat dipengaruhi

oleh perkembangan budaya. Salah satunya yaitu teori kebutuhan yang dikemukakan
oleh David McClelland. Pandangan yang menyatakan bahwa kebutuhan akan
pencapaian yang tinggi berperan sebagai motivator internal, mensyaratkan dua
karakteristik budaya-keinginan menerima tingkat resiko yang dan perhatian kepada
kinerja. Budaya organisasi secara teoritis mengacu pada teori Robbin (2006),
menyatakan bahwa budaya organisasi (org