STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH BERAS

STRUKTUR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN KOMODITAS KOMPETITOR UTAMA

  I Wayan Rusastra, Benny Rachman, Sumedi, Tahlim Sudaryanto

  Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

  ABSTRACT

  The conducive strategic and program of marketing development will yield positive contribution to enhancing technology adoption, efficiency and productivity improvement, agricultural commodity competitiveness, and increasing farmer’s income. Inherent factors influencing the performance of agricultural marketing are the existence of market structure, the rate of market integration, and marketing marjin. The objectives of this paper are to analyze the availability of agricultural product, structure and marketing marjin, intertemporal price trend and market integration, and the performance of price stabilization program as well as import tariff determination for agricultural product, especially rice. The configuration of regional rice balance sheet (surplus or deficit) will substantially depend on the implementation of regional autonomy and farmer’s freedom to cultivate more beneficial alternative commodities. Rice marketing structure faced by the farmers are appropriately competitive indicated by enormous buyer participation; cash in nature of payment system, and non-existence of capital interdependency as source of market distortion. Paddy price integration at producer and retailer (regency, province, and DKI Jakarta) indicate a strong market integration as well as appropriate competitiveness of rice marketing system. The region with net- interregional rice trade (deficit) was not necessary to self-sufficiency, but have to be facilitated with proper rice distribution system. Paddy price stabilization policy has to be complemented with rational import tariff policy, in order to maintain the sustainability of increasing rice production and farmer income. The food balance sheet of corn, chilly, and onion with respect to direct consumption was positive (surplus) but was not able to fulfill the demand of food and feed industry. The price received by the respective farmers was appropriate enough, except during the harvest time. Product development and partnership program is a must in order to eliminate price in stability face by the farmers. To strengthen farmers institutional organization and capital support was regarded as an important instrument on strengthening marketing structure and efficiency of the said commodities as the main competitors of rice.

  Key words : market structure, rice marketing, main competitor of paddy

PENDAHULUAN

  Kinerja pemasaran memegang peranan sentral dalam pengembangan komoditas perta- nian. Perumusan strategi dan program pengem- bangan pemasaran yang mampu menciptakan kinerja pemasaran yang kondusif dan efisien akan memberikan kontribusi positif terhadap beberapa aspek, yaitu: (a) Mendorong adopsi teknologi, peningkatan produktivitas dan efi- siensi, serta daya saing komoditas pertanian: (b) Meningkatkan kinerja dan efektivitas kebijakan pengembangan produksi, khususnya kebijakan yang terkait dengan program stabilisasi harga keluaran; dan (c) Perbaikan perumusan kebi- jakan perdagangan domestik dan internasional (ekspor dan impor) secara lebih efektif dan optimal.

  Terdapat sejumlah faktor (intrinsik dan eksternal) yang berpengaruh terhadap kinerja pemasaran produk pertanian. Secara intrinsik

  faktor yang berpengaruh diantaranya adalah struktur pasar, tingkat integrasi pasar, dan marjin pemasaran. Bentuk pasar yang menga- rah kepada pasar monopoli akan berpengaruh terhadap tingkat kompetisi yang akan berdam- pak terhadap pembentukan harga, transmisi harga, dan bagian harga yang diterima petani. Secara implisit struktur pasar akan berdampak terhadap kinerja integrasi pasar dan nilai marjin pemasaran. Faktor eksternal yang berpengaruh pada hakekatnya adalah terkait dengan kebi- jakan pemerintah seperti pengembangan infra- struktur pemasaran (fisik dan kelembagaan), program stabilisasi harga output, perpajakan dan redistribusi, kebijakan pengembangan pro- duk dan pengolahan hasil pertanian, dan lain- lain.

  Pemahaman terhadap deskripsi, perma- salahan, serta perspektif dari faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap kinerja pemasaran produksi pertanian ini dinilai ber- manfaat dalam mendorong peningkatan produk- Pemahaman terhadap deskripsi, perma- salahan, serta perspektif dari faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap kinerja pemasaran produksi pertanian ini dinilai ber- manfaat dalam mendorong peningkatan produk-

  (2) Struktur Pasar dan Marjin Pemasaran.

  yang kondusif akan mendorong adopsi teknologi

  Bahasan struktur pasar secara kualitatif

  dan bagian harga yang diterima petani. Kebi-

  akan mendiskripsikan tingkat kompetisi

  jakan pemerintah yang kondusif akan mendo-

  pelaku dan pembentukan harga pada setiap

  rong peningkatan produksi, distribusi, pengem-

  tahapanjalur pemasaran. Secara kuantitatif

  bangan produk, dan insentif yang proporsional

  akan dianalisis lokasi penjualan dominan,

  bagi pelaku tataniaga, dan kesejahteraan pe-

  pembeli dominan, proporsi pembayaran

  tani.

  tunai, dan ikatan dengan pembeli. Secara

  Berkenaan dengan urgensi penciptaan

  deskriptif analisis ini diharapkan dapat

  kinerja pemasaran yang kondusif, faktor internal

  merefleksikan posisi tawar petani produsen

  dan eksternal yang mempengaruhinya, dan

  dalam struktur pasar yang ada dan upaya

  antisipasi manfaat studi pemasaran, maka tuju-

  yang perlu dilakukan untuk meningkatkan

  an dari tulisan ini adalah: (1) Membahas keter-

  efisiensi pemasaran. Selain analisis struktur

  sediaan produk pertanian (khususnya beras)

  pasar, tingkat kompetisi pemasaran juga

  dan kaitannya dengan perdagangan domestik;

  didekati dengan analisis marjin pemasaran.

  (2) Menganalisis struktur pasar dan marjin

  (3) Dinamika Harga dan Integrasi Pasar.

  pemasaran serta faktor-faktor yang mempenga-

  Bahasan ini mencakup dinamika harga

  ruhinya; (3) Menganalisis dinamika harga dan

  beras dan komoditas kompetitornya menu-

  integrasi pasar antar wilayah produsen dan

  rut wilayah dan tingkat harga (produsen,

  konsumen produk pertanian; dan (4) Mengung-

  konsumen dan internasional), dengan mem-

  kap kinerja program stabilisasi harga dan pene-

  pertimbangkan data tahunan dan bulanan.

  tapan tarif bea masuk (TBM) komoditas pangan

  Analisis juga diperkaya dengan korelasi

  (beras).

  harga dan integrasi pasar antar kota provin- si yang dikaitkan dengan kondisi surplus defisit komoditas yang diteliti. Analisis kore-

  METODE PENELITIAN

  lasi harga mempertimbangkan berbagai tingkat pasar domestik (produsen, eceran di

  Bahasan metode penelitian, secara prag-

  pasar kabupaten, provinsi, dan grosir Cipi-

  matis diarahkan untuk menjawab tujuan pene-

  nang) dan harga internasional. Analisis

  litian yang telah dirumuskan. Aspek yang diela-

  integrasi pasar memanfaatkan data series

  borasi meliputi cakupan dimensi yang dianalisis

  bulanan (60 bulan) selama lima tahun ter-

  serta justifikasinya, jenis dan sumber data

  akhir (1995-1999), sehingga dinilai sangat

  informasi yang dibutuhkan, dan jenis analisis

  memadai sebagai dasar perumusan kebijak-

  data. Secara ringkas deskripsi metode peneli-

  an. Kebijakan berkaitan dengan strategi

  tian untuk setiap tujuan penulisan paper adalah

  pemasaran atau distribusi dan faktor pen-

  sebagai berikut:

  dukungnya dalam menanggulangi keterse- diaan pangan di daerah defisit.

  (1) Ketersediaan Pangan dan Perdagangan

  Domestik. Analisis mencakup ketersediaan

  (4) Program Stabilisasi Harga dan Penetapan

  pangan untuk perdagangan domestik di

  Tarif Bea Masuk. Aspek ini akan mengung-

  tingkat kabupaten dan provinsi penelitian,

  kap kinerja Dolog di daerah dalam penga-

  khususnya untuk komoditas beras. Data

  manan harga dasar melalui program penga-

  yang dibutuhkan adalah data deret waktu

  daan gabah. Indikator utama yang diguna-

  lima tahun terakhir yang mencakup produksi

  kan dalam mengevaluasi kinerja pengadaan

  ekuivalen beras dan kebutuhan konsumsi

  pangan oleh Dolog adalah pencapaian

  yang dihitung berdasarkan data konsumsi

  sasaran pengadaan gabah dan rataan har-

  Susenas dan jumlah penduduk. Secara

  ga gabah di tingkat petani vs. harga dasar.

  deskriptif, neraca produksi antar wilayah

  Secara lebih spesifik dibandingkan kinerja

  dikaitkan dengan kebijakan perdagangan

  Dolog tahun 2002 dibandingkan dengan

  beras domestik dan kebijakan pengemba-

  2001. Faktor eksternal yang tidak kalah

  ngan produksi dan perdagangan dalam

  pentingnya dalam menjaga stabilitas harga

  perspektif otonomi daerah. Kajian ini

  beras di dalam negeri adalah penetapan

  dikomplemen dengan referensi pendukung

  tarif bea masuk (tarif impor beras) dengan

  yang relevan.

  sasaran memperkecil dampak fluktuasi har-

  ga beras dunia dan menjaga stabilitas

  Tabel 1. Neraca Produksi dan Konsumsi Beras di Tujuh Kabupaten Penelitian Indonesia, 1995-2001 (ton)

  Majalengka - Produksi

  Indramayu - Produksi

  Klaten - Produksi

  Kediri - Produksi

  Ngawi - Produksi

  Agam - Produksi

  Sidrap - Produksi

  Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan (provinsi penelitian) dan Susenas, BPS, Jakarta.

  pendapatan petani. Penetapan TBM impor

  beras, sehingga terjadi aliran komoditas dari

  beras ini mempertimbangkan kondisi aktual

  daerah surplus (tingkat harga rendah) ke daerah

  dan kemungkinan perubahan harga impor

  defisit dengan tingkat harga yang lebih tinggi.

  beras dan nilai tukar rupiah untuk menjamin

  Bahasan ini akan mengungkap neraca produksi

  tingkat keuntungan yang memadai bagi

  dan konsumsi beras di tingkat kabupaten dan

  petani.

  provinsi penelitian dikaitkan dengan konteks makro nasional dan dinamika kebijakan pemba- ngunan nasional.

PEMASARAN KOMODITAS GABAHBERAS

  Neraca produksi dan konsumsi beras di tujuh kabupaten penelitian disajikan pada Tabel

  Produksi Beras dan Perdagangan Domestik

  1. Ketujuh kabupaten penelitian merupakan

  Pemasaran beras antar wilayah (secara

  daerah surplus beras, walaupun secara kuanti-

  spasial) disebabkan oleh adanya perbedaan

  tas bervariasi antar daerah. Pada kondisi normal

  harga atau insentif bagi pelaku ekonomi untuk

  (1996) sebelum krisis ekonomi, daerah dengan

  melakukan kegiatan distribusi komoditas yang

  surplus beras di atas 100 ribu ton adalah

  diperdagangkan. Sedikitnya terdapat dua faktor

  Indramayu (371 ribu ton), Sidrap (182 ribu ton),

  penyebab perbedaan harga beras secara spa-

  Ngawi (175 ribu ton), dan Majalengka dengan

  sial (Natawidjaja, 2001), yaitu: (1) Perbedaan

  volume surplus 129 ribu ton. Kabupaten dengan

  segmentasi pasar yang direfleksikan oleh per-

  surplus beras di bawah 100 ribu ton adalah

  bedaan daya beli dan preferensi konsumen

  Klaten (92 ribu ton), Agam (84 ribu ton) dan

  terhadap beras berkualitas tinggi; dan (2) Per-

  Kediri (46 ribu ton).

  bedaan neraca ketersediaan dan konsumsi

  Pada tahun 2001, keempat kabupaten

  adalah Sumatera Barat yang hanya menca-

  kategori I (surplus di atas 100 ribu ton) tetap

  pai 0,39 juta ton. Jawa Barat yang memiliki

  merupakan daerah pemasok beras utama

  tingkat produksi beras paling tinggi, ternyata

  dengan marketable surplus yang dominan,

  memiliki surplus produksi (marketable surplus)

  walaupun Indramayu, Majalengka dan Sidrap

  terendah kedua setelah Sumatera Barat. Jawa

  mengalami penurunan surplus beras masing-

  secara keseluruhan (tiga provinsi) tetap merupa-

  masing sebesar 2,7 persen, 1,6 persen dan 0,3

  kan daerah surplus produksi dengan total paso-

  persen. Sementara itu Kabupaten Ngawi me-

  kan sebesar 4,03 juta ton yang siap didistribusi-

  ngalami peningkatan surplus beras dari 175 ribu

  kan untuk memenuhi kebutuhan beras di Jakar-

  ton menjadi 206 ribu ton atau meningkat

  ta dan luar Jawa. Sulawesi Selatan merupakan

  sebesar 4,2 persen. Daerah lain yang menga-

  daerah surplus dan pemasok beras utama di

  lami peningkatan surplus beras selama periode

  luar Jawa dengan nilai marketable surplus

  1995-2001 adalah Klaten dengan laju 2,4

  sebesar 1,32 juta tontahun, selama periode

  persen, yaitu meningkat dari 92 ribu ton menjadi

  1995-2001.

  107 ribu ton. Peningkatan surplus di dua kabu-

  Analisis tradeable surplus secara regional

  paten ini (Ngawi dan Klaten) terutama disebab-

  dengan mempertimbangkan daerah surplus

  kan oleh adanya peningkatan produksi beras

  defisit di 26 provinsi dalam periode 1995-1999

  yang cukup besar, yaitu 3,1 persen dan 1,5

  dilakukan oleh Natawidjaja (2001). Pulau Jawa

  persen per tahun. Sementara di daerah lainnya

  dengan pasar utama Jakarta, tetap memiliki

  mengalami penurunan produksi beras dengan

  surplus yang cukup besar, yaitu 2,47 juta ton

  kisaran 0,2 persen per tahun (Agam) sampai

  yang siap memasok kebutuhan beras di luar

  dengan 1,6 persen per tahun (Indramayu).

  Jawa. Wilayah dengan tradeable surplus beri-

  Tabel 2. Neraca Produksi dan Konsumsi Beras di Lima Provinsi Penelitian, Indonesia, 1995-2001

  Jawa Barat

  Jawa Tengah

  Jawa Timur

  Sumatera Barat

  Sulawesi Selatan

  Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan (provinsi penelitian) dan Susenas, BPS, Jakarta.

  Hasil analisis neraca produksi dan kon-

  kutnya adalah Sulawesi (0,93 juta ton), Suma-

  sumsi beras di lima provinsi penelitian ditampil-

  tera (0,88 juta ton), Kalimantan (0,21 juta ton)

  kan pada Tabel 2. Kelima provinsi penelitian

  dan Bali dan Nusa Tenggara dengan volume

  merupakan daerah surplus produksi beras.

  surplus yang siap dipasarkan 0,14 juta ton.

  Surplus terbesar adalah Jawa Timur (1,62 juta

  Dalam konteks yang lebih komprehensif,

  ton), yang selanjutnya diikuti oleh Jawa Tengah

  dengan cakupan 26 provinsi, analisis neraca

  (1,61 juta ton), Sulawesi Selatan (1,32 juta ton),

  ketersediaan dan kebutuhan beras yang dilaku-

  Jawa Barat (0,80 juta ton), dan surplus terendah

  kan Natawidjaja (2001) menunjukkan beberapa kan Natawidjaja (2001) menunjukkan beberapa

  Beberapa implikasi yang dapat ditarik dari bahasan di atas adalah kelancaran arus distri- busi dan perdagangan beras antar wilayah akan berperan besar dalam mengatasi defisit atau kelangkaan beras di dalam negeri. Kebijakan impor yang tepat dan perbaikan kinerja perda- gangan beras domestik akan berdampak positif terhadap peningkatan produksi dan pendapatan petani padi. Konfigurasi surplusdefisit beras akan mengalami perubahan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan kebebasan bagi petani untuk menanam komoditas yang lebih menguntungkan. Diperlukan rekonsiliasi antar pusat dan daerah melalui rumusan kebijakan pertanian yang dapat mengakomodasi peningkatan pendapatan petani dan pendapatan asli daerah (PAD) tanpa berdampak serius terhadap koversi lahan pertanian produktif dan peningkatan produksi beras nasional.

  Struktur Pasar dan Marjin Pemasaran

  Struktur pasar akan direfleksikan oleh kondisi dan perilaku pasar yang dihadapi oleh petani. Perilaku pasar pada tingkat yang paling bawah ini pada hakekatnya merupakan turunan secara akumulatif dari sistem dan perilaku pela- ku tataniaga di atasnya. Pemahaman kondisi pasar di tingkat petani yang mencakup proses pembentukan harga, bagian harga yang diteri- ma petani, dan marjin pemasaran serta faktor- faktor yang mempengaruhinya merupakan infor- masi penting dalam rangka peningkatan efisien- si dan kompetisi pasar yang lebih baik. Struktur

  pasar gabah didominasi oleh pedagang pe- ngumpul. Disemua kabupaten pedagang pe- ngumpul menguasai sebagian besar gabah petani, kecuali di Klaten dan Sidrap mendekati separuh (49).

  Kondisi pasar yang dihadapi petani di tujuh kabupaten penelitian yang mencakup lokasi penjualan, pembeli dominan, cara pemba- yaran dan ikatan dengan pembeli ditampilkan pada Tabel 3. Lokasi penjualan (sawah dan non sawah) menurut berbagai bentuk output (GKP, GKS, GKG dan beras) serta sistem panen (tebasan atau tidak) merefleksikan banyak hal dan memberikan implikasi yang menarik. Partisi- pasi petani yang melakukan penjualan di sawah yang cukup menonjol adalah di Klaten (46,0), Kediri (26,8) dan Ngawi (25,8). Sementara di tempat lain proporsinya sekitar 20,0 persen ke bawah. Di Klaten dan Kediri penjualan di sawah umumnya dilakukan dengan sistem tebasan masing-masing dengan tingkat partisi- pasi 36,5 persen dan 11,3 persen, sedangkan di Ngawi sebagian besar (24,2) dalam bentuk GKP. Penjualan gabah dengan sistem tebasan tidak merefleksikan lemahnya posisi petani. Petani menilai sistem tebasan ini memiliki beberapa kelebihan dan menguntungkan pada kedua belah pihak (petani dan pedagang) dan nampaknya cukup kompetitif, yang ditunjukkan banyaknya penebas yang beroperasi di desa.

  Secara umum lokasi penjualan dominan adalah bukan di sawah, dan bahkan mencapai angka di atas 80 persen petani khususnya di Sidrap (90,7), Majalengka (83,2), dan Indra- mayu (82,0). Panen umumnya memakai sistem bawon dan sebagian besar petani men- jual gabah di rumah, dan hanya sebagian kecil yang menjual langsung ke RMU atau pasar desa. Dilihat dari bentuk outputnya, penjualan gabah dalam bentuk GKP sangat menonjol di Sidrap dan Ngawi, dengan partisipasi petani 85,3 persen dan 67,4 persen. Pada kedua daerah ini petani langsung menjual gabah tanpa proses lebih lanjut beberapa saat setelah sampai di rumah. Hal ini dapat dimaklumi karena petani umumnya mengalami keterbatas- an penguasaan alat pengeringan dan penyimpa- nan. Penjualan gabah dalam bentuk GKS (gabah kering simpan) dengan kadar air sebesar 16 persen, cukup dominan di Kabupa- ten Indramayu dengan partisipasi petani sebe sar 51 persen.

  Tabel 3. Sistem Penjualan GabahBeras di Tingkat Petani di Tujuh Kabupaten, 2001 ()

  Lokasi penjualan

  Pembeli dominan

  Cara pembayaran

  Ikatan dengan

  tunai Ada Tidak

  Sumber: Data primer hasil penelitian di tingkat petani, tujuh kabupaten penelitian.

  Penjualan gabah di rumah dalam bentuk

  bentuk GKG. Peningkatan partisipasi petani

  GKG (kadar air 14) cukup dominan di

  dalam pemrosesan gabah menjadi GKS dan

  Majalengka, Kediri dan Klaten, masing-masing

  GKG akan berdampak positif terhadap stabili-

  dengan tingkat partisipasi petani 69,5 persen,

  sasi harga gabah. Kecenderungan seperti ini

  43,7 persen dan 28,6 persen. Kecenderungan

  tidak terdapat di Kabupaten Ngawi yang umum-

  ini akan berdampak positif terhadap ketahanan

  nya menjual gabah di rumah dalam bentuk

  pangan rumah-tangga dengan adanya stok

  GKP.

  pangan (beras) di tingkat keluarga yang siap

  Struktur pasar yang direfleksikan oleh

  diproses untuk menjadi beras atau dijual dalam

  kinerja pemasaran di tingkat petani akan sangat

  ditentukan oleh pembeli dominan yang dihadapi petani, cara pembayaran, dan ikatan petani dengan pembeli. Pembeli dominan gabahberas di tingkat petani adalah pedagang pengumpul desa (PPD) dengan tingkat partisipasi petani 62,1 persen (Indramayu) sampai dengan 90,5 persen di Majalengka, kecuali di Klaten dan Sidrap dengan tingkat partisipasi sebesar 49,0 persen. Di luar Klaten dan Sidrap, hanya seba- gian kecil petani (10,0 - 38,0) yang menjual gabahberas kepada bukan pedagang pengum- pul desa. Katagori pembeli lainnya ini adalah sebagian besar kepada RMU dan hanya sebagi- an kecil oleh pedagang kecamatan, pedagang kabupaten dan pedagang luar kabupaten. Ben- tuk penjualan output kepada pedagang pengum- pul desa, nampak bervariasi menurut wilayah. Di Indramayu partisipasi penjualan petani yang dominan adalah dalam bentuk GKG (25), Majalengka GKG (77,9), Klaten tebasan (28,6), Kediri GKG (47,9), Ngawi GKP (63,6), Agam beras (53,2) dan Sidrap dalam bentuk GKP (42,7). Semakin meningkat parti- sipasi petani dalam penjualan gabah dalam bentuk GKG atau beras menunjukkan indikasi semakin positif, seperti ditunjukkan oleh petani di Kabupaten Majalengka, Kediri dan Agam.

  Pada semua kabupaten penelitian, seba- gian besar petani menyatakan bahwa pemba- yaran oleh pedagang dilakukan secara tunai. Kisaran tingkat partisipasi petani adalah antara 73,3 persen (Sidrap) sampai dengan 100 persen di Majalengka. Sekitar 27,0 persen petani di Sidrap menyatakan pembayaran dilakukan seki- tar 1–2 minggu setelah pengambilan barang. Hal ini nampaknya terkait dengan adanya keterkaitan (ikatan) antara petani dan pedagang dengan tingkat proporsi yang cukup besar, yaitu 49,3 persen dari total petani contoh. Ikatan antara petani dan pedagang ini umumnya ada- lah dalam bentuk langganan (tetap dan tidak tetap) dan famili, dan hanya sebagian kecil karena keterikatan pinjaman modal. Cara pem- bayaran yang sebagian besar dilakukan secara tunai dan tidak ada ikatan atau ketergantungan modal petani dengan pembeli mengindikasikan struktur atau posisi tawar petani yang cukup baik. Keterikatan dalam bentuk langganan dan famili diyakini tidak menjadi sumber distorsi pasar.

  Bahasan berikut akan mengungkap jalur pemasaran, marjin pemasaran dan faktor yang mempengaruhinya. Jalur pemasaran di tujuh kabupaten penelitian sampai pada tingkat peda-

  gang besar (kabupaten dan provinsi) adalah sama, dengan penjelasan sebagai berikut (Gambar 1): (1) Petani menjual gabah (di sawahdi rumah) kepada tiga pelaku tataniaga yaitu penebas, pedagang pengumpul dan KUD; (2) Kecuali KUD yang melakukan penjualan ke Dolog kabupaten, maka penebas dan pedagang pengumpul menjual gabah ke pedagang penam- pungan yang pada umumnya adalah RMU atau kontraktor Dolog kabupaten; (3) Pedagang penampungan ini dengan lokasi di tingkat kabupaten memproses gabah menjadi beras dan selanjutnya menjual ke Dolog dan pedagang besar kabupaten dan provinsi; (4) Dolog kabupaten dapat melakukan penyaluran mobilitas beras antar kabupaten, provinsi dan antar pulau; dan (5) Pedagang besar kabupaten dapat menyalurkanmensuplai beras kepada pedagang besar di tingkat provinsi.

  Pada jalur berikutnya terdapat variasi antar kabupaten sebagai berikut: (1) Pedagang besar kabupaten di empat wilayah di Jawa (Indramayu, Majalengka, Klaten dan Kediri), di samping memasok pasar provinsi, adalah pen- suplai beras ke Pasar Induk Cipinang; (2) Pedagang besar di tiga kabupaten lainnya (Ngawi, Agam dan Sidrap), di samping pemasok pasar provinsi, adalah memasok pedagang antar pulau; (3) Ketiga jenis pelaku tataniaga terakhir ini (pedagang provinsi, pedagang antar pulau dan Pasar Induk Cipinang) memasok tokokios pengecer yang selanjutnya melayani konsumen setempat. Pelaku tataniaga yang memegang peranan sentral dalam perdagangan adalah pedagang penampungan yang melaku- kan kegiatan penampungan, pengeringan, pe- ngolahan gabah dan perdagangan beras.

  Di samping peranfungsi tataniaga yang cukup kompleks, pelaku tataniaga ini juga melakukan penanganan volume perdagangan gabahberas yang cukup besar, dengan kisaran

  75 – 85 persen. Peran RMU yang berfungsi sebagai kontraktor Dolog adalah sekitar 10 – 20 persen. Peran KUD dalam pembelianpema- saran dan perdagangan gabahberas kaitannya dengan tataniaga umum atau pengamanan harga dasar (kaitannya dengan Dolog) adalah relatif kecil (5). Peran pelaku tataniaga di luar “Pedagang Penampung” ini adalah relatif ter- batas yaitu terkait dengan aspek penyimpanan dan distribusi antar kabupaten, provinsi dan antar pulau. Sebagian RMU di tingkat kabupa- ten juga melakukan perdagangan beras sampai

  Pedagang pengumpul

  KUD

  Pedagang penampungan

  (penggilingan padi)

  Pedagang besar

  Pasar provinsi

  Kab. 5,6,7

  Kab. 1,2,3,4

  Pedagang antar

  pulau

  Pasar induk Cipinang

  Tokokios pengecer

  KONSUMEN

  Keterangan Kabupaten: (1) Indramayu, (2) Majalengka, (3) Klaten, (4) Kediri, (5) Ngawi, (6) Agam, dan (7) Sidrap.

  Gambar 1. Jalur Pemasaran BerasGabah di Tujuh Kabupaten, Indonesia, 2002

  ke pasar provinsi atau Pasar Induk Cipinang

  perdagangan sebesar itu, sejumlah 4,19 persen

  (Jakarta). Analisis marjin pemasaran beras

  (Rp 97kg) dialokasikan untuk biaya pengo-

  sampai dengan di pasar eceran di tingkat

  lahan, 7,35 persen (Rp 170kg) untuk biaya

  ibukota kabupaten disajikan pada Tabel 4.

  transportasi, dan sisanya (6,66) atau Rp 154

  Disadari bahwa proporsi alokasi beras untuk

  kg adalah profit marjin.

  memenuhi pasar beras di tingkat kabupaten ini

  Menarik untuk dibahas imbangan keun-

  relatif kecil (15), dengan kisaran 10 persen

  tungan dan biaya pada setiap pelaku tataniaga

  (Indramayu, Ngawi dan Sidrap) sampai dengan

  beras ini. Keuntungan yang diterima pedagang

  25 persen di Kabupaten Agam. Kisaran harga

  pengumpul desa relatif terhadap biaya pema-

  (setara beras) yang diterima petani adalah Rp

  saran adalah 109 persen, RMU 10,91 persen,

  1850kg (Agam) – Rp 1909kg (Kediri) atau

  untuk pedagang besar di pasar kabupaten 51,22

  sekitar 81,8 persen dari harga rataan eceran

  persen, dan untuk pedagang pengecer sebesar

  beras di pasar kabupaten yang besarnya Rp

  98,4 persen. Walaupun marjin tataniaga relatif

  2134kg. Jadi marjin perdagangan beras adalah

  kecil, namun secara relatif (kecuali RMU) tingkat

  relatif kecil (Rp 422kg), yaitu 18,2 persen

  keuntungan yang diperoleh cukup besar, yaitu

  terhadap rataan harga eceran. Dari marjin

  jauh di atas tingkat suku bunga di pasar modal.

  Tabel 4. Analisis Marjin Pemasaran Beras di Tujuh Kabupaten Lokasi Penelitian, 2001 (Rpkg)

  Sidrap Rata- Proporsi rata

  Petani

  a. Harga jual (GKP)

  b. Setara beras

  Pedagang pengumpul desa

  a. Harga beli b. Biaya pemasaran

  c. Harga jual

  d. Profit marjin

  RMU

  a. Harga beli

  b. Biaya pemasaran

  c. Biaya pengolahan

  d. Harga jual

  e. Profit marjin

  Pedagang besar

  a. Harga beli

  b. Biaya pemasaran

  c. Harga jual

  d. Profit margjin

  Pedagang eceran

  a. Harga beli

  b. Biaya pemasaran

  c. Profit marjin

  d. Harga jual

  a. Pengolahan

  b. Transportasi

  c. Profit margjin

  d. Biaya pemasaran

  pemasar- an beras ke pasar lokal ()

  Sumber: Data primer di tujuh kabupaten contoh

  Tingkat keuntungan semakin berarti mengingat

  dan Sidrap sampai dengan Rp 2.100kg di

  waktu transaksi yang relatif cepat. Dikaitkan

  Agam, Sumatera Barat. Pasar gabahberas

  dengan volume perdagangan yang ditangani

  relatif kompetitif dan petani dengan mudah

  oleh keempat pelaku tataniaga ini, nampak

  memasarkan gabah karena jumlah pedagang

  bahwa keuntungan yang diterima RMU dan

  dan RMU relatif banyak yang beroperasi di

  pedagang besar relatif kecil, namun volume

  pedesaan. Pemasaran beras dinilai cukup

  komoditas yang ditangani lebih besar dibanding-

  efisien yang diindikasikan oleh bagian harga

  kan dengan yang ditangani oleh pedagang

  yang diterima petani relatif besar dengan

  pengumpul desa atau pedagang pengecer.

  kisaran 80,1 persen di Klaten dan 85,7 persen di Agam. Rataan biaya pemasaran mencapai Rp

  Hasil analisis marjin pemasaran ini tidak

  302kg atau 15,2 persen terhadap harga eceran,

  jauh berbeda dengan analisis yang sama yang

  dengan komposisi 10,1 persen untuk biaya

  dilakukan satu tahun sebelumnya (tahun 2000)

  prosessing, handling, transportasi, dan sisanya

  di empat kabupaten contoh Klaten, Kediri,

  5,2 persen adalah keuntungan pedagang.

  Agam, dan Sidrap (Rusastra et al. 2000). Pada saat itu harga gabah (GKP) di tingkat petani di empat kabupaten produsen utama padi adalah

  Dinamika Harga dan Integrasi Pasar

  berkisar antara Rp 800kg – Rp 850kg, atau

  Bahasan ini akan mengungkap beberapa

  setara dengan Rp 1.550 – Rp 1.800kg beras.

  aspek yaitu: (1) Dinamika harga bulanan pada

  Kisaran harga eceran beras di tingkat konsumen

  berbagai tingkat harga (produsen, konsumen,

  di pasar kabupaten adalah Rp 1.900kg di Kediri

  harga internasional) di wilayah kabupaten harga internasional) di wilayah kabupaten

  

  Secara normatif dinamika harga bulanan gabah akan dipengaruhi oleh masa panen raya, penanganan stok gabah oleh petani, pelaksa- naan program stabilisasi harga, dan kinerja pemasaran gabahberas antar wilayah. Dinami- ka harga gabah juga tidak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan kinerja pasar beras dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Perkem- bangan harga beras eceran di kabupaten penelitian (daerah surplus beras) sangat ditentu- kan oleh kelancaran arus barang keluar kabu- paten dalam bentuk perdagangan beras antar kabupaten, provinsi dan antar pulau. Faktor lain yang berpengaruh adalah manajemen stok gabahberas dalam rumah tangga, pelaksanaan program OPK beras, dan perencanaan serta pelaksanaan impor beras.

  Pada tahun 2000, harga bulanan gabah di tingkat petani di enam kabupaten penelitian relatif stabil (Lampiran 1). Rataan harga relatif bervariasi antar daerah. Di Jawa kisaran harga gabah (GKP) antara Rp 710kg (Indramayu) sampai dengan Rp 1.100kg di Klaten. Di luar Jawa berkisar antara Rp 810kg (Sidrap) hingga Rp 1.085kg di Kabupaten Agam. Pada tahun 2001, kecenderungan pergerakan harga gabah nampak berbeda dibandingkan tahun sebelum- nya. Di tiga kabupaten produsen utama padi di Jawa (Indramayu, Majalengka dan Klaten) terjadi peningkatan harga yang cukup konsisten. Dalam periode Januari – Desember 2001 (Lampiran 2), harga gabah di Indramayu meningkat dari Rp 950kg menjadi Rp 1.470 kg GKP, di Majalengka Rp 1.200kg – Rp 1.450kg GKG, dan di Klaten Rp 1.250kg – Rp 1.440kg GKG. Sementara di tiga kabupaten lainnya (Ngawi, Agam, dan Sidrap) harga gabah relatif stabil dengan nilai rataan bulanan masing- masing Rp 980 kg, Rp 970kg dan Rp 1.125kg GKP. Dalam periode 2000 - 2001, kecuali di Kabupaten Agam, terdapat peningkatan harga gabah yang cukup signifikan (Lampiran 3). Peningkatan harga yang cukup besar terjadi di Indramayu (62,7), Sidrap (38,8), Klaten (18,5), dan di Kabupaten Ngawi dengan laju peningkatan 15,3 persen. Sementara itu di Ka-

  bupaten Agam terjadi penurunan harga sebesar 10,9 persen, yang terjadi hampir sepanjang tahun 2001, kecualli pada bulan Desember.

  Kecenderungan harga bulanan eceran beras tahun 2000, di empat kabupaten di Jawa mengalami penurunan, sementara di luar Jawa dalam keadaan stabil (Lampiran 1). Selama periode Januari-Desember 2000, harga eceran beras di Indramayu menurun dari Rp 2.400 kg menjadi Rp 1.835kg, di Majalengka Rp 2.250 – Rp 1.950kg, di Klaten Rp 2.500kg – Rp 1.850kg, dan di Ngawi menurun dari Rp 2.200 kg menjadi Rp 1.900kg. Di dua kabupaten di luar Jawa stabil pada nilai rataan Rp 2.085 kg di Agam dan Rp 1.789kg di Kabupaten Sidrap. Pada tahun 2001 terdapat kecende- rungan sebaliknya, dimana terjadi indikasi peningkatan harga eceran beras pada semua derah kabupaten (Lampiran 2). Konsekuensinya adalah tidak terjadi perubahan harga yang berarti (khususnya di Jawa) selama periode dua tahun terakhir ini. Di tiga kabupaten di Jawa (Indramayu, Majalengka dan Klaten) harga beras relatif stabil dengan laju peningkatan di bawah 3,0 persen (Lampiran 3). Sementara itu di Sidrap-Sulawesi Selatan harga beras mening- kat sebesar 10,5 persen, yaitu dari Rp 1.790kg menjadi Rp 1.980kg. Dalam kondisi saat ini (bukan panen raya) harga eceran beras di pasar Terung-Makasar dalam kondisi normal dan stabil. Harga eceran beras kualitas medium adalah Rp 2.350kg – Rp 2.450kg, sedangkan harga beras berkualitas (branded rice) ada- lah Rp 2.900kg – Rp 3.000kg.

  Berbeda dengan harga gabah yang umumnya mengalami peningkatan dan harga eceran beras yang bergerak stabil, maka harga internasional beras (FOB Bangkok) selama pe- riode 2000-2001 mengalami penurunan sebesar 11,6 persen (Lampiran 3). Penurunan terjadi hampir setiap bulan, kecuali pada bulan Nopem- ber dan Desember yang mengalami peningkat- an 0,8 persen dan 3,0 persen. Dengan memper- hitungkan biaya pengangkutan dan asuransi se- besar US 17,5ton dan nilai tukar rupiah yang berlaku, nampak bahwa terjadi peningkatan harga beras CIF (Rpton) sebesar 8,1 persen selama periode 2000-2001. Peningkatan hampir terjadi setiap bulan kecuali pada bulan Juli yang mengalami penurunan sebesar 1,8 persen. Hal ini dimungkinkan karena harga beras CIF dalam US mengalami penurunan sebesar 7,2 persen, sementara itu nilai tukar dolar meningkat relatif kecil yaitu hanya 5,8 persen.

  Prestasi yang patut dicatat dalam hal ini adalah kemampuan membendung transmisi penurunan harga internasional (FOB, Bangkok), sehingga tidak berdampak terhadap harga eceran beras di dalam negeri. Hal ini menun- jukkan kemampuan manajemen impor beras yang cukup baik. Pelaksanaan impor dan OPK pasar beras yang tahun sebelumnya dinyatakan cukup mengganggu stabilitas harga beras ternyata tidak menjadi kenyataan pada tahun 20012002 ini. OPK beras nampaknya berjalan sesuai dengan yang diharapkan, yaitu tepat waktu, tepat volume dan juga tepat sasaran. Pada saat bersamaan harga gabah di tingkat petani secara umum mengalami peningkatan yang cukup berarti. Keadaan ini merefleksikan beberapa hal yaitu, bekerjanya secara baik pasar dan pengolahan gabah, lancarnya per- dagangan beras antar daerah dan antar pulau, dan cukup efektifnya pengadaan gabah dan pelaksanaan mobilitas beras antar wilayah oleh Dolog setempat.

  Perkembangan harga bulanan selama periode 2000 – 2001 pada berbagai tingkat harga (harga eceran kabupaten, eceran provin- si, grosir Cipinang, harga FOB dan CIF dalam Rpkg) ditampilkan pada Gambar 2. Nampak bahwa harga FOB dan CIF berada di bawah harga domestik. Hal ini dapat dipahami karena belum termasuk tarif impor, PPn, biaya transpor- tasi, dan keuntungan pedagang. Harga grosir Cipinang berada di bawah harga eceran beras di pasar kabupaten dan pasar provinsi. Harga

  grosir Cipinang ini untuk sampai pada harga eceran di pasar Jakarta tentunya masih harus memperhitungkan biaya transportasi dan handling, di samping keuntungan pengecer. Perbedaan harga eceran beras pasar provinsi dan kabupaten disebabkan oleh adanya marjin pemasaran dari daerah sentra produksi (kabu- paten) ke pusat konsumen di pasar provinsi. Terdapat indikasi bahwa harga grosir pasar Cipinang terbentuk dari keseimbangan harga antar harga beras impor dan beras domestik. Semua tingkat harga mengikuti kecenderungan peningkatan yang seirama.

  Korelasi harga gabahberas pada berba- gai tingkat pasar dan antar wilayah menunjuk- kan indikasi awal keterkaitan pasar sebagai refleksi dari kinerja mekanisme pasar. Tingkat pasar yang dipertimbangkan adalah pasar di tingkat produsen, pasar eceran di pasar kabupa- ten, pasar eceran di tingkat provinsi, pasar grosir di Pasar Induk Cipinang Jakarta, dan harga beras di pasar internasional (FOB). Pasar grosir di Pasar Induk Cipinang menjadi pertim- bangan, didasarkan atas penelitian yang dila- kukan Natawijaya (2001) dengan menggunakan data dasar bulanan yang cukup panjang (1995- 1989) menunjukkan bahwa harga pasar beras antar ibukota provinsi (Padang, Bandung, Semarang, dan Surabaya, dan Ujung Pandang) memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan harga beras di pasar Jakarta, dengan kisaran nilai korelasi harga antara 0,56 (Padang) sd 0,93 (Bandung). Dihipotesakan bahwa tingkat

  Gambar 2. Perkembangan Harga Bulanan Selama Periode 2000-2001 pada Berbagai Tingkat Harga

  bulan (2000-2001)

  Harga beras kabupaten (Rpkg)

  Harga grosir Cipinang

  Harga CIF (Rpkg) Harga beras ibukota provinsi (Rpkg) Harga FOB (Rpkg)

  pasar yang lebih rendah, khususnya di empat kabupaten di Jawa, akan memiliki keterkaitan pasar yang kuat dengan Jakarta, dalam hal ini harga beras di Pasar Induk Cipinang.

  Hasil analisis korelasi harga produsen dengan harga di pasar domestik dan internasio- nal di empat kabupaten contoh di Jawa dengan menggunakan data bulanan selama periode 2000 – 2001 disajikan pada Tabel 5. Berpato- kan pada nilai korelasi sebesar 0,50 sebagai nilai ambang batas, maka harga di tingkat produsen memiliki keterkaitan yang lemah di Indramayu dan Klaten, sedangkan cukup kuat di Majalengka dan Ngawi. Keterkaitan pasar produsen dengan pasar eceran beras di tingkat provinsi, juga memiliki keterkaitan yang lemah, kecuali di Klaten dengan nilai korelasi 0,7986. Sebaliknya keterkaitan harga produsen dengan harga grosir di Pasar Induk Kramatjati relatif kuat, dengan nilai korelasi harga di atas 0,50, dengan kisaran 0,6470 (Indramayu) sd 0,7877 (Ngawi). Harga produsen dengan FOB memiliki keterkaitan yang moderat dengan kisaran nilai korelasi antara 0,4235 (Majalengka) sd 0,6361 (Indramayu). Dapat dinyatakan bahwa pasar beras di empat kabupaten contoh di Jawa sebagai daerah sentra produksi relatif terbuka dan memiliki keterkaitan yang kuat dengan pasar DKI Jakarta sebagai pasar terbesar di Jawa bahkan di tingkat nasional. Namun demikian ia relatif terlindung dari gejolak harga di pasar dunia.

  Pada tingkat pasar yang lebih tinggi (pasar eceran kabupaten), ia memiliki keter- kaitan yang lemah dengan pasar eceran provinsi, kecuali di Klaten dan Ngawi dengan nilai koefisien korelasi 0,6922 dan 0,6425 (Tabel 5). Sebaliknya keterkaitan harga eceran kabu-

  paten dengan pasar grosir di Pasar Induk Kramatjati, memiliki integrasi pasar yang relatif kuat untuk kabupaten (Majalengka, Klaten dan Ngawi), dengan kisaran nilai korelasi harga 0,7276 – 0,8814. Seperti halnya dengan harga produsen, harga eceran beras di tingkat kabu- paten juga tidak dipengaruhi oleh gejolak harga internasional.

  Harga eceran beras di pasar provinsi memiliki keterkaitan yang kuat untuk dua provinsi contoh, Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan nilai korelasi harga 0,9250 dan 0,7399, sementara Jawa Barat memiliki keterkaitan yang relatif rendah, dengan nilai korelasi 0,3875. Transportasi dan jarak nampaknya bukan merupakan faktor pembatas dalam menentukan kinerja keterkaitan pasar antar wilayah khusus- nya di Jawa. Seperti halnya harga di pasar produsen dan kabupaten, harga eceran provinsi juga memiliki keterkaitan yang lemah dengan harga beras di pasar dunia (FOB). Namun demikian lain halnya dengan keterkaitan antara harga grosir Pasar Induk Cipinang dengan harga FOB dengan nilai korelasi 0,5190. Nampak bahwa gejolak harga beras inter- nasional lebih terkait dengan harga di DKI Jakarta sebagai pusat pasar konsumen terbe- sar; dan bukan pada tingkat harga di bawahnya (pasar provinsi, kabupaten, dan produsen di desa). Pergerakan beras antar provinsi akan direfleksikan oleh integrasi (keterkaitan) pasar beras antar wilayah yang dapat dipakai sebagai

  indikator tingkat efisiensi pemasaran. Peman- faatan Pearson Correlation Coefficient (PCC) ini difasilitasi dengan pemanfaatan data harga riil (untuk mengkoreksi faktor inflasi) berdasarkan indek harga konsumen ibukota provinsi, 1995- 1999. Dengan data dasar PCC dihitung nilai

  Tabel 5. Korelasi Harga Produsen dengan Harga di Pasar Domestik dan Internasional di Empat Kabupaten

  Contoh di Jawa, 2000 – 2001 (harga bulanan)

  Keterkaitan pasar

  Produsen vs. eceran kabupaten Produsen vs. eceran provinsi Produsen vs. grosir Cipinang. Produsen vs. FOB Eceran kabupaten vs. eceran provinsi Eceran kabupaten vs. grosir Cipinang Eceran kabupaten vs. FOB Eceran provinsi vs. grosir Cipinang Eceran provinsi vs. FOB Grosir Cipinang vs. FOB

  Sumber: Diolah dari data dasar pada Lampiran 1, 2, dan 3.

  TSSC (Total Sum Square Correlation) dan JLTB (Jumlah Lokasi Tidak Berkorelasi). Pasar provinsi penelitian dinilai “tidak terintegrasi” dengan pasar lainnya bila memiliki TSSC <6,25, “kurang terintegrasi” bila TSSC 6,25–11,90, dan “terintegrasi dengan baik” bila TSSC >11,90 (Natawidjaja, 2000).

  Dari hasil analisis (Tabel 6 dan 7) dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: (1) Pasar beras di Padang (Sumatera Barat)

  memiliki tingkat integrasi moderat dengan pasar beras di ibukota provinsi lainnya yang ditun- jukkan oleh nilai TSSC 8,1 (kisaran 6,25-11,90); (2) Pasar beras ibukota provinsi penelitian lainnya, ternyata memiliki tingkat integrasi pasar yang sangat baik; (3) Hasil analisis ini nampak sejalan dengan fakta empiris di lapangan ten-

  tang kinerja keberhasilan pasar beras, khusus- nya antar provinsi di Jawa dan perdagangan beras ke luar Jawa yang dinyatakan berjalan

  Tabel 6. Koefisien Korelasi Harga Pasar Beras antar Ibukota Provinsi di Indonesia, 1995-1999 1)

  Surabaya Ujung-pandang

  Banda Aceh Medan Pekanbaru Padang Jambi Palembang Bengkulu Lampung Jakarta Bandung Semarang Yogyakarta Surabaya Pontianak Balikpapan Banjarmasin Palangkaraya Manado Palu Kendari Ujungpandang Denpasar Mataram Kupang Ambon Jayapura

  Sumber : Natawidjaja (2001)

  Tabel 7. Total Sum-Square-Correlation (TSSC), Jumlah Lokasi Tidak Berkorelasi dan Keadaan SurplusDefisit

  Beras di Lima Provinsi, Indonesia, 1995-1999 3)

  Jumlah lokasi tidak berkorelasi 2)

  Surplusdefisit (1000 ton) 4)

  Sumatera Barat Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Sulawesi Selatan

  Padang Bandung Semarang Surabaya Ujungpandang

  TSSC (Total Sum Square Correlation) adalah penjumlahan kwadrat dari nilai koefisien korelasi silang dengan kota-kota lainnya (25 kota).

  Jumlah lokasi tidak berkorelasi adalah jumlah lokasi yang memiliki koefisien korelasi silang <0,50.

  Sumber: Natawidjaja (2001). 4) Sumber: Data dasar, BPS, Jakarta.

  lancar; (4) Perdagangan beras ke luar Kabu-

  dasar, mengeliminir dampak fluktuasi khusus-

  paten Sidrap (dan Sulawesi Selatan melalui

  nya penurunan harga di pasar internasional,

  Makasar) melalui perdagangan antar provinsi

  pelaksanaan OPK pasar beras sebagai substitu-

  dan antar pulau khususnya ke Kalimantan,

  si proteksi terhadap konsumen umum, dan

  Maluku dan Irian Jaya umumnya berjalan

  keberhasilan pasar beras berkualitas. Tinjauan

  secara baik. Hal ini didukung oleh adanya infra-

  studi sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat

  struktur yang baik dan struktur pasar yang

  indikasi melemahnya efektivitas intervensi

  kompetitif.

  pemerintah dengan adanya demonopoli pera-

  Hasil analisis Natawidjaja (2001) dengan

  nan Bulog, khususnya pada tahun 1999 dan

  mempertimbangkan 26 provinsi secara nasional

  2000. Menarik untuk diungkap bagaimana kiner-

  dan dikaitkan dengan kondisi surplusdefisit

  ja stabilisasi harga khususnya pengamanan

  suatu daerah, menyimpulkan beberapa hal yang

  harga dasar gabah di tingkat petani paska tahun

  menarik, sebagai berikut: (1) Sebagian besar

  (18 lokasi) pasar beras provinsi terintegrasi

  Peran Dolog dalam pelaksanaan stabili-

  secara baik, kecuali tujuh pasar provinsi (Pekan-

  sasi harga melalui pengamanan harga dasar

  baru, Padang, Pontianak, Banjarmasin, Mana-

  dinilai tetap penting. Harga dasar perlu dipahami

  do, Kupang dan Ambon) yang kurang terinte-

  sebagai risk reducing policy bagi petani dan

  grasi, dan hanya satu pasar, yaitu Palang-

  bukan satu-satunya instrumen dalam pening-

  karaya, tidak terintegrasi dengan pasar provinsi

  katan pendapatan petani (Saifullah, 2001).

  lainnya; (2) Faktor penyebab tidak terintegrasi-

  Jatuhnya harga pada masa panen raya tetap

  nya pasar beras “kasus Palangka-raya” diduga

  merupakan ancaman dan risiko yang dihadapi

  kuat karena faktor kekuatan monopolis, karena

  petani. Pada masa panen raya (Februari – Mei),

  faktor hambatan transportasi dan sebagai

  dimana areal panen secara nasional mencapai

  daerah defisit beras (sekitar 29,8 ribu tontahun)

  sekitar 48 persen maka surplus produksi

  tidak dapat menjelaskan hal ini; (3) DKI Jakarta

  musiman diperkirakan sebesar 23 persen

  memiliki integrasi pasar yang sangat kuat, dan

  (Pranolo, 2001). Variasi harga gabah musiman

  tidak ada penguasaan (kontrol) pasar di daerah

  selama dua dekade terakhir ini (1977 – 1997)

  ini dan pasar bersifat sangat kompetitif; dan (4)

  hampir tidak mengalami perubahan yaitu sekitar

  Daerah defisit beras dinilai tidak relevan untuk

  17 – 21 persen (Mears, 1982 dan Pranolo,

  berswasembada, namun tetap perlu difasilitasi

  loc.cit). Pada masa selanjutnya stabilisasi harga

  agar arus volume barang dapat berjalan lancar.

  gabah diperkirakan akan semakin rentan, se- hingga kinerja pengamanannya oleh Bulog men-

  PROGRAM STABILISASI HARGA DAN

  jadi semakin penting.

  PENETAPAN TARIF BEA MASUK

  Hasil pengamatan lapang tentang kinerja pelaksanaan pengamanan harga dasar, periode

  Dua aspek yang terkait dengan stabilisasi

  2001-2002 di tujuh kabupaten penelitian diper-

  harga adalah mengatasi gejolak fluktuasi harga

  oleh beberapa hasil menarik sebagai berikut:

  musiman dan dampak transmisi dinamika

  (1) Di Jawa Barat (Indramayu dan Majaleng-

  perubahan harga di pasar dunia. Aspek pertama

  ka), target pengadaan pangan (gabah)

  terkait dengan pengamanan harga dasar, dan

  tahun 2002 dapat dicapai dengan baik.

  aspek kedua dengan penetapan tarif bea

  Harga gabah di tingkat petani, khususnya

  masuk. Kedua hal ini dinilai sangat penting

  untuk tahun 2002, melebihi atau berada

  dalam menjaga stabilitas harga gabahberas di

  di atas harga dasar. Di Indramayu pada

  dalam negeri dengan sasaran menjaga keber-

  saat panen raya (April 2002), harga gabah

  lanjutan adopsi teknologi, peningkatan produksi,

  mencapai Rp 1.280kg. Rataan harga gabah

  pendapatan dan kesejahteraan petani. Bagi

  pada enam bulan pertama tahun ini (Januari

  Indonesia instrumen kebijakan harga dasar

  -Juni 2002) sekitar 35,8 persen di atas rata-

  gabah dan TBM impor beras merupakan

  rata harga periode yang sama tahun

  prioritas kebijakan karena peran beras yang

  sebelumnya (Rp 1.480 vs Rp 1.090 kg

  sangat strategis, bukan saja sebagai komoditas

  GKP). Di Majalengka, pada enam bulan

  ekonomis penting tetapi juga bersifat politis.

  pertama (sampai Juni 2002) harga gabah di

  Kinerja stabilisasi harga pangan ditentu-

  tingkat petani berkisar antara Rp 1.300 - Rp

  kan oleh kemampuan pengamanan harga

  1.400kg GKS.

  (2) Di Jawa Tengah dan Jawa Timur kinerja

  Analisis penetapan tarif bea masuk (TBM)

  pengamanan harga dasar tidak sebaik di

  impor beras mengikuti beberapa tahapan per-

  Jawa Barat. Dengan mengacu harga dasar

  hitungan, yaitu: (1) Penetapan harga eceran

  sebesar Rp 1.500kg GKG (setara dengan

  beras yang diproduksi petani pada berbagai

  Rp 1.095kg GKP), maka harga gabah

  tingkat keuntungan (return to management) di

  petani di dua daerah ini berada sedikit di

  Jawa (rataan di lima kabupaten), luar Jawa

  bawah harga dasar, khususnya di Klaten

  (rataan di dua kabupaten), dan agregat nasional

  dan Ngawi. Di Klaten harga gabah petani

  (rataan di tujuh kabupaten penelitian); (2)

  tahun 2002 mencapai sekitar Rp 1.050kg

  Penampilan simulasi penetapan tarif bea masuk

  GKP, yakni sekitar 23,5 persen di atas

  beras impor pada kondisi aktual tahun 2001,

  harga tahun sebelumnya. Di Ngawi dan

  sampai kepada penentuan harga eceran beras

  Kediri tingkat harga petani tahun 2002

  impor di tingkat konsumen; dan (3) Penetapan

  masing-masing mencapai Rp 1.075kg GKP

  tarif bea masuk impor beras pada berbagai

  dan Rp 1.160kg GKP. Kinerja pengamanan

  harga internasional (cif) dan nilai tukar rupiah

  harga dasar 2002 dapat dinyatakan lebih

  pada tingkat keuntungan petani tertentu, dalam

  baik dibanding tahun 2001.

  hal ini 20 persen.

  (3) Di luar Jawa, khususnya di Kabupaten

  Harga eceran beras pada berbagai tingkat