Evaluasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Pembangunan adalah sesuatu yang menyejahterakan dan menyenangkan
manusia, bukan menindas, merampas hak asasi manusia, menumpahkan darah,
serta bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Sen (1999:3) mengatakan:
’’Development as a process of expanding the real freedoms that
people enjoy. Focusing on human freedoms contrast witht narrower views
of development, such as identifying development with the growth of gross
national product, or with the rise in personal incomes, or with
industrialization,

or

with

technological

advance,


or

with

social

modernization’’.

Pembangunan seharusnya merupakan proses yang memfasilitasi manusia
mengembangkan hidup sesuai pilihannya. Asumsi pemikirannya, bila manusia
mampu mengoptimalkan potensi, maka pembangunan juga diharapkan mampu
mengubah kondisi manusia secara optimal dan akan bisa maksimal pula
kontribusinya untuk kesejahteraan bersama.
Salah satu tujuan utama kebijakan pembangunan adalah penanggulangan
permasalahan kemiskinan, ketidakberdayaan dan keterbelakangan. Penyebab dari
langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan adalah
persoalan aksesibilitas. Keterbatasan akses mengakibatkan manusia tak ada pilihan
untuk mengembangkan hidupnya. Manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa
dapat dilakukan, bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan. Dengan demikian,


1

2

potensi manusia mengembangkan hidup menjadi terhambat dan kontribusinya pada
kesejahteraan bersama menjadi lebih kecil. Aksesibilitas yang dimaksud adalah
terfasilitasinya kebebasan politik, kesempatan ekonomi, kesempatan sosial
(pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), transparansi, serta adanya jaring pengaman
sosial (Sen. 1999:10).
Kemiskinan di negara-negara berkembang terutama di Indonesia masih
menjadi permasalahan utama dalam proses pembangunan nasional. Kemiskinan
juga kerap dijadikan acuan dalam keberhasilan pembangunan di Indonesia, bahkan
setiap pergantian periode pemerintahan maka isu kemiskinan selalu menjadi topik
yang menarik untuk diperdebatkan. Pemerintah mendefinisikan kemiskinan sebagai
kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak
mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan
kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat, yaitu terpenuhinya
kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih,
pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari ancaman
tindak kekerasan dan untuk partisipasi dalam kehidupan sosial politik baik bagi

laki-laki maupun perempuan.
Badan Pusat Statistik mengukur garis kemiskinan dengan pendekatan
konsumsi sejalan dengan pendekatan Bank Dunia. Garis kemiskinan tersebut
diukur dari kemampuan membeli bahan makanan ekuivalen dengan 2100 kalori per
kapita per hari dan biaya untuk memperoleh kebutuhan minimal akan barang/jasa,
pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi, dan pendidikan. Bank Dunia
menggunakan pengeluaran untuk konsumsi per hari sebesar US$ 1 & US$ 2. Badan
Pusat Statistik melihat Perkembangan kemiskinan di Indonesia dapat di lihat dari

3

tiga indikator yaitu garis kemiskinan, jumlah penduduk miskin dan persentase
penduduk miskin. Setiap indikator dipisahkan antara kemiskinan di perkotaan dan
kemiskinan di perdesaan karena terdapat perbedaan ciri sosial, ekonomi, budaya
pada masyarakatnya.
Pada data BPS (2013) dapat kita lihat bahwa kemiskinan di Indonesia pada
tahun 1976 terdapat 54 juta jiwa rakyat miskin dimana 44 juta jiwanya (40% dari
jumlah penduduk desa) terdapat di perdesaan sedangkan 10 juta jiwa (38% dari
jumlah penduduk kota) terdapat di perkotaan. Hal ini menunjukkan sebaran
penduduk miskin terkonsentrasi pada daerah perdesaan.


Dengan persentase

kemiskinan antara kota dan desa yang tidak terlalu timpang maka disimpulkan
bahwa tidak adanya perbedaan yang mencolok dari segi jumlah dan sebaran antara
kemiskinan di perkotaan dan di perdesaan.
Pada tahun 1990 terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam
pengurangan jumlah kemiskinan terutama kemiskinan di perdesaan yang dapat
ditekan hingga jumlah 17,8 juta jiwa, begitu pula di perkotaan yang walaupun
jumlahnya tidak berbeda jauh dengan tahun 1970 yaitu 9,4 juta jiwa namun
persentase menurun drastis menjadi 16.8%. Jika menelaah data tersebut bahwa di
antara tahun 1970 hingga 1990 terdapat kebijakan pemerintah yang sangat
membantu pengurangan kemiskinan di Indonesia, namun kebijakan tersebut ikut
mendorong terjadi migrasi penduduk dari desa ke kota yang tergambar pada
tingginya persentase perubahan sebaran penduduk miskin di perdesaan dan di
perkotaan.

4

Terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1998 ternyata sangat berpengaruh

pada jumlah penduduk miskin di Indonesia. Terdapat lonjakan penduduk miskin
baik di perkotaan maupun di perdesaan, meningkatnya standar garis kemiskinan
dari Rp 42.032 pada tahun 1996 menjadi Rp. 96.959 pada tahun 2008 menunjukkan
terjadi inflasi yang sangat besar dan sangat mempengaruhi stabilitas makro dan
mikro ekonomi Indonesia. Pasca krisis ekonomi tahun 1998 keadaan jumlah
penduduk miskin di Indonesia terus mengalami penurunan dan puncaknya pada
tahun 2001. Namun pengurangan jumlah penduduk miskin mayoritas berada pada
daerah perkotaan, sedangkan jumlah kemiskinan di perdesaan tidak mengalami
perubahan yang signifikan. Hal tersebut diperkirakan karena pertumbuhan ekonomi
di perkotaan yang sangat tinggi karena kebijakan pemerintah saat itu yang lebih
menguntungkan masyarakat di perkotaan.
Jumlah penduduk miskin dari dari tahun 2002 hingga 2013 menunjukkan
angka perubahan persentase jumlah masyarakat miskin yang cenderung menurun,
penurunan signifikan terlihat pada jumlah penduduk miskin di perdesaan yang
mengindikasikan adanya perubahan pola pembangunan yang berpihak kepada
masyarakat di perdesaan walaupun jumlah penduduk miskin di perdesaan masih
lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di perkotaan. Penyebab
kemiskinan di Indonesia yang masih didominasi oleh masyarakat miskin di
perdesaan sangat beragam mulai dari rendahnya modal sosial, infrastruktur yang
tidak memadai hingga ketidakberdayaan masyarakat dalam meningkatkan taraf

hidupnya.
Umumnya masyarakat di perdesaan mayoritasnya bekerja sebagai petani
terkendala oleh sempitnya kepemilikan tanah, kurangnya akses terhadap sarana dan

5

prasarana penunjang pertanian serta kurangnya kesempatan kerja di luar lapangan
pertanian juga merupakan faktor penyebab tingginya tingkat kemiskinan di daerah
pedesaan.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam mengentaskan
kemiskinan dengan menerapkan model-model pembangunan. Salah satu
pendekatan pembangunan yang diterapkan pemerintah di masa orde baru adalah
top-down dimana dalam pembangunan yang proses pembangunan sepenuhnya

dilaksanakan secara sentralistik oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara.
Pendekatan ini menyebabkan partisipasi masyarakat kurang terwujud dan
cenderung mengikis pengetahuan lokal masyarakat dalam upaya pembangunan.
Acuan pemikiran pakar pembangunan pada saat orde baru lebih banyak
didasarkan pada kritik teori modernisasi yang dikemukakan Emile Durkheim,
bahwa dalam mencapai kemajuan akan terjadi evolusi pada setiap tatanan

masyarakat dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Pakar pembangunan
pada saat itu umumnya akan memandang baik jika itu menyangkut ciri modern dan
akan memandang buruk ciri tradisional.
Banyaknya riset dan perkembangan ilmu pengetahuan umumnya tidak
berpihak kepada masyarakat desa. Permasalahan yang kemudian muncul dari pola
pikir modernisasi tersebut yaitu hilangnya daya kreasi dan inovasi dari masyarakat
dan menimbulkan ketergantungan masyarakat terhadap program-program yang
diluncurkan pihak luar, dan yang terburuk adalah modernisasi ini tidak menciptakan
kemandirian dan berkelanjutan bagi pemenuhan kesejahteraan masyarakat. Pola
modernisasi telah menghilangkan tradisi-tradisi yang dianut masyarakat. Pola

6

modernisasi ini diperparah dengan menempatkan masyarakat sebagai objek yang
mengakibatkan kebijakan pembangunan tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
Walaupun ada kebijakan yang sesuai dan mempermudah masyarakat dalam
menjalankan aktivitasnya umumnya akan menyebabkan perubahan sosial
masyarakat yang merugikan masyarakat tersebut. Ketidakmampuan dalam
memahami


kebutuhan

masyarakat

mengakibatkan

pemerintah

sebagai

penyelenggara negara tidak mampu mewujudkan tujuan utama dari pembangunan
itu sendiri. Hal ini tidak terlepas dari keterbatasan teori-teori pembangunan yang
tersedia dalam memahami kebutuhan masyarakat dan cara memenuhinya, dan
adanya pemilihan teori tersebut dapat bias kepentingan tertentu.
Perkembangan pendekatan pembangunan saat ini mulai bergeser ke arah
bottom-up sebagai bentuk arus balik yang diharapkan adanya perubahan pola pikir

para pakar pembangunan bahwa pembangunan itu tidaklah dapat hanya mengacu
pada nilai-nilai modernisasi. Kebudayaan modern tidaklah lebih baik dari

kebudayaan tradisional karena kebudayaan tradisional berkembang di masyarakat
melalui tahapan-tahapan yang panjang berdasarkan hasil pembelajaran masyarakat
tersebut. Arus ilmu pengetahuan seharusnya bersumber dari masyarakat itu sendiri.
Pengetahuan masyarakat biasanya tidak berbentuk tertulis tetapi dapat dilihat dari
kebudayaannya. Kaum profesionalisme harus mencoba untuk berpikir dan
merasakan kehidupan dari sisi masyarakat desa agar tujuan pembangunan dapat
lebih menyentuh kehidupan masyarakat desa (Chambers. 1983:262).

7

Ciri dari pendekatan pembangunan bottom-up adalah adanya upaya
pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan itu sendiri. Para pakar
pembangunan

berpendapat

bahwa

partisipasi


masyarakat

dalam

upaya

pembangunan berpengaruh pada hasil pembangunan tersebut. Semakin tinggi
keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan maka akan semakin baik hasil
dari pembangunan tersebut. Pembangunan yang berorientasi pada pembangunan
manusia, dalam pelaksanaannya sangat mensyaratkan keterlibatan langsung pada
masyarakat penerima program pembangunan (Korten dalam Supriatna. 2000:209).
Terdapat tiga alasan utama mengapa partisipasi masyarakat menjadi sangat
penting dalam pembangunan, yaitu: Pertama, partisipasi merupakan suatu alat guna
memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat
setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek
akan gagal. Kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai program
pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya,
karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk program tersebut. Alasan yang
Ketiga adalah adanya anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila


masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat sendiri (Conyers.
1991:154-155).
Pada beberapa program pembangunan, saat ini Pemerintah Indonesia
menerapkan pendekatan pembangunan dengan melibatkan partisipasi masyarakat
dalam prosesnya, bentuknya berupa pemberdayaan masyarakat yang diharapkan
masyarakat dapat mendefinisikan dan menangani masalah yang mereka hadapi,
serta terbuka untuk menyatakan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam proses
pengambilan keputusan. Hal tersebut didasari pada paradigma pemberdayaan yang

8

memandang bahwa masyarakat harus menjadi pusat pembangunan sekaligus pelaku
utama pembangunan (people centered development). Upaya-upaya pemerintah
dalam mewujudkannya terlihat pada pergeseran administrasi pembangunan dengan
mengubah tujuan, sistem insentif, pertanggung jawaban, struktur kekuasaan dan
budaya sistem dan organisasi pemerintahan yang lebih baik .
Salah satu prinsip pemerintahan yang baik dikemukakan oleh David
Osborne dan Ted Gaebler (1996:57) adalah pemerintah adalah milik masyarakat.
Prinsip ini menekankan upaya memberdayakan ketimbang melayani (Empowering
raher than serving). Mengalihkan wewenang kontrol yang dimiliki pemerintah

kepada masyarakat dengan memberdayakan masyarakat sehingga mampu
mengontrol pelayanan yang dilakukan birokrasi. Masyarakat dapat membangkitkan
komitmen mereka yang lebih kuat, perhatian lebih baik dan lebih kreatif dalam
memecahkan masalah dan mengurangi ketergantungan masyarakat kepada
pemerintah. Dengan adanya prinsip ini, Pemerintah sebaiknya memberi wewenang
kepada masyarakat, sehingga menjadi masyarakat yang mampu menolong dirinya
sendiri (Community self-help). Dengan adanya kontrol dari masyarakat, aparatur
pemerintahan (pejabat eksekutif dan legislatif) akan memiliki komitmen yang lebih
baik dan lebih peduli serta lebih kreatif dalam memecahkan masalah.
Penerapan

program

pembangunan

partisipatif

dalam

rangka

penanggulangan kemiskinan dimulai dari program yang paling terkenal di masa
Pemerintahan Orde Baru yaitu program IDT (Inpres Desa Tertinggal) yang dimulai
pada tahun 1993/1994, awal Repelita VI. Program ini merupakan manifestasi dari
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1993 tentang Peningkatan Penanggulangan
Kemiskinan. Program IDT dilaksanakan dengan memberikan bantuan modal usaha

9

berupa dana bergulir kepada lebih 20 ribu desa tertinggal dengan dana sebesar Rp.
20 juta setiap tahun. Bantuan dana bergulir ini diberikan selama tiga tahun
anggaran. Sejalan dengan bantuan dana bergulir tersebut pemerintah juga
memberikan bantuan teknis pendampingan yang memberikan bantuan teknis
kepada masyarakat desa dalam rangka pemanfaatan dana bergulir tersebut.
Belajar dari keberhasilan dan kegagalan IDT, kemudian lahir generasi
kedua program-program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat
lainnya yaitu PPK (Program Pengembangan Kecamatan) yang dilaksanakan
Departemen Dalam Negeri tahun 1998, P2KP (Program Penanggulangan
Kemiskinan di Perkotaan) yang dilaksanakan Departemen Pekerjaan Umum tahun
1999, PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir) yang dilaksanakan
Departemen Kelautan dan Perikanan, KUBE (Kelompok Usaha Bersama) yang
dilaksanakan Departemen Sosial, dan lain-lain. Program-program tersebut berjalan
sendiri-sendiri menurut kebijakan Departemen yang bersangkutan, tidak
terintegrasi, parsial dan sektoral.
Mulai

tahun

2007

Pemerintah

meluncurkan

Program

Nasional

Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri sebagai salah satu program unggulan
dalam rangka pengentasan kemiskinan di Indonesia. Melalui PNPM Mandiri
dirumuskan kembali mekanisme upaya penanggulangan kemiskinan yang
melibatkan unsur masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi. Melalui proses pembangunan partisipatif, kesadaran
kritis dan kemandirian masyarakat terutama masyarakat miskin, dapat ditumbuh
kembangkan sehingga mereka bukan sebagai obyek melainkan subyek upaya
penanggulangan kemiskinan. Program ini dikembangkan berdasarkan dua program

10

pengembangan masyarakat sebelumnya, yaitu Program Pengembangan Kecamatan
(PPK) dan Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) yang
memfasilitasi pengawasan perencanaan masyarakat dan pengambilan keputusan
terhadap dana hibah (blockgrant) yang dialokasikan bagi pendanaan kebutuhan
prioritas mereka.
PNPM Mandiri resmi diluncurkan oleh Presiden RI, Susilo Bambang
Yudhoyono di Palu, Sulawesi Tengah pada 30 April 2007 yang dilaksanakan
hingga tahun 2015 dan sejalan dengan target pencapaian MDGs (Millennium
Development Goals). Diharapkan, dalam rentang waktu 2007–2015, kemandirian

dan keberdayaan masyarakat telah terbentuk sehingga keberlanjutan program dapat
terwujud (Depdagri. 2008). Pentingnya pendekatan berbasis masyarakat dalam
upaya mengurangi kemiskinan telah diakui oleh Pemerintah dengan memasukkan
program penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat sebagai salah satu dari
tiga kelompok utama program penanggulangan kemiskinan (Peraturan Presiden
No. 13/2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan).
Berdasarkan pengelompokan ini, PNPM–Mandiri ditunjuk sebagai program
payung yang ditetapkan untuk mensinergikan dan menyelaraskan berbagai program
penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat di Indonesia. Salah satu bagian
dari PNPM-Mandiri adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Perdesaan (PNPM-MPd). PNPM-MPd merupakan salah satu mekanisme program
pemberdayaan masyarakat yang digunakan PNPM Mandiri dalam upaya
mempercepat penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja di
wilayah perdesaan.

11

Diterbitkannya

Undang-Undang

Nomor

23

tahun

2014

tentang

pemerintahan daerah yang mengklasifikasikan urusan pemerintahan terdiri dari 3
urusan yakni urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan
urusan pemerintahan umum. Untuk urusan konkuren atau urusan pemerintahan
yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota dibagi menjadi urusan pemerintahan wajib dan urusan
pemerintahan pilihan. Urusan Pemerintahan Wajib adalah Urusan Pemerintahan
yang wajib diselenggarakan oleh semua Daerah. Sedangkan Urusan Pemerintahan
Pilihan adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Daerah
sesuai dengan potensi yang dimiliki Daerah. Berdasarkan pasal 12 ayat 2 huruf g
pada UU 23 tahun 2014 menerangkan bahwa pemberdayaan masyarakat dan Desa
merupakan urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan
dasar. Hal ini menunjukkan bahwa UU 23 tahun 2014 telah memfasilitasi peran
dan fungsi pemerintah daerah yang semakin besar dalam menentukan kebijakankebijakan dalam upaya pemberdayaan masyarakat perdesaan.
Kehadiran Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dan
diperjelas dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43
Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
Tentang Desa memberikan harapan sekaligus tantangan baru bagi desa. Dalam
undang-undang tersebut pemberdayaan menjadi sebuah misi, tujuan, asas dan
agenda kebijakan yang secara prinsip diwujudkan dengan mengakui dan
menetapkan kewenangan desa, sementara pemerintah berkewajiban menjamin agar
desa mampu melaksanakan upaya pemberdayaan, pembinaan dan pengawasan.

12

Kedua undang-undang tersebut di atas secara langsung mengakhiri PNPMMPd yang merupakan kebijakan yang dilaksanakan berdasarkan domain
pemerintah pusat. Penyerahan wewenang kepada pemerintah daerah serta
pemerintahan desa menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara pemerintahan
daerah dan pemerintahan desa dalam memformulasikan kebijakan-kebijakan yang
akan diambil dalam upaya pemberdayaan masyarakat dan desa. Salah satu strategi
dalam membentuk formulasi kebijakan tersebut adalah dengan mempelajari polapola pemberdayaan yang telah ada sebelumnya di ranah desa yakni PNPM-MPd.
Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, telah melaksanakan PNPM-MPd
sejak program ini diluncurkan tahun 2007 dalam upaya menanggulangi kemiskinan
di perdesaan Kabupaten Aceh Tengah. Sejak tahun 2007 hingga tahun 2012
Pemerintah Republik Indonesia bekerja sama dengan Bank Dunia telah
mengucurkan dana berupa Bantuan Langsung Sosial (BLM) sebesar Rp.
70.247.500.000,- (tujuh puluh milyar dua ratus empat puluh tujuh juta lima ratus
ribu rupiah) untuk menjalankan PNPM-MPd di Kabupaten Aceh Tengah.
Berdasarkan data BPS Aceh Tengah persentase kemiskinan penduduk di Kabupaten
Aceh Tengah sebesar 29,4% pada tahun 2005 dan terus menurun hingga data
terakhir pada tahun 2010 menunjukkan angka 18.8% dari jumlah penduduk sebesar
175.527 jiwa.
Kecamatan Kebayakan Kabupaten Aceh Tengah yang terdiri dari 20 desa
administrasi merupakan salah satu kecamatan yang dianggap sukses menjalankan
PNPM-MPd di tingkat Kabupaten. Sejak berlangsung dari tahun 2007 sampai
dengan 2014 progres kegiatan yang sudah dilaksanakan meliputi kegiatan sarana
dan prasarana meliputi pembangunan jalan, saluran air bersih, gedung serba guna,

13

gedung polindes, gedung TPA. Kegiatan ekonomi berupa simpan pinjam kelompok
perempuan. Kegiatan pendidikan berupa pelatihan masyarakat meliputi pelatihan
pelaku PNPM-MPd di Kecamatan dan Desa, serta pelatihan Kelompok simpan
pinjam perempuan. Kecamatan Kebayakan dianggap sukses karena mampu
melaksanakan pekerjaan secara tepat waktu setiap tahun anggarannya serta minim
terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya.
Berbagai penelitian tentang studi evaluasi telah telah banyak dilakukan dan
menunjukkan hasil yang beragam masyarakat seperti yang dilakukan Hadi Agus P,
et al (2014) menemukan bahwa Persepsi masyarakat terhadap program PNPM

hampir sama dengan praktek gotong royong yang telah berkembang pada
masyarakat, nilai-nilai sosial yang telah berkembang sebelumnya berkembang di
masyarakat mempengaruhi proses-proses partisipasi dalam pelaksanaan PNPMMPd. Efektivitas pembelajaran sosial terjadi pada level rukun tetangga dengan
terjadi peningkatan kohesivitas dan sikap saling percaya di dalam komunitas namun
hal ini tidak terjadi di level desa sehingga tingkat evaluasi pada PNPM-MPd dapat
dikategorikan berdasarkan tingkat administrasi pemerintahan yakni tingkat dusun,
tingkat desa, dan tingkat kecamatan. Pemerintah telah berupaya untuk
mengintegrasikan program pemberdayaan dalam perencanaan regional dan
mencoba untuk mengaktualisasikan tata pemerintahan yang baik. Namun, upaya
tersebut belum dirasakan di tingkat masyarakat karena perspektif birokrat lokal
pada pembangunan tidak kondusif bagi pelaksanaan pembangunan partisipatif dan
pengentasan kemiskinan.
PNPM Support Facility (2012) sebagai lembaga independen yang dibentuk
dengan tujuan mengevaluasi kinerja PNPM menemukan bahwa terdapat

14

kesenjangan infrastruktur di wilayah perdesaan dan melalui bukti–bukti yang
ditemukan menunjukkan bahwa PNPM Perdesaan mampu mempersempit
kesenjangan ini. Infrastruktur dilihat sebagai salah satu tujuan utama dalam PNPMMPd dan dijadikan salah satu indikator keberhasilan pembangunan perdesaan
dimana asumsinya semakin baik infrastruktur perdesaan maka akan berpengaruh
positif terhadap kesejahteraan masyarakat desa.
PNPM Support Facility (2012) juga mengemukakan bahwa kelompok
rumah tangga miskin yang tersentuh program PNPM memiliki kemungkinan
sebesar 2,1 persen untuk dapat keluar dari kemiskinan, namun PNPM tidak efektif
mencegah rumah tangga jatuh kedalam kemiskinan. Tidak terdapat dampak yang
signifikan terhadap tingkat pendidikan mengingat rendahnya alokasi dana PNPM
untuk sub–proyek pendidikan dan PNPM memiliki dampak terbatas pada
peningkatan lapangan kerja dimana masyarakat dewasa berumur 18–55 yang tidak
memiliki pekerjaan di tahun 2007 memiliki 1,35 persen kemungkinan untuk
dipekerjakan di tahun 2010. Hasil tersebut menunjukkan bahwa peran PNPM
disektor penyediaan penyediaan lapangan kerja dan pendidikan masih rendah dan
dampaknya sangat terbatas sehingga sebagai program yang mengedepankan
pemberdayaan dinilai masih belum mampu menjawab tantangan pembangunan
perdesaan
Penelitian yang berfokus pada kelompok simpan pinjam perempuan
dilakukan oleh Ramli (2015) yang menunjukkan bahwa kegiatan simpan pinjam
kelompok perempuan yang merupakan kegiatan yang dilaksanakan PNPM-MPd
untuk meningkatkan peran serta perempuan dalam pembangunan perdesaan
memiliki risiko pengembalian peredaran pinjaman dana simpan pinjam kelompok

15

perempuan yang tinggi karena pengembalian dilakukan tidak tepat waktu, namun
dilihat dari sisi perkembangan investasi simpan pinjam kelompok perempuan
melalui mekanisme perguliran dananya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Dari penelitian di atas terlihat bahwa PNPM-MPd dapat ditinjau
keberhasilannya ditinjau dari segala aspek sosial, budaya, ekonomi dan aspek
lainnya yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat desa. Berbagai hasil
penelitian tersebut mencerminkan bahwa hasil dari PNPM-MPd di suatu daerah
belum tentu sama dengan daerah lain karena faktor-faktor yang menunjang
keberhasilan PNPM-MPd sangat beragam. Salah satu faktor penentu keberhasilan
yang banyak mempengaruhi keberhasilan PNPM-MPd adalah bagaimana
partisipasi dan upaya pemberdayaan masyarakat tersebut dilakukan. Selain itu
untuk melihat secara objektif keberhasilan suatu program maka perlu dilihat
bagaimana program tersebut mencapai tujuan-tujuan awal yang telah ditetapkan.
Untuk itu melalui penelitian ini diharapkan mampu menjawab bagaimana
sebenarnya hasil PNPM-MPd jika dilihat dari aspek tujuan yang ingin dicapai oleh
PNPM-MPd.
Mengacu pada masalah tersebut di atas, peneliti melakukan penelitian
secara mendalam dengan mengajukan judul penelitian sebagai berikut:
“EVALUASI PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
MANDIRI PERDESAAN KECAMATAN KEBAYAKAN, KABUPATEN
ACEH TENGAH, PROVINSI ACEH”.

16

1.2.Perumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas maka masalah yang diajukan dalam
penelitian ini adalah “bagaimana dampak PNPM-MPd di Kecamatan Kebayakan
dilihat dari sisi pencapaian tujuan PNPM-MPd serta pengaruhnya terhadap upaya
pengembangan masyarakat” ?.

1.3. Tujuan Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui gambaran kehidupan
masyarakat pasca PNPM-MPd di Kecamatan Kebayakan dilihat dari sisi
pencapaian tujuan PNPM-MPd serta pengaruhnya terhadap upaya pengembangan
masyarakat”

1.4. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat sebagai berikut:
1. Bagi Penulis, Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memperdalam
pengetahuan penulis tentang pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat
miskin di perdesaan khususnya pada program nasional pemberdayaan
masyarakat mandiri perdesaan dan untuk menerapkan teori-teori yang penulis
peroleh selama perkuliahan di Pascasarjana Magister Studi Pembangunan,
Universitas Sumatera Utara.
2. Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu
sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, sebagai
masukan dalam penyusunan perencanaan pembangunan di daerah demi
meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses pembangunan.

17

3. Bagi Akademik, Penelitian ini akan melengkapi ragam penelitian yang telah
dibuat oleh para mahasiswa dan dapat menambah bahan bacaan, referensi bahan
bacaan dan referensi dari satu karya ilmiah.