IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN GUIDE DI

PROSIDING

ISBN :

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN GUIDE DISCOVERY
TERHADAP KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS
BERDASARKAN KAM
Uba Umbara
Prodi Pendidikan Matematika STKIP Muhammadiyah Kuningan
uba1985bara@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan menelaah apakah kemampuan koneksi matematik pada
siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Guide Discovery
lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model
konvensional? dan mengkaji apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan
koneksi matematik yang signifikan antara siswa dengan tingkat kemampuan tinggi,
sedang dan rendah? serta respon siswa terhadap pelajaran matematika yang
memperoleh pembelajaran guide Discovery. Dipilih dua kelas secara acak dengan
cara mengundi untuk dijadikan sampel penelitian, kelas yang terpilih sebagai sampel
penelitian yaitu kelas VII-1 sebagai kelas eksperimen yang berjumlah 36 orang siswa
dan kelas VII-2 sebagai kelas kontrol yang berjumlah 36 orang siswa. Setiap kelas

terdiri dari 36 siswa yang terbagi kedalam tiga kemampuan awal matematika yang
berbeda, yaitu siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Analisis kuantitatif
dilakukan terhadap rataan gain ternormalisasi dan data sikap siswa antara kedua
kelompok sampel dengan menggunakan Uji ANOVA Dua Jalur. Selanjutnya, hasil
penelitian menunjukkan bahwa kemampuan koneksi matematis siswa yang
pembelajarannya menggunakan model Guide Discovery lebih baik daripada siswa
yang memperoleh pembelajaran dengan pembelajaran konvensional, demikian juga
dilihat dari kategori kemampuan awal matematika siswa. Selain itu, respon siswa
terhadap pelajaran matematika dengan model Guide Discovery menujukan respon
yang positif.
Keywords : Guide Discovery, koneksi matematis
ABSTRACT
The research examined whether the ability connections of mathematical on
students whose follows Guide Discovery and conventional models of learning? and
assess whether there are differences in upgrading a significant mathematical
connection between students with high ability level, medium and low? as well as the
students' response to learning math obtaining Discovery guide. Two classes had been
chosen as the sample randomly. They are VII-1 as experiment with 36 students and
VII-2 36 students as control class. Every class consists of 36 students and divided into
high, medium and low students. Quantitative is use to analyst the rate and students’

attitude between those by using two way ANOVA. The result of the study shows that
Guide Discovery has increased the students’ connections ability. Thus it can be seen
from the category of students prior mathematic. In addition student’s responses of
Guide Discovery shows positives effect.
Keywords : Guide Discovery, the ability connections of mathematic

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional
Matematika dan Pendidikan Matematika pada tanggal 12
Desember 2015
di Prodi Pendidikan Matematika FKIP UMP.

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya untuk mengarahkan anak didik ke
dalam proses belajar sehingga mereka dapat memperoleh tujuan belajar sesuai dengan apa
yang diharapkan. Pembelajaran hendaknya memperhatikan kondisi individu anak karena
merekalah yang akan belajar. Anak didik merupakan individu yang berbeda satu sama lain,
memiliki keunikan masing-masing yang tidak sama dengan orang lain. Melalui pembelajaran
matematika, siswa diharapkan memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis,
dan kreatif, serta mempunyai kemampuan bekerja sama (Depdiknas, 2004).

Namun demikian, kondisi riil hasil pembelajaran matematika berdasarkan analisis hasil
PISA 2009, ditemukan bahwa dari 6 (enam) level kemampuan yang dirumuskan di dalam
studi PISA, hampir semua peserta didik Indonesia hanya mampu menguasai pelajaran
sampai level 3 (tiga) saja, sementara negara lain yang terlibat di dalam studi ini banyak yang
mencapai level 4 (empat), 5 (lima) dan 6 (enam). Analisis hasil TIMSS tahun (2007, 2011) di
bidang Matematika dan IPA untuk peserta didik kelas 2 SMP juga menunjukkan hasil yang
tidak jauh berbeda. Untuk bidang matematika, lebih dari 95% peserta didik Indonesia hanya
mampu mencapai level menengah, sementara misalnya di Taiwan hampir 50% peserta
didiknya mampu mencapai level tinggi dan advance.
Hal tersebut diduga merupakan imbas dari belum maksimalnya usaha yang dilakukan
pendidik dalam mengaplikasikan standar isi dan standar proses dalam pembelajaran. Sesuai
dengan rumusan NCTM (2000), bahwa standar matematika sekolah meliputi standar isi atau
materi (mathematical content) dan standar proses (mathematical processes), adapun standar
materi atau standar isi meliputi bilangan operasinya (number and operation), aljabar
(algebra), geometry (geometry), pengukuran (measurement), dan analisis data peluang (data
analysis and probability). Sementara itu, standar proses meliputi pemecahan masalah
(problem solving), penalaran dan pembuktian (reasoning and proof), koneksi (connection),
komunikasi (communication) dan representasi (representation).
Merujuk pada rumusan tersebut, maka salah satu sasaran yang perlu dicapai siswa
untuk memperoleh pemahaman yang mendalam adalah memahami matematika yang

dipelajarinya melalui pengkonstruksian pemahaman terhadap konsep matematika.
Pembelajaran matematika harus memberikan kesempatan siswa untuk terampil menuangkan
ide/gagasan matematika melalui penyajian berbagai macam model matematika yang siswa
miliki melalui proses matematisasi. Proses pembelajaran matematika hendaknya menjamin
siswa untuk dapat menyajikan konsep yang dipelajarinya ke dalam berbagai macam model
matematika, agar dapat membantu mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam
dengan cara guru memfasilitasi siswa melalui pemberian kesempatan yang lebih luas agar
siswa mampu belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connection).
Oleh karena itu, pembelajaran matematika diberikan sebagaimana tujuan yang telah
ditetapkan oleh NCTM dimana salah satu kemampuannya adalah koneksi matematis.
Kemampuan koneksi matematik merupakan salah satu faktor penting dalam melakukan
pemahaman konsep matematika. Dengan melakukan koneksi, konsep-konsep matematika
yang telah dipelajari tidak ditinggalkan begitu saja sebagai bagian yang terpisah, tetapi
digunakan sebagai pengetahuan dasar untuk memahami konsep yang baru (Wahyuni, 2010).
Sementara itu, Nasir (2008) menyatakan bahwa melalui koneksi matematik maka konsep
pemikiran dan wawasan siswa akan semakin terbuka terhadap matematika, tidak hanya
terfokus pada topik tertentu yang sedang dipelajari, sehingga akan menimbulkan sikap positif
terhadap matematika itu sendiri.

Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika

FKIP UMP Purwokerto, 12 Desember 2015

PROSIDING

ISBN :

Dalam koneksi matematis, keterkaitan antar topik dalam matematika sangat erat
sebagai akibat bahwa matematika sebagai ilmu yang terstruktur, artinya yaitu adanya
keterkaitan satu konsep dengan konsep yang lainnya. Pengetahuan sebelumnya sebagai
konsep prasyarat untuk mempelajari konsep selanjutnya, sehingga antara konsep yang satu
dengan yang lainnya saling berkaitan. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Sumarmo
(2010) bahwa koneksi matematis (mathematical connections) merupakan kegiatan yang
meliputi: mencari hubungan antara berbagai representasi konsep dan prosedur; memahami
hubungan antar topik matematik; menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau
kehidupan sehari-hari; memahami representasi ekuivalen konsep yang sama; mencari koneksi
satu prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen; menggunakan koneksi antar topik
matematika, dan antar topik matematika dengan topik lain.
Koneksi matematis merupakan salah satu kemampuan kognitif yang harus dimiliki
oleh siswa. Menurut Wahyudin (2008) bahwa apabila para siswa dapat menghubungkan
gagasan-gagasan matematis, maka pemahaman mereka akan lebih dalam dan bertahan lama.

Artinya pembelajaran akan menjadi lebih bermakna jika para siswa dapat mengkoneksikan
pengetahuannya. Hal tersebut sejalan dengan Glacey (2011) jika siswa sudah
mengkoneksikan dan menerapkan pemecahan masalah ke dalam situasi lain, maka hal
tersebut akan merubah keseluruhan proses pembelajaran. Pengembangan kemampuan
koneksi matematis siswa merupakan salah satu hal yang sangat penting. Melalui
pengembangan kemampuan koneksi matematis dalam pembelajaran matematika siswa dapat
berpartisipasi aktif merasakan pengalaman-pengalaman yang bermakna, dimana pengalaman
tersebut akan memperkuat hubungan antara pengetahuan yang ada dengan pengetahuan yang
baru mereka dapat.
Hal tersebut dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan
keterampilan berpikirnya dalam menyelesaikan permasalahan matematika baik dalam
pembelajaran maupun dalam kehidupan sehari-hari. Berkenaaan dengan itu maka dibutuhkan
model pembelajaran yang mampu mendukung pengembangan kemampuan koneksi
matematika siswa. Model pembelajaran yang mampu memaksimalkan potensi siswa, agar
siswa tidak terjebak pada rutinitas memahami matematika secara prosedural. Salah satu
model pembelajaran yang diperkirakan dapat meningkatkan dua kemampuan tadi adalah
model guided discovery (penemuan terbimbing).
Model guided discovery dianggap sebagai salah satu model pembelajaran yang mampu
meningkatkan keaktifan siswa dalam proses belajar. Sedangkan strategi yang dilakukan oleh
guru hanya sebagai fasilitator atau scaffolder (penyangga), artinya guru membimbing siswa

bilamana ia diperlukan dan bersifat sementara saja. Siswa didorong untuk berfikir sendiri
sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan atau data yang telah disediakan
guru. Seberapa jauh siswa dibimbing tergantung pada kemampuan dan materi yang dipelajari.
Metode penemuan yang dibimbing oleh guru ini pertama dikenalkan oleh Plato dalam suatu
dialog antara Socrates dan seorang anak, maka sering disebut juga dengan metoda Socratic
(Cooney & Davis, 1975). Metode ini melibatkan suatu dialog/interaksi antara siswa dan guru
di mana siswa mencari kesimpulan yang diinginkan melalui suatu urutan pertanyaan yang
diatur oleh guru.
Berdasarkan uraian di atas, kemampuan koneksi matematis merupakan kemampuan
yang penting dikuasai oleh siswa sehingga diperlukan suatu cara yang dapat digunakan untuk
mengembangkan kemampuan tersebut secara komprehensif. Dalam pembelajaran
matematika, siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan ide dan konsep matematika
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional
Matematika dan Pendidikan Matematika pada tanggal 12
Desember 2015
di Prodi Pendidikan Matematika FKIP UMP.

dengan bimbingan orang dewasa melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan dunia
nyata. Oleh karena itu penulis mencoba mengadakan penelitian dengan melakukan kajian
yang spesifik terhadap kemampuan koneksi matematika dan model pembelajaran guide

discovery, yaitu : Implementasi Model Pembelajaran Guide Discovery Terhadap Kemampuan
Koneksi Matematis Berdasarkan KAM.
2. Kajian Teori
a. Model Pembelajaran Guide Discovery
Proses pembelajaran harus dipandang sebagai suatu stimulus atau rangsangan yang
dapat menantang peserta didik untuk merasa terlibat atau berpartisipasi dalam aktivitas
pembelajaran. Peranan guru hanyalah sebagai fasilitator dan pembimbing atau pemimpin
pengajaran yang demokratis, sehingga diharapkan peserta didik lebih banyak melakukan
kegiatan sendiri atau dalam bentuk kelompok. Pembelajaran penemuan mensyaratkan
siswa untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang
dapat digunakan adalah model discovery (penemuan). Model discovery dipelopori oleh
Jerome Bruner pada tahun 1996.
Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan
secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik
(Ratna Wilis Dahar, 1996). Model discovery dapat menjadi ajang bagi siswa untuk
berkreasi dengan pengetahuannya sendiri yang didapat melalui proses pencarian konsep
materi. Selanjutnya, model discovery menurut Sund dalam Roestiyah (2001) adalah proses
mental dimana siswa mengasimilasi sesuatu konsep atau sesuatu prinsip. Proses mental
tersebut misalnya mengamati, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan,
mengukur, membuat kesimpulan, dan sebagainya. Dalam teknik ini siswa dibiarkan

menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri, guru hanya membimbing
dan memberikan instruksi.
Selanjutnya, Syaiful Sagala (2010) menjelaskan bahwa posisi guru dalam model
discovery peranan guru lebih banyak menempatkan diri sebagai pembimbing dan
fasilitator belajar. Dengan demikian posisi guru dalam Model discovery, siswa lebih
banyak melakukan kegitannya sendiri atau dalam bentuk kelompok dalam memecahkan
permasalahan yang terjadi dalam proses pembelajaran. Namun demikian, model discovery
kurang tepat digunakan karena pada umumnya sebagian besar siswa masih butuh
pemahaman konsep dasar untuk bisa menentukan sesuatu. Hal ini terkait erat dengan
karakteristik pelajaran matematika yang lebih merupakan deductive reasoning dalam
perumusannya.
Selain itu perlu diingat bahwa umumnya siswa cenderung tergesa-gesa dalam
menarik kesimpulan dan tidak semua siswa bisa melakukannya. Berangkat dari
kelemahan tersebut maka muncullah model guide discovery. Model guide discovery atau
dikenal dengan pembelajaran penemuan terbimbing. Pembelajaran penemuan terbimbing
dikembangkan berdasarkan pandangan kognitif tentang pembelajaran dan prinsip-prinsip
konstruktivis. Menurut prinsip ini siswa dilatih dan didorong untuk dapat belajar secara
mandiri. Dengan kata lain, belajar secara konstruktivis lebih menekankan belajar berpusat
pada siswa sedangkan peranan guru adalah membantu siswa menemukan fakta, konsep
atau prinsip untuk diri mereka sendiri bukan memberikan ceramah atau mengendalikan

seluruh kegiatan kelas.
Model guide discovery mempunyai kesamaan dengan pembelajaran berdasarkan
masalah dan inquiri yang juga penerapannya berdasarkan teori konstruktivis. Model guide
discovery, terbentuk dari dua istilah yaitu model penemuan dan terbimbing. Kedua istilah
tersebut mempunyai arti tersendiri. Model penemuan diartikan sebagai suatu prosedur
mengajar yang mementingkan perkembangan perseorangan, memanipulasi objek dan
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
FKIP UMP Purwokerto, 12 Desember 2015

PROSIDING

ISBN :

percobaan sebelum sampai pada generalisasi. Sebelum siswa sadar akan pengertian, guru
tidak menjelaskan dengan kata-kata. Istilah yang kedua adalah terbimbing. Terbimbing
berasal dari kata kerja bimbing. Menurut kamus besar bahasa Indonesia bimbing adalah
menuntun. Kemasukan imbuhan ter-(v) berfungsi telah dilakukan atau dikeadaan. Jadi
terbimbing adalah suatu pekerjaan yang telah dilakukan atau dikeadaan
menuntun/membimbing.
Menurut Al Krismanto (2003) peranan guru dalam model guide discovery adalah

menyatakan persoalan, kemudian membimbing siswa untuk menemukan penyelesaian
dari persoalan itu dengan perintah-perintah atau dengan lembar kerja sedangkan siswa
mengikuti petunjuk dan menemukan sendiri penyelesaiannya. Proses penemuan dapat
menjadi kemampuan umum melalui latihan pemecahan masalah dan praktek membentuk
dan menguji hipotesis. Di dalam pandangan Bruner, belajar dengan penemuan adalah
belajar untuk menemukan, dimana seorang siswa dihadapkan dengan suatu masalah atau
situasi yang tampaknya ganjil sehingga siswa dapat mencari jalan pemecahan.
Model guide discovery merupakan model penemuan yang dipandu oleh guru,
dikenalkan oleh Plato dalam suatu dialog antara Socrates dan seorang anak. Menurut
Markaban (2006) model guide discovery melibatkan suatu dialog/interaksi antara siswa
dan guru di mana siswa mencari kesimpulan yang diinginkan melalui suatu urutan
pertanyaan yang diatur oleh guru. Model guide discovery merupakan suatu model
pembelajaran dimana pendidik dalam prakteknya tidak menyampaikan konsep-konsep
pembelajaran secara langsung, melainkan siswa didorong untuk berfikir sendiri, mencobacoba, dan sebagainya, pendidik membimbing siswa dimana ia diperlukan.
Interaksi yang mungkin terjadi dalam pembelajaran dengan model guided discovery
dapat digambarkan pada gambar berikut:
Bagan 1
Interaksi Model guide discovery
Guru

Bahan
Ajar
Siswa B

Siswa A

(sumber:http//P4TKmatematika.org/PPP_Penemuan_Terbimbing )
Dalam penggunaan model guide discovery, peranan guru adalah menyatakan
persoalan, kemudian membimbing siswa untuk menemukan penyelesaian dari persoalan
itu dengan perintah-perintah atau dengan lembar kerja. Siswa diminta mengikuti petunjuk
dan menemukan sendiri penyelesaiannya. Model ini, siswa dihadapkan kepada situasi
dimana ia bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan, membuat terkaan, intuisi dan
mencoba-coba. Model guide discovery melibatkan suatu interaksi antara siswa dan guru
dimana siswa mencari kesimpulan yang diinginkan melalui urutan suatu pertanyaaan
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional
Matematika dan Pendidikan Matematika pada tanggal 12
Desember 2015
di Prodi Pendidikan Matematika FKIP UMP.

yang diatur oleh guru. Interaksi dalam model menekankan pada adanya interaksi dalam
kegiatan belajar mengajar. Interaksi tersebut dapat juga terjadi antara siswa dengan
siswa, siswa dengan bahan ajar, siswa dengan guru. Siswa dengan guru dan bahan ajar,
dan siswa dengan bahan ajar dan guru.
Tahap-tahap pembelajaran model guide discovery menurut Ibrahim dan Nur dalam
Anwar Holil (2008) adalah :
1) Orientasi siswa pada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan,
memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang diberikan
guru.
2) Mengorganisasikan siswa dalam belajar
Guru membantu siswa mendefenisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas yang
berkaitan dengan masalah serta menyediakan alat.
3) Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok.
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai,
melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan
masalah.
4) Menyajikan/mempresentasikan hasil kegiatan.
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai
seperti laporan, video, dan model yang membantu mereka untuk berbagi tugas
dengan temannya.
5) Mengevaluasi kegiatan.
Guru membantu siswa untuk merefleksi pada penyelidikan dan proses penemuan
yang digunakan.
Pembelajaran dengan model ini dapat diselenggarakan secara individu atau
kelompok. Guru membimbing siswa jika diperlukan dan siswa didorong untuk berpikir
sendiri sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan yang disediakan
oleh guru dan sampai seberapa jauh siswa dibimbing bergantung pada kemampuannya
dan materi yang sedang dipelajari. Dengan model ini siswa dihadapkan kepada situasi
dimana siswa bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan. Dalam model pembelajaran
dengan penemuan terbimbing, peran siswa cukup besar karena pembelajaran tidak lagi
terpusat pada guru tetapi pada siswa. Guru memulai kegiatan pembelajaran dengan
menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan siswa dan mengorganisir kelas untuk kegiatan
seperti pemecahan masalah, investigasi atau aktivitas lainnya.
b. Kemampuan Koneksi Matematika
Koneksi matematis berasal dari kata mathematical connection dalam bahasa
Inggris, yang kemudian dipopulerkan oleh NCTM dan dijadikan sebagai salah satu
standar kurikulum. Brunner dan Keney (Fauzi, 2011) mengatakan bahwa kaidah koneksi
setiap konsep, prinsip, dan keterampilan dalam matematika dikoneksikan dengan konsep,
prinsip, dan keterampilan lainnya. Keterkaitan antara materi sebelumnya yang telah
dipelajari dengan materi yang akan dipelajari merupakan salah satu bagian dari koneksi
matematis.
Pengertian koneksi matematis menurut NCTM (1989) koneksi matematika
merupakan bagian penting yang harus mendapatkan penekanan di setiap jenjang
pendidikan. Koneksi matematika adalah keterkaitan antara topik matematika, keterkaitan
antara matematika dengan disiplin ilmu yang lain dan keterkaitan matematika dengan

Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
FKIP UMP Purwokerto, 12 Desember 2015

PROSIDING

ISBN :

dunia nyata atau dalam kehidupan sehari–hari. Selanjutnya NCTM (1989) membagi
koneksi matematis menjadi dua tipe umum yang terdiri dari.
1) Koneksi pemodelan (modeling connections) adalah hubungan antara situasi
dengan masalah yang dapat muncul di dunia nyata atau dalam disiplin ilmu lain
dengan representasi matematikanya.
2) Koneksi matematis (mathematical connections) adalah hubungan antara dua
representasi yang ekuivalen dan antara proses penyelesaian dari masing–masing
representasi.
Begitu pentingnya kemampuan koneksi matematika yang dapat digunakan
kehidupan sehari-hari dalam membuat hubungan-hubungan nyata dengan ketiga aspek
yang telah dijelaskan di atas, maka kemampuan koneksi matematika perlu diukur melalui
indikator yang tepat. Untuk dapat melihat dan mengukur sejauh mana siswa telah mampu
melakukan koneksi matematik, instrumen yang digunakan sebaiknya mampu membuat
siswa menemukan keterkaitan antar proses dalam suatu konsep matematika, membuat
siswa menemukan keterkaitan antar topik matematika, dan membuat siswa menemukan
keterkaitan matematika dengan disiplin ilmu lain atau masalah kehidupan sehari-hari.
Hal tersebut sejalan dengan NCTM (2000) Koneksi matematik terbagi ke dalam
tiga aspek kelompok koneksi, yaitu: (1) aspek koneksi antar topik matematik, (2) aspek
koneksi dengan disiplin ilmu lain, (3) aspek koneksi dengan kehidupan sehari-hari atau
dunia nyata. Ketiga aspek koneksi matematika menurut NCTM tersebut dijelaskan
sebagai berikut.
1) Koneksi antar konsep matematika
Matematika merupakan ilmu yang terstruktur dan saling terkait antar satu topic
dengan topik lainnya. Dalil pengaitan Bruner (Suherman dkk, 2001)
menyatakan bahwa dalam matematika antara satu konsep dengan konsep
lainnya terdapat hubungan erat, bukan saja dari segi isi, namun juga dari segi
rumus-rumus yang digunakan.
2) Koneksi matematika dengan disiplin ilmu lain
Matematika merupakan alat yang efisien dan diperlukan oleh semua ilmu
pengetahuan, dan tanpa bantuan matematika semuanya tidak akan mendapat
kemajuan yang berarti. Banyak ilmu-ilmu lain yang penemuan dan
pengembangannya bergantung dari matematika.
3) Koneksi matematika dengan dunia nyata
Ilmu matematika merupakan pendekatan yang logis yang dapat diterapkan di
berbagai lapangan. Matematika merupakan ilmu yang menyajikan dan
menelaah hal-hal yang abstrak, sehingga seolah-olah tak ada hubungannya
dengan kehidupan nyata. Pada hakikatnya matematika telah berakar dalam
setiap kegiatan manusia, dari hal yang sederhana sampai pada penelitian lanjut
oleh para ahli dalam berbagai ilmu. Persoalan dalam kehidupan sehari-hari
biasanya berbentuk soal verbal atau dikenal dengan nama soal cerita.
Aspek koneksi antar topik matematika akan membantu siswa menghubungkan
konsep-konsep matematik untuk menyelesaikan suatu situas permasalahan matematika,
yang artinya bahwa pelajaran matematika yang tersebar ke dalam topik-topik aljabar,
pengukuran, geometri, peluang, statistika dan trigonometri, dalam pembelajarannya dapat
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional
Matematika dan Pendidikan Matematika pada tanggal 12
Desember 2015
di Prodi Pendidikan Matematika FKIP UMP.

dikaitkan satu sama lainnya. Sehingga NCTM (2000) berusaha merumuskan tujuan siswa
memiliki kemampuan koneksi matematika agar siswa mampu untuk: (1) mengenali
representasi yang ekuivalen dari suatu konsep yang sama; (2) mengenali hubungan
prosedur satu representasi ke prosedur represantasi yang ekuivalen; (3) menggunakan dan
menilai koneksi beberapa topik matematika; dan (4) menggunakan dan menilai koneksi
antara matematika dan disiplin ilmu lain.
Aspek koneksi matematika dengan kehidupan sehari-hari siswa menunjukkan
bahwa matematika dapat bermanfaat untuk menyelesaikan suatu permasalahan di
kehidupan nyata. Dengan demikian, pembelajaran matematika terkoneksikan dengan tiga
aspek koneksi akan memberikan peluang pada siswa untuk mempelajari keterampilan dan
konsep. Sehingga, mereka mampu memecahkan masalah-masalah dari berbagai bidang
yang relevan. Hal tersebut didukung oleh pendapat Ruseffendi (1991) yang menyatakan
bahwa dalam matematika setiap konsep itu berkaitan satu sama lain seperti dalil dengan
dalil, antara teori dengan teori, antara topik dengan topik, dan antara cabang matematika.
Oleh karena itu, agar siswa lebih berhasil dalam belajar matematika siswa harus lebih
sering diberi kesempatan untuk melihat kaitan-kaitan tersebut.
Sumarmo (2010) yang mengemukakan bahwa koneksi matematis disusun dalam
indikator-indikator yang relevan, di antaranya sebagaimana dijelaskan sebagai berikut.
1) Mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur
2) Memahami hubungan antar topik matematika
3) Menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau kehidupan sehari-hari
4) Memahami representasi ekivalen konsep atau prosedur yang sama
5) Mencari koneksi satu prosedur ke prosedur lain dalam representasi yang
ekivalen
6) Menggunakan koneksi antar topik matematika, dan antara topic matematika
dengan topik lain.
Melalui koneksi matematik maka konsep pemikiran dan wawasan siswa akan
semakin terbuka terhadap matematika, tidak hanya terfokus pada topik tertentu yang
sedang dipelajari, sehingga akan menimbulkan sifat positif terhadap matematika itu
sendiri. Membuat koneksi merupakan standar yang jelas dalam pendidikan matematika
yang juga menjadi salah satu standar utama yang disarankan NCTM (2000). Berdasarkan
beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa koneksi matematis tidak hanya
menghubungkan antar topik dalam matematika, tetapi juga menghubungkan matematika
dengan berbagai ilmu lain dan dengan kehidupan nyata.
3. Tujuan
Tujuan dalam penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut.
a. Menelaah apakah kemampuan koneksi matematik pada siswa yang
pembelajarannya menggunakan model pembelajaran guide discovery lebih baik
daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model konvensional?
b. Mengkaji apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan koneksi
matematik yang signifikan antara siswa dengan tingkat kemampuan tinggi,
sedang dan rendah?
c. Mengetahui bagaimanakah respon siswa terhadap pelajaran matematika yang
memperoleh pembelajaran guide discovery.
B. METODE

Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
FKIP UMP Purwokerto, 12 Desember 2015

PROSIDING

ISBN :

Penelitian merupakan suatu cara ilmiah yang digunakan untuk mencari kebenaran dari
suatu permasalahan yang sedang diteliti dengan menggunakan cara-cara tertentu. Cara yang
digunakan lazim disebut sebagai metode penelitian. Metode penelitian pada dasarnya merupakan
cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2010).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Nana Sudjana dan
Ibrahim (2009) menyatakan bahwa : “Metode eksperimen adalah metode yang mengungkapkan
hubungan antara dua varaiabel atau lebih atau mencari pengaruh suatu variable terhadap variable
lain”. Bentuk desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quasi
Eksperimental Desain dengan bentuk Randomized Control Group Pretest-Postes Design
(Sugiyono : 2010). Adapun Pola desain penelitiannya adalah sebagai berikut :
O
O

X

O
O

Keterangan :
O : Pretes dan postes
X : Kelas yang mendapat perlakuan dengan pembelajaran guide discovery.
Desain tersebut dilaksanakan untuk memperoleh gambaran tentang efektivitas
pembelajaran guide discovery. Subyek dalam penelitian yang dipilih adalah siswa SMP Negeri 2
Kadugede Kabupaten Kuningan, sementara itu pemilihan sampelnya diambil secara purposive
sampling sebanyak dua kelas dari delapan kelas yang ada di SMP tersebut. Berdasarkan saran
dan arahan guru di Sekolah tersebut, dipilih kelas VII-1 (kelas eksperimen) yang berjumlah 35
orang dan kelas VII-2 (kelas kontrol) yang berjumlah 36 orang. Pemilihan siswa untuk kelas
eksperimen dan kelas kontrol tidak berdasarkan keacakan yang sesungguhnya, hanya
berdasarkan kelas yang ada. Hal ini disebabkan peneliti tidak mungkin membentuk kelas baru
maka peneliti mengambil unit sampling terkecil adalah kelas.
Sementara itu, analisa data terbagi menjadi dua yaitu : (1) untuk menguji perbedaan
kemampuan antara kelompok eksperimen dan control digunakan uji perbedaan dua rataan pretes
dan postes menggunakan Independent Samples Test dan (2) untuk menguji peningkatan dan
interaksi antara faktor model pembelajaran yang diberikan dengan faktor kategori kemampuan
awal siswa, uji statistik yang digunakan adalah ANOVA dua jalur menggunakan General Linear
Model Univariate Analysis.
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini dikemukakan hasil-hasil temuan penelitian yang berhubungan dengan
peningkatan kemampuan koneksi matematis pada sekelompok siswa yang diberikan perlakuan
berupa pembelajaran dengan model pembelajaran guide discovery. Kemampuan siswa sebelum
diberi perlakuan tercermin dari hasil pretes dan kemampuan siswa setelah diberi perlakuan
tercermin dari hasil postes. Peningkatan dalam penelitian ini diperoleh dari selisih antara skor
pretes dan postes serta skor ideal kemampuan koneksi matematis siswa yang dinyatakan dalam
skor gain ternormalisasi. Berikut ini disajikan statistik deskriptif skor pretes dan postes dalam
bentuk tabel.
Tabel 1
Statistik Deskriptif Skor Kemampuan Koneksi Matematis
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional
Matematika dan Pendidikan Matematika pada tanggal 12
Desember 2015
di Prodi Pendidikan Matematika FKIP UMP.

Kelompok Eksperimen
Tes
Pretes
Postes

N

Xmin

Xmaks



36
36

1
4

7
13

3,28
7,64

Kelompok Kontrol
Sd

N

Xmin

Xmaks



1,48
2,33

35
35

1
3

5
10

2,71
6,11

Sd
1,04
1,65

Skor
Maks
Ideal
15
15

Tabel di atas memperlihatkan rata-rata hasil pretes dan postes kemampuan koneksi
matematis siswa pada kelompok eksperimen dan kelompok control. Hasil pretes tidak berbeda
sedangkan dan rata-rata hasil postes kemampuan koneksi matematis siswa pada kelompok
eksperimen dan kelompok control berbeda secara signifikan. Setelah analisis data deskriptif,
selanjutnya dilakukan analisis data skor pretes dan postes. Analisis skor pretes dilakukan untuk
melihat kemampuan awal siswa dikedua kelas. Analisis uji kesamaan rataan hasil pretes
bertujuan untuk memperlihatkan ada tidaknya perbedaan yang signifikan kemampuan awal
antara kelompok eksperimen dan kontrol sebelum pembelajaran.
Jenis statistik uji kesamaan rataan yang digunakan dapat diketahui dengan terlebih dahulu
melakukan uji normalitas sebaran data dan homogenitas varians. Jika data memenuhi syarat
normalitas dan homogenitas, maka uji kesamaan rataan menggunakan Uji- t , sedangkan jika
data normal tapi tidak homogen menggunakan Uji- t ' , dan untuk data yang tidak memenuhi
syarat normalitas, menggunakan uji non-parametrik, Uji Mann-Whitney.Untuk menguji
normalitas sebaran populasi skor pretes digunakan uji kenormalan Shapiro wilk melalui SPSS
21.0 pada taraf signifikansi α =0,05 . Kriteria pengujian adalah tolak H0 apabila Sig. ¿
taraf signifikansi. Berdasarkan hasil uji normalitas pada tabel 4.3 diperoleh Asymp.Sig (2-tailed)
untuk kemampuan koneksi matematis pada kelompok ekperimen dan kelompok kontrol adalah
0,000 dan 0,000 dengan mengambil α = 0,05 ternyata Asymp.Sig (2-tailed) < α (0,05) sehingga
sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua data tidak berdistribusi normal. Sementara itu, untuk
menguji homogenitas varians skor pretes kemampuan komunikasi dan koneksi matematis
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol digunakan uji Levene Statistic. Nilai Asymp.Sig (2tailed) untuk kemampuan koneksi matematis adalah 0,134 dan dengan mengambil α = 0,05
ternyata Asymp.Sig (2-tailed) > α, sehingga dapat disimpulkan penyebaran skor pretes
kemampuan koneksi matematis berasal dari populasi yang homogen.
Selanjutnya untuk mengetahui ada tidaknya kesamaan data skor pretest kemampuan
koneksi matematis, digunakan uji statistik non parametrik dalam hal ini uji Mann-Whitney,
karena kedua data homogen namun keduanya tidak berdistribusi normal. Hasil uji statistik non
parametrik dalam hal ini uji Mann-Whitney pada data pretes ditunjukan pada tabel 2 berikut ini.
Tabel 2
Uji Kesamaan Rataan Skor Pretes Kemampuan Koneksi Matematis
Test Statisticsa
Pretes Kemampuan Koneksi
Mann-Whitney U
491.000
Wilcoxon W
1121.000
Z
-1.688
Asymp. Sig. (2-tailed)
.091
a. Grouping Variable: Kelas Penelitian

Pada tabel 2 terlihat bahwa nilai Asymp.Sig (2-tailed) = 0,091 > α. Ini berarti hipotesis nol
(H0) diterima dan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara kemampuan awal
komunikasi matematis siswa kelompok eksperimen dengan kelompok control dengan kata lain
kemampuan awal siswa di kedua kelas sama.

Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
FKIP UMP Purwokerto, 12 Desember 2015

PROSIDING

ISBN :

Selanjutnya, dilakukan analisis skor postes untuk melihat kemampuan akhir siswa atau
mengetahui apakah perbedaan skor rata-rata postes siswa kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol cukup signifikan atau tidak, maka skor postes diuji dengan menggunakan uji perbedaan
rata-rata. Berdasarkan hasil uji normalitas diperoleh Asymp.Sig (2-tailed) untuk kemampuan
koneksi matematis pada kelompok ekperimen dan kelompok kontrol adalah 0,001 dan 0,120
sehingga dapat disimpulkan bahwa data postes pada kelompok eksperimen tidak berdistribusi
normal sedangkan data postes kelompok kontrol berdistribusi normal. Selanjutnya, pada tes
homogenitas postes nilai Asymp.Sig (2-tailed) adalah 0,195 sehingga dapat disimpulkan
penyebaran skor postes kemampuan koneksi matematis berasal dari populasi yang homogen.
Selanjutnya, Hasil uji statistik non parametrik dalam hal ini uji Mann-Whitney pada data pretes
ditunjukan pada tabel 3 berikut ini.
Tabel 3
Uji Perbedaan Rataan Skor Postes Kemampuan Koneksi Matematis
Test Statisticsa
Postes Kemampuan Koneksi
Mann-Whitney U
391.500
Wilcoxon W
1021.500
Z
-2.783
Asymp. Sig. (2-tailed)
.005
a. Grouping Variable: Kelas Penelitian

Pada tabel 3 terlihat bahwa nilai Asymp.Sig (2-tailed) = 0,005. Untuk uji satu sisi (one
tail) maka nilai Asymp.Sig (2-tailed) menjadi

0,005
=0,0025 . Ini berarti hipotesis nol (H0)
2

ditolak dan menunjukkan bahwa kemampuan koneksi matematis siswa kelompok eksperimen
lebih baik daripada kelompok kontrol. Analisis data selanjutnya yang dilakukan adalah untuk
mengetahui apakah perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematis antara kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol berbeda secara signifikan, perlu dilakukan uji analisis varians
(ANOVA) dua jalur. Untuk melihat peningkatan kemampuan koneksi matematis yang telah
dicapai oleh siswa dan kualifikasinya digunakan data gain ternormalisasi. Rataan gain
ternormalisasi merupakan gambaran peningkatan kemampuan koneksi matematis baik dengan
pembelajaran guide discovery maupun dengan pembelajaran konvensional (PK), selengkapnya
dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini.
Table 4
Analisis Varians Gain Kemampuan Koneksi Matematis
Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dan Kategori Kemampuan Siswa
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: N-gain Kemampuan Koneksi
Source
Type III Sum of
df
Mean Square
Squares
Corrected Model
.802a
5
.160
Intercept
3.587
1
3.587
KAM
.329
2
.164
Model
.300
1
.300
KAM * Model
.128
2
.064
.808
65
.012
Error
9.394
71
Total
Corrected Total

1.609

F
12.905
288.737
13.237
24.145
5.147

70

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional
Matematika dan Pendidikan Matematika pada tanggal 12
Desember 2015
di Prodi Pendidikan Matematika FKIP UMP.

Sig.
.000
.000
.000
.000
.008

a. R Squared = .498 (Adjusted R Squared = .460)

Pada tabel 4 di atas diperoleh nilai signifikansi (Sig.) sebesar 0,000 lebih kecil dari α =
0,05 dan Fhitung = 24,145 lebih besar dari F tabel = 3,12 pada taraf signifikansi α = 0,05 dengan
derajat kebebasan 2/71 (F0,05(2/71) = 3,12). Karena itu, hasilnya hipotesis nol ditolak, artinya
peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa kelas eksperimen secara signifikan lebih baik
daripada siswa kelas kontrol. Sementara itu, untuk mengetahui perbedaan peningkatan
kemampuan koneksi matematis siswa berdasarkan KAM diperoleh nilai signifikansi (Sig.)
sebesar 0,000 lebih kecil dari α = 0,05 dan F hitung = 13,237 lebih besar dari F tabel = 3,12 sehingga
hipotesis nol ditolak. Artinya terdapat perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematis
siswa antara siswa yang berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Selanjutnya, untuk
mengetahui interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan kategori kemampuan siswa
terhadap kemampuan koneksi matematis siswa didapat nilai signifikansi (Sig.) sebesar 0,008
lebih kecil dari α = 0,05 dan F hitung = 5,147 lebih besar dari Ftabel = 3,12 sehingga hipotesis nol
ditolak. Hal ini berarti terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan kategori
kemampuan siswa terhadap kemampuan koneksi matematis siswa.
Secara grafik interaksi antara faktor pendekatan pembelajaran dan faktor kategori siswa
diperlihatkan gambar 1 berikut.

Gambar 1
Grafik Interaksi Antara Faktor Pendekatan Pembelajaran Dengan Faktor Kategori
Kemampuan Siswa Pada Kemampuan Koneksi Matematis
Hasil penelitian tersebut, didukung oleh hasil analisis respon siswa pada kelompok
eksperimen yang memperoleh pembelajaran dengan guide discovery. Hasil rekapitulasi respon
siswa dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini.
Table 5
Rekapitulasi Respon Siswa Terhadap Pembelajaran Guide Discovery
Jenis
Kecenderungan
Pernyataan
Sangat
Setuju
Netral
Tidak
Sangat Tidak
Setuju
Setuju
Setuju
Positif
31,5
33,6
20,8
9,0
5,1

Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
FKIP UMP Purwokerto, 12 Desember 2015

PROSIDING

Negatif

ISBN :

2,3

8,7

18,2

36,4

34,4

Dari tabel 5 diperoleh gambaran respon positif siswa terhadap pelajaran matematika. Hal
ini dapat dilihat dari jumlah pernyataan positif sangat setuju (SS) dan setuju (S) terhadap
pelajaran matematika dengan menggunakan guide discovery lebih besar dari pada jumlah
pernyataan tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS). Selanjutnya, jumlah pernyataan
negatif sangat setuju (SS) dan setuju (S) terhadap pelajaran matematika dengan menggunakan
guide discovery lebih kecil daripada jumlah pernyataan tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju
(STS). Hal ini menunjukkan bahwa siswa cendrung merespon positif terhadap pelajaran
matematika dengan menggunakan guide discovery. Respon siswa yang positif terhadap terhadap
pembelajaran guide discovery menjadi pendukung hasil penelitian yang dilakukan secara
kuantitatif mengenai implementasi pembelajaran guide discovery dalam pembelajaran
matematika.
D. SIMPULAN
Pada penelitian kualitatif diperoleh kesimpulan bahwa sementara itu, pada penelitian
kuantitatif diperoleh kesimpulan bahwa : (1) Kemampuan koneksi matematis pada siswa yang
pembelajarannya menggunakan pembelajaran guide discovery lebih baik daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan pembelajaran konvensional; (2) Peningkatan kemampuan
koneksi matematis siswa yang belajar dengan menggunakan guide discovery lebih baik daripada
siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan konvensional; (3) Terdapat perbedaan
peningkatan kemampuan koneksi matematis yang signifikan antara siswa dengan tingkat
kemampuan tinggi, sedang dan rendah; (4) Terdapat interaksi antara faktor model pembelajaran
yang diberikan dengan faktor kategori kemampuan siswa menyangkut peningkatan kemampuan
koneksi matematis siswa; dan (5) siswa memberikan respon positif terhadap pelajaran
matematika dengan model pembelajaran guide discovery.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Cooney, T.J., Davis, E.J., Henderson, K.B. (1975). Dynamics of Teaching Secondary School
Mathematics. Boston : Houghton Mifflin Company.
Dahar, RW. (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta : Erlangga.
Depdiknas (2004). Peraturan Dirjen Dikdasmen No. 506/C/PP/2004 tanggal 11 November 2004
tentang Penilaian Perkembangan Anak Didik Sekolah Menengah Pertama (SMP). Jakarta:
Ditjen Dikdasmen Depdiknas.
Fauzi. (2011). Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa
dengan Pendekatan Pembelajaran metakognitif di Sekolah Menengah Pertama. Tesis pada
SPs UPI: Tidak diterbitkan.
Markaban (2006). Model Pembelajaran Matematiika Dengan Pendekatan Penemuan Terbiimbing
(Modul Paket Pembinaan Penataran). Yogyakarta : Pusat Pengembangan Dan Penataran

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional
Matematika dan Pendidikan Matematika pada tanggal 12
Desember 2015
di Prodi Pendidikan Matematika FKIP UMP.

Guru Matematika.National Council of Teachers of Mathematics [NCTM]. (2000).
Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM.
Nasir, S. (2008). Meningkatkan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMA yang
Berkemampuan Rendah Melalui Pendekatan Kontekstual. Tesis UPI Bandung: Tidak
diterbitkan.
NCTM. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, VA :
NCTM.
.

(2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM.

Program for International Student Assesment (2012). PISA 2012 Assesment and Analitical
Framework (Mathematics, Reading, Science, Problem Solving and Financial Literacy).
Paris : OECD Library.
Roestiyah N.K. (2001). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya
dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Sagala, S. (2010). Konsep dan Makna Pembelajaran (Untuk Membantu Memecahkan Problematika
Balajar dan Menagajr). Bandung : Alfabeta.
Sudjana dan Ibrahim. (2009). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru
Algesindo.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung. Alfabeta.
Suherman, dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Komtemporer. Bandung : JICA
Universitas Pendidikan Indonesia.
Sumarmo, U. (2010). Berfikir dan Disposisi: Apa, Mengapa dan Bagaimana Dikembangkan
pada Peserta Didik. FPMIPA UPI.: Tidak Diterbitkan.
TIMSS (2007). International Mathematics Report. United States: TIMSS & PIRLS International
Study Center.
Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran. Bandung: UPI.
Wahyuni. (2010) Peningkatan kemampuan komunikasi dan koneksi matematis siswa SMP melalui
pembelajaran berbasis masalah. Tesis. PPs UPI Bandung : Tidak diterbitkan.
Website :
Holil, A. (2008). Tapan-tahapan Pembelajaran Penemuan. [On Line]. Tersedia:
http://anwarholil.blogspot.com/2008/04/tahapan-pembelajaran-penemuan.html. Diakses pada
tanggal 18 September 2015.

Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
FKIP UMP Purwokerto, 12 Desember 2015

PROSIDING

ISBN :

Krismanto,
A
.
(2003).
Model-model
Pembelajaran.
[On
Line].
Tersedia:
http://aadesanjaya.blogspot.com/2010/10/model-modelpembelajaran. html. Diakses pada
tanggal 21 September 2015.

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional
Matematika dan Pendidikan Matematika pada tanggal 12
Desember 2015
di Prodi Pendidikan Matematika FKIP UMP.