Tinjauan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Dan Jaminan Sosial Bagi Karyawan Sales Marketing Pada Perusahaan Toyota Mobil Indonesia (Studi Terhadap PT. Astra International Auto 2000 Medan)

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA, HUKUM
KETENAGAKERJAAN DAN JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

A.

Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kerja
1. Pengertian Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja diatur dalam Bab IX Undang-Undang Ketenagakerjan

Tahun 2003. Dalam Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang Ketenagakerjaan 2003
menyebutkan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja dengan
pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan
kewajiban para pihak. 9
Pasal 1601a KUH Perdata memberikan pengertian sebagai berikut:
“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu, yaitu
pekerja, mengikatkan dirinya untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain,
yaitu majikan, dengan upah selama waktu yang tertentu”.

Selain pengertian normatif seperti tersebut di atas, Imam Soepomo
berpendapat bahwa perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu

(pekerja), mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah dari pihak
kedua yakni majikan, dan majikan mengikatkan diri untuk memperkerjakan buruh
dengan membayar upah. 10

9

F.X. Djumialdji, S.H., M.Hum, Perjanjian Kerja Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta,
2005, hlm 7
10
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1983, hlm 53

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat, yaitu:
1. Kesepakatan antara kedua belah pihak
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3. Sesuatu hal tertentu, dalam hal ini untuk menerima karyawan atau
memperkerjakan karyawan
4. Sesuatu sebab atau hal yang diwenangkan

Perjanjian kerja melahirkan hubungan kerja. Hubungan kerja adalah
hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja, yang
mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Tiga unsur inilah yang
membedakan antara hubungan kerja di satu sisi dengan hubungan hukum di sisi
lainnya. Hubungan hukum yang dilekati 3 (tiga) unsur ini merupakan hubungan
kerja, yaitu sebagai berikut: 11
1. Pekerjaan
Jenis, ruang lingkup, dan keluasan pekerjaan amat beragam. Oleh karena
itu, bisa dimengerti kalau Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tidak merinci
makna pekerjaan. Politik hukum seperti ini dimaksudkan agar undang-undang
tersebut

dapat

mengikuti perkembangan

zaman.

Undang-undang


hanya

menentukan jika perjanjian kerja disebut secara tertulis, maka harus dimuat:
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja
c. jabatan atau jenis pekerjaan

11

Abdul R. Budiono, Hukum Perburuhan, PT Indeks, Jakarta, 2011, hlm 28

Universitas Sumatera Utara

d. tempat pekerjaan
e. besarnya upah dan cara pembayarannya
f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat
i.


tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Adanya syarat dalam huruf f, yaitu tentang syarat-syarat kerja yang

memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja memperjelas sesuatu yang
harus dilakukan atau dikerjakan oleh pekerja. Sesuatu yang harus dikerjakan oleh
pekerja berarti kewajiban pekerja untuk kepentingan pengusaha, dalam arti
sempit, sesuai dengan perjanjian kerja adalah pekerjaan. Di dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia kata pekerjaan dipadankan dengan tugas kewajiban. 12
Sementara itu kata ini diartikan sebagai barang apa yang dilakukan
(diperbuat, dikerjakan, dan sebagainya). 13
Jika makna ini yang diikuti, maka pekerjaan merupakan sesuatu yang
dikerjakan yang merupakan tugas atau kewajiban. Makna ini tidak jauh berbeda
dengan makna yang diberikan oleh Oxford Advanced Learnens. Kamus ini
memaknai job sebagai a particular piece of work; a task; a responsibility, duty or
function. 14

12

Kamus Besar Bahasa Indonesia (disingkat KBBI), Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm


428
13

Ibid
A S Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Oxford: Oxford University Press,
1995, hlm 639
14

Universitas Sumatera Utara

Makna atau batasan menurut kamus-kamus tersebut dapat digunakan
sebagai pedoman, walaupun tidak mengikat secara hukum. Di dalam berbagai
kasus, dengan menggunakan berbagai macam metode menemukan hukum, hakim
atau penegak hukum lainnya akan dapat memberikan makna pada kata pekerjaan.
2. Upah
Menurut Pasal 1 Angka 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 upah
adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha/pemberi kerja kepada pekerja yang ditetapkan dan
dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan

perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu
pekerjaan dan/atau jasa yang telah/akan dilakukan. Penerima upah adalah pekerja.
Pembayar upah adalah pengusaha/pemberi kerja. Aturan hukum dibayarkannya
upah adalah perjanjian kerja atau kesepakatan atau peraturan perundangundangan. Mengenai perjanjian kerja dan peraturan perundang-undangan memang
sudah semestinya. Upah dapat didasarkan pada perjanjian kerja sepanjang
ketentuan upah di dalam perjanjian kerja tersebut tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan. Jika ternyata ketentuan upah di dalam perjanjian
kerja bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka yang berlaku
adalah ketentuan upah di dalam peraturan perundang-undangan.
Berbeda dengan perjanjian kerja dan peraturan perundang-undangan
sebagai dasar pembayaran upah adalah kesepakatan. Menurut peraturan
perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Nomor l3 Tahun 2003,
kesepakatan merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian. Apa pun alasannya,

Universitas Sumatera Utara

perjanjian mengenai upah tersebut, besarnya upah tidak boleh lebih rendah atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Jika ketentuan ini dilanggar,
sanksinya adalah kebatalan (batal demi hukum).
3. Perintah

Baik Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 maupun peraturan
perundang-undangan sebelumnya tidak memberikan batasan atau definisi
mengenai perintah. Secara leksikal perintah berarti merupakan: 15
a. Perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu
b. Aturan dari pihak atas yang harus dilakukan
Makna leksikal mengenai perintah tersebut menunjukkan adanya unsur
“pihak atas” atau unsur “keharusan melakukan sesuatu oleh seseorang atas
kehendak orang lain”. Kalau berbagai unsur lain, misalnya jaminan sosial, upah,
syarat-syarat kerja dan lain-lain merupakan unsur yang dapat ditawar-tawar, maka
unsur adanya perintah ini merupakan unsur yang tidak dapat ditawar-tawar. Tidak
ada hubungan kerja apabila unsur perintah tidak melekat pada hubungan hukum.
Sesungguhnya adanya unsur “perintah” di dalam suatu hubungan kerja ini pernah
digoyah oleh Profesor M. Laica Marzuki. Beliau menegaskan bahwa pekerja
selaku subjek hukum penerima kerja (werknemer) adalah tidak berada di bawah
perintah majikan, tetapi justru berkedudukan hukum yang sama dan sederajat
dengan kedudukan hukum majikan sebagai layaknya pihak-pihak yang
mengikatkan dirinya pada suatu perjanjian timbal-balik. 16

15


KBBI, Op.cit, hlm 672
M. Laica Marzuki, “Kedudukan Hukum Buruh terhadap Majikan”, Majalah
Universitas Hasanudin, hlm 95
16

Universitas Sumatera Utara

Secara ilmiah pendapat ini dapat diterima, sebab sesungguhnya
persoalannya tidak terletak pada adanya perintah, melainkan karena adanya
perjanjian kedua belah pihak, yaitu pengusaha dan pekerja.
Sementara itu menurut Soetikno, meskipun lewat konstruksi hukum yang
berbeda, pendapatnya dapat dikatakan sejalan dengan Profesor M. Laica Marzuki.
Soetikno menegaskan bahwa tidak merupakan keharusan bahwa kekuasaan untuk
memberi perintah dilaksanakan secara sesungguhnya. Cukup bahwa kekuasaan
tersebut dilaksanakan menurut hukum. 17
Frase menurut hukum di sini tentu saja harus ditafsirkan baik menurut
peraturan perundang-undangan, perjanjian, maupun kebiasaan.
Sebagai wujud ketaatan terhadap perintah, di dalam pasal 1601 i BW
ditegaskan bahwa perjanjian kerja antara suami istri adalah batal. Sumber hukum
materiil adanya ketentuan yang demikian ini adalah karena di dalam perintah

terkandung unsur atasan (yang memerintah) dan bawahan (yang diperintah),
padahal hubungan suami istri adalah hubungan yang landasannya adalah
kesetaraan, keseimbangan dan kesamaan. 18

2. Timbulnya Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja merupakan sebuah pernyataan yang sangat penting, yaitu
di antaranya berisi tentang setujunya seseorang untuk bergabung dalam
perusahaan sebagai karyawan. Sedangkan bagi karyawan, perjanjian kerja lebih
berfungsi sebagai pemberi rasa aman. Alasannya, tertulisnya semua pernyataan
17

Pengertian seperti ini diperoleh dari penafsiran a contrario dari pasal 1 angka 26
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
18
Abdul R. Budiono, Op.Cit., hlm 32-33

Universitas Sumatera Utara

berupa hak-haknya sebagai karyawan akan terjamin. Oleh karena itu, dapat
dibayangkan jika perusahaan tidak memberikan perjanjian kerja secara resmi,

maka bisa saja perusahaan tersebut lari dari tanggung jawabnya.
Perjanjian kerja biasanya dibuat berdasarkan kemampuan atau kecakapan
dari pihak karyawan dan perusahaan. Sedangkan isinya tergantung kepada
masing-masing perusahaan. Perjanjian kerja yang baik harus tertulis dan memuat
semua hak dan kewajiban kedua belah pihak. Beberapa hal yang harus
diperhatikan seorang karyawan sebelum menandatanganinya, yaitu jabatan atau
jenis pekerjaan yang akan dipegangnya. Selain itu, perhatikan pula hak dan
kewajiban yang akan diterimanya, seperti jumlah gaji dan lokasi pekerjaannya,
juga tidak lupa tanggal, tempat, dan berakhirnya perjanjian tersebut. Pada
prinsipnya, perjanjian kerja untuk mempertegas posisi hak dan kewajiban seorang
karyawan. Banyak karyawan yang kecewa karena pekerjaan yang dipegangnya
tidak sesuai dengan yang tertulis pada perjanjian kerjanya. Jika itu terjadi, maka
setiap keluhan atau pengaduan seorang karyawan diusahakan terlebih dahulu
dibicarakan dan diselesaikan dengan atasan langsung secara lisan atau pun
tertulis. Bila langkah tersebut tidak mendapatkan hasil yang memuaskan,
karyawan yang bersangkutan dapat meneruskan keluhan atau pengaduannya
kepada ikatan karyawan untuk menyelesaikannya bersama-sama dalam Forum
Bipartit antara perusahaan dan ikatan karyawan. Setelah dirundingkan dengan
sungguh-sunggug ternyata masih terdapat perbedaan pendapat yang tidak dapat
diselesaikan secara mufakat, perbedaan pendapat ini dianggap sebagai perelisihan


Universitas Sumatera Utara

Hubungan Industrial dan penyelesaiannya dapat ditempuh dengan berpedoman
kepada ketentuan Peraturan Perundangan yang berlaku.
Berikut ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum
menandatangani perjanjian kerja, yaitu: 19
1) Pertama, teliti kata demi kata. Perhatikan apakah perjanjian kerja itu di buat
dengan menggunakan dua bahasa seperti Bahasa Indonesia dan Bahasa
Inggris. Usahakan jangan sampai terdapat terjemahan yang tidak tepat, sebab
maknanya akan sangat berbeda. Perjanjian kerja itu harus di buat dengan
bahasa baku.
2) Kedua, jika bingung dengan isi perjanjian itu usahakan agar bertanya kepada
pihak perusahaan.
3) Ketiga, periksa kembali apakah perjanjian kerja itu sudah di bubuhi materai.
Pembubuhan materai ini berarti akan menambah kekuatan hukum perjanjian
kerja, jika dikemudian hari terjadi kekeliruan.
4) Keempat, setelah perjanjian ditandatangani, jangan lupa calon karyawan
meminta salinannya untuk disimpan. Ini penting untuk mencegah jangan
sampai terjadi kekeliruan yang berkenaan dengan perjanjian kerja di kemudian
hari.

3. Syarat Perjanjian Kerja
Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, maka perjanjian kerja
harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320
19

http://topihukum.blogspot.co.id/2013/06/teliti-perjanjian-sebelum-tanda-tangan.html
Diakses pada tanggal 15 Februari 2017. Pukul 10.26 WIB

Universitas Sumatera Utara

KUH Perdata. Ketentuan ini juga tertuang dalam Pasal 52 ayat (1) UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan
bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar :
1. Kesepakatan kedua belah pihak;
2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang
mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian
kerja harus setuju/sepakat, seia-sekata mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Apa
yang dikehendaki pihak yang satu dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja
menerima pekerjaan yang di tawarkan, dan pihak pengusaha menerima pekerja
tersebut untuk dipekerjakan.
Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian
maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian.
Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah
cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batasan umur
minimal 18 Tahun (Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003).
Selain itu seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang tersebut tidak
terganggu jiwanya atau waras.

Universitas Sumatera Utara

Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dalam istilah Pasal 1320 KUH
Perdata adalah hal tertentu. Pekerjaan yang di perjanjikan merupakan objek dari
perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha, yang akibat hukumnya
melahirkan hak dan kewajiban para pihak.
Objek perjanjian (pekerjaan) harus halal yakni tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang
diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan
secara jelas.
Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif, artinya harus dipenuhi
semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan
bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak
dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subjektif,
karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian, sedangkan syarat
adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan harus halal
disebut sebagai syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian. Kalau syarat
objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum artinya dari semula
perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Jika yang tidak dipenuhi syarat
subjektif, maka akibat hukum dari perjanjian tersebut dapat dibatalkan, pihakpihak yang tidak memberikan persetujuan secara tidak bebas, demikian juga oleh
orang tua/wali atau pengampu bagi orang yang tidak cakap membuat perjanjian
dapat meminta pembatalan perjanjian itu kepada hakim. Dengan demikian

Universitas Sumatera Utara

perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh
hakim. 20

4. Bentuk Perjanjian Kerja
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menegaskan bahwa perjanjian
kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Undang-undang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian yang dikehendakinya,
tetapi sesungguhnya prinsip yang dianut adalah prinsip tertulis. Perjanjian kerja
dalam bentuk lisan dapat ditoleransi karena kondisi masyarakat yang beragam.
Undang-undang hanya menentukan bahwa segala hal dan/atau segala biaya yang
diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan
menjadi tanggung jawab pengusaha.
Aturan tentang kebebasan bentuk perjanjian itu merupakan aturan umum.
Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menentukan bahwa
perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal ini memberikan kemungkinan
bahwa untuk perjanjian kerja tertentu dapat disyaratkan bentuk tertulis. Perjanjian
kerja yang dipersyaratkan dalam bentuk tertulis di antaranya adalah:
1. Perjanjian kerja waktu tertentu (Pasal 57 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003);
2. Antarkerja antardaerah;
3. Antarkerja antarnegara;
20

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2007, hlm 57-59

Universitas Sumatera Utara

4. Perjanjian kerja laut.
Diwajibkannya bentuk tertulis untuk perjanjian kerja tertentu tersebut
bertujuan utama memberikan perlindungan kepada pekerja, misalnya adalah yang
ditegaskan di dalam Pasal 399 ayat (1) WvK, yaitu “De arbeidsovereenkomst
tusschen den reeder en een arbeider, die als kapitein of scheepsofficier zal
optreden moet op straffe van nietigheid, schriftelijk worden aangegaan”
(Perjanjian kerja antara pengusaha dan seorang pekerja, atas ancaman batal, harus
dibuat secara tertulis). Keharusan bentuk tertulis dengan ancaman kebatalan ini
merupakan aturan khusus. Di dalam peraturan yang mulai berlaku 17 Januari 1938
ini ditegaskan bahwa perjanjian kerja dengan buruh harus diadakan dalam bentuk
tertulis. Sementara itu di dalam Pasal 15 ayat (1) ditegaskan bahwa pelanggaran
(berarti membuat perjanjian kerja tidak tertulis) atas Pasal 3 ayat (1) dipidana
dengan pidana kurungan selama-lamanya dua bulan atau denda sebanyakbanyaknya lima ratus rupiah.
Jika perjanjian kerja dibuat secara tertulis, Pasal 54 ayat (1) mensyaratkan
hal-hal minimal yang harus dicantumkan, yaitu:
a. Nama, Alamat Perusahaan, dan Jenis Usaha;
b. Nama, Jenis Kelamin, Umur, dan Alamat Pekerja;
c. Jabatan atau Jenis Pekerjaan;
d. Tempat Pekerjaan;
e. Besarnya Upah dan Cara Pembayarannya;
f. Syarat-Syarat Kerja yang Menurut Hak dan Kewajiban Pengusaha dan
Pekerja;

Universitas Sumatera Utara

g. Mulai dan Jangka Waktu Berlakunya Perjanjian Kerja;
h. Tempat dan Tanggal Perjanjian Kerja Dibuat; dan
i.

Tanda Tangan Para Pihak dalam Perjanjian Kerja.
Hal-hal yang ditegaskan di dalam huruf e dan f tersebut tidak boleh

bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sekedar untuk perbandingan, BW pun tidak mensyaratkan bentuk tertulis
untuk perjanjian kerja. Hal ini ditegaskan di dalam pasal 1601d, yaitu: “Apabila
perjanjian kerja dibuat tertulis, maka biaya akte dan biaya lain-lain, ditanggung
oleh pengusaha.” 21

5. Jenis Perjanjian Kerja
Dalam suatu perjanjian kerja terdapat jenis-jenis perjanjian kerja, ada 2
(dua) jenis perjanjian kerja, diantaranya:
1. Menurut Bentuknya
Dalam perjanjian kerja menurut bentuknya ini ada dua macam, yakni
perjanjian kerja secara tertulis dan tidak tertulis, perjanjian kerja tertulis adalah
perjanjian yang dibuat dalam bentuk tulisan dan dapat dijadikan sebagai bukti
bilamana terjadi perselisihan.
Perjanjian kerja tidak tertulis, yaitu perjanjian kerja yang dibuat secara
lisan dan tetap bisa mengikat pekerja dalam perjanjian kerja tersebut, tapi
perjanjian kerja ini mempunyai kelemahan yakni adanya isi dalam perjanjian kerja

21

Abdul R. Budiono, Op.cit., hlm 34-36

Universitas Sumatera Utara

yang tidak dilaksanakan oleh pengusaha karena tidak tertulis dan hal ini sangat
merugikan pekerja.
2. Menurut Waktu Berakhirnya
Dalam berakhirnya suatu perjanjian kerja terdapat dua macam bentuk
berakhirnya suatu perjanjian kerja, diantaranya:
a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau pekerja tertentu, dalam hal
ini disebut karyawan kontrak, dengan syarat :


Paling lama tiga tahun atau selesainya suatu pekerjaan tersebut.



Dibuat secara tertulis 3 rangkap untuk buruh, pengusaha dan Dinas Tenaga
Kerja



Dibuat dalam Bahasa Indonesia, apabila terdapat bahasa asing, tetap bahasa
Indonesia yang diutamakan.



Tidak ada masa percobaan kerja.
Dalam PKWT terdapat jenis-jenis pekerjaan diantaranya :



Pekerjaan yang selesai sekali/sementara



Pekerjaan musiman



Pekerjaan yang terkait dengan produk baru



Pekerjaan lepas
b. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk

mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap dan disebut karyawan tetap.

Universitas Sumatera Utara

PKWTT bisa dibuat secara lisan maupun tulisan, dan jika dibuat secara lisan
maka perusahaan wajib membuat surat pengangkatan kerja bagi pekerja yang
bersangkutan dan PKWTT dapat mensyaratkan adanya masa percobaan selama
tiga bulan, dalam tiga bulan tersebut perusahan wajib membayar upah sesuai
dengan upah minimum yang berlaku. 22

6. Akibat Perjanjian Kerja
Lahirnya

Undang-Undang

Nomor

13

Tahun

2003

tentang

Ketenagakerjaan, mengatur mengenai dua macam perjanjian kerja, yaitu dapat
dibuat secara perorangan maupun dengan serikat pekerja/serikat buruh. UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003, juga turut memberikan peluang adanya ketidakwajiban pengusaha/majikan untuk membuat perjanjian kerja perorangan secara
tertulis, dengan alasan kondisi masyarakat yang beragam yang memungkinkan
perjanjian kerja secara lisan. Ketentuan ini sesungguhnya telah bertentangan
dengan prinsip sebuah perjanjian yang harus dibuat secara tertulis.
Pembenaran oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengenai
perjanjian secara lisan, akan membuat pekerja tidak mengetahui hak dan
kewajibannya dalam menjalani hubungan kerja dengan pengusaha/majikan,
berupa syarat-syarat kerja. Sehingga, pekerja tidak dapat menghindari sebuah
larangan atau tata tertib yang diberlakukan oleh pengusaha/majikan, yang pada
akhirnya dapat mengakibatkan pemutusan hubungan kerja. Bahkan akibat hukum

22

http://gumilar69.blogspot.co.id/2014/01/makalah-analisa-perjanjian-kerja-bab-ii.html
Diakses pada tanggal 15 Februari 2017. Pukul 17.37 WIB.

Universitas Sumatera Utara

yang timbul dari putusnya hubungan kerja pun tidak dapat diketahui oleh pekerja
tersebut.
Perjanjian yang dibuat secara lisan pun dapat menyulitkan pekerja dalam
membuktikan kebenaran dirinya sebagai pekerja yang bekerja pada pengusaha,
dalam proses penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja di Pengadilan
Hubungan Industrial.
Ketentuan Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang
mewajibkan pengusaha/majikan membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang
perjanjian

kerjanya

dibuat

secara

lisan,

tidaklah

efektif

dan

banyak

pengusaha/majikan yang tidak menjalankannya, bukan hanya karena tidak ada
sanksi yang mengaturnya, juga karena dengan tidak dibuatnya perjanjian kerja
secara

tertulis

dan

surat

pengangkatan,

akan

dapat

menguntungkan

pengusaha/majikan, yaitu diantaranya tidak jelasnya kapan hubungan kerja kedua
belah pihak dimulai.
Perjanjian kerja secara perorangan jelas tidak akan menguntungkan pihak
pekerja, tetapi sebaliknya dapat menguntungkan pengusaha/majikan, karena daya
tawar seorang pekerja lebih tinggi daya tawar pengusaha/majikan. Hal ini
disebabkan, jumlah pengangguran yang terus meningkat tajam, sehingga jumlah
lapangan kerja dan tenaga kerja yang tidak seimbang, yang kemudian
mengakibatkan daya tawar terhadap syarat-syarat kerja seperti upah lebih banyak
ditentukan oleh pengusaha/ majikan.
Peran pemerintah yang teramat penting dalam membuat kebijakan,
teramatlah penting bagi pekerja untuk mendapatkan perlindungan namun,

Universitas Sumatera Utara

pemerintah sekarang ini semakin melepaskan peranannya dalam menciptakan
hubungan industrial yang harmonis antara pekerja dengan pengusaha/majikan.
Pemerintah semakin melepaskan campur tangannya dalam melindungi pekerja
yang tidak atau mempunyai daya tawar rendah dengan pengusaha/majikan.
Sehingga perjanjian kerja secara lisan, akan mengakibatkan hubungan
konflik antara pekerja dengan pengusaha/majikan semakin terbuka lebar, dan
yang diuntungkan dari akibat perjanjian kerja lisan adalah pengusaha/majikan.
Oleh karenanya, perjanjian kerja lisan tidaklah relevan diterapkan di negara
berkembang seperti Indonesia, karena kondisi masyarakat Indonesia telah
berubah, dan bukankah setiap perjanjian kerja harus dibuat dalam Bahasa
Indonesia.
Sebagai solusinya, pengusaha/majikan dengan serikat pekerja, wajib
membuat perjanjian kerja bersama yang mengatur mengenai syarat-syarat kerja.
Kemudian, setiap pekerja dibuatkan perjanjian kerja perorangan sebagai turunan
dari perjanjian kerja bersama tersebut. Dalam hal tersebut, peran pemerintah
sebagai pembuat kebijakan, wajib memeriksa isi perjanjian kerja bersama yang
telah dibuat oleh serikat pekerja dengan pengusaha/majikan. 23

23

http://abang-hafidz.blogspot.co.id/2012/12/akibat-hukum-perjanjian-kerja-lisan_4559.html
Diakses pada tanggal 15 Februari 2017. Pukul 19.35 WIB.

Universitas Sumatera Utara

7. Pihak-Pihak yang Terkait dalam Hubungan Ketenagakerjaan
Pihak-pihak yang terkait dalam hubungan ketenagakerjaan, antara lain:
a. Buruh/Pekerja
Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia, istilah buruh
diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja, sebagaimana yang diusulkan
oleh pemerintah (Depnaker) pada waktu kongres FBSI 11 Tahun 1985. Alasan
pemerintah, karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh
lebih cenderung menunjuk pada golongan yang selalu di tekan dan berada di
bawah pihak lain, yakni majikan.
Dalam RUU Ketenagakerjaan ini sebelumnya hanya menggunakan istilah
pekerja saja, namun agar selaras dengan undang-undang yang lahir sebelumnya,
yakni Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 yang menggunakan istilah serikat
buruh/pekerja. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 1 Angka 4 memberikan pengertian pekerja adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun.
b. Pengusaha
Di dalam Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
menjelaskan pengertian pengusaha, yakni:
1. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
2. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

Universitas Sumatera Utara

3. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia

mewakili

perusahaan

sebagaimana

dimaksud

yang

berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Selain pengertian pengusaha, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Pasal 1 Angka 4 juga memberikan pengertian pemberi kerja yakni orang
perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan lainnya yang memperkerjakan
tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Sedangkan pengertian perusahaan dalam Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 adalah:
a) Setiap

bentuk

usaha

yang

berbadan

hukum

atau

tidak

yang

memperkerjakan pekerja dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak,
milik orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang memperkerjakan pekerja dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk apapun;
b) Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
c. Organisasi Pekerja/Buruh
Kehadiran organisasi pekerja dimaksudkan untuk memperjuangkan hak
dan kepentingan pekerja, sehingga tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh
pihak pengusaha. Keberhasilan ini sangat tergantung dari kesadaran para pekerja
untuk mengorganisasikan dirinya, semakin baik organisasi itu, maka akan
semakin kuat.

Universitas Sumatera Utara

d. Organisasi Pengusaha
1) Kamar Dagang dan Industri
Untuk meningkatkan peran serta pengusaha nasional dalam kegiatan
pembangunan, maka pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1973
membentuk Kamar Dagang dan Industri (KADIN). KADIN adalah wadah bagi
pengusaha Indonesia dan bergerak dalam bidang perekonomian.
Tujuan KADIN adalah sebagai berikut:


Membina dan mengembangkan kemampuan, kegiatan, dan kepentingan
pengusaha Indonesia di bidang usaha Negara, usaha koperasi dan usaha
swasta dalam kedudukannya sebagai pelaku-pelaku ekonomi nasional
dalam rangka mewujudkan kehidupan ekonomi dan dunia usaha nasional
yang sehat dan tertib berdasarkan Pasal 33 UUD 1945.



Menciptakan dan mengembangkan iklim dunia usaha yang memungkinkan
keikutsertaan yang seluas-luasnya bagi pengusaha Indonesia sehingga
dapat nerperan serta secara efektif dalam pembangunan nasional.

2) Asosiasi Pengusaha Indonesia
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) adalah organisasi pengusaha
yang khusus mengurus masalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan dan juga
merupakan suatu wadah kesatuan para pengusaha yang ikut serta untuk
mewujudkan kesejahteraan sosial dalam dunia usaha melalui kerjasama yang
terpadu dan serasi antara pemerintah, pengusaha dan pekerja. APINDO lahir
didasari atas peran dan tanggung jawabnya dalam pembangunan nasional dalam
rangka turut serta mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka

Universitas Sumatera Utara

pengusaha Indonesia harus ikut serta secara aktif mengembangkan peranannya
sebagai kekuatan sosial dan ekonomi
Tujuan APINDO adalah sebagai berikut:


Mempersatukan dan membina pengusaha serta memberikan layanan
kepentingannya didalam bidang sosial ekonomi.



Menciptakan dan memelihara keseimbangan, ketenangan dan kegairahan
kerja dalam lapangan hubungan industrial dan ketenagakerjaan



Mengusahakan peningkatan produktivias kerja sebagai program peran
serta

aktif

untuk

mewujudkan

pembangunan

nasional

menuju

kesejahteraan sosial, spiritual dan materiil.


Menciptakan

adanya

kesatuan

pendapat

dalam

melaksanakan

kebijaksanaan atau ketenagakerjaan dari para pengusaha yang disesuaikan
dengan kebijaksanaan pemerintah.
e. Pemerintah/Penguasa
Campur tangan pemerintah (penguasa) dalam hukum perburuhan atau
ketenagakerjaan dimaksudkan untuk terciptanya hubungan perburuhan atau
ketenagakerjaan yang adil, karena jika hubungan antara pekerja dan pengusaha
yang sangat berbeda secara sosial-ekonomi diserahkan sepenuhnya kepada para
pihak, maka tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hubungan perburuhan atau
ketenagakerjaan akan sulit tercapai, karena pihak yang kuat akan selalu ingin
menguasai yang lemah. Atas dasar itulah pemerintah ikut campur tangan melalui

Universitas Sumatera Utara

peraturan perundang undangan untuk memberikan jaminan kepastian hak dan
kewajiban para pihak. 24

8. Wanprestasi dan Prestasi
Wanprestasi berasal dari

istilah aslinya dalam

bahasa

Belanda

“wanprestatie” yang artinya, tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah
ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan
yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena
undang-undang.
Pengertian mengenai wanprestasi belum mendapat keseragaman, masih
terdapat bermacam-macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi, sehingga tidak
terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah mana yang hendak dipergunakan.
Istilah mengenai wanprestasi ini terdapat di berbagai istilah yaitu ingkar janji,
cidera janji, melanggar janji, dan lain sebagainya.
Dengan adanya bermacam-macam istilah mengenai wanprestasi ini, telah
menimbulkan kesimpang siuran dengan maksud aslinya yaitu “wanprestasi”. Ada
beberapa sarjana yang tetap menggunakan istilah “wanprestasi” dan memberi
pendapat tentang pengertian mengenai wanprestasi tersebut.
Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H., mengatakan bahwa:
“Wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi didalam hukum perjanjian,
berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian.

24

http://dwiratnasari770.blogspot.co.id/2013/06/pengantar-hukum-ketenagakerjaan.html
Diakses pada tanggal 15 Februari 2017. Pukul 20.30 WIB.

Universitas Sumatera Utara

Barangkali dalam bahasa Indonesia dapat dipakai istilah pelaksanaan janji untuk
prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya janji untuk wanprestasi”. 25

Prof. R. Subekti, S.H., mengemukakan bahwa:
“Wanprestasi itu adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4
(empat) macam, yaitu:
1. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana yang
diperjanjikan.
3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat,
4. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan.”
Menurut M.Yahya Harahap, menyebutkan bahwa:
“Wanprestasi dapat dimaksudkan juga sebagai pelaksanaan kewajiban
yang tidak tepat pada waktunya atau dilaksanakan tidak selayaknya.” 26

Sedangkan pengertian prestasi adalah merupakan hal yang harus
dilaksanakan dalam suatu perikatan. 27
Pemenuhan prestasi merupakan hakikat dari suatu perikatan. Kewajiban
memenuhi prestasi dari debitur selalui disertai dengan tanggung jawab (liability),
artinya debitur mempertaruhkan harta kekayaannya sebagai jaminan pemenuhan
hutangnya kepada kreditur.

25

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, hlm 17
M.yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hlm 60
27
Mariam Darus Badrulzaman, Asas-Asas Hukum Perikatan, FH USU, Medan, 1970,
26

hlm 8

Universitas Sumatera Utara

Menurut ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata, semua harta
kekayaan debitur baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang akan ada menjadi jaminan pemenuhan hutangnya terhadap kreditur,
jaminan semacam ini disebut jaminan umum.
Pada prakteknya tanggung jawab berupa jaminan harta kekayaan ini dapat
dibatasi sampai jumlah yang menjadi kewajiban debitur untuk memenuhinya yang
disebutkan secara khusus dan tertentu dalam perjanjian, ataupun hakim dapat
menetapkan batas-batas yang layak atau patut dalam keputusannya. Jaminan harta
kekayaan yang dibatasi ini disebut jaminan khusus, artinya jaminan khusus itu
hanya mengenai benda tertentu saja yang nilainya sepadan dengan nilai hutang
debitur. Bila debitur tidak dapat memenuhi prestasinya maka benda yang menjadi
jaminan khusus inilah yang dapat diuangkan untuk memenuhi hutang debitur.
Prestasi merupakan sebuah esensi daripada suatu perikatan. Apabila esensi
ini tercapai dalam arti dipenuhi oleh debitur maka perikatan itu berakhir. Agar
esensi itu dapat tercapai yang artinya, kewajiban tersebut dipenuhi oleh debitur
maka harus diketahui sifat-sifat dari prestasi tersebut ,yakni:


Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan



Harus mungkin



Harus diperbolehkan (halal)



Harus ada manfaatnya bagi kreditur



Bisa terdiri dari suatu perbuatan atau serentetan perbuatan

Universitas Sumatera Utara

B.

Tinjauan Umum Tentang Hukum Ketenagakerjaan
1. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan
Secara umum dapat dirumuskan, bahwa hukum ketenagakerjaan adalah

sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan hukum antara pekerja atau
organisasi pekerja dengan majikan atau pengusaha atau organisasi majikan dan
pemerintah, termasuk didalamnya adalah proses-proses dan keputusan-keputusan
yang dikeluarkan untuk merealisasikan hubungan tersebut menjadi kenyataan.
Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa, hukum ketenagakerjaan itu adalah
suatu himpunan peraturan yang mengatur hubungan hukum antara pekerja,
majikan atau pengusaha, organisasi pekerja, organisasi pengusaha, dan
pemerintah. 28
Sedjun H. Manulang, mengutip beberapa pendapat para sarjana mengenai
hukum ketenagakerjaan, yaitu :


Menurut Moleenar, bahwa Hukum Ketenagakerjaan adalah sebagian dari
hukum yang berlaku pada pokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja
dengan pengusaha.



Menurut Mr. G. Lavenbach, bahwa Hukum Ketenagakerjaan adalah hukum
yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan itu, dilakukan
dibawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung
bersangkut paut dengan hubungan kerja itu.



Menurut Mr. N.E.H. Van Esveld, bahwa Hukum Ketenagakerjaan adalah tidak
hanya meliputi hubungan kerja dimana pekerjaan itu dibawah pimpinan, tetapi
28

Darwin Prinst, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Buku Pegangan Pekerja untuk
Mempertahankan Hak-Haknya), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hlm 1

Universitas Sumatera Utara

meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja yang melakukan
pekerjaan atas tanggung jawab resiko sendiri.


Menurut Mr. Mok, bahwa Hukum Ketenagakerjaan adalah hukum yang
berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan dibawah pimpinan orang lain dan
dengan penghidupan yang layak langsung bergantung pada pekerjaan itu. 29
Dari pengertian di atas, diketahui bahwa tenaga kerja merupakan unsur

yang sangat penting dalam hukum ketenagakerjaan. Mengingat faktor tenaga kerja
dalam proses pembangunan ini harus diperhatikan, oleh karena itu diperlukan
usaha-usaha untuk membina, mengarahkan serta perlindungan bagi tenaga kerja
untuk menciptakan kesejahteraan yang berkaitan dengan yang dilakukannya.
Pada dasarnya perlindungan bagi tenaga kerja dimaksudkan untuk
menjaga agar tenaga kerja menjadi lebih dimanusiakan. Para tenaga kerja
mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan berbagai tugas dan kewajiban
sosialnya, dapat mengembangkan potensi dirinya, sehingga pada giliriannya dapat
meningkatkan kualitas hidup dan karenanya dapat hidup layak sebagai manusia,
untuk mensukseskan perlindungan terhadap tenaga kerja itu memerlukan beberapa
perencanaan

dan

pelaksanaan

secara

komprehensif,

terpadu,

dan

berkesinambungan.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 di dalam Pasal 1 Angka 2
menyebutkan bahwa Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Jadi, dalam hal ini tenaga kerja
29

Sedjun H. Manulang, Pokok-Pokok Ketenagakerjaan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,
1987, hlm 2

Universitas Sumatera Utara

merupakan unsur utama dalam hukum ketenagakerjaan yang memiliki peranan
dan kedudukan penting dalam pelaksanaan pembangunan.
Tujuan hukum ketenagakerjaan adalah untuk mencapai atau melaksanakan
keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan dan untuk melindungi tenaga kerja
terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha, misalnya yang membuat
atau menciptakan peraturan-peraturan yang sifatnya memaksa agar pengusaha
tidak bertindak sewenang-wenang terhadap para tenaga kerja sebagai pihak yang
lemah. 30
Dari perumusan tersebut di atas, dapatlah diketahui bahwa hukum
ketenagakerjaan mempunyai unsur-unsur antara lain, serangkaian peraturan yang
tertulis maupun yang tidak tertulis bahwa peraturan tersebut mengenai suatu
kejadian dengan adanya orang yang bekerja pada orang lain (majikan) dan adanya
balas jasa yang berupa upah. 31
Sifat hukum ketenagakerjaan dapat bersifat privat (perdata) dan bersifat
publik (pidana). Dikatakan bersifat privat adalah karena manusia, kita ketahui
bahwa hukum perdata mengatur kepentingan perorangan, dalam hal ini antara
tenaga kerja dan pengusaha, yaitu dimana mereka mengadakan suatu perjanjian
yang disebut dengan perjanjian kerja, sedangkan mengenai hukum perjanjian
sendiri terdapat atau diatur didalam KUH Perdata Buku Ke III.32

30

Dian Octaviani Saraswati, Perlindungan Hukum Keselamatan dan Kesehatan Kerja
terhadap Tenaga Kerja, Semarang, 2007, hlm 18
31
Halili Toha, Hubungan Kerja Antara Majikan dan Buruh, Cetakan Pertama, Penerbit
Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm 1
32
Dian Octaviani Saraswati, Loc.Cit., hlm 18

Universitas Sumatera Utara

Di samping bersifat privat (perdata), hukum ketenagakerjaan juga bersifat
publik (pidana), adalah: 33


dalam hal-hal tertentu atau pemerintah turut ikut campur dalam masalah
ketenagakerjaan



adanya sanksi-sanksi atau aturan hukum di dalam setiap undang-undang atau
Peraturan Perundang-Undangan di bidang ketenagakerjaan

2. Sumber Hukum Ketenagakerjaan
Sumber Hukum Ketenagakerjaan ialah:
1. Sumber Hukum Ketenagakerjaan dalam artian materiil (tempat darimana materi
hukum itu diambil). Yang dimaksud dengan sumber hukum materiil atau lazim
disebut sumber isi hukum (karena sumber yang menentukan isi hukum) ialah
kesadaran hukum masyarakat yakni kesadaran hukum yang ada dalam masyarakat
mengenai

sesuatu

yang

seharusnya.

Profesor

Soedikno

Mertokusumo

menyatakan, bahwa sumber hukum materiil merupakan faktor yang membantu
pembentukan hukum. Sumber Hukum Materiil Hukum Ketenagakerjaan ialah
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dimana setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan harus merupakan nilainilai Pancasila.
2. Sumber Hukum Perburuhan dalam artian tempat atau sumber dimana suatu
peraturan memperoleh kekuatan hukum. Sumber formil hukum perburuhan, yaitu:

33

Ibid.,

Universitas Sumatera Utara

a. Perundang-Undangan
Undang-undang merupakan peraturan yang dibuat oleh Pemerintah dengan
persetujuan DPR. Berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945,
maka beberapa peraturan yang lama yang masih berlaku karena dalam
kenyataannya belum banyak peraturan yang dibuat setelah kemerdekaan, yaitu:
1) Wet
2) Algemeen Maatregal van Bestuur
3) Ordonantie-ordonantie
4) Regeeringsverordening
5) Regeeringsbesluit
6) Hoofd van afdeling van arbeid
Setelah Indonesia merdeka ada hal yang perlu dicatat bahwa politik hukum
kodifikasi sudah ditinggalkan diganti dengan politik hukum yang mengacu pada
unifikasi hukum.
b. Peraturan Lainnya
1) Peraturan Pemerintah Aturan yang dibuat untuk melaksanakan UndangUndang
2) Keputusan Presiden, keputusan yang bersifat khusus (einmalig) untuk
melaksanakan peraturan yang ada di atasnya.
3) Peraturan atau keputusan instansi lainnya
c. Kebiasaan
Paham yang mengatakan bahwa satu-satunya sumber hukum hanyalah
undang-undang sudah banyak ditinggalkan sebab dalam kenyataannya tidak

Universitas Sumatera Utara

mungkin mengatur kehidupan bermasyarakat yang begitu kompleks dalam suatu
undang-undang. Disamping itu, undang-undang yang bersifat statis itu mengikuti
perubahan kehidupan masyarakat yang begitu cepat. Kebiasaan merupakan
kebiasaan manusia yang dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama dan
diterima oleh masyarakat, sehingga bilamana ada tindakan yang dirasakan
berlawanan dengan kebiasaan tersebut dianggap sebagai pelanggaran perasaan
hukum.
Masih banyak dan berkembangnya hukum kebiasaan dalam bidang
ketenagakerjaan disebabkan, antara lain:
1) Perkembangan masalah-masalah perburuhan jauh lebih cepat dari
perundang-undangan yang ada
2) Banyak peraturan yang dibuat sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan
ketenagakerjaan sesudah Indonesia merdeka.
d. Putusan
Putusan disini ialah putusan yang dikeluarkan oleh sebuah panitia yang
menangani sengketa-sengketa perburuhan, yaitu:
1) Putusan P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat)
2) Putusan P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah)
Panitia penyelesaian perburuhan sebagai suatu arbitrase wajib (compulsory
arbitration) mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan hukum
ketenagakerjaan karena peraturan yang ada kurang lengkap atau tidak sesuai lagi
dengan keadaan sekarang. Panitia ini tidak jarang melakukan penafsiran

Universitas Sumatera Utara

(interpretation) hukum, atau bahkan melakukan menemukan (rechtvinding)
hukum.
e. Perjanjian
Perjanjian merupakan peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada
pihak yang lainnya untuk melaksanakan sesuatu hal, akibatnya pihak-pihak yang
bersangkutan terikat oleh isi perjanjian yang mereka adakan. Kaitannya dengan
masalah perburuhan, perjanjian yang merupakan sumber hukum perburuhan ialah
perjanjian perburuhan dan perjanjian kerja.
f. Traktat
Traktat ialah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih.
Lazimnya perjanjian internasional memuat peraturan-peraturan hukum yang
mengikat secara umum. Sesuai dengan asas “pacta sunt servanda” maka masingmasing negara sebagai rechtpersoon (publik) terikat oleh perjanjian yang
dibuatnya. Hingga saat ini Indonesia belum pernah mengadakan perjanjian dengan
negara lain yang berkaitan dengan perburuhan. 34

C.

Tinjauan Umum Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
1. Pengertian Jaminan Sosial
Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah upaya kebijaksanaan yang ditujukan

kepada tenaga kerja, terutama yang berada dilingkungan perusahaan dalam hal
penyelenggaraan dan perlindungan dengan interaksi kerja

yang

saling

menguntungkan kedua belah pihak (tenaga kerja dan pengusaha). Dalam kamus
34

http://sihilman.blogspot.co.id/2012/04/sumber-hukum-ketenagakerjaan.html Diakses
pada tanggal 16 Februari 2017. Pukul 13.36 WIB.

Universitas Sumatera Utara

populer “pekerjaan sosial”, istilah jaminan sosial tersebut disebut sebagai
berikut: 35
“Jaminan Sosial adalah suatu program perlindungan yang diberikan oleh
negara, masyarakat dan organisasi sosial kepada seseorang atau individu yang
menghadapi kesukaran-kesukaran dalam kehidupan dan penghidupannya, seperti
penderita penyakit kronis, kecelakaan kerja dan sebagainya.”

Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial, maka Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) merupakan sebuah lembaga hukum untuk perlindungan sosial dalam
menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak
sekaligus dibentuk untuk menyelenggarakan Program Jaminan Sosial di
Indonesia.
Keberadaan jaminan sosial tenaga kerja sebagai upaya perlindungan hidup
tenaga kerja disuatu perusahaan ialah besar manfaatnya. Oleh karena itu, sebagai
langkah untuk menjamin hidup tenaga kerja, perusahaan sangat perlu
memasukkan tenaga kerjanya dalam program jaminan sosial tenaga kerja yang
dikelola oleh BPJS, karena perusahaan yang memasukkan tenaga kerjanya dalam
program BPJS adalah perusahaan yang terletak bijaksana pemikiranya dan telah
bertindak: 36

35

Ridwan Marpaung, Kamus Populer Pekerja Sosial, 1988, hlm 36
Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Managemen Tenega Kerja, Bima Aksara
Jakarta, 1987, hal. 92
36

Universitas Sumatera Utara

1. Melindungi para pekerjanya sedemikian rupa dalam menghadapi kecelakaan
kerja yang mungkin saja terjadi, baik karena adanya mutakhir, maupun karena
penempatan tenaga kerja pada proyek-proyek diluar daerah dalam rangka
menunjang pembangunan.
2. Mendidik para pekerjanya supaya berhemat atau menabung yang dapat
dinikmatinya apabila sewaktu-waktu terjadi suatu kejadian yang harus
dihadapi pekerja beserta keluarganya.
3. Melindungi perusahaan dari kerusakan kemungkinan berjumlah sangat besar,
karena terjadinya musibah yang menimpa beberapa karyawan, dimana setiap
kecelakaan atau musibah sama sekali tidak diharapkan.
Menurut Kenneth Thomson, seorang tenaga ahli pada Sekretariat Jendral
International Security Association (ISSA), dalam kuliahnya pada Regional
Trainning ISSA, seminar tanggal 16 dan 17 Juni 1980 di Jakarta, mengemukakan
perumusan jaminan sosial sebagai berikut :37
“Jaminan Sosial dapat diartikan sebagai perlindungan yang diberikan oleh
masyarakat bagi anggota-anggotanya untuk risiko-risiko atau peristiwa-peristiwa
tertentu dengan tujuan, sejauh mungkin, untuk menghindari terjadinya peristiwaperistiwa tersebut yang dapat mengakibatkan hilangnya atau turunnya sebagian
besar penghasilan, dan untuk memberikan pelayanan medis dan atau jaminan
keuangan terhadap konsekuensi ekonomi dari terjadinya peristiwa tersebut, serta
jaminan untuk tunjangan keluarga dan anak”.

37

Sentanoe Kertonegoro, Jaminan Sosial dan Pelaksanaannya di Indonesia, Cet. I,
Mutiara, Jakarta, hlm 29

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan pengertian yang diberikan oleh Imam Soepomo, S.H. ialah:
“Jaminan Sosial adalah pembayaran yang diterima oleh pihak buruh diluar
kesalahannya tidak melakukan pekerjaan, jadi menjamin kepastian pendapatan
(income security) dalam hal buruh kehilangan upahnya karena alasan diluar
kehendaknya.” 38
Dari beberapa definisi jaminan sosial di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa tujuan jaminan sosial pada prinsipnya adalah: 39
a. sebagai sarana untuk memberikan perlindungan dasar bagi pekerja guna
mengatasi risiko-risiko ekonomis atau sosial atau peristiwa-peristiwa tertentu,
seperti:
1) kebutuhan akan pelayanan medis;
2) tertundanya, hilangnya atau turunnya sebagian penghasilan yang
disebabkan karena:
a) sakit;
b) hamil;
c) kecelakan kerja dan penyakit jabatan;
d) hari tua;
e) cacat;
f) kematian pencari nafkah.
3) tanggung jawab untuk keluarga dan anak-anak.

38

Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1981, hlm 136
Zaeni Asyhadie, Aspek-Aspek Hukum Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Rajawali Pers,
Jakarta, 2013, hlm 35
39

Universitas Sumatera Utara

b. sebagai sarana untuk mencapai tujuan sosial dengan memberikan ketenangan
kerja bagi pekerja/buruh yang memiliki peranan besar bagi pelaksana
pembangunan.
Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan dilaksanakannya
jaminan sosial bagi pekerja, yaitu sebagai berikut: 40
a. Jaminan sosial menciptakan ketenangan kerja bagi pekerja dan ketenangan
berusaha bagi pengusaha sehingga mendorong terciptanya produktivitas kerja.
b. Dengan adanya program jaminan sosial yang permanen, berarti pengusaha
dapat melakukan perencanaan yang pasti untuk kesejahteraan pekerjanya, di
mana biasanya pengeluaran-pengeluaran untuk jaminan sosial ini bersifat
mendadak sehingga tidak bisa diperhitungkan terlebih dahulu.
c. Dengan adanya jaminan sosial, praktis akan menimbulkan ikatan bagi pekerja
untuk bekerja di perusahaan tersebut serta tidak berpindah ke tempat lain.
d. Jaminan sosial juga akan ikut menciptakan ketenangan kerja serta
menciptakan hubungan yang positif antara pekerja dan pengusaha. Hubungan
yang positif ini sangat diperlukan untuk kegairahan dan semangat kerja ke
arah kenaikan produksi perusahaan yang pada gilirannya akan menumbuhkan
rasa ikut bertanggung jawab dengan rasa ikut memiliki sebagaimana yang
dikehendaki oleh konsepsi Hubungan Industrial Pancasila.
e. Dengan adanya program jaminan sosial ini, kepastian akan perlindungan
terhadap risiko-risiko dari pekerjaan akan terjamin, terutama untuk melindungi

40

Ibid., hlm 36-37

Universitas Sumatera Utara

kelangsungan penghasilan pekerja yang sangat dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan hidup beserta keluarganya.
f. Secara nasional jaminan sosial ini akan memberi kontribusi berikut:
1) Iuran selalu diterima beberapa tahun sebelum pembayaran jaminan yang
cukup besar karena adanya program berjangka panjang.
2) Dengan demikian, terjadinya pemupukan dana yang untuk sementara
sebelum digunakan untuk membayar jami

Dokumen yang terkait

Gaya Kepemimpinan Transformasional Dan Penempatan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT. Astra International TBK. Toyota Sales Operation (AUTO 2000) Cabang Pasteur Bandung

6 100 84

Pengaruh Motivasi dan Pengalaman Kerja Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan PT. Astra Internasional, Tbk – Toyota Sales Operasion Auto (2000) cabang Medan

0 9 136

Pengaruh Motivasi dan Pengan Kerja Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan PT. Astra Internasional, Tbk – Toyota Sales Operasion Auto (2000) cabang Medan

0 0 11

Pengaruh Motivasi dan Pengan Kerja Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan PT. Astra Internasional, Tbk – Toyota Sales Operasion Auto (2000) cabang Medan

0 0 2

Pengaruh Motivasi dan Pengan Kerja Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan PT. Astra Internasional, Tbk – Toyota Sales Operasion Auto (2000) cabang Medan

0 0 11

Tinjauan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Dan Jaminan Sosial Bagi Karyawan Sales Marketing Pada Perusahaan Toyota Mobil Indonesia (Studi Terhadap PT. Astra International Auto 2000 Medan)

0 0 11

Tinjauan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Dan Jaminan Sosial Bagi Karyawan Sales Marketing Pada Perusahaan Toyota Mobil Indonesia (Studi Terhadap PT. Astra International Auto 2000 Medan)

0 0 1

Tinjauan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Dan Jaminan Sosial Bagi Karyawan Sales Marketing Pada Perusahaan Toyota Mobil Indonesia (Studi Terhadap PT. Astra International Auto 2000 Medan)

0 1 18

Tinjauan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Dan Jaminan Sosial Bagi Karyawan Sales Marketing Pada Perusahaan Toyota Mobil Indonesia (Studi Terhadap PT. Astra International Auto 2000 Medan) Chapter III V

0 4 53

Tinjauan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Dan Jaminan Sosial Bagi Karyawan Sales Marketing Pada Perusahaan Toyota Mobil Indonesia (Studi Terhadap PT. Astra International Auto 2000 Medan)

0 0 2