Agraria-November 2008

VOLUME VI NOVEMBER 2008

AGRARIA

Berkhas merupakan salah satu media Akatiga yang menyajikan kumpulan berita dari
berbagai macam surat kabar, majalah, serta sumber berita lainnya. Jika pada awal
penerbitannya kliping yang ditampilkan di Berkhas dilakukan secara konvensional, maka
saat ini kliping dilakukan secara elektronik, yaitu dengan men-download berita dari situssitus suratkabar, majalah, serta situs berita lainnya.
Bertujuan untuk menginformasikan isu aktual yang beredar di Indonesia, Berkhas
diharapkan dapat memberi kemudahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam
pencarian data atas isu-isu tertentu. Berkhas yang diterbitkan sebulan sekali ini setiap
penerbitannya terdiri dari isu Agraria, Buruh, dan Usaha Kecil.
Untuk memperluas area distribusi, Berkhas diterbitkan melalui 2 (dua) macam media
yaitu media cetakan (hardcopy) serta media online berupa pdf file yang dapat diakses
melalui situs web Akatiga (www.akatiga.or.id).

Da ft a r I si

Petani Karet Perlu Beras Murah -----------------------------------------------------------------------

1


Petani Krisis Pupuk ----------------------------------------------------------------------------------------

3

Indonesia Harus Punya Strategi Hadapi Ketahanan Pangan ----------------------------------

5

Kembangkan Lumbung Pangan di NTT--------------------------------------------------------------

6

Petani Jawa Timur Tuntut Pupuk Murah -------------------------------------------------------------

7

Tahun 2009 Sistem Irigasi Jabar Akan Diperbaiki ------------------------------------------------

8


Konflik Lahan Tanpa Penyelesaian -------------------------------------------------------------------

9

Petani Mengeluh Harga Jagung Anjlok -------------------------------------------------------------- 10
Harga Jahe Anjlok, Petani Terpuruk ------------------------------------------------------------------ 11
Swasembada Beras Meragukan ----------------------------------------------------------------------- 12
Galakkan Penggunaan Pupuk Organik -------------------------------------------------------------- 13
Nilai Tukar Petani Holtikultura NTB Turun----------------------------------------------------------- 14
Tahun 2009 Sistem Irigasi Jabar Akan Diperbaiki ------------------------------------------------ 15
Petani Sawit di Jambi Tak Sanggup Lagi Beli Pupuk -------------------------------------------- 16
400 Ha Padi Gagal Panen ------------------------------------------------------------------------------- 17
17 Daerah di Jateng Rawan Pangan ----------------------------------------------------------------- 18
Petani Bangkalan Berebut Urea------------------------------------------------------------------------ 19
Globalisasi Pertanian dan Kesejahteraan Petani-------------------------------------------------- 20
7 Sentra produsen padi terancam kelangkaan pupuk-------------------------------------------- 22
Bersinergi Melayani Petani ------------------------------------------------------------------------------ 23
Di Pacitan Pupuk Bersubsidi Langka ----------------------------------------------------------------- 24
Musim Tanam Kabupaten Tangerang Dimulai ----------------------------------------------------- 25

Petani Memprotes Kelangkaan Pupuk --------------------------------------------------------------- 26
PTPN Tak Sanggup Memenuhi Harga Petani------------------------------------------------------ 27
Target Pembelian Beras 2009 Sebanyak 3,8 Juta Ton------------------------------------------ 28
Harga Sawit Anjlok, Petani Riau Terjerat Kredit --------------------------------------------------- 30
Petani Banyumas Kelimpungan Mencari Pupuk--------------------------------------------------- 31
8 Ton Pupuk Bersubsidi Gagal Diselundupkan ---------------------------------------------------- 32
Petani Belum Dapat Pupuk ------------------------------------------------------------------------------ 34
Tahun Depan Indonesia Akan Ekspor Beras ------------------------------------------------------- 35
Harga Beras Indonesia Terisolasi --------------------------------------------------------------------- 36
Pemerintah Dinilai Menganaktirikan Petani Lahan Persil --------------------------------------- 37

Petani Bakal Kekurangan Pasokan Air--------------------------------------------------------------- 38
KNTA: Naikkan HPP Gabah dan Beras -------------------------------------------------------------- 39
Petani Minta Pemerintah Ijinkan Ekspor Beras Organik ----------------------------------------- 40
Sebanyak 71.000 Ha Sawah Gagal Panen Akibat Banjir --------------------------------------- 41
Petani Diajari Pakai Pupuk Organik ------------------------------------------------------------------- 42
Petani Menunda Masa Tanam-------------------------------------------------------------------------- 43
Target Produksi Padi Diprediksi Tercapai ----------------------------------------------------------- 44
Pupuk di Kabupaten Gowa Langka ------------------------------------------------------------------- 45
Swasembada untuk Petani ------------------------------------------------------------------------------ 46

Masyarakat Diminta Jangan Menjual Tanah-------------------------------------------------------- 47
Swasembada Jagung 2009, Swasta Dilibatkan dalam Penyerapan ------------------------- 48
71.694 Ha sawah puso ----------------------------------------------------------------------------------- 49
120.000 Hektar Hutan Beralih Fungsi Jadi Perkebunan ---------------------------------------- 50
Petani Minta RSPO Lebih Peduli ---------------------------------------------------------------------- 52
Samarinda Alami Gagal Panen------------------------------------------------------------------------- 53
Harga Pupuk Urea Melambung ------------------------------------------------------------------------ 54
220 Ribu Ton Benih Padi Disediakan Untuk Musim Tanam 2009 ---------------------------- 55
Kebutuhan Benih Jagung Mencapai 58 Ribu Ton------------------------------------------------- 56
Sistem Tertutup, Petani Sulit Peroleh Pupuk Bersubsidi ---------------------------------------- 57
Bom Waktu Persoalan Pupuk--------------------------------------------------------------------------- 59
Ekonomi Petani Sawit Rentan -------------------------------------------------------------------------- 61
Titik Balik Industri Sawit ---------------------------------------------------------------------------------- 63
9 Pertanyaan untuk Sutarto Alimoeso: Diversifikasi Pangan Memacu
Kemandirian Pangan -------------------------------------------------------------------------------------- 65
Ketahanan Pangan Terjaga ----------------------------------------------------------------------------- 68
Menyehatkan Pertanian Kita ---------------------------------------------------------------------------- 69
Petani Harap Tidak Merugi ------------------------------------------------------------------------------ 71
Bulog Bisa Menjual Lebih Murah----------------------------------------------------------------------- 73
Bulog Kalteng Serap 12.500 Ton Beras Petani ---------------------------------------------------- 74

Disiapkan OP Pupuk Bersubsidi ----------------------------------------------------------------------- 75
Petani Sawit Tuntut Lahan Perkebunan ------------------------------------------------------------- 77
Harga Beras Domestik Stabil --------------------------------------------------------------------------- 78
Petani Serbu Gudang Pupuk---------------------------------------------------------------------------- 80

Kompas

Senin, 03 November 2008

Pe t a ni Ka r e t Pe r lu Be r a s M ur a h
Ra t usa n H e k t a r La ha n Sa w it di Ace h Te r ba k a r
Se nin, 3 N ove m be r 2 0 0 8 | 0 1 :0 8 W I B
Palembang, Kompas - Anjloknya harga karet mentah membuat petani mulai kesulitan
mencukupi kebutuhan hidup. Karena itu, Pemerintah Kabupaten Musi Rawas meminta Bulog
mengadakan pasar murah agar petani karet mampu membeli beras.
Bupati Musi Rawas Ridwan Mukti di Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu malam,
mengatakan, harga karet mulai turun sejak Lebaran. Sebelumnya, dari 1 kilogram karet petani
bisa mendapatkan 3 kg beras. Sekarang dari 2 kg karet petani hanya mendapatkan 1 kg beras.
Menurut Ridwan, Musi Rawas memiliki perkebunan karet terluas di Sumsel, yaitu 200.000
hektar. Hampir 100 persen perkebunan karet itu milik rakyat.

Pemerintah Kabupaten Musi Rawas dan Pemerintah Provinsi Sumsel meminta Bulog
mengadakan pasar murah beras di Musi Rawas. ”Kami minta harga 1 kg beras di pasar murah
setara dengan harga 1 kg karet. Dibutuhkan beras 50.000 kg untuk mencukupi kebutuhan 5-6
bulan ke depan,” kata Ridwan.
Ia menambahkan, pasar murah beras juga membantu petani kelapa sawit yang mengalami
persoalan sama. Di Musi Rawas terdapat 150.000 ha kebun kelapa sawit.
Menurut Ketua Gabungan Perusahaan Perkebunan Sumsel Syamsir Syahbana dan Kepala
Dinas Perkebunan Sumsel Syamuil Chatib, Minggu (2/11) di Palembang, krisis yang melanda
sektor perkebunan kelapa sawit dan karet akan menghambat pertumbuhan perekonomian
Sumsel tahun 2008. Hal ini karena lebih dari 400.000 pekerja dan buruh yang
menggantungkan hidup di sektor perkebunan menurun produktivitas dan pendapatannya,
bahkan terancam pemutusan hubungan kerja. Jumlah itu belum termasuk lebih dari satu juta
buruh tidak tetap.
Untuk memperbaiki harga jual dan mengatasi kelesuan bisnis, Syamuil akan menerapkan
kesepakatan negara tripartit karet dan sawit dunia, yakni Indonesia, Malaysia, dan Thailand,
yaitu mengurangi pasokan ke pasar dunia.
Berdasarkan data Dinas Perkebunan Sumsel, harga acuan tandan buah segar (TBS) kelapa
sawit saat ini turun dari Rp l.004 per kg menjadi Rp 989 per kg. Adapun harga minyak sawit
mentah (CPO) terus turun dari Rp 5.035 per kg pada awal Oktober menjadi Rp 5.020 per kg
pada akhir Oktober.

Makmur Maryanto, petani kelapa sawit di Kabupaten Muara Enim, menyayangkan adanya
sebagian pabrik yang menolak membeli TBS dari petani.
Anjloknya harga karet mentah dari Rp 7.000 per kg menjadi Rp 3.000 per kg membuat
sejumlah petani karet di Sumatera Barat mengurangi jadwal penyadapan getah.
”September lalu, harga karet Rp 7.000 per kg. Sekarang, harga karet anjlok sampai Rp 3.000
per kg,” ujar Yusmaniar (55), petani karet di Sikabu Parak Pisang, Kecamatan Lubuk Alung,
Kabupaten Padang Pariaman, Minggu.
Sejak Lebaran, dia mulai mengurangi jadwal menyadap getah. Karet yang baru ia jual Sabtu
lalu merupakan hasil penyimpanan seminggu terakhir dan penyadapan pertama setelah
Lebaran. Bila harga normal, ia menjual karet ke pengepul dua hari sekali.
Di Jorong Bunga Tanjung Nagari Air Bangis, Kabupaten Pasaman Barat, harga karet mentah
membaik dari Rp 4.000 per kg menjadi Rp 6.000 per kg.

Berkhas

1

Volume VI November 2008

Kompas


Senin, 03 November 2008

Sejumlah pabrik pengolahan karet di Sumbar kini kesulitan bahan baku lantaran pasokan karet
mentah dari petani minim. Menurut Sekretaris Gabungan Pengusaha Karet Indonesia Sumbar
Djaswir Loewis, pasokan karet ke pabrik tinggal 10 persen dari kondisi normal. Di sisi lain,
permintaan karet dari luar negeri juga merosot drastis.
Di sejumlah pasar di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, tiga hari belakangan ini harga
minyak goreng curah merambat naik, dari Rp 5.200 per kg menjadi Rp 5.800 per kg. Hal itu
diungkapkan Anis, pedagang di Pasar Borobudur, dan Yusdarin, pedagang di Pasar Muntilan.
Lahan sawit terbakar
Di wilayah Seuneuam IV dan Ujung Raja, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya,
Nanggroe Aceh Darussalam, ratusan hektar kebun kelapa sawit terbakar sejak akhir bulan
Oktober 2008. Hal itu diduga karena kelalaian para pekerja kebun sawit saat membuang
puntung rokok.
Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Nagan Raya Said Saifan ketika dihubungi dari
Banda Aceh, Minggu, mengakui, hal itu terjadi di lahan milik PT Astra Agro Lestari. Namun,
kebakaran sudah berhasil ditanggulangi.
Empat blok kebun sawit milik perusahaan itu, yaitu Blok 14, 16, 17, dan 18, habis terbakar.
Susilo, anggota staf peneliti dari Yayasan Eko-Lestari, memperkirakan luas lahan sawit yang

terbakar lebih dari 300 ha. (WAD/ONI/ART/EGI/MHD)

Berkhas

2

Volume VI November 2008

Kompas

Senin, 03 November 2008

PERTAN I AN

Pe t a ni Kr isis Pupuk
Se nin, 3 N ove m be r 2 0 0 8 | 0 3 :0 0 W I B
BOYOLALI, KOMPAS - Para petani di berbagai daerah mengeluh kesulitan mendapatkan
pupuk. Kalaupun ada, harga jual pupuk di tingkat pengecer cukup mahal sehingga menyulitkan
petani.
Di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, harga pupuk Rp 80.000- Rp 130.000 per zak (isi 50

kilogram), tetapi petani sulit menemukan pupuk di pengecer. Harga eceran tertinggi (HET) Rp
60.000 per zak.
Kepala Bidang Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Usaha Pertanian, Dinas Pertanian,
Perkebunan, dan Kehutanan Boyolali Eko Agus Sunanta, Sabtu di Boyolali, mengatakan,
laporan kebutuhan dari sekitar 264 gabungan kelompok tani (gapoktan) se-Boyolali sudah
masuk, tetapi laporan jumlah pengecer belum masuk.
Penanggung jawab Gapoktan Tani Makmur, Desa Gondangrawe, Kecamatan Andong,
Wardono, mengatakan, petani harus membayar Rp 2.500 per kg pupuk urea dari HET Rp
1.200 per kg.
Petani di Kediri, Jawa Timur, juga mengakui serupa. ”Stok pupuk di sejumlah kios selalu
kosong. Setiap kali kiriman pupuk dari distributor datang langsung diserbu petani. Pembelian
juga dibatasi. Sejumlah kios memberlakukan sistem pembelian secara paket,” kata Yosef (25),
petani di Desa Blabak, Kecamatan Kandat.
Harga setiap paket mencapai Rp 200.000. Jika membeli urea saja, kios tak mau melayani. Jika
petani memaksa, harga jadi Rp 200.000 per paket seberat satu kuintal. HET per kuintal urea
Rp 120.000.
Yunan (28), petani tebu, mengaku harus menebus Rp 170.000 per satu kuintal Za jika tidak
mau membeli paket. Padahal, harga eceran tertinggi Za bersubsidi Rp 105.000 per satu
kuintal.
Masih timpang

Petani di Kulon Progo, DI Yogyakarta, mengeluh sulit memperoleh pupuk jenis ZA. Menurut
Sumarjo (45), petani di Desa Garongan, sudah dua bulan ini pupuk ZA langka. Satu zak ZA
ukuran 50 kg kini Rp 70.000-Rp 80.000, sementara sebelumnya hanya Rp 55.000 per zak.
Kuwarjono, petani di Desa Sidomulyo, Bantul, DI Yogyakarta, mengaku harga pupuk urea
sudah Rp 1.400 per kg, padahal sebelumnya Rp 1.300 per kg. Di Sleman, lamanya waktu
pengiriman pupuk dikeluhkan petani. Petani yang tidak termasuk kelompok tani sulit
memperoleh pupuk dari penyalur. ”Sudah satu minggu saya pesan pupuk itu, tetapi belum ada
kabarnya,” kata Sukardi (48), petani di Desa Bimomartani, Ngemplak, Sleman.
Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian dan Kehutanan Sleman CC
Ambarwati mengatakan, jumlah kebutuhan dan stok pupuk urea subsidi masih agak timpang.
”Jumlah urea bersubsidi 9.932 ton dari total kebutuhan 25.000 ton per tahun,” katanya. HET
pupuk urea Rp 1.200 per kg.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Madiun Wijanto Joko Purnomo mengaku
akan mengajukan tambahan alokasi pupuk urea sekitar 3.000 ton ke Pemerintah Provinsi Jatim
guna mencukupi kebutuhan pada November dan Desember. Pasalnya, kuota tahun ini tersisa
1.000 ton. Padahal, kebutuhan pada dua bulan itu sekitar 3.000 ton.

Berkhas

3

Volume VI November 2008

Kompas

Senin, 03 November 2008

Petani di sejumlah kecamatan di Karawang, Jawa Barat, meminta jaminan ketersediaan pupuk.
Mereka khawatir sistem distribusi tertutup yang akan segera dilaksanakan tidak berjalan
dengan baik sehingga pupuk justru sulit ditemukan.
Ketua Kelompok Tani Sri Sugih di Desa Pasirtalga, Kecamatan Talagasari, Engkat Sukatma
(67), Minggu (2/11), mengatakan, setiap petani atau kelompok tani selama ini telah memiliki
tempat langganan sendiri. Mereka memilih kios atau distributor pupuk berdasarkan faktor
kedekatan, pelayanan, kerja sama, dan kecocokan harga. (GAL/NIK/APA/NIT/
THT/MKN/ENG/YOP/ENY)

Berkhas

4

Volume VI November 2008

Jurnal Nasional

Selasa, 04 November 2008

Nasional | Yogyakarta | Selasa, 04 Nov 2008 07:30:00 WIB

I ndone sia H a r us Puny a St r a t e gi H a da pi Ke t a ha na n
Pa nga n
NEGARA Indonesia harus memiliki strategi umum kebijakan dalam menghadapi ketahanan
pangan, yaitu dengan menerapkan beberapa kebijakan dan pendekatan.
"Pendekatannya dengan jalur ganda, yaitu memprioritaskan pembangunan ekonomi berbasis
pertanian dan pedesaan serta memenuhi pangan bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan
pangan melalui pemberian bantuan langsung," kata Kepala Badan Ketahanan Pangan Pusat,
Dr Ir Ahmad Suryana.
Ahmad Suryana mengatakan bahwa selain itu juga dapat diterapkan kebijakan melindungi dan
pendorongan.
"Kebijakan melindungi produk para petani dan pendorongan untuk meningkatkan efisiensi dan
daya saing," katanya.
Ia menambahkan bahwa beberapa hal tersebut dilakukan untuk mengatasi beberapa isu
nasional mengenai pangan seperti kerawanan pangan, akses pangan, kualitas konsumsi,
kemandirian masyarakat dan kelembagaan ketahanan pangan.
"Salah satu contoh isu nasional yaitu mengenai akses pangan, sebagai contoh kemampuan
untuk mendapatkan pangan, namun uang tidak ada, atau sebaliknya, uang ada namun sulit
mendapatkan pangan," katanya.
Ia menambahkan contoh isu nasional lainnya yaitu mengenai kualitas kosumsi. Menurutnya,
asupan pangan seharusnya bergizi, sehat dan aman bagi masyarakat muslim.
Ia mengatakan bahwa seharusnya Indonesia melakukan beberapa kegiatan, antara lain,
mendirikan desa mandiri pangan, penanganan daerah rawan pangan, pengembangan lumbung
pangan masyarakat, penerapan divesifikasi pangan, penguatan kelembagaan distribusi pangan
dan penguatan kelembagaan ketahanan pangan.(Ant)

Berkhas

5

Volume VI November 2008

Suara Pembaruan

Rabu, 05 November 2008

Ke m ba ngk a n Lum bung Pa nga n di N TT
[KUPANG] Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Frans Lebu Raya, mengimbau para
bupati/wali kota se-NTT untuk mengembangkan kelembagaan lumbung pangan di tingkat
desa/kelurahan. Imbauan yang bertujuan untuk menyukseskan program nasional tersebut
dikemukakan kepada SP, di Kupang, Selasa (4/11).
Dikatakan, pemerintah kabupaten perlu lebih arif dan bijaksana dalam mengalokasikan secara
proporsional dana alokasi khusus (DAK) bidang pertanian, guna mendukung pengembangan
kelembagaan lumbung pangan pada tingkat desa/kelurahan sebagai salah satu basis
cadangan pangan pemerintah dan masyarakat desa.
Dijelaskan, pemerintah provinsi (pemprov) telah mengalokasikan sejumlah dana lewat
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2007 untuk pengembangan sarana dan
prasarana lumbung pangan di tingkat desa/kelurahan. Ke depan, masalah kekurangan pangan
yang selalu melanda daerah ini bisa teratasi, karena masyarakat memiliki cadangan pangan.
Demi mewujudkan ketahanan pangan, perlu mengoptimalkan pengelolaan potensi sumber
daya lahan kering yang dimiliki melalui penerapan teknologi tepat guna, terutama teknologi
pengembangan sumber daya air yang terbatas dan pengembangan sumber daya manusia
yang profesional. Dengan begitu, dapat mengubah pola usaha tani masyarakat dari subsistem
menjadi komersial.
Pelaku usaha agribisnis diminta dapat bermitra dengan berbagai kelembagaan tani yang ada,
untuk mendukung produksi dan pemasaran hasil pangan masyarakat tani dengan harga yang
layak. Itu akan menunjang peningkatan pendapatan dan daya beli masyarakat. [120]

Berkhas

6

Volume VI November 2008

Jurnal Nasional

Kamis, 06 November 2008

Ekonomi | Ponorogo | Rabu, 06 Agt 2008 17:33:52 WIB

Pe t a ni Ja w a Tim ur Tunt ut Pupuk M ur a h
SEKITAR 200 petani Jawa Timur yang tergabung dalam Serikat Petani Indonesia (SPI)
berunjuk rasa di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten
Ponorogo, menuntut kepada pemerintah memberikan pupuk dengan harga yang murah, Rabu
(6/8).
Mereka adalah perwakilan dari masing-masing kabupaten di Jawa Timur antara lain dari
Trenggalek, Tulungagung, Kediri, Tuban, dan petani dari kabupaten Ponorogo. Sebelumnya
peserta aksi melakukan long march sejauh tiga km.
Koordinator aksi dari SPI Jawa Timur, Ruslan mengatakan, selain menuntut pupuk murah,
petani di Jawa Timur yang bergabung dalam SPI menutut kepada pemerintah untuk
memperluas lahan tanaman pangan melalui program pembaharuan agraria untuk menurunkan
jumlah impor dan menjamin ketersediaan pangan dalam negeri.
"Selama ini petani terus mengalami kekalahan. Lahan pertanian yang selama ini menjadi
andalan berubah fungsi sehingga kehidupan petani terancam. Untuk itu kami berharap
pemerintah bertindak tegas agar petani bisa hidup layak," katanya.
Dia menjelaskan, petani saat ini memerlukan ketersediaan pupuk serta benih yang berkualitas
serta ketersediaan lahan pertanian. Pasalnya selama ini petani terutama petani kecli hanya
bisa sebagai buruh tani yang berpengahasilan di bawah rata-rata.
Ia menambahkan, pemerintah juga harus mengatur tata niaga bahan pangan dan tidak
menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar yang dikusasi oleh swasta.
Pemerintah juga harus tegas dalam menstabilkan harga kebutuhan barang pokok dan jangan
sampai pengelolaannya diserahkan pada pihak perusahaan. (Ant)

Berkhas

7

Volume VI November 2008

Jurnal Nasional

Kamis, 06 November 2008

Nusantara | Bandung | Kamis, 06 Nov 2008 15:05:34 WIB

Ta hun 2 0 0 9 Sist e m I r iga si Ja ba r Ak a n D ipe r ba ik i
GUBERNUR Jawa Barat Ahmad Heryawan, berjanji akan memperbaiki sistem pengairan
(irigasi) yang ada di seluruh wilayah Jawa Barat.
"Untuk itu pada tahun 2009 nanti Pemerintah Pusat melalui Dinas Pekerjaan Umum (PU) telah
menganggarkan dana Rp1,1 Triliun untuk membenahi sistem irigasi di Jabar," kata Gubernur,
di Bandung, Kamis (6/11).
Menurutnya, adanya perbaikan sistem irigasi yang ada di Jawa Barat adalah bukti perhatian
Pemrov Jabar untuk memperjuangkan anggaran bagi sektor pertanian.
Dikatakannya, jika sistem irigasi yang tersebar di Jawa Barat telah baik, maka bukanlah hal
yang mustahil produktivitas pertanian Jabar akan meningkat pesat.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal itu, pihaknya meminta agar seluruh jajaran di
lingkungan Pemprov Jabar, seperti Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Jawa Barat
melakukan dua hal penting yakni, sosialisasi dan keberpihakan.
Dikatakan, dengan sosilasi diharapkan dapat mendorong para petani di Jabar untuk bertani
secara baik dan benar menjadi sebuah gerakan yang massal dan massif.
"Kemudian jika sosilasi itu telah terlaksana maka wajib didukung dengan wujud keberpihakan
seluruh stakeholder yang ada supaya sektor pertanian dan pangan dapat meningkat," ucapnya.
(Ant)

Berkhas

8

Volume VI November 2008

Kompas

Kamis, 06 November 2008

Konflik La ha n Ta npa Pe ny e le sa ia n
Kamis, 6 November 2008 | 01:17 WIB
Palembang, Kompas - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi Sumatera Selatan
menyatakan, konflik lahan pertanian-perkebunan antara petani dan investor serta institusi
pemerintahan masih terus terjadi. Bahkan, jumlahnya sudah mencapai lebih dari 220 kasus
konflik. Walhi menilai peran serta pemerintah dalam menyelesaikan konflik struktural ini masih
minim, bahkan pemerintah daerah dinilai membiarkan konflik terus berlangsung tanpa ada
intervensi penyelesaian masalah.
Menurut Anwar Sadad dari Walhi Sumsel, beberapa waktu lalu, konflik lahan di Provinsi
Sumatera Selatan ini tergolong cukup mengkhawatirkan, mengingat ada lebih dari 220 kasus
konflik yang terjadi selama kurun waktu tahun 2008. Dari tahun ke tahun, konflik lahan ini
menjadi perhatian dari aktivis Walhi, selain juga kasus alih fungsi hutan.
”Secara umum, konflik ini terjadi antara masyarakat petani dengan pemodal. Ada juga
pemerintah yang berlindung di balik investor untuk menekan para petani tersebut,” ucap Anwar
Sadad. Dia juga sangat menyayangkan minimnya peran aktif dan intervensi pemerintah daerah
(kabupaten/kota) di Sumatera Selatan dalam menyelesaikan konflik tersebut.
”Dari pengamatan Walhi selama ini, yang terjadi justru tekanan represif dari pemerintah dan
pemodal terhadap petani sehingga penyelesaian persoalan tersebut cenderung diabaikan,”
kata Anwar.
Jika dihubungkan dengan program revitalisasi pembangunan ekonomi masyarakat pedesaan,
Anwar menilai persoalan ini justru kontraproduktif. Artinya, jika konflik pertanian itu terusmenerus terjadi dan dibiarkan tanpa ada penyelesaian secara win-win (kemenangan untuk
kedua belah pihak), jelas akan menghambat pembangunan ekonomi masyarakat, khususnya di
sektor pertanian dan perkebunan kawasan pedesaan.
Meski secara hukum sebagian petani itu hanya memiliki lahan garapan dan bukan lahan
kepemilikan pribadi, dari situlah mereka bisa bertani dan memenuhi kebutuhan hidup sehingga
kecil kemungkinan bagi masyarakat desa untuk bisa meningkatkan akses kehidupan
perekonomian jika lahan pertanian semakin sempit.
”Dari pengamatan kami, kondisi ini sudah berdampak pada terjadinya proses pemiskinan
masyarakat desa. Bagaimana tidak? Kenyataannya mereka tidak bisa lagi bercocok tanam
untuk hidup karena lahan garapan diserobot pemodal besar untuk keperluan perkebunan karet
atau kelapa sawit,” kata Anwar.
Kerusakan hutan
Selain persoalan konflik lahan, Anwar juga mengatakan bahwa kerusakan hutan akibat
pembukaan dan alih fungsi lahan juga tergolong cukup memprihatinkan. Berdasarkan data
Walhi Sumsel, hingga 2008 ini, sebanyak 63 persen dari total 3 juta hektar hutan di Sumsel
dikategorikan rusak.
”Di masa mendatang, pemerintah perlu memberi perhatian lebih bagi program rehabilitasi
lingkungan hidup. Reklamasi lahan pertambangan juga harus jadi perhatian,” katanya. (ONI)

Berkhas

9

Volume VI November 2008

Kompas

Kamis, 06 November 2008

Pe t a ni M e nge lu h H a r ga Ja gung Anj lok
Kamis, 6 November 2008 | 01:17 WIB
Sukadana, Kompas - Petani jagung di Lampung Timur mengeluh anjloknya harga jual jagung
dalam satu bulan terakhir. Harga jagung yang sebelumnya Rp 1.800-Rp 2.000 per kilogram
basah kini menjadi Rp 1.000- Rp 1.100 per kilogram.
Budi M, petani dari Desa Adirejo, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Timur, Rabu
(5/11), mengatakan, para petani tidak mengetahui persis penyebab anjloknya harga jual
jagung. ”Kami hanya menduga, krisis keuangan dunia juga menjadi penyebab turunnya harga
itu,” ujar Budi.
Menurut Budi, petani jagung di Lampung memang tidak memiliki kebiasaan mengeringkan
jagung. Petani terbiasa langsung menjual jagung siap panen kepada pedagang pengumpul.
Dengan kadar air lebih dari 50 persen, satu bulan yang lalu, para pedagang pengumpul
menghargai jagung basah yang dibeli dari petani sekitar Rp 1.800-Rp 2.000 per kilogram. Para
pedagang pengumpul tersebut kemudian mengeringkan dan memipil jagung dan menjualnya
kepada pabrik pakan ternak Charoen Pokphand Indonesia dan Japfa Comfeed.
Ni Made Setiasih, pedagang pengumpul jagung di Sidorejo, Lampung Timur, mengatakan, para
pedagang pengumpul biasanya akan mengeringkan jagung basah dari petani hingga berkadar
air 14-15 persen.
”Setelah dipipil, jagung dijual ke pabrik pakan ternak,” ujar Setiasih.
Satu bulan yang lalu, pabrikan mampu membeli jagung pipil kering kualitas pabrik sebesar Rp
2.700-Rp 2.800 per kilogram. Saat ini, harga terus turun hingga Rp 2.200 per kilogram.
Menurut Setiasih, kendati harga terus turun, petani jagung Lampung Timur tidak surut
menanam jagung. Hanya saja, petani jagung Lampung Timur sangat sulit diajak meningkatkan
kualitas.
Jagung seharusnya dipanen pada umur 120 hari. Di Lampung Timur, jagung dipanen pada
umur 95 hari. Para petani mempercepat pemanenan jagung untuk mengejar ketersediaan air.
Jagung yang seharusnya ditanam dua kali dalam setahun bertambah menjadi tiga kali dalam
satu tahun.
Menurut Setiasih, pedagang pengumpul sudah berkali-kali memberitahu petani, jagung
sebaiknya dipanen saat umur 120 hari atau saat jagung sudah siap panen dan berkualitas
bagus.
”Jagung umur 95 hari biasanya tidak terlalu bagus. Namun, petani memilih caranya sendiri,”
ujar Setiasih.
Perbaikan kualitas produksi di sisi petani dilakukan karena berdasarkan catatan pedagang
pengumpul, harga jual jagung 2007-2008 (sebelum Oktober 2008) merupakan harga jual
jagung terbaik sejak 2006. Sebelum 2006, harga jagung bervariasi antara Rp 500-Rp 1.000 per
kilogram.
Di Lampung Timur, sentra jagung terletak di Kecamatan Sekampung Udik, Bandar Agung, dan
Marga Sekampung, dengan areal tanam mencapai 30.000 hektar. Produktivitas jagung di tiga
daerah itu sekitar 7-8 ton per hektar. (hln)

Berkhas

10

Volume VI November 2008

Jurnal Nasional

Jumat, 07 November 2008

Nusantara | Kendari | Jum'at, 07 Nov 2008 16:30:32 WIB

H a r ga Ja he Anj lok , Pe t a ni Te r pur uk
RATUSAN petani dari berbagai sentra produksi tanaman jahe di Provinsi Sulawesi Tenggara
(Sultra) kini terpuruk karena anjloknya harga komoditas pertanian mereka. Mereka mungkin
tidak lagi menanam tanaman hortikultura itu di lahan mereka.
Kepala Subdin Perindustrian Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sultra,
Najamuddin di Kendari, Jumat (7/11) mengatakan komoditas jahe jenis gajah, kini hanya bisa
dibeli para pedagang di bawah harga Rp1.000 per kilogram, padahal sebelumnya mencapai
Rp3.000 sampai Rp3.500 per kilogram.
Menurut dia, salah satu komoditas andalan Sultra itu, kini harganya anjlok disebabkan karena
daerah tujuan pemasaran antarpulau yakni Surabaya, Jawa Timur untuk sementara
menghentikan permintaan jahe dari luar daerahnya.
"Saya mendapat laporan dari sejumlah pedagang bahwa komoditas jahe untuk sementara tidak
ada pembelian di daerah konsumen karena saat sedang `over produksi`. Kalaupun ada yang
bisa dikirim hanya dalam jumlah yang sangat terbatas," katanya.
Ia mengatakan, sentra produksi jahe di Sultra terdapat di tiga wilayah yakni Kecamatan
Moramo Kabupaten Konawe Selatan, Kecamatan Lasalimu Kabupaten Buton dan Kecamatan
Tikep Kabupaten Muna.(Ant)

Berkhas

11

Volume VI November 2008

Suara Pembaruan

Jumat, 07 November 2008

Sw a se m ba da Be r a s M e r a guk a n
[JAKARTA] Pernyataan Pemerintah bahwa Indonesia akan berswasembada beras pada 2008
ini dinilai terlalu tergesa- gesa dan meragukan. Selain keakuratan datanya dipertanyakan, juga
dua bulan ke depan masih banyak daerah yang belum panen, bahkan terancam puso karena
banjir.
Keraguan itu disampaikan Ketua Umum Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Winarno
Tohir, dan Ketua Lembaga Pemberdayaan Petani Indonesia (LPPI) Djoko Djarot, kepada SP,
di Jakarta, Jumat (7/11).
Pemerintah, melalu Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Pertanian, dan Perum Bulog
merasa yakin Indonesia akan swasembada beras pada 2008 ini. Alasannya, luas sawah
bertambah, produktivitas meningkat, dan penyerapan untuk stok berjalan lancar sesuai target.
Sehingga, tidak diperlukan impor beras seperti tahun-tahun sebelumnya.
Winarno mengungkapkan, produksi padi di Tanah Air tidak ada yang luar biasa, bahkan pada
awal 2008 banyak terjadi banjir, dan panen terkena kresek atau hama. Pada panen gadu
banyak yang kekeringan. Penambahan luas lahan persawahan juga tidak sebanding dengan
luas sawah yang terus berkurang atau beralih fungsi.
"Produksi padi tidak kelihatan meningkat. Penggilingan padi di sepanjang pantai utara banyak
yang tidak digiling, tapi harga beras stabil. Ini agak aneh, berasnya dari mana? Ini yang belum
terjawab. Apa memang benar produksinya lebih, atau karena ada impor beras ilegal," ucap
Winarno.
Berdasarkan informasi yang diperolehnya, di Kalimantan Tengah banyak dijual beras asal India
dan Pakistan yang masuk secara ilegal. Jika terbukti, ini menunjukkan bahwa stok beras
dikatakan cukup karena ada impor ilegal, sehingga tak bisa diklaim terjadi peningkatan
produksi. [S-26]

Berkhas

12

Volume VI November 2008

Kompas

Sabtu, 08 November 2008

Ga la k k a n Pe ngguna a n Pupuk Or ga nik
Sabtu, 8 November 2008 | 01:27 WIB
Sukabumi, Kompas - Pemerintah harus serius mendorong petani untuk menggunakan pupuk
organik. Penggunaan pupuk organik secara berkelanjutan bisa menjadi solusi persoalan
kekurangan pupuk kimia yang selalu berulang setiap tahunnya.
”Biaya untuk membuat percontohan pertanian organik memang tidak sedikit. Namun, jika
pemerintah serius, percontohan pertanian organik tetap bisa dibuat,” kata Ketua Kontak Tani
Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Maman Suparman, Jumat (7/11).
Ia menegaskan, tanpa percontohan atau demplot pertanian organik, petani sulit untuk langsung
diajak berubah menggunakan pupuk kimia ke pupuk organik.
”Petani kita sudah sangat bergantung pada pupuk kimia sehingga sulit jika mereka tidak diberi
bukti mengenai keberhasilan pertanian organik terlebih dahulu,” kata Maman.
Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Sukabumi Dana Budiman mengatakan,
tahun ini tercatat sudah ada 1.250 petani yang tergabung dalam 50 kelompok tani yang
melaksanakan system of rice intensification (SRI). ”Jumlahnya diharapkan akan terus
bertambah,” kata Budiman.
Seiring dengan itu, permintaan pupuk organik ke Paguyuban Petani Organik Purwakarta
(PPOP), Jabar, meningkat menjelang musim tanam ini. Penanaman padi dengan sistem
organik dinilai berhasil dan mulai dilirik sebagian petani yang selama ini menggunakan pupuk
kimia.
Ketua PPOP Kuswana mengatakan, sedikitnya 46 petani dengan luas lahan mencapai 20
hektar di Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Purwakarta, yang beralih ke sistem organik
musim ini. Dengan demikian, luas areal organik di Purwakarta bertambah menjadi 120 ha.
Pupuk bersubsidi
Dari Wates, Daerah Istimewa Yogyakarta, dilaporkan, mulai 2009 distribusi pupuk bersubsidi di
Kulon Progo akan dilakukan secara tertutup. Petani hanya bisa memperoleh pupuk dari para
pengecer di wilayahnya dan tidak diperkenankan mencari pupuk di luar wilayah.
Agar kebutuhan pupuk petani tercukupi, mereka harus membuat rencana definitif kebutuhan
kelompok.
Rencana ini memuat volume kebutuhan pupuk kelompok tani selama satu tahun untuk segala
jenis tanaman pangan dan hortikultura.
”Rencana definitif kemudian diajukan kepada pengecer pupuk terdekat di wilayah kelompok
tani. Untuk seterusnya petani tinggal mengambil jatah pupuk di pengecer,” kata Kepala Dinas
Pertanian dan Kelautan Kulon Progo Agus Langgeng Basuki.
Pengecer, lanjut Agus, juga hanya akan menyediakan pupuk dengan volume sesuai dengan
ajuan rencana definitif dari kelompok tani. Ini berarti pengecer tidak akan melayani petani yang
membeli pupuk bersubsidi secara pribadi.
Agus mengimbau para petani bergabung ke kelompok-kelompok tani di wilayahnya. ”Dengan
begitu, mereka tidak akan sulit mendapatkan pupuk bersubsidi,” katanya. (AHA/MKN/YOP)

Berkhas

13

Volume VI November 2008

Jurnal Nasional

Minggu, 09 November 2008

Nusantara | Mataram | Minggu, 09 Nov 2008 12:04:19 WIB

N ila i Tuk a r Pe t a ni H olt ik ult ur a N TB Tur un
DARI lima subsektor di sektor pertanian di Nusa Tenggara Barat (NTB) hanya sektor
hortikultura yang mengalami menurunan Nilai Tukar Petani Hortikultura (NTP-H) pada Agustus
2008, sementara empat subsektor lainnya meningkat.
"Untuk sektor hortikultura dalam NTP-H selama Agustus 2008 terjadi menurunan sebesar 1,26
persen, hal ini karena indeks yang diterima petani mengalami penurunan 1,29 persen,
sedangkan indeks yang dibayar petani menurun sebesar 0,04 persen," kata Kepala Badan
Pusat Statistik (BPS) NTB, Mariadi Mardian di Mataram, Minggu (8/11).
Walaupun NTP-H mengalami penurunan tetapi kemampuan/daya beli petani hortikultura masih
di atas 100, yakni sebesar 110,24.
Dikatakan, penurunan terjadi karena perubahan pada sektor subkelompok sayur-sayuran
sebesar 2,32 dan pada subkelompok buah-buahan terjadi peningkatan 0,14 persen.
"Dan subsektor tanaman pangan meningkat 1,94 persen, karena perubahan indeks yang
diterima petani sebesar 1,91 persen, sedangkan indeks yang dibayar petani sebesar
mengalami penurunan 0,03 persen," katanya.(Ant)

Berkhas

14

Volume VI November 2008

Jurnal Nasional

Minggu, 09 November 2008

Nusantara | Bandung | Kamis, 06 Nov 2008 15:05:34 WIB

Ta hun 2 0 0 9 Sist e m I r iga si Ja ba r Ak a n D ipe r ba ik i
GUBERNUR Jawa Barat Ahmad Heryawan, berjanji akan memperbaiki sistem pengairan
(irigasi) yang ada di seluruh wilayah Jawa Barat.
"Untuk itu pada tahun 2009 nanti Pemerintah Pusat melalui Dinas Pekerjaan Umum (PU) telah
menganggarkan dana Rp1,1 Triliun untuk membenahi sistem irigasi di Jabar," kata Gubernur,
di Bandung, Kamis (6/11).
Menurutnya, adanya perbaikan sistem irigasi yang ada di Jawa Barat adalah bukti perhatian
Pemrov Jabar untuk memperjuangkan anggaran bagi sektor pertanian.
Dikatakannya, jika sistem irigasi yang tersebar di Jawa Barat telah baik, maka bukanlah hal
yang mustahil produktivitas pertanian Jabar akan meningkat pesat.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal itu, pihaknya meminta agar seluruh jajaran di
lingkungan Pemprov Jabar, seperti Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Jawa Barat
melakukan dua hal penting yakni, sosialisasi dan keberpihakan.
Dikatakan, dengan sosilasi diharapkan dapat mendorong para petani di Jabar untuk bertani
secara baik dan benar menjadi sebuah gerakan yang massal dan massif.
"Kemudian jika sosilasi itu telah terlaksana maka wajib didukung dengan wujud keberpihakan
seluruh stakeholder yang ada supaya sektor pertanian dan pangan dapat meningkat," ucapnya.
(Ant)

Berkhas

15

Volume VI November 2008

Tempo I nteraktif

Minggu, 09 November 2008

Pe t a ni Sa w it di Ja m bi Ta k Sa nggup La gi Be li Pupuk
Minggu, 09 November 2008 | 14:07 WIB
TEMPO Interaktif, Jambi: Para petani kepala sawit di Provinsi Jambi kini kian meradang,
karena tak bisa lagi beli pupuk, akibat semakin anjloknya harga penjualan hasil panen mereka
di pasaran.
"Kini kami benar-benar susah pak, karena sejak harga penjualan hasil panen kami turun drastis
membuat kami tidak lagi bisa membeli pupuk. Tragisnya, sudah banyak pemili kebun kelapa
sawit di daerah ini sudah enggan mengurus kebun mereka", kata Amirullah, 46 tahun, salah
seorang petani kelapa sawit asal Desa Mundungdarat, Kecamatan Muarosebo, Kabupaten
Muarojambi, Jambi, kepada Tempo, Minggu (9/11).
Harga jual sawit bentuk tandan buah segar ke pemilik pabrik kelapa sawit selaku penampung
hanya berkisar Rp 300 - Rp 400 per kilogram. Menurut bapak enam orang anak ini, harga jual
sawit sekarang tidak lagi sepadan bila dibandingkan dengan harga pupuk yang setiap saat
terus emngalami peningkatan.
"Sebelumnya kami bisa membeli pupuk Urea misalnya dengan harga Rp 75 ribu per karung
ukuran 25 kilogram, tapi sekarang harus merogoh kocek membeli pupuk yang sama sebesar
Rp 250 ribu. Belum lagi jenis pupuk lain dengan merk Mahkota sudah mencapai Rp 600 ribu
per karung seberat 50 kilogram", ujarnya.
Amirullah mempunyai sekitar lima hektare ladang kelapa sawit yang mulai tak terurus.
Menurutnya dulu setiap panen dalam jangka waktu 15 hari sekali rata-rata memperoleh 10 ton
tandan buah segar, dirinya bisa memperoleh uang mencapai Rp 18 juta, dengan harga jual
masih Rp1.800 per kilogram.
Kini penghasilan itu lebih separoh hilang, disamping hasil panen berkurang akibat kebun tak
lagi di pupuk juga ditambah harga jual sangat murah.
SYAIPUL BAKHORI

Berkhas

16

Volume VI November 2008

Kompas

Senin, 10 November 2008

4 0 0 H a Pa di Ga ga l Pa ne n
Tikus dan Wereng Mengganas
Senin, 10 November 2008 | 00:53 WIB
Sigi-Biromaru, Kompas - Sedikitnya 400 hektar tanaman padi milik sekitar 200 petani di
Kecamatan Sigi-Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, gagal panen. Hal itu disebabkan
oleh mengganasnya hama tikus, wereng, dan penggerek batang.
Menurut pemantauan Minggu (9/11), petani menderita kerugian hingga ratusan juta rupiah dan
beberapa di antara mereka terpaksa menunggak utang yang digunakan menggarap sawah.
”Harusnya, kalau padi berhasil dan bisa panen, saya bisa dapat uang untuk menutupi
kebutuhan sehari-hari dan membayar utang yang saya pakai menggarap sawah. Saya masih
punya utang lebih dari Rp 1 juta kepada pemilik traktor karena biaya sewa traktor belum bisa
saya bayar,” kata Jami (45), pemilik 1 hektar (ha) sawah di Desa Vatunonju, Kecamatan SigiBiromaru.
Ardin Pasau (49), mantan Kepala Desa Vatunonju yang juga tokoh kelompok tani setempat,
menanggung kerugian lebih besar lagi. Sawah seluas 6 ha yang tak bisa dipanen membuatnya
harus menanggung kerugian hingga Rp 24 juta. ”Memang sawah saya digarap oleh petani
penggarap dengan perjanjian bagi hasil, tetapi modal penggarapan sawah dari saya,” kata
Ardin.
Tanaman padi petani setempat umumnya mengalami kerusakan pada bagian batang dan
berwarna kuning kecoklatan. Batangnya patah dan hancur. Kalaupun ada yang berbuah,
umumnya berbulir kosong. Belum lagi areal persawahan yang habis dirusak atau dimakan
tikus.
Sekretaris desa sekaligus Pelaksana Tugas Harian Kepala Desa Vatunonju Abdul Rasyid
mengakui, setidaknya ada 400 ha sawah di desanya yang gagal panen. Tanaman yang rusak
berusia antara dua pekan hingga dua bulan.
”Di sini petani memang tidak serentak menanam. Pertama kali sebar benih dilakukan sebelum
Ramadhan lalu, setelah itu berturut-turut hingga dua minggu lalu. Nyatanya dari yang baru
ditanam sampai yang sudah dua bulan tidak ada yang bisa dipanen. Satu-satunya cara adalah
menanam baru,” kata Rasyid menjelaskan.
Menurut Rasyid, petugas Penyuluh Pertanian Lapangan sebenarnya sudah turun dan
melakukan pertemuan dengan kelompok tani. Namun, hingga kini belum ditemukan solusi
untuk penanggulangan serangan hama.
Petani berharap pemerintah bisa membantu modal atau setidaknya menyediakan benih dan
pupuk pengganti untuk bisa menanam kembali.
Hujan belum turun
Sementara itu, petani di Nusa Tenggara Timur (NTT) resah karena sampai saat ini hujan belum
juga turun. Padahal, mereka sudah menyiapkan lahan sejak September lalu untuk ditanami.
Mereka khawatir gagal panen kalau curah hujan tak memadai.
Ketua Himpunan Kerukunan Tani dan Nelayan NTT Melkianus Adoe di Kupang mengatakan,
cuaca mendung terjadi sejak Oktober 2008, tetapi sampai kini hujan belum kunjung turun.
(REN/KOR)

Berkhas

17

Volume VI November 2008

Jurnal Nasional

Selasa, 11 November 2008

Nusantara Kilas | Semarang | Selasa, 11 Nov 2008

1 7 D a e r a h di Ja t e ng Ra w a n Pa nga n
MESKIPUN Provinsi Jawa tengah (Jateng) surplus pangan, namun 17 daerah dinyatakan
sebagai titik rawan pangan. Karena itu, DPRD Jateng menyetujui kenaikan jumlah anggaran
ketahanan pangan sebesar Rp7 miliar atau 38,1 persen pada RAPBN 2009.
Dengan kenaikan tersebut, anggaran ketahanan pangan pada 2009 menjadi Rp24,031 miliar.
Pada APBD 2008, anggaran untuk pos yang sama hanya sebesar Rp17,4 miliar.
Wakil Ketua Komisi B DPRD Jateng, Muh Haris di Semarang, Senin (10/11) mengatakan,
kenaikan anggaran tersebut untuk mengantisipasi 17 daerah di Jateng yang masuk kategori
rawan pangan.
Menurut Haris, kondisi tersebut harus diantisipasi, sebab dalam kondisi kekurangan pangan,
bisa menimbulkan suasana yang tidak nyaman bagi masyarakat, terutama menjelang dan
pasca-Pemilu 2009. "Masyarakat dalam kondisi ekonomi yang tidak baik akan mudah tersulut
emosinya, dan ujung-ujungnya dapat mengganggu pelaksanaan Pemilu 2009," tukasnya.
Ke-17 daerah yang dinyatakan rawan pangan tersebut adalah Brebes, Banyumas, Kebumen,
Pekalongan, Kudus, Grobogan, Rembang, Purbalingga, Demak, Kabupaten Semarang,
Batang, Magelang, Karanganyar, Boyolali, Pati, Tegal, dan Wonogiri.
Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional DPRD Jateng, Johan Firdaus menilai,
kebijakan keberpihakan pada petani pedesaan dan pengusaha kecil harus konkret dan harus
dirasakan langsung masyarakat. "Dalam hal ini, Gubernur Jateng Bibit Waluyo dapat
memberikan prioritas penambahan anggaran sekurang-kurangnya 20 persen dari RAPBD 2009
pada dinas-dinas," katanya. n Heri Santoso

Berkhas

18

Volume VI November 2008

Jurnal Nasional

Selasa, 11 November 2008

Ekonomi - Keuangan - Bisnis Even | bangkalan | Selasa, 11 Nov 2008

Pe t a ni Ba ngk a la n Be r e but Ur e a
by : Sapariah
PULUHAN petani di Kecamatan Socah Bangkalan, Madura, Jawa Timur, Senin (10/11) berebut
mendapatkan jatah pembelian pupuk di pengecer resmi pupuk bersubsidi di Desa Kelean
Kecamatan Socah Bangkalan.
Mereka rela berdesak-desakan, hanya untuk membeli pupuk keperluan bercocok tanah, meski
harus saling dorong sesama pembeli.
Pengecer pupuk di Desa Kelean Kecamatan Socah Bangkalan, Abdul Aziz, mengatakan,
kelangkaan pupuk yang terjadi selama ini lebih karena pasokan dari pihak distributor mulai
berkurang.
"Biasanya saya mendapat jatah 10 ton dalam seminggu. Kini hanya mendapatkan empat ton,"
kata dia di sela-sela kesibukan melayani pembeli pupuk.
Dia menambahkan, meski pupuk saat ini langka dan pasokan dari pihak distributor berkurang.
Namun, harga tidak mengalami kenaikan. Untuk pupuk bersubsidi jenis urea yang banyak
dibutuhkan petani harga Rp60.000 per sak (50 kg).
Kelangkaan pupuk bersubsidi tidak hanya terjadi di Kabupaten Bangkalan, tapi di Kabupaten
lain di Madura seperti Sampang, Pamekasan dan Sumenep.
Di Pamekasan, sebagian petani terpaksa sementara waktu menggunakan pupuk kandang
karena tidak bisa mendapatkan pupuk di Pamekasan. Seperti dikatakan Nadin, warga Desa
Sokalelah Kecamatan Kadur Pamekasan. "Biasanya hasilnya memang tidak seperti urea. Tapi
mau gimana lagi, untuk bisa membeli saja sulit.”

Berkhas

19

Volume VI November 2008

Suara Pembaruan

Selasa, 11 November 2008

Globa lisa si Pe r t a nia n da n Ke se j a ht e r a a n Pe t a ni
Agus Pakpahan
Menurut Lowdermilk, usia pertanian sudah lebih dari 7.000 tahun. Pertanian (agriculture)
didefinisikan sebagai usaha budi daya tanaman atau ternak dalam bidang lahan yang tetap.
Karena itu, kuncinya produktivitas yang bersumber dari inovasi teknologi yang diterapkan pada
bidang lahan tetap tersebut. Apabila teknologi yang diterapkan merusak maka pertanian
bersifat merusak sistem ekologi alam. Gurun pasir atau lahan-lahan kritis, sekarang,
merupakan contoh peninggalan sistem pertanian yang merusak alam.
Perdagangan komoditas pertanian merupakan motor dari globalisasi hasil-hasil pertanian.
Perdagangan ini menyertakan mobilitas penduduk yang jumlahnya cukup besar untuk
mengubah komposisi demografis penduduk di suatu wilayah. Di Indonesia, kita menyaksikan
pertanian padi yang konon bersumber dari Tiongkok dengan usia lebih dari 3.500 tahun.
Kemudian kita mengenal jagung, tembakau, kakao, kina, dan karet, yang berasal dari benua
Amerika. Sedangkan kelapa sawit dan kopi berasal dari Afrika. Tanaman-tanaman tersebut
hadir di Indonesia bersamaan dengan datangnya para penjelajah atau saudagar dunia, yang
juga mencari berbagai macam barang dari Nusantara, khususnya rempah-rempah.
Para penjelajah Barat sebenarnya datang belakangan, yaitu setelah mereka bisa melintasi
Tanjung Harapan. Bangsa Portugis, sebagai pelopor penjelajahan ke Asia melalui Timur,
datang dan menaklukkan Malaka pada 1511. Kemudian, secara bergelombang kita
menyaksikan hadirnya bangsa-bangsa Eropa yang lain hampir seratus tahun kemudian, yaitu
Belanda, Inggris, Prancis, dan lain-lain. Kita sering lupa bahwa betapa besar nilai rempahrempah pada zamannya, sehingga, misalnya, Banda Neira dipertukarkan dari Inggris dengan
Manhattan (New York) yang dimiliki Belanda.
Latar belakang sejarah di atas penulis sampaikan sebagai bahan pemikiran bahwa pertanian
yang kita kerjakan, sekarang, bukanlah hal yang terjadi tiba-tiba tanpa melibatkan pergolakan
ekonomi, politik dan militer secara global.
Bahkan, dengan mempelajari pertanian kita akan mendapatkan bahan pembelajaran
bagaimana sebaiknya kita mengembangkan politik nasional dengan memanfaatkan pertanian
sebagai instrumennya.
Politik perkebunan pada dasarnya dirancang oleh kekuatan global pada masa awalnya untuk
memenuhi kebutuhan bahan mentah atau bahan baku di negara asalnya. Kita hanyalah
sebagai alatnya. Perlu kita sadari bahwa kalau kita katakan perkebunan berorientasi ekspor, itu
bukanlah hasil desain kita. Itu adalah hasil desain struktur ekonomi global yang begitu kuat,
sehingga kita pun sering tidak menyadarinya.
Salah satu indikator ketidakseimbangan pasar dalam menentukan pembagian margin dapat
dilihat, antara lain, pada kopi, yaitu hanya sekitar 10 persen dari retail added value margin yang
diterima oleh negara-negara pengekspor. Hal serupa juga dapat diperkirakan terjadi terhadap
komoditas perkebunan lainnya (kecuali gula) mengingat status kita masih sebagai net importir.
Implikasi
Apa implikasinya terhadap perekonomian nasional kita? Kita perlu menyadari bahwa kekuatankekuatan ekonomi global, khususnya yang dimainkan oleh perusahaan multinasional,
merupakan instrumen global yang sangat besar perannya dalam menentukan mati-hidupnya
pertanian kita.

Berkhas

20

Volume VI November 2008

Suara Pembaruan

Selasa, 11 November 2008

Dalam bidang pangan, khususnya jagung, gandum, dan kedelai, sistem produksi dan pasarnya
sudah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang mengakar di Eropa dan
Amerika. Sistem produksi perkebunan, khususnya karet, walaupun industrinya dikuasai oleh
perusahaan multinasional, seperti Michelin, Bridgestone, dan Goodyear, hampir dapat
dipastikan sulit dikembangkan di negara maju mengingat satu kegiatan produksi primernya,
yaitu menyadap getah karet, belum bisa dilakukan secara mekanisasi. Oleh karena itu, posisi
produksinya masih bisa kita kembangkan. Namun, untuk komoditas lainnya, termasuk kelapa
sawit, kita harus berhati-hati.
Posisi petani dengan jumlahnya yang besar perlu menjadi perhatian utama kita. Sistem politikekonomi global masa sekarang tampaknya mirip dengan apa yang pernah terjadi pada 1930an, yaitu betapa miskin para petani di negara-negara berkembang, sekarang ini, mirip dengan
posisi petani di negara-negara jajahan pada masa tersebut.
Apabila pada 1930-an lahir politik etis di Belanda dengan tema edukasi, irigasi, dan
transmigrasi, maka politik etis global pada abad ke-21 ini juga harus bisa dilahirkan kembali.
Tanpa adanya politik etis global yang baru, yang bisa memberikan ruang kehidupan baru bagi
negara-negara berkembang yang notabene bekas jajahan yang memerdekakan diri kuranglebih 60 tahun yang lalu, struktur politik-ekonomi dunia sangatlah terbatas memberikan ruanggerak untuk dapat dimanfaatkan sebagai sarana memperbaiki nasib para petani di negaranegara berkembang.
Model Revolusi Hija