Agraria-Januari 2008

VOLUME VI JANUARI 2008

AGRARIA

Berkhas merupakan salah satu media Akatiga yang menyajikan kumpulan berita dari
berbagai macam surat kabar, majalah, serta sumber berita lainnya. Jika pada awal
penerbitannya kliping yang ditampilkan di Berkhas dilakukan secara konvensional, maka
saat ini kliping dilakukan secara elektronik, yaitu dengan men-download berita dari situssitus suratkabar, majalah, serta situs berita lainnya.
Bertujuan untuk menginformasikan isu aktual yang beredar di Indonesia, Berkhas
diharapkan dapat memberi kemudahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam
pencarian data atas isu-isu tertentu. Berkhas yang diterbitkan sebulan sekali ini setiap
penerbitannya terdiri dari isu Agraria, Buruh, dan Usaha Kecil.
Untuk memperluas area distribusi, Berkhas diterbitkan melalui 2 (dua) macam media
yaitu media cetakan (hardcopy) serta media online berupa pdf file yang dapat diakses
melalui situs web Akatiga (www.akatiga.or.id).

Da ft a r I si

Petani Bawang Pun Harus Berpacu dengan Hujan-----------------------------------------------

1


Waspadai Produksi Beras 2008 ------------------------------------------------------------------------

3

Petani Cilacap Semakin Sulit Beli Pupuk ------------------------------------------------------------

4

Petani Tolak Penurunan Bea Masuk Beras Impor ------------------------------------------------

6

Ketika Harga Cabai Rawit Petani Anjlok -------------------------------------------------------------

8

Kualitas Gabah Buruk -------------------------------------------------------------------------------------

9


Waspadai Krisis Pangan 22 Provinsi ----------------------------------------------------------------- 10
Mentan: Banjir tak Ganggu Produksi Padi Nasional ---------------------------------------------- 11
Produksi Padi di Bengkulu Meningkat 25 Persen ------------------------------------------------- 12
35.667 Hektar Sawah Rusak---------------------------------------------------------------------------- 13
Konsumen Keluhkan Harga Beras Tinggi ----------------------------------------------------------- 15
Stok Pangan di Jawa Timur Aman -------------------------------------------------------------------- 17
Tanaman Padi Membusuk ------------------------------------------------------------------------------- 18
Intensifikasi Padi dan Kesejahteraan Petani-------------------------------------------------------- 19
Banjir Mengancam Ketahanan Pangan -------------------------------------------------------------- 21
Banjir di Banten tidak akan Hambat Target Produksi Padi 2008------------------------------ 23
Ekspansi Jagung Terkendala --------------------------------------------------------------------------- 24
Mentan: Produksi Padi Nasional Masih Aman ----------------------------------------------------- 25
Beras Aman kalau Distribusi Lancar ------------------------------------------------------------------ 27
541 Hektare Sawah Gagal Panen --------------------------------------------------------------------- 29
Distribusi Pupuk Bermasalah --------------------------------------------------------------------------- 30
Ketahanan Pangan Tak Terganggu ------------------------------------------------------------------- 31
Ratusan Hektare Terancam ----------------------------------------------------------------------------- 32
Konflik Tanah Diperkirakan Akan Meningkat ------------------------------------------------------- 33
Pupuk palsu berbagai merek beredar ---------------------------------------------------------------- 34

Kaltim dan Kalsel Siapkan Dana Rp 100 Miliar untuk Membeli Beras Petani ------------- 35
Stok Pupuk Urea Aman----------------------------------------------------------------------------------- 36
Panen Melimpah saat Banjir dengan Padi Tahan Banjir ---------------------------------------- 37
Petani Sambut Kenaikan Harga Beras --------------------------------------------------------------- 39
Petani Minta Bantuan Bibit------------------------------------------------------------------------------- 40
Petani Perluas Tanaman --------------------------------------------------------------------------------- 41
Wajah Buram Ketahanan Pangan --------------------------------------------------------------------- 43

Keong Emas Meresahkan Petani ---------------------------------------------------------------------- 45
Petani Pilih Komoditas Lain ----------------------------------------------------------------------------- 46
Petani Lebih Untung Tanam Jagung Ketimbang Kedelai --------------------------------------- 48
Gejolak Pasokan dan Harga Pangan ----------------------------------------------------------------- 49
Harga Beras Sudah Naik --------------------------------------------------------------------------------- 51
Masalah Ketahanan Pangan ---------------------------------------------------------------------------- 53
Petani Sudah Gencar Menanam Kedelai ------------------------------------------------------------ 55
Rawan Pangan, Rawan Gizi ---------------------------------------------------------------------------- 56
Kembalikan Peran Bulog --------------------------------------------------------------------------------- 58
Kondisi Pertanian Kacau-balau------------------------------------------------------------------------- 60
Stok Beras untuk Sumatera Utara Aman ------------------------------------------------------------ 62
Sumsel Menghadapi Ancaman Paceklik Beras ---------------------------------------------------- 63

DPR Panggil Menteri Pertanian Terkait Masalah Kedelai -------------------------------------- 64
Potret Buram Sektor Pertanian ------------------------------------------------------------------------- 66
Apakah Bulog Bisa Dipercaya? ------------------------------------------------------------------------ 68
Atasi Lonjakan Harga Kedelai, Bangun Pertanian yang Kuat---------------------------------- 69
Bulog Siap Kendalikan Harga Kedelai---------------------------------------------------------------- 71
Pertanian Harus Jadi Lokomotif Pembangunan Ekonomi -------------------------------------- 73
Prioritaskan Pertanian ------------------------------------------------------------------------------------ 75
Rp 9 Triliun untuk Infrastruktur Pertanian------------------------------------------------------------ 77
Importir Berulah, Harga Kedelai Naik ----------------------------------------------------------------- 78
Petani Takut Menanam Kedelai ------------------------------------------------------------------------ 80
380.000 Ha Tanaman Kelapa Tak Produktif -------------------------------------------------------- 81
Produksi Padi Kota Padang Ditargetkan 10.000 Ton -------------------------------------------- 82
Krisis kedelai, potret kebijakan pangan yang buruk ---------------------------------------------- 83
Petani Diimbau Selektif Jual Benih -------------------------------------------------------------------- 85
Cirebon dan Indramayu Krisis Urea ------------------------------------------------------------------- 86
Reformasi Pangan dari Meja Makan ------------------------------------------------------------------ 88
Pengamanan Pangan ------------------------------------------------------------------------------------- 90
Impor Kedelai Bulog 650.000 Ton --------------------------------------------------------------------- 92
Membangun Ketahanan Pangan dengan Replikasi Modalitas Industri Gula -------------- 94
700 Ton Beras Disiapkan Untuk OPK ---------------------------------------------------------------- 96

Petani Kesulitan Benih ------------------------------------------------------------------------------------ 97
Stok Bulog Jabar untuk 3,5 Bulan --------------------------------------------------------------------- 98

1.000 ha Sawah Gagal Tanam ------------------------------------------------------------------------- 99
Petani Sulit Memperoleh Pupuk ------------------------------------------------------------------------100
Reformasi Sektor Pertanian -----------------------------------------------------------------------------102
Petani Tidak Tertarik --------------------------------------------------------------------------------------105
Tidak Berdaulat atas Pangan ---------------------------------------------------------------------------106
Urea Masih Langka di Indramayu----------------------------------------------------------------------108
Pupuk Palsu Diduga Mulai Beredar -------------------------------------------------------------------110
HKTI dan BUMN Watch Siap Perangi Mafia Pupuk ----------------------------------------------111
Kadin : Pemerintah Harus Stabilkan Pangan -------------------------------------------------------112
Tiga Jurus Tingkatkan Produksi Kedelai-------------------------------------------------------------114
20.844 Hektare Lahan di Pessel Telantar -----------------------------------------------------------116
Cadbury Bantu Petani Kakao ---------------------------------------------------------------------------117
Dana Petani Rp 100 Juta Per Desa -------------------------------------------------------------------118
Produksi Pertanian dan Ketidakpastian Iklim -------------------------------------------------------119
DPRD Janji Prioritaskan Pangan ----------------------------------------------------------------------122
Bioenergi dan Krisis Pangan ----------------------------------------------------------------------------123
Ironi Petani di Tanah Merdeka--------------------------------------------------------------------------125

Ketahanan Pangan Sudah Lampu Merah -----------------------------------------------------------129
Harga Komoditas Pangan Dipatok --------------------------------------------------------------------131

Kompas

Rabu, 02 Januari 2008

Pa n e n D in i

Pe t a n i Ba w a n g Pu n H a r u s Be r pa cu de n ga n H u j a n
Siwi Nurbiajanti
Hamparan tanaman bawang merah di areal pertanian Kelurahan Limbangan Kulon,
Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, terlihat ambruk, Senin (31/12).
Daunnya rebah dan hampir melekat pada tanah. Ujung daunnya memerah dan hampir
kering.
Puluhan petani dan buruhnya terlihat sibuk memanen bawang merah di areal itu. Mereka
mencabut satu per satu tanaman bawang yang mulai ambruk, dan mengumpulkannya dalam
bentuk ikatan-ikatan. Kesibukan tersebut terlihat hampir menyeluruh di kawasan pertanian
yang berjarak sekitar 4 kilometer dari ibu kota Kabupaten Brebes itu.
Sejak satu pekan lalu, para petani di Kelurahan Limbangan Kulon mulai memanen tanaman

bawang mereka. Selain untuk mendapatkan umbi bawang, mereka juga berusaha
menyelamatkan tanaman bawang merah yang sudah mulai rusak akibat terkena hujan.
Upaya tersebut merupakan penyelesaian masalah terbaik untuk menghindari gagal panen.
Tolidum (43), petani bawang merah di Kelurahan Limbangan Kulon, mengatakan, pada
musim hujan seperti saat ini, tanaman bawang merah mudah rusak. Daun tanaman yang
semula berdiri tegak akan ambruk setelah terkena hujan besar yang disertai angin.
Penyerapan makanan pada tanaman tersebut juga tidak sempurna sehingga sebagian
daunnya memerah. Bahkan, apabila banjir melanda wilayahnya, tanaman bawang akan
terendam air sehingga umbi bawang mudah keropos dan hancur.
Oleh karena itu, untuk menyelamatkan usaha, saat ini sebagian besar petani di wilayahnya
memanen tanaman bawang pada usia 45 hingga 50 hari. Padahal, seharusnya, bawang
dipanen pada usia 55 hari hingga 60 hari.
Hari itu Tolidum bersama sekitar enam buruhnya juga sedang memanen bawang merah di
atas lahan seluas 2.000 meter persegi. Tanaman bawangnya dipanen pada usia 50 hari.
Menurut dia, usia tanaman bawangnya sudah tidak dapat diperpanjang lagi karena daunnya
mulai ambruk. Apabila terkena hujan lagi, tanaman akan membusuk sehingga umbinya
mudah keropos.
Selain itu, ia memanen tanamannya sebelum bulan Januari untuk menghindari hujan yang
semakin besar lagi. Sesuai pengalamannya selama ini, pada bulan Januari sering muncul
hujan besar yang dapat mengakibatkan banjir.

Tolidum mengatakan, akibat panen yang dilakukan sebelum waktunya, umbi bawang yang
dihasilkan kecil-kecil. Dari lahannya tersebut hanya dihasilkan sekitar 1,5 ton bawang merah.
Pada musim panen lalu, dari lahan yang sama dapat dihasilkan sekitar 2 ton bawang merah.
Harga bawang merah dengan ukuran kecil-kecil juga lebih rendah jika dibandingkan dengan
bawang merah ukuran besar yang mencapai Rp 5.000 per kilogram. Bawang merah hasil
panennya diperkirakan hanya laku sekitar Rp 3.500 per kilogram. Terlebih saat ini, harga
bawang merah secara umum turun akibat turunnya kualitas bawang merah petani.
Menurut dia, hasil panen tersebut hanya mampu menutup biaya produksi, sekitar Rp 5 juta.
Oleh karena itu, ia mencoba mencari alternatif lain, dengan menunda penjualan bawang
merah panenannya dan menjadikannya sebagai bibit tanaman bawang.

Berkhas

1

Volume VI Januari 2008

Kompas

Rabu, 01 Januari 2008


Harga bawang dengan kualitas bibit mencapai dua kali lipat jika dibandingkan dengan harga
bawang untuk konsumsi. Namun, untuk menghasilkan bawang kualitas bibit, Tolidum harus
mengeringkan bawang itu dengan cara digantung atau ditarang selama empat bulan. Selama
proses itu, bawang merah harus dikipasi atau diberi penghangat agar tidak rusak.
Cara tersebut telah dilakukannya selama tiga tahun terakhir. Namun, konsekuensinya, ia
tidak memiliki penghasilan selama panen hingga waktu penjualan tanaman bawang. Padahal,
ia harus menghidupi istri, Rohisah (43), dan empat anaknya. Oleh karena itu, ia mencari
pekerjaan lain, seperti menjadi tukang bangunan.
Lemboh (45), petani lainnya di Kelurahan Limbangan Kulon, juga memanen tanamannya saat
usia 45 hari. Meskipun demikian, ia tidak menjadikannya bibit, tetapi langsung menjualnya
untuk bawang konsumsi. Hasil tebas bawang Rp 5 juta yang diperoleh dari lahannya seluas
2.000 meter persegi hanya cukup untuk menutup biaya produksi.
Ketua Koperasi Bawang Merah Indonesia (Kobamindo) Brebes Sukhaemi Kayat
mengatakan, pemerintah harus segera turun tangan untuk membantu kesulitan petani.
Kondisi seperti saat ini dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan konsumen bawang merah
untuk membeli bawang dengan harga murah.

Berkhas


2

Volume VI Januari 2008

Kompas

Rabu, 02 Januari 2008

W a spa da i Pr odu k si Be r a s 2 0 0 8
Se lu a s 5 6 .0 3 4 H e k t a r Ta n a m a n Pa di D ila n da Ba n j ir
Jakarta, Kompas - Banjir yang melanda 56.034 hektar tanaman padi di Pulau Jawa tidak bisa
dianggap enteng. Akibat bencana banjir, potensi kehilangan hasil produksi tahun 2008 bisa
lebih besar dari rata-rata lima tahunan, apalagi La Nina diperkirakan menghadang tahun ini.
Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir, Selasa (1/1) di Jakarta,
menegaskan, pemerintah harus membuat langkah nyata untuk mengatasi ancaman produksi
beras tahun 2008.
Selain tetap menjalankan kebijakan jangka panjang, pemerintah juga mutlak membuat
terobosan jangka pendek.
Kegagalan mengatasi persoalan jangka pendek akan memaksa bangsa ini untuk kembali
terjerumus dalam kebijakan importasi beras.

Sebelum semua itu terjadi, langkah konkret dibutuhkan untuk menyelamatkan produksi dan
nasib petani.
Menurut Winarno, dalam kondisi terjepit bencana seperti ini, para petani jelas membutuhkan
modal. Bagi petani yang pandai dan memiliki lahan luas, hal itu tidak menjadi masalah.
Pasalnya, mereka bisa memanfaatkan momentum kenaikan harga gabah di musim paceklik
untuk mengumpulkan modal.
Akan tetapi, bagi petani gurem, modal usaha untuk menanam ulang tidak mudah didapat.
Belum lagi persoalan bibit. Winarno mengatakan, dalam impitan bencana ini, pemerintah
harus mengupayakan peningkatan produktivitas di lahan yang tidak terkena banjir.
Untuk mencapai tujuan itu, diperlukan benih unggul berkualitas serta dukungan modal dalam
rangka meningkatkan penerapan teknologi pertanian.
Teknologi polimer
Dalam rangka menghadapi dampak kekeringan akibat La Nina, sudah saatnya diterapkan
teknologi polimer penyimpan air. Cara ini bisa dilakukan di daerah sentra produksi beras.
Menurut Winarno, teknologi terbaru dalam bentuk gel yang berfungsi menabung air saat
hujan dan melepaskan air saat kemarau ini mendesak untuk diterapkan.
Tiap satu kilogram polimer penyimpan air yang ditebarkan di lahan beririgasi teknis seluas 1
hektar mampu menyimpan 1,8 ton air. Adapun lahan semiteknis membutuhkan 2 kg polimer
per hektar, dan lahan tadah hujan 3 kg polimer per hektar.
"Penanaman pohon dan pembangunan embung memang harus dilakukan, tetapi itu jangka
panjang. Petani butuh solusi jangka pendek juga," katanya.
Direktur Perlindungan Tanaman Pangan Departemen Pertanian Ati Wasiati mengatakan,
bencana alam yang melanda wilayah Indonesia bagian timur karena pengaruh angin tropis
dari Australia merusak puluhan ribu hektar tanaman padi di Jawa.
Dari 56.034 hektar luas tanaman padi yang kebanjiran sepanjang Oktober-30 Desember
2007, sekitar 50 persennya rusak akibat kebanjiran yang terjadi sepekan lalu.

Berkhas

3

Volume VI Januari 2008

Kompas

Rabu, 02 Januari 2008

Bencana diperkirakan belum akan berakhir karena masuk awal tahun 2008 giliran tanaman
padi di wilayah Indonesia barat, seperti di Jawa Barat dan Sumatera, yang akan menjadi
korban La Nina. Padahal, wilayah Jawa Barat selama ini memberikan kontribusi terbesar
dalam hal kerusakan tanaman padi akibat kekeringan.
Di Jawa Tengah luas tanaman padi yang kebanjiran periode Oktober-30 Desember 2007
seluas 28.595,75 hektar dan tersebar di 16 kabupaten. Dalam bencana banjir ini, tanaman
padi yang paling banyak rusak terdapat di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, yakni sekitar
10.000 hektar.
Menurut Ati, di Jawa Timur tanaman padi yang kebanjiran dalam periode yang sama
24.781,78 hektar. "Sekitar 11.000 hektar kebanjiran terjadi dalam sepekan terakhir ini,"
katanya.
Sementara itu, di wilayah Jawa Barat, banjir baru melanda 2.211 ha tanaman padi, dan di
Banten hanya menimpa 446 ha. Apabila dihitung secara keseluruhan, total tanaman padi
yang dipastikan puso seluas 1.048,03 hektar.
Namun, jika tanaman yang kebanjiran tidak segera ditanami kembali dan dilakukan
pemupukan ulang, dikhawatirkan luasan tanaman yang puso meningkat.
Dengan menghitung produktivitas tanaman padi di Jawa per hektar 4,8 ton gabah kering
giling (GKG), setidaknya produksi GKG berkurang 5.030 ton. Jumlah kerugian itu belum
dihitung ongkos produksi ekstra yang harus dikeluarkan petani untuk penanaman ulang dan
pemupukan.
Menteri Pertanian Anton Apriyantono pekan lalu mengatakan, dibandingkan dengan musim
hujan tahun 2006, kerusakan tanaman padi dan mengakibatkan puso pada musim hujan kali
ini jauh lebih kecil.
Data Departemen Pertanian per 28 Desember menunjukkan, selama musim hujan Oktober28 Desember 2007 total luas tanaman padi yang kebanjiran di seluruh Indonesia 66.276
hektar. Dari luasan itu hanya 6.676 hektar yang puso.
Adapun pada musim hujan tahun 2006, luas tanaman padi yang kebanjiran 66.900 hektar.
Namun, luas tanaman yang puso jauh lebih besar, mencapai 32.600 hektar. Dalam rata-rata
lima tahunan, jumlah luas tanaman padi yang kebanjiran 69.300 hektar, dan yang puso
17.000 hektar. (MAS)

Berkhas

4

Volume VI Januari 2008

Suara Pembaruan

Rabu, 02 Januari 2008

Pe t a n i Cila ca p Se m a k in Su lit Be li Pu pu k

[CILACAP] Para petani di sejumlah kecamatan di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah
mengeluh, karena musim tanam kali ini direpotkan dengan sulitnya memperoleh pupuk.
Petani di daerah perbatasan seperti Majenang dan Wanareja, banyak yang membeli sampai
ke provinsi tetangga yaitu ke Kota Banjar dan Ci- amis, Jawa Barat.
"Kalau ke Cilacap saya butuh waktu sampai dua jam, tapi kalau Banjar cukup 30 menit. Di
Banjar lebih mudah memperoleh pupuk, di Cilacap belum tentu ada," kata Satim (50) petani
Wanareja, Cilacap Barat, di Cilacap, Rabu (2/1).
Kalau pun di Cilacap ada pupuk, harganya sudah jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).
Harga Urea isi 50 kg per kantong dengan HET Rp 58.000 per kantong, di pasaran bisa dijual
antara Rp 70.000 sampai Rp 75.000 per kantong. "Hal ini jelas memberatkan kami," katanya.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Cilacap, H Sudarno
menyatakan, sangat prihatin dengan langkanya pupuk dan harganya yang melambung, pada
saat petani sangat membutuhkan.
Beberapa daerah sentra padi seperti Kroya, Adipala, Maos, Nusawungu, Jeruklegi,
Majenang, Wanareja dan sebagainya paling sulit memperoleh pupuk. Harga pupuk lain
seperti SP 36 isi 50 kg per kantong yang harga resminya Rp 90.000 per kantong juga naik
menjadi Rp 120.000 per kantong.
"Yah, beginilah nasib petani. Kalau lagi musim tanam, harga bibit naik. Musim pupuk, harga
pupuk naik. Giliran panen, harga gabah jatuh. Lalu kapan petani bisa menikmati hasil
kerjanya dengan baik?," katanya. [WMO/M-11]

Berkhas

5

Volume VI Januari 2008

Suara Pembaruan

Rabu, 02 Januari 2008

Pe t a n i Tola k Pe n u r u n a n Be a M a su k Be r a s I m por

[ JAKARTA ] Langkah pemerintah menurunkan tarif bea masuk (BM) impor beras sebesar Rp
100 per kg dari Rp 550 menjadi Rp 450 per kg menuai protes dari kalangan petani. Ketua
Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir menilai kebijakan tersebut tergesagesa mengingat pemerintah melalui Perum Bulog belum maksimal membeli beras petani.
Menurut Winarno akan lebih baik jika pemerintah mendesak Bulog memaksimalkan perannya
dalam menyerap beras petani untuk memudahkan operasi stabilisasi harga beras.
"Penurunan bea masuk itu jelas tidak memproteksi petani. Seharusnya pemerintah
menaikkan bea masuk, ini malah menurunkan. Padahal bea masuk kita sudah sangat kecil
dibandingkan negara-negara di ASEAN lainnya, seperti Thailand," tegas Winarno kepada SP,
Rabu (2/1).
Sebelumnya secara terpisah, Menteri Keuangan melalui peraturan menteri keuangan (PMK)
Nomor 180/PMK.011/2007 tentang Penetapan Tarif BM atas Impor Beras mengatur tarif BM
impor beras turun dari Rp 550 per kg menjadi Rp 450 per kg. Menteri Keuangan Sri Mulyani
Indrawati menyebutkan, penurunan itu atas permintaan Bulog untuk meringankan beban
Perum Bulog dalam melakukan stabilisasi harga beras di pasaran dalam negeri.
Sedangkan Menko Perekonomian Boediono, mengatakan, kebijakan menurunkan BM impor
beras tersebut diambil pemerintah karena saat ini harga beras di tingkat dunia meningkat
sementara Bulog memiliki kewajiban menstabilkan harga komoditas pangan tersebut di
dalam negeri dengan menggunakan beras impor.
Lebih lanjut Winarno mengatakan, penurunan bea masuk akan merugikan petani produsen
karena harga beras petani bisa jatuh. Kalau memang sasarannya untuk keperluan untuk
orang miskin, penambahan atau perluasan alokasi raskin saat ini sudah tepat meski kenaikan
harganya terlalu tinggi.
Senada dengan Winarno, Sekjen Wahana Masyarakat Tani Indonesia (WAMTI), Agusdin
Pulungan menolak keras langkah pemerintah menurunkan tarif bea masuk beras impor
merupakan kebijakan yang distrotif terhadap pasar beras petani kecil. Sebagai produsen padi
di tanah air, petani kecil harusnya memperoleh perlindungan dari pemerintah dari serbuan
beras impor.
Agusdin mengatakan, tingginya harga beras dunia saat ini seharusnya dimanfaatkan
pemerintah sebagai insentif kepada petani untuk meningkatkan produktivitasnya. "Saya jadi
meragukan gembar-gembor Dirut Perum Bulog yang ingin menjadikan Indonesia sebagai
eksportir beras," tegasnya.
Selalu Buruk
Lebih lanjut Agusdin mengatakan, kebijakan tersebut kian menguatkan bukti bahwa kebijakan
makro pemerintah dalam pemasaran beras petani selalu buruk dan tidak melindungi
kepentingan petani. Ini menandakan bahwa pertanian pangan semakin didorong ke arah
liberalisasi sehingga produksi dalam negeri tidak diandalkan untuk ketahanan pangan
nasional.
Padahal sepatutnya pemerintah harus segera merevisi harga pembelian beras di tingkat
petani (HPP). Ini penting agar Bulog menyerap gabah petani secara maksimal saat panen
raya yang akan berlangsung Februari-Maret nanti, tegasnya.

Berkhas

6

Volume VI Januari 2008

Suara Pembaruan

Rabu, 02 Januari 2008

Sementara itu, Dirut Perum Bulog, Mustafa Abubakar membantah tudingan tersebut. Menurut
Musthafa, kebijakan itu untuk meringankan Bulog dalam upaya menstabilkan harga beras di
dalam negeri. Menurut dia, penurunan BM impor beras tersebut tidak akan berdampak
terhadap harga pembelian gabah petani karena peningkatan harga beras di pasar dunia saat
ini dari US$295 per ton menjadi US$330 per ton masih terlalu tinggi dibandingkan turunnya
tarif impor beras yang hanya Rp 100/kg.
Mustafa mengatakan, dengan penurunan BM impor beras pihaknya mampu meningkatkan
penyaluran beras untuk stabilisasi harga di pasaran. Saat ini, tambahnya, Bulog telah
menyalurkan beras sebanyak 500 ton untuk stabilisasi harga di wilayah Jakarta dan nantinya
akan ditingkatkan menjadi 3000 ton dengan penambahan jumlah penyalur. [L-11]

Berkhas

7

Volume VI Januari 2008

Jurnal Nasional

Kamis, 03 Januari 2008

Ek on om i M ik r o/ Se k t or Riil

Ke t ik a H a r ga Ca ba i Ra w it Pe t a n i An j lok

PETANI cabai rawit di Lombok Timur, Nusa Tenggara Timur(NTT) nyaris frustasi. Harga
anjlok berkisar Rp2.000 per kilogram(kg). Sebagian besar petani menjemur hasil panen
dengan harapan dijual setelah harga tinggi. Namun, ada juga yang mencabut pohon cabai
meskipun masih banyak buahnya.
Seorang petani di Kecamatan Suralaga, Lomtim, NTB, Parhun (48), Rabu(2/1), seperti dikutip
Antara mengatakan, petani di sana kebanyakan menjemur cabe rawit hasil panen meskipun
dalam keadaan hujan karena harga terlalu rendah. "Harga cabe rawit di petani hanya
Rp2.000 per kg, belum dipotong biaya upah petik Rp700 per kg, jadi harga bersih yang
diterima petani hanya Rp1.300," katanya.
Menyiasati anjloknya harga komoditas ini, petani setempat menjemur hingga kering cabe
rawit panen, kemudian menyimpan sambil menunggu pedagang pengumpul membeli dengan
harga tinggi, walaupun harus menunggu sampai berbulan-bulan.
Parhun mengatakan, harga cabe rawit beberapa minggu lalu sempat Rp6.000 per kg, dengan
upah buruh petik Rp1.000 per kg. Harga ini, katanya, cukup memberikan keuntungan
lumayan bagi petani. Ternyata, harga itu tidak bertahan lama.
"Saya tidak tahu penyebab merosotnya harga, hingga membuat petani banyak yang
mencabut tanaman cabe rawit meskipun buahnya masih banyak. Mereka lebih memilih
menanam padi karena persediaan air mencukupi," ucapnya.
Petani lainnya, Repaah, mengatakan, rendahnya harga cabe rawit membuat beban hidup
semakin berat, di tengah harga kebutuhan pokok terus naik.
Perempuan 52 tahun ini menyatakan, rendahnya harga petani saat panen raya, membuat
para pemuda enggan membantu orangtua mereka menggarap sawah dan memilih menjadi
TKI meskipun harus mengeluarkan ongkos besar.
"Anak saya yang laki-laki semua sudah pergi ke Malaysia menjadi TKI, karena tidak bisa
punya uang banyak kalau bekerja menjadi petani," ujarnya.
Para petani di Lomtim NTB itu berharap, pemerintah cepat turun tangan mengatasi persoalan
rendahnya harga cabai rawit petani yang sudah menjadi langganan setiap kali panen raya ini.
Sapariah

Berkhas

8

Volume VI Januari 2008

Kompas

Kamis, 03 Januari 2008

Ku a lit a s Ga ba h Bu r u k
D e pt a n Ku cu r k a n D a n a Rp 8 0 M ilia r u n t u k Pa sca pa n e n
Jakarta, Kompas - Semua pihak harus mengantisipasi kemungkinan anjloknya harga gabah
petani pada panen raya mendatang. Pasalnya, panen padi berlangsung di musim hujan
dengan sifat hujan lebih basah dibandingkan dengan rata-rata 30 tahun (1971-2000). Hal ini
menyebabkan kualitas gabah buruk.
Direktur Perencanaan dan Pengembangan Usaha Perum Bulog Mohammad Ismet, Rabu
(2/1) di Yogyakarta, menyatakan, intensitas hujan lebih tinggi meningkatkan kadar air dalam
tiap bulir padi. Proses pengeringan pun terganggu dan menyebabkan warna beras berubah.
"Panen raya di musim rendeng (hujan) dengan sifat hujan normal sudah membuat harga
gabah jatuh. Apalagi ada masalah baru berupa penurunan kualitas gabah dan beras.
Diperkirakan harga gabah petani anjlok," kata Ismet.
Berdasarkan laporan Badan Meteorologi dan Geofisika terbaru, curah hujan Januari-Februari
2008 tergolong tinggi, yakni rata-rata 100-150 milimeter per bulan. Adapun curah hujan bulan
Maret rata-rata 50-100 milimeter per bulan. Padahal, curah hujan 70 milimeter per bulan
sudah masuk kategori hujan lebat.
Tingginya curah hujan memperburuk kualitas panen. Sementara berdasarkan perhitungan
Departemen Pertanian, panen padi bulan Februari mencapai 4,06 juta ton beras, Maret (5,87
juta ton), April (4,6 juta ton).
Persoalan makin pelik karena setidaknya dua minggu menjelang panen dilakukan, sawah
harus dalam proses pengeringan agar kualitas gabah dan beras terjamin.
Selamatkan petani
Menurut Ismet, untuk mempertahankan harga gabah di tingkat petani agar tetap bagus atau
minimal sesuai dengan harga pembelian pemerintah (HPP), Bulog akan memaksimalkan
penyerapan gabah atau beras petani selama puncak panen. Caranya, mengoptimalkan kerja
sama dengan organisasi tani, seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, Kontak Tani
Nelayan Andalan, Induk Koperasi Tani, dan lembaga sejenis.
Agar penyerapan gabah dari petani lancar, Bulog juga akan mengoptimalkan Unit
Pengolahan Gabah dan Beras (UPGB) milik Bulog yang memiliki kapasitas produksi 3 ton per
jam dan dilengkapi alat pengering. Dengan cara ini, nasib petani diharapkan bisa
diselamatkan.
Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP) Djoko Said Damarjati
menjelaskan, pemerintah pusat mengalokasikan dana Rp 80 miliar untuk meningkatkan
kualitas gabah petani dalam program gerakan pengamanan pascapanen.
Dana itu untuk pembelian peralatan pertanian pascapanen, pendampingan, dan pengawalan.
Alat-alat itu berupa sabit bergerigi (103.000 buah), alat perontok padi manual (1.000), alat
perontok padi mekanik (400), dan 40.000 terpal ukuran 8 m x 8 m.
Semua alat pascapanen itu diberikan kepada petani secara cuma-cuma melalui gabungan
kelompok tani. Distribusi peralatan selesai Desember 2007. "Tinggal konsolidasi bulan
Januari 2008 untuk menghadapi panen raya tahun ini," katanya. (MAS)

Berkhas

9

Volume VI Januari 2008

Kompas

Jumat, 04 Januari 2008

W a spa da i Kr isis Pa n ga n 2 2 Pr ov in si
Be r a s Bu log y a n g D ipa sok k e Kor ba n Ba n j ir 1 .7 8 0 Ton
Jakarta, Kompas - Krisis pangan dan kebutuhan pokok bisa terjadi setidaknya di 22 provinsi
yang bukan penghasil beras. Itu perlu diwaspadai karena bencana banjir di beberapa daerah,
tingginya gelombang air laut, dan naiknya harga minyak di pasar dunia bisa menghambat
kelancaran transportasi nasional.
Hal itu akan mengganggu distribusi bahan makanan ke daerah-daerah tersebut. Demikian
dikatakan dikatakan Deputi Bidang Koordinasi Pertanian dan Kehutanan sekaligus Staf Ahli
Menko Perekonomian Bidang Penanggulangan Kemiskinan Bayu Krisnamukti di Jakarta,
Kamis (3/1).
"Yang menjadi masalah adalah transportasi. Kalau di darat terjadi banjir, lalu di laut
gelombang tinggi, dan harga minyak berubah sangat tinggi, itu akan menyebabkan armada
kapal laut mengurangi intensitas pelayaran antarpulaunya," ujar Bayu.
Menurut dia, di Indonesia hanya ada 11 provinsi yang mengalami surplus beras, yakni lima
provinsi di Pulau Jawa (kecuali DKI Jakarta), Bali, Sumatera Utara, Sumatera Selatan,
Lampung, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.
Sementara itu, 22 provinsi lainnya harus menunggu pasokan beras dari 11 daerah penghasil
beras itu. Pasokan beras nasional bisa terganggu karena pada tahun 2008 diperkirakan akan
terjadi kelebihan air akibat pengaruh iklim LaNina yang membawa banyak sekali hujan.
Curah hujan akan sangat tinggi pada Januari dan Februari 2008. Kondisi itu mengharuskan
adanya perhatian khusus karena penanganan areal sawah yang tergenang banjir akan jauh
lebih sulit dibandingkan dengan penanganan akibat kekeringan seperti yang dialami akhir
tahun 2006 hingga awal tahun 2007.
Kewaspadaan harus diarahkan pada kemungkinan penurunan mutu beras akibat terendam
air terlalu lama.
Selain itu, produksi beras bisa merosot karena pada kondisi banjir, prioritas petani akan
menyelamatkan diri dan keluarganya terlebih dahulu, sedangkan lahan sawahnya akan
dibiarkan. Jika produksi merosot, dikhawatirkan harga beras akan naik.
"Kemungkinan produksi beras belum terpengaruh karena masa panen baru berlangsung
Februari atau Maret 2008. Saat ini memang belum mengkhawatirkan karena dari 11 juta
hektar areal produksi beras, yang dilanda banjir mencapai 50.000 hektar," ujar Bayu.
Daerah banjir
Bayu menegaskan, pasokan beras perlu diperhatikan karena beberapa daerah di Pulau Jawa
menjadi korban banjir hingga harus mendapatkan pasokan beras dari Perum Bulog.
Total beras Bulog yang sudah dipasok bagi korban banjir di Jawa Tengah dan Jawa Timur
mencapai 1.780 ton. Itu dibagikan ke Jawa Tengah sebanyak 830 ton dan Jawa Timur 950
ton.
"Di Jateng antara lain dibagikan ke Kabupaten Blora, Pati, Sragen, Karanganyar, dan
Wonogiri masing-masing sebanyak 100 ton, lalu untuk Surakarta 57 ton, serta Kutoarjo,
Boyolali, dan Pemalang masing-masing 20 ton," kata Bayu. (OIN)

Berkhas

10

Volume VI Januari 2008

Republika

Jumat, 04 Januari 2008

M e n t a n : Ba n j ir t a k Ga n ggu Pr odu k si Pa di N a sion a l
Jakarta-RoL -- Menteri Pertanian Anton Apriyantono menyatakan gagal panen (puso)
tanaman padi yang mencapai 29.722 ha akibat banjir yang melanda sejumlah wilayah tidak
mengganggu produksi padi nasional.
"Banjir tahun ini tidak terlalu mengganggu produksi nasional, bahkan target produksi tahun
2008 masih dapat diproyeksikan meningkat lima persen atau sekitar 60-61 juta ton gabah
kering giling," kata Mentan Apriyantono, usai Rapat Terbatas di Kantor Presiden, Jakarta,
Jumat (4/1).
Anton juga menjelaskan, banjir yang melanda sejumlah wilayah di Pulau Jawa tidak
mengganggu ketahanan pangan.
Pemerintah katanya, terus memonitoring 109.206 ha lahan tanaman padi yang sempat
terendam banjir yang berdampak pada rusaknya tanaman padi di sejumlah lokasi.
"Jika lahan tanaman padi terendam lebih dari satu minggu ada kemungkinan puso
meningkat, tetapi kalau kurang dari satu minggu relatif puso lebih rendah," katanya.
Menurutnya, banjir tahun ini menyebabkan puso lebih rendah dibanding tahun sebelumnya
atau dibanding rata-rata dalam lima tahun.
Tahun 2006, dari 127.577 ha areal persawahan yang terkena banjir sebanyak 51.326 ha di
antaranya puso.
Anton menambahkan, bahwa luas tanaman tanam padi tahun 2008 diperkirakan meningkat
300.000 ha dari 2,08 juta ha pada akhir Desember 2007.
Sementara itu, Dirut Perum Bulog Mustafa Abubakar menyatakan pemerintah berkomitmen
menjaga stabilitas harga dan pasokan bahan pangan. Ia menjelaskan, persediaan beras per
3 Januari 2008 mencapai 1,6 juta ton.
Mustafa menambahkan, terkait dengan bencana banjir dan longsor di sejumlah daerah,
Bulog telah menyalurkan 2.000 ton beras terdiri atas 1.000 ton di Jawa Timur dan 1.000 ton
di Jawa Tengah.
Menteri Perekonomian Boediono mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
memberikan arahan bahwa saat ini merupakan waktu sangat krusial, namun tidak ada alasan
tidak mencapai sasaran kestabilan harga maupun ketersediaan bahan pokok.
"Semua kesiapan pelaksanaan pengamanan baik dari sisi distribusi maupun operasional
diserahkan sepenuhnya kepada Bulog secara serentak dan menyeluruh sehingga diharapkan
mencapai saaran," kata Boediono. antara/is

Berkhas

11

Volume VI Januari 2008

Suara Pembaruan

Jumat, 04 Januari 2008

Pr odu k si Pa di di Be n gk u lu M e n in gk a t 2 5 Pe r se n

[BENGKULU] Produksi padi di Provinsi Bengkulu tahun 2007 sebanyak 472.788 ton gabah
kering giling (KGK) atau meningkat 25 persen dari tahun lalu sebanyak 378.375 ton GKG. Ini
karena meningkatnya intensitas tanam dari sekali menjadi dua kali setahun.
"Selain itu, bibit padi yang ditanam sebagian besar varitas unggul dan membaiknya jaringan
irigasi sehingga hasilnya meningkat dari 3,5 ton menjadi 6,5 ton GKG per hektare (ha)," kata
Wakil Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bengkulu, Winardi
Pangarbesi kepada SP, di Bengkulu, Kamis (3/1).
Pada tahun 2007, Provinsi Bengkulu surplus beras sekitar 20.000 ton. Namun, surplus ini
tidak terlihat secara nyata di lapangan.
Pasalnya, ketika para petani melaksanakan panen sebagian besar beras yang dihasilkan
dijual ke sejumlah provinsi tetangga, seperti ke Padang, Sumsel, Jambi dan Lampung. Dari
data statistik menunjukan pada tahun 2007 lalu, Provinsi Beng-kulu mengalami surplus beras
40.000 ton.
Dinas Pertanian Provinsi Bengkulu pada 2008 menargetkan produksi padi meningkat lebih
besar lagi dari tahun lalu, sehingga daerah ini bisa memberikan kontribusi terhadap stok
pangan nasional. Dinas Pertanian akan melakukan peningkatan sarana irigasi, meningkatkan
penyedian bibit padi varitas unggul.
Humas Devisi Regional Bulog Bengkulu, David Susanto mengatakan, pihaknya masih
meragukan data yang dimiliki Dinas Pertanian Provinsi Bengkulu daerah ini mengalami
surplus beras 20.000 ton pada 2007. [143]

Berkhas

12

Volume VI Januari 2008

Kompas

Sabtu, 05 Januari 2008

3 5 .6 6 7 H e k t a r Sa w a h Ru sa k
Polda Ja ba r Kir im 6 0 Pe r son e l u n t u k An t isipa si Ba n j ir di
Pa n t u r a
JAkarta, Kompas - Kerusakan lahan tanaman padi akibat banjir di Jawa Tengah, hingga
Jumat (4/1) siang, tercatat 35.667,7 hektar yang tersebar di 18 kabupaten dari 35 kabupaten
dan kota di provinsi itu. Kerusakan paling luas terjadi di Kabupaten Sragen yang mencapai
10.415 hektar.
Kepala Dinas Pertanian Jawa Tengah Aris Budiono, Jumat, mengatakan, pemerintah provinsi
sudah sempat mengajukan permohonan bantuan benih dan pupuk kepada pemerintah pusat.
Namun, pengajuan itu masih menggunakan data kerusakan hingga 29 Desember 2007, yaitu
sekitar 30.869 hektar. Pemprov Jateng sementara ini baru mengajukan bantuan 772 ton
benih dan 7.473 ton pupuk urea.
"Rata-rata lahan yang rusak sudah ditanami benih berusia 10 hari hingga 85 hari. Kami masih
memonitor perkembangan laporan lahan yang rusak," ujar Aris.
Disebutkan, satu hektar sawah di Jateng rata-rata mampu menghasilkan 5,6 ton gabah
kering panen (GKP). Oleh karena itu, potensi kehilangan akibat bencana ini bisa mencapai
sekitar 199.735,2 ton GKP.
Sejumlah petani yang lahan sawah miliknya tergenang air akibat banjir di Sukoharjo, Solo,
Sragen, dan Wonogiri berharap pemerintah dapat memberikan bantuan benih untuk masa
tanam pertama. "Benih padi yang sudah kami tanam membusuk karena terendam air banjir.
Semoga pemerintah bisa memberi benih atau obat-obatan, karena setelah banjir ini biasanya
akan ada hama yang menyerang padi," ujar Joko Walino (48), warga Kelurahan Ngemplak,
Sukoharjo.
Sawah seluas satu hektar miliknya tergenang air lebih dari tiga hari, padahal padi yang
ditanam masih berusia dua minggu. Dia terpaksa harus merelakan bibit sebanyak 50
kilogram yang ditanamnya rusak.
Kerusakan juga dialami petani yang berada di sekitar daerah aliran sungai. Warga Lampok,
Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonigiri, Marmo (43), bahkan kehilangan sebagian lahan
sawah lantaran tergerus aliran air. Dari satu hektar sawah, kini hanya tersisa seperempatnya.
Mintorejo (65), petani di Dusun Pinggir, Telukan, Grogol, Kabupaten Sukoharjo, rugi sekitar
Rp 2 juta akibat sawahnya seluas 7.500 meter persegi terendam banjir. Sebagian bahkan
terkena oli dari pabrik di sebelah petak sawahnya yang juga kebanjiran. "Sebagian besar
tanaman di sawah saya harus diganti karena rusak terkena banjir," katanya.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Sukoharjo Giyarti menyatakan, sejauh ini, dari data yang
dihimpun pemerintah kabupaten sebanyak 3.799 hektar sawah terendam air. "Kami masih
terus mendata. Tetapi, diperkirakan sekitar 1.000 lebih terancam puso. Rata-rata usia
tanaman padi yang terendam dan puso di bawah satu bulan," ujarnya, Jumat.
Rumput laut
Selain pertanian padi, puluhan petani rumput laut di Desa Randusanga Kulon, Kabupaten
Brebes, tidak dapat panen akibat hujan yang berlangsung terus-menerus. Kondisi itu
diperparah dengan turunnya hasil budidaya bandeng akibat rob dan banjir.

Berkhas

13

Volume VI Januari 2008

Kompas

Sabtu, 05 Januari 2008

Muslich (32), petani rumput laut di Desa Randusanga Kulon, mengatakan, semua petani
rumput laut di wilayahnya juga petani tambak bandeng. Budidaya rumput laut dilakukan
secara tumpang sari dengan bandeng. Luas areal tambak di daerah itu sekitar 200 hektar,
dengan jumlah petani sekitar 100 orang.
Di Jawa Barat, banjir saat ini juga merendam beberapa daerah di kawasan pantai utara
(pantura), yakni Kabupaten Indramayu dan Subang. Mengantisipasi bencana ini, Kepolisian
Daerah Jawa Barat menurunkan sebanyak 60 personel khusus Brigade Mobil, lima perahu
karet, dan dua kendaraan khusus penyelamatan bencana (disaster and rescue vehicle).
Demikian dikemukakan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat Inspektur Jenderal Sunarko
Danu Ardanto, Jumat kemarin di Bandung.(GAL/SON/EKI/WIE/SUP/CHE)

Berkhas

14

Volume VI Januari 2008

Suara Pembaruan

Sabtu, 05 Januari 2008

Kon su m e n Ke lu h k a n H a r ga Be r a s Tin ggi

[JAKARTA] Harga beras yang terus naik sejak sebelum hari Natal menyebabkan penurunan
daya beli masyarakat. Dengan pendapatan yang tetap, konsumen harus mengurangi
pembelian beras yang biasanya mereka lakukan.
"Soalnya, rata-rata semua harga bahan makanan naik. Sedangkan gaji suami saya tidak.
Jadi terpaksa beli berasnya harus dikurangi. Biasanya sekali beli bisa sampai lima kilo,
sekarang harus berkurang, supaya makanan yang lain juga terbeli," kata pengunjung Pasar
Senen, Jakarta Pusat, Ani Kusniati kepada SP, Jumat (4/1).
"Kalau beras kan orang harus beli. Jadi walaupun harganya mahal, harus dibeli juga. Tapi
mungkin jatah waktu belinya yang dikurangi. Soalnya saya cuma dikasih uang belanja yang
pas-pasan dan harus cukup untuk beli-beli yang lain juga," ujar Rita Astuti, pembeli lainnya.
Penurunan daya beli ini mempengaruhi keuntungan yang didapat pedagang dari penjualan
beras. "Persediaan beras saya masih lumayan banyak. Tapi akhir-akhir ini keuntungan dari
jual beras ini menurun. Karena selain harganya mahal, masyarakat juga belinya sedikitsedikit," kata pemilik sebuah toko di Jakarta Pusat, Hermawan.
Persediaan dan penyaluran beras masih berjalan normal. Belum terjadi penurunan yang
drastis. Pedagang-pedagang kecil umumnya membeli dari pengecer beras untuk pembelian
menengah ke bawah.
Hal ini dikarenakan biaya distribusi dan sewa mobil yang tergolong tinggi untuk pembelian
dari Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), Jakarta. Kenaikan harga beras yang terjadi pada
Kamis (3/1) ternyata berpengaruh kepada beberapa pedagang beras di Pasar Senen.
Harga IR64-I naik Rp 500 menjadi sekitar Rp 6.000 per kilogram (kg), harga IR64-II naik Rp
300 menjadi sekitar Rp 5.500 per kg dan beras premium naik Rp 500 menjadi sekitar Rp
7.000 per kg..
Dijelaskan, dari sebelum Natal, harga beras mulai naik pelan tapi sering. "Setelah Natal dan
kemarin juga naik. Berarti sudah sekitar setengah bulan ini. Kalau harga bahan makanan lain
naik sudah selama sebulan terakhir," lanjutnya.

Berkhas

15

Volume VI Januari 2008

Suara Pembaruan

Sabtu, 05 Januari 2008

Hasil pantauan di PIBC memang belum terjadi lonjakan harga yang berarti. Menurut pemilik
kios UD Solo Jaya, Siti Sumarni, harga belum berubah sejak 1 Januari lalu. "Kenaikan sudah
terjadi ketika sebelum dan sesudah Natal 2007. Hari ini harganya masih sama dengan dua
hari lalu. Kalaupun besok naik, mungkin kenaikannya hanya sekitar Rp 100. Begitu juga
sebaliknya," kata dia.
Namun, data keseluruhan yang dikeluarkan PT Food Station Tjipinang Jaya, harga beras di
PBIC sudah merangkak naik. Seperti jenis IR64-1 yang banyak dikonsumsi warga dari
semula saat sebelum Natal seharga Rp 5.100, kini menjadi Rp 5.500 per kg. [MRS/Y-4]

Berkhas

16

Volume VI Januari 2008

Suara Pembaruan

Sabtu, 05 Januari 2008

St ok Pa n ga n di Ja w a Tim u r Am a n

[SURABAYA] Stok pangan di Jawa Timur (Jatim) tetap aman, meskipun 34.091 hektare (ha)
lahan pertanian tanaman pangan yang tersebar di 17 dari 38 kabupaten/kota di provinsi ini
terendam banjir dan tanah longsor.
"Luas lahan pertanian di Jatim 1,7 juta ha. Jadi ketersediaan pangan tidak perlu
dikhawatirkan akibat banjir dan tanah longsor," kata Gubernur Jatim, Imam Utomo Suparno,
seusai penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) APBD 2008 di Kantor
Gubernur di Surabaya, Kamis (3/1).
Provinsi Jatim merupakan lumbung pangan nasional. Pada produksi beras di daerah
mencapai 6,8 juta ton beras dan surplus 3,34 juta ton. Sedangkan produksi beras tahun
sebelumnya 5,87 juta ton dan mengalami surplus beras 2,43 juta ton.
Dari 34.091 ha lahan pertanian tanaman pangan yang terendam banjir, terparah terjadi di
Bojonegoro. Di kabupaten ini tercatat 13.524 ha lahan terendam banjir Bengawan Solo.
Angka tersebut memungkinkan terus bertambah, karena laporan terbaru dari Kabupaten
Tuban menyebutkan areal sawah yang terendam meningkat dari sebelumnya 717 ha menjadi
6.000 ha.
Padi yang terendam air rata-rata baru berusia 20 hari. Sedangkan kerugian material akibat
padi yang rusak tersebut diperkirakan Rp 2 juta per ha. Dengan demikian, total kerugian
akibat pusonya tanaman pangan di Jatim mencapai Rp 68 miliar lebih.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim akan membantu memberikan bibit baru bagi tanaman
yang rusak akibat banjir dan tanah longsor, berapa pun bibit baru yang dibutuhkan petani.
Kepala Badan Urusan Logistik Divisi Regional (Bulog Divre) Jatim, Sutono menambahkan,
bencana banjir yang melanda daerah ini menyebabkan dua gudang Bulog di Madusari,
Ponorogo dan Kalitidu, Bojonegoro, terkepung air. Di Ponorogo total beras 4.000 ton,
sedangkan di Bojo- negoro 10.000 ton. [080]

Berkhas

17

Volume VI Januari 2008

Suara Pembaruan

Sabtu, 05 Januari 2008

Ta n a m a n Pa di M e m bu su k

[CILACAP] Banjir yang melanda areal pesawahan di beberapa kecamatan di Kabupupaten
Cilacap, Jawa Tengah, setiap hari terus bertambah luas. Genangan air di sawah pun sudah
berlangsung sepekan dan belum ada tanda-tanda akan surut, karena hujan masih juga turun
sampai Sabtu (5/1) pagi.
"Petani saya imbau waspada, karena genangan di sawah menjadi ancaman. Bila genangan
tak surut bibit bisa menjadi busuk," kata Kepala Dinas Pertanian (Dipertan) Cilacap Anton
Santosa, di Cilacap, Sabtu pagi.
Dikatakan, petani harus berupaya agar tidak kehilangan bibit padi yang tergenang karena
setiap hektare sawah minimal butuh dana Rp 500.000 untuk bibit dan biaya tanam. Luas
sawah yang tergenang saat ini sekitar 2.000 hektare (ha), dari total 63.000 ha. Kalau dilihat
persentasenya, luas genangannya masih sedikit dibanding yang bebas genangan.
Harus dipikirkan nasib petani yang sawahnya tergenang seperti yang ada di Kecamatan
Sampang, Kroya, Adipala, Nusawungu, Sidareja, Kawunganten, Gandrungmangu, Majenang,
dan Wanareja. "Daerah tersebut sudah menjadi langganan banjir setiap tahun," katanya.
Tanaman atau bibit padi yang masih muda, hanya bisa bertahan hidup dalam genangan
selama tiga sampai sampai empat hari. Bila genangan sudah memasuki hari ke lima,
dipastikan batang dan akar bibit itu akan membusuk dan mati, katanya.
Dalam curah hujan biasa, sawah di Cilacap yang tergenang biasanya berkisar antara 2.000
sampai 3.000 ha per tahun. Namun, bila curah hujan tinggi di atas normal, luas genangan di
sawah akan lebih dari angka tersebut. Bisa mencapai 5.000 ha.
Daerah yang paling berat menanggung genangan banjir adalah wilayah Cilacap barat seperti
Sidareja, Cmanggu, Cipari, Majenang, rata-rata bibit yang terendam baru berusia 25 hari.
Sedang di wilayah Cilacap timur meliputi Kecamatan Sampang, Kroya, dan Nusawungu.
Dia tetap optimistis walau terjadi genangan di sana-sini, produksi pangan, khususnya padi di
Cilacap pada 2008 akan tetap terpenuhi. Apalagi Cilacap merupakan daerah penyangga
pangan nasional utama di Jawa Tengah. "Target yang dipatok tahun 2008 adalah 765.000
ton. Pada 2007, dari target 719.000 ton, bisa tercapai 720.000 ton," katanya. [WMO/M-11]

Berkhas

18

Volume VI Januari 2008

Republika

Minggu, 06 Januari 2008

I n t e n sifik a si Pa di da n Ke se j a h t e r a a n Pe t a n i
Oleh :

Alik Su t a r y a t
Sebagai tenaga penyuluh, Alik Sutaryat tahu betapa para petani terkuras tenaga, biaya, dan
lahan, saat harus menggarap sawah. Biaya besar, hujan tak menentu, hasil panen kecil.
Rata-rata petani Indonesia hanya bisa memanen 4-5 ton padi dari setiap hektare sawah.
''Artinya, semua itu tidak ada sisi efisiensinya. Padahal, kalau itu tidak bisa dilakukan, pasti
akan ada manfaat yang lebih,'' jelas Alik.
Maka, Alik pun membuka-buka literatur. Ia menemukan SRI, system of rice intensification.
SRI ditemukan oleh Henri de Laulanie (Prancis) di Madagaskar pada 1983. Sistem untuk
meningkatkan hasil panen padi ini menggunakan pupuk kompos. Pupuk kimia ditinggalkan.
Pada 1960-an, Laulane telah memperhatikan cara tanam para petani di Madagaskar. Dari
observasi itulah ia mengembangkan SRI, dengan hasil panen bisa mencapai 8-10 ton padi
per hektare. Alik Sutaryat pun mulai mengujicoba sitem ini pada 2000. Pria asli Garut,
kelahiran 22 Juni 1960, itu mengungkapkan SRI telah memberikan perubahan dan tingkat
efisiensi yang lebih baik. Saat mau memulai sistem ini, banyak orang yang meragukan Alik.
''Sistem ini memang masih baru di Indonesia,'' ujar dia.
Berbekal pengalamannya bekerja di Balai Proteksi, Pertahanan Pangan, dan Hortikultura
Provinsi Jawa Barat, Alik kemudian mulai menentukan formula apa saja yang bisa
menyukseskan idenya tersebut. Saat itu, dari hasil referensi dan pengalaman yang
diperolehnya, diketahui kalau untuk menerapkan SRI dalam pola tanam harus diwujudkan
dalam pengelolaan lahan pertanian, pemilihan benih, dan ketersediaan air.
`'Meskipun selintas nampak tidak ada bedanya dengan sistem yang konvensional, namun
sebenarnya ada beberapa perbedaan. Di antaranya soal ketersediaan air dan pemberiaan
pupuk,'' ungkap pria yang tengah menyelesaikan pendidikan magister pertanian-nya di
Universitas Siliwangi, Tasikmalaya, itu.
Alik memaparkan jika dalam sistem konvensional tanaman padi yang ada di sawah
diharuskan mendapat pasokan air yang berlimpah-ruah, maka hal itu tidak berlaku jika
digunakan SRI. ''Tida