Agraria-Agustus 2008

VOLUME VI AGUSTUS 2008

AGRARIA

Berkhas merupakan salah satu media Akatiga yang menyajikan kumpulan berita dari
berbagai macam surat kabar, majalah, serta sumber berita lainnya. Jika pada awal
penerbitannya kliping yang ditampilkan di Berkhas dilakukan secara konvensional, maka
saat ini kliping dilakukan secara elektronik, yaitu dengan men-download berita dari situssitus suratkabar, majalah, serta situs berita lainnya.
Bertujuan untuk menginformasikan isu aktual yang beredar di Indonesia, Berkhas
diharapkan dapat memberi kemudahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam
pencarian data atas isu-isu tertentu. Berkhas yang diterbitkan sebulan sekali ini setiap
penerbitannya terdiri dari isu Agraria, Buruh, dan Usaha Kecil.
Untuk memperluas area distribusi, Berkhas diterbitkan melalui 2 (dua) macam media
yaitu media cetakan (hardcopy) serta media online berupa pdf file yang dapat diakses
melalui situs web Akatiga (www.akatiga.or.id).

Da ft a r I si

Sejak 2004, Tercatat 25 Sengketa Tanah Warga- Militer ---------------------------------------

1


22.870 Ha Tanaman Padi Puso ------------------------------------------------------------------------

2

Harga Gabah Turun, Daya Beli Petani Rendah----------------------------------------------------

3

Puluhan Irigasi Rusak Berat -----------------------------------------------------------------------------

4

Harga Pupuk agar Tetap ---------------------------------------------------------------------------------

5

Petani Sempat Bersitegang, Berebut Air Bendung Senjoyo -----------------------------------

6


Petani Udang Sulitkan Dapatkan Air ------------------------------------------------------------------

7

Dibutuhkan Rp 100 Triliun Perbaiki Irigasi ----------------------------------------------------------

8

Harga Gabah di Cirebon Tinggi, Beras Stabil ------------------------------------------------------

9

Petani Rugi Jutaan Rupiah karena Puso ------------------------------------------------------------ 11
Harga Gabah Melambung Tinggi ---------------------------------------------------------------------- 12
Petani Jawa Timur Tuntut Pupuk Murah ------------------------------------------------------------- 13
Potensi Rawan Pangan di Sumsel Meluas---------------------------------------------------------- 14
Butuh Rp 100 Triliun untuk Pertanian di Pantura Jawa------------------------------------------ 15
Harga Gabah Melambung Tinggi ---------------------------------------------------------------------- 16
Petani Butuh Kepastian Usaha Mereka -------------------------------------------------------------- 17

Benih Gratis untuk Petani -------------------------------------------------------------------------------- 18
Kekeringan Terparah 5 Tahun Ini ---------------------------------------------------------------------- 19
Sistem Tanam Aerob Dongkrak Produksi Padi ---------------------------------------------------- 21
Air Irigasi Pertanian Digilir ------------------------------------------------------------------------------- 22
Upaya Sulsel Tingkatkan Produksi Beras ----------------------------------------------------------- 23
Ratusan Petani Tolak Penggusuran Lahan --------------------------------------------------------- 25
"Kecerdasan" Petani Menghadapi Kemarau-------------------------------------------------------- 26
Petani Unjuk Rasa Minta Pasokan Air---------------------------------------------------------------- 27
Saluran Irigasi di Kendal Dipenuhi Endapan ------------------------------------------------------- 28
2009, Bulog Ekspor Beras ------------------------------------------------------------------------------- 29
Petani Pilih Jual Gabah ke Tengkulak ---------------------------------------------------------------- 30
Petani Butuh Bantuan Permodalan ------------------------------------------------------------------- 31
PU tambah dana rehabilitasi irigasi ------------------------------------------------------------------- 32
Alokasi untuk Subsidi Pertanian Sebesar Rp 32 Triliun ----------------------------------------- 33
Pertama Kali Sejak Krisis, RI Capai Swasembada Beras -------------------------------------- 35
Ekspansi Petani ke Majalengka ------------------------------------------------------------------------ 36

Gula Petani Menumpuk----------------------------------------------------------------------------------- 38
Menjadi Buruh di Tanah Sendiri ------------------------------------------------------------------------ 39
Petani Jember Berebut Pupuk -------------------------------------------------------------------------- 41

Petani Tebu Jabar Tolak Impor Gula ----------------------------------------------------------------- 42
Petani Tebu Jabar Tolak Impor Gula ----------------------------------------------------------------- 43
Biaya Naik, Petani Mengeluh --------------------------------------------------------------------------- 44
Pangan Terancam Anjlok -------------------------------------------------------------------------------- 46
Ribuan Hektar Sawah Krisis Air ------------------------------------------------------------------------ 48
Jumlah Petani Mudah "Dipermainkan" --------------------------------------------------------------- 49
Kekeringan Belum Mengkhawatirkan ----------------------------------------------------------------- 50
Pupuk Langka, Petani Sawit di Jambi Menjerit ---------------------------------------------------- 52
Tuban Krisis Air --------------------------------------------------------------------------------------------- 53
Bulog Usulkan HPP Gabah dan Beras yang Baru ------------------------------------------------ 54
Libatkan Masyarakat untuk Atasi Krisis -------------------------------------------------------------- 55
Peredaran Beras di Pasar Perlu Diawasi ------------------------------------------------------------ 56
Subsidi Pupuk, Pemerintah Siapkan Tambahan Rp7,75 Triliun ------------------------------ 57
Kelangkaan Pupuk di Bengkulu Meluas ------------------------------------------------------------- 58
Bulog Jamin Pasokan Beras Aman ------------------------------------------------------------------- 59
Lahan Pertanian Abadi ----------------------------------------------------------------------------------- 60

Kompas

Jumat, 01 Agustus 2008


Hukum

Se j a k 2 0 0 4 , Te r ca t a t 2 5 Se ngk e t a Ta na h W a r ga M ilit e r
Jumat, 1 Agustus 2008 | 01:21 WIB
SURABAYA, KOMPAS - Sejak tahun 2004 hingga saat ini, di Jawa Timur tercatat 25
sengketa tanah yang melibatkan masyarakat dan militer. Luas lahan yang disengketakan
15.374 hektar. Telantarnya penyelesaian sengketa merupakan salah satu pemicu konflik.
Karena itu, pemerintah diminta tegas dalam menuntaskan sengketa sehingga kasus
kekerasan seperti yang terjadi di Alastlogo, Pasuruan, beberapa waktu lalu tidak terulang.
Pengajar Hukum Tata Negara dan Hak Asasi Manusia Universitas Airlangga, R Herlambang
Perdana Wiratrama, mengungkapkan hal itu, Kamis (31/7), di sela diskusi publik ”Sengketa
Tanah Masyarakat Vs Militer” di Surabaya, Jawa Timur. Selama ini, kata Herlambang
menambahkan, penyelesaian sengketa tanah warga-militer bisa dikatakan secara umum
”gagal” karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) tak bisa menjembatani konflik. Salah satu
penghambatnya adalah klaim pemilikan militer yang disahkan surat-surat keputusan militer.
”Peraturan Penguasa Perang Pusat (Peperpu) Nomor 011 Tahun 1958 tentang larangan
pemakaian tanah tanpa izin pemilik diterbitkan oleh Kepala Staf TNI Angkatan Darat selaku
penguasa perang pusat. Karena itu, banyak institusi negara memilih menghindar dari upaya
penyelesaian sengketa tanah semacam itu,” kata Herlambang memberi contoh.

Ia berpendapat, hingga kini belum ada mekanisme penyelesaian sengketa tanah yang
berpihak pada rakyat, khususnya terkait tanah-tanah yang dikuasai militer.
Kasus Alastlogo
Pada kesempatan serupa, anggota staf peneliti Imparsial, Cahyadi Satria, menguraikan soal
sengketa lahan antara TNI Angkatan Laut (AL) dan warga Alastlogo di Pasuruan. Kasus itu,
katanya, berawal saat TNI AL hendak menjadikan lahan yang disengketakan sebagai pusat
latihan tempur.
Pada 1961, katanya, laporan tahunan TNI AL menyebutkan, lokasi itu tak memenuhi syarat
sebagai tempat latihan tempur. Karena itu, pihak TNI AL memberikan kesempatan kepada
warga untuk melanjutkan kegiatan bercocok tanam di tempat itu.
”Tahun 1998, warga mulai merasa gerah (karena sering diintimidasi), selanjutnya melakukan
pengambilalihan hak atas tanah, yang kemudian memuncak pada peristiwa penembakan di
Alastlogo,” katanya. (ABK)

Berkhas

1

Volume VI Agustus 2008


Kompas

Jumat, 01 Agustus 2008

2 2 .8 7 0 H a Ta na m a n Pa di Puso
Pe t a ni Ba nt e n Be r a lih M e na na m Pa la w ij a da n Bua h- bua ha n
Jumat, 1 Agustus 2008 | 01:26 WIB
Indramayu, Kompas - Kemarau dan kekeringan panjang menyebabkan luas tanaman padi
yang kekeringan dan gagal panen atau puso di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, terus
meningkat. Hingga akhir Juli, luas lahan puso di daerah lumbung beras itu mencapai 22.870
hektar.
Kepala Seksi Rehabilitasi Pertanian Dinas Pertanian dan Peternakan (DPP) Indramayu M
Faqih Rizahar, Kamis (31/7), menyebutkan, dari total lahan yang puso itu, seluas 9.086 ha di
antaranya terjadi dua pekan ini.
Berdasarkan pantauan DPP, selama dua pekan puso terluas terjadi di Kecamatan Sukra
seluas 3.078 ha dan Kecamatan Cikedung seluas 2.686 ha. Hampir semua kecamatan di
Indramayu mengalami puso dengan luas mulai dari 36-1.000 ha.
Secara keseluruhan, kata Faqih, luas kekeringan di Indramayu mencapai 40.874 ha. Pada
musim gadu (musim tanam padi kedua) 2008, realisasi tanam di daerah itu seluas 96.821 ha.
Toto Kusmarwanto, Kepala Subdinas Tanaman Pangan DPP, menambahkan, puso di

Indramayu akan bisa berimbas pada ketahanan pangan nasional. Itu bisa terjadi karena
selama ini sebagian kebutuhan beras nasional dipasok dari Indramayu.
”Dari 22.870 ha luas tanaman padi yang puso, dapat menyebabkan produksi gabah tahun ini
turun hingga 10 persen. Hitungan kasarnya, produksi 65.000 ton beras hilang karena puso,”
kata Toto.
Kekeringan di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, memaksa petani memanen padi lebih cepat.
Akibatnya, kualitas hasil panen menurun. Sarmah (40), petani di Kaliwungu Utara, misalnya,
memanen tanaman padi yang masih berumur sekitar 90 hari. Padahal, masa panen
semestinya ketika padi berusia sekitar 110 hari.
Di Kabupaten Demak, petani membuat sumur di sawah agar bisa mengairi tanaman palawija
yang mereka tanam. Juhawir (65), petani di Dusun Rimbu Lor, Rejo Sari, Karangawen,
misalnya, terpaksa membuat empat sumur masing-masing sedalam 1,5 meter di lahan
tembakau miliknya seluas 500 meter persegi.
Beralih tanaman
Kemarau panjang di Banten menyebabkan sebagian petani tak lagi menanam padi. Mereka
kini beralih menanam palawija dan buah-buahan. Sebagian petani di Petir, Kabupaten
Serang, misalnya, beralih menanam jagung, kacang kedelai, dan kacang hijau. Kepala Dinas
Sumber Daya Air dan Permukiman Banten Winarjono mengatakan itu, Kamis.
Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Bekasi pun mendata, 4.281 ha
tanaman padi di 15 kecamatan terancam kekeringan. Areal seluas 152 ha di antaranya puso.

(tht/ilo/egi/wie/nta/cok)

Berkhas

2

Volume VI Agustus 2008

Juenal Nasional

Sabtu, 02 Agustus 2008

Ekonomi | Jakarta | Sabtu, 02 Agt 2008 12:32:57 WIB

H a r ga Ga ba h Tur un, D a y a Be li Pe t a ni Re nda h
BADAN Pusat Statistik melaporkan rata-rata harga gabah di tingkat petani selama Juli 2008
untuk semua kualitas mengalami penurunan dibanding Juni 2008.
"Untuk Gabah Kering Giling (GKG) harganya turun 1,56 persen, kualitas Gabah Kering
Panen (GKP) harganya turun 2,47 persen dan kualitas rendah harganya turun 1,71 persen,"
kata Kepala BPS Rusman Heriawan, di Jakarta, akhir pekan.

Harga gabah terendah dengan kualitas terendah dan kualitas GKP di tingkat petani sebesar
Rp1.950 per kg dan Rp2.000 per kg dijumpai di Kabupaten Luwu Utara, propinsi Sulawesi
Selatan. Sedangkan harga GKG terendah sebesar Rp2.500 dijumpai di Kabupaten Lebak,
propinsi Banten.
Secara rata-rata, harga GKP dan GKG di tingkat petani lebih tinggi dari pada Harga
Pembelian Pemerintah (HPP) yaitu masing-masing Rp2.525 per kg dan Rp2.843,93 per kg.
Harga GKP dan GKG tertinggi dijumpai di Kabupaten Bireun, propinsi NAD dan Kabupaten
Kapuas, propinsi Kalimantan Tengah masing-masing Rp3.500 per kg dan Rp3.700 per kg.
Nilai Tukar Petani (NTP per indeks daya beli petani) secara gabungan selama Juni
menunjukkan peningkatan tipis sebesar 0,48 persen. (Ant)
Namun, NTP petani padi dan palawija adalah yang paling rendah (97,14) dibanding petani
holtikultura (100,43), petani tanaman perkebunan rakyat (113,9), peternak (99,43) dan
nelayan (100,28).
Indeks NTP merupakan indikator untuk melihat kemampuan atau daya beli petani di
pedesaan. NTP juga menunjukkan daya tukar dari produk pertanian dengan barang dan jasa
yang dikonsumsi maupun biaya produksi.
Dari 32 propinsi yang dilaporkan, terdapat 17 propinsi yang NTP-nya mengalami kenaikan
dan 15 lainnya mengalami penurunan. Kenaikan tertinggi terjadi di propinsi Papua Barat
sebesar 3,24 persen sedangkan penurunan NTP terbesar terjadi di provinsi Kepulauan Riau
sebesar 2,65 persen.

Rendahnya daya beli petani tersebut kemungkinan disebabkan karena terjadinya inflasi di
pedesaan sebesar 2,88 persen yang dipengaruhi kenaikan bahan bakar minyak tang
mendorong kenaikan indeks harga tertinggi di sektor transportasi dan komunikasi yaitu
sebesar 10,66 persen.
Sementara itu, upah nominal harian buruh tani nasional pada Juni 2008 naik sebesar 20,43
persen dibandung Mei yaitu dari Rp28.986 menjadi Rp34.908 per hari. Secara riil mengalami
peningkatan 14,15 persen.
Upah nominal harian buruh bangunan bukan mandro selama Juli naik 0,43 persen dibanding
Juni yaitu dari Rp47.198 menjadi Rp47.400 per hari. Namun, secara riil nilai upahnya turun
0,9 persen.
Upah nominal bulanan buruh industri padar triwulan IV 2007 naik 2,98 persen dibanding
triwulan III 2007 yaitu dari Rp991.207 menjadi Rp1.020.696 per bulan, secara riil
kenaikannya hanya 0,87 persen saja.

Berkhas

3

Volume VI Agustus 2008

Pikiran Rakyat

Minggu, 03 Agustus 2008

Puluha n I r iga si Rusa k Be r a t
Minggu, 03 Agustus 2008 , 19:28:00
SUKABUMI, (PRLM) - Dari 109 Daerah Irigasi (DI) dan Irigasi Desa (ID) hampir 26 buah DI
dan ID di Kab. Sukabumi, rusa. Termasuk 2 DI yang dikelola pemerintah pusat. Padahal, DI
itu sangat vital untuk dimamfaatkan para petani untuk mengairi lahan persawahannya seluas
7.416 ha.
"Akibat DI Ciletuh dan Cikarang Geusan rusah hampir sebagian besar lahan disana
mengalami gagal panen," kata Kasie Operasi, Pembinaan dan Pengawasan Jaringan Irigasi
di Dinas Bina Maga dan Pengelolaan Sumeber Daya Air ( BMPSDA) Kab. Hilman BE.
Minggu (3/7) .
Daerah irigasi yang rusak terdiri atas DI Cibeber di Kec. Curug Kembar dengan luas areal
persawahan 811 ha, DI Cibodas di Kec. Sagaranten (200 ha). Begitupun DI Cipamarangan di
Kec.Surade hampir 600 ha dalam kondisi kekeringan. Irigasi Desa yang mengalami
kerusakan parah pun terjadi di ID Leuwi Munding yang berlokasi di Kec. Gunung Guruh, ID
Cibagong di Kec. Cikembar, ID Cibojong di Kec. Cikembar. Kondisi serupapun terjadi di ID
Ciasih di Kec. Cikembar. (A-162/A-37)***

Berkhas

4

Volume VI Agustus 2008

Kompas

Senin, 04 Agustus 2008

H a r ga Pupuk a ga r Te t a p
Pe t a ni M int a I r iga si D ipe r ba ik i
Senin, 4 Agustus 2008 | 00:21 WIB
Jantho, Kompas - Beberapa kelompok petani di wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar
menolak jika pemerintah akan menaikkan harga pupuk bersubsidi sebesar 30 persen.
Mereka menolak rencana tersebut karena dengan harga pupuk bersubsidi sekarang ini, para
petani masih sulit mendapatkan pupuk secara murah.
Sulaiman, Ketua Kelompok Tani Lam Ara, Kabupaten Aceh Besar, Minggu (3/8),
mengatakan, alasan pemerintah untuk menaikkan harga pupuk bersubsidi karena menilai
para petani menggunakannya secara serampangan, tidak dapat diterima.
Sulaiman mengatakan, selama ini para petani menggunakan pupuk sudah sesuai dengan
takaran dan besaran luas lahan yang dimilikinya. Kemungkinan para petani kecil untuk
menggunakan pupuk secara serampangan yang berakibat pada pemborosan dalam jumlah
besar, menurut Sulaiman, sangat kecil. Bukti-bukti di lapangan menunjukkan kalau para
petani, tidak hanya di Aceh, tetapi di seluruh Indonesia juga mengalami kekurangan pupuk
dalam jumlah besar, terutama menjelang musim tanam karena produksi yang dikeluarkan
oleh produsen sama sekali tidak mencukupi dengan luasan lahan yang ada.
Sulaiman mengakui adanya beberapa petani yang menggunakan pupuk secara berlebihan.
Namun, menurut dia, hal itu tidak bisa dijadikan pembenaran bahwa seluruh petani
berlebihan dalam penggunaan pupuk yang mengakibatkan terjadinya kelangkaan stok pupuk
di lapangan.
”Kalau kenaikan harga pupuk itu direalisasikan, sama saja membuat petani kecil menjadi
lebih sengsara. Saat ini para petani sudah kesulitan mendapatkan pupuk dengan harga
murah. Apalagi kalau harganya dinaikkan, bagaimana nasib petani nantinya,” kata Sulaiman.
Sulaiman mengatakan, petani tidak bisa menjadi satu pihak yang disalahkan dalam
penggunaan pupuk yang tidak tepat. Menurut dia, ketiadaan petugas penyuluh lapangan
pertanian di hampir seluruh wilayah di Aceh membuat tingkat pengetahuan petani tentang
cara bercocok tanam yang baik menjadi sangat minim. ”Akibatnya ya tadi, penggunaan
pupuk secara serampangan,” katanya.
Kepala BKP NAD Silman Haridy sendiri menduga, langkanya pupuk bersubsidi di Aceh
karena terjadi pengalihan ke industri-industri, terutama perkebunan. Disparitas harga yang
cukup tinggi, yaitu Rp 1.200 (untuk pupuk bersubsidi) dan Rp 9.000 untuk pupuk industri,
menurut Silman, membuat kemungkinan terjadinya penyelewengan pupuk bersubsidi sangat
besar.
Selain menekankan pada penyediaan pupuk bersubsidi, Sulaiman juga mengingatkan agar
pemerintah, terutama dinas-dinas terkait, untuk segera memperbaiki sarana irigasi yang
rusak di seluruh Aceh. Menurut dia, penyediaan sarana produksi dan distribusi yang layak
tanpa didukung sarana irigasi yang memadai merupakan ketimpangan dalam produksi padi.
Hal senada dikatakan Ketua Kelompok Tani Makmoe Beusare, Syarifuddin. Dia mengatakan,
para petani berharap meski musim kemarau melanda, dengan sarana irigasi yang baik,
mereka dapat menanam padi di lahan-lahan milik mereka.
Selama ini, katanya, lahan persawahan para petani hanya dapat ditanami selama enam
bulan dalam satu tahun. (MHD)

Berkhas

5

Volume VI Agustus 2008

Kompas

Senin, 04 Agustus 2008

Pe t a ni Se m pa t Be r sit e ga ng, Be r e but Air Be ndung
Se nj oyo

Salatiga, Kompas - Puluhan petani dari sejumlah kelurahan di Kecamatan Tingkir, Kota
Salatiga dan Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, sempat bersitegang,
Sabtu (2/8), karena memperebutkan aliran air Bendung Senjoyo. Sejumlah petani Tingkir Lor
dan Kalibening berupaya membongkar pintu air yang membagi aliran Bendung Senjoyo.
Ketegangan terjadi di Pintu Air Ajiawur yang berada di Desa Tegalwaton, Kecamatan
Tengaran, Kabupaten Semarang. Pintu air itu berfungsi mengatur aliran air dari Bendung
Senjoyo ke arah timur, yaitu ke Tingkir Tengah dan sejumlah kelurahan di Kecamatan Suruh,
serta arah utara menuju Tingkir Lor dan Kalibening.
Petani dari Tingkir Lor dan Kalibening yang sudah datang sekitar pukul 08.00 dengan
membawa palu dan linggis sempat berusaha membongkar pintu air yang menuju arah utara.
Itu dilakukan agar aliran air lebih banyak menuju ke wilayah mereka.
Kondisi ini membuat sejumlah petani dari Tingkir Tengah dan sejumlah kelurahan di Suruh
tidak puas. Mereka menghalangi sehingga terjadi adu mulut.
”Selama ini meski pintu air rusak, air tetap mengalir ke Tingkir Lor dan Kalibening. Kalau
pintu dibobol, kami di arah timur tidak akan kebagian air karena tanah lebih tinggi,” kata
Zamzuri (53), petani Tingkir Tengah.
Konflik yang lebih jauh berhasil dicegah setelah petani yang saling memperebutkan air dilerai
Kepala Desa Tegalwaton Agus Suranto. ”Kalau ada yang berani merusak fasilitas umum,
saya akan laporkan ke polisi,” kata Agus.
Menurut Kepala Ranting Pengairan Kecamatan Tengaran, Dinas Pekerjaan Umum
Kabupaten Semarang, Dalwandi, kisruh perebutan air disebabkan pasokan air dari Bendung
Senjoyo yang semakin menurun. Saat ini debit air Bendung Senjoyo sekitar 393 liter per detik
atau turun separuh daripada saat musim hujan. Bendung itu dimanfaatkan untuk mengaliri
2.904 hektar sawah di arah utara dan 700 hektar sawah di arah timur bendung.
Musim kering ini juga membuat sejumlah petani di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, kian sulit
mendapatkan air. Sebagian besar tanah sawah sudah merekah. Untuk menyelamatkan
tanaman, mereka terpaksa mengintensifkan penggunaan mesin pompa air sehingga
menaikkan biaya produksi.
Muslim (60), petani di Desa Kepandean, Kecamatan Dukuhturi, Minggu, mengatakan,
ketersediaan air sudah tidak memadai. Petani di daerahnya sudah tidak mendapatkan air dari
saluran irigasi sejak lebih dari satu bulan lalu. ”Lihat saja, tanah-tanah sudah merekah dan
kering,” ujarnya. (GAL/WIE)

Berkhas

6

Volume VI Agustus 2008

Pikiran Rakyat

Senin, 04 Agustus 2008

Pe t a ni Uda ng Sulit k a n D a pa t k a n Air
Senin, 04 Agustus 2008 , 19:42:00
CIAMIS, (PRLM) - Puluhan petani udang galah di Kec. Pamarican, Kab. Ciamis terpaksa
memindahkan ternaknya ke daerah lain yang masih menyisakan air untuk kolam udang. Hal
itu dilakukan karena sebagian besar kolam pembesaran udang mulai mengering, sedangkan
produksi benih udang (benur) terus berlangsung.
"Kalau tidak segera dipindahkan ke kolam yang banyak airnya, udang akan mati. Untuk
mengurangi kerugian, kami terpaksa mengungsikannya ke daerah lain. Meski dengan cara ini
keuntungan menjadi lebih sedikit, namun masih tetap memberikan hasil," ungkap Ketua
kelompok Usaha Bersama (KUB) Mina Sejahtera Pamarican, Wagino Toyib, Senin (4/8).
Beberapa kolam udang galah yang mengalami kekeringan di antaranya terdapat di Desa
Pamarican, Bangunsari, Margajaya dan Sukahurip. Sedangkan lokasi pengungsian atau
kolam pemeliharaan yang baru ada di Desa Sidamulih, Pasrinagara, Panumbangan, Cisaga
dan Tambaksari. "Kita pakai sistem maro (bagi dua) dan persentase. Meski untung kecil,
yang penting usaha ini dapat terus berjalan, dan usaha udang galah dapat diselamatkan,"
tambahnya.
Didampingi petani lainnya seperti Muslih (45), Udi (58) dan Ukro (56), dengan pemindahan
pemeliharaan, petani mengalami kerugian sekitar 40 persen. "Dalam kondisi normal, kita bisa
mendapatkan Rp 105 juta per bulan, sedangkan saat ini hanya Rp 60 juta," ungkapnya. (A101/A-37)***

Berkhas

7

Volume VI Agustus 2008

Suara Pembaruan

Senin, 04 Agustus 2008

D ibut uhk a n Rp 1 0 0 Tr iliun Pe r ba ik i I r iga si
SP/Ruht Semiono
Warga melintas di atas bebatuan Sungai Cisadane yang bisa dilintasi karena debit air di
sungai ini mulai menurun di Tangerang, Banten, beberapa waktu lalu. Penurunan debit air ini
karena musim kemarau yang sudah tiba.
[JAKARTA] Biaya yang dibutuhkan untuk perbaikan jaringan infrastruktur pengairan dan
irigasi sangat besar. Untuk mengembalikan kondisi pengairan dan irigasi ke posisi mampu
berswasembada pangan, dibutuhkan dana sekitar Rp 100 triliun.
Menurut Deputi Menteri Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan, Bayu Khrisnamurthi,
perkiraan tersebut jauh lebih besar dibandingkan perkiraan awal tahun 2008 lalu, yakni
sekitar Rp 70 triliun.
"Dana tersebut, membengkak karena penurunan kualitas air, pemeliharaan saluran irigasi
yang terbatas, dan cepatnya konversi lahan di beberapa daerah aliran sungai," katanya,
Senin (4/8) di Jakarta.
Menurut Bayu, perbaikan jaringan irigasi dan pengairan juga terkendala pertentangan
kepentingan antardaerah administratif karena DAS mengalir lintas wilayah. "Persoalan irigasi
dan pengairan ini sebagian besar berada di daerah," katanya.
Selain itu, lanjut Bayu, investasi yang ditanamkan untuk sektor itu juga berskala besar dan
harus dilakukan sekaligus. "Perbaikan jaringan irigasi tidak bisa dicicil," katanya.
Bayu mencontohkan, pembangunan saluran irigasi dan pengairan besar-besaran pada
dekade 1970-an yang kemudian mendukung adanya swasembada pangan pada 1980-an.
Meluas
Sementara itu, kekeringan yang melanda areal pertanian kian meluas. Ketua Umum Kontak
Ta-ni dan Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir memperkirakan, kekeringan saat ini
sudah mencakup arel persawahan seluas 200.000 hektare. Kondisi tersebut, bisa
mengancam target produksi beras nasional yang dicanangkan pemerintah.
Winarno menyayangkan lemahnya antisipasi pemerintah terhadap persoalan kekeringan
yang selalu berulang setiap tahun. Upaya pemerintah untuk memperbaiki irigasi, menurut
Winarno, sepertinya jauh pangang dari api.
Sebagian besar jaringan irgasi, terutama di Jawa, saat ini dibiarkan rusak dan terbengkalai.
Akibatnya, petani pun kesulitan pasokan air di saat musim kering, seperti saat ini. [L-11]

Berkhas

8

Volume VI Agustus 2008

Jurnal Nasional

Selasa, 05 Agustus 2008

Nusantara | Cirebon | Selasa, 05 Agt 2008 20:07:32 WIB

H a r ga Ga ba h di Cir e bon Tinggi, Be r a s St a bil

HARGA gabah pada Selasa (5/8 ) sejumlah daerah panen di Kabupaten Cirebon masih tetap
tinggi berkisar antara Rp2.800 sampai Rp2.900 per kilogram gabah kering panen (GKP) atau
jauh melebihi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Rp2.000 per kilogram GKP.
Sementara itu, situasi harga beras di Pasar Pagi Cirebon yang merupakan sentra
perdagangan beras wilayah III Cirebon, ternyata masih stabil dimana untuk kelas medium
berkisar antara Rp4.600 sampai Rp5.000 per kilogram, akibat sepinya permintaan beras.
Beberapa petani di Kecamatan Palimanan, Ciwaringin, Klangenan, Sumber dan Plumbon
yang sudah memasuki masa panen mengakui harga gabah saat ini mencapai rekor tertinggi
terutama dipicu banyaknya areal padi yang puso baik di Cirebon maupun di Indramayu.
"Gabah saya ini sudah dipesan bandar dari Bakung, Cirebon dengan harga Rp2.850 per
kilogram, padahal panen belum semua selesai. Kualitas yang lebih jelek karena serangan
wereng masih berani dibeli Rp2.750 per kilogram," kata Rasta, Petani Desa Danawinangun,
Kec Klangenan, Kab Cirebon.
Ia mengakui dengan hasil sekitar 6,5 ton gabah kering panen per hektar maka dirinya bisa
mengantongi keuntungan bersih Rp12 juta karena biaya tanam sampai panen hanya
menghabiskan modal sekitar Rp6,5 juta per hektar.
"Kalau dikurangi biaya sewa sudah dapat Rp10 juta bersih, makanya sekarang ini biaya sewa
sawah juga meningkat," katanya.
Hal senada juga petani Muhamad, di Desa Pegagan, Kecamatan Palimanan, yang menjual
gabahnya kepada penggilingan padi Rp2.900 per kilogram gabah kering panen.
"Takut tidak mendapat gabah semua tengkulak rebutan mencari dengan alasan banyak
sawah yang puso terutama di Indramayu," katanya.
Tingginya harga gabah itu ternyata tidak serta merta mendongkrak harga beras di pasaran,
terbukti harga beras di Pasar Pagi masih belum mengalami perubahan sejak sebulan
terakhir.
Yuli, salah satu pedagang mengatakan, harga beras masih stabil karena stok pedagang
masih banyak sementara permintaan masih normal. "Tanggal muda seperti sekarang
biasanya permintaan melonjak tetapi justru masih normal," katanya.
Ia menjelaskan, eceran beras medium masih berkisar antara Rp4.600 sampai Rp5.000 per
kilogram, sementara medium super seperti IMR dan Pandanwangi masih berkisar antara
Rp5.800 sampai Rp6.000 per kilogram. Sedangkan beras super seperti Delangu masih
berkisar antara Rp6.400 sampai Rp6.500 per kilogram.
"Masyarakat sekarang lebih banyak mencari beras yang murah antara Rp4.600 sampai
Rp4.800 per kilogram, sementara beras yang lebih mahal dari itu biasanya dibeli restoran,"
katanya.
Syamsuri, salah satu pengusaha penggilingan beras di Cirebon juga mengungkapkan, saat
ini pembeli dari Pasar Induk Cipinang tidak mau menstok dalam jumlah besar sehingga harga
juga masih tertekan padahal harga gabah di tingkat petani sudah naik.

Berkhas

9

Volume VI Agustus 2008

Jurnal Nasional

Selasa, 05 Agustus 2008

"Banyak yang untungnya pas-pasan atau hanya sekedar tidak ada buruh yang menganggur,"
katanya.
Ia bahkan memperkirakan, harga gabah akan terus naik karena luasan puso musim gadu
tahun ini lebih parah dibanding tahun-tahun sebelumnya.
"Tengkulak yang biasa memasok gabah juga mengaku semakin sulit mencari harga gabah
yang wajar karena petani maunya lebih tinggi," katanya. (Ant)

Berkhas

10

Volume VI Agustus 2008

Kompas

Selasa, 05 Agustus 2008

Kekeringan

Pe t a ni Rugi Jut a a n Rupia h k a r e na Puso
Selasa, 5 Agustus 2008 | 01:04 WIB
Indramayu, Kompas - Gara-gara gagal panen atau puso di sebagian besar lahan pertanian di
Indramayu, Jawa Barat, banyak petani rugi hingga jutaan rupiah karena kehilangan modal
tanam. Mereka pun kehilangan peluang memperoleh gabah.
Catu (50), petani di Desa Losarang, Kecamatan Losarang, Senin (4/8), mengaku merugi
sekitar Rp 10 juta karena lahannya seluas tiga bahu (sekitar 2,1 hektar) puso. Itu hanya dari
modal tanam, sedangkan kerugian dari produksi padi yang gagal diperoleh belum dihitung.
Kerugian sama dialami Sarma (65), petani lain di Losarang. Ia merugi Rp 5 juta untuk
sawahnya seluas satu bahu (sekitar 0,7 ha) yang terkena puso. Biaya produksi yang
dikeluarkan sudah termasuk membuat sumur pantek senilai Rp 2 juta, yang kemudian tidak
berfungsi optimal. ”Air yang keluar dari sumur pantek itu asin dan tidak bisa untuk mengairi
sawah,” ujar Sarma.
Demikian pula dengan Suleman (65), petani di Desa Kertasari, Losarang, yang merugi sekitar
Rp 15 juta karena sawahnya seluas 3,5 ha puso. Tidak ada satu karung pun padi yang
dihasilkan dari sawah yang mulai ditanam Maret lalu. Padahal, sebagian hasil panen musim
rendeng lalu habis digunakan untuk modal tanam musim gadu ini.
Sebagian petani ada yang terpaksa utang untuk modal tanam musim gadu. Salah satunya
adalah Catu yang utang Rp 2 juta untuk tambahan modal.
Saat puso, umur tanaman padi Sarma, Catu, dan Suleman sekitar 90 hari. Produktivitas dari
lahan satu bahu sekitar 4 ton. Dengan harga rata-rata gabah kering panen (GKP) di daerah
tersebut Rp 2.700 per kilogram (kg), potensi kerugian dari padi yang seharusnya didapat
berkisar Rp 10 juta per bahu.
Menurut data Dinas Pertanian dan Peternakan Indramayu, total tanaman padi yang puso
22.870 ha dari realisasi tanam musim gadu 96.000 ha. (tht)

Berkhas

11

Volume VI Agustus 2008

Pikiran Rakyat

Selasa, 05 Agustus 2008

H a r ga Ga ba h M e la m bung Tinggi
Selasa, 05 Agustus 2008 , 18:29:00
SUMBER, (PRLM).- Harga gabah hasil panen gadu di wilayah Cimajakuning (Cirebon,
Majalengka, dan Kuningan) melambung tinggi. Meski sudah mendekati panen raya, gabah
masih bertengger pada harga tinggi jauh melampaui harga pembelian pemerintah (HPP).
Berdasarkan pemantauan "PRLM", Selasa (5/8), gabah kering panen (GKP) mendekati Rp
2.700,00 sampai Rp 2.800,00/kg. Jauh di atas HPP yang hanya Rp 2.000,00/kg. Sedangkan
gabah kering giling (GKG), yang HPPnya Rp 2.575,00/kg, kini harganya minimal Rp
3.000,00/kg. Harga tersebut tetap bertahan dalam dua minggu terakhir.
Mad Syukur (35), seorang petani Ds. Tukmudal, Kec Cirebon Selatan menuturkan, tingginya
harga gabah akibat banyaknya permintaan. Sebelum padi dipanen, sudah banyak bandar
gabah yang datang untuk membeli.
"Ini kesempatan bagi saya untuk menjual dengan harga tinggi. Cukup dengan dua hari jemur,
gabah saya laku sampai Rp 3.000,00/kg," katanya.
Sarmawi (46), petani Ds. Bayalangu Lor, Kec Gegesik mengungkapkan, sekarang banyak
bandar berkeliaran memburu gabah. Mereka tak hanya dari Gegesik atau Cirebon, tetapi juga
dari Indramayu, Subang, Karawang. (A-93/A-140)

Berkhas

12

Volume VI Agustus 2008

Jurnal Nasional

Rabu, 06 Agustus 2008

Ekonomi | Ponorogo | Rabu, 06 Agt 2008 17:33:52 WIB

Pe t a ni Ja w a Tim ur Tunt ut Pupuk M ur a h
SEKITAR 200 petani Jawa Timur yang tergabung dalam Serikat Petani Indonesia (SPI)
berunjuk rasa di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten
Ponorogo, menuntut kepada pemerintah memberikan pupuk dengan harga yang murah,
Rabu (6/8).
Mereka adalah perwakilan dari masing-masing kabupaten di Jawa Timur antara lain dari
Trenggalek, Tulungagung, Kediri, Tuban, dan petani dari kabupaten Ponorogo. Sebelumnya
peserta aksi melakukan long march sejauh tiga km.
Koordinator aksi dari SPI Jawa Timur, Ruslan mengatakan, selain menuntut pupuk murah,
petani di Jawa Timur yang bergabung dalam SPI menutut kepada pemerintah untuk
memperluas lahan tanaman pangan melalui program pembaharuan agraria untuk
menurunkan jumlah impor dan menjamin ketersediaan pangan dalam negeri.
"Selama ini petani terus mengalami kekalahan. Lahan pertanian yang selama ini menjadi
andalan berubah fungsi sehingga kehidupan petani terancam. Untuk itu kami berharap
pemerintah bertindak tegas agar petani bisa hidup layak," katanya.
Dia menjelaskan, petani saat ini memerlukan ketersediaan pupuk serta benih yang
berkualitas serta ketersediaan lahan pertanian. Pasalnya selama ini petani terutama petani
kecli hanya bisa sebagai buruh tani yang berpengahasilan di bawah rata-rata.
Ia menambahkan, pemerintah juga harus mengatur tata niaga bahan pangan dan tidak
menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar yang dikusasi oleh swasta.
Pemerintah juga harus tegas dalam menstabilkan harga kebutuhan barang pokok dan jangan
sampai pengelolaannya diserahkan pada pihak perusahaan. (Ant)

Berkhas

13

Volume VI Agustus 2008

Kompas

Rabu, 06 Agustus 2008

Pot e nsi Ra w a n Pa nga n di Sum se l M e lua s
Rabu, 6 Agustus 2008 | 00:52 WIB
Palembang, Kompas - Potensi rawan pangan di Sumatera Selatan akibat gagal panen padi
meluas ke empat kabupaten, yakni Ogan Ilir, Ogan Komering Ulu Timur, Musi Rawas, dan
Ogan Komering Ilir. Selain memengaruhi stok pangan tingkat lokal, hal ini juga
mengakibatkan terganggunya suplai beras ke luar provinsi itu, terutama Jambi, Bengkulu,
dan Lampung.
Menurut Kepala Seksi Bencana Sosial Dinas Kesejahteraan Sosial (Dinkesos) Sumsel
Anshori, Selasa (5/8) di Palembang, rawan pangan selalu terjadi tiap tahun, khususnya saat
kemarau. Juli lalu potensi rawan pangan terjadi di tiga kabupaten, yakni Ogan Komering Ilir,
Ogan Ilir, dan Ogan Komering Ulu Timur. Dari laporan anggota staf Taruna Siaga Bencana
(Tagana) di kabupaten/kota awal Agustus 2008, potensi rawan pangan meluas ke empat
kabupaten.
”Ada lebih dari 450 hektar lahan sawah lebak dan sawah pasang surut mengalami puso
karena kekurangan air pada puncak kemarau ini,” katanya.
Untuk mengantisipasi rawan pangan, Dinkesos Sumsel sudah menyiapkan stok beras 200
ton. Stok bisa ditambah dengan stok milik pemerintah kabupaten/kota sebanyak 100 ton
beras.
Berdasarkan pantauan, salah satu sawah lebak yang gagal panen terdapat di kawasan Desa
Ibul, Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir. Di kecamatan itu ada sekitar 10 hektar
sawah lebak dan rawa yang gagal panen. Daun tanaman padi menguning karena
kekurangan air.
Cepat surut
Sholatifah (32), seorang petani, mengatakan, air di sawah lebak miliknya surut lebih cepat
dari yang diperkirakan. Dari pola-pola tahunan, bulan Juli dan Agustus biasanya menjadi saat
tepat bagi petani untuk menanam padi di sawah lebak.
”Ini karena air sudah surut. Sebagian lahan padi milik saya puso karena kekurangan air.
Padahal, di sawah lebak sumber pengairan utama dari resapan air hujan,” katanya.
Mantan Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sumsel Trisbani Arief
menuturkan, gagal panen akibat kekeringan di Sumsel memang sering terjadi di sawah lebak.
Pada tahun ini air di sawah lebak lebih cepat surut karena anomali cuaca.
”Untuk lahan sawah irigasi, sebagian besar masih baik meskipun air yang berasal dari sungai
juga mulai surut,” ujarnya. (ONI)

Berkhas

14

Volume VI Agustus 2008

Kompas

Rabu, 06 Agustus 2008

But uh Rp 1 0 0 Tr iliun unt uk Pe r t a nia n di Pa nt ur a
Ja w a
Rabu, 6 Agustus 2008 | 00:49 WIB
Jakarta, Kompas - Reinvestasi dalam jangka panjang sebesar Rp 100 triliun sangat
dibutuhkan untuk mengembalikan pantai utara Jawa dalam bentuk infrastruktur dasar
pertanian agar kembali ke daya dukung pada awal tahun 1990-an.
Besarnya investasi yang sama juga diperlukan jika ingin membuka wilayah-wilayah pertanian
di luar Jawa. Lahan pertanian yang sempit bakal sulit memenuhi kebutuhan jumlah penduduk
yang terus bertumbuh.
Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurthi
dalam seminar nasional ”Rekonstruksi Kebijakan Perdagangan Pangan untuk Kesejahteraan”
di Jakarta, Selasa (5/8), mengatakan, ”Investasi besar-besaran itu sebagai cermin APBN.
Artinya, kita harus punya rencana dan keputusan politik untuk investasi jangka panjang
karena investasi ini tidak bisa dilakukan dalam satu tahun anggaran. Kita butuh waktu 5-10
tahun.”
Bukan hanya anggaran multi-tahun, tetapi juga multi-komitmen yang harus dilihat secara
politis. Pergantian presiden setiap lima tahun sekali merupakan tantangan kebijakan
pertanian.
Dari data Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air serta Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum terungkap, sebanyak 50 bendung dari total
106 bendung dan 13 dari total 47 bendungan di Pulau Jawa mengalami kerusakan. Sebagian
besar kerusakan disebabkan perawatan operasional bangunan yang kurang memadai dan
tuanya usia bangunan (Kompas, 28/7).
Bayu mengatakan, jika tahun 1970-an Indonesia membenahi pertanian dengan pinjaman
jangka panjang, hal itu pun harus dicermati agar di kemudian hari tidak menjadi beban rakyat.
Investasi besar-besaran ini dibutuhkan untuk meningkatkan atau membangun jaringan irigasi
baru dan membenahi sumber daya manusia. Pemerintah daerah pun harus berkomitmen
dalam mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk sektor
pertanian.
”Kalau memang diputuskan tidak mau membenahi sektor pertanian demi ketahanan pangan
nasional, ya harus diputuskan tidak,” kata Bayu.
Bayu menjelaskan, pertambahan penduduk Indonesia sekitar tiga juta per tahun. Itu artinya,
kalau konsumsi beras 100 kilogram per tahun, minimal dibutuhkan beras sebanyak 300 juta
kilogram per tahun.
Tantangan sangat berat
Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengatakan, tantangan sektor pertanian memang
sangat berat. Potensi lahan sangat kecil untuk bisa meningkatkan produktivitas.
Menurut Anton, dari lahan seluas 7,4 juta hektar, indeks pertanaman di Indonesia rata-rata
hanya 1,6 dalam setahun. Artinya, petani baru bisa menanam rata-rata 1,6 kali dalam
setahun. Produktivitas gabah kering giling hanya 4,7 ton per hektar.
”Kalau kita bisa meningkatkan indeks pertanaman dua kali setahun, pertambahan produksi
dalam bentuk beras bisa mencapai sekitar 8,6 juta ton per tahun,” papar Anton. (OSA)

Berkhas

15

Volume VI Agustus 2008

Pikiran Rakyat

Rabu, 06 Agustus 2008

H a r ga Ga ba h M e la m bung Tinggi
Selasa, 05 Agustus 2008 , 18:29:00
SUMBER, (PRLM).- Harga gabah hasil panen gadu di wilayah Cimajakuning (Cirebon,
Majalengka, dan Kuningan) melambung tinggi. Meski sudah mendekati panen raya, gabah
masih bertengger pada harga tinggi jauh melampaui harga pembelian pemerintah (HPP).
Berdasarkan pemantauan "PRLM", Selasa (5/8), gabah kering panen (GKP) mendekati Rp
2.700,00 sampai Rp 2.800,00/kg. Jauh di atas HPP yang hanya Rp 2.000,00/kg. Sedangkan
gabah kering giling (GKG), yang HPPnya Rp 2.575,00/kg, kini harganya minimal Rp
3.000,00/kg. Harga tersebut tetap bertahan dalam dua minggu terakhir.
Mad Syukur (35), seorang petani Ds. Tukmudal, Kec Cirebon Selatan menuturkan, tingginya
harga gabah akibat banyaknya permintaan. Sebelum padi dipanen, sudah banyak bandar
gabah yang datang untuk membeli.
"Ini kesempatan bagi saya untuk menjual dengan harga tinggi. Cukup dengan dua hari jemur,
gabah saya laku sampai Rp 3.000,00/kg," katanya.
Sarmawi (46), petani Ds. Bayalangu Lor, Kec Gegesik mengungkapkan, sekarang banyak
bandar berkeliaran memburu gabah. Mereka tak hanya dari Gegesik atau Cirebon, tetapi juga
dari Indramayu, Subang, Karawang. (A-93/A-140)

Berkhas

16

Volume VI Agustus 2008

Kompas

Kamis, 07 Agustus 2008

budidaya Kedelai Hitam

Pe t a ni But uh Ke pa st ia n Usa ha M e r e k a
Kamis, 7 Agustus 2008 | 09:43 WIB
WATES, KOMPAS - Petani kedelai hitam di Kecamatan Lendah, Kulon Progo, membutuhkan
kepastian tentang masa depan kerja sama dengan PT Unilever Indonesia Tbk karena
sejumlah petani mengaku harga jual kedelai hitam jauh lebih rendah dibandingkan dengan
kedelai kuning. Saat ini, harga jual kedelai kuning mencapai Rp 7.000 hingga Rp 7.200 per
kilogram di tingkat petani. Sedangkan kedelai hitam hanya dihargai Rp 5.400 per kilogram
oleh koperasi yang akan menyalurkannya ke PT Unilever Indonesia Tbk sebagai bahan baku
kecap manis. Selisih harga ini mengecewakan kalangan petani karena mereka telanjur
bekerja sama dengan PT Unilever Indonesia Tbk untuk menanam kedelai hitam agar ada
peningkatan pendapatan. Ketua Kelompok Tani Makmur Wahyuharjo Tupiyana menjelaskan,
sejumlah anggotanya menyatakan tidak lagi berminat menanam kedelai hitam tahun depan.
Petani perlu diyakinkan bahwa kedelai hitam tetap berprospek cerah. Setidaknya PT Unilever
memberi jaminan kestabilan harga. Hal ini yang tidak didapat petani ketika menjual kedelai
kuning. Bisa jadi kenaikan harga terjadi tahun ini saja, kemudian turun lagi seperti tahun lalu,
hanya Rp 3.000 per kilogram, ungkap Tupiyana, Rabu (6/8). Slamet, Ketua Kontak Tani
Nelayan Andalan Kulon Progo, mengemukakan, tidak mudah meyakinkan petani tentang
budidaya kedelai hitam. PT Unilever perlu terjun langsung ke lapangan menemui petani.
Dengan begitu, kelangsungan kerja sama bisa terus terjaga. Secara terpisah, General
Manager Yayasan Unilever Peduli Sinta Kaniawati mengatakan, pihaknya akan terbuka
menjelaskan mengenai kendala dan antisipasi masalah yang diperlukan. Hanya PT Unilever
tidak bisa setiap kali terjun ke lapangan karena keterbatasan tenaga dan waktu. Akan tetapi,
PT Unilever telah memercayakan pengawasan petani kedelai hitam pada para petugas
pertanian dari Universitas Gadjah Mada. Sinta juga menjamin petani pasti untung apabila
menjadi mitra kerja PT Unilever. Unilever juga memberi bantuan teknis peningkatan kualitas
dan kuantitas hasil panen. (YOP)

Berkhas

17

Volume VI Agustus 2008

Kompas

Jumat, 08 Agustus 2008

Be nih Gr a t is unt uk Pe t a ni
Jumat, 8 Agustus 2008 | 00:24 WIB
Medan, Kompas - Gagal panen yang dialami sebagian petani di Kabupaten Langkat dan
Karo, Provinsi Sumatera Utara, diduga karena benih gratis yang diberikan kepada mereka
palsu. Petani di kedua kabupaten tersebut memanen padi yang bulirnya tak berisi.
Menurut anggota Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara
(daerah pemilihan Langkat), Timbas Tarigan, dia mendapat laporan petani di kedua daerah
tersebut mendapat benih yang diduga palsu sehingga panen mereka gagal. Bahkan,
sebagian petani terpaksa memotong batang padi karena bulirnya sama sekali tidak berisi.
”Kami sekarang tengah mengevaluasi, apakah benih gratis yang diberikan kepada petani
tersebut palsu karena petani mengeluh panen mereka gagal karena benihnya palsu. Benih
palsu ini yang mengakibatkan mereka gagal panen,” ujar Timbas di Medan, Kamis (7/8).
Timbas mengungkapkan, dugaan benih gratis palsu yang didapat petani sangat wajar
mengingat saat itu kebutuhan benih gratis untuk seluruh petani di Sumut tak bisa dipenuhi
semuanya oleh dua produsen benih, PT Pertani dan PT Sang Hyang Sri. Menurut Timbas,
ada kemungkinan kedua produsen mendapat sebagian benih gratis hasil penangkaran petani
yang kemudian diberi label sebagai benih produksi PT Pertani maupun PT Sang Hyang Sri.
”Makanya kami meminta Dinas Pertanian Sumatera Utara melacak kemungkinannya,”
katanya. (BIL)

Berkhas

18

Volume VI Agustus 2008

Kompas

Jumat, 08 Agustus 2008

Ke k e r inga n Te r pa r a h 5 Ta hun I ni
Puso di Ja ba r 4 8 .7 2 0 H e k t a r
Jumat, 8 Agustus 2008 | 03:00 WIB
Bandung, Kompas - Kekeringan yang melanda areal tanaman padi di Jabar kian meluas.
Hingga akhir Juli 2008, lahan yang kekeringan 126.986 hektar. Dari luas itu, 48.720 ha di
antaranya puso atau gagal panen. Jika rata-rata produksi 1 ha adalah 5 ton gabah kering
giling, total kehilangan akibat puso 243.600 ton.
Adapun kekeringan yang melanda di Jawa Tengah mengakibatkan 6.870 ha tanaman padi
puso. Jika rata-rata 1 ha lahan pertanian menghasilkan 5,22 ton gabah kering giling (GKG),
jumlah produksi yang gagal 35.861,4 ton GKG atau 20.030,8 ton beras.
Berdasarkan data dari Dinas Pertanian (Dispertan) Jabar, Kamis, areal pertanian yang
mengalami kekeringan kategori berat seluas 25.386 ha. Luas areal tanaman padi yang
kekeringan pada 2008 lebih besar daripada 2007. Pada 2007 luas kekeringan 98.345 ha,
sedangkan tanaman padi yang puso 35.861 ha.
Dari 20 kabupaten/kota di Jabar yang kekeringan, Kabupaten Indramayu mengalami
kekeringan terparah dengan luas 40.874 ha. Dari jumlah itu, 6.790 ha termasuk kategori
kekeringan berat dan 22.870 ha puso.
Dispertan Jabar memperkirakan luas areal tanaman padi yang puso pada 2008 mencapai
50.000 ha. Jumlah itu di atas rata-rata puso selama lima tahun ini, sekitar 35.000 ha.
Koordinator Petugas Penyuluh Pertanian Dispertan Jabar, Ues Herdiana, di Bandung, Kamis,
mengatakan, luas areal tanam di Jabar sejak Januari-Juni 2008 mencapai 1.022.491 ha.
Adapun target akselerasi peningkatan produksi padi Dispertan pada tahun ini 10.551.368 ton
GKG. Namun melihat kondisi sekarang, estimasi produksi padi Dispertan yakni 10.532.474
ton GKG.
Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Indramayu Apas Fahmi mengakui, kekeringan tahun
ini lebih parah daripada beberapa tahun sebelumnya. Namun, ia tetap optimistis produksi
padi Jabar dapat tercapai. ”Meskipun produksi padi di Indramayu menurun, di wilayah lain
pasti ada yang surplus,” katanya.
Penurunan produksi padi di Indramayu, menurut Apas, diperkirakan 10 persen. Rata-rata
produksi padi Indaramayu mencapai 1,2 juta ton GKG per tahun.
Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Jateng mencatat, jumlah persediaan
beras di Provinsi Jateng hingga Juni 2008 surplus 1,93 juta ton. Jumlah itu berasal dari
realisasi jumlah produksi beras sebesar 3,33 juta ton dikurangi konsumsi masyarakat 1,4 juta
ton.
Tak pengaruhi stok
Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Jateng Aris Budiono, Kamis,
mengatakan, kekeringan di 25 kabupaten tak terlalu memengaruhi stok pangan. ”Itu bisa
dibandingkan dari keseluruhan luas panen dengan luas lahan yang puso akibat kekeringan,”
ujarnya. Luas panen hingga Juni 1,09 juta ha, sedangkan lahan yang puso 6.870 ha.
Menurut Aris, kekeringan itu memang tidak signifikan dalam memengaruhi stok pangan
secara regional, tetapi berdampak secara ekonomis terhadap petani yang bersangkutan.
”Bagi petani yang lahannya puso pasti akan terasa karena menanggung kerugian,” katanya.

Berkhas

19

Volume VI Agustus 2008

Kompas

Jumat, 08 Agustus 2008

Di Kabupaten Brebes, 603 ha tanaman padi kekeringan dan 91 ha di antaranya puso.
Di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, musim kering ini dinilai tak memengaruhi ketahanan
pangan. Kepala Subdinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian Gresik Agus
Djoko Waluyo, Kamis, mengatakan, stok pangan aman karena pada musim panen JanuariFebruari produksi melebihi target. Dari target produksi rata-rata 6,1 ton per ha terealiasasi 6,8
ton dengan luas tanam padi 53.000 ha.
Kekeringan juga membuat tanaman padi puso di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, terus
bertambah. Saat ini sudah 147 ha lahan padi yang mengalami puso. Akibatnya, produksi
gabah 1.061 ton atau setara dengan 615 ton beras. (gre/ilo/aci/eny/wie)

Berkhas

20

Volume VI Agustus 2008

Kompas

Jumat, 08 Agsutus 2008

Sist e m Ta na m Ae r ob D ongk r a k Pr oduk si Pa di
Jumat, 8 Agustus 2008 | 00:52 WIB
Sungguminasa, Kompas - Penanaman padi dengan sistem Intensifikasi Padi Aerob
Terkendali Berbasis Organik diujicobakan di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, dan
hasilnya dipanen Kamis (7/8). Sawah yang ditanami padi dengan sistem itu menghasilkan
rata-rata 7 ton gabah kering giling per hektar, sekitar 52 persen di atas produktivitas rata-rata
sistem padi tradisional di Gowa yang 4,6 ton GKG per hektar.
Uji coba Intensifikasi Padi Aerob Terkendali (IPAT) Berbasis Organik (BO) itu dilakukan di 16
hektar sawah yang tersebar di delapan kecamatan di Gowa dan ditanam pada akhir April lalu.
Varietas padi yang digunakan dalam uji coba adalah cigeulis.
Kemarin dilakukan panenan pertama di sawah yang berada di Desa Bontobiraeng Selatan,
Kecamatan Bontonompo. Panen dilakukan oleh Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin
Limpo, Panglima Kodam VII/Wirabuana Mayor Jenderal TNI Djoko Susilo Utomo, Asisten
Deputi Ilmu Hayati Kementerian Negara Riset dan Teknologi Prasetyo Sunaryo, serta Bupati
Gowa Ichsan Yasin Limpo.
Setelah ditimbang, Kepala Subdinas Produksi Padi Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan
Hortikultura Gowa Abdul Rauf Bilal menyatakan, produktivitas dua blok sawah uji coba
masing-masing 6,52 ton dan 7,62 ton gabah kering giling (GKG).
Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo mengatakan, hasil itu jauh lebih banyak dari rata-rata
produktivitas sawah tradisional. ”Dengan hasil itu, kami akan membuat sawah uji coba 2
hektar di 167 desa di Gowa,” katanya.
Hemat pupuk dan benih
Dengan sistem IPAT BO, petani cukup menanam serumpun padi di setiap lubang
penanaman. Ichsan menyatakan, karena IPAT BO mengontrol penggunaan air secara
ketat—sawah hanya dibiarkan becek tanpa tergenang— sistem penanaman itu lebih hemat
pupuk dan benih.
Gubernur Sulsel berjanji akan membantu menyediakan bibit dan pupuk bagi uji coba sistem
tanam IPAT BO di 167 desa di Gowa. (row)

Berkhas

21

Volume VI Agustus 2008

Kompas

Senin, 11 Agutsus 2008

Kekeringan

Air I r iga si Pe r t a nia n D igilir
Senin, 11 Agustus 2008 | 01:31 WIB
Ogan Komering Ulu Timur, KompasPetani di Kecamatan Belitang, Kabupaten Ogan
Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan, menerapkan sistem bergiliran air irigasi dari
Bendungan Komering ke lahan pertanian sebagai upaya mengatasi dampak kekeringan.
Demikian kesimpulan dari