TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP KEJAHATAN PENCABULAN OLEH PELAKU DIFABEL : STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI NGAWI NO.19/PID.SUS/2013/PN.Ngw.

(1)

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP KEJAHATAN

PENCABULAN OLEH PELAKU DIFABEL

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Ngawi No.19/Pid.Sus/2013/PN.Ngw)

SKRIPSI OLEH SOFI ARIANI

C03212058

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam

Prodi Hukum Pidana Islam

Surabaya

2016


(2)

SKRIPSI

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Syariah dan Hukum

Oleh

Sofi Ariani

NIM. C03212058

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam

Prodi Hukum Pidana Islam

Surabaya


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

vii 

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Kejahatan Pencabulan Oleh Pelaku Difabel (Studi Putusan Pengadilan Negeri Ngawi No.19/Pid.Sus/2013/PN.Ngw)” ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut: pertama, bagaimana pertimbangan hukum hakim terhadap kejahatan pencabulan oleh pelaku difabel dalam putusan No.19/Pid.Sus/2013/PN.Ngw?; kedua, bagaimana analisis hukum pidana Islam terhadap kejahatan pencabulan oleh pelaku difabel dalam putusan No.19/Pid.Sus/2013/PN.Ngw?

Penelitian yang dilakukan penulis ini dihimpun melalui dokumen kasus tersebut yang terkait dengan pokok permasalahannya, yang kemudian dianalisis dengan menggunakan pola pikir deduktif, yaitu pendekatan yang berangkat dari kebenaran umum mengenai suatu fenomena dan menggenaralisasi kebenaran tersebut pada suatu peristiwa atau data tertentu yang berciri sama dengan fenomena yang bersangkutan.

Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa pertimbangan hakim terhadap No.19/Pid.Sus/2013/PN.Ngw berdasarkan hal-hal yang memberatkan yaitu: perbuatan terdakwa tersebut telah meresahkan masyarakat dan hal-hal yang meringankan terdakwa, yaitu bahwa terdakwa dipersidangan bersikap sopan dan terdakwa menyesali perbuatannya sehingga tidak akan mengulangi lagi perbuatannya tersebut. Dalam pandangan hukum pidana Islam terhadap kejahatan pencabulan yang dilakukan oleh pelaku difabel dalam putusan No.19/ Pid.Sus/2013/PN.Ngw termasuk perbuatan mendekati zina karena dalam pencabulan itu tidak sampai memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin wanita, melainkan perbuatan pencabulan yang dilakukan adalah meraba-raba vagina atau alat kelamin si korban. Dengan demikian tindakan pelaku terhadap perbuatan cabul tersebut tergolong dalam jari>mah ta‘zīr, jari>mah yang diancam dengan hukuman ta‘zīr yaitu hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’ melainkan diserahkan kepada ulil amri atau penguasa, baik penentuan maupun pelaksanaanya.

Sejalan dengan kesimpulan diatas, maka hendaknya aparat penegak hukum terutama para hakim lebih mempertimbangkan dalam segala hal untuk memberikan putusan terhadap kasus pencabulan anak yang dilakukan oleh orang difabel. Bagi masyarakat, sebagai warga negara serta orang tua bagi anak-anaknya diharapkan lebih cermat dalam mengawasi anak dalam kesehariannya dan mampu memberikan cerminan yang baik serta memberikan pembelajaran moral kepada anaknya sehingga tidak akan terjadi lagi perbuatan-perbuatan yang merugikan bahkan dapat merusak masa depan anak-anaknya tersebut.


(8)

xi

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Kajian Pustaka ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 11

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 12

G. Definisi Operasional ... 12

H. Metode Penelitian ... 14

I. Sistematika Pembahasan ... 17

BAB II PENCABULAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM ... 19

A. Tindakan Kriminal Dalam Hukum Pidana Islam ... 19

1. Pengertian Jari>mah ... 19

2. Jenis-Jenis Jari>mah ... 21

3. Hukuman (‘Uqu>bah) ... 30

B. Pencabulan Dalam Hukum Pidana Islam ... 33

1. Pengertian Pencabulan... 33

2. Unsur-Unsur Cabul ... 44

C. Difabel Dalam Hukum Islam ... 45


(9)

xii

2. Klasifikasi Difabel ... 48

3. Pandangan Hukum Islam Terhadap Difabel ... 51

BAB III PUTUSAN PENGADILAN NEGERI NGAWI NO.19/Pid. Sus/ 2013/PN.NGW TERHADAP PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH PELAKU DIFABEL ... 55

A. Para Pihak Dalam Pencabulan yang Dilakukan Oleh Pelaku Difabel ... 55

B. Kronologi Kasus Kejahatan Pencabulan yang Dilakukan Oleh Pelaku Difabel ... 56

C. Pertimbangan Hakim Tentang Kasus Kejahatan Pencabulan yang Dilakukan Oleh Pelaku Difabel ... 63

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI NGAWI NO. 19/Pid. Sus/2013/PN. NGW TENTANG PENCABULAN OLEH PELAKU DIFABEL ... 71

A. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim terhadap Kejahatan Pencabulan Oleh Pelaku Difabel ... 71

B. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Kejahatan Pencabulan Oleh Pelaku Difabel ... 77

BAB V PENUTUP ... 82

A. Kesimpulan ... 82

B. Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 84


(10)

   

A. Latar Belakang Masalah

Potensi terjadinya kejahatan dalam kehidupan manusia senantiasa berkembang seiring dengan tumbuh kembangnya manusia, yang mana merupakan persoalan yang dialami manusia dari waktu ke waktu. Semakin modern peradaban manusia semakin besar pula potensi kejahatan itu terjadi, jika manusia tersebut tidak mempunyai landasan yang kuat untuk mencegah terjadinya kejahatan.

Akhir-akhir ini yang sangat miris sekali banyaknya perlakuan yang tidak sopan dan tidak layak untuk dilakukan terhadap anak-anak marak terjadi. Kejahatan tersebut adalah “pencabulan” suatu kejahatan yang sangat sulit dihindari pada era sekarang, karena begitu dekatya hubungan para pelaku dengan korban. Entah, mereka itu adalah saudara, tetangga, guru, bahkan orang tua kandungnya pun bisa melakukan hal tersebut. Ditambah lagi dengan berkembangnya akses internet pada kalangan anak-anak yang bukan merupakan hal asing bagi mereka, sebab dalam hal itu anak-anak dapat mengakses informasi seluas-luasnya tidak ada batasan bahwa situs-situs porno tidak akan keluar saat mereka sedang mengakses, itu tidak mungkin sekali. Maka untuk itu dampingan orang tua sangat dibutuhkan dalam era modern saat ini dan pembatasan mengenai hal-hal seperti perkenalan alat-alat vital yang tidak boleh semua orang mengetahui dan melihat miliknya kecuali orang tua juga perlu ditanamkan dalam pemahaman mereka.


(11)

   

Menurut R.Soesilo, perbuatan cabul adalah perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji, semuanya itu dalam ruang lingkup membangkitkan nafsu birahi kelamin. Misalnya: cium-ciuman, meraba-raba

anggota kemaluan, meraba-raba buah dada.1

Pencabulan ini sebenarnya terjadi karena tidak terpenuhinya kebutuhan vital (seksual) pada manusia dan jika kebutuhan ini tidak terpenuhi dapat mendatangkan gangguan kejiwaan dalam bentuk tindakan abnormal. Bila

dilihat dari sudut pandang ilmu psikologi pendidikan, yang dimaksud dengan

tingkah laku abnormal itu ialah tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma tertentu dan dirasa mengganggu orang lain atau perorangan.

Menurut Sarlito Wirawan tindakan abnormal (perilaku penyimpangan seksual dan perilaku penyimpangan etika seksual) itu dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Perilaku penyimpangan seksual karena kelainan pada obyek. Pada penyimpangan ini dorongan seksual yang dijadikan sasaran pemuasan lain dari biasanya. Pada manusia normal objek tingkah laku seksual pasangan dari lawan jenisnya, tetapi pada penderita perilaku penyimpangan seksual obyeknya bisa berupa orang dari jenis kelamin berbeda, melakukan hubungan seks dengan hewan (betiality), dengan mayat (necrophilia), sodomi, lesbians, homoseksual, dan pedophilia. b. Perilaku penyimpangan etika seksual karena kelainan pada caranya.

Penyimpangan jenis ini dorongan seksual yang dijadikan sasaran pemuasan seksual tetap lawan jenis, tetapi caranya bertentangan dengan norma-norma kesusilaan dan etika, yang termasuk perilaku penyimpangan etika seksual jenis ini ialah perzinahan, perkosaan, pencabulan, hubungan seks dengan saudaranya (muhrim) sendiri,

melacur dan sejenisnya.2

Mengenai masalah yang berhubungan dengan kejahatan pencabulan

      

R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentarnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya), 212. 


(12)

diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada bab ٰIV buku ke-II yakni dimulai dari pasal 289-296 KUHP yang dikategorikan

sebagai kejahatan terhadap kesusilaan.3 Sesuai dengan semakin maraknya

perbuatan pencabulan di Inonesia terhadap anak-anak, maka pemerintah menanggapi fenomena yang terjadi di tanah air dengan mengeluarkan UU RI No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan kemudian diperbaruhi dengan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang salah satunya mengatur hak-hak anak dan memberikan sanksi bagi setiap pelaku pencabulan yang berhubungan dengan seksual.

Sebagaimana yang ada dalam UU RI. No. 23 tahun 2002 Pasal 81 Ayat (1) tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp

60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”4

Ketentuan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp

60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”5

Sedangkan bentuk perbuatan pencabulan dalam pandangan Islam masuk

      

Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 102.  

Pasal 81 ayat (1) Undang-undang Tentang Perlindungan Anak 


(13)

   

kategori zina karena pencabulan itu bagian atau menuju perzinahan

sebagaimana firman Allah swt. yang terdapat dalam surat al-Israayat 32 :

ۡﻘﺗ

ۖٓﻰﻧﺰﻟ

ﻪﱠﻧﺇ

ۥ

ﻥ ﻛ

ٗﺔﺸﺤ

ٓﺳ

ء

ٗ ﻴ ﺳ

Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu

adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.6

Namun di sini jika klasifikasi dari unsur pencabulan tidak seperti unsur melakukan perbuatan zina yang mana apabila persetubuhan tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam hal zina, yang mempunyai pengertian menurut

pendapat hanafiyah adalah {{{{persenggamaan yang dilakukan seorang

laki-laki terhadap perempuan pada vaginanya perempuan tersebut bukan miliknya

atau bukan karena adanya keserupaan milik (shubhat al-milk){{{.7 Maka hal

tersebut tidak dianggap sebagai zina yang dikenai hukuman h}add, melainkan

hanya tergolong kepada perbuatan maksiat yang diancam dengan hukuman

ta‘zīr, walaupun perbuatannya itu merupakan pendahuluan dari zina.

Contohnya seperti mufa>khadzah (memasukkan penis diantara dua paha), atau

memasukkannya kedalam mulut, atau sentuhan-sentuhan diluar farji. Demikian pula perbuatan maksiat lainnya yang juga merupakan pendahuluan

dari zina dikenai hukuman ta‘zīr. Contohnya seperti ciuman, berpelukan,

bersunyi-sunyi dengan wanita asing (bukan muhrim), atau tidur bersamanya dalam satu ranjang. Perbuatan-perbuatan ini dan semacamnya merupakan rangsangan terhadap perbuatan zina suatu perbuatan maksiat yang harus

      

6Departemen Agama Republik Indonesia, al-quran dan terjemahnya, (Bandung: TB. Lubuk Agung, 1971), 429. 


(14)

dikenai hukuman ta‘zīr.8

Sayang sekali saat ini, ternyata kejahatan pencabulan tersebut tidak hanya melukai korban terhadap anak-anak yang fisiknya normal saja tetapi banyak juga terhadap anak-anak penyandang cacat fisik (difabel). Penyandang disabilitas cukup banyak variannya, diantaranya adalah tuna netra, tuna rungu,

tuna wicara, tuna daksa, tuna grahita, mental retarted9 dan beberapa lainnya.

Penyandang disabilitas itu bermacam-macam dan masing-masing memiliki kebutuhan yang serba khusus. Menurut para pelaku dengan mereka mencabuli anak-anak penyandang cacat fisik tersebut mereka akan jauh dari jeratan hukum karena keterangan dari anak-anak penyandang cacat tersebut terlalu

minim bahkan sulit untuk dijadikan sebagai pembelaan dalam pembuktian.10

Kasus pencabulan yang harus diterima oleh kaum rentan seperti kaum difabel, memang sering terjadi. Sayangnya, kasus-kasus seperti ini seringkali tak banyak diketahui oleh masyarakat. Stigma masyarakat yang masih meminggirkan kaum difabel. Maka dari itu kasus tersebut bagi perempuan difabel sangat penting untuk mulai mendapatkan perhatian khusus. Hal ini dikarenakan sampai dengan saat ini, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan difabel yang sebenarnya sangat sering terjadi ini justru sangat jarang memperoleh perhatian dari pembela hukum, para penegak hukum maupun masyarakat secara luas. Adanya faktor pemahaman yang salah dari keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat maupun lembaga penegak hukum

      

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 8.  

9Tuna rungu retarted artinya terbelakang, yaitu keadaan tubuh seseorang dengan cacat jiwanya yaitu keterbelakang mental. 

M. Syafi’e, “Hukum Tak Mengerti Penyandang Disabilitas”, PLEDOI, (Edisi Januari-Februari,


(15)

   

terhadap difabel juga menjadi tidak terselesaikannya kasus tersebut.11

Dari keterangan-keterangan diatas telah diketahui bahwa ternyata sering sekali terjadinya kejahatan pencabulan terhadap perempuan difabel atau korbannya adalah anak difabel. Namun jarang sekali terangkat suatu kasus dimana pelakunya adalah difabel, maka dari itu penulis tertarik untuk menelitinya dengan mengangkat permasalahan di Pengadilan Negeri Ngawi.

Contoh nyata kasus yang terjadi di Provinsi Jawa Timur, berdasarkan data di Pengadilan Negeri Ngawi dapat diketahui bahwa telah terjadi tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh orang difabel, dalam putusan perkara Pengadilan Negeri Ngawi Nomor 19/Pid.Sus/2013/PN.Ngw. Dalam kasus tersebut, terdakwa Widodo bin Sukiran yang berusia 37 tahun dengan kondisi fisik difabel kategori tuna rungu dinyatakan telah dengan sengaja membujuk anak untuk melakukkan perbuatan cabul dengannya terhadap saksi korban yang masih berumur 3 tahun. Dimana korban diajak oleh widodo untuk masuk ke dalam kamar dan diberi uang Rp. 2000,- (dua ribu rupiah) setelah itu widodo meraba-raba kemaluan sang korban.

Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, yaitu mengenai kejahatan pencabulan yang dilakukan oleh orang difabel, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut di Pengadilan Negeri Ngawi. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim yang digunakan dalam memutuskan perkara kejahatan pencabulan yang dilakukan oleh difabel sudah sesuaikah

      


(16)

dengan perundang-undangan yang berlaku, serta ditinjau dari hukum pidana Islam tentang perkara tersebut. Itulah yang menarik perhatian peneliti serta menjadi alasan bagi peneliti untuk menulis judul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Kejahatan Pencabulan Oleh Pelaku Difabel (Studi Putusan Pengadilan Negeri Ngawi No.19/Pid.Sus./2013/PN.Ngw)”.

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

Dari latar belakang tersebut dapat diidentifikasi beberapa masalah yang dapat dijadikan bahan penelitian diantaranya:

1. Faktor yang melatarbelakangi terjadinya kejahatan pencabulan yang

dilakukan oleh difabel.

2. Pandangan hukum positif terhadap kejahatan pencabulan yang dilakukan

oleh difabel.

3. Pandangan hukum Islam terhadap kejahatan pencabulan yang dilakukan

oleh difabel.

4. Sanksi pidana bagi pelaku difabel yang terlibat dalam kejahatan

pencabulan dalam pandangan hukum positif.

5. Sanksi pidana bagi pelaku difabel yang terlibat dalam kejahatan

pencabulan dalam pandangan hukum pidana Islam.

6. Pertimbangan hukum hakim dalam putusan Nomor: 19/ PID.Sus/

2013/PN.Ngw bagi pelaku difabel yang terlibat dalam kejahatan pencabulan.

7. Analisis hukum pidana Islam terhadap kejahatan pencabulan yang


(17)

   

Dari masalah-masalah yang dapat diidentifikasi tersebut, maka penulis membatasi permasalahan yang akan dibahas yaitu:

1. Pertimbangan hukum hakim dalam putusan Nomor: 19/ PID.Sus/ 2013/

PN.Ngw terhadap kejahatan pencabulan yang dilakukan oleh difabel.

2. Analisis hukum pidana Islam terhadap kejahatan pencabulan yang

dilakukan oleh difabel dalam putusan No.19/ PID.Sus / 2013/ PN.Ngw.

C. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, agar lebih praktis dan opeasional, maka penulis mengambil rumusan masalah dalam beberapa bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana pertimbangan hukum hakim terhadap kejahatan pencabulan

oleh pelaku difabel dalam putusan No.19/ PID.Sus/ 2013/PN.Ngw?

2. Bagaimana analisis hukum pidana Islam terhadap kejahatan pencabulan

oleh pelaku difabel dalam putusan No.19/ PID.Sus/ 2013/PN.Ngw?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/ penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian penelitian yang telah ada.12

      

12Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan


(18)

Penulisan skripsi mengenai tindak pidana pencabulan telah banyak yang menulis, diantaranya adalah:

Skripsi yang ditulis oleh Sholihudin jurusan SJ (Siyasah Jinayah) tahun 2004 berjudul “Pandangan Hukum Islam Terhadap Sanksi Perbuatan Cabul/Asusila Orang Tua Kepada Anaknya (Telaah Atas Pasal 294 KUHP Tentang Perbuatan Cabul/Asusila Orang Tua Kepada Anaknya)”. Inti dari skripsi itu menyebutkan bahwa sanksi pencabulan yang dilakukan orang tua kepada anaknya diatur dalam KUHP dengan jelas. Akan tetapi perlu adanya pertimbangan untuk menjatuhkan sanksi atau membuat sanksi baru bagi pelaku perbuatan cabul, terutama perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang tua dalam hukum Islam. Dalam tinjauan hukum Islam, perbuatan cabul termasuk perbuatan zina muhsan, dan pelakunya dapat dirajam sampai mati. Hukum Islam menilai perlu adanya penambahan sanksi bagi pelaku perbuatan cabul yang tercantum dalam Pasal 294 KUHP. Penambahan sanksi dalam hukum Islam diharapkan dapat mengurangi tindak pidana pencabulan yang

dilakukan ayah kepada anaknya.13

Skripsi lainnya yang ditulis oleh Iqbal Tawakal jurusan SJ (Siyasah Jinayah) tahun 2009 berjudul “Putusan Pengadilan Negeri Surabaya N0.33/Pid.B/2008/PN.Sby Dalam Perspektif UU N0.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Hukum Pidana Islam”. Inti dari skripsi itu membahas putusan hakim dalam memutuskan perkara No.33/Pid.B/2008/PN.Sby ditinjau dari UU perlindungan anak dan hukum pidana Islam. ٱang mana dalam

      

Sholihudin, “Pandangan Hukum Islam Terhadap Sanksi Perbuatan Cabul/Asusila Orang Tua Kepada Anaknya (Telaah Atas Pasal 294 KUHP Tentang Perbuatan Cabul/Asusila Orang Tua Kepada Anaknya)”, (Skripsi--IAIN Sunan Ampel 2004). 


(19)

   

memutuskan hukuman bagi pelakunya hakim menjatuhi dengan hukuman yang relatif ringan yaitu 6 (Enam) Bulan Penjara dan denda Rp. 1.000,- (Seribu Rupiah). Padahal dalam UU No. 23 tahun 2002 hukuman yang diterapkan minimal 3 tahun bagi pelakunya. Sedangkan dalam hukum pidana Islam yang tidak mengesampingkan kepentingan masyarakat dan suka

kedamaian, maka anak di bawah umur dapat dijatuhi hukuman ta‘zīr atau

hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa (maksiat).14

Kemudian skripsi yang ditulis oleh Musahab jurusan SJ (Siyasah Jinayah) tahun 2013 berjudul “Tinjauan Fiqh Jinayah Terhadap Pidana Cabul Kepada Anak di Bawah Umur Menurut Pasal 294 KUHP dan Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002”. Inti dari skripsi itu lebih memfokuskan pada kajian bagaimana fiqh jinayah memandang sanksi terhadap pelaku cabul berdasar pasal 294 KUHP dan pasal 82 UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.15

Begitu banyak kajian yang membahas tentang kejahatan pencabulan terhadap anak-anak. Akan tetapi semua itu berbeda dengan kajian yang akan dibahas oleh penulis nantinya karena penulis lebih menekankan pada analisis putusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman bagi pelaku kejahatan pencabulan yang dilakukan oleh difabel disamakan dengan pelaku-pelaku yang non difabel atau normal, keadaan fisik yang demikian tidak dicantumkan

      

Iqbal Tawakal, “Putusan Pengadilan Negeri Surabaya N0.33/Pid.B/2008/PN.Sby Dalam Perspektif UU N0.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Hukum Pidana Islam”, (Skripsi--IAIN Sunan Ampel 2009). 

15Musahab, “Tinjauan Fiqh Jinayah Terhadap Pidana Cabul Kepada Anak di Bawah Umur Menurut Pasal 294 KUHP dan Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002”, (Skripsi--IAIN Sunan Ampel 2013).  


(20)

sebagai hal yang meringankan sedangkan menurut hukum pidana Islam keadaan yang demikian menjadi hal yang dapat meringankan hukuman bagi pelaku.

E. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui tentang pertimbangan hukum hakim terhadap

kejahatan pencabulan oleh pelaku difabel dalam putusan No.19/ PID.Sus/ 2013/PN.Ngw.

2. Untuk mengetahui tentang analisis hukum pidana Islam terhadap

kejahatan pencabulan oleh pelaku difabel dalam putusan No.19/ PID.Sus/ 2013/PN.Ngw.

F. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sekurang-kurangnya untuk:

1. Aspek Keilmuan (Teoritis)

a. Sebagai upaya bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya

dibidang tindak pidana Islam yang berkaitan dengan masalah pencabulan yang dilakukan oleh difabel.


(21)

   

b. Hasil studi ini bisa dijadikan sebagai acuan untuk penelitian

berikutnya agar lebih mudah terutama yang berkaitan dengan pencabulan yang dilakukan oleh difabel.

2. Aspek Terapan (Praktis)

Hasil studi ini dapat dijadikan sebagai sumbangan informasi bagi masyarakat tentang betapa pentingnya perlindungan terhadap anak dari segala kekerasan terutama kejahatan pencabulan dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan, penyuluhan khususnya bagi penegak hukum di Pengadilan Negeri Ngawi serta bagi praktisi hukum pada umumnya.

G. Definisi Operasional

Adapun untuk mempermudah gambaran yang jelas dan konkrit tentang permasalahan yang terkandung dalam konsep penelitian ini, maka perlu

dijelaskan makna yang terdapat dalam penelitan ini, “Tinjauan Hukum Pidana

Islam Terhadap Kejahatan Pencabulan oleh pelaku difabel (Studi Putusan Pengadilan Negeri Ngawi No.19/Pid.Sus./2013/PN.Ngw)” definisi operasional

dari judul tersebut adalah:

1. Analisis hukum pidana Islam adalah analisis terhadap larangan syara'

yang dijatuhi sanksi oleh pembuat syariat (Allah) dengan hukuman hadd atau ta‘zīr.16 Hukum pidana Islam yang dimaksud dalam tulisan ini

adalah hukum pidana Islam yang dinyatakan oleh empat madzhab fikih yang terkenal yaitu madzhab malikiyah, hanabilah, syafi’i dan

      


(22)

hanafiyah.

2. Pencabulan adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan

(kesopanan) atau perbuatan keji, semua itu dalam ruang lingkup membangkitkan nafsu birahinya kelamin seperti: cium-ciuman,

meraba-raba anggota kemaluan, memeraba-raba-meraba-raba buah dada.17 Dalam tulisan ini

yang dimaksud tindakan pencabulannya adalah si pelaku meraba-raba kemaluan korban dengan menggunakan tangan kanannya.

3. Difabel adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental,

intelektual, atau sensorik, membutuhkan jangka waktu lama dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif

berdasarkan kesamaan hak.18 Dalam tulisan ini yang dimaksud pelaku

difabel adalah orang dewasa yang berusia 37 tahun dan termasuk dalam difabel tuna rungu.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Penelitian ini sendiri berarti sebagai sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina, serta

mengembangkan ilmu pengetahuan.19 Metode penelitian dalam hal ini akan

mengarahkan penelitian tersebut untuk dapat mengungkap kebenaran secara sistematis dan konsisten.

1. Data ٱang Dikumpulkan

      

17R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentarnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya), 212.   18UU No. 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak 


(23)

   

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa:

a. Data tentang putusan Pengadilan Negeri Ngawi dengan Nomor: 19/

Pid.Sus/2013/PN.Ngw.

b. Hukum pidana Islam beserta ketentuan-ketentuan pidananya.

2. Sumber Data

a. Sumber primer

Data primer adalah data penelitian langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang diteliti.20 Data primer yang didapat

adalah: Salinan putusan pengadilan negeri Ngawi

No.19/Pid.Sus/2013/ PN.Ngw.

b. Sumber sekunder

Sumber Sekunder yaitu data yang mendukung atau data tambahan bagi data primer. Data sekunder merupakan data yang tidak langsung diperoleh peneliti dari subyek penelitian.21 Sumber

data sekunder berupa kitab-kitab atau bahan bacaan lain yang memiliki keterkaitan dengan bahan skripsi, misalnya:

1) Abdurrahman al-Maliki, Sistem Sanksi Dalam Islam, (Bogor:

Pustaka Thariqul Izzah, 2002).

2) Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka

Cipta, 1993).

3) A.Djazuli, Fiqh jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan

dalam Islam), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1997).

      

20Saifudin Azwar, Metode Penelitian, (ٱogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 91.  21Ibid., 31. 


(24)

4) Neng Djubaedah, Perzinaan (Dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam), (Jakarta:

Kencana, 2010).

5) Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas

Seksual, (Bandung: Mandar Maju, 1985).

6) Sutjihati Soemantri, Psikologi Anak Luar Biasa, (Bandung: PT

Refika Aditama Somantri, 2006).

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam hal ini, teknik yang digunakan adalah record dan

dokumentasi. Record adalah setiap pernyataan tertulis yang disusun oleh

seseorang atau lembaga untuk keperluan pengujian suatu peristiwa atau

menyajikan akunting.22 Penulis menggunakan teknik record yaitu dalam

hal menghimpun data melalui dokumen putusan pengadilan negeri Ngawi No.19/Pid.Sus/2013/PN.Ngw. Kemudian dokumentasi yaitu menghimpun data-data yang menjadi kebutuhan penelitian dari berbagai dokumen yang ada, baik berupa: buku, artikel, koran dan lainnya sebagai data penelitian.23

Karena kategori penelitian ini adalah literatur, maka teknik pengumpulan datanya diselaraskan dengan sifat penelitian.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analsis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik deskriptif analisis, yakni untuk memberikan

      

22Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), 216.  


(25)

   

deskripsi mengenai subyek penelitian berdasarkan data dari variabel yang diperoleh dari kelompok subyek yang diteliti dan tidak

dimaksudkan untuk pengujian hipotesis.24 Maksudnya, menguraikan

kasus tentang hukuman kejahatan pencabulan oleh pelaku difabel yang diputuskan oleh pengadilan negeri Ngawi secara keseluruhan, mulai dari deskripsi kasus sampai dengan isi putusannya dan pertimbangan hakim dalam putusan No.19/Pid.Sus/2013/PN.Ngw. Kemudian kerangka pikir dilakukan dengan pola pikir deduktif, pendeketan yang berangkat dari kebenaran umum mengenai suatu fenomena dan menggeneralisasikan kebenaran tersebut pada suatu peristiwa atau data tertentu yang berciri

sama dengan fenomena yang bersangkutan.25 Maksudnya menganalisis

kasus berdasarkan berkas-berkas yang ada, kemudian merujuk kembali pada ketentuan-ketentuan hukumnya yang dirumuskan dengan ketentuan UU dan hukum tersebut.

I. Sistematika Penelitian

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas pada skripsi ini, penulis akan menguraikan isi uraian pembahasan. Adapun Sistematika pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab dengan pembahasan secara sistematis sebagai berikut:

Bab I, memuat tentang pendahuluan yang terdiri dari, Latar Belakang, Identifikasi dan Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan

      

24Saifuddin Azwar, Metode Penelitian…, 6.  


(26)

Penelitian, Kegunaan Hasil Penelitian, Definisi Operasional, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.

Bab II, bab ini membahas landasan teori tentang tinjauan umum kejahatan pencabulan oleh pelaku difabel dalam hukum pidana Islam diantaranya: Tindak Kriminal Dalam Hukum Pidana Islam, Pencabulan Dalam Hukum Pidana, Definisi Difabel .

Bab III, bab ini merupakan penyajian data, akan dipaparkan mengenai data hasil penelitian yang terdiri atas status dan kewenangan Pengadilan Negeri meliputi: kronologis posisi, isi putusan Pengadilan Negeri Ngawi dan pertimbangan hukum hakim dalam putusan Nomor: 19/PID.Sus/2013/ PN.Ngw.

Bab IV, bab ini merupakan analisis hukum pidana Islam atas putusan Nomor: 19/PID.Sus/2013/PN.Ngw terhadap perkara kejahatan pencabulan oleh pelaku difabel.

Bab V, bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.  


(27)

   

BAB II

PENCABULAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

A. Tindakan Kriminal Dalam Hukum Pidana Islam

1. Penﱡertian Jari>mah

Seۖelum diartikan dalam seﱡi hukum Islam, sedikit akan penulis paparkan terleۖih dahulu dari seﱡi hukum positiﱠ ۖahwa peristiwa pidana yanﱡ juﱡa diseۖut tindak pidana (delict) seۗara etimoloﱡis terdiri dari dua kata, yaitu kata tindak dan kata pidana. Kata tindak artinya perۖuatan, tindak tanduk (tinﱡkah laku), lelakon (kelakuan) sedanﱡkan kata pidana ۖerarti kejahatan kriminal dan pelanﱡﱡaran.1 Dalam penﱡertian lain tindak

pidana adalah suatu perۖuatan atau ranﱡkain perۖuatan yanﱡ dilaranﱡ oleh suatu aturan hukum disertai anۗaman (sanksi) ۖerupa pidana tertentu, ۖaranﱡsiapa melanﱡﱡar laranﱡan terseۖut.2 Sedanﱡkan menurut Mr. Tresna

yanﱡ dikutip oleh A. Wardi Musliۗh ﺳperistiwa pidana adalah ranﱡkaian perۖuatan manusia yanﱡ ۖertentanﱡan denﱡan undanﱡ-undanﱡ atau peraturan perundanﱡan lainnya yanﱡ dianۗam denﱡan tindakan penﱡhukuman.ﺴ3 Maka dapat dikatakan ۖahwa ۖaranﱡsiapa melanﱡﱡar

suatu aturan hukum yanﱡ ۖerlaku sudah tentu akan dikenai hukum pidana jika hal itu memenuhi unsur-unsur pidananya.

      

1Poerwa Darminto WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), 499.  2Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 54. 

3Ahmad Wardi Musliۗh, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar


(28)

Dilihat dari seﱡi hukum pidana Islam kata jari>mah seۗara ۖahasa menﱡandunﱡ arti ۖerۖuat salah, perۖuatan ۖuruk, jelek atau dosa.4 Seۗara

harﱠiah ada yanﱡ menﱡatakan sama halnya denﱡan penﱡertian jina>yah, untuk itu akan penulis paparkan penﱡertian dari jina>yah. Jina>yah memiliki makna sempit sejajar denﱡan al-qis}as}, al-dima>’, al-jara>h yaitu ﺳsetiap perۖuatan yanﱡ dilaranﱡ ۖerkenaan denﱡan penﱡaniayaan terhadap tuۖuh dan penﱡhilanﱡan jiwa manusia.ﺴ5 Makna luasnya sejajar

denﱡan makna al-jari>mah yaitu setiap perۖuatan yanﱡ dilaranﱡ ۖaik ۖerkenaan denﱡan tuۖuh, jiwa maupun denﱡan hal-hal lainnya seperti aﱡama, kehormatan, harta, akal dan harta ۖenda.6 Menurut aliran Hanaﱠi

ada pemisahan dalam penﱡertian jina>yah ini, yaitu kata jina>yah hanya diperuntukkan ۖaﱡi semua perۖuatan yanﱡ dilakukan manusia denﱡan oۖjek anﱡﱡota ۖadan dan jiwa saja seperti melukai atau memۖunuh, yanﱡ ۖerkaitan denﱡan oۖjek harta ۖenda dinamakan ghasab.7Sedanﱡkan seۗara istilah jari>mah adalah laranﱡan-laranﱡan syara’ (melakukan hal-hal yanﱡ dilaranﱡ dan atau meninﱡﱡalkan hal-hal yanﱡ diwajiۖkan) yanﱡ apaۖila dikerjakan dianۗam Allah denﱡan hukuman h}add atau ta‘zīr.8

Seۖaﱡaimana halnya jari>mah yanﱡ dikemukakan oleh Imam Al-Mawardi yaitu

      

4Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandunﱡ: CV. Pustaka Setia, 2000), 13.  5A. Djazuli, Fiqh Jinayat, (Jakarta: Raja Graﱠindo Persada, 1996), 1. 

6Iۖid. 

7Rahmat Hakim, Hukum Pidana ..., 14.  8Iۖid. 


(29)

   

Artinya: Jari>mah adalah perۖuatan-perۖuatan yanﱡ dilaranﱡ oleh syara’ yanﱡ dianۗam oleh Allah denﱡan hukuman h}add atau ta‘zīr.9

Adapun melakukan perۖuatan yanﱡ dilaranﱡ ۗontohnya seoranﱡ memukul oranﱡ lain denﱡan ۖenda tajam yanﱡ menﱡakiۖatkan luka atau meninﱡﱡal dunia. Contoh jari>mah ۖerupa meninﱡﱡalkan perۖuatan yanﱡ diperintahkan ialah seoranﱡ suami tidak memۖerikan naﱠkah yanﱡ ۗukup ۖaﱡi keluarﱡanya.

Dari uraian diatas dapat penulis amۖil kesimpulan ۖahwa kedua istilah itu memiliki kesamaan yanﱡ terletak pada arti serta ditunjukan ۖaﱡi perۖuatan yanﱡ ۖerkonotasi neﱡatiﱠ, salah atau dosa. Sedanﱡkan perۖedaannya terletak pada arah pemۖiۗaraan seperti jari>mah identik denﱡan satuan atau siﱠat dari suatu pelanﱡﱡaran hukum (jari>mah pemۖunuhan, jari>mah penۗurian) sedanﱡkan jina>yah ditujukan ۖaﱡi seﱡala sesuatu yanﱡ ada sanﱡkut pautnya denﱡan kejahatan manusia dan tidak ditujukan ۖaﱡi satuan perۖuatan dosa tertentu (fiqih jina>yah). Maka deﱠinisi jari>mah adalah suatu perۖuatan yanﱡ dilaranﱡ oleh syara’ dan jika dikerjakan akan dikenai hukuman, sejalan denﱡan penﱡertian

jari>mah dari seﱡi hukum positiﱠ yaitu suatu perۖuatan yanﱡ melanﱡﱡar

aturan ۖerlaku akan dikenai hukum pidana jika memenuhi unsur-unsur pidana.

2. Jenis-jenis jari>mah

      

9Aۖu> al-H{asan al-Ma>wardi>, al- Ahka>m as-Sulthaniyyah fi al-Wila>yah ad-Dini>yyah,


(30)

Diantara pemۖaﱡian jari>mah yanﱡ palinﱡ pentinﱡ adalah pemۖaﱡian yanﱡ ditinjau ۖerdasarkan ۖerat rinﱡannya hukuman, para ulama memۖaﱡi

jari>mah ini menjadi tiﱡa jenis yaitu jari>mah h}udu>d, jari>mah qis}as}

dan diyat serta jari>mah ta‘zīr. Adapun penjelasan dari

jari>mah-jari>mah terseۖut seۖaﱡai ۖerikut:

a. Jari>mah H}}udu>d

Jari>mah h}udu>d menurut ۖahasa adalah menahan

(menﱡhukum), sedanﱡkan menurut istilah h}udu>d adalah sanksi ۖaﱡi oranﱡ yanﱡ melanﱡﱡar hukum syara’ denﱡan ۗara didera atau dilempari denﱡan ۖatu hinﱡﱡa mati (rajam). Sanksi terseۖut dapat pula ۖerupa dipotonﱡ tanﱡan seۖelah atau kedua-duanya atau kaki seۖelah atau keduanya, terﱡantunﱡ kepada kesalahan yanﱡ dilakukan.10

Menurut Aۖdul Qadir Audah yanﱡ dikutip A. Wardi Musliۗh ۖahwa jari>mah h}udu>d adalah jari>mah yanﱡ dilakukan seseoranﱡ atau leۖih seoranﱡ yanﱡ dianۗam denﱡan hukuman h}add yaitu hukuman yanﱡ telah ditentukan oleh syara’ dan menjadi hak Allah.11

Dalam jari>mah ini tidak ada pilihan hukuman12, sehinﱡﱡa dalam pelaksanaannya, hukuman terhadap pelaku tindak pidana yanﱡ telah terۖukti ۖerۖuat jari>mah kateﱡori kelompok h{udu>d, akan dijatuhi hukuman sesuai syara’ oleh hakim.13 Maka pemۖerian sanksi

      

10Muhammad Salim, ﺳ Fiqh Jinayah (Jarimah Dalam Islam)ﺴ, http://aﱡama/ Fiqh Jinayah/ Jarimah

Dalam Islam.html, diakses tanﱡﱡal 8 januari 2016. 

11A. Wardi Musliۗh, Hukum Pidana..., ٰ.  

12Tidak ada pilihan hukuman artinya tidak ada ۖatas terendah dan tertinﱡﱡi dan tidak ۖisa

dihapuskan oleh peroranﱡan (ۖaik si korۖan/walinya/masyarakat yanﱡ mewakili).  


(31)

   

ۖaﱡi pelaku jari>mah ini harus ekstra hati-hati, ketat dalam penerapan dan hakim harus terۖeۖas dari syubhat (keraﱡuan) dalam penerapannya. Seۖaﱡaimana kaidah yanﱡ diۖuat oleh para ulama, yaitu: ﺳkesalahan dalam memaaﱠkan ۖaﱡi seoranﱡ imam (hakim) leۖih ۖaik daripada kesalahan dalam menjatuhkan sanksiﺴ, sehinﱡﱡa jika terjadi keraﱡuan, ketidakyakinan, kekuranﱡan ۖukti dan seۖaﱡainya, hindarilah penjatuhan h}udu>d karena ada keraﱡuan (syubhat).14

Para ulama sepakat ۖahwa yanﱡ termasuk di dalam kateﱡori

jari>mah h}udu>d ada tujuh maۗam antara lain:

1) Jari>mah zina

2) Jari>mah qazdaﱠ (menuduh oranﱡ ۖerzina)

3) Jari>mah syurۖ al-khamar atau minum-minuman keras

4) Jari>mah al-ۖaﱡyu (pemۖerontakan)

5) Jari>mah riddah atau keluar dari aﱡama Islam

6) Jari>mah sariqah atau penۗurian

7) Jari>mah hiraۖah atau pemۖeﱡalan15

Dapat disimpulkan dari penﱡertian diatas ۖahwa ۗiri khas jari>mah h}udu>d yaitu:

1) Hukuman h}add tidak mempunyai ۖatas terendah dan ۖatas tertinﱡﱡi karena hukumannya yanﱡ sudah ditentukan oleh syara’. 2) Hukuman h}add tidak ۖisa dihapuskan oleh peroranﱡan (korۖan atau keluarﱡa) atau masyarakat yanﱡ mewakilinya karena hukuman h}add sepenuhnya adalah menjadi hak Allah meski di sisi lain terdapat hak manusia, tetap yanﱡ diutamakan adalah hak Allah.

      

14Jaih Muۖarok dan Enۗenﱡ Ariﱠ Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah: Asas-Asas Hukum Pidana Islam,

(Bandunﱡ: Pustaka Bani Quraisy, 2004), 61-62.  


(32)

ۖ. Jari>mah Qis}as} dan Diyat

Kata Qis}as} dari ۖahasa araۖ memiliki arti ﺳpemۖalasanﺴ.16 Seۗara terminoloﱡi qis}as} yanﱡ dikemukakan oleh Al-Jurjani yanﱡ dikutip oleh A. Rahman yaitu menﱡenakan seۖuah tindakan (sanksi hukum) kepada pelaku persis seperti tindakan yanﱡ dilakukan oleh pelaku terhadap korۖan.17 Menurut Iۖrahim dalam ۖukunya

ﺳAl-Mu’jam al-Wasitﺴ ۖahwa qis}as} diartikan denﱡan menjatuhkan sanksi hukum kepada pelaku tindak pidana sama denﱡan tindak pidana yanﱡ dilakukan terhadap nyawa (anﱡﱡota tuۖuh diۖalas denﱡan anﱡﱡota tuۖuh).18 Maka Qis}as} ۖermakna seۖaﱡai hukum ۖalas atau

pemۖalas yanﱡ sama atas tindakan yanﱡ dilakukan misalnya pemۖunuhan, tetapi perlu dipahami ۖahwa tidak ۖerarti dia (pemۖunuh) juﱡa harus diۖunuh denﱡan alat atau senjata yanﱡ sama denﱡan tindakan menﱡerikannya terseۖut, yaitu nyawanya sendiri harus dihilanﱡkan seۖaﱡaimana dia telah menﱡhilanﱡkan nyawa korۖannya. Hal terseۖut tidak diۖenarkan karena dalam Islam menﱡenal rasa keadilan ۖaﱡi pelaku walaupun perۖuatannya memۖuat oranﱡ meninﱡﱡal dunia.

Seۖaﱡaimana perintah tentanﱡ qis}as} di dalam al-qur’a>n disandarkan kepada nilai-nilai keadilan dan persamaan nilai kehidupan manusia, Allah ۖerﱠirman:

      

 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Suraۖaya: Pustaka Proﱡresiﱠ, 1997), 449. 

17Iۖid., 4. 


(33)

   

ء

ۚ◌

ۥ

ء

ۢ◌

ء

ۥ

)

١

(

Artinya: Wahai oranﱡ-oranﱡ yanﱡ ۖeriman! Diwajiۖkan atas kamu (melaksanakan) qis}as} ۖerkenaan denﱡan oranﱡ yanﱡ diۖunuh. Oranﱡ merdeka denﱡan oranﱡ merdeka, hamۖa sahaya denﱡan hamۖa sahaya, perempuan denﱡan perempuan. Tetapi ۖaranﱡsiapa memperoleh maaﱠ dari saudaranya, hendaklah dia menﱡikutinya denﱡan ۖaik, dan memۖayar diat (teۖusan) kepadanya denﱡan ۖaik (pula). ٱanﱡ demikian itu adalah kerinﱡanan dan rahmat dari Tuhan-mu. Baranﱡsiapa melampaui ۖatas setelah itu, maka ia akan mendapat azaۖ yanﱡ sanﱡat pedih. (QS Al-Baqarah : 178)19

Dalam ayat terseۖut telah dijelaskan akan pemۖalasan setimpal, terhadap perۖuatan yanﱡ kita lakukan, namun hal pemۖalasan setimpal telah dikuranﱡi denﱡan adanya rasa keadilan, yaitu memۖerikan kesempatan perdamaian diantara pihak tersanﱡka dan korۖan, denﱡan jalan diyat (ﱡanti ruﱡi) yanﱡ wajar ۖerdasarkan pada pertimۖanﱡan yanﱡ wajar pula, sehinﱡﱡa permintaan ﱡanti ruﱡi dari pihak tersanﱡka kepada pihak korۖan harus dilakukan denﱡan ۖaik, tanpa menanﱡﱡuh-nanﱡﱡuhkannya.20

Adapun pemۖaﱡian jari>mah qis}as} dan diyat yanﱡ terۖaﱡi menjadi dua maۗam, yaitu pemۖunuhan ( ) dan penﱡaniayaan ( ). Apaۖila diperluas, maka ada lima maۗam, yaitu:21

1) Pemۖunuhan senﱡaja (Qatl ‘Amd)

2) Pemۖunuhan menyerupai senﱡaja (Qatl Shibh ‘Amd)

      

19Departemen Aﱡama Repuۖlik Indonesia, al-quran dan Terjemahnya, (Bandunﱡ: CV.

Diponeﱡoro, 2010), 27. 

20Aۖdur Rahman,Tindak Pidana Dalam Syari’at Islam..., 25. 

21Ahmad Wardi Musliۗh, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fikih jinayah), (Jakarta: Sinar


(34)

3) Pemۖunuhan karena kesalahan (Qatl Khat}}a’) 4) Penﱡaniayaan senﱡaja (Jarh}} ‘Amd)

5) Penﱡaniayaan tidak senﱡaja (Jarh}} Khat}}a’).

Dapat disimpulkan dari penﱡertian diatas ۖahwa ۗiri khas

jari>mah qis}as} dan diyat, yaitu:

1) Keduanya merupakan hukuman yanﱡ telah ditentukan oleh

syara’, tidak ada ۖatas terendah ataupun tertinﱡﱡi tetapi menjadi

hak perseoranﱡan (pihak korۖan dan walinya), ۖerۖeda denﱡan hukuman h}add yanﱡ merupakan hak Allah semata.

2) Hukuman qis}as} dan diyat merupakan hak manusia maka hukuman ini ۖisa dimaaﱠkan atau diﱡuﱡurkan oleh korۖan maupun keluarﱡanya22.

c. Jari>mah Ta‘zīr

Jari>mah ta‘zīr adalah jari>mah yanﱡ dianۗam denﱡan hukuman

ta‘zīr. Penﱡertian ta‘zīr ۖerasal dari kata - yanﱡ seۗara etimoloﱡis adalah ta‘dib artinya memۖeri pelajaran, karena ta‘zīr dimaksudkan untuk mendidik dan memperۖaiki pelaku aﱡar ia menyadari perۖuatan jari>mahnya kemudian meninﱡﱡalkan dan menﱡhentikannya.23 Ta‘zīr juﱡa diartikan denﱡan , artinya

ﺳmenolak dan menۗeﱡah, karena ia dapat menۗeﱡah pelaku aﱡar tidak menﱡulanﱡi perۖuatannyaﺴ.24 Adapun deﱠinisi ta‘zīr seۗara syara’

seperti juﱡa yanﱡ dikemukakan oleh Wahۖah Zuhaili yanﱡ dikutip oleh

      

22Artinya hukuman qis}as} dapat ۖeruۖah menjadi diyat apaۖila pihak tersanﱡka mendapat

ampunan/pemaaﱠan dari pihak korۖan. 

23Ahmad Wardi Musliۗh, Hukum Pidana..., 248. 


(35)

   

Aۖdurrahman al- Maliki ﺳmeneranﱡkan tentanﱡ sanksi-sanksi yanﱡ ۖersiﱠat edukatiﱠ (pendidikan) adalah sanksi yanﱡ ditetapkan atas tindakan maksiat yanﱡ didalamnya tidak ada h}add dan kifarat.ﺴ25 Sedanﱡkan penﱡertian ta‘zīr menurut istilah yanﱡ dideﱠinisikan oleh Imam al- Mawardi adalah

Artinya: Ta‘zīr adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yanﱡ ۖelum ditentukan hukumannya oleh

syara’.26

Dari deﱠinisi-deﱠinisi terseۖut dapat diamۖil penjelasan ۖahwa

ta‘zīr adalah suatu istilah untuk hukuman atas jari>mah-jari>mah

yanﱡ hukumannya ۖelum ditetapkan oleh syara’. Di kalanﱡan ﱠuqaha,

jari>mah-jari>mah yanﱡ hukumannya ۖelum ditetapkan oleh syara’

dinamakan denﱡan jari>mah ta‘zīr. Jadi istilah ta‘zīr ۖisa diﱡunakan untuk hukuman dan ۖisa juﱡa untuk jari>mah atau tindak pidana.

Inti dari jari>mah ta‘zīr adalah suatu perۖuatan maksiat yanﱡ tidak dikenakan hukuman h}add dan tidak pula kifarat. Adapun yanﱡ dimaksud perۖuatan maksiat yaitu meninﱡﱡalkan perۖuatan yanﱡ diwajiۖkaan dan melakukan perۖuatan yanﱡ diharamkan (dilaranﱡ). Para ﱠuqaha memۖerikan ۗontoh meninﱡﱡalkan kewajiۖaan seperti: menolak memۖayar zakat, meninﱡﱡalkan salat ﱠardu, enﱡﱡan

      

25 Iۖid. 


(36)

memۖayar utanﱡ padahal mampu, menﱡhianati amanat27. Seۖaﱡai

ۗontoh melakukan perۖuatan yanﱡ dilaranﱡ seperti: menۗium perempuan lain ۖukan istrinya, sumpah palsu, penipuan dalam jual ۖeli, melakukan riۖa, melindunﱡi dan menyemۖunyikan pelaku kejahatan, memakan ۖaranﱡ-ۖaranﱡ yanﱡ diharamkan (darah, ۖanﱡkai, anjinﱡ, ۖaۖi, dan seۖaﱡainya).28

Dari uraian ۗontoh dapat di lihat ۖahwa penۗaۖulan termasuk dalam kateﱡori jari>mah ta‘zīr seperti halnya perۖuatan menۗium perempuan lain ۖukan istrinya. Dalam pelaksanaan hukuman ta‘zīr mutlak menjadi hak dan wewenanﱡ ulil amri atau penﱡuasa, seperti hakim dan petuﱡas hukum lainnya, dikarenakan demikian aﱡar penﱡuasa merasa leluasa menﱡatur pemerintahan sesuai denﱡan kondisi dan situasi wilayahnya, serta kemaslahatan daerahnya masinﱡ-masinﱡ.29 Berkaitan juﱡa denﱡan perkemۖanﱡan serta kemaslahatan

masyarakat yanﱡ selalu ۖeruۖah dan ۖerkemۖanﱡ dari satu waktu ke lain waktu dan dari satu tempat ke tempat lain. Untuk penentuan hukuman oleh penﱡuasa hanya menetapkan hukumannya seۗara ﱡloۖal saja, artinya pemۖuat Undanﱡ-undanﱡ tidak menetapkan hukuman untuk masinﱡ-masinﱡ jari>mah ta‘zīr melainkan hanya menetapkan sejumlah hukuman dari yanﱡ seۖerat-ۖeratnya sampai yanﱡ serinﱡan-rinﱡannya.

      

27Seperti halnya: menﱡﱡelapkan titipan, memanipulasi harta anak yatim dan hasil waqaﱠ.  28Ahmad Wardi Musliۗh, Hukum Pidana..., 250.  


(37)

   

Adapun pemۖaﱡian jari>mah ta‘zīr menurut Aۖdul Aziz Amir diۖaﱡai menjadi 6 maۗam, yaitu:

1) Jari>mah ta‘zīr yanﱡ ۖerkaitan denﱡan pemۖunuhan, artinya

suatu pemۖunuhan akan dikenai ta‘zīr apaۖila perۗoۖaan pemۖunuhan terseۖut dapat dikateﱡorikan kepada maksiat. Contoh: si A mau meraۗuni si B tetapi ternyata si B tidak mati akiۖat kekeۖalan pada tuۖuhnya, maka perۖutan si A tidak dapat dikenakan hukuman qis}as} melainkan hukuman ta‘zīr.

2) Jari>mah ta‘zīr yanﱡ ۖerkaitan denﱡan pelukaan, artinya ta‘zīr

dapat dikenakan terhadap jari>mah pelukaan apaۖila qis}as}nya dimaaﱠkan atau tidak ۖisa dilaksanakan karena suatu seۖaۖ yanﱡ diۖenarkan oleh syara’.

3) Jari>mah ta‘zīr yanﱡ ۖerkaitan denﱡan kejahatan terhadap

kehormatan dan kerusakan akhlak, dalam hal ini ۖerkaitan denﱡan jari>mah zina, menuduh zina dan penﱡhinaan. Tetapi kasus perzinaannya yanﱡ tidak memenuhi syarat yanﱡ dikenakan hukuman h}add, ۗontoh: perۖuatan pra zina (meraۖa-raۖa, ۖerpelukkan denﱡan wanita ۖukan istrinya, tidur ۖersama tanpa huۖunﱡan seksual).

4) Jari>mah ta‘zīr yanﱡ ۖerkaitan denﱡan harta, dalam hal ini jika

syarat untuk dikenakan hukuman h}add tidak terpenuhi maka pelaku akan dikenai hukuman ta‘zīr . Contoh: penۗopetan, perjudian, penۗurian dalam keluarﱡa.

5) Jari>mah ta‘zīr yanﱡ ۖerkaitan denﱡan kemslahatan individu,

yanﱡ termasuk dalam kelompok ini seperti: saksi palsu, ۖerۖohonﱡ (tidak memۖerikan keteranﱡan yanﱡ ۖenar), di penﱡadilan saat sidanﱡ dan meyakiti hewan.

6) Jari>mah ta‘zīr yanﱡ ۖerkaitan denﱡan kemaslahatan umum,

yanﱡ termasuk dalam kelompok ini seperti: jari>mah yanﱡ menﱡﱡanﱡﱡu keamanan neﱡara, suap, melepaskan narapidana, menyemۖunyikan ۖuronan, pemalsuan tanda tanﱡan dan stempel, dan lain seۖaﱡainya.30

Dapat disimpulkan dari penﱡertian diatas ۖahwa ۗiri khas dari

jari>mah ta‘zīr yaitu:

1) Hukumannya tidak tertentu dan tidak terۖatas, artinya hukuman terseۖut ۖelum ditentukan oleh syara’ tetapi ada ۖatas minimal dan maksimal.

      


(38)

2) Penentuan hukuman terseۖut adalah hak penﱡuasa (hakim). 3) Suatu perۖuatan akan dikenai hukuman, jika terﱡolonﱡ dalam

jari>mah ta‘zīr: melakukan perۖuatan maksiat, perۖuatan yanﱡ

memۖahayakan kepentinﱡan umum, melakukan pelanﱡﱡaran. 3. Hukuman (‘Uqu>bah)

a. Penﱡertian Hukuman

Dalam Kamus Bahasa Indonesia karanﱡan S. Wojowasito, hukuman memiliki arti siksaan atau pemۖalasan kejahatan (kesalahan dosa). Dalam ۖahasa Araۖ hukuman diseۖut al-‘Uqu>bah yanﱡ artinya seۖaﱡai ۖentuk ۖalasan ۖaﱡi seseoranﱡ yanﱡ atas perۖuatannya melanﱡﱡar ketentuan syara’ (yanﱡ telah ditetapkan Allah dan Rosulnya untuk kemslahatan manusia).31

Menurut Aۖdul Qadir Audah, deﱠinisi hukuman adalah seۖaﱡai ۖerikut:

ء

Artinya: Hukuman adalah pemۖalasan yanﱡ ditetapkan untuk memelihara kepentinﱡan masyarakat, karena adanya pelanﱡﱡaran atas ketentuan-ketentuan syara’.32

Dari deﱠinisi terseۖut, dapat dipahami ۖahwa hukuman merupakan salah satu tindakan yanﱡ diۖerikan oleh syara’ seۖaﱡai ۖalasan setimpal atas perۖuatan pelaku kejahatan yanﱡ menﱡakiۖatkan oranﱡ lain menjadi korۖan akiۖat perۖuatannya. Memiliki tujuan untuk

      

31Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam…, 59. 


(39)

   

memelihara ketertiۖan, kepentinﱡan masyarakat, sekaliﱡus juﱡa untuk melindunﱡi kepentinﱡan individu.

ۖ. Maۗam-Maۗam Hukuman

Hukuman dalam Islam dapat dikelompokkan dalam ۖeۖerapa jenis, adapun pemۖaﱡiannya seۖaﱡai ۖerikut:

Pertama ditinjau dari seﱡi terdapat dan tidak terdapatnya nash dalam al-qur’a>n atau hadi>s diۖaﱡi menjadi dua, yaitu:

1) Hukuman yanﱡ ada nashnya, yaitu h}udu>d, qis}as}, diyat dan kafarah misalnya hukuman-hukuman ۖaﱡi pezina, penۗuri, perampok, pemۖerontak, pemۖunuh dan oranﱡ yanﱡ menzihar istrinya (menyerupakan istrinya denﱡan iۖunya).

2) Hukuman yanﱡ tidak ada nashnya, hukuman ini diseۖut hukuman ta‘zīr seperti perۗoۖaan melakukan jari>mah,

jari>mah-jari>mah h}udu>d dan qis}as} atau diyat yanﱡ tidak

selesai serta jari>mah-jari>mah ta‘zīr itu sendiri.33

Kedua ditinjau dari sudut keterkaitan antara hukuman yanﱡ satu denﱡan hukuman lainnya, terۖaﱡi menjadi empat:

1) Hukuman pokok (‘Uqu>bah Ashliyah), yaitu hukuman utama ۖaﱡi suatu kejahatan, seperti hukuman mati ۖaﱡi pemۖunuh yanﱡ memۖunuh denﱡan senﱡaja, hukuman diyat ۖaﱡi pelaku pemۖunuhan tidak senﱡaja, dera seratus kali ۖaﱡi pezina ﱡhairu muhsan.

2) Hukuman penﱡﱡanti (‘Uqu>bah Badaliyah), yaitu hukuman yanﱡ menﱡﱡantikan kedudukan hukuman pokok, apaۖila hukuman pokok tidak dapat di laksanakan karena alasan yanﱡ sah, seperti hukuman diyat dijatuhkan ۖaﱡi pelaku pemۖunuhan senﱡaja yanﱡ dimaaﱠkan keluarﱡa korۖan maka dalam hal ini hukuman diyat seۖaﱡai penﱡﱡanti dari hukuman pokok (qis}as}) yanﱡ dimaaﱠkan.

3) Hukuman tamۖahan (‘Uqu>bah Taba>’iyah), yaitu hukuman yanﱡ menﱡikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan tersendiri seperti laranﱡan menerima warisan ۖaﱡi oranﱡ yanﱡ melakukan pemۖunuhan terhadap keluarﱡa.

      


(40)

4) Hukuman pelenﱡkap (‘Uqu>bah Ta’mili>yah), yaitu hukuman yanﱡ melenﱡkapi hukuman pokok yanﱡ telah dijatuhkan denﱡan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim dan syarat inilah yanﱡ menjadi ۗiri pemisahnya denﱡan hukuman tamۖahan. Contohnya menﱡalunﱡkan tanﱡan penۗuri yanﱡ telah dipotonﱡ di lehernya.34

Ketiﱡa ditinjau dari seﱡi oۖyek yanﱡ dilakukannya hukuman, seۖaﱡai ۖerikut:

1) Hukuman ۖadan, yaitu hukuman yanﱡ dikenakan terhadap anﱡﱡota ۖadan manusia seperti hukuman potonﱡ tanﱡan dan dera. 2) Hukuman yanﱡ dikenakan terhadap jiwa, yaitu dikenakan atas

jiwa seseoranﱡ yanﱡ ۖersiﱠat psikoloﱡis, ۖukan ۖadan atau nyawanya, seperti anۗaman, perinﱡatan atau teﱡuran.

3) Hukuman terhadap harta ۖenda si pelaku jari>mah, seperti diyat, denda dan perampasan harta.

4) Hukuman yanﱡ dikenakan terhadap hilanﱡnya keۖeۖasan manusia atau hilanﱡnya kemerdekaan, seperti penﱡasinﱡan atau penjara.35

B. Pencabulan Dalam Hukum Pidana Islam

1. Penﱡertian Penۗaۖulan

Menurut Suﱡandhi dan Soesilo menyatakan ۖahwa perۖuatan ۗaۖul adalah ﺳseﱡala perۖuatan yanﱡ melanﱡﱡar kesusilaan atau perۖuatan keji yanﱡ ۖerhuۖunﱡan denﱡan naﱠsu kelamin, misalnya: ۖerۗium-ۗiuman, meraۖa-raۖa anﱡﱡota kelamin, meraۖa-raۖa ۖuah dada dan seۖaﱡainyaﺴ.36

Menurut J. M. Van Bemmelen yanﱡ dikutip oleh Nenﱡ Djuۖaedah ۖahwa perۖuatan ۗaۖul itu termasuk persetuۖuhan dan homoseksualitas

      

34 Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islamﺫ, 116 

35A.Djazuli, Fiqh jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta : PT Raja

Graﱠindo Persada, 1997), 29.  


(41)

   

atau perۖuatan ۗaۖul yanﱡ ۖertentanﱡan denﱡan alam. Laranﱡan dan hukuman terhadap pelaku perۖuatan ۗaۖul menurut ۖeliau ditunjukan untuk melindunﱡi anak-anak muda (remaja) dari ﱡanﱡﱡuan perkemۖanﱡan seksual dan perkosaan.37

Menurut Simon yanﱡ dikutip oleh P.A.F. Lamintanﱡ ﺳontuchtige

handelingenﺴ atau ۗaۖul adalah tindakan yanﱡ ۖerkenaan denﱡan

kehidupan di ۖidanﱡ seksual, yanﱡ dilakukan denﱡan maksud-maksud untuk memperoleh kenikmatan denﱡan ۗara yanﱡ siﱠatnya ۖertentanﱡan denﱡan pandanﱡan umum untuk kesusilaan.38

Deﱠinisi penۗaۖulan menurut The National Center on Child Abuse

and Neglect US, “sexual assault” adalah Kontak atau interaksi antara anak

dan oranﱡ dewasa dimana anak terseۖut diperﱡunakan untuk stimulasi seksual oleh pelaku atau oranﱡ lain yanﱡ ۖerada dalam posisi memiliki kekuatan atau kendali atas korۖan. Hal ini termasuk kontak ﱠisik yanﱡ tidak pantas, memۖuat anak melihat tindakan seksual atau pornoﱡraﱠi, yaitu menﱡﱡunakan seoranﱡ anak untuk memۖuat pornoﱡraﱠi atau memperlihatkan alat ﱡenital oranﱡ dewasa kepada anak.39

Bila dilihat dari sudut pandanﱡ ilmu psikoloﱡi pendidikan penۗaۖulan juﱡa ۖisa diartikan perۖuatan-perۖuatan yanﱡ melanﱡﱡar kesusilaan yanﱡ ۖerkaitan denﱡan seksual tidak sampai pada ۖentuk pada

      

37Nenﱡ Djuۖaedah, Perzinaan dalam Peraturan Perundang-undang di Indonesia ditinjau dari

Hukum Islam, (Jakarta: Kenۗana Prenada Group, 2010), 75. 

38P.A.F Lamintanﱡ, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandunﱡ: Citra Aditya, 1997), 159.  39Vani Rahmawati, ﺳTinjauan Tentanﱡ Pelaksanaan Perlindunﱡan Hukum Terhadap Anak Korۖan

Kekerasan Penۗaۖulan Menurut Undanﱡ-undanﱡ No. 23 Tahun 2002 Tentanﱡ Perlindunﱡan Anak (Studi Kasus Penﱡandilan Neﱡeri Surakarta)ﺴ, (Skripsi--Universitas Seۖelas Maret, Surakarta, 2010), 36.  


(42)

huۖunﱡan kelamin. Misalnya laki-laki yanﱡ meraۖa ۖuah dada seoranﱡ perempuan, menepuk pantat, meraۖa-raۖa anﱡﱡota kemaluan, oral seks, menﱡﱡauli atau menۗaۖuli dan lain-lain.40

Penۗaۖulan ini seۖenarnya terjadi karena tidak terpenuhinya keۖutuhan vital (seksual) pada manusia dan jika keۖutuhan ini tidak terpenuhi dapat mendatanﱡkan ﱡanﱡﱡuan kejiwaan dalam ۖentuk tindakan aۖnormal.41

Dari yanﱡ telah dipaparkan deﱠinisi penۗaۖulan menurut hukum positiﱠ, maka selanjutnyaa akan penulis paparkan deﱠinisi penۗaۖulan menurut hukum Islam yaitu ﺳpenۗaۖulanﺴ ۖerasal dari kata ۗaۖul yanﱡ dalam ۖahasa araۖ diseۖut juﱡa dan seۗara ۖahasa diartikan:

a. Keluar dari jalan yanﱡ haq serta kesalihan.

ۖ. Berۖuat ۗaۖul, hidup dalam kemesuman dan dosa. ۗ. Sesat, kuﱠur.

d. Berzina.42

Sedanﱡkan menurut istilah penۗaۖulan atau perۖuatan ۗaۖul ۖila melihat dari deﱠinisi ۗaۖul seۗara memiliki arti perۖuatan yanﱡ keluar dari jalan yanﱡ haq serta kesalihan yanﱡ menﱡarah pada perۖuatan mesum, dosa, sesat dan kuﱠur serta menﱡarah pada perۖuatan zina.43

Maka didapat kesimpulan dari deﱠinisi-deﱠinisi diatas ۖahwa penۗaۖulan adalah suatu tindak pidana yanﱡ ۖertentanﱡan dan melanﱡﱡar

      

40Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, (Bandunﱡ: Mandar Maju,

1985), 262. 

41Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: Raja Graﱠindo, 2005), 80.  42Ahmad Warson Munawwir, Kamus …, 1055. 

43Iqۖal Tawakal, ﺳPutusan Penﱡadilan Neﱡeri Suraۖaya No 33/PID.B/2008/PN. SBٱ Tentanﱡ

Penۗaۖulan Dalam Perspektiﱠ UU NO 23 Tahun 2002 Tentanﱡ Perlindunﱡan Anak dan Hukum Pidana Islamﺴ, (SkripsiﺲIAIN Sunan Ampel, Suraۖaya, 2009), 33.  


(43)

   

kesopanan serta kesusilaan seseoranﱡ yanﱡ ۖerhuۖunﱡan denﱡan alat kelamin atau ۖaﱡian tuۖuh lainnya yanﱡ dapat meranﱡsanﱡ naﱠsu seksual.

Ada ۖeۖerapa ۖentuk dan jenis istilah tentanﱡ penۗaۖulan seۖaﱡai ۖerikut:

a. Exhibitionism seksual yaitu, senﱡaja memamerkan alat kelamin pada

anak.

ۖ. Voyeurism yaitu, oranﱡ dewasa menۗium anak denﱡan ۖernaﱠsu.

ۗ. Fonding yaitu, menﱡelus/meraۖa alat kelamin seoranﱡ anak.

d. Fellatio yaitu, oranﱡ dewasa memaksa anak untuk melakukan kontak

mulut.44

Dalam hukum pidana Islam sendiri tidak menﱡenal istilah tindak pidana penۗaۖulan. Hal ini dikarenakan semua perۖuatan yanﱡ ۖerhuۖunﱡan denﱡan naﱠsu ۖirahi atau huۖunﱡan kelamin dinamakan atau dikateﱡorikan seۖaﱡai perۖuatan zina sedanﱡkan penﱡertian penۗaۖulan itu sendiri memiliki makna yanﱡ ۖerۖeda denﱡan zina. Berikut ini penulis akan memaparkan sedikit tentanﱡ penﱡertian zina, Kata zina ۖerasal dari ۖahasa araۖ, yaitu zanaa–yazni-zinaa-an yanﱡ ۖerarti atal mar-ata min

ghairi ‘aqdin syar’iiyin aw milkin, artinya menyetuۖuhi wanita tanpa

didahului akad nikah menurut syara’ atau diseۖaۖkan wanitanya ۖudak ۖelian.45 Ulama Hanaﱠiyah mendeﱠinisika ۖahwa zina adalah perۖuatan

lelaki yanﱡ menyetuۖuhi wanita di dalam kuۖul tanpa ada milik dan menyerupai milik. Ulama Syaﱠi‟iyah mendeﱠinisikan ۖahwa zina adalah memasukkan zakar ke ﱠarji yanﱡ haram tanpa syuۖhat yanﱡ seۗara naluri menﱡundanﱡ syahwat.46 Ulama Hanaۖilah mendiﱠinisikan ۖahwa zina       

44Kartini Kartono, Psikologi Abnormal ..., 264.  45Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam …, 6.  


(44)

adalah melakukan perۖuatan keji (persetuۖuhan), ۖaik terhadap quۖul (ﱠarji) maupun duۖur.47 Caۖul sendiri merupakan perۖuatan meranﱡsanﱡ

untuk memuaskan naﱠsu seks ۖaﱡi diri sendiri maupun oranﱡ lain denﱡan melanﱡﱡar tata hukum dan tata asusila.48

Dari deﱠinisi terseۖut dapat diamۖil kesimpulan ۖahwa suatu perۖuatan itu diseۖut zina, jika memenuhi unsur umum dari zina yaitu:

a. Persetuۖuhan antara dua oranﱡ yanﱡ ۖerlainan jenis (yaitu seoranﱡ laki-laki dan perempuan terseۖut tidak ada ikatan yanﱡ sah).

ۖ. Masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan (seperti anak timۖa masuk kedalam sumur).49

Dalam kasus penۗaۖulan yanﱡ penulis ۖahas, ۖahwa penۗaۖulan yanﱡ dilakukan oleh seoranﱡ diﱠaۖel terhadap anak di ۖawah umur ini ۖukanlah zina karena dalam penۗaۖulan itu tidak sampai memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin wanita, melainkan perۖuatan penۗaۖulan seperti meraۖa-raۖa payudara, meraۖa-raۖa vaﱡina atau alat kelamin dan yanﱡ ia lakukan terhadap anak diۖawah umur terseۖut adalah ﺳmeraۖa-raۖa alat kelaminnyaﺴ. Denﱡan demikian tindakan pelaku terhadap perۖuatan ۗaۖul diatas menurut hukum pidana Islam masih terﱡolonﱡ perۖuatan yanﱡ mendekati zina atau pra zina.

Denﱡan perkataan lain, kateﱡori setiap perۖuatan yanﱡ dianﱡﱡap maksiat terseۖut oleh syariat dijatuhi hukuman ta‘zīr50, termasuk perۖuatan mendekati zina tidak ۖoleh dihukum denﱡan hukuman yanﱡ

      

47Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam…, 7. 

48Ira Kharisma N, ﺳPertanﱡﱡunﱡ Jawaۖan Pidana Delik Penۗaۖulan (Studi Putusan Sukoharjo No.

46/Pid. B/2008), (Skripsi--UIN Sunan Kalijaﱡa ٱoﱡyakarta 2009), 4 

49Nenﱡ Djuۖaedah, Perzinaan Dalam Peraturan…, 69. 


(45)

   

dijatuhkan atas perۖuatan zina sendiri yaitu dera dan rajam, melainkan hukuman ta‘zīr denﱡan alasan hukum Islam tidak memandanﱡnya seۖaﱡai pelanﱡﱡaran terhadap hak peroranﱡan, akan tetapi hal itu dipandanﱡ seۖaﱡai pelanﱡﱡaran terhadap masyarakat.

Untuk menﱡetahui seperti apa hukuman ta‘zīr pada kejahatan penۗaۖulan, maka diۖawah ini akan dipaparkan oleh penulis satu persatu dari maۗam-maۗam hukuman ta‘zīr, seۖaﱡai ۖerikut:

a. Hukuman Mati

Pada dasarnya menurut Syari’at Islam hukuman ta‘zīr adalah untuk memۖeri penﱡajaran dan tidak sampai memۖinasakan.51 Oleh

karena itu dalam hukuman ta‘zīr tidak ۖoleh ada pemotonﱡan anﱡﱡota ۖadan atau penﱡhilanﱡan nyawa.

Akan tetapi keۖanyakan ﱠuqaha memۖuat suatu penﱡeۗualian dari aturan umum terseۖut, yaitu keۖolehan dijatuhkannya hukuman mati jika kepentinﱡan umum menﱡhendaki demikian karena tidak ۖisa terlaksana keۗuali denﱡan jalan memۖunuhnya. Contoh: memۖolehkan hukuman mati seۖaﱡai ta‘zīr dalam kasus penyeۖaran aliran-aliran sesat yanﱡ menyimpanﱡ dari ajaran qur’a>n dan al-hadi>st.52

ۖ. Hukuman Dera

Hukuman dera merupakan hukuman yanﱡ pokok dalam Syari’at Islam, sehinﱡﱡa dalam jari>mah-jar>imah h}udu>d sudah

      

51Ahmad Wardi Musliۗh, Hukum Pidana…, 158.  52Hanaﱠi, Asas-Asas Pidana Islam,ﺫ.299. 


(46)

ditentukan jumlah deranya, ۗontoh: seratus kali dera untuk zina dan delapan puluh kali dera untuk qadzaﱠ, sedanﱡkan untuk

jari>mah-jari>mah ta‘zīr tidak ditentukan jumlah deranya, hal ini karena

untuk jari>mah-jari>mah ta‘zīr dapat diterapkan ۖahkan jari>mah ta‘zīr yanﱡ ۖerۖahaya hukuman dera leۖih diutamakan. Adapun seۖaۖ diutamakan hukuman dera adalah:

1) Leۖih ۖanyak ۖerhasil dalam memۖerantas oranﱡ-otanﱡ penjahat yanﱡ ۖiasa melakukan jarimah.

2) Hukuman dera mempunyai dua ۖatas, yaitu ۖatas tertinﱡﱡi dan ۖatas terendah dimana hakim ۖisa memilih jumlah dera yanﱡ terletak antara keduanya yanﱡ leۖih sesuai denﱡan keadaan pemۖuat.

3) Dari seﱡi pemۖiayaan untuk pelaksanaannya tidak merepotkan keuanﱡan neﱡara dan tidak pula menﱡhentikan daya usaha pemۖuat ataupun menyeۖaۖkan keluarﱡa terlantar, seۖaۖ hukuman dera ۖisa dilaksanakan seketika dan sesudah itu pemۖuat ۖisa ۖeۖas.

4) Denﱡan hukuman dera pemۖuat dapat terhindar dari akiۖat-akiۖat ۖuruk penjara.53

Hukuman dera ta‘zīr ini tidak ۖoleh meleۖihi hukaman dera dalam h}udu>d karena tujuannya adalah memۖeri pelajaran dan pendidikan kepadanya.54 Namun menﱡenai ۖatas maksimal tidak ada

kesepakatan di kalanﱡan ﱠuqaha. ۗ. Hukuman Kawalan

Dalam syari’at Islam hukuman kawalan di ۖaﱡi menjadi menjadi 2 maۗam yaitu hukuman kawalan terۖatas dan hukuman kawalan tidak terۖatas (dilihat dari seﱡi waktu).55

      

53Iۖid., 305-306. 

54Aۖdurrahman al-Maliki, Sistem Sanksi…, 256.   55Iۖid. 


(47)

   

Hukuman ﺳkawalan terۖatasﺴ ini palinﱡ sedikit adalah satu hari, sedanﱡkan ۖatas tertinﱡﱡinya tidak ada kesepakatan di kalanﱡan para ﱠuqaha. Namun ulama syaﱠi’iyah menetapkan ۖatas tertinﱡﱡinya adalah satu tahun, mereka menﱡqiyaskan seperti halnya penﱡasinﱡaan dalam jari>mah zina.56 Sedanﱡkan hukuman ﺳkawalan tidak terۖatasﺴ tidak ditentukan masanya, melainkan ۖerlanﱡsunﱡ terus sampai oranﱡ yanﱡ terhukum mati, atau sampai ia ۖertauۖat atau dalam istilah lain diseۖut hukuman penjara seumur hidup. Hukuman penjara seumur hidup dikenakan kepada penjahat yanﱡ sanﱡat ۖerۖahaya atau oranﱡ-oranﱡ yanﱡ ۖerulanﱡ-ulanﱡ melakukan

jari>mah yanﱡ ۖerۖahaya.57

d. Hukuman Penﱡasinﱡan

Hukuman penﱡasinﱡan merupakan salah satu jenis hukuman ta‘zīr. Dalam jari>mah zina ﱡhairu muhsan, Imam Aۖu Haniﱠah menﱡanﱡﱡapnya seۖaﱡai hukuman ta‘zīr, tetapi imam-imam yanﱡ lain memandanﱡnya seۖaﱡai hukuman h}add. Untuk

jari>mah-jari>mah selain zina, hukuman ini diterapkan apaۖila perۖuatan

pelaku jari>mah dikhawatirkan ۖerpenﱡaruh kepada oranﱡ lain sehinﱡﱡa pelakunya harus diۖuanﱡ atau diasinﱡkan untuk menﱡhindarkan penﱡaruh-penﱡaruh terseۖut.58

Dalam penentuan masa penﱡasinﱡan para ulama ۖerۖeda pendapat, pertama menurut Syaﱠi’iyah dan Hanaۖilah ۖahwa tidak

      

56Ahmad Wardi Musliۗh, Hukum Pidana…, 160.  57Iۖid. 


(48)

ۖoleh leۖih dari satu tahun aﱡar tidak meleۖihi masa penﱡasinﱡan dalam jari>mah zina yanﱡ merupakan hukuman h}add. Kedua, menurut Imam Aۖu Haniﱠa ۖahwa masa penﱡasinﱡan ۖisa leۖih dari satu tahun, seۖaۖ penﱡasinﱡan di sini merupakan hukuman ta‘zīr ۖukan hukuman h}add. Ketiﱡa, menurut Imam Malik ۖahwa masa penﱡasinﱡan ۖisa leۖih dari satu tahun akan tetapi tidak ada ۖatas waktu dan menyerahkan hal itu kepada pertimۖanﱡan sanﱡ penﱡuasa (hakim).59

e. Hukuman Saliۖ

Hukuman saliۖ untuk jari>mah ta‘zīr tidak diۖarenﱡi atau didahului denﱡan hukuman h}add, melainkan terhukum disaliۖ dalam keadaan hidup. Ia (terhukum) tidak dilaranﱡ untuk makan, minum, wudhu, dan salat denﱡan isyarat. Masa penyaliۖan ini tidak ۖoleh leۖih dari tiﱡa hari.60 Salah satu kisah yanﱡ diterapkan

menﱡﱡunakan ini oleh Naۖi Muhammad adalah penjatuhan hukuman saliۖ seۖaﱡai ta‘zīr di suatu peﱡununﱡan Aۖu Naۖ.

ﱠ. Hukuman Penﱡuۗilan (al-Hajr)

Hukuman penﱡuۗilan ini dijatuhkan terhadap oranﱡ-oranﱡ yanﱡ melakukan perۖuatan-perۖuatan tertentu. Hukuman penﱡuۗilan ini pernah dilaksanakan oleh Rasulullah saw. Terhadap tiﱡa oranﱡ yanﱡ tidak ikut serta dalam peranﱡ Taۖuk, yaitu Ka’aۖ iۖn Malik, Mirarah

      

59Iۖid.  


(49)

   

iۖn Ruۖai’ah, dan Hilal iۖn Umayyah, mereka dikuۗilkan selama lima hari tanpa diajak ۖiۗara.61

ﱡ. Hukuman Perinﱡatan atau Teﱡuran (Tanbi>h) dan Anۗaman

(Ta>hdi>d)

Bentuk hukuman perinﱡatan atau teﱡuran dalam hal ini hakim ۗukup memanﱡﱡil si terdakwa dan meneranﱡkan perۖuatan salah yanﱡ dilakukannya serta menasehatinya aﱡar tidak ۖerۖuat serupa di kemudian hari, hal ini pernah dilaksanakan oleh Rasulullah saw terhadap Aۖu Dzar dan Aۖdurrahman iۖn ‘Auﱠ.62 Namun, kalau

ternyata seseoranﱡ tidak mempan denﱡan perinﱡatan atau teﱡuran, maka hukuman anۗaman terhadapnya dapat diterapkan. Contohnya seperti anۗaman akan di dera atau di penjara, atau dijatuhi hukuman yanﱡ leۖih ۖerat, apaۖila pelaku menﱡulanﱡi perۖuatannya. Termasuk juﱡa anۗaman apaۖila hakim menjatuhkan keputusannya, kemudian pelaksanaannya ditunda sampai waktu tertentu.

h. Hukuman Denda (Al-Gha>rama>h)

Hukuman denda juﱡa merupakan salah satu jenis hukuman ta‘zīr, adapun jari>mah yanﱡ dianۗam denﱡan hukuman denda diantaranya: pertama, penۗurian ۖuah-ۖuahan yanﱡ masih ada di pohonnya. Dalam hal ini pelaku tidak dikenakan hukuman potonﱡ tanﱡan, melainkan di denda denﱡan dua kali lipat harﱡa ۖuah-ۖuahan

      

61Iۖid.,  


(50)

yanﱡ diamۖil. Kedua, oranﱡ yanﱡ menolak memۖayar zakat maka akan diamۖil separuh dari hartanya.63

Dari penjelasan terseۖut dapat penulis amۖil kesimpulan ۖahwa hukuman ta‘zīr yanﱡ diterapakan pada kejahatan penۗaۖulan yanﱡ dikatakan sesuai adalah hukuman dera dan hukuman penﱡasinﱡan, denﱡan alasan kedua hukuman terseۖut sesuai denﱡan tujuan dari hukuman ta‘zīr yaitu ۖersiﱠat mendidik dan memperۖaiki pelaku kejahatan penۗaۖulan aﱡar ia sadar akan perۖuatannya dan menۗeﱡah pelaku aﱡar tidak menﱡulanﱡi perۖuatannya. Contoh kasus penۗaۖulan yanﱡ dikenai hukuman ta‘zīr ۖerupa dera.

Dalam Hadis riwayat Ahmad dan Iۖnu Majah dari Aۖu Umamah ۖin Sahal dari Sa’id ۖin Sa’ad ۖin ‘Uۖadah ia ۖerkata:

ء

Artinya: Telah menۗeritakan kepada kami Aۖu Bakar ۖin Aۖu Syaiۖah, telah menۗeritakan kepada kami Aۖdullah ۖin Numair, telah menۗeritakan kepada kami Muhammad ۖin Ishaq dari ٱa'quۖ ۖin Aۖdullah ۖin Al Asyajj dari Aۖu Umamah ۖin Sahal ۖin Hunaiﱠ dari Sa'id ۖin Sa'd ۖin Uۖadah, ia ۖerkata: ﺳDi sekitar rumah kami ada seoranﱡ laki-laki pendek (ۗeۖol) dan

      


(51)

   

sudah tua, kami tidak memperhatikan dirinya keۗuali di saat ia telah melakukan perۖuatan zina denﱡan seoranﱡ ۖudak rumahan, peristiwa itu diadukan oleh Sa'd ۖin Uۖadah kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salamﺴ, lalu ۖeliau ۖersaۖda: Hukumlah denﱡan hukuman dera seۖanyak seratus kali dera. Mereka menjawaۖ, Wahai Naۖi Allah! Laki-laki itu sanﱡat lemah, seandainya kita menۗamۖuknya seratus kali, nisۗaya akan mati, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawaۖ, Amۖillah oleh kalian satu ۖatanﱡ yanﱡ terdapat seratus dahan kurma, lalu pukulkanlah ia denﱡannya sekali saja. Telah menۗeritakan kepada kami Suﱠyan ۖin Waki', telah menۗeritakan kepada kami Al Muhariۖi dari Muhammad ۖin Ishaq dari ٱa'quۖ ۖin Aۖdullah dari Aۖu Umamah ۖin Sahal dari Sa'd ۖin Uۖadah dari Naۖi Shalallahu 'alaihi wa salam denﱡan Hadits yanﱡ serupa. (IBNU MAJAH - 2564)64

2. Unsur-Unsur Caۖul

Seseoranﱡ tidak dapat dipidana apaۖila dalam hal perۖuatan yanﱡ dilakukan terseۖut, tidak tahu atau ۖelum ada suatu aturan yanﱡ menﱡatur seۖelumnya. Hal yanﱡ demikian ini dikenal dalam hukum pidana denﱡan istilah Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praexiat lage (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan leۖih dahulu).65 Seperti halnya kaidah

yanﱡ menyatakan ۖahwa tidaklah dapat dianﱡﱡap seۖaﱡai suatu tindak pidana ۖaﱡi oranﱡ yanﱡ melakukan perۖuatan atau meninﱡﱡalkan perۖuatan selama tidak ada dalam nash denﱡan jelas. Seperti ۖunyi kaidah ﺳtidak ada hukuman dan tidak ada tindak pidana (jari>mah) keۗuali denﱡan adanya nash.ﺴ66

Suatu perۖuatan dapat dikateﱡorikan seۖaﱡai jari>mah (pidana) apaۖila peruatan itu memenuhi ۖeۖerapa unsur umum seۖaﱡai ۖerikut:

      

Aۖu Daud, Sunan Abu Daud, Hadi>ts No. 2564, (Lidwah Pustaka i-Soﱠtware-Kitaۖ Semۖilan Imam) 

65Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 23. 

66Juhaya S. Praja dan Ahmad Syihaۖudin, Delik Agama Dalam Hukum Pidana di Indonesia,


(1)

8   A. Kesimpulan

Dari berbagai uraian dan analisis yang penulis bahas diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Pertimbangan hukum hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Ngawi No. 19/Pid.Sus/2013/PN.Ngw terhadap kejahatan pencabulan oleh pelaku difabel telah ditetapkan berdasarkan pasal 82 Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan majelis hakim telah mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan atas penjatuhan hukuman bagi pelaku difabel ini. Adapun hal-hal yang memberatkan terdakwa adalah perbuatan terdakwa tersebut telah meresahkan masyarakat, sedangkan hal-hal yang meringankan adalah terdakwa dipersidangan bersikap sopan dan terdakwa menyesali perbuatannya sehingga tidak akan mengulangi lagi perbuatannya tersebut. Dengan demikian majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa adalah orang yang mampu mempertanggung jawabkan atas perbuatannya di depan hukum sehingga majelis hakim menjatuhkan sanksi penjara 3 (tiga) tahun dan denda sebesar Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).

2. Dalam hukum pidana Islam terhadap kejahatan pencabulan oleh pelaku difabel terhadap anak di bawah umur termasuk perbuatan yang mendekati zina. Karena dalam pencabulan itu tidak sampai memasukkan alat kelamin


(2)

8    

laki-laki ke dalam alat kelamin wanita, melainkan perbuatan pencabulan yang dilakukan adalah meraba-raba vagina atau alat kelamin si korban. Dengan demikian tindakan pelaku terhadap perbuatan cabul tersebut tergolong dalam jari>mah ta‘zīr>, jari>mah yang diancam dengan hukuman ta‘zīr yaitu hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’ melainkan diserahkan kepada ulil amri atau penguasa atau hakim baik penentuan maupun pelaksanaanya.

B. Saran

1. Kepada aparat penegak hukum terutama para hakim hendaknya lebih mempertimbangkan dalam segala hal untuk memberikan putusan terutama dalam kasus pencabulan terhadap anak yang dilakukan oleh pelaku difabel. 2. Masyarakat yang sebagai warga negara serta orang tua bagi anak-anaknya

diharapkan lebih cermat mengawasi anak dalam kesehariannya dan mampu memberikan cerminan yang baik serta memberikan pembelajaran moral kepada anaknya sehingga tidak akan terjadi lagi perbuatan-perbuatan yang merugikan bahkan dapat merusak masa depan anak-anaknya tersebut.


(3)

 

Al-Maliki, Abdurrahman. Sistem Sanksi dalam Islam. Bogor: Thariqul Izzah, 2002.

Al-Ma>wardi>, Abu> al-H{asan. Al-Ahka>m as-Sulthaniyyah fi al-Wila>yah ad-Dini>yyah. Da>r al-Arabi, Beirut, t.t.

Al-Qadir, Abdul Audah. At-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy. Beirut: Dar Kitab al-Arabi, t.t.

Anis, Ibrahim, dkk. Al-Mu’jam al-Wasit. Mesir: Majmu’ al-Lughah al-Arabiyyah, 1975.

Azwar, Saifudin. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Chazawi, Adami. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Jakarta: Raja Grafindo, 2005.

Darminto WJS, Poerwa. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,

1976.

Daud, Abu. Sunan Abu Daud. Lidwah Pustaka i-Software-Kitab Sembilan Imam

Djazuli, Ahmad. Fiqh Jinayat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

---, Fiqh jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam).

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.

Djubaedah, Neng. Perzinaan dalam Peraturan Perundang-undang di Indonesia

Ditinjau dari Hukum Islam. Jakarta: Kencana Prenada Group, 2010.

Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi. Surabaya: t.p, 2014.

Hakim, Rahmat. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Bandung: CV. Pustaka

Setia, 2000.

Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990.

J. Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008.

Kartono, Kartini. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung:


(4)

   

Lamintang, P.A.F. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra

Aditya, 1997.

Mubarok, Jaih dan Enceng Arif Faizal. Kaidah Fiqh Jinayah: Asas-Asas Hukum

Pidana Islam. Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.

Munajat, Makhrus. Hukum Pidana Islam di Indonesia. Yogjakarta: Teras, 2009. Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

---, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Jakarta: Bumi

Aksara, 1996.

Rahman, Abdur. Tindak Pidana Dalam Syari’at Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

Ridwan. Limitasi Hukum Pidana Islam. Semarang: Walisongo Press, 2008.

Sakho Muhammad, Ahsin. Ensiklopedi Hukum Islam, (Bogor: PT Karisma Ilmu

Bogor, t.t.

Seno Adji, Oemar. Hukum Hakim Pidana. Jakarta: Earlangga, 1984.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-PRESS, 2007. Soemantri, Sutjihati. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT Refika Aditama

Somantri, 2006.

Soesilo, R. KUHP Serta Komentar-Komentarnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

S. Praja, Juhaya dan Ahmad Syihabudin. Delik Agama Dalam Hukum Pidana di

Indonesia. Bandung: Angkasa, 1982.

Wardi Muslich, Ahmad. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005. ---, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah. Jakarta:

Sinar Grafika, 2004.

Warson Munawwir, Ahmad. Kamus Al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progresif,

1997.

Yatimin. Etika Seksual dan Penyimpangannya Dalam Islam. Pekanbaru:

Amzah, 2003. Lembaga-lembaga:

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.


(5)

Konvensi Hak Penyandang Disabilitas No.19 tahun 2011.

Undang-Undang tentang Penyandang Cacat, lihat juga Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Departemen Agama Republik Indonesia. al-quran dan terjemahnya. Bandung:

TB. Lubuk Agung, 1971.

Departemen Agama Republik Indonesia, al-Quran dan Terjemahnya. Bandung: CV. Diponegoro, 2010.

Jurnal dan Skripsi

Nasir, Muhammad Badui. “Perspektif Teoritis tentang Disabilitas”. The Politics, Vol.1No.2 (Juli, 2015).

Syafi’e, M. “Hukum Tak Mengerti Penyandang Disabilitas”. PLEDOI, (Edisi Januari-Februari, 2013).

Arif, Puguh Wijaya, “Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Kaum Difabel Sebagai Korban Tindak Pidan”, Skripsi--Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2013.

Kharisma N, Ira. “Pertanggung Jawaban Pidana Delik Pencabulan (Studi Putusan Sukoharjo No.46/Pid.B/2008)”,Skripsi--UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.

Khasanah, Uswatun. “Penerimaan Orang Tua Pada Anak yang Menyandang Tunarungu”, Skripsi—IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2011.

Musahab, “Tinjauan Fiqh Jinayah Terhadap Pidana Cabul Kepada Anak di Bawah Umur Menurut Pasal 294 KUHP dan Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002”, Skripsi--IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2013.

Rahmawati, Vani. “Tinjauan Tentang Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Pencabulan Menurut Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Studi Kasus Pengandilan Negeri Surakarta)”, Skripsi--Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010.

Sholihudin, “Pandangan Hukum Islam Terhadap Sanksi Perbuatan Cabul/Asusila Orang Tua Kepada Anaknya (Telaah Atas Pasal 294 KUHP Tentang Perbuatan Cabul/Asusila Orang Tua Kepada Anaknya)”, Skripsi--IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2004.

Tawakal, Iqbal. “Putusan Pengadilan Negeri Surabaya N0.33/Pid.B/2008/PN.Sby Dalam Perspektif UU N0.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Hukum Pidana Islam”, Skripsi--IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009.


(6)

   

Internet

Nasim Fauzi, “Tinjauan Hukum Pidana Islam sebagai salah satu sistem Restorative Justice”,dalam http://nasimfauzia.blogspot.com/2013/04/ negara -tanpa-penjara-03-html, diakses tanggal 16 Januari 2016.

Muhammad Salim, “ Fiqh Jinayah (Jarimah Dalam Islam)”, http://agama/ Fiqh Jinayah/ Jarimah Dalam Islam.html, diakses tanggal 8 januari 2016.

Women Difabel, “Difabel Produk Gagal?”, http:// blogger women difabel.com, diakses pada 12 Desember 2015