Harmoni dalam Perbedaan: Studi Kerukunan Islam dan Kristen di Perbatasan Desa Jungjang dengan Desa Arjawinangun Kabupaten Cirebon.

(1)

KABUPATEN CIREBON

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Adelina Fauziah

NIM: 1112032100002

JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H/2016 M


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

Development and Assurance (CeQDa) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا Tidak dilambangkan

ب b Be

ت t Te

ث ts te dan es

ج j ‘je

ح h h dengan garis bawah

خ kh ka dan ha

د d De

ذ dz de dan zet

ر r Er

ز z Zet

س s Es

ش sy es dan ye

ص s es dengan garis di bawah

ض d de dengan garis di bawah

ط t te dengan garis di bawah

ظ z zet dengan garis di bawah

ع ‘ koma terbalik di atas hadap kanan

غ gh ge dan ha

ف f Ef

ق q Ki

ك k Ka

ل l El

م m Em

ن n En

و w We

ه h Ha

ء ` Apostrof


(6)

v ABSTRAK

Adelina Fauziah

Judul Skripsi: “Harmoni dalam Perbedaan: Studi Kerukunan Islam dan

Kristen di Perbatasan Desa Jungjang dengan Desa Arjawinangun

Kabupaten Cirebon.”

Desa Jungjang dan Desa Arjawinangun merupakan dua desa yang saling berdekatan dan secara administratif berada dalam satu kecamatan yaitu Kecamatan Arjawinangun. Di antara kedua desa tersebut berjejer dua tempat ibadah yaitu Gereja Bethel Indonesia dan Masjid Fadlulloh. Kehidupan masyarakat di lingkungan Gereja dan Masjid berjalan normal dan rukun.

Kajian pokok studi ini adalah menggambarkan kerukunan masyarakat di lingkungan Gereja dan Masjid di wilayah perbatasan Desa Jungjang dan Desa Arjawinangun dengan menganalisa interaksi masyarakat baik di bidang ekonomi, sosial, politik, budaya. Selain itu penulis juga menganalisa faktor apa yang menyebabkan terciptanya kerukunan tersebut. Untuk menjelaskan masalah diatas penulis menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan melakukan pendekatan antropologis, sosiologis, dan historis.

Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa wilayah perbatasan Desa Jungjang dan Desa Arjawinangun berjalan harmonis. Kehidupan di sana berjalan normal dan tidak ada diskriminasi dalam interaksi masyarakat di bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya. Etnis dan agama tidak menjadi pembatas mereka untuk hidup rukun dan damai. Faktor kerukunan di wilayah tersebut di sebabkan oleh peran kedua tokoh agama dalam mengupayakan kehidupan yang aman serta kesadaran warga untuk hidup berdampingan membuat wilayah tersebut berjalan harmonis di tengah perbedaan yang ada. Kerukunan yang terjadi juga berhubungan dengan sejarah di mana Syekh Syarif Hidayatullah menikah dengan Putri Ong Tien. Pernikahan tersebut berdampak pada persatuan lintas etnis yaitu Pribumi dan etnis Cina. Selain itu peran lembaga keagamaan dan pemerintah yang mendukung terciptanya kerukunan di wilayah tersebut dengan melakukan berbagai program pembinaan.

Kata Kunci: Harmoni, Studi kerukunan, Islam dan Kristen, Perbatasan Desa


(7)

vi

nikmat, hidayah, dan rahmat yang dilimpahkan kepada hamba-Nya yang fana ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan kita para pengikutnya, sehingga penulis mampu

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Harmoni Dalam Perbedaan Studi Kerukunan Islam dan Kristen di Perbatasan Desa Jungjang dengan Desa Arjawinangun Kecamatan Arjawinangun Kabupaten Cirebon”

Berkat kekuatan yang diberikan oleh Allah yang maha Rahman, Rahim, dan Alim skripsi ini bisa terselesaikan. Usaha yang maksimalpun telah penulis lakukan untuk menyelesaikan tugas akhir di Program Sarjana (S1) Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta ini dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Dalam menyelesaikan Skripsi ini, tentunya banyak sekali bantuan yang penulis dapatkan dari berbagai pihak. Baik itu materil, maupun non materil. Sebab itu sepantasnya penulis mengucapkan terimakasih tak terhingga kepada beliau semua atas bantuannya. Terutama kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(8)

vii

3. Prof. Dr. Ikhsan Tangok, M.A, selaku Wadek I bidang Akademik Fakultas Ushuluddin. Dr. Bustami, M.A, selaku Wadek II bidang Administrasi Umum. Dr. M. Suryadinata, M.A, selaku Wadek III bidang Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. Media Zainul Bahri, M.A, selaku Ketua Jurusan Perbandingan Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Dra. Halimah Mahmudy M.Ag, selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama, yang selalu memberikan pelayanan kepada mahasiswanya dengan baik.

6. Dr. Ahmad Ridho, DESA, selaku Penasehat Akademik yang memberikan arahan dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan dengan baik.

7. Dra. Halimah Mahmudy M.Ag, selaku Dosen Pembimbing Skripsi, yang memberikan kontribusi yang besar dalam penyempurnaan Skripsi penulis, dengan arahan, kritik dan saran, terutama kesediaan waktunya dalam membimbing, sehingga penulis menyelesaikan skripsi ini berjalan dengan baik.

8. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin, yang telah memberikan ilmu pengetahuan, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat bagi penulis. 9. Seluruh Staf Akademik Fakultas Ushuluddin.

10.Para karyawan/karyawati Perpustakaan Utama dan Fakultas Ushuluddin yang telah menyediakan fasilitas dalam rangka penulisan skripsi ini.


(9)

viii

MUI kab. Cirebon, PGI kab. Cirebon, KH. Ahsin Sakho Muhammad, Taufiq Abdullah, Pdt.Steve Mardianto, S.Th, M.Th, David Mardianto, Dr. KH. Mukhlisin Muzari, M.Ag, Muhammad, Sukanta, Ika, Mei, Lahni, Sutina, Suwanda, Samsuri, Syam Baidillah, Abdul Nasir.

12.Orang tua tercinta; Ayahanda H. Mugni Labib dan Ibunda Hj. Kholida. Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan atas ketulusan dan kesabaran, kasih sayang yang tiada pernah berujung, doa yang setiap hari mereka panjatkan, dukungan moral dan material yang tak pernah putus memberikan semangat ketika penulis putus asa, semoga Allah selalu memberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Aamiin.. 13.Tak lupa kepada Kakak (Sailisah), Adik (Muhammad Firdaus,

Zahwatul Aulia), Paman (Mukti Ali), Keluarga Besar Bany Al-Qusyaeri, Keluarga Besar Mukahar, dan Someone )K’ Ihyaudin(. Penulis banyak mengucapkan banyak terimakasih yang tak terhingga karena selalu memberikan dukungan dan mengantarkan penulis ketempat penelitian dan selalu mensuport hingga terselesaikannya Skripsi ini.

14.Terima kasih kepada seluruh keluarga Perbandingan Agama angkatan 2012. Dan untuk sahabat tercinta Febi, Nufus, Eky, Dewi, Uzma, Rini, Laily, Ita, Nurul, Dita, Fiki, Fafa, Hendri, Warto’i, Ulil, Syamsul


(10)

(11)

x

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA SIDANG

MUNAQOSYAH ... ... ii

LEMBAR PERNYATAAN PENULIS ... iii

LEMBAR PEDOMAN TRANSLITERASI... . iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Tinjauan Pustaka ... 7

F. Metodologi Penelitian ... 9

G. Sistematika Penulisan …….. ... 16

BAB II LANDASAN TEORI A. Definisi Harmoni/kerukunan... 18

1. Harmoni dari Sudut Pandang Agama Islam ... .. 19

2. Harmoni dari Sudut Pandang Agama Kristen ... 20

B. Hubungan Keagamaan... 22

C. Peran Negara dalam Mewujudkan Kerukunan Antar Agama 27 1. Kerukunan Intern-Umat Beragama... ... 34

2. Kerukunan Antar-Umat Beragama... ... 34

3. Kerukunan Antar-Umat Beragama dengan Pemerintah 35 D. Model-model Kerukunan... 38

1. Kerukunan Aktif... ... 39

2. Kerukunan Pasif... ... 39

E. Faktor-faktor yang Mendasari Kerukunan... ... 42

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH PERBATASAN DESA JUNGJANG DENGAN DESA ARJAWINANGUN KECAMATAN ARJAWINANGUN KABUPATEN CIREBON A. Sejarah Singkat Desa Jungjang dan Desa Arjawinangun ... 48

B. Demografi ... 52

C. Keadaan sosial ... 57

D. Keadaan Ekonomi... ... 65

E. Analisa Pendekatan Antropologis, Sosiologis dan Historis Keadaan Desa Jungjang dan Desa Arjawinangun... 67


(12)

xi

BAB IV ANALISIS TENTANG HARMONI DALAM PERBEDAAN

STUDI KERUKUNAN ISLAM DAN KRISTEN DI

PERBATASAN DESA JUNGJANG DENGAN DESA

ARJAWINANGUN KECAMATAN ARJAWINANGUN

KABUPATEN CIREBON

A. Kerukunan Di Perbatasan Desa Jungjang dan Desa Arjawi- nangun ... 71 B. Hubungan Keagamaan di Perbatasan Desa Jungjang dengan

Desa Arjawinangun ... 75 C. Model-model Kerukunan di Perbatasan Desa Jungjang dan

Desa Arjawinangun ... 84 D. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kerukunan Um-

at Beragama ... 86 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 94 B. Saran ... 95 DAFTAR PUSTAKA


(13)

1

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan sebuah negara yang heterogen1 jika dipandang dari berbagai segi kehidupan. Heterogenitas tersebut meliputi kultur, adat, kebiasaan, ras, suku, serta agama yang beragam dan berbeda satu sama lain. Lebih khusus jika ditinjau dari sudut pandang agama, maka pembahasannya lebih kompleks dan sensitif.2 Dari keberagaman agama ini ada beberapa yang dianggap resmi dan tidak resmi oleh pemerintah Indonesia.3

Jaminan negara terhadap agama-agama tersebut seperti yang tercantum dalam pasal 1 Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan atau penodaan agama4, sesuai dengan lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3 pada tanggal 27 Januari 1965 dijelaskan bahwa agama yang dipeluk penduduk Indonesia adalah Agama Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu dan Kong Hu Cu (Confisius).5

1

Heterogen ialah masyarakat yang memiliki latar kebudayaan, ras, dan ideologi yang berbeda. Pius A Paranto, dkk., Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola Surabaya, T.t), h. 225.

2

Amirullah Syarbini, dkk., Al-Quran dan Kerukunan Hidup Umat Beragama (Jakarta: PT Alex Media Komputindo, 2011), h. 99.

3

Media Zainul Bahri, Dosen Fakultas Ushuludin UIN Syarif Jakarta menjelaskan Agama resmi ialah agama-agama yang di danai oleh APBN sementara tidak resmi yang jumlahnya ratusan tetap diakui tapi tidak mendapatkan dana dari APBN negara.

4

Mubarok, Kompendium Regulasi Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB), 2014), h. 53.

5

Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama Departemen Agama R.I, Laporan Observasi 1979/1980, Dinamika Kerukunan Hidup Beragama di Daerah (Jakarta: 1983), h. 3.


(14)

2

Lebih lanjut, negara tidak hanya melindungi dan memberi kebebasan, bahkan mendorong dan memberikan bantuan kepada umat beragama untuk memajukan kehidupan agamanya. Hal ini sejalan dengan pemerintah seperti yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 29 “Bahwa kehidupan beragama di Indonesia dijamin oleh Negara. Setiap penduduk sebagai warga negara diberi kemerdekaan untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.6

Namun terkadang agama yang sudah jelas-jelas resmi dan dijamin pun masih saja terjadi gesekan di antara satu sama lain. Lebih-lebih agama atau kepercayaan yang belum secara resmi diakui oleh negara, sudah barang tentu keberadaannya menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat dan seringnya menimbulkan konflik horizontal yang mengancam stabilitas keamanan negara.

Kekerasan di negeri yang terus terjadi, hal yang membuat kekerasan menjadi fenomena eksesif berlangsung di hampir semua ranah kehidupan.7 Belakangan peristiwa penting berbau agama muncul kembali ke permukaan dan sempat menjadi buah bibir masyarakat. Konflik yang melibatkan dua penganut mayoritas agama di Indonesia, yaitu agama Islam dan agama Kristen. Perusakan dan pembakaran sejumlah gereja terjadi di Temanggung, Jawa Tengah. Alasan perusakan itu berangkat dari masalah ketidakpuasan

6

Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama Departemen Agama R.I, Laporan Observasi 1979/1980, Dinamika Kerukunan Hidup Beragama di Daerah, h. 3.

7


(15)

sekelompok umat Islam terhadap hukuman yang diberikan kepada tokoh Kristen yang telah melakukan penistaan terhadap ajaran agama Islam.

Ekses dan efek dominan dari ketidakpuasan itu menyulut pada tindakan pembakaran sejumlah Gereja di Temanggung, Jawa Tengah.8 Atau kasus sebaliknya ketika terjadi pembakaran Masjid di Karubaga Kabupaten Tolikara, Papua yang dilakukan oleh umat Nasrani saat umat Muslim hendak melaksanakan Shalat Idul Fitri, bahkan tidak hanya masjid, aksi pembakaran tersebut meluas hingga merusak enam rumah dan 11 kios.9 Peristiwa tersebut penting mendapatkan perhatian serius dari seluruh komponen umat beragama pada umumnya dan pemerintah khususnya. Belum lagi kasus-kasus yang melibatkan intern umat itu sendiri. Kasus pengungsi Sampang, Madura contohnya. Konflik tersebut masih terkait dengan agama, namun, karena berbeda madzhab, perpecahan yang tidak hanya merenggut nyawa manusia, lebih dari itu harus meninggalkan tanah kelahiran.

Dari kasus-kasus tersebut harus dipahami bahwa Keanekaragaman itu butuh di kelola, dibina dan dijaga dengan baik secara terus-menerus ditularkan ke generasi selanjutnya. Manajemen kehidupan berbangsa dan bernegara atas keragaman menjadi kebutuhan mendesak yang tidak dapat ditunda-tunda. Ini semua dilakukan dalam rangka menciptakan kedamaian di tengah masyarakat yang majemuk dan plural.10

8

Amirullah Syarbini, dkk., Al-Quran dan Kerukunan Hidup Umat Beragama, h. 2.

9Ilham, “Ini Kronologi Pembakaran Masjid di Tolikara,” artikel diakses pada

5 Desember 2015 dari http/News Republika/berita/nasional/15/07/17. Co.Id

10


(16)

4

Dari beberapa fenomena yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka penulis merasa perlu untuk mengangkat kehidupan keberagaman masyarakat di perbatasan Desa Jungjang dan Desa Arjawinangun, kecamatan Arjawinangun kedalam penelitian ini. Penulis memilih membahas masalah tersebut dikarenakan atas beberapa hal yang menarik untuk menjadi potret kerukunan, contoh baik bagi persatuan dan kesatuan warga negara Indonesia yang majemuk, berbeda suku, etnis, agama dan kepercayaan.

Dari sisi wilayah, letak bangunan Masjid Fadlullah dan Gereja Bethel Indonesia (GBI) hanya berjarak 240 meter, dua rumah ibadah tersebut saling berdekatan namun beda administratif wilayah desa. Gereja masuk ke wilayah Desa Jungjang, dan Masjid Fadlullah di Desa Arjawinangun. Tetapi dua daerah tersebut masih dalam satu wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Arjawinangun. Meski berbeda desa, tetapi intensitas mereka lebih sering berinteraksi satu sama lain dibandingkan dengan mereka yang secara administratif berada satu wilayah pedesaan.

Menarik untuk dibahas bahwa faktanya, di perbatasan Desa Jungjang dan Desa Arjawinangun ada tiga rumah peribadatan yang saling berdekatan, yaitu Masjid, Gereja, dan satunya lagi adalah Vihara. Dari ketiga rumah ibadah tersebut, menurut Taufik Abdullah. Tokoh agama Islam Arjawinangun Masjid merupakan bangunan tertua dan lebih dahulu berdiri daripada yang lainnya.


(17)

Hasil penelitian dan wawancara dengan Sukanta umat kristen Jungjang beserta tokoh agama lainnnya seperti Taufik Abdullah11, Mursana12, Steve Mardianto13, Mukhlisin Muzari14 dapat disimpulkan pola kerukunan Desa Arjawinangun dengan Desa Jungjang masuk kedalam pola kerukunan aktif.

Hal ini menarik untuk ditelusuri dan diteliti menjadi bahan kajian keharmonisan sebuah masyarakat yang telah terjalin begitu indah dan terjaga dari dulu hingga sekarang. Apa faktor kerukunan yang terjadi di Desa Jungjang dan Arjawinangun sehingga tidak pernah terjadi konflik horizontal di antara mereka.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka perlu dilakukan pembatasan masalah agar penelitian lebih terarah mendetail dan tidak menyimpang dari pokok penelitian. Oleh karena itu penulis, memfokuskan kepada pembahasan atas masalah-masalah pokok yang dibatasi dalam konteks kerukunan umat beragama antara Islam dan Kristen di perbatasan Desa Jungjang dengan Desa Arjawinangun. Kemudian responden yang diteliti adalah masyarakat di perbatasan Desa Jungjang dan Desa

11

Wawancara Pribadi dengan Taufiq Abdullah Imam Masjid Fadlullah. Arjawinangun, 5 Januari 2016.

12

Mursana, M.Ag., Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragam (FKUB) Kabupaten Cirebon Periode 2011-2016.

13

Pendeta Steve Mardianto, M.Th., Wakil Ketua II Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Cirebon Periode 2011-2016.

14

Dr. KH. Mukhlisin Muzari, M.Ag, Wakil Ketua I Forum Kerukunan Umat Beragam (FKUB) Kabupaten Cirebon Periode 2011-2016.


(18)

6

Arjawinangun Kecamatan Arjawinangun Kabupaten Cirebon serta lembaga-lembaga terkait.

Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran kerukunan di perbatasan Desa Jungjang dan Arjawinangun dan apa faktor yang mempengaruhinya?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui gambaran kerukunan yang terjadi di perbatasan Desa Jungjang dengan Desa Arjawinangun dan faktor yang mempengaruhinya.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Di bidang akademisi

Memberikan sumbangsih hasil karya penelitian bagi UIN Syarif Hidayatullah pada umumnya dan Fakultas Ushuluddin Jurusan Studi Agama-Agama khususnya.

2. Di bidang praktisi

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dan menjadi referensi bagi penelitian-penelitian lebih lanjut oleh mahasiswa Studi Agama-Agama tentang kerukunan umat beragama khususnya Islam dan Kristen di Perbatasan


(19)

Desa Jungjang dan Desa Arjawinangun Kecamatan Arjawinangun Kabupaten Cirebon dan pada umumnya di wilayah lain di Indonesia.

E. Tinjauan Pustaka

Dari hasil penelusuran penulis, belum ditemukan studi mengenai

Harmoni dalam Perbedaan Studi Kerukunan Islam dan Kristen di Perbatasan Desa Jungjang Dengan Desa Arjawinangun Kecamatan Arjawinangun Kabupaten Cirebon.

Adapun buku-buku yang menjadi rujukan skripsi ini antara lain: 1. Skripsi karya Iyus Riyan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tahun Kelulusan 2006 yang berjudul Kerukunan Umat Beragama Antara Umat Islam dan Kristen ( Studi kasus: di Desa Sindang Jaya kecamatan Cirancang Kabupaten Cianjur), skripsi ini menerangkan tentang potensi sosial untuk menunjang kerukunan umat beragama. Perbedaan yang paling fundamental yang secara garis besar membedakan antara skripsi ini dengan penelitian penulis adalah menerangkan faktor utama terjadinya kerukunan beragama itu sendiri. Kerukunan beragama di Perbatasan antara Desa Jungjang dengan Desa Arjawinangun Kecamatan Arjawinangun terbentuk karena faktor kedekatan secara historis, bahwa umat Islam terbiasa berinteraksi dengan etnis Tionghoa yang pada perkembangan orang-orang Tionghoa tersebut beragama Kristen kemudian mendirikan gereja di sana. Selain itu letak tempat penelitian juga berpengaruh kepada


(20)

8

hasil penelitian, karena perbedaan tempat akan memungkinkan perbedaan karakter, adat dan kebiasaan penduduk.15

2. Dari buku Membangun Kerukunan Umat Beragama Sebuah Pengantar menjelaskan, menjabarkan dan menyebarkan gagasan besar mengenai kerukunan dan paham keagamaan yang moderat dalam menjaga kemajemukan dan merawat keharmonisan hubungan intra dan antar penganut agama (Lihat pada buku Membangun Kerukunan Umat Beragama Sebuah Pengantar, Media Zainul Bahri, h. 3.)

3. Dari buku Fikih Hubungan antar Agama menjelaskan sebuah tafsiran (interpretasi) sebagai sebuah hasil ijtihad untuk mengatur hubungan antar agama (Lihat Pada buku Fikih Hubungan Antar Agama, Said Aqil Husin Al-Munawar, h. 25.)

4. Dari buku Al-Qur’an & Kerukunan Hidup Umat Beragama menjelaskan pentingnya membangun toleransi antar umat beragama karena perbedaan agama merupakan kodrat Tuhan dan kenyataan kehidupan yang tak terbantahkan (Lihat Pada buku Al-Qur’an & Kerukunan Hidup Umat Beragama, Amirullah Syarbini, dkk., h. 11.)

5. Dari buku Jalan Hidup Sunan Gunung Jati Sejarah Faktual dan Filosofi kepemimpinan seorang pandhita-raja memberikan penjelasan mengenai sebuah ajaran-ajaran Sunan Gunung Jati dan berhasil menghadirkan pola kepemimpinan dengan nilai-nilai ilahi sebagai landasannya (Lihat pada

15

Iyus Riyan, “Skripsi Kerukunan Umat Beragama Antara Islam dan Kristen,” (Studi Kasus: di Desa Sindang Jaya ec, Ciranjang-Cianjur) (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006), h. 6.


(21)

buku Sunan Gunung Jati Sejarah Faktual dan Filosofi Kepemimpinan Seorang Pandhita-Raja, Eman Suryaman, h. 7.)

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan atau studi kasus dengan tema Harmoni dalam Perbedaan Studi Kerukunan Islam dan Kristen di Perbatasan Desa Jungjang Dengan Desa Arjawinangun Kecamatan Arjawinangun Kabupaten Cirebon.

2. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.

a. Data primer yaitu data yang dikumpulkan dan diolah sendiri atau seorang atau suatu organisasi langsung dari obyeknya.16

b. Data sekunder yaitu data sejarah yang bersumber dari hasil rekontruksi orang lain, seperti buku dan artikel yang ditulis orang-orang yang tidak sezaman dengan peristiwa tersebut.17 Data ini penulis mengambil dari berbagai sumber seperti; perpustakaan, buku-buku, dokumen-dokumen, internet dan sumber-sumber lainnya yang berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan. Menurut sugiyono, data sekunder merupakan sumber data yang

16

Prasetya Irawan, Logika dan Prosedur Penelitian (Jakarta: STIA Lembaga Administrasi Negara, 1999), h. 65.

17

Sayuti Ali, Metodologi Penelitian Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 21.


(22)

10

tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau dokumen.18

3. Teknik Pengumpulan Data

Ada beberapa teknik yang akan digunakan untuk mengumpulkan data, diantaranya yaitu:

a. Teknik Wawancara

Yaitu penelitian yang diajukan secara lisan (pengumpul data bertatap muka dengan responden).19 Dan bertujuan mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-pendirian mereka itu, merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi.20

Penulis melakukan wawancara dengan responden Harmoni dalam Perbedaan Studi Kerukunan Islam dan Kristen di Perbatasan Desa Jungjang dengan Desa Arjawinangun Kecamatan Arjawinangun Kabupaten Cirebon. Dengan teknik wawancara ini penulis mengumpulkan data dan informasi lebih detail terhadap warga di perbatasan kedua desa tersebut diantaranya perwakilan tokoh agama, tokoh masyarakat dan aparatur desa.

b. Teknik Observasi

Teknik observasi yaitu mengamati dan mendengar dalam rangka memahami, mencari jawaban, mencari bukti terhadap

18

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: ALFABETA, 2010), h. 225.

19

Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial (jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 52.

20

Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta:PT Gramedia, 1977), h. 129.


(23)

fenomena sosial-keagamaan (perilaku, kejadian-kejadian, keadaan, benda dan simbol-simbol tertentu) selama beberapa waktu tanpa mempengaruhi fenomena yang di observasi, dengan mencatat, merekam, memotret fenomena untuk penemuan data analisis.21 c. Tinjauan teori

Dalam tinjauan teori ini penulis menggunakan teori fungsionalis yang dikembangkan oleh Talcott Parson di mana teori tersebut menekankan pada keserasian, keteraturan dan keseimbangan dalam sebuah sistem sosial. Dalam sebuah sistem sosial menurut Parson, terdapat nilai-nilai dan norma yang menjadi patokan dan rujukan tingkah laku bagi setiap anggota komunitas.22 Penulis akan mengamati nilai-nilai dan norma apa yang menjadi panutan dan rujukan bersama antara Islam dan Kristen di perbatasan Desa Jungjang dengan Desa Arjawinangun, apakah nilai-nilai dan norma yang dimaksud adalah peran agama dan para tokoh setempat, dan sejauh mana hal tersebut memberikan pengaruhnya terhadap kerukunan yang terjadi.

4. Langkah-langkah Pengumpulan Data a. Tempat Penelitian

Lokasi penelitian ini di Perbatasan antara Desa Jungjang dengan Desa Arjawinangun Kecamatan Arjawinangun Kabupaten

21

Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h. 167.

22

U. Maman dkk., Metodologi Penelitian Agama teori dan praktik (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 129


(24)

12

Cirebon. Pengambilan data berada di perbatasan wilayah antara Desa Jungjang dan Desa Arjawinangun, ini dipilih sebagai lokasi penelitian dengan mempertimbangkan beberapa faktor, salah satunya karena lokasi tersebut terdapat dua rumah ibadah yang berbeda yaitu Masjid Fadlullah dan Gereja Bethel Indonesia. b. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan antara bulan Januari 2016 sampai dengan bulan Agustus 2016.

c. Pendekatan

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Pendekatan Antropologis

Pendekatan antropologis agama adalah pendekatan yang berupaya memahami kebudayaan-kebudayaan produk manusia yang berhubungan dengan agama.23 Kemudian menurut John Lubbock pendekatan antropologis adalah mempelajari latar belakang kepercayaan, pengetahuan, norma dan nilai-nilai ajaran agama serta tradisi keagamaan yang berkembang dan dianut oleh masyarakat. Pada praktiknya, semua tindakan manusia dalam kehidupan beragama dilatarbelakangi oleh sistem budaya sebagai sistem gagasan, ideologi yang dianut, kepercayaan, ilmu

16

Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-agama Dari Era Teosofi Indonsia (1901-1940) Hingga Masa Reformasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 47.


(25)

pengetahuan, norma dan nilai.24 Menurut Edward Norbeck bahwa studi agama secara antropologis bisa digambarkan sebagai semacam studi kasus persamaan dan perbedaan serta kepercayaan dan pelaksanaannya di seluruh dunia luar. Sebagai akibat dari studi perbandingan ini, agama-agama di dunia pada prinsipnya telah memperlihatkan dasar-dasar filosofis yang sama, dalam hal tindakan upacara dan aturan-aturan wujud peran agama dalam kehidupan manusia.25

2) Pendekatan Sosiologis

Pendekatan sosiologis yaitu pendekatan yang diangkat dari ekspresiensi atau pengalaman konkrit sekitar agama yang dikumpulkan dari berbagai sumber, baik sejarah (masa lampau) maupun dari kejadian-kejadian sekarang. Pendekatan sosiologis tidak memberikan tafsiran yang evaluatif, ia hanya menguraikan secara deskriptif. Agama dipandang hanya sebagai bentuk tingkah laku manusia.26 Menurut Media Zainul Bahri, bahwa pendekatan sosiologis berfokus kepada masyarakat yang memahami dan mempraktikkan agama; bagaimana pengaruh masyarakat terhadap agama dan pengaruh agama terhadap masyarakat.27 Dalam buku Imam Suprayogo dan Tobroni dijelaskan bahwa objek penelitian

24

Abdullah Ali, Agama Dalam Ilmu Perbandingan ( Bandung: Nuansa Aulia, 2007), h.89

25

Abdullah Ali, Agama Dalam Ilmu Perbandingan, h.100

26

Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama Pengantar Awal Metodologi Studi Agama-agama (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 49-50.

27

Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-agama Dari Era Teosofi Indonsia (1901-1940) Hingga Masa Reformasi, h. 44.


(26)

14

agama dengan pendekatan sosiologis menurut Keith A. Robert memfokuskan pada (1) kelompok-kelompok dan lembaga keagamaan (melalui pembentukannya, kegiatannya, kegiatan demi kelangsungan hidupnya, pemeliharaannya, dan pembubarannya) (2) perilaku individu dalam kelompok-kelompok tersebut tersebut (proses sosial yang mempengaruhi status keagamaan dan perilaku ritual) (3) konflik antar kelompok.28

3) Pendekatan Historis

Pendekatan historis adalah suatu pendekatan untuk menelusuri asal-usul, dan pertumbuhan agar serta institusi-institusi keagamaan dalam periode-periode perkembangannya untuk mendapatkan gambaran yang jelas, yang dengannya konsep-konsep tentang pengalaman keagamaan dapat dihargai dan dipahami maka gambaran-gambaran utuh mengenai suatu agama akan dapat dicapai.29 Menulis suatu sejarah, menurut Media Zainul Bahri berarti merekonstruksi suatu episode atau kejadian masa lalu untuk dihadirkan masa kini, untuk dipertanyakan, dilihat relevansi dan kepentingannya dengan masa kini.30 menurut Hasan Usman pendekatan historis adalah suatu periodisasi atau tahapan-tahapan

28

Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT Remaja Rosdakarya ,2003), h. 67

29

Mujahid Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan Agama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

1994), h. 28.

30

Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-agama Dari Era Teosofi Indonsia (1901-1940) Hingga Masa Reformasi, h. 16.


(27)

yang ditempuh untuk suatu penelitian sehingga dengan kemampuan yang ada dapat mencapai hakikat sejarah. Sedangkan yang dimaksud dengan kenyataan dan kebenaran sejarah bukanlah harus sampai pada kenyataan dan kebenaran mutlak. Karena hal itu berada di luar kemampuan, juga hilangnya petunjuk, misalnya bekas peninggalan, atau karena ada tujuan dan kepentingan tertentu. Dengan demikian, hakikat yang ditemukan sejarah adalah hakikat yang valid, tetapi relatif, sedangkan tujuan dari penelitian sejarah itu sendiri adalah membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi.31

5. Teknik Analisa Data

Berdasarkan jenis data yang dikumpulkan maka teknik yang digunakan ialah metode kualitatif deskriptif, yaitu sebuah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan gejala sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Dalam penelitian agama, penelitian kualitatif deskriptif berusaha menggambarkan suatu gejala keagamaan.32

6. Panduan Penulisan

Penulisan dalam penelitian ini menggunakan standar yang ditetapkan dalam buku, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis,

31

Adeng Muchtar, Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama Pengantar Awal Metodologi Agama-agama (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h. 39

32

U Maman,dkk., Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktik (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006), h. 29.


(28)

16

dan Disertasi), yang diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam Penulisan ini, penulis membagi pembahasan kedalam empat bab, dengan uraian sebagai berikut :

BAB I: PENDAHULUAN

Bab ini mencakup Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat penelitian, Tinjauan Pustaka, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II: LANDASAN TEORI

Bab kedua ini menjelaskan tentang definisi harmoni dari sudut pandang agama Islam dan agama Kristen, kemudian hubungan keagamaan, peran negara dalam mewujudkan kerukunan antar agama, selanjutnya model-model kerukunan, faktor-faktor yang mendasari kerukunan.

BAB III: GAMBARAN UMUM WILAYAH PERBATASAN DESA

JUNGJANG DENGAN DESA ARJAWINANGUN KECAMATAN

ARJAWINANGUN KABUPATEN CIREBON

Bab Ketiga mencakup sejarah kedua desa, demografi dan geografis desa, keadaan sosial, keadaan ekonomi serta sub bab terkahir tentang analisa melalui pendekatan antropologis sosiologis, dan historis.


(29)

BAB IV: ANALISIS TENTANG HARMONI DALAM PERBEDAAN STUDI KERUKUNAN ISLAM DAN KRISTEN DI PERBATASAN DESA JUNGJANG DENGAN DESA ARJAWINANGUN KECAMATAN ARJAWINANGUN KABUPATEN CIREBON

Bab Keempat berisi tentang gambaran kerukunan yang terjadi di wilayah tersebut, hubungan keagamaan, model kerukunan di perbatasan Desa Jungjang dengan Desa Arjawinangun, faktor yang mempengaruhi terjadinya kerukunan umat beragama.

BAB V: PENUTUP

Bab Kelima merupakan bab terakhir berisi penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran, daftar pustaka, dan lampiran-lampiran.


(30)

18 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Definisi Harmoni/Kerukunan

Membahas tentang harmoni antara Islam dan Kristen, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu arti umum kata harmoni secara etimologi dan terminologi. Setelah itu penulis akan memaparkan definisi harmoni dalam arti khusus yaitu dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang Islam dan Kristen.

Secara etimologi kata harmoni berasal dari bahasa Inggris yaitu

harmonious yang berarti rukun, seia-sekata; harmonious relationship berarti hubungan yang rukun; harmonize yang berarti berpadanan, seimbang, cocok, berpadu; harmonis berarti keselarasan, keserasian, kecocokan, kesesuaian, kerukunan. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, harmoni adalah keselarasan; selaras.1 Dalam Kamus Ilmiah Populer diartikan keselarasan, kecocokan, dan keserasian.2

Sedangkan jika ditinjau dari segi terminologi, harmoni bermakna tidak melarang, tidak ada kerusuhan, aman, tentram, tenang.3 Kerukunan bisa dimaknai situasi masyarakat yang aman, tenang, dan kehidupan yang damai/rukun antar masyarakat. Dalam kaitan hubungan antarumat beragama, kerukunan umat beragama dimaknai sebagai hubungan sesama umat

1

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa

(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 299.

2

Pius A Paranto, dkk., Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola Surabaya, T.t), h. 220.

3

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, h. 206.


(31)

beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agama dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.4

Harmoni dicapai jika tidak terjadi konflik-konflik sosial. Bukan berarti dengan adanya perbedaan dan keragaman dan keberbedaan merupakan bagian dari syarat terwujudnya keharmonisan sosial. Tanpa pluralitas atau kemajemukan tidak bisa ditemukan istilah harmonis, rukun, selaras, serasi, bersatu, dan semacamnya. Keberbedaan dan keragaman tersebut akan membentuk keharmonisan jika dikelola dengan baik.5

1. Harmoni dari sudut pandang agama Islam

Dalam bahasa arab kata yang dipakai untuk harmoni adalah ta’aluf. Ta’aluf berarti keakraban, kekariban, kerukunan, dan kemesraan, dan saling pengertian. Kata lain untuk harmoni dalam bahasa arab adalah tawafuk, artinya persetujuan pemufakatan, perjanjian dan kecocokan, kesesuaian, keselarasan. Dalam kamus bahasa Arab ta’alafu berasal dari kata alifa - ya’lafu alfan yang berarti menjinakkan, menjadi jinak, mengasihi.6

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa arti lain dari harmoni adalah kerukunan.

4

Abdul Jamil Wahab, Harmoni di Negeri Seribu Agama Membumikan Teologi dan Fikih Kerukunan (Jakarta: PT Gramedia, 2015), h. 5.

5Feny Zami, “Hubungan agama dengan harmoni,” a

rtikel diakses pada 2 Maret 2016 dari http://fenyzami.blogspot.co.id/2011/12/hubungan-agama-dengan-harmoni-dan.html

6


(32)

20

Dalam Al-Qur’an kata rukun di singgung dalam surat al-Mumtahana 7-9. Allah berfirman:

هد م ْم ْ م ْمتْيد ع ي هلا ْيبو ْمك ْيب لعْجي ْنأ هَ ىسع ( ٌميحر ٌر فغ هَو ٌ ي ق هَو

مك ْ ي ا )

ا سْقتو ْمهوُ ت ْنأ ْمكر يد ْ م ْمك ج ْ ي ْملو يّ لا يف ْمك لت قي ْمل ي هلا ع هَ ُبحي هَ هنإ ْم ْيلإ

( ي سْق ْلا ْخأو يّ لا يف ْمك لت ق ي هلا ع هَ مك ْ ي ه إ )

ىلع او ه ظو ْمكر يد ْ م ْمك ج

ن ل هظلا مه ك لوأف ْم هل تي ْ مو ْمهْ هل ت ْنأ ْمكجا ْخإ (

)

Artinya:

“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang di antara kamu dengan orang-orang yang pernah kamu musuhi di antara mereka. Allah Mahakuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”7

2. Harmoni dari sudut pandang Agama Kristen

Menurut Kristus ia mengatakan bahwa harmoni yang paling mendasar berasal dari Allah itu sendiri. Allah berprakarsa memulihkan hubungan makhluk dan khalik. Menurutnya, penyaliban dan kebangkitan Kristus merupakan puncak harmonisasi dari pihak Allah untuk berdamai dengan manusia. Selanjutnya Kristus menekankan bahwa pemulihan hubungan dengan sesama yang ada di depan mata harus didahulukan dari hubungan dengan Allah yang tidak bisa dilihat mata. Kristus bersabda,

7

Usman, El-Qurtuby, Al-Qur’an Cordoba (Bandung: PT Cordoba Internasional


(33)

“Sebab itu jika engkau mempersembahkan persembahanmu diatas mezbah8 dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk

mempersembahkan persembahanmu itu“ (Matius 5: 23-24)9

Dalam hal ini Yewangowe mengatakan bahwa harmoni/kerukunan tidak dapat dipisahkan dari kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan sebagaimana perintah Tuhan yang tercantum dalam al-kitab10 antara lain:

“Sungguh alangkah baik dan indahnya apabila saudara-saudara berdiam

dan bersama dengan rukun.” (Mazmur 133:1)11

Al-kitab menegaskan bahwa ”Allah itu baik bagi semua orang (Mzm.145:9), dan bahwa Allah menerbitkan matahari, bagi orang baik orang jahat sekalipun (Mat.5:45). Ini berarti bahwa Allah sebagai bapa tidak dapat di klaim hanya pada umat kristen. Ia adalah bapa bagi semua

orang. Doa Yesus, “supaya mereka menjadi satu sama seperti Engkau, ia

Bapa, di dalam aku dan aku di dalam engkau” (Yoh.17:21), memperlihatkan persekutuan yang sangat erat di dalam Allah Tritunggal atas dasar kasih.12

8

Mezbah adalah tempat menyembelih binatang yang akan dikurbankan, biasanya bentuknya seperti meja tinggi, terbuat dari kayu atau batu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 568.

9Andar Ismail,”Harmoni,” artikel diakses pada 17 Maret 2016 dari

sabda.org/harmoni

10

Yewangowe, Agama Dan Kerukunan (Jakarta: Gunung Mulia, 2009), h. 106.

11

Lembaga Alkitab Indonesia, Al-Kitab (Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia, t.t,), h. 777.

12


(34)

22

Hal seperti ini semestinya tercermin dalam relasi-relasi antar manusia, yang tentu saja harus di mulai dalam relasi-relasi intern umat kristen. Di sanalah kita memperoleh teladan dan sekaligus kekuatan untuk mempraktekan kerukunan antar sesama manusia tanpa memandang suku, agama, ras dan golongan.13

B. Hubungan Keagamaan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti hubung yaitu bersambung atau berangkai, bertalian, berkaitan dengan dan bersangkutan (yang satu dengan yang lain). Dan hubungan berarti keadaan berhubungan antara satu individu dengan individu lain atau kelompok.14

Kata agama berasal dari bahasa sanskerta. Kata agama terdiri dari dua suku kata yaitu a dan gam. A berarti tidak, sedangkan gam mengandung arti pergi (lawan datang). Sehingga a+gam berarti tidak pergi, diam atau datang. Dengan ditambah akhiran a, maka a+gam menjadi a+gam+a, yang berarti kedatangan. Dalam hal (agama) ini adalah kedatangan wahyu atau sabda Tuhan. Sabda tuntunan dan penjelasan untuk hidup bagi umat manusia dalam mencari kebahagiaan, kedamaian, dan kebenaran di dunia ini.15

Di dalam lontar Sundradigma, kata agama dikupas dan diberi pengertian sebagai berikut:

13

Hamka Haq. MA dkk, Dari Wacana Ke Aksi Nyata (Jakarta: Titahandalusia, 2002), h. 76.

14

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia

(Jakarta: PT Intergrafika, 1996), h. 293.

15

Ngurah Ngala dan Adia Wiratmadja, Murdha Agama Hindu (Denpasar: PT Upada Satria, 1989), h. 4.


(35)

1. Agama. Kata agama ini terdiri dari suku kata a, ga, dan ma.16 2. Ugama, kata agama ini terdiri dari u, ga dan ma17

3. IGAMA. Kata igama ini terdiri atas suku kata i, ga dan ma.18

Dengan demikian makna dari hubungan keagaman adalah sebuah interaksi satu individu, dengan individu lain atau kelompok dalam kaitannya menjalankan sebuah ritual, atau prosesi peribadatan dalam satu kelompok atau dengan kelompok lain. Di dalam hubungan keagamaan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya ekonomi, sosial, politik, budaya serta peran tokoh agama itu sendiri.

Selanjutnya penulis akan memaparkan penjelasan tentang pengertian tokoh masyarakat –(yang di dalamnya mencakup tokoh agama atau pemuka agama)- serta pengaruhnya dalam masyarakat. Tokoh agama atau pemuka agama, dapat diartikan sebagai ulama, pendeta, biksu dan lain sebagainya,

16

Suku kata dari Agama adalah A mempunyai makna awang-awang atau kosong atau hampa. Ga mengandung pengertian genah atau tempat. Dan Ma adalah matahari atau cahaya atau terang (sinar), maksud dari penjelasan ini hati dan pikiran manusia yang masih kosong perlu diisi sinar suci dari Tuhan, agar menjadi terang. Sinar suci ini berupa tuntunan ajaran Tuhan untuk mengatur perilaku manusia menjadi bersusila dna berbudhi. (Lihat dari Ngurah Ngala dan Adia Wiratmadja, Murdha Agama Hindu ((Denpasar: PT Upada Satria, 1989), h. 5.

17

Kata dari Ugama adalah U mempunyai makna udaka, tirta atau air suci. Ga berarti geni atau api. Sedangkan Ma kependekan dari maruta yang berarti angin atau udara. Uraian tentang penggunaan sarana air, api, udara dalam memuja Tuhan. Maksudnya agar umat manusia di dalam melakukan pemujaan terhadap Tuhan selalu mempergunakan sarana berupa air suci, api berupa dupa, dan udara berupa mantra, bunyi-bunyian, wangi-wangian. (Lihat dari Ngurah Ngala dan Adia Wiratmadja, Murdha Agama Hindu (Denpasar: PT Upada Satria, 1989), h. 5.

18

Suku kata Igama adalah I bermakna Iswara atau Siwa, Ga berarti angga atau badan sarira, Ma memiliki arti amerta atau hidup. Berdasarkan pengertian ini dimaksudkan sebagai suatu sikap manusia atas pengakuannya bahwa badan sariranya dapat hidup atas karunia dari Iswara atau Siwa (Tuhan). Ngurah Ngala dan Adia Wiratmadja, Murdha Agama Hindu (Denpasar: PT Upada Satria, 1989), h. 6.


(36)

24

yang memiliki kontribusi dalam agamanya dan memiliki pengetahuan lebih dan dianggap lebih banyak ilmu agama oleh para pengikutnya.19

Menurut UU Nomor 8 Tahun 1987 pasal 1 ayat 6 Tentang Protokol bahwa tokoh masyarakat, adalah seseorang yang karena kedudukan sosialnya menerima kehormatan dari masyarakat dan/atau Pemerintah.20 Sedang pengertian tokoh masyarakat menurut UU Nomor 2 Tahun 2002 pasal 39 ayat 2 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa bahwa tokoh masyarakat ialah pimpinan informal masyarakat yang telah terbukti menaruh perhatian terhadap kepolisian.21

Untuk memahami dengan baik, siapa dan apa yang menyebabkan seseorang disebut sebagai tokoh masyarakat paling tidak disebabkan oleh lima hal yaitu:

1. Kiprahnya di masyarakat sehingga yang bersangkutan ditokohkan oleh masyarakat yang berada dilingkungannya. Dengan ketokohannya itu, maka masyarakat memilihnya untuk menduduki posisi-posisi penting di masyarakat mulai dari ketua RT, ketua RW, ketua organisasi kepemudaan, ketua masjid, pemimpin organisasi kemasyarakatan yang berakar di masyarakat seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan lain-lain.

Termasuk tokoh agama, tokoh adat, tokoh organisasi kedaerahan, tokoh lingkungan, tokoh dari suatu kawasan, tokoh keturunan darah biru, tokoh pekerja, tokoh pergerakan. Dengan ketokohannya, ada yang mencalonkan

19Calie Priboemi, “Tokoh Masyarakat,” artikel diakses pada 16 Mei 2016 dari

http://zangpriboemi.blogspot.co.id/2014/09/tokoh-masyarakat.html

20

Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1987 pasal 1 ayat 6 Tentang Protokol, hal. 2.

21

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 pasal 39 ayat 2 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.


(37)

diri dan dicalonkan oleh partai politik untuk menjadi calon anggota parlemen di semua tingkatan.

2. Memiliki kedudukan formal di pemerintahan seperti Lurah/Wakil Lurah, Camat/Wakil Camat, Walikota/Wakil Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur dan lain-lain. Karena memiliki kedudukan, maka sering blusukan dan bersama masyarakat yang dipimpinnya. Ketokohannya menyebabkan dihormati, dipanuti, diikuti, diteladani oleh masyarakat. Pemimpin formal semacam ini, pada suatu waktu bisa disebut tokoh masyarakat, apakah masih memiliki jabatan/kedudukan atau sudah pensiun/tidak lagi memiliki kedudukan formal.

3. Mempunyai ilmu yang tinggi dalam bidang tertentu atau dalam berbagai bidang sehingga masyarakat dan pemimpin pemerintahan dari tingkatan paling bawah – sampai ke atas selalu meminta pandangan dan nasihat kepadanya. Karena kepakarannya, maka yang bersangkutan diberi kedudukan dan penghormatan yang tinggi, kemudian disebut tokoh masyarakat.

4. Ketua partai politik yang dekat masyarakat, rajin bersilaturahim kepada masyarakat, menyediakan waktu untuk berinteraksi dengan masyarakat, suka menolong masyarakat diminta atau tidak. Ketua partai politik seperti ini, dapat disebut sebagai tokoh masyarakat.22

5. Usahawan/pengusaha yang rendah hati, suka berzakat, berinfak dan bersedekah, peduli kepada masyarakat, serta suka bersilaturrahim, pada

22

Calie Priboemi, “Tokoh Masyarakat,” artikel diakses pada 16 Mei 2016 dari


(38)

26

umumnya masyarakat menyebut yang bersangkutan sebagai tokoh masyarakat.23

Dalam pandangan perspektif kedudukan tokoh agama yang fragmentaris24 mempunyai tujuan dalam perdamaian. Tockary R. (2002), keberadaan tokoh agama dalam pemerintahan sebagai konstansi yang suci dalam perspektif yang tepat. Dengan esensi keagamaan adalah hal yang independen tetapi ekspresi keagamaan yang bersifat dependen. Di mana para tokoh agama memandang segala sesuatu dengan tulus ikhlas dan sepenuh hati dalam menetapkan pilihan yang menjadi bagian hidupnya.

Wiratmoko N.T (2008), fungsi dari peran tokoh agama sesuai tugas dan tanggung jawabnya di masyarakat. Upaya yang bersifat strategis untuk mengembangkan suatu pola pembangunan masyarakat yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, kondisi sosial budaya setempat, potensi sumber daya alam, dan kebijakan pemerintah. John T. Sidel (2001) mengemukakan bahwa dalam kebijakan publik peran tokoh agama untuk memberikan perhatian pada orang miskin, bersifat pemberdayaan. Norm Uphoff (2000), hal yang sangat penting kedudukan tokoh agama dalam komponen sosial, antara lain: relasi, dan hubungan yang dapat dievaluasi dalam pengalaman nyata sesehari. 25

23Calie Priboemi, “Tokoh Masyarakat,” artikel diakses pada 16 Mei 2016 dari

http://zangpriboemi.blogspot.co.id/2014/09/tokoh-masyarakat.html

24

Fragmentaris adalah terpisah-pisah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. H. 191.

25Eka, Afnan Troena dkk., “Pengaruh Peran Tiga Tungku (Tokoh Pemerintah, Tokoh

Adat dan Tokoh Agama) dalam Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja Aparat Kampung di Kota


(39)

Pengalaman tokoh agama merupakan pengalaman kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk perkumpulan keagamaan, yang kemudian menjadi organisasi keagamaan terlembaga. Pengunduran diri atau kematian figur kharismatik, akan melahirkan krisis kesinambungan. Analisis yang perlu adalah mencoba memasukan struktur dan pengalaman agama, sebab pengalaman agama, apabila dibicarakan, akan terbatas pada orang yang

mengalaminya. Hal penting adalah mempelajari “wahyu” atau kitab

sucinya, sebab lembaga keagamaan itu sendiri merupakan refleksi dari pengalaman ajaran wahyunya.26

Tokoh agama merupakan seorang figur yang menjadi tolak ukur perilaku pengikutnya. Langkah strategis yang dilakukan oleh seorang tokoh agama sangat berpengaruh terhadap tindakan yang akan diikuti oleh pengikutnya. Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa peran tokoh agama, di perbatasan Desa Jungjang dengan Desa Arjawinangun sangat menjaga keharmonisan dan kedamaian di antara ke dua agama tersebut, yaitu Islam dan Kristen. Peran tokoh agama sangat berpengaruh terutama dalam menyikapi perbedaan prinsip yang sangat sensitif ini.

C. Peran Negara dalam Mewujudkan Kerukunan antar Agama

Dalam menjelaskan apa dan bagaimana peran negara dalam mewujudkan kerukunan antar agama, penulis akan merefleksikan pendapat Mochlasin, dalam pemaparannya ia menjelaskan bahwa pemerintah berperan

26


(40)

28

dan bertanggung jawab demi terwujud dan terbinanya kerukunan hidup umat beragama. Menurut dia kualitas umat beragama di Indonesia belum berfungsi seperti seharusnya, yang diajarkan oleh agama masing-masing. Sehingga ada kemungkinan timbul konflik di antara umat beragama. Oleh karena itu dalam

hal ini, ”pemerintah sebagai pelayan, mediator atau fasilitator merupakan

salah satu elemen yang dapat menentukan kualitas atau persoalan umat beragama tersebut. Pada prinsipnya, umat beragama perlu dibina melalui pelayanan aparat pemerintah yang memiliki peran dan fungsi strategis dalam menentukan kualitas kehidupan umat beragama, melalui kebijakannya. Dalam rangka perwujudan dan pembinaan di tengah keberagaman agama budaya dan

bangsa, maka ” Said Agil Husin Al Munawar mengungkapkan bahwa kerukunan umat beragama memiliki hubungan yang sangat erat dengan faktor ekonomi dan politik. Di samping faktor-faktor lain seperti penegakkan hukum, pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan dalam masyarakat dan peletakkan sesuatu pada proporsinya”. Dalam kaitan ini strategi yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Memberdayakan institusi keagamaan, artinya lembaga-lembaga keagamaan kita daya gunakan secara maksimal sehingga akan mempercepat proses penyelesaian konflik antar umat beragama. Disamping itu pemberdayaan tersebut dimaksudkan untuk lebih memberikan bobot/warna tersendiri dalam menciptakan ukhuwah (persatuan dan kesatuan ) yang hakiki, tentang tugas dan fungsi


(41)

masing-masing lembaga keagamaan dalam masyarakat sebagai perekat kerukunan antar umat beragama.

2. Membimbing umat beragama agar makin meningkat keimanan dan ketakwaan mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam suasana rukun baik intern maupun antar umat beragama.

3. Melayani dan menyediakan kemudahan bagi para penganut agama. 4. Tidak mencampuri urusan akidah/dogma dan ibadah sesuatu agama. 5. Mendorong peningkatan pengamalan dan penuaian ajaran agama. 6. Melindungi agama dari penyalahgunaan dan penodaan.

7. Mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai Pancasila dan konstitusi dalam tertib hukum bersama. 8. Mendorong, memfasilitasi dan mengembangkan terciptanya dialog dan

kerjasama antara pimpinan majelis-majelis, dan organisasi-organisasi keagamaan dalam rangka untuk membangun toleransi dan kerukunan antar umat beragama.

9. Mengembangkan wawasan multikultural bagi segenap lapisan dan unsur masyarakat melalui jalur pendidikan, penyuluhan dan riset aksi.

10. Meningkatkan pemberdayaan sumber daya manusia (pemimpin agama dan pemimpin masyarakat lokal) untuk ketahanan dan kerukunan masyarakat bawah.

11. Fungsionalisasi pranata lokal, seperti adat istiadat, tradisi dan norma-norma sosial yang mendukung upaya kerukunan umat beragama.


(42)

30

12. Mengundang partisipasi semua kelompok dan lapisan masyarakat agama sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing, melalui kegiatan-kegiatan dialog, musyawarah, tatap muka, kerjasama sosial dan sebagainya.

13. Bersama-sama para pemimpin majelis-majelis agama, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konfrensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Parishada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan perwakilan Umat Budha Indonesia (WALUBI), Majelis Tinggi Agama Khonghuchu Indonesia (MATAKIN), Departemen agama melalui Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan melakukan kunjungan bersama-bersama ke berbagai daerah dalam rangka berdialog dengan umat di lapisan bawah dan memberikan pengertian tentang pentingnya membina dan mengembangkan kerukunan umat beragama.

14. Melakukan mediasi bagai kelompok-kelompok masyarakat yang dilanda konflik, (misalnya; kasus Ambon dan Maluku Utara) dalam rangka untuk mencari solusi bagi tercapainya rekonsiliasi, sehingga konflik bisa diberhentikan dan tidak berulang di masa depan.

15. Memberi sumbangan dana (sesuai dengan kemampuan), kepada kelompok-kelompok masyarakat yang terpaksa mengungsi dari daerah asal mereka, karena dilanda konflik sosial dan etnis yang dirasakan pula bernuansakan keagamaan.


(43)

16. Membangun kembali sarana-sarana ibadah (Gereja dan Mesjid) yang rusak di daerah-daerah yang masyarakatnya terlibat konflik, sehingga mereka dapat mefungsikan kembali rumah-ruumah ibadah tersebut.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa untuk menciptakan dan memelihara kerukunan umat beragama diperlukan upaya dan usaha yang sungguh-sungguh dan dibutuhkan kerja sama dari semua pihak baik dari umat beragama itu sendiri, pemuka agama serta pemerintah yang berwenang. Pemerintah sebagai pihak yang berwenang melalui Menteri Agama dan

Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan ”Peraturan Bersama No. 9 dan

No. 8 Tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan pendirian rumah ibadah. Peraturan bersama ini

telah ditanda tangani dan disahkan pada tanggal 21 Maret 2006”.

Salah satu point dari peraturan bersama itu adalah pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Melihat program kerja yang menjadi agenda kerja Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), maka semua upaya yang menyangkut kerukunan umat beragama sudah terangkum dalam program kerja Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Dengan demikian melalui Forum Kerukunan Umat Beragama(FKUB) ini diharapkan akan tercipta keamanan dan ketertiban antar umat beragama, ketentraman dan kenyamanan di lingkungan masyarakat berbangsa dan bernegara. Dalam rangka mewujudkan kerukunan hidup umat beragama agar senantiasa tetap terpelihara, maka masing-masing pihak baik dari umat beragama, tokoh


(44)

32

agama/pemuka agama, maupun pemerintah setempat harus memperhatikan upaya-upaya yang harus dilakukan demi terwujudnya kerukunan hidup umat beragama.

Berikut ini peranan dan upaya yang harus dilakukan umat beragama dalam rangka mewujudkan kerukunan hidup umat beragama. Mengingat

kegiatan keagamaan seperti ”pendirian rumah ibadah, penyiaran agama,

bantuan luar negeri, perkawinan beda agama, perayaan hari besar keagamaan, penodaan agama, kegiatan aliran sempalan, yang dapat menjadi penyebab

timbulnya kerawanan konflik di bidang kerukunan hidup umat beragama”.

Oleh sebab itu umat beragama harus mengantisipasi dan berupaya agar kerawanan di atas jangan sampai terjadi. Masalah pendirian rumah ibadah misalnya, umat beragama harus mempertimbangkan situasi dan kondisi lingkungan umat beragama setempat dan mematuhi peraturan yang telah ditetapkan pemerintah sebelum mendirikan tempat ibadah, agar tidak menimbulkan konflik antar umat beragama.

Kemudian masalah penyiaran agama, umat beragama harus memperhatikan peraturan yang telah ditetapkan pemerintah mengenai tata cara penyiaran agama yang baik dengan tidak memaksakan umat lain untuk memeluk agama atau keyakinan masing-masing. Apalagi ditujukan pada orang yang telah memeluk agama lain. Mengenai bantuan luar negeri umat beragama juga harus mengikuti peraturan yang ada, baik bantuan luar negeri untuk pengembangan dan penyebaran suatu agama, baik bantuan materi


(45)

finansial ataupun bantuan tenaga ahli keagamaan, jika tidak maka ketidakharmonisan dalam kehidupan umat beragama akan timbul.

Terhadap perkawinan beda agama walaupun pada mulanya bersifat pribadi dan konflik antar keluarga. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa kasus ini pula dapat mengganggu keharmonisan dan kerukunan hidup umat beragama. Maka hal terpenting yang harus dilakukan umat beragama yakni benar-benar memperhatikan peraturan yang telah ditetapkan pemerintah agar kerukunan hidup umat beragama tetap terpelihara.

Begitu pula terhadap perayaan hari besar keagamaan, penodaan agama, dan kegiatan aliran sempalan yang sangat rawan sehingga dapat menimbulkan konflik antar umat beragama. Maka upaya yang dilakukan umat beragama yakni benar-benar memahami dan memperhatikan peraturan yang telah ditetapkan pemerintah, disamping menanamkan sikap toleransi saling menghargai, dan membina hubungan yang harmonis diantara umat beragama.27

Adapun menurut pendapat pakar kerukunan umat beragama lainnya yaitu Weinata Sairin dalam bukunya menjelaskan bahwa untuk mencegah agar orang tidak terjebak dalam konflik-konflik yang tidak perlu, maka pemerintah Indonesia mencanangkan Tri Kerukunan, yaitu Kerukunan Intern-Umat Bergama, Kerukunan Antar-Intern-Umat Beragama, dan Kerukunan Antar Umat Beragama dengan Pemerintah.

27

Mochlasin, “Berbagai Upaya Dalam Mewujudkan Kerukunan Umat Beragama”, artikel di akses pada 15 Novemver 2016 dari http://mochlasin31.blogspot.co.id/2014/01/berbagai-upaya-dalam-mewujudkan.html


(46)

34

1. Kerukunan Intern-Umat Beragama

Setiap umat beragama diharapkan dapat memelihara kerukunan intern umat beragama itu sendiri. Hal demikian tidak terlalu sulit dipahami, karena apabila secara intern konflik-konflik tidak dapat diatasi, mustahil suatu kelompok dapat memberi sumbangan positif secara eksternal. Salah satu syarat terjadinya kerukunan intern adalah masing-masing individu memahami betul ajaran agamanya, karenanya pemerintah mendorong setiap agama agar mereka memberikan pendidikan kepada umatnya, baik pendidikan formal seperti sekolah maupun pendidikan informal seperti pondok pesantren.

2. Kerukunan Antar-Umat Beragama

Dalam kerukunan antar umat beragama ini setidaknya ada dua hal penting untuk dibahas, yang pertama, kerukunan ini berisikan semangat kebersamaan dan kekeluargaan yang menghargai perbedaan tanpa pemisah-misahan (appartheid). Kerukunan yang dihasilkan oleh diskriminasi28, segregasi29, dan appartheid30, adalah kerukanan palsu, jahat, dan amoral, sebab tidak didasari oleh kasih, kebenaran, keadilan dan kebebasan. Kerukunan ini hanya menyembunyikan dan menunda konflik. Yang kedua adalah kerukunan yang benar dan baik adalah kerukunan yang pada satu pihak tidak menisbikan perbedaan-perbedaan yang ada,

28

Diskriminasi adalah perbedaan warna kulit, perbedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (warna kulit). (Lihat pada Pius A Paranto, dkk., Kamus Ilmiah Populer, h. 122.

29

Segresi merupakan sebuah pemisahan suatu golongan dari golongan lainnya, pengasingan, pengucilan 794. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, h. 794.

30

Appartheid adalah golongan yang menghendaki pemisahan antara kulit putih dengan kulit hitam (pribumi ). (Lihat pada Pius A Paranto, dkk., Kamus Ilmiah Populer, h. 45.


(47)

misalnya dengan mencoba melebur atau mencampuradukkan keyakinan agama-agama; dan kerukunan yang di lain pihak tidak juga memutlakkan perbedaan-perbedaan yang ada sedemikian rupa sehingga menutup pintu hubungan, percakapan dan kerja sama.31

Pemerintah mempunyai tugas dalam menciptakan keberagamaan, baik dari segi nilai dan keorganisasian agama-agama. Dengan adanya kepedulian pemerintah terhadap intitusi agama-agama dan menjadi pasilitator untuk membuat wadah musyawarah antar umat beragama, guna pelaksanaan GBHN dan P4 ditubuh para penganut agama dengan pemerintah.32 Begitu juga sebaliknya umat beragama bertugas dan bertanggung jawab untuk menunjang program pemerintah, agar bahu membahu dalam memajukan kesejahteraan bangsa baik material maupun spiritual.33

3. Kerukunan Antar-Umat Beragama dengan Pemerintah

Meskipun kehidupan beragama sering dianggap, bersifat pribadi, namun tanggung jawab sosial, setiap umat beragama terhadap lingkungannya sangat sulit untuk dielakkan, bahkan, tanpa tanggung-jawab sosial itu kehidupan beragama akan kerdil. Islam tidak menghendaki umatnya hanya berpikir untuk dirinya sendiri. Tanggung jawab sosial itu tidak hanya pada lingkungannya, tetapi juga pada keluarga dan

31

Departemen Agama RI, Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama (Jakarta: edisi ketujuh), h. 6.

32

Departemen Agama, Pedoman Kerukunan Umat Beragama. Jakarta: Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, 1983/1984), hal. 43-45.

33

R.H Djumali Karto Raharjo dan H.Fakhrudin Ilyas, Kerja sama Sosial Kemasyarakatan Tahun 1983-1984 di Cirebon dan Samarinda (Jakarta: Departemen Agama RI, 1984), hal. 3-5.


(48)

36

tetangganya. Namun, realita yang ada menunjukkan, bahwa pada setiap

agama, selalu ada kelompok yang “ekstrem’. Kelompok ini, tidak saja

menyulitkan para pemimpin/ rohaniawan/ ulama, tetapi juga menyulitkan masyarakat secara keseluruhan. Namun, untuk ikut menindak, juga tidak mudah. Siapa yang harus menindak kelompok ini, seandainya mereka melakukan tindak pelanggaran hukum? Landasan hukum apa yang harus digunakan?

Ada pendapat, bahwa tindakan mereka yang bisa dianggap melanggar hukum bisa saja ditindak dengan perangkat hukum yang ada. Artinya, tidak diperlukan lagi sebuah undang-undang khusus, misalnya Undang-Undang tentang kerukunan umat beragama, memang sangat ideal, seandainya hubungan antar umat beragama, bisa terselesaikan oleh kalangan umat beragama sendiri. Bahwa esensi ajaran agama yang bersifat universal itu bisa terganggu oleh kelompok yang ekstrem itu, jadi tidak dapat dihindari. Setidaknya, akan membangun citra yang buruk terhadap agama, apabila tindakan terhadap mereka dilakukan oleh umat beragama yang lain, akan menimbulkan salah paham yang dalam, sehingga membuka peluang konflik yang melibatkan umat beragama. Karena itu, setidaknya ada dua hal, yang dapat dilakukan:

1. Para pemimpin agama menyepakati semacam kode etik, bagaimana penyiaran agama harus dilakukan. Kode etik, meskipun tidak memberi dampak hukum, secara moral bisa mengikat umat beragama, untuk


(49)

perasaan umat beragama lainnya. Pilihan ini, ada yang meragukan, mengingat justru dapat menimbulkan konflik internal agama. sebab pimpinan setiap agama, dipastikan sulit untuk melakukan tindakan terhadap umatnya sendiri, yang melanggar kode etik itu demi penyiaran agamanya sendiri.34

2. Perlu diterbitkan sebuah undang-undang, yang membuka peluang negara bertindak, untuk menjamin terselenggaranya kehidupan yang damai di antara umat beragama di Indonesia. Hal ini dengan asumsi sebagaimana dikemukakan diatas. Disamping itu, juga untuk mencegah kesalahpahaman yang bersumber pada masalah agama, yang sangat sensitif itu, seandainya negara perlu menindak satu kelompok yang menggunakan nama agama. selain itu, masalah kehidupan umat beragama juga terkait dengan banyak masalah lain yang memang perlu diatur, mengingat kecenderungan dunia yang semakin terbuka, sejalan dengan globalisasi, sehingga kita perlu mencegah hal-hal yang buruk dari dampak hubungan internasional itu.35

Pakar lainnya berkaitan dengan peran negara dalam mewujudkan kerukunan antar agama diungkapkan oleh Media Zainul Bahri. Dalam bukunya ia menjelaskan bahwa istilah yang digunakan pemerintah dalam rangka mewujudkan perdamaian antar agama baik intern, ekstern maupun

34

Muhaimin, Damai di Dunia, Damai Untuk Semua Perspektif Berbagai Agama:Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama (Jakarta : Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama RI, 2004), h. 116.

35

Muhaimin, Damai di Dunia, Damai Untuk Semua Perspektif Berbagai Agama:Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama , h. 129.


(50)

38

agama dengan pemerintah adalah “Trilogi Kerukunan”. Isi dari istilah

tersebut adalah bahwa pemerintah memiliki tiga kewajiban penting yaitu: 1. Wajib mengayomi/melindungi semua agama dan keyakinan yang

diakui di Indonesia tanpa diskriminnasi

2. Wajib membuat regulasi tentang kerukunan atau mengusulkan undang-undang kerukunan yang dapat memelihara dan mengembangkan kerukunan secara komprehensif.

3. Wajib hadir melindungi umat beragama yang teraniaya akibat konflik dan menjamin ada pengadilan yang seadil-adilnya ketika terjadi konflik, baik (konflik) intern maupun ekstern umat beragama.36

Namun lebih lanjut ia menambahkan bahwa membina hubungan antara umat beragama dan pemerintah, maka lagi-lagi masyarakatlah (pemuka agama) yang aktif memberi laporan mengenai kerukunan dan memiliki inisiatif untuk pengembangan kerukunan, dan pemerintah (sebagai yang dilapori dan diberi usulan) seharusnya menjadi fasilitator dan regulator yang cerdas dan proporsional dalam pemeliharaan dan pengembangan kerukunan.37

D. Model-model Kerukunan

Menurut Said Aqil, ada dua macam model kerukunan yang dikenal dengan istilah penafsiran negatif (negative interpretation of tolerance) dan penafsiran positif (positive interpretation of tolerance).

36

Media Zainul Bahri, Membangun Kerukunan Umat Beragama: Sebuah Pengantar

(Ciputat: HIPIUS, T.t), 12-13.

37


(51)

1. Penafsiran negatif (negative interpretation of tolerance), yaitu menyatakan toleransi hanya mensyaratkan cukup dengan membiarkan dan tidak menyakiti orang/kelompok lain, ini disebut juga model kerukunan pasif.

2. Penafsiran positif (positive interpretation of tolerance), menyatakan

toleransi membutuhkan lebih dari sekedar itu. Ia membutuhkan bantuan dan dukungan terhadap keberadaan orang/kelompok lain, nama lainnya adalah model kerukunan aktif.38

Di tengah konstelasi dunia yang kian tidak menentu, sarat aksi kekerasan, terorisme, dan konflik kemanusiaan, hajatan dialog antar-agama amat tepat dan dirasakan penting untuk terus dilakukan di sebanyak mungkin tempat. Sejauh ini para pemimpin agama memiliki pengaruh dan otoritas amat besar terhadap umatnya sehingga dialog antar-agama yang dimulai dari kalangan pemimpin agama dinilai dapat menjadi stimulus bagi perdamaian di tingkat akar rumput kelak.39

Terkait dengan penjelasan model kerukunan aktif, pendapat lebih mendalam dijelaskan oleh Media Zainul Bahri yang mengungkapkan bahwa kerukunan aktif adalah keadaan saling mengenal satu sama lain dengan cara berinteraksi, berkomunikasi dan berdialog, lalu terwujud usaha-usaha bersama yang konkret dalam bidang kemanusiaan dan sosial-kemasyarakatan. Ia melanjutkan bahwa dalam Islam keadaan saling mengenal (ta’aruf) adalah

38

Said Aqil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama (Ciputat: PT Ciputat Press, 2005), h, 14.

39


(52)

40

spirit al-Qur’an surat al-Hujarat ayat 13 yang menyatakan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal [satu sama lain] (li ta’arafu). Saling mengenal adalah keadaan aktif, interaksi atau komunikasi aktif; dialog bukan monolong, bukan perbedaan keyakinan yang tak bisa dikompromikan yang harus ditonjolkan, melainkan persamaan-persamaan, spirit persaudaraan, cinta-kasih dan kerja sama konkret dalam bidang sosial-kemanusiaan yang harus dikedepankan.40

Salah satu kenyataan kehidupan saat ini adalah adanya pluralitas di masyarakat. Dalam teologi Islam sendiri ditegaskan, pluralisme adalah suatu hal yang niscaya. Bahkan Islam menyebut pluralisme sebagai salah satu bentuk sunatullah (hukum alam), seperti sunatullah lainnya, misalnya beda pendapat dan kaya-miskin. Pluralisme juga amat dihargai dalam agama langit lain, seperti Kristen dan Yahudi. Hal lain untuk mewujudkan pluralisme diperlukan toleransi, meski hampir semua masyarakat yang berbudaya kini sudah mengikuti adanya kemajemukan sosial. Namun dalam kenyataannya permasalahan toleransi ini masih sering muncul, termasuk di dunia barat. Persoalan ini terutama berhubungan dengan ras atau agama. 41

Dalam faktanya, sikap tidak toleran yang kadang muncul tak semata disebabkan faktor dan motivasi eksternal, seperti kebijakan politik pemerintah tertentu atau politik global kekuatan dunia tertentu. Beberapa gerakan radikal yang cenderung tak toleran di Timur Tengah atau di Amerika Latin, misalnya, lebih banyak dipengaruhi politik pemerintahnya yang represif dan dominasi

40

Media Zainul Bahri, Membangun Kerukunan Umat Beragama: Sebuah Pengantar, 12-13.

41


(53)

politik global negara-negara tertentu, terutama Amerika Serikat, yang sering menggunakan standar ganda dalam memecahkan masalah internasional. Itulah sebabnya toleransi amat dibutuhkan. Membangun kerukunan hidup umat beragama adalah suatu kemestian yang tidak dapat ditawar-tawar. Hal ini disebabkan karena ajaran agama sendiri tidak mengajarkan penganutnya untuk memusuhi agama yang lain sungguhpun tidak mensepakati ajaran agama yang lain itu.

Dalam mewujudkan kemaslahatan umum, agama telah menggariskan dua pola dasar hubungan yang harus dilaksanakan oleh pemeluknya, yaitu: hubungan secara vertikal dan horizontal. Yang pertama adalah hubungan antara pribadi dengan khaliknya yang direalisasikan dalam bentuk ibadat sebagaimana yang telah digariskan oleh setiap agama. hubungan ini dilaksanakan secara individual, tetapi lebih diutamakan secara kolektif atau berjamaah (shalat dalam Islam).

Pada hubungan pertama ini berlaku toleransi agama yang hanya terbatas dalam lingkungan atau intern suatu agama saja. Hubungan kedua adalah hubungan antara manusia dengan sesamanya. Pada hubungan ini tidak hanya terbatas pada lingkungan suatu agama saja, tetapi juga berlaku kepada orang yang tidak seagama, yaitu dalam bentuk kerjasama dalam masalah-masalah kemasyarakatan atau kemaslahatan umum.42

42


(54)

42

E. Faktor-faktor yang Mendasari Kerukunan

Dalam agama, ketentraman dan kebahagiaan batin bukan hanya untuk pribadi saja, tetapi untuk seluruh manusia yang disebut kemaslahatan atau kesejahteraan umum. Mewujudkan kerukunan dan toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama merupakan bagian usaha menciptakan kelancaran hubungan antara manusia yang berlainan agama, sehingga setiap golongan umat beragama dapat melaksanakan bagian dari tuntutan agama masing-masing.

Kerukunan yang berpegang kepada prinsip masing-masing agama menjadikan setiap golongan umat beragama sebagai golongan umat beragama sebagai golongan terbuka, sehingga memungkinkan dan memudahkan untuk saling berhubungan. Bila anggota dari suatu golongan umat beragama telah berhubungan baik dengan anggota dari golongan agama lain, akan terbuka kemungkinan untuk mengembangkan hubungan dalam berbagai bentuk kerjasama dalam bermasyarakat dan bernegara.43

Selanjutnya penulis akan memaparkan pendapat Said Aqil tentang beberapa faktor yang mempengaruhi terjalinnya sebuah harmoni kerukunan di suatu daerah. Said Aqil meneliti kerukunan sebuah daerah di pulau Sumatra, adapun faktor-faktor tersebut di antaranya yaitu:

1. Adanya sistem kekerabatan di daerah yang termodifikasi berhubungan perkawinan. Sistem kekerabatan tersebut adalah bertumpu pada konsep

Dalihan natolu yang menegaskan bahwa semua orang dalam satu

43


(1)

IDENTITAS INFORMAN

Nama : Muhammad

Agama : Islam

Pekerjaan/Jabatan : masyarakat depan Masjid/ Umat Arjawinangun

1. Bagaiamana kerukunan yang terjadi di daerah sini?

“Kondisinya rukun, cinta damai sekali, kondisi antar kedua agama itu saling berdampingan karena mereka toleransinya sangat tinggi sekali, pas salah satu ada acara ada yang umat islam yang meminta sumbangan ya saling memberi.

2. Apa faktor kerukunan yang menyebabkan hal tyersebut?

“Faktor yang menyebabkan kerukunan ialah karena umat islam di arjawinangun paling banyak jadi karena dia menjadi minoritas berfikir toleransi itu penting , kebanyakan orang jawa kristen pendatang.”

3. Apakah ada pengaruh pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Putri Ong Tien?

“Bisa jadi, karena syekh syarif hidayatullah menikah dengan ong tien yang keturunan cina dan mungkin ada beberapa yang tau. Dari arya kemuning dan memberikan informasi kepada keturunannya sehingga mereka mengerti.

4. Apa contoh kerukunana yang Anda ketahui?

“Pada saat hari raya aman , karena pada saat hari raya saling mengucapkan, dan tidak saling berkunjung , misalkan dalam acara pernikahan mereka datang. Kumpul bersama dan saling berinteraksi di warung dan tidak membeda-bedakan. Mereka yang saling kenal dengan yang berbeda agama sling mengundang , waktu acara abah husein sering diundang dan datang untuk bisa mengucapkan selamat. Pas ada yang meninggal pada datang mereka salaman lalu pulang, yang banyak dalam acara pernikahan, orang islam yang meninggal lalu kenal dia datang takjiah.”

5. Apakah ada diskriminasi dalam interaksi sehari-hari atau dalam pelayanan di kantor desa?

“Interaksi sosial tidak membeda-bedakan. Pelayanan desa tidak di beda-bedakan. 6. Apakah ada peran kedua agama dalam mengupayakan kerukunan?

“Peranan agama ada dari masyarakat tertentu, ketiga agama tapi mereka semua saling menghormati dan yang beragama kristen minoritas . Ada tokoh agama yang menyerukan saling hidup rukun. Dalam acara peretmuan-pertemuan di gereja dan hari besar islam, khotbah, saran baik mereka selalu terucap di setiap pertemuan dalam toleransi beragama.”

7. Apakah ada adat kebiasaan yang khas di sini?

“Adat kebiasaan, ada didaerah arjawinangun seperti sedekah bumi tiap tahun , minta sumbangan, yang mengirim di sini, yang berbeda agama juga memberi. Barongsai pada saat muludan ada.


(2)

IDENTITAS INFORMAN

Nama : Suwanda

Agama : Islam

Pekerjaan/Jabatan : Dalang

1. Apa yang Bapak ketahui terkait sejarah Sunan Gunung Jati?

“Jungjang itu Raden jaka parit, asal muasal sunan gunung jati itu dari syam atau dari bani israil di sana ada kerajaan di namakan kerajaan utara sultan mahmud di tinggal istrinya. Dari pulau jawa masih muda raden walangsungsang dan nyi rarasantang hijrah turun dari pajajaran ke amparan jati bertemu dengan syekh nurjati belajar islam. Setelah belajar di suruh untuk membuat padepokan di luas alang-alang pesisir atau alas konda. Suruh membuat perdukuan atau mengembangkan agama, di tugaskan syekh nurjati untuk menyempurnakan agamanya untuk pergi Haji, pergi ke bani israil lalu bertemu dengan raja utara yang mencari istri, dan yang di tugaskan ialah patih ali basa untuk mencari jodoh yang mirip dengan almarhum istrinya lalu bertemu dengan nyi rarasantang setelah itu bertemu sultan mahmud, kemudian menikah lalu mempunyai 2 anak, syarif hidayatullah dan syarif arifin. Sultan mahmud masih ada hubungannya dengan Nabi Muhammad ia adalah cicit Nabi Muhammad, dapat wahyu akan jadi wali jawa tutupnya ulya, dapat amanah unutuk mencari syariat di pulau jawa, sebab bakal jadi wali di pulau jawa, jadi di serahkan kerajaan dari bani israil tidak mau, jadi yang memimpin ialah syekh arifin. Syekh syarif hidayatullah turun di negara jawa, dan dia bertemu dengan wahyunya atau nur cahaya alam di bawa sampe surga, pulang dari sana dapat suara tabuan gamelan, suatu hari akan ada di tanah cirebon yaitu gong sakati atau duplikasi dari keraton dari surga, ngambil dari daun sidratohul muntaha suaranya seperti tabuan di sana, kata kanjeng Nabi Muhammad itu suara daun, namun kata Nabi Muhammad suara itu tidak bisa hilang maka buatlah di alam dunia.

Setelah itu turunya syekh syarif hidayatullah bertemu dengan Nabi Sulaiman dapat pusaka cincin marmud yang di cekel oleh syekh syarif hidayatullah dan malukat gaib yang di pegang oleh syekh abdul qadir jailani yang akan datang. Turun dari surga lalu di tempatkan di ki srungsang bertemu dengan raja jin lalu bertemu dengan kupluk cucunya Nabi Nuh yang mencari orang taunya. Di sana perang karena peperangan itu di lemparkan lalu syekh syarif sampai di jepang negara tartar alasnya alas jepun, dia jatuh di kayu yang sekarang untuk sesembahannya orang jepang yang di namakan teu pekong yang sesembahannya seperti arca. Di sana ada suatu kerajaan tartar , bernama raja sam pokong di situ tau kalau ada syekh (guru) yang bisa mengobati segala macam penyakit dan raja memanggil untuk menguji syekh syarif hidayatullah, untuk mengetes anaknya yang bernama putri ong tien niyo, perut ong tien niyo di beri bokor dan dites, raja sam pokong meminta syekh syarif hidayatullah untuk menebak anaknya hamil atau tidak, dan jawaban syekh syarif hidayatullah anak raja hamil raja sampokong bilang bahwa kamu itu orang bodoh, tidak mengerti apa-apa karena anak saya itu tidak hamil anak saya di


(3)

perutnya itu bokor, lalu berdebat syekh syarif hidayatullah di perwasah di berikan pusaka dan akan tiba di pulau jawa. Bokor yang ada di perut ong tien itu berubah menjadi kandungan, dia meminta izin untuk mencari syekh syarif hidayatullah. Di bawakan segala macam dari raja dan di ikuti pengawalnya. Lalu sampailah di samping alas konda, di sana ada batu besar yang mengambang yang menempel di rombongannya puti ong tien dan sekarang di namakan batu semar atau gunung semar pertama kali mencari syekh syarif hidayatullah. Bertemu dengan ki kuwu cirebon atau mbah ku sangkan di temukan dengan syekh syarif hidayatullah, dan berkata suatu hari akan di akui sebagai keluarga.

Syiar islam agama yang masuk ke tartar , orang cina atau orang jepang atau turunan tiong hoa hususnya mempunyai syariat islam karena mempunyai jalur dari hal ini, karena orang tuanya islam. Mengandungnya putri ong tien lalu dia menikah dengan syekh syarif dan di bawa lalu di berikan gelar dari cirebon dengan nama nyi mas rara sumanding dan sudah masuk islam. Dan syekh syarif hidayatullah di berikan gelar sunan gunung jati. Setelah melahirkan putri ong tien di asingkan di daerah luragung dan di asuh oleh ki pasura dan ki sura dipa, 2 orang kakak beradik . di pinggir daerah kuningan dan sesudah besar di berikan gelar raden kuningan atau raden arya kemuning karena (ciptaan, atau pengucap dari syekh syarif hidayatullah madie omongan). Dari hal ini ada sidang wali ratu rara sumanding ingin membuat pertanaman yaitu gua sunyaragi permintaan nyi mas rara sumanding. Syekh syarif hidayatullah di berikan tugas oleh mbah kuwu cirebon untuk membuat kunci, pengangkatan itu ada tiga pertama, pangeran surya negara, asli indramayu, kedua, pangeran pengemitan (jaka parit), ketiga jaka wasiat ketiga orang ini di panggil di sidang wali , setengahnya membuat taman sunyaragi dan setengahnya rumusan untuk perundingan kunci, fungsinya untuk mengembangkan agama syiar islam, di pulau jawa. Pangeran surya negara kunci untuk di daerah lemah tambah, pangeran pengemitan atau pengeran trusmi kuncen di gunung jati, jaka wasiat di tempatkan di tanah jungjang , berkembangnya agama islam di jungjang karena raden jaka wasiat di sana mempunyai anak murid sampai berkembangnya agama islam itu karena raden jaka wasiat. Ketiga itu adalah anak murid syekh syarif hidayatullah, namun ki jaka wasiat itu ada titisan dari syekh syarif hidayatullah, karena ibunya ialah selir ada hubungannya dari syekh syarif hidayatullah. Arjawinangun itu mempunyai kedudukan raja atau tumenggung (kadipaten) ada kaitan anak dengan syekh syarif hidayatullah sebab anaknya ada di arjawinangun. Yang menemukan tanah jungjang ki wasiat dan yang menemukan arjawinangun yaitu jaka parit? Antara jungjang dan arjawinangun itu tidak ada petentangan tentang agama, cuman adanya gunung srandil dan sempilan gunung srandil, setengahnya gunung jati dan setengahnya gunung tengguru sewetane ampil gading makam cina, dan gunung srandil.”

2. Apakah pernah terjadi konflik antara Islam dan Kristen?

“Antara agama islam dan agama kristen awalnya ada pertentangan namun dalam hal pengembangan saja, sesudah masuknya ong tien di agama islam sampai mempunyai keturunan arya kemuning , agama tionghoa masuk dan agama islam masuk tidak bermasalah. Banyak Klenteng dan agama yang masih banyak di anut dari sana, umat islam membuat tempat ibadah masing-masing. Dari hal inilah di cirebon banyak klenteng, klenteng jamblang yang tertua sama dengan umur berdirinya masjid agung sang cipta rasa,pada waktu syekh syarif hidayatullah baru di angkat menjadi wali sekitar


(4)

1400 M. Banyaknya masjid dan klenteng bersinggungan karena keduanya sama berdirinya.

3. Apakah ada pengaruh menikahnya Sunan Gunung Jati dengan Putri Ongtien?

“Ada kaitannya dengan menikahnya syekh syarif hidayatullah menikah dengan ong tien dengan berkembangnya jawa di jawa, masuknya agama tiong hoa itu di bawa oleh ong tien, sesudah masuknya ong tien di angkat menjadi putri cirebon masuk agama islam di baiat menjadi agama nabi (agama islam) , di berikan gelar nyi mas rara sumanding diberi gelar sesudah masuk agama islam, dan mempunyai keturunan arya kemuning. Arya kemuning datang bisa bertindak di tanah jungjang itu menghalangi orang galuh. Galuh itu agama leluhur dan sebelum islam datang itu sudah ada hindu perawa, jadi cirebon yang berkembang hindu dan budha perawa , setelah masuknya syekh syarif hidayatullah dan pangeran ki walasungsang sampai mempunyai keturunan di sini dan masuknya pertama itu agam konghucu pada saat itu agama ong tien juga kong hucu dan nyembahnya itu tempekong, arca. Pada mulanya di buat dari batu, kayu, setelah ong tien masuk islam di sinilah ada persatuan tiong hoa dengan agama kenabian syekh syarif hidayatullah, dan setelah perkembangan itu syiar di tanah arjawinangun itu karena ada pati 2 yang membuat klenteng jamblang ada kaitannya, karena kekurangan kayu klenteng jamblang itu mengambil kayu tanpa meminta izin ke para wali, di bawa oleh keturunan tiong hoa tujuannya untuk menutupi saka yang kurang di jamblang, karena tidak terimanya para wali itu di gugat dan para keturunan tiongbhoa itu menyebar. Setengahnya ke arjawinangun. Cina ada yang di arjawinangun atau cirebon itu pendatang dari alas jepun (jepang) di bawa oleh ong tien putri cina , karena ada keturunan-keturunan di pulau jawa sampai nyebar ke cirebon, indramayu, dimanapun penyebarannya karena bibit ratunya ada di cirebon. Termasuk ratu ong tien, penyebarannya putri ong tien atau orang cina ya ada kaitannya dengan dia. Karena ada di pulau jawa. Menikahnya ong tien dengan syekh syarif hidayatullah. Bisa karena hubungan erat, tidak ada perselisihan antara etnis tiong hoa keturunan tionghoa dan pribumi pulau jawa itu karena ada kaitan pernikahan. Bisa untuk manfaat dan untuk mempererat agama dan kepercayaan itu ada pernikahan ong tien dan syekh syarif hidayatullah maka tidak ada bentrok. Sampai sekarang keturunan cina sebagian tanah jawa ini di kuasai oleh cina karena ada ibu,tidak salah orang cina tinggal di cirebon. Ibarat mempunyai orang tua di cirebon, dan penyembahan, ibadah orang cina itu di watu tameng (pusaka) sempalan di watu srandil (baylangu).”

4. Apakah ada pengaruh agama dengan sosial budaya?

“Membawa agama dari sana dan disatukan dengan agama di cirebon. (perpaduan budaya dan perpaduan etnis tiong hoa dengan agamanya putri ong tien dan syekh syarif hidayatullah). Tidak ada pertentangan itu karena itu. Napak tilas sese. Yang membawa agama dari cina itu ong tien konghucu, termasuk kristen di kembangkan oleh agama yahudi, agama kristen karena agama campur-campur agama yang dari luar , eropa. Atau etnis keturunan tiong hoa ya ong tien.”


(5)

(6)

Dokumen yang terkait

KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA DI DESA BANARAN (STUDI HUBUNGAN ANTAR UMAT ISLAM, KRISTEN PROTESTAN, Kerukunan antar Umat Beragama Di Desa Banaran(Studi Hubungan Antar Umat Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu Dan Buddha).

0 1 17

KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA DI DESA BANARAN (STUDI HUBUNGAN ANTAR UMAT ISLAM, KRISTEN PROTESTAN, Kerukunan antar Umat Beragama Di Desa Banaran(Studi Hubungan Antar Umat Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu Dan Buddha).

0 1 13

ATINJAU Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Arisan Qurban Idul Adha Di Blok 3 Desa Jungjang Kecamatan Arjawinangun Cirebon Jawa Barat Tahun 2008-2012.

1 4 16

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN ARISAN QURBAN IDUL ADHA DI BLOK 3 DESA JUNGJANG Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Arisan Qurban Idul Adha Di Blok 3 Desa Jungjang Kecamatan Arjawinangun Cirebon Jawa Barat Tahun 2008-2012.

0 2 16

PENDAHULUAN Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Arisan Qurban Idul Adha Di Blok 3 Desa Jungjang Kecamatan Arjawinangun Cirebon Jawa Barat Tahun 2008-2012.

0 5 4

PELAKSANAAN ARISAN QURBAN IDUL ADHA DI BLOK 3 DESA Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Arisan Qurban Idul Adha Di Blok 3 Desa Jungjang Kecamatan Arjawinangun Cirebon Jawa Barat Tahun 2008-2012.

0 3 10

KAJIAN VISUAL CELENGAN GERABAH DI DESA ARJAWINANGUN BLOK POSONG KABUPATEN CIREBON.

5 65 34

Harmoni sosial keagamaan masyarakat Islam dan Kristen di desa Gadingwatu kecamatan Menganti kabupaten Gresik.

5 41 92

TRADISI TAHLIL MASYARAKAT KABUPATEN CIREBON (MENGUAK SEJARAH DAN KONSEP TRADISI TAHLIL PADA MASYARAKAT DESA TEGALGUBUGLOR KECAMATAN ARJAWINANGUN KABUPATEN CIREBON) - IAIN Syekh Nurjati Cirebon

0 0 29

PROSPEK ZAKAT PERDAGANGAN DI PASAR DESA JUNGJANG KECAMATAN ARJAWINANGUN KABUPATEN CIREBON - IAIN Syekh Nurjati Cirebon

0 0 37