KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA MASYARAKAT ISLAM DAN HINDU DALAM TRADISI LOKAL DI DUSUN LABAN KULON, DESA LABAN, KECAMATAN MENGANTI, KABUPATEN GRESIK.

(1)

KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

MASYARAKAT ISLAM DAN HINDU DALAM TRADISI LOKAL

DI DUSUN LABAN KULON, DESA LABAN,

KECAMATAN MENGANTI, KABUPATEN GRESIK

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Komunikasi (S.I.Kom)

Oleh:

Ibrohim Nu’man

NIM. B06212013

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

JURUSAN KOMUNIKASI

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Ibrohim Nu’man, B06212013. Komunikasi Antar Budaya Masyarakat Islam dan Hindu dalam tradisi lokal di Dusun Laban Kulon, Desa Laban, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik. Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya

Kata Kunci : Komunikasi Antar Budaya, Tradisi Lokal, Dusun Laban Kulon Penelitian ini berdasarkan fenomena tentang kekerasan atas nama agama yang sering mewarnai kehidupan bangsa Indonesia. Entah munculnya sebagai akibat hubungan antar umat beragama yang tidak dibarengi sikap toleran, atau sengaja diciptakan untuk mendukung kepentingan kelompok tertentu. Persoalan yang hendak dikaji dalam skripsi ini adalah : (1) Bagaimana bentuk komunikasi antarbudaya yang terbangun antara masyarakat Islam dan Hindu dalam tradisi lokal di Dusun Laban Kulon, Desa Laban, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik. (2) Faktor-faktor yang mendukung proses komunikasi antarbudaya antara masyarakat Islam dan Hindu dalam tradisi lokal di Dusun Laban Kulon, Desa Laban, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik. (3) Faktor-faktor yang menghambat proses komunikasi antarbudaya antara masyarakat Islam dan Hindu dalam tradisi lokal di Dusun Laban Kulon, Desa Laban, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik.

Untuk mengungkap persoalan tersebut secara menyeluruh, peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologis untuk memberikan fakta dan data mengenai komunikasi antarbudaya dalam tradisi lokal masyarakat Islam dan Hindu di Dusun Laban Kulon, Desa Laban, Kecamatan Menganti, Kabupaten gresik. Data tersebut dianalisis secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas dengan dasar pemikiran teori interaksi simbolik George Herbert Mead yang didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa (1) Bentuk komunikasi sosial, budaya dan agama yang berlangsung antar umat Islam dan Hindu di Dusun Laban Kulon, Desa Laban, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik berjalan lancar, tidak mengalami banyak hambatan. (2) Kelancaran proses komunikasi antarbudaya masyarakat Islam dan Hindu di Dusun Laban Kulon, Desa Laban, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik disebabkan oleh kelancaran komunikasi antar pribadi yang terjadi sehingga mereka merasa satu ikatan kekeluargaan dan hidup berdampingan satu sama lain. (3) Hambatan masih ditemui, yaitu adanya fenomena bahwa para tokoh agama Islam di Dusun Laban Kulon yang membatasi komunikasi mereka jika sudah masuk di dalam konteks kegiatan agama Hindu.

Dengan melihat dari hasil penelitian di atas, maka peneliti memberikan saran kepada Masyarakat Dusun Laban Kulon yaitu dalam kehidupan masyarakat sosial, khusunya masyarakat beda agama, hendaknya menghindari segala sesuatu yang berpotensi menghasilkan konflik seperti prasangka, stereotip, jarak sosial dan diskriminasi.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR BAGAN ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian ... 1

B. Fokus Penelitian ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Kajian Hasil Penelitian Terdahulu ... 7

F. Definisi Konsep ... 7

G. Kerangka Pikir Penelitian ... 12

H. Metode Penelitian ... 13

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 13

2. Subyek, Obyek dan Lokasi Penelitian ... 14

3. Jenis dan Sumber Data ... 15

4. Tahap-tahap Penelitian ... 17

5. Teknik Pengumpulan Data ... 18


(8)

7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 20

I. Sistematika Pembahasan ... 22

BAB II : KAJIAN TEORITIS A. Kajian Pustaka ... 23

1. Komunikasi Antar Budaya ... 23

a) Pengertian Komunikasi Antarbudaya ... 23

b) Hakikat Komunikasi Antarbudaya ... 26

c) Fungsi dan Tujuan Komunikasi Antarbudaya ... 27

d) Model Komunikasi Antarbudaya ... 31

e) Unsur-unsur Komunikasi Antarbudaya ... 33

f) Prinsip-prinsip Komunikasi Antarbudaya ... 41

g) Hambatan-hambatan Komunikasi Antarbudaya ... 44

h) Agama Sebagai Kelompok Etnik ... 47

i) Hakikat Agama ... 48

j) Sejarah Kemajemukan Agama ... 50

B. Kajian Teori ... 52

BAB III : PENYAJIAN DATA A. Deskripsi Subyek, Obyek dan Lokasi Penelitian ... 56

1. Subyek Penelitian ... 56

2. Obyek Penelitian ... 59

3. Profil Lokasi Penelitian ... 60

B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 72

BAB IV : ANALISIS DATA A. Temuan Penelitian ... 85

B. Konfirmasi Temuan dengan Teori ... 89

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 93


(9)

DAFTAR PUSTAKA BIODATA PENULIS LAMPIRAN-LAMPIRAN


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Konteks Penelitian

Indonesia sebagai negara demokrasi yang di dalamnya sudah tidak tabuh lagi jika masyarakatnya terdiri dari beberapa suku, ras, budaya, bahasa bahkan agama. Keberagaman umat beragama tersebut tidak hanya terjadi di tingkat global, rasional, regional, lokal bahkan di wilayah perdesaan yang sempit lagi sudah banyak beragam perbedaan agama.1

Sebagai masyarakat Indonesia yang hidup di kalangan dengan macam-macam perbedaan, terutama dengan perbedaan agama dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan sosial yang kompleks. Nilai sosial sangat berpengaruh untuk keharmonisan atau kerukunan masyarakat dengan sejumlah perbedaan-perbedaan yang ada.

Dalam beberapa tahun terakhir, munculnya berita tentang isu kekerasan agama cukup menegangkan umat beragama. Masyarakat sedikit tersentuh ego keagamaannya atau etnis suatu kelompoknya. Maka reaksi yang ditimbulkan sangat besar bahkan terkadang sangat berlebihan. Hal tersebut tentu saja akan menciptakan suasana kehidupan yang tegang dan meresahkan. Dalam keadaan demikian agama seringkali dijadikan titik singgung paling sensitif dan eksklusif dalam pergaulan masyarakat.

1


(11)

2

Salah satu problem besar yang dialami bangsa Indonesia belakangan ini adalah muncul beragam masalah yang menjurus kepada disintegrasi bangsa, dimana salah satu faktor pemicunya pada dasarnya tidak pernah mengajarkan umatnya berbuat aniaya terhadap umat lain. Tapi sayangnya, agama yang mengajarkan perdamaian tidak jarang dijadikan legitimasi untuk mengganggu, memusuhi bahkan memusnahkan umat lain.

Di Indonesia konflik antar umat beragama seperti yang terjadi di Ambon dan Poso adalah salah satu bukti nyata bahwa ajaran agama dijadikan sebagai alat pembenar bagi pemeluknya untuk melakukan tindakan permusuhan dan pembunuhan atas nama agama. Kenyataan ini jelas sangat bertentangan secara diametral dengan esensi ajaran agama itu sendiri yang selalu mengajarkan cinta kasih dan perdamaian. Contoh konflik beragama, yakni antara Islam dan Kristen yang terjadi di Ambon dan Poso bagi bangsa Indonesia, tidak menutup kemungkinan bisa terjadi pada agama-agama yang lain, seperti antara Islam dan Hindu, Islam dan Budha, serta Kristen dengan Hindu atau Kristen dengan Budha. Hal ini bisa dipahami mengingat bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk dengan pemeluk agama yang beragam. Belum lagi perbedaan suku dan ras, bisa jadi faktor ini juga berpotensi memperkeruh suasana konflik agama. Namun demikian, kemungkinan di atas bisa jadi tidak terwujud apabila masyarakat dan bangsa Indonesia mampu menumbuhkan sikap toleran di antara umat beragama.

Jika dilihat dari potensi konflik, sebenarnya konflik agama di Indonesia tidak hanya antara Islam dan Kristen, dalam masyarakat Hindu menyimpan potensi konflik yang tidak kecil. Pasca ledakan bom Bali tahun 2002 yang


(12)

3

menghancurkan ekonomi Bali, terdapat perkembangan yang mengkhawatirkan kehidupan beragama, yakni tumbuhnya kelompok milisi yang disebut dengan pecalang. Kelompok ini pada awalnya adalah polisi tradisional yang melakukan sweeping terhadap orang-orang pendatang yang tidak mempunyai KTP/KIPEM/KIPP yang sah. Para pendatang rata-rata berasal dari jawa yang

notabene beragama Islam. Kondisi inilah yang berpotensi menciptakan konflik agama antara Islam dan Hindu.

Kekerasan atas nama agama sering mewarnai kehidupan bangsa Indonesia. Entah munculnya sebagai akibat hubungan antar umat beragama yang tidak dibarengi sikap toleran, atau sengaja diciptakan untuk mendukung kepentingan kelompok tertentu. Jika ditelaah lebih dalam menurut Arifin karena kedalaman pesan agama tidak tertangkap. Pemeluk agama lebih suka melihat perbedaan wujud luar agama daripada menyelami pesan dasar yang terkandung pada masing-masing agama.

Komunikasi antarbudaya antar umat beragama bersumber kepentingan dan kebutuhan yang paling mendasar ketika manusia melakukan komunikasi ataupun interaksi bagi kehidupan yang ada di suatu daerah. Seperti komunikasi yang terjadi di Dusun Laban Kulon, Desa Laban, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik. Dusun Laban Kulon terdapat di desa Laban, dan lokasi desa ini di bagian selatan Kabupaten Gresik yang berbatasan dengan Kota Surabaya. Di dusun ini terdapat sebuah pura besar bernama pura Jagad Dumadi, sebagai tempat persembahyangan para umat Hindu di Desa Laban dan sekitarnya. Fenomena yang terjadi di Dusun Laban Kulon ini adalah setiap malam sehari sebelum Hari Raya Nyepi umat Hindu mengadakan ritual


(13)

4

Ogoh-ogoh yang diarak mengelilingi desa yang melambangkan keinsyafan manusia. Akses jalan raya Surabaya-Menganti pun lumpuh total, pihak kepolisian dan petugas keamanan lainnya turut mengamankan jalannya Ogoh-ogoh. Di dalam acara Ogoh-ogoh sendiri tak sedikit pula warga Islam terutama warga Dusun Kulon yang turut serta dan berpartisipasi. Sedangkan penduduk Dusun Laban Kulon mayoritas beragama Islam dan Minoritas penduduknya beragama umat Hindu. Tradisi lain juga menghiasi keharmonisan antarbudaya di Dusun Laban Kulon seperti budaya tahlilan yang dilakukan umat Muslim, saling takziyah bila ada warga yang meninggal, pembagian daging Idul Adha berupa daging sapi yang menurut Hindu hewan sapi dianggap sakral, dan semua tradisi itu berlanjar lancar dengan adanya dukungan dan penghormatan dari kedua budaya yaitu Islam dan Hindu. Di dusun ini pula terdapat masjid yang cukup besar sebagai tempat ibadah para umat Muslim, dan lokasi masjid tidak berjarak jauh dari lokasi pura umat Hindu. Berdasarkan fenomena diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian.

B. Fokus Penelitian

Fokus adalah obyek yang menurut peneliti paling menarik, paling bermanfaat, paling menantang untuk diteiti (the object of interest dari peneliti). Fokus juga mengandung makna sesuatu yang unik dan terbatas. Peneliti tidak meneliti segalanya, tetapi ia memilih bagian tertentu dari sesuatu yang besar2. Permasalahan komunikasi sosial budaya memang sangat luas

2


(14)

5

karena disamping menyangkut komunikasinya (hubungan antar pribadi dan kelompok) juga menyangkut masalah psikologi dari tiap-tiap individu dalam suatu masyarakat yang menjadi komponen komunikasi antarbudaya. Dari uraian singkat ini, kemudian muncul pertanyaan dalam diri peneliti mengenai masalah :

1) Bagaimana bentuk komunikasi antarbudaya yang terbangun antara masyarakat Islam dan Hindu dalam tradisi lokal di Dusun Laban Kulon, Desa Laban, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik?

2) Faktor-faktor yang mendukung proses komunikasi antarbudaya antara masyarakat Islam dan Hindu dalam tradisi lokal di Dusun Laban Kulon, Desa Laban, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik?

3) Faktor-faktor yang menghambat proses komunikasi antarbudaya antara masyarakat Islam dan Hindu dalam tradisi lokal di Dusun Laban Kulon, Desa Laban, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan atas fokus penelitian yang telah dirumuskan diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1) Untuk mengetahui bentuk komunikasi antarbudaya, agama yang terbangun antara masyarakat Islam dan Hindu dalam tradisi lokal di Dusun Laban Kulon, Desa Laban, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik.

2) Untuk mengetahui apa saja faktor-faktor pendukung komunikasi antarbudaya antara masyarakat Islam dan Hindu dalam tradisi lokal di


(15)

6

Dusun Laban Kulon, Desa Laban, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik.

3) Untuk mengetahui apa saja faktor-faktor penghambat komunikasi antarbudaya antara masyarakat Islam dan Hindu dalam tradisi lokal di Dusun Laban Kulon, Desa Laban, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis

a. Dalam penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai acuan untuk menambah informasi bagi fakultas dakwah, khususnya bagi program studi ilmu komunikasi dalam mengembangkan kajian ilmu komunikasi dan menambah pengetahuan mahasiswa mengenai dunia budaya, dan agama.

b. Bagi pembaca, penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan mengenai komunikasi antarbudaya.

c. Sebagai wahana latihan pengembangan kemampuan dan penerapan teori yang diperoleh dalam perkuliahan.

2. Secara praktis

Dari penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan studi ilmu komunikasi di fakultas dakwah, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel sendiri serta memberi manfaat bagi masyarakat dalam mempelajari komunikasi antarbudaya.


(16)

7

E. Kajian Hasil Penelitian Terdahulu

Dalam menyusun penelitian ini, telah dilakukan tinjauan pustaka oleh penulis dan ternyata ada mahasiswa sebelumnya menulis dalam masalah yang hampir sama bahkan menyerupai dengan judul yang akan penulis buat. Oleh karena itu, untuk menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti

“menduplikat” hasil karya orang lain, maka penulis perlu mempertegas

perbedaan antara masing-masing judul dan masalah yang dibahas.

Seperti yang peneliti temukan pada penelitian dari UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, karya Ahlan Muzakir yang berjudul “Interaksi Sosial Masyarakat Islam dan Hindu di Dusun Sumberwatu, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman Dalam Mengembangkan Kerukunan

Beragama”. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan (1) Pola interaksi sosial masyarakat Islam dan Hindu. (2) Pengaruh interaksi sosial bagi kerukunan beragama masyarakat Islam dan Hindu. Perbedaan lain dari penelitian ini adalah terletak pada teori yang digunakan, pembahasan, subyek, obyek, dan lokasi penelitian. Akan tetapi menggunakan metode penelitian yang sama.

F. Definisi Konsep

Keberadaan konsep ini sangat penting sebab banyak kata-kata yang memiliki pengertian sama sehingga menimbulkan kesalahpahaman dikalangan pembaca. Pada dasarnya konsep merupakan unsur pokok dalam dari penelitian dan suatu konsep sebenarnya definisi singkat dari sejumlah fakta atau segala yang ada. Untuk itu agar terhindar dari kesalahpahaman maka penulis


(17)

8

memberikan batasan istilah/definisi tersendiri, dengan demikian suatu istilah hanya memiliki pengertian yang terbatas. Batasan pada sejumlah konsep dalam penelitian ini adalah penerapan komunikasi sosial budaya, dalam penerapan komunikasi sosial budaya terbagi dalam beberapa konsep antara lain :

1. Komunikasi

Secara etimologi (kebahasaan) kata komunikasi berasal dari bahasa latin, Communicatio, dan perkataan ini bersumber pada kata communis,

yang artinya “sama” dalam arti sama makna mengenai satu hal.

Pengertian secara terminology (istilah) pada umumnya bahwa komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik lisan maupun tak langsung melalui media. Dalam definisi tersebut tersimpul tujuan, yakni memberi tahu atau mengubah sikap (attitude), pendapat (opinion), atau perilaku (behaviour).3

2. Budaya

Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, obyek-obyek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok.4

3. Komunikasi Antar Budaya

3

Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), hlm. 5. 4


(18)

9

Sedangkan komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi dalam suatu kondisi yang menunjukkan adanya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai-nilai, adat, kebiasaan.5 Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Komunikasi antarbudaya terjadi dalam banyak ragam situasi yang berkisar dari interaksi-interaksi antara orang-orang yang berbeda budaya secara ekstrem hingga interaksi-interaksi antara orang-orang yang mempunyai budaya dominan yang sama tetapi mempunyai subkultur atau subkelompok yang berbeda.6 Komunikasi antarbudaya mengacu pada komunikasi antara orang-orang dari kultur yang berbeda antara orang-orang yang memiliki kepercayaan, nilai, atau cara berperilaku kultural yang berbeda.

Komunikasi antarbudaya dalam penelitian ini meliputi beberapa tradisi lokal antara lain kegiatan ritual Ogoh-ogoh umat Hindu, Hari Raya Nyepi umat Hindu, budaya tahlilan, Idul Adha yang dilakukan umat Islam, tradisi saling takziyah antara masyarakat Islam dan Hindu.

4. Tradisi Lokal

Tradisi lokal adalah tradisi atau budaya asli dari suatu kelompok masyarakat tertentu yang juga menjadi ciri khas budaya sebuah kelompok masyarakat lokal.7 Dalam penelitian ini tradisi lokal yang dilakukan umat Hindu di Dusun Laban Kulon antara lain adalah Ogoh-ogoh. Sedangkan yang dilakukan umat Islam adalah tahlilan atau pengajian.

5

Suranto Aw, Komunikasi Sosial Budaya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 32. 6

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990), hlm. 21.


(19)

10

5. Masyarakat Islam

Masyarakat Islam atau Muslim yaitu masyarakat yang berdiri dan terbentuk oleh syariat Islam yang diciptakan oleh Allah SWT yang Maha Sempurna dan paling mengerti apa yang dibutuhkan oleh hamba-hambanya. Sehingga masyarakat muslim ini diatur oleh peraturan yang sempurna, dan tidak saling bertentangan. Islam sejatinya merupakan agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan, karena ilmu, seperti halnya iman dan amal shaleh, merupakan salah satu faktor yang membentuk kemuliaan manusia. Ilmu pengetahuan, tutur Nurcholish Madjid, merupakan entitas yang membentuk segi tiga kesadaran Muslim secara integral, yaitu iman, ilmu, dan amal. Ilmu menjadi penengah antara iman dan amal shalih di satu sisi, dan penengah antara iman dan ibadah di sisi yang lain.8

Demikian juga Islam memerintahkan kaum muslimin untuk menjalin hubungan yang baik dengan non muslim, hidup berdampingan secara damai dalam bermasyarakat. Islam tidak mengenal unsur-unsur paksaan, hal ini berlaku mengenai cara, tingkah laku setiap hidup dalam segala keadaan serta di pandang sebagai suatu hal esensial. Karena itu Islam bukan saja mengajarkan supaya jangan melakukan kekerasan dan paksaan, tetapi Islam mewajibkan pula supaya seorang muslim harus menghormati agama-agama lain atau pemeluk-pemeluknya dalam berkomunikasi sehari-hari.

8


(20)

11

6. Masyarakat Hindu

Masyarakat ialah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup atau terbuka. Atau bisa juga disebut individu yang membentuk suatu hubungan sebuah komunitas. Agama Hindu (disebut pula Hinduisme) merupakan agama dominan di Asia Selatan terutama di India dan Nepal yang mengandung aneka ragam tradisi. Agama ini meliputi berbagai aliran di antaranya Saiwa, Waisnawa, dan Sakta serta

suatu pandangan luas akan hukum dan aturan tentang “moralitas sehari

-hari” yang berdasar pada karma, darma, dan norma kemasyarakatan. Hindu tidak pernah menganggap agama/ajaran lain sebagai musuh.

Sesuai dengan arti salam/mantra “Om Shanti Shanti Om” yang artinya

“Semoga Damai Atas Karunia-Nya. Hindu juga mengajarkan untuk menjunjung tinggi perdamaian dan persahabatan. Penyebabnya yaitu, pertama, ada pengakuan bahwa Tuhan itu satu, tetapi disebut dengan banyak nama (ekam sat vipra bahuda vadanti). Kedua, ada etika yang menyatakan jiwa manusia adalah sama, menyakiti orang lain sama dengan menyakiti diri sendiri (tat tvam asi), dan ketiga, semua makhluk hidup adalah satu keluarga (vasudaiva kutumbakan). Perdamaian dalam agama Hindu tidak hanya berarti perdamaian sesama Hindu saja, tetapi perdamaian dengan semua ciptaan-Nya tanpa membedakan SARA.9


(21)

12

G. Kerangka Pikir Penelitian

Berikut ini adalah ilustrasi kerangka pikir penelitian “Komunikasi Antar Budaya Masyarakat Islam dan Hindu dalam Tradisi Lokal di Dusun Laban Kulon, Desa Laban, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik” adalah sebagai berikut :

Bagan 1.1

Kerangka Pikir Penelitian

Dalam kerangka penelitian ini dapat dijelaskan bahwa komunikasi antar budaya memiliki unsur-unsur di dalamnya. Tradisi lokal merupakan pengaplikasian dari sebuah kebudayaan. Di dalam melakukan sebuah tradisi lokal yang berbeda budaya juga terdapat faktor hambatan dan pendukung yang mempengaruhi proses komunikasi.

Dengan melihat kenyataan tersebut, maka dibutuhkan sebuah landasan melalui teori interaksi simbolik. Teori ini menjelaskan tentang interaksi manusia yang menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang


(22)

13

mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Juga pengaruh yang ditimbulkan dari penafsiran simbol-simbol tersebut terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial.

H. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Metodologi adalah proses, prinsip, dan prosedur yang kita gunakan untuk mendekati problem dan mencari jawaban. Dengan ungkapan lain, metodologi adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian.10 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan fenomenologis yaitu kebenaran sesuatu itu dapat diperoleh dengan cara menangkap fenomena atau gejala yang memancar dari obyekyang diteliti.11 Fenomena adalah hal-hal yang dapat disaksikan dengan panca indra dan dapat diterangkan serta dinilai secara alamiah.

Pada penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif adalah suatu jenis penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Yaitu upaya memahami sikap, pandangan, perasaan, dan perilaku baik individu maupun sekelompok orang.12

10

Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja RosdaKarya, 2007), hlm. 145.

11

Anis Fuad dan Kandung Sapto Nugraha, Panduan Praktis Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Graha ilmu, 2014), hlm. 55.

12


(23)

14

2. Subyek, Obyek dan Lokasi Penelitian

a. Sebagai subyek dari penelitian ini adalah Kepala Desa Laban Kulon, tokoh masyarakat Islam Dusun Laban Kulon, tokoh masyarakat Hindu Dusun Laban Kulon, warga umat Islam Dusun Laban Kulon, warga umat Hindu Dusun Laban Kulon. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1.1

Data-data Subyek penelitian

No. NAMA USIA KETERANGAN

1 Slamet Efendi 45 Kepala Desa Laban

2 Muhammad Irsyad 40 Tokoh Umat Islam

Dusun Laban Kulon

3 Sugiharto 54 Tokoh Umat Hindu

Dusun Laban Kulon

4 Supeno 54 Tokoh Umat Hindu

Dusun Laban Kulon

5 Dudung 57 Warga Umat Islam

Dusun Laban Kulon

6 Nanik Yulianti 30 Warga Umat Islam

Dusun Laban Kulon

7 Winda Ariyeni 21 Warga Umat Hindu

Dusun Laban Kulon

b. Obyek penelitian merupakan data yang diperoleh dari aspek keilmuan komunikasi yang menjadi kajian penelitian. Obyek penelitian ini mengenai Komunikasi Antar Budaya Masyarakat Islam dan Hindu di Dusun Laban Kulon, Desa Laban, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik.

c. Sedangkan lokasi penelitian yang peneliti lakukan adalah di Dusun Laban Kulon, Desa Laban, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik.


(24)

15

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data dan sumber data pada penelitian kualitatif yang dicoba untuk diperoleh menurut Lofland sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan yaitu berupa perencanaan komunikasi dan pola komunikasi yang dilakukan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.Berkaitan dengan hal itu pada bagian jenis datanya dibagi kedalam kata-kata dan tindakan, sumber data dan foto.

a. Jenis Data

Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu:

1) Jenis Data Primer, merupakan jenis data pokok atau utama. Dalam penelitian ini, yang termasuk dalam jenis data primer adalah komunikasi sosial, budaya, dan agama yang dilakukan oleh masyarakat Islam dan Hindu di Dusun Laban Kulon demi terciptanya keadaan harmonis diantara mereka serta data-data lain yang terkait dengan penelitian.

2) Jenis Data Sekunder, merupakan jenis data tambahan. Dalam penelitian ini, yang termasuk dalam jenis data sekunder adalah sejarah dan asal usul Dusun Laban Kulon serta data-data lain yang diperlukan dalam penelitian.

b. Sumber Data

Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek darimana data diperoleh. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:


(25)

16

1) Sumber Data Primer, dalam hal ini sumber data primer diperoleh dari informan terkait yakni Bapak Kepala Desa Laban, tokoh masyarakat Islam, tokoh masyarakat Hindu, warga muslim Dusun Laban Kulon, warga Hindu Dusun Laban Kulon serta dokumen yang diperlukan untuk penelitian.

2) Sumber Data Sekunder, dalam hal ini sumber data sekunder diperoleh dari Bapak Kepala Desa Laban dan dokumen yang diperlukan dalam penelitian.

Dalam memilih sumber data atau informan, peneliti menggunakan

purposive sampling dalam menentukan siapa informan yang potensial dan bersedia untuk diwawancarai.

Dalam penelitian kualitatif, teknik sampling yang sering digunakan adalah purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek/situasi sosial yang diteliti.

4. Tahap-Tahap Penelitian

a. Tahap pra lapangan

Tahap ini adalah tahap untuk memperoleh gambaran umum mengenai subyek penelitian yakni tentang komunikasi antarbudaya masyarakat Islam dan Hindu di Dusun Laban Kulon, Desa Laban,


(26)

17

Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik. Langkah-langkah yang penulis tempuh sebagai berikut:

1) Menyusun rancangan penelitian dalam hal ini berisi :

a) Latar belakang masalah dan alasan pelaksanaan penelitian b) Kajian pustaka

c) Pemilihan lapangan penelitian d) Rumusan jadwal penelitian e) Rancangan pengumpulan data f) Rancangan prosedur analisis data g) Rancangan pengecekan kebenaran data

2) Menjajaki dan menilai keadaan lapangan dalam arti peneliti mulai mengumpulkan data yang sebenarnya

b. Tahap lapangan

Orientasi lapangan (obyek penelitian), yaitu pada tahap ini penulis banyak mencari informasi dari subyek penelitian (informan penelitian) dan juga data-data yang mendukung jalannya penelitian di lapangan seperti buku-buku, dokumentasi serta studi kepustakaan lain yang berhubungan dengan judul “Komunikasi Antar Budaya Masyarakat Islam dan Hindu dalam Tradisi Lokal di Dusun Laban Kulon, Desa Laban, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik”.

c. Tahap penulisan laporan :

Penulisan laporan merupakan hasil akhir dari suatu penelitian sehingga dalam tahap ini peneliti mempunyai pengaruh terhadap hasil penulisan laporan. Penulisan laporan yang sesuai dengan prosedur


(27)

18

penulisan yang baik akan menghasilkan kualitas yang baik pula terhadap hasil penelitian.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah:

a. Pengamatan Terlibat atau Observasi

Observasi yang lazim dilakukan dalam studi kualitatif adalah observasi melibat. Observasi melibat atau pengamatan terlibat yaitu adanya keterlibatan langsung antara peneliti dengan informan yaitu pihak Dusun Laban Kulon sehingga menimbulkan kedekatan emosional antara keduanya. Hal tersebut berperan serta usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar, dan bertanya. Dalam pengamatan ini dibutuhkan alat rekam atau video yang berfungsi sebagai sumber data dalam penelitian selain dari hasil dokumen dan wawancara.

b. Wawancara

Wawancara adalah bentuk informasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu.

Wawancara dilakukan untuk memperoleh data primer, berupa komunikasi sosial, budaya, agama yang digunakan Masyarakat di Dusun Laban Kulon dalam upaya menciptakan susasana harmonis


(28)

19

bermasyarakat serta data sekunder, berupa sejarah dan asal usul Dusun Laban Kulon melalui sumber-sumber yang terkait penelitian ini. c. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen biasa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan (life histories), cerita, biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya foto, gambar hidup, sketsa, dan lain-lain. Dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film, dan lain-lain.Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif.

Dokumen-dokumen yang ada dipelajari untuk memperoleh data dan informasi dalam penelitian ini. Dokumen tersebut meliputi laporan dan data-data yang bersumber dari buku, majalah, koran, dan internet yang berkaitan dengan topik penelitian.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif selalu bersifat induktif, alur kegiatan analisis terjadi secara bersamaan dengan :

a. Data reduction

Dengan melakukan pemilihan dan menganalisa data-data yang didapat. Proses ini akan dilakukan selama penelitian. Dalam tahap ini


(29)

20

juga melakukan pemilihan dan pemusatan perhatian untuk penyederhanaan, abstraksi, dan transformasi data kasar yang diperoleh.

b. Data display

Dari sebagian data yang telah didapat akan langsung diolah sebagai setengah jadi yang nantinya akan dimatangkan melalui data-data selanjutnya. Disini peneliti melakukan pengembangan sebuah deskripsi informasi tersusun untuk menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan. Display data atau penyajian data yang lazim digunakan adalah dalam bentuk teks naratif.

c. Conclusion drawing / verification

Merupakan suatu kegiatan dari konfigurasi yang utuh, membuat rumusan proposisi yang terkait dan mengangkatnya sebagai temuan penelitian. Dari sini peneliti akan mulai mencari arti dari setiap data yang terkumpul, menyimpulkan serta memverikasi data tersebut.

7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

a) Ketentuan Pengamatan

Untuk menghindari kesalahan/kekeliruan data yang telah terkumpul, perlu dilakukan pengecekan dan keabsahan data, ketentuan pengamatan dilakukan dengan teknik melakukan pengamatan yang diteliti, rinci dan terus menerus selama proses penelitian berlangsung yang diikuti dengan kegiatan wawancara serta intensif kepada subyek agar data yang dihasilkan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.


(30)

21

b) Triangulasi

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.Teknik triangulasi yang banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Denzim membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori.

I. Sistematika Pembahasan

1. Bagian Pembukaan

Bagian ini memuat Judul Penelitian (sampul dalam), Pernyataan Keaslian Karya, Persetujuan Pembimbing, Pengesahan Tim Penguji, Motto dan Persembahan, Kata Pengantar, Abstrak, Daftar Isi.

2. Bagian Inti (isi)

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini berisi pendahuluan yang dipaparkan mengenai konteks penelitian, fokus dalam penelitian, tujuan dari penelitian, dan juga manfaat penelitian, kajian penelitian terdahulu, definisi konsep, kerangka konseptual penelitian, metode penelitian, dijelaskan uraian singkat mengenai sistematika pembahasan penulisan proposal penelitian.


(31)

22

BAB II : KAJIAN TEORITIS

Pada bab ini mendeskripsikan kajian pustaka, kajian pustaka berisi uraian tentang landasan teori yang bersumber dari kepustakaan. Pada bab ini terdiri dari kajian pustaka yang berkaitan dengan proses pembentukan komunikasi sosial, komunikasi budaya, komunikasi agamadalam membangun keharmonisan masyarakat melalui pendekatan deskriptif kualitatif.

BAB III : PENYAJIAN DATA

Bab ini mendeskripsikan secara umum mengenai obyek penelitian dan deskripsi hasil penelitian yang menyajikan data penelitian sesuai dengan fokus penelitian.

BAB IV : ANALISIS DATA

Berisi tentang analisis atau pembahasan data yang menghasilkan temuan penelitian serta konfirmasi temuan dengan teori.

BAB V : PENUTUP

Merupakan bagian terkahir dalam penulisan penelitian.Berisi tentang kesimpulan, saran-saran berkenaan dengan penelitian.

3. Bagian Akhir (Lampiran)

Dalam bagian ini berisi tentang daftar pustaka yang digunakan peneliti dan beberapa lampiran seperti panduan wawancara, biodata peneliti, surat keterangan penelitian dari lembaga / perusahaan dan file-file dokumentasi.


(32)

BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. Kajian Pustaka

1. Komunikasi Antar Budaya

a) Pengertian Komunikasi Antar Budaya

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.13

Menurut Stewart sebagaimana dikutip oleh Suranto Aw berpendapat bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi dalam suatu kondisi yang menunjukkan adanya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai-nilai adat, kebiasaan.14

Komunikasi antarbudaya lebih menekankan aspek utama yakni komunikasi antarpribadi di antara komunikator dan komunikan yang kebudayaannya berbeda.15 Ada beberapa istilah yang sering disepadankan dengan istilah komunikasi antarbudaya, diantaranya adalah komunikasi antar etnik, komunikasi antar ras, komunikasi lintas budaya, dan komunikasi internasional.

13

Stewart L. Tubbs – Sylvia Moss, Human Communication (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996), hlm. 237.

14

Suranto Aw, Komunikasi Sosial Budaya (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 32. 15


(33)

24

1) Komunikasi Antar Etnik

Kelompok etnik merupakan sekumpulan orang yang memiliki ciri kebudayaan yang relatif sama sehingga kebudayaan itu menjadi panutan para anggota kelompoknya. Pengertian etnik sepadan dengan kelompok agama, suku bangsa, organisasi sosial, dan politik.

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa komunikasi antarpribadi atau komunikasi kelompok yang terjadi di antara kelompok-kelompok agama (antara orang Protestan dengan orang Katholik), suku (antara Flores dan Rote), ras (antara Tionghoa dan Arab), dan golongan (antara pemilik kekuasaan dan yang dikuasai) dapat dikategorikan pula sebagai komunikasi antar etnik.16

2) Komunikasi Antar Ras

Ras adalah aspek genetikal yang terlihat sebagai ciri khas dari sekelompok orang, umumnya aspek genetikal itu dikaitkan dengan ciri fisik/tubuh, warna kulit, warna rambut, dll.17

3) Komunikasi Lintas Budaya

Komunikasi lintas budaya lebih menekankan perbandingan pola-pola komunikasi antarpribadi di antara peserta komunikasi yang berbeda kebudayaan. Pada awalnya studi lintas budaya berasal dari perspektif antropologi sosial dan budaya sehingga dia lebih bersifat depth description, yakni penggambaran yang

16


(34)

25

mendalam tentang perilaku komunikasi berdasarkan kebudayaan tertentu.18

4) Komunikasi Internasional

Dapat diartikan sebagai komunikasi yang dilakukan antara komunikator yang mewakili suatu negara untuk menyampaikan pesan-pesan yang berkaitan dengan berbagai kepentingan negaranya kepada komunikan yang mewakili negara lain dengan tujuan untuk memperoleh dukungan yang lebih luas.

b) Hakikat Komunikasi Antar Budaya

Menurut Devito, ada dua hakikat komunikasi antarbudaya, yaitu:

1. Enkulturasi

Mengacu pada proses dengan mana kultur ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bagaimana mempelajari kultur, bukan mewarisinya. Kultur ditransmisikan melalui proses belajar, bukan melalui gen. Orangtua, kelompok teman, sekolah, lembaga keagamaan, dan lembaga pemerintahan merupakan guru-guru utama di bidang kultur. Enkulturasi terjadi melalui mereka.

2. Akulturasi

Mengacu pada proses dimana kultur seseorang dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan kultur lain.

18


(35)

26

Menurut Kim, penerimaan kultur baru bergantung pada sejumlah faktor. Imigran yang datang dari kultur yang mirip dengan kultur tuan rumah akan terakulturasi lebih mudah. Demikian pula, mereka yang lebih muda dan lebih terdidik lebih cepat terakulturasi daripada mereka yang lebih tua dan kurang berpendidikan.19

c) Fungsi dan Tujuan Komunikasi Antar Budaya

Dalam proses komunikasi antarbudaya ini, terdapat fungsi dan tujuan di dalamnya. Sebagaimana dinyatakan Alo Liliweri, yaitu: 1) Fungsi Pribadi

Fungsi pribadi adalah fungsi-fungsi komunikasi yang ditunjukkan melalui perilaku komunikasi yang bersumber dari seorang individu.

a. Menyatakan Identitas Sosial

Dalam proses komunikasi antarbudaya terdapat beberapa perilaku komunikasi individu yang digunakan untuk menyatakan identitas sosial. Perilaku itu dinyatakan melalui tindakan berbahasa baik secara verbal dan nonverbal. Dari perilaku berbahasa itulah dapat diketahui identitas diri maupun sosial.


(36)

27

b. Menyatakan Intergrasi Sosial

Inti konsep integrasi sosial adalah menerima kesatuan dan persatuan antar pribadi, antar kelompok. Namun tetap mengakui perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh setiap unsur. Dalam kasus komunikasi antarbudaya yang melibatkan perbedaan budaya antar komunikator dengan komunikan, maka integrasi sosial merupakan tujuan utama komunikasi.

c. Menambah Pengetahuan

Seringkali komunikasi antarpribadi maupun komunikasi antarbudaya menambah pengetahuan bersama, saling mempelajari kebudayaan masing-masing.

d. Melepaskan Diri atau Jalan Keluar

Berkomunikasi dengan orang lain untuk melepaskan diri atau mencari jalan keluar atas masalah yang sedang dihadapi. Pilihan komunikasi seperti itu dinamakan komunikasi yang berfungsi menciptakan hubungan komplementer dan hubungan yang simetris.

Hubungan komplementer selalu dilakukan oleh dua pihak mempunyai perilaku yang berbeda. Perilaku seseorang berfungsi sebagai stimulus perilaku komplementer dari yang lain. Dalam hubungan komplementer, perbedaan di antara dua pihak dimaksimumkan. Sebaliknya hubungan yang simetris


(37)

28

dilakukan oleh dua orang yang saling bercermin pada perilaku yang lainnya.

2) Fungsi Sosial a. Pengawasan

Fungsi sosial yang pertama adalah pengawasan. Praktek komunikasi antarbudaya di antara komunikator dan komunikan yang berbeda kebudayaan berfungsi saling mengawasi. Dalam setiap proses komunikasi antarbudaya fungsi ini bermanfaat untuk menginformasikan

“perkembangan” tentang lingkungan. Fungsi ini lebih

banyak dilakukan oleh media massa yang menyebarluaskan secara rutin perkembangan peristiwa yang terjadi disekitar meskipun peristiwa itu terjadi dalam sebuah konteks kebudayaan yang berbeda.

b. Menjembatani

Dalam proses komunikasi antarbudaya, maka fungsi komunikasi yang dilakukan antara dua orang yang berbeda budaya itu merupakan jembatan atas perbedaan di antara mereka. Fungsi menjembatani itu dapat terkontrol melalui pesan-pesan yang mereka pertukarkan, keduanya saling menjelaskan perbedaan tafsir atas sebuah pesan sehingga menghasilkan makna yang sama.


(38)

29

c. Sosialisasi nilai

Fungsi sosialisasi merupakan fungsi untuk mengajarkan dan memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat kepada masyarakat lain.

d. Menghibur

Fungsi menghibur juga sering tampil dalam proses komunikasi antarbudaya.20

Tujuan dari komunikasi antarbudaya menurut Suranto Aw adalah untuk mengantarkan kepada suatu kompetensi pengetahuan bahwa perbedaan latar belakang sosial budaya dapat mengakibatkan kurang efektifnya proses komunikasi. Tidak hanya menekankan bagaimana orang yang saling berbeda latar belakang sosial budaya dalam berbicara, tetapi bagaimana mereka bertindak antarorang dan bagaimana mereka mengikuti aturan-aturan terselubung yang mengatur perilaku anggota masyarakat yang memiliki aturan nilai sosial dan budaya saling beda.21

Dengan mempelajari komunikasi antarbudaya diharapkan:

a. Memahami bagaimana perbedaan latar belakang budaya mempengaruhi praktik komunikasi.

b. Mengidentifikasi kesulitan-kesulitan yang muncul dalam komunikasi antarbudaya.

c. Meningkatkan keterampilan verbal dan nonverbal dalam berkomunikasi.

20

Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2003), hlm.36.


(39)

30

d. Menjadikan komunikator mampu berkomunikasi efektif.

d) Model Komunikasi Antar Budaya

Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya, perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua orang yang berbeda budaya akan pula berbeda, yang dapat menimbulkan segala macam kesulitan. Komunikasi antarbudaya terjadi dalam banyak ragam situasi yang berkisar dari interaksi-interaksi antara orang-orang yang berbeda budaya secara ekstrem hingga interaksi-interaksi antara orang-orang yang mempunyai budaya dominan yang sama tetapi mempunyai subkultur atau subkelompok yang berbeda.22

Komunikasi antarbudaya mengacu pada komunikasi antara orang-orang dari kultur yang berbeda antara orang-orang yang memiliki kepercayaan, nilai, atau cara berperilaku kultural yang berbeda.

22


(40)

31

Bagan 2.1

Model komunikasi antarbudaya

Model pada Bagan 2.1 menjelaskan konsep ini lebih jauh. Lingkaran yang lebih besar menggambarkan kultur dari komunikator. Lingkaran yang lebih kecil menggambarkan komunikatornya (sumber dan penerima). Dalam model ini masing-masing komunikator adalah anggota dari kultur yang berbeda. Semua pesan dikirimkan dari konteks kultural yang unik dan spesifik, dan konteks itu mempengaruhi isi dan bentuk pesan. Bagaimana cara berkomunikasi seperti yang dilakukan sekarang adalah sebagian besar sebagai akibat adanya kultur. Kultur mempengaruhi setiap aspek dari pengalaman komunikasi.

Komunikan menerima pesan melalui penyaring (filter) yang ditimbulkan oleh konteks kultural. Konteks ini mempengaruhi apa yang diterima dan bagaimana menerimanya.23

e) Unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya

Unsur-unsur sosio budaya ini merupakan bagian-bagian dari komunikasi antarbudaya. Bila memadukan unsur-unsur


(41)

32

tersebut, sebagaimana yang dilakukan ketika berkomunikasi, unsur-unsur tersebut bagaikan komponen-komponen suatu sistem stereo, setiap komponen berhubungan dengan dan membutuhkan komponen lainnya.

Unsur-unsur tersebut membentuk suatu matriks yang kompleks mengenai unsur-unsur yang sedang berinteraksi yang beroperasi bersama-sama, yang merupakan suatu fenomena kompleks yang disebut komunikasi antarbudaya.

Menurut Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, unsur-unsur komunikasi antarbudaya terdiri dari 3 unsur-unsur, yaitu:

1. Persepsi

Persepsi adalah proses internal yang dilakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal. Dengan kata lain, persepsi adalah cara mengubah energi-energi fisik lingkungan menjadi pengalaman yang bermakna.

Komunikasi antarbudaya akan lebih dapat dipahami sebagai perbedaan budaya dalam mempersepsi obyek-obyek sosial dan kejadian-kejadian. Suatu prinsip penting dalam pendapat ini adalah bahwa masalah-masalah kecil dalam komunikasi sering diperumit oleh perbedaan-perbedaan persepsi ini. Untuk memahami dunia dan tindakan-tindakan orang lain, harus lebih dahulu memahami kerangka persepsinya.


(42)

33

Tiga unsur sosio budaya mempunyai pengaruh besar dan langsung atas makna-makna yang dibangun dalam persepsi. Unsur-unsur tersebut adalah sistem-sistem kepercayaan

(belief), nilai (value), sikap (attitude); pandangan dunia (world view), dan organisasi sosial (social organization). Ketiga unsur utama ini mempengaruhi persepsi dan makna yang dibangun dalam persepsi, unsur-unsur tersebut mempengaruhi aspek-aspek makna yang bersifat pribadi dan subyektif.

a. Sistem-sistem kepercayaan, nilai, sikap

Kepercayaan secara umum dapat dipandang sebagai kemungkinan-kemungkinan subyektif yang diyakini individu bahwa suatu obyek atau peristiwa memiliki karakteristik-karakteristik tertentu. Kepercayaan melibatkan hubungan antara obyek yang dipercayai dan karakteristik-karakteristiknya yang membedakannya.

Nilai-nilai adalah aspek evaluatif dari sistem-sistem kepercayaan, nilai dan sikap. Dimensi-dimensi evaluatif ini meliputi kualitas-kualitas seperti kemanfaatan, kebaikan, estetika, kemampuan memuaskan kebutuhan, dan kesenangan. Meskipun setiap orang mempunyai suatu tatanan nilai yang unik, terdapat pula nilai-nilai yang cenderung menyerap budaya. Nilai-nilai budaya biasanya berasal dari isu-isu filosofis lebih besar yang merupakan bagian dari suatu milleu budaya. Nilai-nilai ini umumnya


(43)

34

normatif dalam arti bahwa nilai-nilai tersebut menjadi rujukan seorang anggota budaya tentang apa yang baik dan apa yang buruk, yang benar dan yang salah, yang sejati dan palsu, positif dan negatif.

Nilai-nilai budaya adalah seperangkat aturan terorganisasikan untuk membuat pilihan-pilihan dan mengurangi konflik dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai dalam suatu budaya menampakkan diri dalam perilaku-perilaku para anggota budaya yang dituntut oleh budaya tersebut. Nilai-nilai ini disebut nilai-nilai normatif.

Kepercayaan dan nilai memberikan kontribusi bagi pengembangan dan isi sikap. Diperbolehkan mendefinisikan sikap sebagai suatu kecenderungan yang diperoleh dengan cara belajar untuk merespon suatu obyek secara konsisten. Sikap itu dipelajari dalam suatu konteks budaya. Bagaimanapun lingkungan, lingkungan itu akan turut membentuk sikap, kesiapan untuk merespon, dan akhirnya merubah perilaku.

b. Pandangan dunia (world view)

Unsur budaya ini, meskipun konsep dan uraiannya abstrak, merupakan salah satu unsur terpenting dalam aspek-aspek perceptual komunikasi antarbudaya. Pandangan dunia berkaitan dengan orientasi suatu budaya terhadap hal-hal seperti Tuhan, kemanusiaan, alam, alam


(44)

35

semesta, dan masalah-masalah filosofis lainnya yang berkenan dengan konsep makhluk. Pandangan dunia mempengaruhi kepercayaan, nilai, sikap, penggunaan waktu, dan banyak aspek budaya lainnya.

c. Organisasi sosial (social organization)

Cara bagaimana suatu budaya mengorganisasikan diri dalam lembaga-lembaganya juga mempengaruhi bagaimana anggota-anggota budaya mempersepsi dunia dan bagaimana mereka berkomunikasi.

2. Proses-proses verbal

Proses-proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana berbicara dengan orang lain namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir dan pengembangan makna bagi kata-kata yang digunakan. Proses-proses ini (bahasa verbal dan pola-pola berpikir) secara vital berhubungan dengan persepsi dan pemberian serta pernyataan makna.

Bahasa verbal. Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem lambang terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar, yang digunakan untuk menyajikan pengalaman-pengalaman dalam suatu komunikasi geografis atau budaya. Bahasa merupakan alat utama yang digunakan budaya untuk menyalurkan kepercayaan, nilai, dan norma. Bahasa merupakan alat bagi


(45)

36

orang-orang untuk berinteraksi dengan orang-orang lain dan juga sebagai alat untuk berpikir.

Pola-pola berpikir. Pola-pola berpikir suatu budaya mempengaruhi bagaimana individu-individu dalam budaya itu berkomunikasi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi bagaimana setiap orang merespon individu-individu dari suatu budaya lain.

3. Proses-proses nonverbal

Proses-proses verbal merupakan alat utama untuk pertukaran pikiran dan gagasan, namun proses-proses ini sering dapat diganti oleh proses-proses nonverbal. Proses-proses nonverbal yang relevan dengan komunikasi antarbudaya, terdapat tiga aspek pembahasan: perilaku nonverbal yang berfungsi sebagai bentuk bahasa diam, konsep waktu, dan penggunaan dan pengaturan ruang.

Perilaku nonverbal. Sebagai suatu komponen budaya, ekspresi nonverbal mempunyai banyak persamaan dengan bahasa. Keduanya merupakan sistem penyandian yang dipelajari dan diwariskan sebagai bagian pengalaman budaya. Karena kebanyakan komunikasi nonverbal berlandaskan budaya, apa yang dilambangkannya seringkali merupakan hal yang telah budaya sebarkan kepada anggota-anggotanya. Lambang-lambang nonverbal dan respons-respons yang ditimbulkan lambang-lambang tersebut merupakan bagian dari


(46)

37

pengalaman budaya, apa yang diwariskan dari suatu generasi ke generasi lainnya. Setiap lambang memiliki makna karena orang mempunyai pengalaman lalu tentang lambang tersebut. Budaya mempengaruhi dan mengarahkan pengalaman-pengalaman itu, dan oleh karenanya budaya juga mempengaruhi dan mengarahkan bagaimana mengirim, menerima dan merespons lambang-lambang nonverbal tersebut.

Konsep waktu. Konsep waktu suatu budaya merupakan filsafatnya tentang masa lalu, masa sekarang, masa depan, dan pentingnya waktu itu. Waktu merupakan komponen budaya yang penting. Terdapat banyak perbedaan mengenai konsep ini antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya, dan perbedaan-perbedaan tersebut mempengaruhi komunikasi.

Penggunaan ruang. Cara orang menggunakan ruang sebagai bagian dalam komunikasi antarpersonal disebut proksemik

(proxemics). Proksemik tidak hanya meliputi jarak antara orang-orang yang terlibat dalam percakapan, tetapi juga orientasi fisik mereka. Orientasi fisik juga dipengaruhi oleh budaya, dan turut menentukan hubungan sosial.24

24


(47)

38

f) Prinsip-prinsip Komunikasi Antar Budaya

Komunikasi antarbudaya dapat dipahami dengan menelaah prinsip-prinsip umumnya. Prinsip-prinsip ini sebagian besar diturunkan dari teori-teori komunikasi yang sekarang diterapkan untuk komunikasi antarbudaya.

Devito mengemukakan beberapa prinsip di dalam komunikasi antarbudaya, yaitu:

1. Relativitas bahasa

Gagasan umum bahwa bahasa mempengaruhi pemikiran dan perilaku paling banyak disuarakan oleh para antropologis linguistik. Pada akhir tahun 1920-an dan di sepanjang tahun 1930-an, dirumuskan bahwa karakteristik bahasa mempengaruhi proses kognitif. Karena bahasa-bahasa di dunia sangat berbeda-beda dalam hal karakteristik semantik dan strukturnya, tampaknya masuk akal untuk mengatakan bahwa orang yang menggunakan bahasa yang berbeda juga akan berbeda dalam cara mereka memandang dan berpikir tentang dunia.

Bahasa yang manusia gunakan membantu menstrukturkan apa yang dilihat dan bagaimana melihatnya. Sebagai akibatnya, orang yang menggunakan bahasa yang berbeda akan melihat dunia secara berbeda pula.


(48)

39

2. Bahasa sebagai cermin budaya

Semakin besar perbedaan budaya, semakin besar perbedaan komunikasi baik dalam bahasa maupun dalam isyarat nonverbal. Semakin besar perbedaan antarbudaya, semakin sulit komunikasi dilakukan.

3. Mengurangi ketidakpastian

Semakin besar perbedaan antarbudaya, semakin besarlah ketidakpastian dan ambiguitas dalam komunikasi. Semua hubungan mengandung ketidakpastian. Banyak dari komunikasi berusaha mengurangi ketidakpastian ini sehingga dapat lebih baik menguraikan, memprediksi, dan menjelaskan perilaku orang lain. Karena ketidakpastian dan ambiguitas yang lebih besar ini, diperlukan lebih banyak waktu dan upaya untuk mengurangi ketidakpastian dan untuk berkomunikasi secara lebih bermakna.

4. Kesadaran diri dan perbedaan antarbudaya

Semakin besar perbedaan antarbudaya, semakin besar kesadaran diri para partisipan selama komunikasi. Ini mempunyai konsekuensi positif dan negatif. Positifnya, kesadaran diri ini barangkali membuat komunikasi yang dilakukan lebih waspada. Ini mencegah untuk tidak mengatakan hal-hal yang mungkin terasa tidak peka atau tidak patut. Negatifnya, ini membuat komunikasi yang dilakukan terlalu berhati-hati, tidak spontan, dan kurang percaya diri.


(49)

40

Dengan semakin baik komunikator dan komunikan saling mengenal, perasaan terlalu berhati-hati akan hilang dan menjadi lebih percaya diri dan spontan. Hal ini akan menambah kepuasan dalam berkomunikasi.

5. Interaksi awal dan perbedaan antarbudaya

Perbedaan antarbudaya terutama penting dalam interaksi awal dan secara berangsur berkurang tingkat kepentingannya ketika hubungan menjadi lebih akrab.

Walaupun menghadapi kemungkinan salah persepsi dan salah menilai orang lain, kemungkinan ini khususnya besar dalam situasi komunikasi antarbudaya. Menghindari kecenderungan alamiah untuk menilai orang lain secara tergesa-gesa dan permanen. Penilaian yang dilakukan secara dini biasanya didasarkan pada informasi yang sangat terbatas. Prasangka dan bias bila dipadukan dengan ketidakpastian yang tinggi pasti akan menghasilkan penilaian yang nantinya perlu diperbaiki.

6. Memaksimalkan hasil interaksi

Dalam komunikasi antarbudaya seperti dalam semua komunikasi, komunikator berusaha memaksimalkan hasil interaksi dan berusaha memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya minimum.25


(50)

41

g) Hambatan-hambatan Komunikasi Antar Budaya

Komunikasi antarbudaya tentu saja menghadapi hambatan dan masalah yang sama seperti yang dihadapi oleh bentuk-bentuk komunikasi yang lain. Beberapa hambatan komunikasi antarbudaya menurut Devito:

1. Mengabaikan perbedaan antara kelompok yang secara kultural berbeda

Barangkali hambatan yang paling lazim adalah bilamana menganggap bahwa yang ada hanya kesamaan dan bukan perbedaan. Ini terutama terjadi dalam hal nilai, sikap, dan kepercayaan. Dapat dengan mudah mengakui dan menerima perbedaan gaya rambut, cara berpakaian, dan makanan. Tetapi, dalam hal nilai-nilai dan kepercayaan dasar, beranggapan bahwa pada dasarnya manusia itu sama.

2. Mengabaikan perbedaan antara kelompok kultural yang berbeda

Dalam setiap kelompok kultural terdapat perbedaan yang besar dan penting. Bila mengabaikan perbedaan akan terjebak dalam stereotip. Asumsi yang terjadi bahwa semua orang yang menjadi anggota kelompok yang sama (dalam hal ini kelompok bangsa atau ras) adalah sama. Setiap kultur terdapat banyak subkultur yang jauh berbeda satu sama lain dan berbeda pula dari kultur mayoritasnya.


(51)

42

3. Mengabaikan perbedaan dalam makna (arti)

Makna tidak terletak pada kata-kata yang digunakan melainkan pada orang yang menggunakan kata-kata itu. Diperlukan kepekaan terhadap prinsip ini dalam komunikasi antarbudaya.

4. Melanggar adat kebiasaan kultural

Setiap kultur mempunyai aturan komunikasi sendiri-sendiri. Aturan ini menetapkan mana yang patut dan mana yang tidak patut.

5. Menilai perbedaan secara negatif

Meskipun terdapat perbedaan di antara kultur-kultur, tetap tidak boleh menilai perbedaan ini sebagai hal yang negatif. 6. Kejutan budaya

Kejutan budaya mengacu pada reaksi psikologis yang dialami seseorang karena berada di tengah suatu kultur yang sangat berbeda dengan kulturnya sendiri. Kejutan budaya itu normal. Kebanyakan orang mengalaminya bila memasuki kultur yang baru dan berbeda.26

h) Agama Sebagai Kelompok Etnik

Setiap masyarakat, apalagi yang makin majemuk, selalu terbentuk kelompok-kelompok. Kelompok itu terbentuk karena


(52)

43

para anggotanya mempunyai cita-cita yang didasarkan pada nilai atau norma yang sama-sama mereka terima dan patuhi.

Akan halnya agama pun demikian. Manusia yang berkelompok berdasarkan keyakinan, kepercayaan, iman terhadap sesuatu yang bersifat sacral disebut kelompok agama. Karena itu, agama dapat dipandang sebagai suatu kelompok etnik.

Keberadaan kelompok agama dapat dilihat berupa simbol dan tanda, materi, pesan-pesan verbal dan nonverbal, petunjuk berupa materi dan immaterial, bahkan sikap dan cara berpikir yang sifatnya abstrak. Para pengikut suatu agama kerapkali (bahkan dalam seluruh kehidupannya) menjadikan petunjuk-petunjuk tersebut sebagai wahana, pesan serta pola yang mengatur interaksi, relasi dan komunikasi, baik dalam ritual keagamaan hingga ke komunikasi intrakelompok maupun antarkelompok agama dan keagamaan.27

i) Hakikat Agama

Pengertian agama menurut Liliweri adalah sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau mesyarakat yang menginterpretasi dan memberi respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai gaib dan suci.

27


(53)

44

Berdasarkan pengertian itu, agama sebagai suatu keyakinan yang dianut oleh suatu kelompok atau masyarakat menjadi norma dan nilai yang diyakini, dipercayai, diimani sebagai suatu referensi, karena norma dan nilai itu mempunyai fungsi-fungsi tertentu. Fungsi-fungsi tersebut yang dirumuskan dalam tugas dan fungsi agama. Berhubung para penganut agama itu berada dalam suatu masyarakat maka para sosiolog memandang semua agama dan lembaga keagamaan sebagai kelompok sosial.

Sebagai kelompok, agama dan lembaga keagamaan berfungsi sebagai lembaga pendidikan, pengawasan, pemupukan persaudaraan, profetis atau kenabian, dan lain-lain. Namun, pada umumnya dapat dirumuskan dua fungsi utama agama, yakni fungsi yang manifest dan latent.

Fungsi manifest agama mencakup tiga aspek, yaitu: (1) menanamkan pola keyakinan yang disebut doktrin, yang menentukan sifat hubungan antarmanusia, dan manusia dengan Tuhan; (2) ritual yang melambangkan doktrin dan mengingatkan manusia pada doktrin tersebut, dan (3) seperangkat norma perilaku yang konsisten dengan doktrin tersebut.

Sedangkan fungsi latent adalah fungsi-fungsi yang tersembunyi dan bersifat tertutup. Fungsi ini dapat menciptakan konflik hubungan antarpribadi, baik dengan sesama anggota kelompok agama maupun dengan kelompok lain. Fungsi latent


(54)

45

dan superioritas yang pada gilirannya melahirkan fanatisme. Fungsi ini pun tetap diajarkan kepada anggota agama dan kelompok keagamaan untuk membantu mereka mempertahankan dan menunjukkan cirri agama, bahkan menetapkan status sosial.28

j) Sejarah Kemajemukan Agama

Sesuai dengan nash Al Qur’an dalam surat Al-Hujurat: 13

Allah menegaskan.

Artinya: “ Wahai manusia, kami menciptakan kamu dari seorang

lelaki dan seorang perempuan, serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”29

Sesungguhnya Islam sangat menghormati keberagaman umat manusia dan tidak pernah memaksa siapa pun serta etnis mana pun untuk beragama sama. Keberagaman umat manusia merupakan hukum Allah (sunatullah) dan tidak seorang pun bisa mengingkari dan menolaknya. Justru Nabi Muhammad bukan saja mengajarkan umatnya untuk mengakui dan menghormati keberagaman umat manusia itu, tetapi sekaligus memberi contoh nyata dalam mempersatukan mereka.

28“Ibid”, hlm. 254 -255.


(55)

46

Nabi menjodohkan (menikahkan) seorang pembantu dekatnya yang berstatus budak dengan gadis Bani Bayadah yang telah merdeka. Nabi juga mengangkat Bilal (semula juga berstatus budak sebelum dimerdekakan oleh Abu Bakar) yang berkulit hitam untuk menjadi muazin (penyeru umat Islam untuk menjalankan salat). Nabi pun sering bekerja sama dan bergaul dengan orang-orang yang berlainan etnis, kelas sosial, bahkan juga berlainan agama.

Dalam suatu kesempatan berbincang-bincang dengan para sahabat, Nabi pernah tiba-tiba berdiri menghormati rombongan pembawa jenazah yang tengah lewat. Melihat hal itu, sebagian sahabat yang telah mengetahui jenazah siapa yang tengah lewat itu

bertanya kepada Nabi, “Bukankah jenazah yang lewat itu seorang Yahudi, ya Rasul?”

Apa jawab Nabi Muhammad? “Bukankah dia juga jiwa

(manusia).” Islam memang tidak membedakan umat manusia

dengan dasar perbedaan etnis, kebangsaan, warna kulit, bahasa, adat istiadat, ataupun agama. Semua umat manusia dipandangnya memiliki hak yang sama. Semua diciptakan oleh Allah dalam status yang sama pula, yakni sebaik-baik penciptaan (ahsanu taqwim) dan sebagai wakil Tuhan di bumi (khalifatul ardl). Selain itu, sebagaimana diungkapkan dalam Surah Al Hujurat ayat 13, semua berasal dari seorang lelaki dan seorang perempuan, yakni


(56)

47

Adam dan Hawa. Semua umat manusia berasal dari ayah dan ibu yang sama.30

B. Kajian Teori

Penggunaa teori merupakan hal terpenting dalam sebuah penelitian. Menurut bentuknya, langkah awal sebuah penelitian dapat berasal dari teori yang bertujuan untuk mengujinya dan juga berawal dari lapangan dengan menggunakan teori sebagai dasar pijakan atau kerangka dalam mengkaji permasalahan dalam penelitian.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif yang artinya penggunaan teori disini tidak dimaksudkan untuk menguji, melainkan sebagai dasar pijakan atau kerangka dalam mengkaji permasalahan yang ada dalam penelitian ini.

Teori Interaksi Simbolik George Herbert Mead

Konsep teori simbolik ini diperkenalkan oleh Herbert Blumer sekitar tahun 1939. Dalam lingkup sosiologi, ide ini sebenarnya sudah lebih dahulu dikemukakan George Herbert Mead, tetapi kemudian dimodifikasi oleh Blumer guna mencapai tujuan tertentu. Teori ini memiliki ide yang baik, tetapi tidak terlalu dalam dan spesifik sebagaimana diajukan George Herbert Mead.

Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran

30


(57)

48

simbol yang diberi makna. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, obyek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial.31

Menurut teori interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia yang menggunakan simbol-simbol, mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang mepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Pengaruh yang juga ditimbulkan dari penafsiran simbol-simbol tersebut terhadap perilaku pihak-pihak yang terlihat dalam interaksi sosial.32

Secara ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut:33

1. Individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk obyek fisik (benda) dan obyek sosial (perilaku

31

Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosdakarya, 2002), hlm. 68-70. 32

Artur Asa Berger, Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, trans. M. Dwi Mariyanto and Sunarto (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm. 14.


(58)

49

manusia) berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka.

2. Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melihat pada obyek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu mewarnai segala sesuatu bukan hanya obyek fisik, tindakan atau peristiwa (bahkan tanpa kehadiran obyek fisik, tindakan atau peristiwa itu) namun juga gagasan yang abstrak.

3. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri.

Teori ini berpandangan bahwa kenyataan sosial didasarkan kepada definisi dan penilaian subyektif individu. Struktur sosial merupakan definisi bersama yang dimiliki individu yang berhubungan dengan bentuk-bentuk yang cocok, yang menghubungkannya satu sama lain. Tindakan-tindakan individu dan juga pola interaksinya dibimbing oleh definisi bersama yang sedemikian itu dan dikonstruksikan melalui proses interaksi. Dalam terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat non verbal dan pesan verbal yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti yang sangat penting.


(59)

50

Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang diberikan oleh orang lain, demikian pula perilaku orang tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, maka dengan mudah dapat mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan oleh orang lain.

Karya tunggal Mead yang amat penting dalam hal ini terdapat dalambukunya yang berjudul Mind, Self dan Society. Mead megambil tiga konsep kritis yang diperlukan dan saling mempengaruhi satu sama lain untuk menyusun sebuah teori interaksionisme simbolik. Dengan demikian, pikiran manusia (mind), dan interaksi sosial (self) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society).

1. Pikiran (Mind)

Pikiran, yang didefinisikan Mead sebagai proses percakapan seseorang

dengan dirinya sendiri, tidak ditemukan di dalam diri individu, pikiran adalahfenomena sosial. Pikiran muncul dan berkembang dalam proses sosial danmerupakan bagian integral dari proses sosial. Proses sosial mendahului pikiran, proses sosial bukanlah produk dari pikiran. Jadi pikiran juga didefinisikan secara fungsional ketimbang secara substantif. Karakteristik istimewa dari pikiran adalah kemampuan individu untuk memunculkan dalam dirinya sendiri tidak hanya satu respon saja, tetapi juga respon komunitas secara keseluruhan. Itulah yang dinamakan pikiran.


(60)

51

Melakukan sesuatu berarti memberi respon terorganisir tertentu, dan bila seseorang mempunyai respon itu dalam dirinya, ia mempunyai apa yang disebut dengan pikiran. Dengan demikian pikiran dapat dibedakan dari konsep logis lain seperti konsep ingatan dalam karya Mead melalui kemampuannya menanggapi komunitas secara menyeluruh dan mengembangkan tanggapan terorganisir. Mead juga melihat pikiran secara pragmatis. Yakni, pikiran melibatkan proses berpikir yang mengarah pada penyelesaian masalah.

2. Diri (Self)

Banyak pemikiran Mead pada umumnya, dan khususnya tentang pikiran,melibatkan gagasannya mengenai konsep diri. Pada dasarnya diri adalah kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai sebuah obyek. Diri adalah kemampuan khusus untuk menjadi subjek maupun obyek. Diri mensyaratkan proses sosial yakni komunikasi antar manusia. Diri muncul dan berkembang melalui aktivitas dan antara hubungan sosial. Menurut Mead adalah mustahil membayangkan diri yang muncul dalam ketiadaan pengalaman sosial. Tetapi, segera setelah diri berkembang, ada kemungkinan baginya untuk terus ada tanpa kontak sosial.

Diri berhubungan secara dialektis dengan pikiran. Artinya, di satu pihak Mead menyatakan bahwa tubuh bukanlah diri dan baru akan menjadi diri bila pikiran telah berkembang. Di lain pihak, diri dan refleksitas adalah penting bagi perkembangan pikiran. Memang mustahil untuk memisahkan pikiran dan diri karena diri adalah proses


(61)

52

mental. Tetapi, meskipun membayangkannya sebagai proses mental, diri adalah sebuah proses sosial. Dalam pembahasan mengenai diri, Mead menolak gagasan yang meletakkannya dalam kesadaran dan sebaliknya meletakkannya dalam pengalaman sosial dan proses sosial.

Dengan cara ini Mead mencoba memberikan arti behavioristis tentang diri. Diri adalah dimana orang memberikan tanggapan terhadap apa yang ia tujukan kepada orang lain dan dimana tanggapannya sendiri menjadi bagian dari tindakannya, di mana ia tidak hanya mendengarkan dirinya sendiri, tetapi juga merespon dirinya sendiri, berbicara dan menjawab dirinya sendiri sebagaimana orang lain menjawab kepada dirinya, sehingga mempunyai perilaku dimana individu menjadi obyek untuk dirinya sendiri. Karena itu diri adalah aspek lain dari proses sosial menyeluruh dimana individu adalah bagiannya.

Mekanisme umum untuk mengembangkan diri adalah refleksivitas ataukemampuan menempatkan diri secara tak sadar ke dalam tempat orang lain dan bertindak seperti mereka bertindak. Akibatnya, orang mampu memeriksa diri sendiri sebagaimana orang lain memeriksa diri mereka sendiri. Seperti dikatakan Mead :

Dengan cara merefleksikan, dengan mengembalikan pengalaman individu pada dirinya sendiri keseluruhan proses sosial menghasilkan pengalaman individu yang terlibat di dalamnya; dengan cara demikian, individu bisa menerima sikap orang lain terhadap dirinya, individu secara sadar mampu menyesuaikan dirinya sendiri terhadap proses sosial dan mampu mengubah proses yang dihasilkan dalam tindakan


(62)

53

sosial tertentu dilihat dari sudut penyesuaian dirinya terhadap tindakan sosial itu.34

Diri juga memungkinkan orang berperan dalam percakapan dengan oranglain. Artinya, seseorang menyadari apa yang dikatakannya dan akibatnya mampu menyimak apa yang sedang dikatakan dan menentukan apa yang akan dikatakan selanjutnya.

Untuk mempunyai diri, individu harus mampu mencapai keadaan

“di luar dirinya sendiri” sehingga mampu mengevaluasi diri sendiri,

mampu menjadi obyek bagi dirinya sendiri. Untuk berbuat demikian, individu pada dasarnya harus menempatkan dirinya sendiri dalam bidang pengalaman yang sama dengan orang lain. Tiap orang adalah bagian penting dari situasi yang dialami bersama dan tiap orang harus memperhatikan diri sendiri agar mampu bertindak rasional dalam situasi tertentu. Dalam bertindak rasional ini mereka mencoba memeriksa diri sendiri secara impersonal, obyektif, dan tanpa emosi.

Tetapi, manusia tidak dapat mengalami diri sendiri secara langsung. Mereka hanya dapat melakukannya secara tak langsung melalui penempatan diri mereka sendiri dari sudut pandang orang lain itu. Dari sudut pandang demikian orang memandang dirinya sendiri dapat menjadi individu khusus atau menjadi kelompok sosial sebagai satu kesatuan.


(63)

54

3. Masyarakat (Society)

Pada tingkat paling umum, Mead menggunakan istilah masyarakat

(society) yang berarti proses sosial tanpa henti yang mendahului pikiran dan diri.Masyarakat penting perannya dalam membentuk pikiran dan diri. Di tingkat lain, menurut Mead, masyarakat mencerminkan sekumpulan tanggapan terorganisir yang diambil alih

oleh individu dalam bentuk “aku” (me). Menurut pengertian individual

ini masyarakat mempengaruhi mereka, memberi mereka kemampuan melalui kritik diri, untuk mengendalikan diri mereka sendiri. Sumbangan terpenting Mead tentang masyarakat, terletak dalam pemikirannya mengenai pikiran dan diri.

Pada tingkat kemasyarakatan yang lebih khusus, Mead mempunyaisejumlah pemikiran tentang pranata sosial (social institutions). Secara luas, Mead mendefinisikan pranata sebagai

“tanggapan bersama dalam komunitas” atau “kebiasaan hidup komunitas”. Secara lebih khusus, ia mengatakan bahwa, keseluruhan

tindakan komunitas tertuju pada individu berdasarkan keadaan tertentu menurut cara yang sama, berdasarkan keadaan itu pula, terdapat respon

yang sama dipihak komunitas. Proses ini disebut “pembentukan pranata”.

Pendidikan adalah proses internalisasi kebiasaan bersama komunitas kedalam diri aktor. Pendidikan adalah proses yang esensial karena menurut pandangan Mead, aktor tidak mempunyai diri dan belum menjadi anggota komunitas sesungguhnya sehingga mereka


(64)

55

tidak mampu menanggapi diri mereka sendiri seperti yang dilakukan komunitas yang lebih luas. Untuk berbuat demikian, aktor harus menginternalisasikan sikap bersama komunitas.

Namun, Mead dengan hati-hati mengemukakan bahwa pranata tak selalumenghancurkan individualitas atau melumpuhkan kreativitas.

Mead mengakui adanya pranata sosial yang “menindas, stereotip,

ultrakonservatif” yakni, yang dengan kekakuan, ketidaklenturan, dan

ketidakprogesifannya menghancurkan atau melenyapkan individualitas. Menurut Mead, pranata sosial seharusnya hanya menetapkan apa yang sebaiknya dilakukan individu dalam pengertian yang sangat luas dan umum saja, dan seharusnya menyediakan ruang yang cukup bagi individualitas dan kreativitas. Di sini Mead menunjukkan konsep pranata sosial yang sangat modern, baik sebagai pemaksa individu maupun sebagai yang memungkinkan mereka untuk menjadi individu yang kreatif.


(65)

BAB III

PENYAJIAN DATA

A. Deskripsi Subyek, Obyek dan Lokasi Penelitian 1. Subyek Penelitian

Informan dalam penelitian kualitatif berkembang secara terus-menerus dan secara bertujuan (purposive) sampai data yang dikumpulkan dianggap memuaskan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.34

Selain itu, subyek penelitian merupakan bagian yang penting dalam sebuah penelitian. Subyek atau informan ialah seorang yang benar-benar mengetahui serta terlibat dalam subyek penelitian, peneliti memastikan dan memutuskan seorang yang memberikan informasi yang berhubungan dengan penelitian ini serta dapat membantu menjawab pertanyaan penelitian ini.

Subyek penelitian ini adalah Kepala Desa Laban, tokoh masyarakat Islam Dusun Laban Kulon, tokoh masyarakat Hindu Dusun Laban Kulon, warga muslim Dusun Laban Kulon, warga Hindu Dusun Laban Kulon. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

34


(1)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan data yang telah tersaji di bab-bab sebelumnya, khususnya menyangkut kehidupan masyarakat yang majemuk, baik kemajemukan di budaya dan agama masyarakat Islam dan Hindu di Dusun Laban Kulon, Desa Laban, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik maka dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Bentuk komunikasi antarbudaya yang berlangsung antar umat Islam dan Hindu di Dusun Laban Kulon, Desa Laban, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik tidak mengalami banyak hambatan. Proses pengiriman dan penerimaan pesan oleh komunikan suatu agama dan komunikator agama yang lain berjalan lancar. Hal itu disebabkan karena persamaan bahasa yang mempermudah penyampaian pesan dalam berlangsungnya proses komunikasi. Masyarakat Islam di Dusun Laban Kulon, Desa Laban, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik merupakan komunitas Islam yang cukup kental dengan unsur agamanya, akan tetapi ketika di dunia sosial bertemu dengan pemeluk agama lain khususnya Hindu, rasa kerukunan tetap berjalan sebagaimana mestinya.

2. Kelancaran proses komunikasi antarbudaya masyarakat Islam dan Hindu di Dusun Laban Kulon, Desa Laban, Kecamatan Menganti,


(2)

92

Kabupaten Gresik disebabkan oleh kelancaran komunikasi antar pribadi yang terjadi sehingga mereka merasa satu ikatan kekeluargaan dan hidup berdampingan satu sama lain.

3. Meskipun demikian, juga terdapat hambatan yang mewarnai jalinan komunikasi antarbudaya yang berlangsung antar umat Islam dan Hindu di Dusun Laban Kulon, Desa Laban, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik, yaitu adanya fenomena bahwa para tokoh agama Islam di Dusun Laban Kulon yang membatasi komunikasi mereka jika sudah masuk di dalam konteks kegiatan agama Hindu, dikarenakan sebagian besar warga Islam di Dusun Laban Kulon masih kental dengan agama yang mereka peluk. Hal itu bisa dilihat bila ada kegiatan agama Hindu, mereka tidak mau terlibat di dalam kegiatan tersebut.

B. Saran

Setelah menyelesaikan proses penelitian ini, terdapat beberapa saran dan rekomendasi dari peneliti sebagai masukan bagi kehidupan sosial, antar budaya dan agama antar masyarakat Islam dan Hindu, umumnya di kalangan beda agama yang akan datang, diantaranya:

1. Dalam kehidupan masyarakat antarbudaya, hendaknya menghindari segala sesuatu yang berpotensi menghasilkan konflik seperti prasangka, stereotip, jarak sosial dan diskriminasi. Dengan tidak meremehkan budaya lain, menerima orang dari agama lain sebagai keluarga, tetangga dan masyarakat serta saling menghormati dan


(3)

93

2. Sangat diharapkan kepada para pemimpin agama dalam masyarakat untuk berhadapan langsung dengan umatnya untuk berperan banyak demi menuntaskan permasalahan dan konflik yang timbul di wilayahnya sendiri. Bahkan, mereka diharapkan bisa bersikap proaktif mensosialisasikan dan mengkomunikasikan doktrin-doktrin agama yang mampu mendorong timbulnya sikap saling menghormati dan saling menghargai kepada sesama makhluk hidup untuk saling menjaga dan tidak menyinggung perasaan orang dari agama lain dan lebih memahami agama masing-masing terutama yang berhubungan dengan perbedaan.

3. Dalam masyarakat antar agama, upaya menciptakan kerukunan dan kedamaian yang langgeng di antara umat beragama, ada hal-hal yang perlu diperhatikan agar upaya tersebut tidak jatuh pada jalan sesat dan tidak di benarkan oleh agama. Yaitu relativisme dan sinkritivisme yang

menganggap semua agama sama benarnya sehingga

mencampurbaurkan berbagai aliran dan gejala berbagai agama menjadi satu.

4. Pemerintah perlu mendorong, mendukung dan turut menjalin rasa kerukunan yang telah ada dengan mengambil keputusan dan kebijakan-kebijakan yang akan menguntungkan semua agama sehingga tidak timbul rasa saling curiga dan iri yang akhirnya dapat menyulut terjadinya konflik.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Aw, Suranto, 2010, Komunikasi Sosial Budaya, Yogyakarta: Graha Ilmu

Berger, Artur Asa, 2004, Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, trans. M. Dwi Mariyanto and Sunarto, Yogyakarta: Tiara Wacana

Budyatna, Muhammad dan Leila Mona Ganiem, 2011, Teori Komunikasi

AntarPribadi , Jakarta: Kharisma Putra Utama

Devito, Joseph A, 1997, Komunikasi Antarmanusia, Jakarta: Professional books Effendy, Onong Uchjana, 1997, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung:

Remaja Rosdakarya

Effendy, Onong Uchjana, 2008, Dinamika Komunikasi, Bandung: Remaja

Rosdakarya

Fuad, Anis dan Kandung Sapto Nugraha, 2014, Panduan Praktis Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Graha ilmu

Ismail, A. Ilyas, MA, 2013, True Islam moral, intelek, spiritual, Jakarta: Mitra Wacana Media

Jalaluddin, 2001, Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Liliwer, Alo, 2001, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Liliweri, Alo, 2003, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta: Pustaka Belajar


(5)

Meleong, Lexy J, 2009, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya

Moefad, A. M, 2007, Perilaku Individu Dalam Masyarakat Jombang: El-DeHa Press

Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat, 1990, Komunikasi Antar Budaya, Bandung: Remaja Rosdakarya

Mulyana, Deddy, 1998, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung: Remaja Rosda Karya

Mulyana, Deddy, 2007, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja RosdaKarya

Santoso, Slamet, 2006, Dinamika Kelompok Jakarta: Bumi Aksara

Sobur, Alex, 2004, Semiotika Komunikasi, Bandung: Rosdakarya

Sudarto, 1999, Konflik Islam-Kristen Menguak Akar Masalah Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia, Semarang: Pustaka Rizki Putra

Susanto, Phil. Astrid S, 1979, Komunikasi Sosial di Indonesia, Jakarta: Binacipta

Tubbs, Stewart L, – Sylvia Moss, 1996, Human Communication, Bandung: Remaja Rosda Karya

Widjaja, AW, 1993, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, Jakarta: Bumi Aksara


(6)

Referensi dari internet:

Ilmuhindu.blogspot.co.id/2011/09/hindu-agama-damai.html?m=1

Mbahkarno.blogspot.co.id/2012/10/pengertiandefinisi-budaya-lokaldan.html?m=0 Blog http: // blog . unilla. ac.id . di tulis oleh abdul syani