Unduh IERO | Macroeconomic Dashboard iero 2015 q3 idn

(1)

INDONESIAN ECONOMIC

REVIEW AND OUTLOOK

Macroeconomic Dashboard

Meningkatnya Risiko


(2)

Kata Pengantar

Selamat membaca Denni P. Purbasari

Head of Researcher

Macroeconomic Dashboard

Selamat datang di IERO edisi ketiga tahun 2015. Pada edisi ini kami mengangkat tema Meningkatnya Risiko sejurus dengan tren melemahnya Rupiah, IHSG, harga obligasi, dan melemahnya kinerja keuangan perusahaan keuangan maupun non-keuangan di tengah-tengah ekonomi global yang tak menentu dan ekonomi domestik yang melambat. Kami memprediksi bahwa ekonomi Indonesia masih akan melambat pada kuartal III-2015. Penyebab dari perlambatan ini adalah melambatnya konsumsi, investasi swasta, dan permintaan global, meskipun belanja pemerintah mulai menggeliat.

Seperti edisi sebelumnya, IERO diawali dengan review terhadap

perekonomian Indonesia selama tiga bulan terakhir. Pada bagian ini, ada penambahan variabel baru, yaitu Exchange Market Pressure Index (EMPI) dan Banking Pressure Index (BPI). Pada bagian selanjutnya, redaksi menyajikan tiga artikel opini yang kali ini mengangkat isu tentang peran pengeluaran pemerintah, globalisasi ekonomi, dan kredit terhadap pertumbuhan ekonomi. Di bagian akhir, redaksi membahas proyeksi dan prospek perekonomian Indonesia ke depan dengan menggunakan GAMA Leading Economic Indicator (GAMA LEI). GAMA LEI merupakan instrumen proyeksi perekonomian satu kuartal ke depan yang dikembangkan secara orisinil oleh tim Macroeconomic Dashboard dan terus mengalami penyempurnaan pada setiap edisinya. Versi digital IERO tersedia di dalam website kami di: www.macroeconomicdashboard.com.

Akhir kata, kami berharap ulasan kami ini senantiasa memberi manfaat dan second opinion untuk para pengambil kebijakan publik, praktisi bisnis, peneliti, akademisi, mahasiswa dan masyarakat secara umum.


(3)

Daftar Isi

RINGKASAN EKSEKUTIF ... 1

A. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI DAN FISKAL 1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Masih Mengalami Perlambatan... 3

2. Anggaran Pemeritah dalam RAPBN 2016 telah disahkan... 5

B. PASAR FINANSIAL DAN SEKTOR MONETER 1. Likuiditas Mengetat Tertekan Depresiasi Rupiah, Suku Bunga Acuan Tetap... 8

2. Pasar Saham Anjlok Terseret Sentimen Negatif Ekonomi Global... 11

3. Indikator Bahaya Utang Meningkat, CDS Melonjak... 12

C. Perbankan Perbankan Indonesia Menunjukan Adaya Perbaikan... 16

D. Inflasi dan Kemiskinan 1. Inflasi Menurun Seiring dengan Penurunan Harga Bahan Makanan... 19

2. Tingkat Kemiskinan Meningkat... 20

E. Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) Neraca Pembayaran Indonesia Defisit... 21

F. Indikator Krisis Tekanan di Pasar Valuta asing dan di Sektor Perbankan Membesar... 24

G. Perkembangan Ekonomi Global dan Pasar Komoditas 1. Ekonomi Global... 26

2. Perkembangan Harga Komoditas... 26

H. ISU TERKINI 1. Memahami Hubungan antara Investasi dan GDP... 30

2. Dampak Globalisasi terhadap Pertumbuhan, Kemiskinan, dan Ketimpangan... 32

3. Pertumbuhan Ekonomi dan Penyaluran Kredit... 34

I. GAMA LEI... 36


(4)

Daftar Istilah

APBN Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara

APBNP Anggaran Penerimaan dan Belanja

Negara Perubahan

ASEAN Association of South East Asian

Nations

BBM Bahan Bakar Minyak BEI Bursa Efek Indonesia

BI Bank Indonesia

BOPO Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional

BPS Badan Pusat Statistik bps basis point

CAR Capital Adequacy Ratio

CDS Credit Default Swap

CPO Crude Palm Oil

DJP Direktorat Jenderal Pajak DPK Dana Pihak Ketiga

DSR Debt Service Ratio

FFR Fed Funds Rate

GAMA LEI Gadjah Mada Leading Economic

Indicator

IBPA Indonesian Bond Pricing Agency

IDMA Inter Dealer Market Association

IDR Indonesian Rupiah

IGB CPI Indonesia Global Bond Clean Price

Index

IHSG Indeks Harga Saham Gabungan IPR Indeks Penjualan Eceran Riil ITB Indeks Tendensi Bisnis

JIBOR Jakarta Interbank Offer Rate

k/l Kementerian/Lembaga LDR loan to deposit ratio

LHS Left Hand Side (sisi vertikal kiri) LPS Lembaga Penjamin Simpanan

Migas Minyak dan Gas Bumi

m-t-m month-to-month

NAB Nilai Aktiva Bersih NDF Non-Deliverable Forward

NIM Net Interest Margin

NPL Non-Performing Loan

OIS Overninght Indexed Swap

OPEC Organization of The Petroleum Exporting Countries

PDB Produk Domestik Bruto

PMTB Pembentukan Modal Tetap Bruto

PPnBM Pajak Pertambahan Nilai Barang

Mewah

PUAB Pasar Uang antar Bank

q-t-q quarter-to-quarter

RAPBN Rencana Anggaran Penerimaan dan

Belanja Negara

REER Real Effective Exchange Rate

RER Real Exchange Rate

RHS Right Hand Side (sisi vertikal kanan) ROA Resturn on Asset

SBI Sertifikat Bank Indonesia SBN Surat Berharga Negara SPV Special Purpose Vehicle SPN Surat Perbendaharaan Negara

The Fed The Federal Reserve (Bank Sentral

Amerika)

TPAK Tingkat Pastisipasi Angkatan Kerja TPT Tingkat Pengangguran Terbuka UMKM Usaha Mikro Kecil dan Menengah

USD Dolar Amerika UU Undang-Undang WTI West Texas Intermediate


(5)

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia melambat pada Kuartal II-2015 menjadi sebesar 4,67 persen y-o-y—lebih rendah dari asumsi pertumbuhan ekonomi pada APBN (5,7 persen). Bila dibandingkan dengan Kuartal I-2015, angka tersebut menunjukkan perlambatan dan merupakan yang terendah semenjak Kuartal I-2013. Perlambatan ini di antaranya disebabkan oleh kecenderungan pelemahan kinerja ekonomi global, terutama negara-negara mitra dagang utama Indonesia seperti Tiongkok dan Amerika Serikat. Secara sektoral, perlambatan serupa terjadi di semua sektor kecuali sektor industri. Apabila dilihat dari sisi pengeluaran, pos pengeluaran konsumsi rumah tangga tumbuh paling tinggi di antara pos pengeluaran lainnya (4,97 persen y-o-y). Sementara itu, ekspor Indonesia mencatatkan kontraksi yang lebih kecil (-0,13 persen) bila dibandingkan dengan kuartal sebelumnya (-0,88 y-o-y). Sektor primer khususnya sektor pertambangan dan penggalian mengalami kontraksi lebih dalam dibandingkan dengan kuartal sebelumnya (-1,23 persen) dengan mencatatkan angka pertumbuhan sebesar -5,87 persen y-o-y pada Kuartal II-2015. Kontraksi lebih dalam pada subsektor tersebut.

Realisasi belanja negara pada APBNP 2015 tercatat lebih rendah dibandingkan dengan APBNP 2014. Pada tahun 2015, realisasi belanja negara turun menjadi 53,1 persen—lebih rendah dari realiasi belanja negara di tahun sebelumnya yang mencapai 55,9 persen. Sementara itu, realisasi penerimaan negara dan hibah pada APBNP 2015 juga mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sbeelumnya. Pada tahun 2015, realisasi penerimaan negara adalah sebesar 49,2 persen, sedangkan tahun sebelumnya mencapai 57,6 persen.

Penerimaan pajak sampai dengan Agustus 2015 mencapai 46,9 persen dari target yang ditetapkan di dalam APBNP.

Tingkat kemiskinan mengalami peningkatan pada Maret 2015. Jumlah penduduk miskin bertambah pada Maret 2015 dibandingkan dengan September 2014 menjadi sebanyak 28,59 juta jiwa atau sebesar 11,2 persen. Salah satu faktor yang mendorong peningkatan jumlah penduduk miskin kali ini adalah kenaikan harga bahan makanan pokok speerti beras (naik sebesar 12,41 persen y-o-y) serta turunnya upah harian riil buruh tani dan buruh bangunan pada Agustus 2015. Seiring dengan itu, garis kemiskinan naik sebesar 6,38 persen dari IDR 374.793 pada September 2014 menjadi

Suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) masih dipertahankan di level 7,5 persen per 17 September 2015 dikarenakan oleh masih diwaspadainya guncangan ekonomi dunia sebagai antisipasi kenaikan Federal Funds Rate (FFR) sebagai tingkat suku bunga acuan Amerika Serikat. Di sisi lain, suku bunga deposito menurun, tetapi masih berada di atas suku bunga penjaminan. Rata-rata tertimbang suku bunga deposito berjangka satu bulan ada di level 7,65 persen pada Agustus 2015—turun 11 bps dibanding Juni 2015 sebagai akibat dari tumbuhnya M2 sebesar 13,3 persen y-o-y. Di samping itu, suku bunga penjaminan masih tetap berada di level 7,75 persen semenjak Mei 2014. Terakhir, suku bunga kredit menurun menjadi lebih rendah 5 bps

dibandingkan Juni 2015 menjadi 12,92 persen, sedangkan kredit investasi tercatat tumbuh 12,91 persen. Di sektor perbankan, likuiditas kembali mengetat, ditunjukkan dengan suku bunga Pasar Uang antar Bank (PUAB) overnight (O/N) tercatat di level 8,12 persen pada September 2015, dengan spread terhadap JIBOR sebesar 236 bps.

Di pasar Rupiah, kurs Rupiah semakin tertekan akibat ketidakpastian global. Pada penutupan 30 September 2015, kurs Rupiah terhadap Dolar AS berada di level IDR 14.657 per USD. Pelemahan nilai tukar Rupiah ini di antaranya disebabkan oleh reshuffle cabinet yang dibarengi oleh devaluasi yuan oleh Bank Sentral Tiongkok, peristiwa “Black Monday” di mana harga saham-saham dan kondisi perekonomian di Tiongkok mengalami


(6)

kemerosotan dan menimbulkan kepanikan di pasar uang Amerika Serikat, dan paket kebijakan I

pemenrintahan Jokowi-JK yang memicu depresiasi Rupiah sebesar 0,55 persen. Nilai Real Effective Exchange Rate (REER) semakin melemah pada Agustus 2015 dan tercatat di level 98,14 poin—jauh lebih rendah dari nilai wajarnya sebesar 105,05 poin.

Tingkat inflasi umum pada September 2015 tercatat sebesar 6,83 persen y-o-y dan -0,05 persen m-t-m—masing-masing lebih rendah 43 pp dan 58 pp dibandingkan Juni yang tercatat 7,26 persen m-t-m. Penurunan inflasi kali ini didorong oleh turunnya harga BBM non-subsidi, penurunan harga minyak dunia, dan tiket moda transportasi udara seiring dengan berakhirnya masa libur lebaran dan libur sekolah pada Agustus 2015.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjerembab ke level 4.223,9 poin—lebih rendah dari penutupan Juni 2015 di level 4.910,6 poin. Bila dibandingkan dengan awal tahun, IHSG sudah merosot 19,18 persen y-t-d. Penurunan IHSG ini sudah terjadi sejak Mei 2015 sebagai dampak dari isu-isu eksternal seperti FFR yang dipertahankan di level yang sama oleh The Fed dan perlambatan ekonomi Tiongkok. Sementara itu, pasar saham berikut obligasi anjlok dan Nilai Aktiva Bersih (NAB) dan harga satuan agregat reksadana menurun. NAB terkontraksi 5,33 persen relatif terhadap Juni 2015 ke angka IDR 237,62 triliun pada September 2015. Utang luar negeri Indonesia naik menjadi USD 304,4 miliar pada akhir kuartal II-2015 (Juni). Jumlaj tersebut menunjukkan adanya kenaikan sebesar 0,73 persen dibandingkan dnegan akhir kuartal I-2015 dan sebesar 6,43 persen dibandingkan dengan akhir kuartal yang sama pada tahun 2014. Sumber utang luar negeri ini disebabkan oleh meningkatnya utang luar negeri pemerintah berikut utang luar negeri swasta. Semdangkan di sisi lain utang luar negeri bank sentral yang mengalami penurunan sebesar 36,4 persen menjadi sejumlah USD 5,2 miliar. Apabila dilihat dari jangka waktunya, utang luar negeri jangka panjang mengalami

peningkatan dan utang luar negeri jangka pendek mengalami penurunan pada akhir kuartal-II 2015. Utang luar negeri jangka panjang meningkat sebesar 2,41 persen q-t-q dan utang luar negeri jangka pendek turun sebesar 0,78 persen.

Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal-II 2015 memburuk. Hal ini ditunjukkan dengan NPI yang defisit untuk pertama kalinya sebesar 2,93 miliar setelah selama enam kuartal berturut-turut tercatat surplus. Defisitnya Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) ini diakibatkan oleh peningkatan defisit Neraca Transaksi Berjalan dan penurunan surplus Neraca Transaksi Modal.

IERO kali ini memprediksikan kecenderungan penurunan siklus perekonomian (PDB) Indonesia yang masih berlanjut. GAMA LEI pada kuartal-II 2015 menunjukkan arah pergerakan yang menurun. Prediksi

perlambatan ekonomi ini di antaranya diakibatkan oleh kinerja konsumsi rumah tangga yang masih lemah dan geliat investasi yang tampak belum mengalami peningkatan. Berdasarkan pendapat para ekonom dan analisis Tim Macroeconomic Dashboard memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal-III 2015 berada di kisaran 4,5-4,6 persen y-o-y.


(7)

A. PERKEMBANGAN Perekonomian DAN FISKAL

1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Masih Mengalami Perlambatan

Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia melambat pada Kuartal II-2015. Di kuartal ini,

PDB Indonesia tumbuh sebesar 4,67 persen y-o-y. Apabila dibandingkan dengan Kuartal I-2015 ketika ekonomi tumbuh sebesar 4,72 persen, angka tersebut menunjukkan terjadinya perlambatan. Turunnya laju pertumbuhan PDB ini melanjutkan tren sebelumnya, mengingat sebelumnya ekonomi Indonesia juga mengalami perlambatan dari semula 5,01 persen (Kuartal IV-2015) menjadi 4,72 persen. Pertumbuhan PDB Indonesia Kuartal II-2015 merupakan yang terendah, setidaknya sejak Kuartal I-2013. Perlambatan laju pertumbuhan ini salah satunya dipicu oleh adanya kecenderungan melemahnya pertumbuhan ekonomi global, utamanya negara-negara mitra dagang Indonesia seperti Tiongkok dan Amerika Serikat.

Ditinjau dari sisi produksi, perlambatan pertumbuhan terjadi di hampir semua sektor,

kecuali sektor industri. Pada Kuartal II-2015,

sektor primer yang terdiri dari lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan, serta

pertambangan dan penggalian tumbuh sebesar 1,63 persen y-o-y. Ini lebih rendah bila dibandingkan dengan Kuartal I-2015 (1,85 persen) maupun dengan kuartal yang sama di tahun sebelumnya (3,42 persen). Pada sektor primer, lapangan usaha pertanian mencatat peningkatan laju pertumbuhan pada Kuartal II-2015 (6,64 persen) dibandingkan dengan kuartal sebelumnya (4 persen). Akan tetapi, peningkatan laju pertumbuhan pada lapangan usaha pertanian tersebut tidak diikuti oleh lapangan usaha pertambangan dan penggalian yang mengalami kontraksi lebih dalam dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Subsektor pertambangan dan

penggalian mencatatkan pertumbuhan sebesar -5,87 persen pada Kuartal II-2015 dari sebelumnya tumbuh sebesar -1,23 persen y-o-y pada Kuartal I-2015. Kontraksi tadi meneruskan tren pada kuartal sebelumnya, yaitu ketika lapangan usaha

pertambangan dan penggalian mencatat pertumbuhan negatif sebesar -1,23 persen dari semula mencatat pertumbuhan positif sebesar 2,23 persen pada Kuartal IV-2014. Hal tersebut tidak mengherankan, mengingat adanya pemberlakuan UU Mineral dan Batu Bara terhitung mulai Januari 2014 yang membatasi ekspor wujud mentah dari komoditas terkait. Sektor jasa juga mengalami kejadian serupa dengan menunjukkan perlambatan pertumbuhan dari semula 5,72 persen pada Kuartal I-2015 menjadi 5,08 persen pada Kuartal II-2015. Di sisi lain, pada kuartal ini sektor industri justru mengalami peningkatan pertumbuhan sebesar 0,45 percentage point (pp) menjadi sebesar 4,42 persen dari sebelumnya 3,97 persen y-o-y pada Kuartal I-2015.

Sementara itu, per Agustus 2015 Indeks Penjualan Eceran Riil (IPR) tercatat mengalami peningkatan dibandingkan dengan Agustus 2014 (167,7 poin ke 185,4 poin), begitu juga dengan Indeks Tendensi

Bisnis (ITB) yang meningkat dibandingkan dengan kuartal I-2015 (96,3 poin ke 105,46 poin). Namun,

bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya, IPR justru mengalami penurunan sebesar 6,9 basis poin (192,3 poin ke 185,4 poin). Peningkatan IPR pada Agustus 2015 mengindikasikan bahwa tekanan harga pada Gambar 1: Pertumbuhan PDB atas Dasar Harga Konstan

2010 menurut Lapangan Usaha, 2012 - 2015 (y-o-y )

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Masih Melambat pada Kuartal II-2015

Catatan:

Sektor Primer: (1) Pertanian Kehutanan dan Perikanan; (2) Pertambangan dan Penggalian

Sektor Industri: Industri Pengolahan

Sektor Jasa: (1) Pengadaan Listrik dan Gas; (2) Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang; (3) Konstruksi; (4) Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor; (5)Transportasi dan Pergudangan; (6) Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum; (7) Informasi dan Komunikasi; (8) Jasa Keuangan dan Asuransi; (9) Real Estat; (10) Jasa Perusahaan; (11) Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib; (12) Jasa Pendidikan; (13) Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial; (14) Jasa Lainnya.


(8)

Agustus 2015 mengalami penurunan. Indeks Tendensi Bisnis (ITB) pada Kuartal II-2015 tercatat meningkat sebesar 9,16 basis poin dibandingkan dengan kuartal sebelumnya (96,3 poin ke 105,46 poin). Hal tersebut mengindikasikan bahwa secara umum, pada kuartal ini optimisme pelaku bisnis membaik.

Pada Kuartal II-2015, konsumsi rumah tangga mengalami pertumbuhan tertinggi di antara komponen

pengeluaran lainnya (4,97 persen y-o-y), akan tetapi melambat bila dibandingkan dengan kuartal

sebelumnya (5,01 persen y-o-y pada Kuartal I-2015). Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal

II-2015 juga melambat dibandingkan dengan Kuartal II-2014 (5,14 persen). Perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga ini terjadi seiring menurunnya indeks keyakinan konsumen yang secara year on year

dibandingkan dengan Kuartal I-2015 (116,9 poin ke 111,3 poin). Meski begitu, tekanan inflasi yang menurun selama periode Juli-Agustus 2015 mendorong naik angka penjualan motor dan semen pada Agustus 2015. Hal tersebut mengindikasikan bahwa daya beli konsumen pada periode Juli-Agustus 2015 mengalami peningkatan. Di sisi lain, pertumbuhan konsumsi pemerintah berikut Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) menurun pada Kuartal II-2015, masing-masing sebesar 2,28 persen dan 3,55 persen y-o-y. Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada kuartal ini lebih rendah dibandingkan dengan kuartal sebelumnya (2,71 persen ke 2,28 persen) pascapengalihan subsidi BBM ke sektor produktif semenjak November 2014, tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan Kuartal II-2014 (-1,50 persen ke 2,28 persen y-o-y).

Ekspor Indonesia mencatatkan kontraksi yang lebih kecil, yaitu sebesar -0,13 persen dibandingkan

kuartal sebelumnya saat ekspor hanya tumbuh sebesar -0,88 persen year on year. Berkurangnya

kontraksi ekspor ini dapat disebabkan antara lain oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat yang mendorong daya saing ekspor Indonesia. Sementara itu, angka pertumbuhan ekspor year on year yang masih negatif ini dipicu di antaranya oleh pemberlakuan UU Mineral dan Batu Bara yang membatasi ekspor produk-produk mineral mentah. Terakhir, perlambatan pertumbuhan ekonomi negara-negara mitra dagang Indonesia seperti Tiongkok, Jepang, dan Amerika Serikat, juga ikut menjadi penyebab masih negatifnya angka pertumbuhan ekspor pada kuartal ini.

Gambar 2: Indeks Penjualan Eceran Riil, Agustus 2011 – Agustus 2015

Indeks Penjualan Eceran Riil meningkat pada Agustus 2015

Gambar 3: Indeks Tendensi Bisnis,

Kuartal I-2012 – Kuartal II-2015 Indeks Tendensi Bisnis meningkat pada Kuartal II-2015

Sumber: BPS, dan CEIC (2015) Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2015)

Gambar 4: Pertumbuhan PDB atas Dasar Harga Konstan 2010 menurut Pengeluaran, 2012 – 2015 (y-o-y) Pada Kuartal II-2015, Perlambatan Ekonomi Indonesia Didorong oleh Konsumsi Rumah Tangga, Konsumsi Pemerintah, dan Investasi


(9)

2. Anggaran Pemeritah dalam RAPBN 2016 telah disahkan

RAPBN 2016 telah disahkan dan asumsi makro disesuaikan. Penyesuaian asumsi makro telah

menyesuaikan seiring dengan perkembangan kondisi ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi di asumsikan tumbuh 5,5 persen lebih tinggi dari target APBNP 2015 sebesar 5,7 persen. Pertumbuhan tahun 2016 diperkirakan relatif baik dilihat dari asumsi makro 2016 dibandingkan asumsi makro tahun 2015. Perbaikan ini ditopang oleh faktor eksternal seperti membaiknya perekonomian global dan oleh faktor internal seperti terjaganya laju inflasi serta kebijakan pemerintah yang dapat mendorong penguatan permintaan domestik. Sedangkan inflasi diperkirakan masih menghadapi beberapa risiko oleh faktor eksternal seperti harga komoditas energi dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar, sehingga ditetapkan asumsi inflasi sebesar 4,7

persen. Suku bunga SPN 3 bulan dan nilai tukar ditetapkan masing-masing 5,5 persen dan IDR 13.400 yang diperkirakan tahun 2016 mendapat tekanan dari kondisi perekonomian global serta kenaikan suku bunga The Fed. Namun, tekanan tersebut diperkirakan lebih moderat dibandingkan tahun 2015. Harga minyak mentah Indonesia

diasumsikan sebesar USD 60/barel

dimana adanya pemulihan ekonomi dunia yang terus berlanjut pada tahun 2016 diperkirakan mendorong permintaan energi khususnya minyak dunia. Asumsi yang terakhir yaitu lifting minyak dan gas ditetapkan masing-masing sebesar 830 ribu/hari dan 1.155 ribu/hari. Lifting minyak dan gas bumi tahun 2016 diperkirakan tidak mengalami perubahan signifikan. Hal tersebut disebabkan oleh adanya penurunan produksi minyak bumi karena besar sumur-sumur yang beroprasi saat ini adalah sumur tua, sementara kegiatan investasi di sektor migas masih rendah akibat tingginya biaya eksplorasi.

Anggaran RAPBN 2016 mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun 2015. Pendapatan negara

direncanakan mencapai 1.848 triliun naik 4,9 persen dari target APBNP 2015. Total pendapatan dalam negeri masih ditopang oleh penerimaan pajak yang mencapai IDR 1.565,1 triliun atau naik 5,1 persen dari target APBNP 2015. Di sisi lain, belanja negara untuk tahun 2016 direncanakan sebesar IDR 2.121,3 triliun atau naik 6,9 persen dari target APBNP 2015. Besaran belanja negara terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar IDR 1.339,1 triliun dan anggaran transfer daerah sebesar 782,2 triliun. Dengan besaran pendapatan dan belanja negara tersebut, RAPBN tahun 2016 mengalami defisit anggaran sebesar IDR 273,2 triliun atau 2,1 persen terhadap PDB, yang artinya naik dari defisit pada APBNP tahun 2015 sebesar 1,9 persen. Defisit RAPBN 2016

Perkembangan Perekonomian dan Fiskal Gambar 5: Indeks Keyakinan Konsumen, 2010 – 2015

Indeks Keyakinan Konsumen Menurun pada Kuartal-II 2015

Gambar 6: Pejualan Mobil, Motor, dan Semen, 2010 – 2014 Penjualan Mobil dan Semen Meningkat pada Kuartal II-2015

Sumber: BI, BPS, dan CEIC (2015) Sumber: ASTRA International, GAIKINDO, Asosiasi Semen Indonesia, dan CEIC (2015)

Tabel 1: Perbandingan Asumsi Makro dalam Realisasi 2014, APBN 2015 dan APBNP 2015

Penyesuaian asumsi makro setelah disahkannya APBNP 2015


(10)

di rencanakan akan dibiayai oleh pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri sebesar IDR 272 triliun dan pembiayaan dari luar negeri sebesar IDR 1 triliun.

Proporsi realisasi belanja dan penerimaan APBNP 2015 tercatat lebih rendah dibandingkan dengan

APBNP 2014. Pada tahun 2015, belanja negara turun menjadi 53,1 persen bila dibandingkan dengan tahun

sebelumnya sebesar 55,9 persen. Selain itu, persentase pencapaian realisasi penerimaan APBNP 2015 mencapai 49,2 persen dari total target penerimaan negara dalam APBNP 2015, lebih rendah dari APBNP 2014 sebesar 57,6 persen.

Penerimaan pajak hingga agustus 2015 hanya mencapai 46,9 persen. Realisasi penerimaan pajak hanya

mencapai IDR 699 triliun atau 46,9 persen dari target APBNP yang ditetapkan sebesar IDR 1.489,3 triliun. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya persentase penerimaan pajak lebih tinggi dari APBNP 2014 sebesar 40,1 persen. Penerimaan perpajakan paling besar masih didominasi oleh PPH Migas sebesar IDR 957,2 triliun atau 73,3 persen terhadap APBNP 2015, lebih tinggi sebesar IDR 51,8 triliun atau 61,7 persen terhadap APBNP 2014. Dari sisi penerimaan pajak non-migas mencapai IDR 394,6 triliun atau 31,7 persen terhadap APBNP 2015. Bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya persentase penerimaan pajak non-migas lebih rendah dari APBNP 2014 IDR 619,1 triliun atau 62,6 persen. Sedangkan, penerimaan pajak dari bea dan cukai sebesar IDR 100,4 triliun atau 51,5 persen terhadap APBNP 2015, dibandingkan dengan bulan

sebelumnya lebih rendah sebesar IDR 106,6 triliun atau 61,4 persen terhadap APBNP 2014. Menurut Direktorat Jendral Pajak (DJP) tahun 2015 ini adalah tahun terakhir bagi masyarakat yang belum memenuhi kewajiban perpajakan untuk meningkatkan kepatuhannya, sebelum pada tahun 2016 dilakukan penegakan hukum besar-besaran.

Pajak barang mewah dihapuskan. Aktivitas ekonomi yang masih lambat yang berakibat pada kegiatan konsumsi menurun membuat pemerintah memutuskan untuk menghapus pajak pertambahan nilai

barang mewah (PPnBM) pada beberapa kelompok barang. Peraturan ini diberlakukan mulai tanggal 9

Juli 2015. Barang-barang tergolong mewah yang dilakukan penghapusan diantaranya peralatan elektronik, alat olahraga, alat musik, branded goods, serta perabot rumah tangga dan kantor. Di sisi lain penghapusan ini dalam jangka pendek mempengaruhi hilangnya penerimaan PPnBM pada tahun lalu sebesar IDR 800 miliar. Namun hal ini menimbulkan efek lain, yaitu terciptanya stimulasi ekonomi, sehingga produk dalam negeri akan lebih berdaya saing/kompetitif dan produsen dalam negeri dapat beroprasi lebih banyak barang. Tabel 2: Defisit Anggaran dalam APBNP 2014, APBN 2015

dan APBNP 2015 (IDR Triliun)

Revisi target defisit anggaran APBNP 2015 turun 1,90%

Sumber: Kementerian Keuangan (2015)

Tabel 3: Realisasi Belanja Dan Penerimaan APBNP 2013–2014

Proporsi realisasi belanja dan pencapaian penerimaan APBN 2014 meningkat


(11)

Tabel 4: Realisasi Penerimaan Pajak APBNP 2014 – 2015 (triliun IDR) Penerimaan perpajakan APBNP 2015 baru mencapai 46,9 persen

Sumber: Direktorat Jendral Pajak, Kementerian keuangan (2015)


(12)

1. Likuiditas Mengetat Tertekan Depresiasi Rupiah, Suku Bunga Acuan Tetap

Suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) kembali dipertahankan pada level 7,5 persen pada 17

September 2015. Tidak berubahnya BI Rate dikarenakan Bank Indonesia masih mewaspadai guncangan

ekonomi dunia sebagai antisipasi kenaikan Fed Funds Rate (FFR)—suku bunga acuan AS. The Fed—bank sentral AS—kembali menunda kenaikan FFR pada 17 September 2015 dan mungkin baru akan dinaikan pada rapat Dewan Gubernur The Fed Selanjutnya, Oktober 2015. Penundaan tersebut disebabkan oleh tingkat inflasi AS yang masih dibawah ekspektasi serta pelambatan ekonomi Tiongkok sebagai partner dagang utama AS. Namun pada 25 September 2015, Ketua Dewan Gubernur The Fed Janet Yellen mengungkapkan adanya kemungkinan kenaikan FFR pada akhir tahun 2015 ini. Pernyataan tersebut menambah ketidakpastian perekonomian global. Kemudian, risiko eksternal bertambah menyusul Bank Sentral Tiongkok

mengumumkan devaluasi yuan pada Agustus 2015 lalu. Di sisi lain, risiko ekonomi domestik masih cukup terkendali meski ada risiko inflasi yang tinggi terkait dengan cuaca ekstrem El Nino hingga akhir tahun 2015.

Suku bunga deposito menurun namun masih

di atas suku bunga penjaminan. Data terakhir

memperlihatkan rata-rata tertimbang suku bunga deposito berjangka satu bulan di level 7,65 persen pada Agustus 2015, turun 11 bps

dibanding Juni 2015. Hal tersebut didukung oleh membaiknya pertumbuhan M2 yang tercatat 13,3 persen y-o-y, lebih tinggi dari Juni 2015 dengan catatan sebesar 13 persen. Pertumbuhan M2 didukung oleh peningkatan simpanan berjangka valas dan juga tabungan. Meningkatnya

pertumbuhan M2 tersebut dapat sedikit melonggarkan likuiditas perbankan. Sementara itu, LPS memutuskan suku bunga penjaminan tetap di level 7,75 persen, tidak berubah sejak Mei 2014. Keputusan tersebut diberlakukan hingga Januari 2016.

Di sisi lain, suku bunga kredit tercatat menurun. Pada Agustus 2015, rata-rata tertimbang suku bunga

kredit tercatat sebesar 12,92 persen, sama dengan bulan sebelumnya, namun lebih rendah 5 bps

dibandingkan Juni 2015. Meski suku bunga menurun karena belum adanya sentimen perbaikan ekonomi, pertumbuhan kredit justru tercatat meningkat. Penyaluran kredit total pada Agustus 2015 sebesar IDR 3.914,3 triliun, tumbuh 10,8 persen y-o-y, lebih baik 30 pp dari catatan pada Juni 2015. Kemudian, kredit investasi tercatat tumbuh 12,91 persen (lebih tinggi 163 pp dari Juni 2015), kredit modal kerja tumbuh 10,22 persen (lebih rendah 19 pp dari Juni 2015), sedangkan kredit konsumsi tumbuh 10,07 persen (lebih rendah 6 pp dari Juni 2015). Kredit khusus untuk UMKM juga tercatat meningkat dari 9,2 persen y-o-y pada Juni 2015 menjadi 9,5 persen pada Agustus 2015. Meski begitu, pertumbuhan kredit yang tercatat meningkat tidak serta-merta dapat menaikkan tingkat suku bunga kredit kedepannya. Peningkatan risiko gagal bayar di tengah melambatnya ekonomi domestik dan global dapat memperlambat laju penurunan suku bunga kredit tersebut.

Likuiditas perbankan kembali mengetat. Suku bunga Pasar Uang antar Bank (PUAB) overnight (O/N)

tercatat di level 8,12 persen pada September 2015, meningkat tajam 245 bps dibandingkan Juni 2015, dengan spread terhadap JIBOR mencapai 236 bps. Sebaliknya, pada Agustus 2015 PUAB O/N masih berada di level 5,74 persen, hanya lebih tinggi 7 bps dibanding Juni 2015, dengan spread -1 bps dengan Jakarta Interbank

B. Pasar Finansial dan Sektor Moneter

Gambar 7: Suku Bunga BI Rate, Deposito, dan LPS, September 2010 – September 2015 Suku bunga deposito menurun, BI Rate dan suku bungan penjaminan LPS tetap


(13)

Offer Rate (JIBOR). Kenaikan pada suku bunga PUAB didorong oleh kebutuhan likuiditas rupiah untuk keperluan hedging valas di pasar forward. Kondisi kurs rupiah yang semakin melemah terhadap dolar AS kemudian berdampak pada semakin besarnya nilai rupiah yang dibutuhkan untuk hedging dolar AS dan juga mata uang asing lainnya. Sementara itu pada Juli 2015, pertumbuhan M2 melambat, tetapi pertumbuhan kredit yang lebih lambat dibanding pertumbuhan M2 membuat likuiditas melonggar. Suku bunga PUAB O/N menurun ke level 5,62 persen pada Juli 2015 dengan spread -4 bps. Perbankan mengahdapi masa yang sulit.

Likuiditas menurun membuat risiko di pasar keuangan meningkat. Spread antara suku bunga Overnight

Indexed Swap (OIS) dengan suku bunga JIBOR berjangka 1 bulan pada September 2015 sebesar 2,42 poin, meningkat 137 bps dari Juni 2015, sedangkan selama tahun berjalan, spread OIS sudah naik 162 bps. Peningkatan spread yang signifikan tersebut mengikuti pelemahan rupiah yang menekan likuiditas perbankan. Hal tersebut mengindikasikan persepsi risiko likuiditas dan kredit jangka pendek perbankan semakin serius di masa depan. Meski tekanan di pasar uang semakin meningkat, level tekanan masih dalam batas yang aman. Semakin lebar jarak spread-nya, maka semakin besar indikasi permasalahan di pasar uang, yang artinya permasalahan likuiditas perbankan.

Kurs rupiah semakin tertekan oleh

ketidakpastian global. Pada penutupan 30

September 2015, kurs rupiah terhadap dolar ada di level IDR 14.657 per USD. Catatan tersebut lebih lemah 9,93 persen dibandikan penutupan Juni 2015, atau telah terdepresiasi 17,82 persen selama tahun 2015 berjalan. Penurunan kinerja ekonomi Tiongkok semakin nyata setelah keputusan Bank Sentral Tiongkok untuk mendevaluasi yuan pada Agustus 2015. Hal tersebut berdampak pada kembali ditundanya kenaikan suku bunga acuan AS, FFR, selain karena fundamental ekonomi AS yang belum sepenuhnya membaik. Penundaan kenaikan FFR tersebut semakin menambah ketidakpastian ekonomi global. Selama FFR ditahan dan perekonomian Tiongkok belum membaik, kabut

tebal masih menyelimuti perekonomian Indonesia. Sebagai negara small open economy, Indonesia tidak mampu berbuat banyak mengurangi dampak krisis global tersebut, sementara negara-negara emerging

Pasar Finansial dan Sektor Moneter Gambar 8: Suku Bunga PUAB Denominasi Rupiah,

September 2010 – September 2015

Suku bunga PUAB O/N melonjak, likuiditas perbankan mengetat

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2015)

Gambar 9: Suku Bunga OIS*, September 2010 – September 2015

Persepsi risiko perbankan meningkat menyusul kenaikan spread OIS-JIBOR

Catatan: * = mulai 2013, data kurs menggunakan JISDOR Bank Indonesia

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2015)

Catatan: * = mulai Mei 2013, data kurs menggunakan JISDOR Bank Indonesia Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2015, diolah)

Gambar 10: Kurs Rupiah terhadap Dolar AS*, September 2010 – September 2015 Depresiasi rupiah terhadap dolar AS masih berlanjut


(14)

market lainnya juga merasakan pelemahan kurs masing-masing terhadap dolar AS. Investor pemegang dolar tentu memilih untuk menaruh investasinya di tempat yang “paling aman”.

Selama kuartal-III 2015 berlangsung, setidaknya ada beberapa event yang mendorong pelemahan

rupiah yang drastis. Pertama, pada 12 Agustus 2015 pemerintah Jokowi-JK mengumumkan reshuffle kabinet

berbarengan dengan devaluasi yuan oleh Bank Sentral Tiongkok. Saat penutupan hari itu, rupiah

terdepresiasi 1,6 persen. Kedua, pada 24 Agustus 2015, tekanan pada rupiah bertambah ketika terjadi “Black Monday”, merosotnya saham-saham dan kondisi perekonomian di Tiongkok membuat kepanikan di pasar saham AS. Rupiah terdepresiasi 0,74 persen pada penutupan hari itu. Pada hari berikutnya, Bank Sentral Tiongkok kembali membuat kebijakan untuk menstimulus ekonominya dengan memangkas suku bunga acuan, rupiah kembali terdepresiasi 0,46 persen pada penutupan 25 Agustus. Ketiga, pengumuman Paket Kebijakan I pemerintah Jokowi-JK pada 10 September 2015, rupiah terdepresiasi 0,55 persen pada

penutupan pasar. Keempat, satu hari menjelang rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada 17-18 September, rupiah terdepresiasi 0,49 persen pada penutupan. Kelima, pada 23 September 2015, Gubernur Bank Indonesia mengumumkan bahwa cadangan devisa Indonesia kembali tergerus USD 2 miliar menjadi USD 103 miliar per 21 September 2015, rupiah terdepresiasi 0,95 persen di sesi penutupan. Keenam, Janet Yellen menyampaikan bahwa ada kemungkinan FFR akan dinaikkan pada akhir tahun ini pada 25 Agustus 2015, menekan rupiah sebesar 0,46 persen ke level IDR 14.696 per USD di sesi penutupan.

Di pasar Non-Derivable Forward (NDF), kurs rupiah masih menunjukkan penurunan nilai. Pada

penutupan pasar September 2015, NDF rupiah kontrak 1 bulan diperdagangkan di level IDR 14.815 per USD dengan spread 158 poin, melemah 10,28 persen dari Juni 2015. Jika diperbandingkan dengan penutupan tahun 2014, NDF rupiah sudah melemah 18,68 persen y-t-d. Pelaku pasar masih mengindikasikan ketidakpercaaan pada nilai rupiah di masa yang akan datang. Kebijakan pemerintah nampaknya kurang berdampak pada perbaikan nilai rupiah. Menjelang pengumuman pergantian kabinet pada Agustus 2015 lalu, pasar merespon dengan pelemahan sebesar 1,72 persen pada sesi penutupan (11/8) disusul hari berikutnya (12/8) sebesar 1,64 persen. Kemudian pengumuman Paket Kebijakan I 10 September 2015, tidak berdampak signifikan pada NDF rupiah. Namun, pada pengumuman Paket Kebijakan II 29 September 2015, NDF rupiah mengalami penguatan 0,7 persen (29/09) disusul 1,03 persen pada hari berikutnya (30/09).

Real Effective Exchange Rate (REER) rupiah semakin melemah. Pada Agustus 2015, REER rupiah tercatat di level 98,14 poin, jauh lebih rendah dari nilai rata-rata jangka panjangnya (nilai wajar) yang bernilai 105,05 poin. Dengan kata lain, rupiah masih mengalami undervalued sebesar 6,58 persen. Catatan pada September 2015 lebih buruk dibandingkan Juni 2015 yang berada di level 101,89 poin sehingga rupiah mengalami undervalued lebih dalam, sebesar 3,01 persen. Penguatan nilai rupiah di masa depan akan mendapat ruang Gambar 11: Kurs NDF Rupiah terhadap Dolar AS,

September 2010 – September 2015 Nilai rupiah di pasar forward terdepresiasi semakin dalam

Sumber: Bloomberg (2015)

Gambar 12: Real Effective Exchange Rate Indonesia, September 2010 – September 2015 Masih mengalami depresiasi, rupiah mengalami undervalued

Catatan: * = mulai 2013, data kurs menggunakan JISDOR Bank Indonesia


(15)

yang cukup besar, dengan catatan kondisi perekonomian global sudah membaik. Perkembangan terakhir, cadangan devisa

Indonesia kembali berkurang banyak. Pada akhir

September 2015, cadangan devisa berada di level USD 101,72 miliar, menurun 6,31 miliar

dibandingkan Juni 2015 atau USD 10,14 miliar dibandingkan akhir tahun 2014 lalu. Bahkan per 21 September 2015, Gubernur Bank Indonesia (BI) mengatakan—meski belum diumumkan resmi oleh BI—cadangan devisa sudah di level USD 103 miliar, atau lebih rendah USD 2 miliar dari Agustus. Sedangkan pada akhir Agustus 2015, cadangan devisa berada di level USD 105,35 miliar, menurun USD 2,68 miliar dibandingkan Juni 2015 atau USD 6,52 miliar dibandingkan akhir tahun 2014. Cadangan devisa yang merosot tajam pada

September masih dikarenakan tergerus oleh kebutuhan stabilisasi nilai mata uang rupiah di pasar uang serta diperparah dengan terjadinya capital outflow terkait kekhawatiran investor asing terhadap isu kenaikan FFR. Selain menggelontorkan dolar AS di pasar, stabilisasi rupiah membutuhkan dukungan kebijakan lain.

Pembatasan jumlah maksimal transaksi penggunaan dolar AS belum cukup ampuh mengerem laju depresiasi. Jika kebijakan BI selaku otoritas moneter masih tidak efektif, bukan tidak mungkin cadangan devisa akan menyusut lagi dalam waktu yang sangat singkat. Meski begitu, pada level 101,72 masih dapat membiayai 6,8 bulan impor plus utang luar negeri, melebihi standar kecukupan internasional yaitu 3 bulan.

2. Pasar Saham Anjlok Terseret Sentimen Negatif Ekonomi Global

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) semakin terjerembab. Pada penutupan September 2015, IHSG ada

di level 4.223,9 poin, jauh lebih rendah dari penutupan Juni 2015 di level 4.910,6 poin atau menurun 13,98 persen dengan tingkat kapitalisasi sebesar IDR 4,375 triliun. Sedangkan jika dibandinkan awal tahun, IHSG sudah merosot 19,18 persen y-t-d. Tren penurunan IHSG terjadi sejak akhir Mei 2015 hingga kini. Sedangkan pada Agustus, pelemahan IHSG “hanya” 8,16 persen relatif tehadap Juni 2015 ke level 4.509,61 poin. Isu eksternal masih menjadi momok pergerakan IHSG selama kuartal III-2015 ini. Selama FFR masih ditahan oleh

Pasar Finansial dan Sektor Moneter

Gambar 13: Cadangan Devisa Indonesia (USD Miliar) dan Perkembangan Nilai Tukar (IDR/USD), September 2010 – September 2015 Stabilisasi nilai rupiah, cadangan devisa pada September 2015 tercatat USD 101,72 miliar

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2015)

Gambar 14: Pergerakan IHSG, November 2011 – November 2014 (dalam %)

Terseret arus depresiasi, IHSG melorot ke level 4.223,9

Sumber: BEI dan CEIC (2015)

Gambar 15: Nilai Kapitalisasi IHSG,

September 2010 – September 2015

Kapitalisasi menurun, investor asing mencatat jual neto IDR 7,18 triliun


(16)

The Fed dan ekonomi Tiongkok melambat, ketidakpastian di pasar global masih terjadi dan membuat rupiah terdepresiasi. Pelemahan rupiah tentu akan berdampak pada meningkatnya risiko capital loss investor asing sehingga terjadi capital outflow. Jual neto asing di pasar saham tercatat IDR 9,82 triliun pada Agustus 2015, kemudian IDR 7,18 triliun pada September 2015. Sentimen negatif tersebut tentu merembet pada investor domestik pasar saham Indonesia. Kemudian, pelambatan ekonomi domestik juga memengaruhi ekspektasi kinerja emiten menambah sentimen buruk di pasar.

Dana kelolaan investasi reksadana menurun. Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksadana mencapai IDR 237,62 triliun pada September 2015, terkontraksi 5,33 persen relatif terhadap Juni 2015. Harga satuan agregat pada September pun merosot 8,57 persen dari IDR 1.461 pada Juni 2015 menjadi IDR 1.353 pada September 2015. Kontraksi pada NAB tersebut disebabkan oleh penurunan kapitalisasi nilai portofolio yang pada gilirannya menurunkan kinerja pasar saham dan juga pasar obligasi, khususnya obligasi pemerintah. Kemudian, catatan pada September 2015 tersebut melanjutkan tren penurunan sejak Juli 2015 dan memperlihatkan bahwa selama kuartal III-2015, pasar saham dan obligasi sebagai instrumen investasi portofolio mengalami tekanan hebat. Ketidakpastian ekonomi global membuat pasar finansial di negara-negara emerging market semakin volatile. Meski begitu, jumlah unit penyertaan reksadana terus bertambah dengan tingkat pertumbuhan 3,54 persen menjadi 175,58 miliar unit dibandingkan Juni 2015.

3. Indikator Bahaya Utang Meningkat, CDS Melonjak

Utang luar negeri Indonesia naik menjadi USD 304,4 miliar pada akhir kuartal II-2015 (Juni). Jumlah

utang luar negeri tersebut mengalami kenaikan sebesar 0,73 persen dibandingkan dengan akhir kuartal I-2015 (Maret) dan sebesar 6,43 persen dibandingkan dengan akhir kuartal yang sama pada tahun 2014. Kenaikan utang luar negeri Indonesia disebabkan oleh meningkatnya dua komponen utang luar negeri yaitu utang luar negeri pemerintah serta swasta. Utang luar negeri swasta mengalami pertumbuhan tertinggi

secara quarter-to-quarter yang mencapai 2,12 persen menjadi sebesar USD 169,8 miliar. Sementara utang luar negeri pemerintah mengalami peningkatan sebesar 1,27 persen menjadi sebesar USD 129,4 miliar. Hal yang berbeda terjadi pada utang luar negeri bank sentral yang mengalami penurunan sebesar 36,4 persen menjadi sejumlah USD 5,2 miliar.

Di sektor publik, sumber utang luar negeri pemerintah sebagian besar masih bersumber dari penjualan surat berharga negara (SBN)

baik domestik maupun internasional. Pada

akhir kuartal II-2015, utang dari hasil penjualan SBN domestik mencapai USD 40 miliar atau sebesar 31 persen dari total utang pemerintah sedangkan utang dari hasil penjualan SBN internasional mencapai USD 37,4 miliar atau 28,9 Sumber: ARIA Bapepam-OJK (2015)

Gambar 15: Nilai Aktiva Bersih Reksadana, September 2010 – September 2015

Pasar saham dan obligasi anjlok, NAB dan harga satuan agregat reksadana menurun

Gambar 17: Utang Luar Negeri Indonesia, Kuartal II-2010 – Kuartal II-2015 Utang luar negeri Indonesia menurun

Catatan: * = Sementara Sumber: Bank Indonesia (2015)


(17)

persen dari total utang pemerintah. Sebaliknya, sumber utang dari perjanjian utang baik bersifat multilateral maupun bilateral mengalami penurunan pada akhir kuartal tersebut.

Di sektor swasta, berdasarkan kelompok peminjam, swasta nasional baik bank maupun bukan bank mendominasi sekitar 38,67 persen total utang luar negeri sektor swasta pada akhir kuartal II-2015. Sementara BUMN baik bank maupun bukan bank hanya mendominasi sekitar 19,25 persen dari total. Selain itu, instrumen hutang swasta pada kuartal II-2015 sekitar 53,8 persen masih bergantung pada instrumen penjanjian pinjaman non-Special Purpose Vehicle (SPV). Berdasarkan tujuan penggunaanya, sekitar 35,36 persen dari total utang luar negeri swasta digunakan untuk investasi sehingga diharapkan dapat lebih produktif dan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Berdasarkan jangka waktunya, total utang luar negeri jangka pendek Indonesia pada akhir kuartal II-2015 (Juli) mengalami penurunan

sebesar 0,78 persen (q-t-q) atau menjadi USD

56,9 miliar. Penurunan tersebut disebabkan oleh

menurunnya utang luar negeri jangka pendek pemerintah yang mengalami penurunan sebesar 5,36 persen atau menjadi sejumlah USD 9,98 miliar. Sementara utang luar negeri jangka pendek swasta mengalami pertumbuhan sebesar 0,25 persen atau menjadi sejumlah 46,88 persen. Utang luar negeri jangka pendek swasta juga masih mendominasi utang luar negeri jangka pendek secara keseluruhan yang pangsanya mencapai 82,43 persen.

Sementara itu, utang luar negeri jangka panjang Indonesia pada akhir kuartal II-2015 (Juli)

mengalami peningkatan sebesar 2,41 persen (

q-t-q) atau menjadi USD 247,5 miliar. Meningkatnya utang luar negeri jangka panjang Indonesia disebabkan

oleh peningkatan masing-masing komponennya yaitu sektor pemerintah dan bank sentral serta swasta. Khusus untuk utang luar negeri jangka panjang swasta, mengalami peningkatan yang lebih besar

dibandingkan dengan sektor pemerintah dan bank sentral. Tercatat pada akhir kuartal II-2015, utang luar negeri jangka panjang swasta mengalami peningkatan sebesar 2,85 persen menjadi sejumlah USD 122,9 miliar. Sedangkan sektor pemerintah hanya mengalami peningkatan sebesar 1,97 persen menjadi sejumlah USD 124,6 miliar. Meskipun demikian, sektor pemerintah dan bank sentral masih mendominasi utang luar negeri jangka panjang dengan persentase mencapai 50,34 persen.

Secara umum, pada akhir kuartal II-2015 sektor publik dan terutama sektor swasta, mulai

menunjukkan kewaspadaan terhadap nilai tukar rupiah yang semakin terdepresiasi. Hal tersebut

tercermin dari pertumbuhan utang luar negeri jangka pendek sektor publik maupun swasta yang mulai mengalami perlambatan dibandingkan dengan pertumbuhan pada akhir kuartal yang sama tahun 2014. Sektor publik dan swasta lebih memilih untuk memperoleh pembiayaan dari luar negeri dalam jangka panjang.

Indikator sustainabilitas eksternal utang luar negeri Indonesia memburuk. Peningkatan utang luar

negeri ketika perekonomian Indonesia melambat dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang semakin melemah membuat kemampuan untuk membayar utang tersebut melemah. Rasio utang luar negeri terhadap PDB Indonesia pada kuartal II-2015 mengalami peningkatan sebesar 2,55 percentage point (q-t-q) menjadi sebesar 34,43 persen. Sementara itu, meski nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat melemah namun hal tersebut tidak mampu meningkatkan ekspor Indonesia karena permintaan global cenderung menurun akibat melemahnya perekonomian mereka. Imbas dari melemahnya ekspor tersebut dan utang luar negeri yang tetap meningkat adalah meningkatnya rasio utang terhadap ekspor hingga mencapai

Pasar Finansial dan Sektor Moneter

Gambar 18: Utang Luar Negeri Berdasarkan Jangka Waktu (Remaining Maturity),

Kuartal II-2010 – Kuartal IV-2015 Utang luar negeri jangka pendek Indonesia meningkat

Catatan: * = Sementara Sumber: Bank Indonesia (2015)


(18)

153,05 pada kuartal II-2015. Secara umum, indikator kemampuan membayar utang luar negeri Indonesia memburuk, di mana secara tahunan, Debt Service Ratio (DSR) Tier 2 mengalami peningkatan sebesar 1,47 percentage point menjadi sebesar 52,09 persen meski untuk DSR Tier 1 mengalami

penurunan tipis menjadi sebesar 23,15 persen. Kemampuan utang luar negeri Indonesia pada kuartal ke depan juga diperkirakan akan semakin memburuk di mana salah satu indikasinya adalah rencana pemerintah untuk mencari tambahan pembiayaan sebesar USD 5 miliar guna menutup budget deficit dan di sisi lain, ekspor masih akan tertekan akibat ekonomi global.

Persepsi risiko terhadap obligasi Indonesia

meningkat tajam. Hal tersebut diindikasikan oleh

meningkatnya rata-rata yield obligasi semua tenor (IGB EYI) dan benchmark bertenor 10 tahun selama kuartal II-2015 (Juli–September). Tingkat IGB EYI pada akhir September 2015 secara month-to-month mengalami peningkatan sebesar 2,81 percentage point atau menjadi sebesar 8,54 persen dan 21,40 percentage point dibandingkan awal tahun 2015 (2 Januari). Sementara untuk yield obligasi 10 tahun, pada akhir September 2015 mengalami peningkatan sebesar 8,92 percentage point dibandingkan Agustus 2105 dan 11,92 percentage point dibandingkan 2 Januari 2015. Volatilitas yield obligasi local currency bertenor 10 tahun Indonesia memiliki rata-rata dari awal tahun hingga akhir September 2015 sebesar 8,8 persen atau tertinggi dibandingkan dengan ASEAN 5 yaitu Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura. Kombinasi tekanan ekonomi dari internal

maupun eksternal telah menghidupkan “

emer-gency lamp” bagi pasar obligasi Indonesia. Dari sisi internal, inflasi masih menjadi faktor utamanya di mana meski melambat pada Agustus 2015 menjadi sebesar 0,39 persen (m-t-m), inflasi pada Juli 2015 sebesar 0,96 persen merupakan inflasi yang tertinggi pada tahun 2015 dan secara year-on-year juga merupakan yang tertinggi di ASEAN. Sementara itu, dari sisi eksternal, masih berlanjutnya ekspektasi kenaikan Fed Fund Rate (FFR) dan devaluasi mata uang Tongkok pada 11 dan 12 Agustus 2015, semakin memberikan tekanan pada pasar obligasi di negara

berkembang termasuk Indonesia. Tekanan pasar obligasi negara berkembang yang tercermin dari penurunan level EMBIG CORE spread pada bulan Akhir September 2015 sebesar 444,74 bps padahal pada 2 Januari 2015 masih berada pada level 449,72 bps. Kewaspadaan investor terhadap risiko obligasi Indonesia yang

meningkat juga tercermin dari meningkatnya tingkat credit default swap (CDS) obligasi Indonesia. Pada akhir September 2015, tingkat CDS sebesar 276,48 bps atau mengalami peningkatan sebesar 41,14 persen

dibandingkan akhir Juli 2015 dan 114,31 bps dibandingkan 2 Januari 2015.

Kepemilikan asing atas SBN tradable mengalami penurunan. Pada akhir Agustus 2015, kepemilikan asing

atas SBN tradable sebesar IDR 526 triliun atau menurun sebesar 1,5 persen dibandingkan Juli 2015, meski Gambar 19: Indikator Utang Luar Negeri Indonesia,

Kuartal II-2013 – Kuartal IV-2015

Secara umum indikator utang luar negeri Indonesia memburuk

Catatan: * Sementara ** Sangat Sementara

Tier 1 = pembayaran pokok dan bunga atas utang jangka panjang dan pembayaran bunga atas utang jangka pendek

Tier 2 = Pembayaran pokok dan bunga atas utang dalam rangka investasi Sumber: Bank Indonesia (2015)

Sumber: Bloomberg (2015)

Gambar 20: IBPA Effective Yield Index (EYI) dan Credit Default Swap (CDS, tenor 5 tahun), September 2013 – September 2015 Rata-rata yield obligasi dan CDS bertenor 5 tahun Indonesia mengalami peningkatan tajam


(19)

dibandingkan dengan awal 2 Januari 2015 terjadi peningkatan sebesar 13,9 persen. Proporsi kepemilikan asing atas SBN tradable juga hanya sebesar 26,03 persen dari total SBN outstanding tradable pada akhir Agustus 2015. Padahal pada akhir Juni 2015 (akhir kuartal II-2015), kepemilikan asing mencapai IDR 537,5 triliun atau 28,12 persen dari total SBN outstanding tradable. Selain itu, proporsi kepemilikan asing juga mengalami penurunan dibandingkan dengan awal tahun 2015 sebesar 38,11 persen dari total outstanding SBN tradable. Penurunan kepemilikan asing atas SBN tersebut salah satunya dipicu oleh aksi jual dari investor asing selama kuartal II-2015 sehingga terjadi jual neto sebesar 3,9 pada Juli 2015 dan sebesar IDR 7,96 triliun pada Agustus 2015. Aksi jual SBN tersebut juga dipengaruhi oleh rekomendasi dari JP Morgan yang menyarankan investor asing untuk menjual surat berharga Indonesianya. Aksi jual SBN yang dilakukan oleh investor asing pada akhirnya berimbas pada turunnya harga SBN.

Meski kepemilikan asing atas SBN tradable mengalami penurunan, total outstanding SBN Indonesia pada Agustus 2015 mengalami kenaikan sebesar 2,85 persen dibandingkan Juli 2015 atau menjadi

sejumlah IDR 2.281 triliun. Sementara outstanding SBN tradable juga mengalami kenaikan sebesar 3,31

persen atau menjadi sebesar IDR 2.019 triliun. Hal yang berbeda terjadi pada outstanding SBN non-tradable di mana terjadi penurunan sebesar 0,59 persen atau menjadi sebesar IDR 261 triliun.

Harga obligasi Indonesia mengalami penurunan seiring meningkatnya persepsi risiko dan aksi

jual SBN oleh investor asing. Persepsi risiko yang

terus meningkat dan aksi jual SBN selama kuartal II-2015 telah menjatuhkan harga obligasi Indonesia pada level terendahnya selama 5 tahun terakhir pada September 2015. Harga obligasi yang tecermin dalam IDMA price index dan IGB CPI tersebut mengalami tren menurun pada kuartal tersebut. Meski sempat mengalami peningkatan hingga mencapai 106,57 bps pada Februari 2015, IDMA price index terus mengalami penurunan hingga menyentuh level 89,88 bps pada September 2015 atau terendah selama 5 tahun terakhir. Level tersebut mengalami penurunan sebesar 4,99 bps dibandingkan dengan Agustus 2015 dan sebesar

10,34 bps dibandingkan dengan awal tahun 2015. Selain itu, rata-rata harga obligasi pemerintah yang ditunjukkan oleh IGB CPI juga mengalami penurunan sebesar 4,97 bps menjadi 103,16 bps dan mengalami penurunan sebesar 11,64 bps dibandingkan dengan 2 Januari 2015.

Pasar Finansial dan Sektor Moneter Gambar 21: Kepemilikan Asing atas SBN dan Jual/Beli Neto SBN, Agustus 2014 – Agustus 2015

Kepemilikan asing atas SBN tradable mengalami penurunan dan jual neto

Sumber: Bank Indonesia, DJPPR, dan CEIC (2015)

Sumber: Bloomberg (2015)

Gambar 22: Inter Dealer Market Agency (IDMA), September 2014 – September 2015 Harga obligasi mengalami penurunan


(20)

Perbankan Indonesia menunjukan adaya perbaikan

Pertumbuhan kredit menunjukan perbaikan hingga Agustus 2015. Pertumbuhan kredit perbankan

Agustus 2015 sebesar 11,20 persen y-o-y lebih tinggi bila dibandingkan dengan Juni 2015 sebesar 10,48 persen. Peningkatan pertumbuhan kredit terjadi pada kredit modal dan kredit investasi yang tumbuh masing-masing sebesar 10,49 persen dan 12,93 persen atau lebih tinggi dari kuartal sebelumnya Juni 2015 sebesar 8,65 persen dan 11,94 persen. Sedangkan dari sisi kredit konsumsi tercatat sedikit lebih tinggi menjadi 9,98 persen dibandingkan dengan kuartal sebelumnya Juni 2015 sebesar 9,52 persen. Pertumbuhan kredit investasi diharapkan memberi sumbangan pada pertumbuhan ekonomi serta memberikan manfaat pada sektor riil. Meskipun perbankan harus mewaspadai risiko kredit investasi yang bersumber dari dana perbankan yang rata-rata berjangka waktu pendek.

Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) meningkat pada Agustus 2015. Pertumbuhan DPK perbankan

mengalami kenaikan sebesar 13,24 y-o-y persen pada Agustus 2015 lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada bulan Juni 2015 sebesar 12,65 persen. Berdasarkan komponen, DPK meningkat terjadi pada giro, sedangkan pada tabungan dan deposito mengalami pelambatan. Pertumbuhan giro mengalami kenaikan sebesar 23,62 persen, lebih tinggi dibandingkan bulan Juni 2015 sebesar 15,87 persen. Sedangkan pada pertumbuhan tabungan tumbuh 4,18 persen, lebih rendah dari Juni 2015 sebelumnya 4,52 persen dan pertumbuhan deposito mengalami sedikit perlambatan sebesar 14,38 persen, lebih rendah dari bulan Juni 2015 sebesar 16,39 persen.

Aset perbankan mengalami peningkatan dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Total aset

perbankan pada Agustus 2015 naik menjadi IDR 6.010.747 miliar dibandingkan dengan bulan sebelumnya Juni 2015 yang berada pada kisaran IDR 5.933.195 miliar. Adapun Bank Persero membukukan total asset sebesar 2.160 IDR triliun, tumbuh 10,92 persen y-o-y. Total aset Bank BUSN Devisa mencapai IDR 2.322 triliun, tumbuh 12,67 persen. Sedangkan, total aset Bank Pembangunan Daerah (BPD) tumbuh 21,62 persen atau mencapai 530 IDR triliun. Bank Asing membukukan total asset sebesar IDR 479 triliun atau tumbuh 17,87 persen. Total aset Bank BUSN Non-Devisa tumbuh 7,65 persen atau mencapai IDR 188 triliun. Total aset Bank Campuran tumbuh 12,67 persen, atau hanya mencapai IDR 298 triliun. Secara total, aset perbankan Indonesia hanya mencapai IDR 12.021 triliun pada Agustus 2015 atau hanya tumbuh 15,17 persen lebih rendah dari kuartal sebelumnya Juni 2015 yang hanya mencapai 14,14 persen.

C. Sektor Perbankan

Gambar 23: Pertumbuhan Kredit Perbankan, Agustus 2014 – September 2015 Pertumbuhan kredit menunjukan peningkatan

Sumber: Bank Indonesia (2015)

Gambar 24: Perkembangan Pertumbuhan Dana Pihak ketiga (DPK), Kuartal III-2013 – Kuartal III-2015 Pertumbuhan DPK pada Agustus 2015 mengalami peningkatan


(21)

Rata-rata rasio kecukupan modal perbankan mengalami kenaikan. Perkembangan rata-rata Capital Adequacy Rate (CAR) bank umum dalam dua tahun terakhir mengalami peningkatan sebesar 20,78 persen hingga bulan Juli 2015. Namun rata-rata CAR sempat mengalami penurunan sebesar 20,28 persen pada bulan Juni 2015. Nilai CAR hingga Juli 2015 mengalami kenaikan menjadi 20,78 persen dibandingkan dengan 20,28 persen pada bulan Juni 2015. Nilai CAR tersebut masih berada pada batas aman karena masih jauh ditas ketentuan minimum sebesar 8 persen. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa daya tahan perbankan masih cukup tinggi ketika dalam gejolak perekonomian yang tak kian menentu.

Profitabilitas dan Efisiensi perbankan dicerminkan dalam perkembangan Return on Asset (ROA)

menunjukan relatif stabil dan Loan to Deposit Ratio (LDR) meningkat. ROA pada Juli 2015 masih relatif

stabil dengan bulan sebelumnya Juni 2015 sebesar 2,2 persen. Sedangkan, perkembangan LDR pada Agustus 2015 mengalami peningkatan menjadi 88,81 persen dibandingkan dengan Juni 2015 sebesar 87,62 persen. Peningkatan terjadi karena Pertumbuhan DPK yang lebih tinggi dari kredit sehingga rasio fungsi intermediasi (loan to deposit ratio/LDR) perbankan naik.

Perkembangan Net Interest Margin (NIM) bank umum relatif stabil. Posisi Juli 2015, NIM bank umum

tercatat 5,315 persen dibandingkan sebelumnya Juni 2015 sebesar 5,323 persen. Penurunan BI Rate direspon bank dalam menurunakan suku bunga deposito perbank. Penurunan suku bunga ini diharapkan akan

memperbaiki likuiditas perbankan.

Perkembangan risiko kredit terlihat dari Rasio

Non-Performing Loan (NPL) mengalami

peningkatan. Pada Agustus 2015, rasio NPL

mencapai 2,76 persen naik dibandingkan dengan akhir Juni 2015 sebesar 2,56 persen. Penyebab kenaikan tersebut karena harga sektor komoditas seperti sawit, batu bara dimana sektor ini

mempunyai andil yang besar dalam pertumbuhan ekonomi. Penurunan harga komoditas membuat perusahaan komoditas berkurang kemampuannya untuk membayar kredit perbankan. Sehingga bank yang memberikan kredit pada sektor ini nilai NPL naik. Selain itu pengaruh melambatnya

pertumbuhan ekonomi serta nilai tukar yang masih melemah.

Catatan: * = Agustus 2015

Sumber: Statistik Perbankan OJK (2015) Catatan: * = Agustus 2015Sumber: OJK dan CEIC (2015)

Gambar 25: Perkembangan Aset Total Perbankan di Indonesia, Kuartal III-2014 – Kuartal III-2015 x

Aset total perbankan pada Agustus 2015 melambat

Gambar 26: Perkembangan Capital Adequacy Ratio (CAR) per Kelompok Bank, Kuartal III-2014 – Kuartal III-2015

Perkembangan CAR meningkat pada Agustus 2015

Catatan: * = Agustus 2015

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2015)

Perbankan

Gambar 27: Kinerja Bank Umum, Kuartal III-2012 – Kuartal III-2015

Rentabilitas perbankan masih relatif baik dan stabil serta Risiko Kredit dan Likuiditas perlu dijaga


(22)

Efisiensi perbankan dicerminkan dalam perkembangan Biaya Operasional terhadap Pendaptan

Operasional (BOPO) mengalami peningkatan. Dalam efisiensi perbankan, rasio BOPO mengalami kenaikan

menjadi 81,46 persen pada Agustus 2015 dibandingkan dengan Juni 2015 sebesar 80,42 persen. Nilai BOPO idealnya 60 persen namun nilai BOPO di Indonesia rata-rata masih dalam 80 persen. Peningkatan BOPO dikarenakan biaya operasional yang terus membesar. Hal ini menunjukan tingkat efisiensi perbankan masih rendah sehingga banyak biaya operasional yang harus ditekan untuk meningkatkan efisiensi kinerja perbankan.


(23)

1. Inflasi Menurun Seiring dengan Penurunan Harga Bahan Makanan

Inflasi September lebih rendah dari inflasi Juni

2015. Pada September 2015, inflasi umum tercatat

sebesar 6,83 persen y-o-y dan -0,05 persen m-t-m, lebih rendah 43 pp dan 58 pp dibandingkan Juni yang tercatat 7,26 persen dan 0,54 persen m-t-m. Penurunan inflasi September 2015 didorong oleh menurunnya tingkat harga komponen harga diatur pemerintah dan harga bergejolak. Komponen harga diatur pemerintah tercatat 11,26 persen y-o-y, lebih rendah 188 pp dibandingkan Juni 2015. Penurunan tersebut disebabkan penurunan harga BBM non-subsidi, terkait adanya penurunan harga minyak dunia, dan tiket transportasi udara, terkait dengan berakhirnya masa libur Lebaran dan libur sekolah pada Agustus 2015. Kemudian, komponen harga bergejolak tercatat 8,52 persen y-o-y, lebih rendah 31 pp dibandingkan Juni 2015. Penurunan tersebut

didorong oleh penurunan harga bahan pokok dan bertambahnya pasokan komoditas pangan.

Di sisi lain, komponen inflasi inti meningkat. Pada September 2015, inflasi inti tercatat sebesar 5,07

persen y-o-y dan 0,44 persen m-t-m, lebih tinggi 3 pp dan 18 pp dibandingkan Juni 2015 yang tercatat sebesar 5,04 persen y-o-y dan 0,26 persen m-t-m. Kenaikan harga biaya pendidikan dan makanan jadi menjadi

pendorong utama kenaikan komponen inflasi inti. Penurunan harga pangan membuat tingkat

harga deflasi pada September 2015. Kelompok

pengeluaran bahan makanan tercatat mengalami deflasi 1,07 persen m-t-m. Deflasi tersebut disebabkan penurunan harga daging ayam seiring dengan membaiknya pasokan daging sapi sebagai barang substitusinya. Selain itu, penurunan harga cabai dan bawang merah juga turut memberi andil pada deflasi September 2015. Sementara itu, kelompok pengeluaran pendidikan, rekreasi, dan olah raga tercatat mengalami inflasi tertinggi sebesar 0,89 persen m-t-m. Inflasi pada kelompok pengeluaran tersebut disebabkan naiknya biaya pendidikan dan kursus/kepelatihan.

Deflasi tidak terjadi di semua wilayah di

Indonesia. Dari 82 kota yang disurvei, hanya 36

kota yang mengalami deflasi sedangkan 46

sisanya mengalami inflasi. Kota yang mengalami deflasi tertinggi adalah Sibolga dengan angka 1,85 persen. Di sisi lain, Merauke menjadi kota dengan tingkat inflasi tertinggi yang tercatat sebesar 1,33 persen. Sebagian besar wilayah Indonesia Timur mengalami inflasi.

D. Inflasi dan Kemiskinan

Gambar 28: Tingkat Inflasi berdasar Komponen, September 2013 – September 2015

Inflasi menurun menjadi 6,83 persen y-o-y pada September 2015

Catatan: 2010 – 2013 tahun dasar 2007; 2014 – 2015 tahun dasar 2012 Sumber: BPS dan CEIC (2015)

Tabel 5: Tingkat Inflasi Berdasarkan Kelompok Pengeluaran, 2011 – 2015 (2012=100, % m-t-m)

Harga bahan pangan menurun, September 2015 tercatat deflasi 0,05 persen m-t-m

Catatan: 2010 – 2013 tahun dasar 2007; 2014 – 2015 tahun dasar 2012

(1) Bahan Makanan; (2) Makanan Olahan, Minuman, Tembakau; (3) Perumahan, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar; (4) Sandang; (5) Kesehatan; (6) Pendidikan, Rekreasi, dan Olah Raga; (7) Transportasi, Komunikasi, dan Jasa Keuangan Sumber: BPS dan CEIC (diolah, 2015)


(24)

2. Tingkat Kemiskinan Meningkat

Sejalan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Kuartal I-2015 (5,01 persen ke 4,71 persen y-o-y), jumlah penduduk miskin pada Maret 2015 meningkat bila dibandingkan dengan Sepetember 2014. Jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat sebanyak 28,59 juta jiwa atau sebesar 11,2% pada Maret 2015. Setelah pada dua periode sebelumnya terjadi tren penurunan jumlah penduduk miskin, (28,28 juta jiwa pada Maret 2014 & 27,73 juta jiwa pada September 2014), pada Maret 2015 ini justru terjadi peningkatan. Salah satu faktor yang menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk miskin pada Maret 2015 adalah kenaikan harga pangan pokok seperti beras (naik sebesar 12,41 persen pada Februari 2015 y-o-y) serta turunnya upah harian riil buruh tani dan buruh bangunan pada Agustus 2015, masing-masing sebesar 0,34 persen dan 0,33 persen. Di sisi lain, garis kemiskinan naik sebesar 6,38 persen dari IDR 374.793 pada September 2014 menjadi IDR 396.931 pada Maret 2015, seiring dengan terjadinya peningkatan laju inflasi umum dari semula 4,53 persen menjadi 6,83 persen y-o-y.

Sumber: BPS, dan CEIC (2015)

Gambar 29: Jumlah Penduduk Miskin, 2012 – 2015 Jumlah Penduduk Miskin Bertambah pada Maret 2015

Sumber: BPS, dan CEIC (2015)

Gambar 30: Garis Kemiskinan, Inflasi Garis Kemiskinan, dan Inflasi Umum

Garis Kemiskinan Meningkat Sejalan dengan Meningkatnya Inflasi Umum


(25)

Neraca Pembayaran Indonesia Defisit

Setelah enam kuartal berturut-turut surplus, di kuartal II-2015 ini Neraca Pembayaran Indonesia

(NPI) defisit sebesar USD 2,93 miliar. Pada kuartal sebelumnya NPI masih surplus USD 1,30 miliar (tumbuh

-324,47 persen q-t-q). Memburuknya kinerja NPI disebabkan merosotnya surplus Neraca Transaksi Modal dan Finansial di saat defisit Neraca Transaksi Berjalan naik. Demikian pula secara tahunan, kondisi NPI pada kuartal II2015 masih jauh lebih baik. Ketika itu NPI tercatat surplus sebesar USD 4,30 miliar (tumbuh -168,08 persen y-o-y).

Defisit Neraca Transaksi Berjalan kuartal II-2015

meningkat. Sebelumnya sejak kuartal III-2014

tingkat defisit selalu mengecil. Di kuartal II-2015, defisit naik 9,26 persen q-t-q dari USD 4,10 miliar (1,92 persen PDB) menjadi USD 4,48 miliar (2,05 persen PDB). Naiknya defisit didorong oleh kenaikan defisit Neraca Jasa-Jasa dan Neraca Pendapatan Primer. Di satu sisi, surplus Neraca Barang memang naik namun sayangnya tidak sebesar gabungan kenaikan defisit pada neraca-neraca lainnya. Sebaliknya bila dilihat secara year on year kinerja Neraca Transaksi Berjalan justru lebih baik (defisit mengecil 53,31 persen). Defisit kuartal II-2014 mencapai 4,26 persen dari PDB atau setara dengan USD 9,59 miliar.

Surplus Neraca Transaksi Modal dan Finansial kembali turun pada kuartal II-2015. Surplus turun

hingga 60,65 persen q-t-q menjadi hanya tersisa USD 2,48 miliar. Penurunan surplus terjadi karena adanya kombinasi kenaikan defisit Neraca Investasi Lainnya serta penurunan surplus Neraca Investasi Portofolio dan Neraca Derivatif Finansial. Nilai surplus kuartal II-2015 merupakan yang terendah sejak kuartal I-2013. Secara year on year nilainya merosot hingga USD 11,44 miliar (turun 82,15 persen) dari sebelumnya surplus USD 13,92 miliar di kuartal II-2014.

Kinerja Neraca Jasa-Jasa di kuartal II-2015 ini

memburuk. Setelah sempat membaik pada kuartal

I-2015, nilai defisit kembali membengkak dari USD 1,86 miliar menjadi USD 2,64 miliar. Defisit naik 42,42 persen q-t-q. Menurunnya pengeluaran turis asing di sektor pariwisata Indonesia, sekalipun jumlah turis asing meningkat sekitar 58.000 orang, menjadi penyebab utama naiknya defisit. Surplus Neraca Perjalanan kita anjlok dari USD 1,02 miliar di kuartal I-2015 menjadi hampir separuhnya yakni USD 0,59 miliar. Selain itu meningkatnya

pengeluaran WNI yang berpergian ke luar negeri dengan maskapai asing turut memperburuk kinerja Neraca Jasa-Jasa. Namun demikian defisit kuartal II-2015 lebih kecil USD 0,18 miliar dibanding defisit kuartal II-2014. Defisit turun 6,56 persen y-o-y.

E. Neraca Pembayaran Indonesia (NPI)

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2015)

Gambar 31: Neraca Pembayaran Indonesia, Kuartal II-2012 – Kuartal II-2015

Neraca Pembayaran Indonesia tidak lagi surplus

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2015)

Gambar 32: Neraca Transaksi Berjalan, Kuartal II-2012 – Kuartal II-2015


(26)

Defisit Neraca Pendapatan Primer kuartal II-2015 naik USD 0,64 miliar. Tingkat defisit kini tercatat sebesar USD 7,37 miliar, lebih besar dibandingkan defisit kuartal I-2014 yakni USD 6,72 miliar. Secara kuartalan defisit naik 9,59 persen q-t-q. Defisit meningkat karena naiknya pembayaran pendapatan atas instrumen ekuitas yang dimiliki oleh perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar. Di samping itu tekanan juga datang dari Neraca Pendapatan Investasi Lainnya berupa peningkatan pembayaran bunga pinjaman luar negeri Indonesia. Total arus keluar yang terjadi pada kuartal II-2015 mencapai USD 0,87 miliar. Adapun ditinjau secara tahunan, defisit justru menyusut 6,91 persen. Sebelumnya di kuartal yang sama tahun 2014, defisit mendekati USD 8,00 miliar.

Neraca Barang kuartal II-2015 kembali mencetak surplus, meneruskan tren perbaikan kinerja sejak

kuartal III-2014. Kali ini surplus perdagangan barang lebih tinggi daripada kuartal sebelumnya yang hanya

tercatat sebesar USD 3,06 miliar (naik 34,46 persen q-t-q). Surplus melonjak karena besarnya kenaikan surplus Neraca Non-Migas lebih besar daripada kenaikan defisit Neraca Migas dan penurunan surplus Neraca Barang Lainnya. Ketiga neraca tersebut, secara berurutan, masing-masing membukukan saldo surplus USD 5,92 miliar; defisit USD 2,12 miliar; dan surplus USD 0,32 miliar di kuartal II-2015 ini. Secara year-on-year perbaikan kinerja Neraca Barang terlihat lebih masif, dari defisit USD 0,38 miliar menjadi surplus USD 4,12 miliar.

Sempat turun di kuartal I-2015, surplus Neraca Non-migas meningkat lagi di kuartal II-2015. Surplus naik sebesar 50 persen dari USD 3,95 miliar menjadi USD 5,92 miliar. Lonjakan nilai ekspor di satu sisi dan turunnya nilai impor di sisi yang lain mendorong surplus Neraca Nonmigas naik. Ekspor nonmigas kuartal II-2015 meningkat sebesar USD 1,64 miliar sedangkan impornya turun USD 0,33 miliar. Kenaikan nilai ekspor nonmigas terbesar terjadi pada kelompok produk manufaktur (naik USD 1,70 miliar) seperti minyak sawit, produk logam dasar, dan karet olahan. Sebaliknya nilai ekspor kelompok produk pertambangan justru turun hingga USD 0,10 miliar karena jatuhnya nilai ekspor batu bara (turun 10,76 persen q-t-q). Dari sisi impor, nilai impor kelompok produk manufaktur turun sebesar USD 0,45 miliar. Penurunan terbesar dialami oleh komoditas logam dasar serta komoditas komputer dan bagiannya. Hal ini memperlihatkan permintaan industri domestik tengah melemah. Sejalan dengan kinerja kuartalan, kinerja Neraca Nonmigas secara tahunan juga membaik, ditunjukkan oleh pertumbuhan surplus year on year sebesar 139,21 persen.

Berlawanan dengan Neraca Nonmigas, kinerja Neraca Migas kuartal II-2015 justru memburuk. Defisit

kuartal sebelumnya adalah sebesar USD 1,26 miliar, kemudian membesar menjadi USD 2,12 miliar pada kuartal II-2015. Defisit naik 68,54 persen q-t-q. Kenaikan defisit terutama disebabkan oleh naiknya nilai impor migas khususnya minyak bumi. Nilai impor minyak bumi meningkat dari USD 5,11 miliar menjadi USD 6,26 miliar (naik 22,56 persen q-t-q). Meskipun demikian ekspor minyak bumi juga naik sebesar USD 0,68 miliar menjadi USD 2,61 miliar dipicu oleh naiknya harga minyak dunia baik berupa minyak mentah maupun produk kilang. Secara persentase ekspor minyak Indonesia naik 35,48 persen q-t-q. Walaupun data kuartalan menunjukkan pemburukan, defisit Neraca Migas kuartal II-2015 masih lebih kecil dibanding kuartal II-2014 yang mencetak defisit sebesar USD 3,18 miliar. Defisit telah turun 33,37 persen y-o-y.

Nilai surplus Neraca Investasi Portofolio kuartal II-2015 merosot sebesar USD 3,02 miliar dibanding

kuartal sebelumnya. Surplus kini tercatat sebesar USD 5,77 miliar. Berkurangnya dana asing yang masuk ke

pasar keuangan domestik menjadi penyebab terjadinya penurunan surplus. Berdasarkan sektornya, beli neto Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2015)

Gambar 33: Neraca Perdagangan Barang , Kuartal II-2012 – Kuartal II-2015


(27)

asing atas surat utang pemerintah berkurang drastis dari USD 7,07 miliar di kuartal I-2015 menjadi tersisa separuhnya yaitu USD 3,63 miliar. Adapun di sektor swasta, investor asing lebih banyak melakukan aktivitas jual saham domestik dibanding pembelian. Hal ini menyebabkan terjadinya jual neto sebesar USD 0,09 miliar atas saham domestik. Wacana kenaikan Fed Fund Rate (FFR) dan depresiasi rupiah membuat investor asing berjaga-jaga menanamkan modalnya ke Indonesia. Secara total dibandingkan kuartal I-2015, arus masuk dana asing ke Indonesia untuk intrumen investasi portofolio ini berkurang hingga USD 2,15 miliar. Defisit Neraca Investasi Lainnya bertambah di

kuartal II-2015 ini. Defisit naik dari USD 4,88 miliar (kuartal I-2015) menjadi USD 6,94 miliar (kuartal II-2015). Secara qtq, tingkat defisit membengkak sebesar 42,05 persen. Terjadinya pembengkakan defisit disebabkan berbagai perkembangan di sisi kewajiban. Yang pertama adalah adanya naiknya pembayaran pinjaman luar negeri pemerintah, dari USD 0,67 miliar ke USD 1,75 miliar (naik 162,39 persen qtq). Kedua, penarikan pinjaman luar negeri swasta turun sebesar USD 1,16 miliar. Ketiga, meningkatnya pembayaran utang luar negeri swasta sebesar USD 1,09 miliar. Dibandingkan kuartal yang sama tahun lalu, kinerja Neraca

Investasi Lainnya kuartal II-2015 benar-benar memburuk. Di kuartal II-2014 Neraca Investasi Lainnya mendapat surplus sebesar USD 2,11 miliar.

Surplus Neraca Investasi Langsung kuartal II-2015 tumbuh 57,18 persen q-t-q. Surplus naik dari USD

2,31 miliar di kuartal I-2015 menjadi USD 3,62 miliar. Penyebabnya adalah kenaikan arus masuk (sisi kewajiban) dan penurunan arus keluar (sisi aset) sepanjang kuartal II-2015. Arus masuk tercatat naik sebesar USD 0,99 miliar menjadi USD 6,75 miliar. Sedangkan arus keluar turun sebesar USD 0,33 miliar menjadi USD 3,63 miliar. Dari sisi aset baik instrumen modal ekuitas maupun utang mengalami penurunan defisit. Dari sisi kewajiban, hanya instrumen utang yang surplusnya bertambah yakni sebesar USD 1,33 miliar. Meskipun membaik secara kuartalan, year on year surplus Neraca Investasi Langsung Indonesia justru turun 2,27 persen.

Neraca Pembayaran Indonesia (NPI)

Gambar 34: Neraca Transaksi Modal dan Finansial, Kuartal II-2012 – Kuartal II-2015 Surplus Neraca Transaksi Modal dan Finansial kembali turun


(28)

Tekanan di Pasar Valuta asing dan di Sektor Perbankan Membesar

Exchange Market Pressure Index (EMPI) merupakan indikator yang menggambarkan kondisi terkini

tekanan pada pasar valuta asing (valas). Indeks ini disusun dari komposit tiga variabel yaitu nilai tukar

rupiah terhadap USD, cadangan devisa, dan suku bunga JIBOR. Semua data dalam frekuensi bulanan dan telah dinormalisasi menggunakan metode yang diterapkan oleh Kaminsky, Lizondo, dan Reinhart (1998,1999). Nilai indeks berada pada rentang skala 0 – 100, semakin mendekati 100 semakin besar tekanan yang diterima oleh pasar valas. Adapun sebaliknya semakin mendekati 0, maka semakin kecil tekanan yang diterima oleh pasar valas.

Nilai EMPI pada September 2015 naik menjadi 60,49 nilai skala, sedangkan di bulan

sebelumnya sebesar 56,45 nilai skala. Hal ini

menunjukkan kondisi pasar valas kita kian tertekan oleh depresiasi nilai tukar rupiah. Nilai tukar rupiah September 2015 adalah sebesar 14.584 per USD, melemah sekitar 3,9 persen dibanding Agustus 2015. Senada dengan cadangan devisa yang juga ikut merosot dari 105,34 miliar USD menjadi 101,71 miliar USD. Dengan demikian sejak awal tahun 2015, nilai EMPI telah naik hingga 16,92 nilai skala. Namun kondisi ini masih cukup normal karena belum menembus ambang batas pertama yaitu sebesar 68,54 nilai skala.

Banking Pressure Index (BPI) adalah indikator yang menunjukkan tekanan yang terjadi di sektor

perbankan. Indeks ini dihitung dengan mempertimbangkan tiga indikator sektor perbankan, yakni Capital

Adequacy Ratio (CAR), Non-Performing Loan (NPL), dan Liquidity Assets Ratio (LAR). Seluruh data memiliki frekuensi bulanan dan diolah dengan menggunakan dua macam formula, yaitu formula yang mengacu pada perhitungan EMPI dan formula yang mengacu pada perhitungan Financial Stability Index (FSI). Nilai indeks berada pada rentang skala 0 – 100, yang berarti bahwa semakin dekat nilai indeks ke angka 0 semakin besar tekanan yang terjadi di sektor perbankan, vice versa.

Pada Agustus 2015, nilai BPI mengalami peningkatan dibandingkan dengan bulan sebelumnya dari 14,06 menjadi 19,71 (formula EMPI), tetapi mengalami penurunan dari 58,84 menjadi 56,64 (formula

FSI). Apabila dilihat dari nilai BPI formula EMPI, hal tersebut mengindikasikan berkurangnya tekanan yang

terjadi di sektor perbankan Indonesia selama periode Juli-Agustus 2015. Pengurangan tekanan di sektor perbankan ini salah satunya didorong oleh turunnya jumlah kredit macet yang ditunjukkan oleh NPL dan turunnya LAR. Sementara itu, nilai BPI formula FSI mengalami penurunan, yang mengindikasikan

bertambahnya tekanan di sektor perbankan. Meski begitu, nilai BPI pada kedua perhitungan yang disajikan ini masih dapat dikatakan aman karena belum menyentuh ambang batas pertama yang bernilai 4,13 skala (formula EMPI) dan -11,53 skala (formula FSI).

F. Indikator Krisis

Gambar 35: Indeks Tekanan Pasar Valuta Asing, Januari 2000 – September 2015 (skala 0–100) Tekanan di pasar valuta asing membesar pada Agustus 2015


(29)

Gambar 36: Indeks Tekanan Perbankan Indonesia formula EMPI, 2012 – 2015 (0–100)

Tekanan terhadap perbankan Indonesia membesar pada Juli 2015

Gambar 37: Indeks Tekanan Perbankan Indonesia formula FSI, 2012 – 2015 (0–100)

Tekanan terhadap perbankan Indonesia membesar pada Juli 2015

Sumber: Tim Macroeconomic Dashboard (2015) Sumber: Tim Macroeconomic Dashboard (2015)


(1)

cenderung melambat sehingga permintaan kredit hingga akhir tahun ini masih sangat mungkin terkontraksi. Selain itu kebijakan ini juga berpotensi menggerus nilai simpanan nasabah perbankan saat ancaman inflasi masih mengintai. Di bulan Juli 2015 rata-rata suku bunga simpanan berjangka di bank umum adalah 8 persen. Sedangkan tingkat inflasi umum Indonesia di bulan yang sama adalah 7,26 persen. Artinya suku bunga riil yang dinikmati oleh nasabah perbankan hanya kurang dari satu persen. Sangatlah bijak untuk mengkaji ulang gagasan ini. Bagi pemerintah ada baiknya untuk fokus

meningkatkan pengeluarannya sehingga merangsang sektor riil untuk berproduksi. Sehingga pada

akhirnya permintaan kredit akan naik tanpa harus menurunkan suku bunga perbankan.

Sumber: BPS, Bank Indonesia dan CEIC (diolah, 2015)

Tabel 7: Hasil Regresi OLS (HAC standard errors and covariance)


(2)

I. GAMA Leading Economic Indicator (GAMA LEI)

Leading Economic Indicator merupakan salah satu model early warning system untuk memprediksi

arah pergerakan ekonomi satu kuartal ke depan. GAMA LEI mampu menghasilkan perkiraan siklus perekonomian (PDB) Indonesia dengan akurat pada beberapa edisi sebelumnya. GAMA LEI berhasil memprediksi perlambatan ekonomi yang terjadi dari kuartal I tahun 2014 hingga kuartal II tahun 2015. GAMA LEI juga masih memprediksikan kinerja perekonomian Indonesia yang menunjukkan perlambatan pada kuartal III tahun 2015. Hal tersebut disebabkan adanya penurunan kinerja pada beberapa indikator kunci perekonomian Indonesia yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi menurun dibandingkan kuartal sebelumnya.

GAMA LEI dihasilkan dengan mengurai komponen penyusun data runtun waktu variabel makro sehingga dihasilkan komponen siklus yang dapat digunakan untuk memprediksikan arah pergerakan ekonomi satu kuartal ke depan. Kinerja variabel makro seperti tingkat ekspor, investasi, penjualan mobil, konsumsi semen, penyaluran kredit, dan lain sebagainya menjadi beberapa variabel kandidat yang diuji karena memiliki pengaruh cukup signifikan pada kondisi perekonomian Indonesia. Pada akhirnya, GAMA LEI merupakan variabel komposit yang disusun oleh beberapa indikator yang telah melewati uji statistik yang ketat. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa beberapa indikator ekonomi makro lainnya dapat berubah dengan cepat dalam beberapa waktu ke depan

Hasil prediksi GAMA LEI pada edisi ini menghasilkan adanya kecenderungan penurunan siklus perekonomian (PDB)

Indonesia. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 46, GAMA LEI pada kuartal II tahun 2015

menunjukan arah pergerakan yang menurun. Pergerakan GAMA LEI yang menurun tersebut menjelaskan prediksi penurunan siklus

perekonomian (PDB) Indonesia pada kuartal III tahun 2015. Kondisi tersebut dapat dianalisis lebih lanjut menggunakan siklus dari indikator yang menyusunnya yaitu (1) realisasi investasi dalam dan luar negeri, (2) konsumsi semen, (3) pemberian kredit, (4) jumlah wisatawan yang datang, (5) harga bahan bakar minyak, dan (6) kapitalisasi pasar saham BEI.

Prediksi perlambatan ekonomi ini diakibatkan karena kinerja konsumsi rumah tangga yang masih rendah, demikian pula pada transaksi investasi yang juga belum terlihat mengalami peningkatan. Pelemahan investasi sejalan dengan implementasi proyek infrastruktur pemerintah yang belum secepat perkiraan serta perilaku menunggu atau wait and see investor swasta. Di sisi perdagangan, meskipun impor mengalami penurunan, aktivitas ekspor tidak mengalami peningkatan. Faktanya, kendati neraca perdagangan membukukan surplus USD 1,5 miliar secara kumulatif pada Juli 2015, nilai ekspor turun 19 persen secara

year-on-year. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh pelemahan permintaan dan penurunan harga komoditas seperti karet, kelapa sawit, dan kopi tetapi juga akibat dari berbagai tekanan ekonomi internasional, termasuk devaluasi nilai mata uang reminbi yang mengakibatkan daya saing produk manufaktur Indonesia menurun relatif terhadap produk Tiongkok.

Sumber: Tim Macroeconomic Dashboard (2015)

Gambar 46: GAMA Leading Economic Indicator

GAMA LEI memprediksikan kecenderungan penurunan siklus perekonomian Indonesia yang masih berlanjut


(3)

J. Economic Outlook

Menjelang akhir tahun 2015, kinerja perekonomian Indonesia diperkirakan masih terpengaruh oleh

meningkatnya risiko ekonomi baik eksternal maupun internal. Dari sisi eksternal yaitu perekonomian global, kondisi perekonomian Tiongkok dan Amerika Serikat masih menjadi sorotan di “kancah” perekonomian dunia. Perekonomian Tiongkok diperkirakan masih tertekan setelah di luar ekspektasi mengalami perlambatan sebesar 6,9 persen pada kuartal III-2015 atau yang paling rendah sejak kuartal I-2009. Melemahnya perekonomian Tiongkok juga akan menyebabkan kelesuan di pasar komoditas dunia sehingga negara-negara yang bergantung pada ekspor komoditas seperti Indonesia masih akan terkena imbas negatif. Lebih jauh lagi, melemahnya perekonomian Tiongkok juga menyebabkan The Fed ragu untuk menunda kenaikan suku bunga acuannya meski kondisi perekonomian Amerika Serikat berangsur membaik. Jika The Fed masih akan mempertahankan suku bunga acuannya hingga akhir 2015 maka sentimen negatif terhadap Indonesia diperkirakan akan berkurang. Faktor eksternal lainnya yaitu El-Nino yang diperkirakan

berlangsung hingga Desember 2015, berakibat pada penundaan masa tanam petani di Indonesia yang selain menyebabkan sustainibilitas pasokan pangan dalam negeri terganggu juga berimbas pada menurunnya pendapatan petani sehingga diperkirakan angka kemiskinan pada November 2015 akan mengalami peningkatan.

Di sisi internal yaitu dari sisi kebijakan fiskal, tekanan terhadap pengelolaan fiskal diperkirakan akan semakin besar. Target penerimaan pajak dalam APBN-P 2015 yang baru terealisasi sebesar 46,9 persen hingga akhir Agustus 2015 menjadi kekhawatiran tersendiri terhadap stabilitas fiskal pemerintah di akhir tahun 2015 ini. Hal tersebut terkait risiko membesarnya defisit anggaran yang diakibatkan oleh tidak tercapainya

penerimaan pendapatan dari pajak hingga akhir 2015. Selain itu, penarikan pajak di tengah perekonomian yang sedang lesu juga menurunkan optimisme terhadap kemungkinan terealisasinya target pajak tersebut dan ditambah dengan keterbatasan waktu yang hanya menyisakan 4 bulan. Situasi tersebut diperkirakan akan memaksa pemerintah untuk melakukan dua hal guna mengantisipasi defisit APBN sebesar 3 persen yang mana merupakan batasan yang telah ditetapkan di dalam undang-undang. Pertama, dengan

menerbitkan obligasi atau melakukan pinjaman bilateral guna meningkatkan pos pendapatannya. Kedua, pemerintah dengan terpaksa akan mengurangi pos belanja modalnya untuk menekan pengeluarannya. Jika dilihat atas dasar resikonya maka pilihan kedua akan lebih realistis dan berisiko rendah untuk diterapkan dibandingkan harus menambah utang pemerintah. Konsekuensinya adalah belanja modal yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi akan terpangkas. Sementara di sisi kebijakan moneter, meski kecil

kemungkinannya, diperkirakan akan ada ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga acuannya guna menstimulus pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut dikarenakan oleh kemungkinan adanya pembalikan sentimen negatif ke positif kepada emerging economies termasuk Indonesia akibat pasar yang mulai “kesal” dan dugaan bahwa The Fed akan tetap mempertahankan suku bunganya setidaknya hingga akhir 2015. Kombinasi pengaruh ekonomi dari sisi eksternal dan internal tersebut menjadi dasar utama dalam proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada akhir tahun 2015 di mana diperkirakan masih akan mengalami perlambatan. Hal tersebut juga sesuai dengan arah yang ditunjukkan dari hasil proyeksi GAMA LEI di mana pertumbuhan ekonomi mengalami tren yang menurun. Jika menyebut angka, pertumbuhan ekonomi hingga akhir 2015 diperkirakan hanya berada pada kisaran 4,6-4,7 persen. Sementara itu, selain perkiraan

peningkatan pada angka kemiskinan dan defisit pemerintah, inflasi juga diperkirakan akan mengalami hal yang sama pada akhir tahun 2015. Perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) serentak 2015 yang terkadang biaya politiknya sangat besar dan penyerapan anggaran pada kuartal IV-2015 menjadi faktor penyebabnya meski ada kemungkinan harga BBM mengalami penurunan akibat menurunnya harga minyak dunia. Secara umum, menjelang akhir tahun 2015 juga menjadi momen yang menarik mengenai mampu atau tidaknya pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla merealisasikan target-target ekonomi di tahun anggaran


(4)

(5)

(6)

INDONESIAN ECONOMIC REVIEW AND OUTLOOK

TIM MACROECONOMIC DASHBOARD

MACROECONOMIC DASHBOARD FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pertamina Tower Lt. 4 Ruang 4.4 Jl. Humaniora No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta 55281 Telp: +62 274 548 517 ext 373 Fax: +62 274 551 208 Email: iero@email.macroeconomicdashboard.com Website: www.macroeconomicdashboard.com Denni P. Purbasari

Head of Researcher purbasari@ugm.ac.id +62 274 548 517 ext 373 Samsubar Saleh Researcher samsubar@ugm.ac.id +62 274 548 517 ext 373 Galih Adhidharma Research Assistant

galih@email.macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Umi Fitria Ridya Rahmawaty Research Assistant

umi.fitria@email.macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Dhian Karyantono Research Assistant

dhian.k@email.macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Prabaning Tyas Research Assistant

prabaningtyas@email.macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Tri Widodo Researcher

triwidodo@feb.ugm.ac.id +62 274 548 517 ext 373 Diny Ghuzini Researcher

diny.ghuzini@ugm.ac.id +62 274 548 517 ext 373 Traheka Erdyas Bimanatya Research Assistant

bimanatya@email.macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Dyah Savitri Pritadrajati Research Assistant

dyah.prita@email.macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Hanggawe Sadoyo Kusumo Research Assistant

hanggawe@email.macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Mohammad Rizki Hutomo

Research Assistant, Web Admin, and Layout hutomo.mr@email.macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373