OPTIMAL KONTROL UNTUK PENYEBARAN PENYAKIT KOLERA BERDASARKAN MODEL SIR DENGAN VAKSINASI.

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Feces (kotoran manusia) yang terinfeksi oleh bakteri Vibrio cholerae banyak ditemui di permukaan air. Melalui makanan, seperti sayuran yang telah dipupuk dengan feces individu terinfeksi dan tidak dibersihkan pada saat mengkonsumsinya. Oleh karena itu, penularan bakteri ini dapat melalui air, makanan, maupun sanitasi lingkungan yang buruk dikarenakan telah terkontaminasi feces individu terinfeksi (Amelia, 2005).

Penyakit akibat bakteri Vibrio cholerae disebut kolera. Brauer (2008: 395) menyatakan individu yang tertular penyakit kolera kebanyakan tidak menunjukkan gejala sama sekali, tetapi kotoran mereka menular. Penyakit kolera adalah penyakit diare akut yang disebabkan oleh infeksi usus akibat bakteri Vibrio cholera. Penyakit kolera sangat mudah menyebar jika tidak segera ditangani. Wabah besar biasanya berhubungan dengan air yang terkontaminasi. Ada 4 mekanisme kontrol utama yang direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO) yaitu pembuangan kotoran manusia yang hygienis, pasokan air bersih, makanan yang bersih dan dimasak, serta vaksinasi.


(2)

2 Amelia (2005) mengungkapkan terjadi tujuh pandemik kolera yang dimulai pada awal tahun 1800. Pandemik ketujuh terjadi pada awal tahun 1961 bermula di Indonesia, kemudian kasus kolera menyebar ke Asia Selatan, Timur Tengah, sebagian Eropa dan Afrika. WHO (2014) melaporkan Afrika adalah benua dengan negara terbanyak tertular penyakit ini. Menurut data yang diperoleh, terdapat sekitar 3 - 5 juta kasus kolera dan 100 – 120 ribu diantaranya meninggal setiap tahun di dunia. Berikut kasus kolera yang terjadi di beberapa benua.

Gambar 1.1 Kasus Penyakit Kolera dari Tahun 1989-2013 (WHO, 2014) Berdasarkan Gambar 1.1, kasus dunia terbanyak pada tahun 1991 dan 2011 yaitu lebih dari 500 ribu kasus. Kasus selanjutnya, negara yang tertular penyakit kolera diantaranya adalah Meksiko sebanyak 184 kasus di tahun 2013 dan Sudan sebanyak 586 kasus di tahun 2014. Oleh karena kasus kolera yang tiap tahun terus – menerus ada, maka penyakit menular ini tidak bisa diremehkan dan diabaikan.


(3)

3 Kontribusi di bidang kesehatan, matematika dapat menganalisa perilaku penyebaran penyakit melalui suatu model. Salah satu modelnya adalah SIR (Susceptible-Infected-Recover). Kermack dan McKendrik adalah orang yang pertama kali memperkenalkan model matematika SIR pada tahun 1927. Model tersebut digunakan untuk mengamati penyebaran penyakit menular pada suatu populasi. Selanjutnya, populasi pada model SIR dibagi menjadi tiga kelas yaitu Susceptible (S) untuk menyatakan populasi sehat dan rentan terhadap penyakit, Infected (I) untuk menyatakan populasi yang terinfeksi penyakit dan dapat sembuh, serta Recover (R) untuk menyatakan populasi yang sembuh dan kebal terhadap penyakit.

Perhatian akan penyebaran penyakit kolera ditunjukkan dalam matematika. Salah satunya telah dilakukan oleh Emvudu dan Kokomo (2012) tentang analisa kestabilan model epidemik kolera berdasakan model SIR melalui bilangan reproduksi dasar. Penelitian lain yaitu Wang dan Wang (2014) meneliti tentang analisa kestabilan model epidemik kolera berdasarkan model SIR dengan pertumbuhan bakteri dan pergerakannya melalui bilangan reproduksi dasar pula.

Salah satu pengendalian terhadap penyakit kolera adalah dengan vaksinasi. Menurut UNICEF (2009) menyatakan pencegahan penyakit kolera sangat efektif dengan vaksinasi, selain itu didukung dengan monitoring. Penelitian tentang vaksinasi telah dikembangkan. Sun dan Hen (2010) menganalisa stabilitas global bebas penyakit dan endemik berdasarkan model SIR dengan beberapa strategi vaksinasi dilihat dari bilangan reproduksi dasar. Selanjutnya, Shu dan Yang (2013) juga menganalisa kestabilan berdasakan model SIR dengan vaksinasi


(4)

4 melalui banyak jalan transmisi dilihat dari bilangan reproduksi dasar yang berbeda. Oral Cholera Vaccine (OVC) direkomendasikan WHO (2014) untuk vaksin penyakit kolera yang disebabkan bakteri Vibrio cholerae. Sementara, penelitian tentang vaksinasi untuk penyakit kolera dilakukan Paul dkk. (2013) dengan menganalisa titik kesetimbangan endemik model kolera berdasarkan model SIR dan memodifikasi dengan berbagai strategi kontrol dilihat dari bilangan reproduksi dasar.

Selanjutnya, penelitian optimal kontrol model SIR dengan vaksinasi oleh Gul Zaman, dkk (2008) menggunakan Prinsip Minimum Pontryagin. Sementara, penelitian tentang pengendalian penyakit kolera telah dilakukan oleh Wang dan Modnak (2011) dengan menganalisa titik kesetimbangan model epidemiologi kolera dan optimal kontrol menggunakan metode Prinsip Minimum Pontryagin pula.

Berdasarkan beberapa penelitian yang dijabarkan, pada tugas akhir ini akan diformulasikan penyebaran penyakit kolera melalui model SIR. Selanjutnya, melalui model tersebut akan dianalisa kestabilan di sekitar titik kesetimbangan model. Sementara, optimal kontrol model untuk penyebaran penyakit kolera berdasarkan model SIR dengan vaksinasi menggunakan Prinsip Minimum Pontryagin. Secara umum, berikut bagan alur dari permasalahan yang akan dibahas.


(5)

5

Gambar 1.2 Bagan Alur Menyelesaikan Optimal Kontrol Model SIR dengan Vaksinasi

Solusi optimal kontrol dari Gambar 1.2 diharapkan dapat menurunkan populasi kelas individu susceptible dengan pemberian vaksin, sehingga populasi kelas individu recover menjadi meningkat.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana formulasi model matematika penyebaran penyakit kolera

berdasarkan model SIR?

2. Bagaimana analisa kestabilan di sekitar titik kesetimbangan model SIR pada penyebaran penyakit kolera?

3. Bagaimana formulasi model matematika penyebaran penyakit kolera berdasarkan model SIR dengan vaksinasi?


(6)

6 4. Bagaimana menentukan solusi optimal kontrol untuk penyebaran penyakit kolera berdasarkan model SIR dengan vaksinasi menggunakan Prinsip Minimum Pontryagin?

C.Tujuan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut, maka tujuan penulisan skripsi adalah sebagai berikut:

1. Memformulasi model matematika penyebaran penyakit kolera berdasarkan model SIR.

2. Menganalisa kestabilan di sekitar titik kesetimbangan model SIR pada penyebaran penyakit kolera.

3. Memformulasi model matematika untuk penyebaran penyakit kolera berdasarkan model SIR dengan vaksinasi.

4. Menentukan solusi optimal kontrol untuk penyebaran penyakit kolera berdasarkan model SIR dengan vaksinasi menggunakan Prinsip Minimum Pontryagin.

D.Manfaat

a. Bagi Penulis

1. Formulasi model matematika untuk penyebaran penyakit kolera berdasarkan model SIR dengan vaksinasi.

2. Menentukan solusi optimal kontrol untuk penyebaran penyakit kolera berdasarkan model SIR dengan vaksinasi.

3. Memperdalam pengetahuan tentang aplikasi sistem optimal kontrol model SIR dengan vaksinasi, khususnya untuk penyakit kolera.


(7)

7 b. Bagi Instansi

Hasil dari tugas akhir diharapkan dapat menjadi dokumen akademik yang berguna untuk dijadikan acuan bagi mahasiswa.

c. Bagi Pembaca

1. Memberi pengetahuan tentang optimal kontrol penyebaran penyakit kolera model SIR dengan vaksinasi.

2. Memberikan motivasi untuk melakukan pengembangan lanjutan. 3. Sebagai referensi untuk pengembangan optimal kontrol model


(8)

8 BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan dibahas teori – teori pendukung yang akan digunakan pada bab selanjutnya, antara lain model matematika, model epidemik SIR klasik, nilai eigen, persamaaan diferensial, sistem persamaan diferensial, titik kesetimbangan, linearisasi, bilangan reproduksi dasar, analisa kestabilan, kriteria Routh Hurwitz, optimal kontrol, Prinsip Minimum Pontryagin.

A. Model Matematika

1. Pengertian model matematika

Widowati dan Sutimin (2007: 1) menjelaskan model matematika adalah representasi bidang ilmu tertentu ke dalam pernyataan matematika yang diperoleh dari salah satu bidang matematika yaitu pemodelan matematika. Pemodelan matematika merupakan bidang matematika yang merepresentasikan dan menjelaskan sistem – sistem fisik atau problem pada dunia nyata dalam pernyataan matematika, sehingga diperoleh pemahaman dari dunia nyata yang lebih tepat.

Widowati dan Sutimin (2007: 3) juga menyatakan proses pemodelan matematika dalam alur diagram berikut.


(9)

9 Gambar 2.1 Proses Pemodelan Matematika

Gambar 2.1 menggambarkan suatu permasalahan nyata ilmu tertentu yang dibawa ke dalam bentuk matematika dengan mencari asumsi - asumsi yang tepat sesuai masalah di dunia nyata, sehingga dapat dibentuk suatu model matematika. Model matematika dibentuk oleh sistem persamaan atau pertidaksamaan sesuai asumsi yang digunakan. Sistem tersebut dapat digunakan untuk mencari penyelesaian solusi / sifat solusi dari model matematika. Selanjutnya, uji kelayakan dengan menginterpretasi solusi / sifat solusi model matematika tersebut dalam kehidupan nyata. Langkah selanjutnya, solusi model tersebut dibandingkan dengan suatu data untuk melihat ketepatan model yang dibuat.

Problem Dunia Nyata

Problem Matematika

Membuat Asumsi

Formulasi Persamaan/ Pertidaksamaan (Model

Matematika)

Penyelesaian Solusi / Sifat Solusi Model

Matematika Interpretasi Solusi /

Sifat Solusi Model Matematika Solusi Dunia

Nyata

Bandingkan Data

Dunia Matematika Dunia Nyata


(10)

10 2. Model Epidemik SIR Klasik

Model matematika yang akan dibahas dalam tugas akhir adalah model epidemik SIR. Kermack W.O dan McKendrick (Brauer, 2008: 25) menyatakan secara umum dalam model epidemi SIR klasik. Populasi terbagi atas tiga kelas yaitu kelas susceptible (S) menyatakan populasi individu yang sehat dan rentan terhadap penyakit, kelas infected (I) menyatakan populasi individu yang terinfeksi penyakit dan dapat sembuh, dan kelas recover (R) menyatakan populasi individu yang sembuh dan kebal terhadap penyakit tersebut.

Selanjutnya S t( ) untuk menyatakan populasi kelas individu S pada saat t, ( )

I t untuk menyatakan populasi kelas individu I pada saat t, R t( ) untuk menyatakan populasi kelas individu R pada saat .t

Didefinisikan parameter  menyatakan laju kontak antara populasi kelas individu S dan populasi kelas individu I per satuan waktu t, dan  menyatakan laju kesembuhan per satuan waktu t.

Diasumsikan tidak ada kelahiran dan kematian, masa inkubasi singkat, setelah sembuh dari penyakit maka tidak kembali rentan. Berikut merupakan diagram transfer untuk model SIR klasik.


(11)

11 Gambar 2.2 menunjukkan laju perubahan S t( ) proporsional dengan berkurangnya rata – rata setiap individu dalam populasi terjadi kontak untuk menularkan infeksi pada S t( ) oleh I t( ) per satuan waktu t sebesar S t I t( ) ( ).

N

Jadi diperoleh persamaan, ( ) ( ) ( )

.

dS t S t I t

dt N

 

(2.1a)

Laju perubahan I t( ) proposional dengan bertambahnya laju infeksi S t( ) sebesar S t I t( ) ( ),

N

tetapi akan berkurang karena laju populasi memperoleh

kesembuhan sebesar I t( ). Jadi diperoleh persamaan, ( ) ( ) ( )

( ).

dI t S t I t

I t

dt N

 

(2.1b) Laju perubahan R t( ) proposional dengan bertambahnya populasi memperoleh kesembuhan sebesar I t( ). Jadi persamaan diperoleh,

( )

( ).

dR t

I t

dt  (2.1c)

Sistem (2.1) dilengkapi dengan nilai awal S(0)S0 0, I(0) I0 0 0

(0) 0,

R  R dimana N menyatakan total populasi.

B.Nilai Eigen

Definisi 2.1 (Howard, 1997: 277)

Diberikan matriks A berukuran nxn Vektor tak nol . xn dinamakan vektor eigen dari A. Jika Ax adalah kelipatan skalar dari x maka diperoleh


(12)

12

Axx

untuk suatu skalar . Skalar disebut nilai eigen dari A.

Berdasarkan Definisi 2.1, maka untuk mencari nilai eigen pada matriks A yang

berukuran nxn adalah

Axx

n

AI

xx

AxInx0

(AIn) 0

x   (2.2)

dengan I adalah matriks identitas. n

Selanjutnya, nilai eigen akan dicari menggunakan Persamaan (2.2). Menurut Howard (1997: 278), agar  menjadi nilai eigen, maka haruslah ada solusi taknol dari persamaan tersebut. Persamaan (2.2) mempunyai solusi taknol jika dan hanya jika

0.

n

AI  (2.3) Persamaan (2.3) dinamakan persamaan karakteristik dari A, sedangkan skalar  yang digunakan disebut nilai eigen. Jika diperluas, Persamaan karakteristik (2.3) merupakan polinom  yang dinamakan polinom karakteristik matriks A, sehingga polinom karakteristik matriks A adalah

1

0 1 ... , 0, 0,1,..., .

n n

n n i

AIa  a   a ain (2.4) Diberikan contoh untuk mencari nilai eigen dari suatu matriks.


(13)

13 Contoh 2.1

Misalkan jika terdapat matriks A 1 2 3 4

 

  dengan 2 1 0 , 0 1 I   

 

diperoleh persamaan karakteristik,

1 2

0

3 4

1 



4 

6 0,     

2

5 2 0,

 

    (2.5)

Persamaan karakteristik (2.5), maka diperoleh solusi

2 1,2

( 5) ( 5) 4( 2)

2

5 33

2

       

Akar – akar Persamaan karakteristik (2.5) adalah

1 2

5 33 5 33

dan .

2 2

     

Selanjutnya, 1 dan 2 merupakan nilai eigen dari matriks A.

C. Persamaan Diferensial


(14)

14 Definisi 2.2 (Ross, 1984: 4)

Persamaan diferensial biasa adalah persamaan diferensial yang memuat turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu variabel bebas.

Definisi 2.3 (Ross, 1984: 4)

Persamaan diferensial parsial adalah persamaan diferensial yang memuat turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap lebih dari satu variabel bebas.

Contoh 2.2

Persamaan – persamaan berikut ini disebut sebagai persamaan diferensial biasa. a) dx x 1

dt  

b) ey

dy dx

Persamaan – persamaan berikut ini disebut sebagai persamaan diferensial parsial. c)

2 2

2 2 0

p p

r q

 

d) u u 0

x y

 

D. Sistem Persamaaan Diferensial

Diberikan vektor x E n, dengan x

x ,x ,x ,...,x1 2 3 n

T, :En,

f E adalah himpunan terbuka dan fC E'( ) dengan C E'( ) adalah himpunan semua fungsi yang mempunyai turunan pertama yang kontinu di E,


(15)

15 dimana f ( ,f f1 2,...,fn) .T Jika

d dtx

x menyatakan turunan x terhadap t. Sistem persamaan diferensial dapat dituliskan sebagai berikut

1 1( ,1 2,..., n),

xf x x x

), ,..., ,

( 1 2

2

2 f x x xn

x  (2.6)

), ,..., ,

( 1 2 n

n

n f x x x

x 

atau 1

1( ,1 2,..., n), dx

f x x x

dt

), ,..., , ( 1 2 2 2

n x x x f dt dx

). ,..., ,

( 1 2 n

n n

x x x f dt dx

Sistem (2.6) dapat ditulis dengan ( ).

x f x (2.7)

Selanjutnya, diberikan solusi dari Sistem (2.7) sebagai berikut. Definisi 2.4 (Perko, 2001: 71)

Diberikan fC E E( ),  dimana C E adalah fungsi ( ) – fungsi yang kontinue di E , dengan E adalah himpunan terbuka dari n. Vektor x( )t disebut solusi dari Sistem (2.7) dengan interval ( , ),a b jika x( )t dapat diturunkan pada ( , )a b dan untuk setiap t( , ), ( )a b x tE, berlaku


(16)

16 ( )t  ( ( )).t

x f x

Diberikan fC E

 

yang dilengkapi nilai awal x0E dan diberikan sistem persamaan diferensial,

( ),  x f x

x( )t0 x0. (2.8)

Vektor x( )tx x( 0( ))t disebut solusi Sistem (2.8) jika x( )t0 x0 dengan t0( , ).a b 1. Sistem Persamaan Diferensial Linear

Didefinisikan persamaan yang menggambarkan persamaan diferensial linear secara umum.

Definisi 2.5 (Ross, 1984: 264)

Persamaan diferensial linear orde n dengan variabel tak bebas y dan x

serta variabel bebas t sebagai berikut.

) (

... 1 1

1 1 1 1 1 1 0

0 a y b x P t

dt x d b dt y d a dt x d b dt y d a dt x d b dt y d

a n n n

n n n n n n n n n n n n n               (2.9)

dengan 0, 0 0, 0, 0, 1, 1,..., , n n n

a ba b a b a bdan P t( ) kontinu pada interval

( , ),a b  t ( , ).a b

Persamaan (2.9) dinamakan bentuk nonhomogeneous jika P t( )0. Akan dibahas sistem persamaan diferensial linear nonhomogeneus orde satu dengan variabel tak bebas x1,x2,...,xn dan variabel bebas t sebanyak n buah

persamaan berikut.

1 2

11 12 ... 1 11 1 12 2 ... 1 1( )

n

n n n

dx

dx dx

c c c b x b x b x P t


(17)

17

1 2

21 22 ... 2 21 1 22 2 ... 2 2( )

n

n n n

dx

dx dx

c c c b x b x b x P t

dtdt   dt      (2.10)

(sebanyak n kali)

1 2

1 2 ... 1 1 2 2 ... ( )

n

n n nn n n nn n n

dx

dx dx

c c c b x b x b x P t

dtdt   dt     

Sistem (2.10) dapat ditulis sebagai persamaan diferensial bentuk biasa berikut. )

(

... 1 1

2 12 1 11 1 t p x a x a x a dt dx n n      ) (

... 2 1

2 22 1 21 2 t p x a x a x a dt dx n n      (2.11)  ) ( ... 2 2 1

1x a x a x p t

a dt dx n n nn n n

n     

Sistem (2.11) dapat dinyatakan sebagai ( )

A P t

 

x x (2.12)

dimana xn merupakan variabel tak bebas, serta A adalah matriks ukuran nxn . Matriks A dengan aijn,i1, 2,3,..., ,n j1, 2,3,...,n dan P dengan ukuran matriks nx1 dalam fungsi .t Jadi diperoleh,

11 12 1 1 1

21 22 2 2 2

1 2 ( ) ( ) , ( ) n n

n n nn n n

a a a x p t

a a a x p t

a a a x p t

                                   x

Jika pada Sistem (2.12) didefinisikan P t( )0 dan d

dtx

x dimana vektor ,

n


(18)

18 sistem persamaan diferensial linear homogen,

A

x x (2.13)

dengan A adalah matriks berukuran nxn . 2. Sistem Persamaan Diferensial Nonlinear

Suatu persamaan diferensial dikatakan nonlinear, jika persamaan diferensial memenuhi salah satu sebagai berikut (Ross, 1984: 5).

a. Terdapat variabel tak bebas dan/atau turunannya yang berpangkat selain satu.

b. Terdapat fungsi transedental dari variabel tak bebas dan turunan - turunannya.

c. Terdapat perkalian pada variabel tak bebas dan/atau turunan- turunannya. Contoh 2.3

Persamaan diferensial nonlinear sebagai berikut: (5 y)dy xy ey

dx

   (PD nonlinear orde 1) (2.14a)

0 3

2

2 2

       

dx dy dx

y d

(PD nonlinear orde 2) (2.14b)

0 2 4 4

  y dx

y d

(PD nonlinear orde 4) (2.14c)

Persamaan (2.14a) merupakan nonlinear, karena terdapat transedental dan perkalian pada variabel tak bebas y. Persamaan (2.14b) merupakan nonlinear, karena terdapat variabel tak bebas dan turunannya variabel bebas yang berpangkat dua. Persamaan (2.14c) merupakan nonlinear, karena terdapat perkalian variabel tak bebas.


(19)

19 Suatu sistem persamaan diferensial dikatakan nonlinear, jika persamaan diferensial yang membentuknya merupakan persamaan diferensial nonlinear. Contoh 2.4

Diberikan sistem persamaan diferensial nonlinear sebagai berikut.

1

1 2 2

2 2

1 2

2

dx

x x

x

dt

dx

x

x

dt

 

(2.15)

Sistem (2.15) merupakan sistem persamaan diferensial nonlinear dengan variabel bebas t dan variabel tak bebas x1 dan x2. Sistem (2.15) dikatakan sistem persamaan diferensial nonlinear karena terdapat perkalian antar variabel tak bebas.

E.Titik Kesetimbangan

Berikut akan diberikan definisi tentang titik kesetimbangan. Definisi 2.6 (Stephen Wiggins, 1990: 5)

Titik xn adalah titik kesetimbangan Sistem (2.7), jika dipenuhi

f x( )0. (2.16) Contoh 2.5

Diberikan contoh untuk mencari titik kesetimbangan Sistem (2.15) menggunakan Definisi (2.6). Misalkan x adalah titik kesetimbangan dari Sistem (2.15).


(20)

20 Misal

f

1

x x

1 2

2

x

1 dan

2

2 1 2.

fxx Akan dicari titik kesetimbangan x1 dan x2

sedemikian sehingga f x x1

 

1, 2 T 0, dan f x x2

 

1, 2 T 0. Untuk

f

1

0,

maka

1 2 2

2 1

2 1

2 0

2 0

0 2.

x x x

x x

x x

 

  

   

Jika x = 02 disubstitusi ke

f

2

0,

diperoleh 2

1 2

2 1

1 0 0 0 0.

x x

x x

 

  

 

Jadi, titik kesetimbangan pertama diperoleh x1

 

0, 0 .T Sementara, jika

x

1

2

dan disubstitusi ke

f

2

0,

maka diperoleh

2

1 2

2

2 0

4 0

4.

x x

x x

      

Jadi, titik kesetimbangan kedua diperoleh x2

 

2, 4 .T Disimpulkan bahwa, Sistem (2.15) memiliki dua titik kesetimbangan yaitu

 

 

0, 0

.

2, 4

T T


(21)

21 F. Linearisasi

Linearisasi adalah proses mengubah sistem persamaan diferensial nonlinear ke dalam bentuk sistem persamaan diferensial linear.

Berikut teorema tentang matriks Jacobian. Teorema 2.1 (Perko, 2001: 67)

Jika f: nn diferensiabel di x0, maka diferensial parsial i , , 1,... , i

i j n

x

f

di x0 ada untuk semua xn dan,

0 0 1 ( ) ( ) . n j j i D x x    

f

f x x x

Bukti:

1

1 1

0

0 1 0 2

1 2

2

2 2

0

0 1 0 2

1 2

0 1

0 1 0 2 0

1 2 ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) n n n n n j j i

n n n

n n f

f f

x x

x x x x

x

x x

f

f f

x x

x x x x

x

x x

x x

f f f

x x x x x x

x x x

                                                                    

f x

1 1 1

0 0 0

1 2

1

2 2 2

0 0 0 2

1 2

0 0 0

1 2 1

( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) n n n

n n n

n

f f f

x x x

x x x

x

f f f

x x x x

x x x

x

f f f

x x x

x x x

                                       0 ( ) D x


(22)

22 Matriks Df(x0) disebut matriks Jacobian, selanjunya dinotasikan Jf(x0).

Diberikan sistem persamaan berikut.

xf x( ) (2.17) dimana x E n, :f En, f adalah fungsi nonlinear dan kontinu.

Sistem (2.17) akan dilinearisasikan. Diberikan x

x ,x ,x ,...,x1 2 3 n

T,

1

T 2 3 n f , f , f ,..., f

f dan fC En( ). Misal x(x x1, 2,...,xn)T adalah titik kesetimbangan Sistem (2.17). Deret Taylor dari fungsi f disekitar titik kesetimbangan x adalah sebagai berikut

1

1

1 1 2 1 1 2 1 2 1 1

1

1 1

1 2 2 2 1 2

2

( , ,..., ) ( , ,..., ) ( , ,..., ) ( )

( , ,..., ) ( ) ... ( , ,..., ) ( )

T T T

n n n

T T

n n n n f

n f

f x x x f x x x x x x x x

x

f f

x x x x x x x x x x R

x x            2 2 2

2 1 2 2 1 2 1 2 1 1 1 2 2 2

1 2

2 1 2

( , ,..., ) ( , ,..., ) ( , ,..., ) ( ) ( , ,..., ) ( ) ...

( , ,..., ) ( )

T T T T

n n n n

T

n n n f n

f f

f x x x f x x x x x x x x x x x x x

x x

f

x x x x x R

x                (2.18)

1 2 1 2 1 2 1 1 1 2 2 2

1 2

1 2

( , ,..., ) ( , ,..., ) ( , ,..., ) ( ) ( , ,..., ) ( ) ...

( , ,..., ) ( ) .

n

T T n T n T

n n n n n n

T n

n n n f n

f f

f x x x f x x x x x x x x x x x x x

x x

f

x x x x x R

x                dengan

1, 2,..., n

f f f

R R R diabaikan, karena nilainya

1, 2,..., n

f f f

R R R mendekati nol.

Sementara, titik kesetimbangan ( 1, 2,..., )T n

x x x

x Sistem (2.18), maka

1( 1, 2,..., ) 2( 1, 2,..., ) ... ( 1, 2,..., ) 0,

T T T

n n n n

f x x xf x x x   f x x x  sehingga diperoleh

1 1 1

1 1 2 1 1 1 2 2 2 1 2

1 2

( , ,..., ) (T ) ( , ,..., ) (T ) ... ( , ,..., ) (T ),

n n n n n

n

f f f

x x x x x x x x x x x x x x x x

x x x

  


(23)

23

2 2 2

2 1 2 1 1 1 2 2 2 1 2

1 2

( , ,..., n) (T ) ( , ,..., n) (T ) ... ( , ,..., n) (T n n),

n

f f f

x x x x x x x x x x x x x x x x

x x x

  

    

(2.19)

1 2 1 1 1 2 2 2 1 2

1 2

( , ,..., ) (T ) ( , ,..., ) (T ) ... ( , ,..., ) (T ).

n n n

n n n n n n

n

f f f

x x x x x x x x x x x x x x x x

x x x

  

      

  

dengan n variabel. Persamaan (2.19) dapat dibentuk matriks berikut

1 1 1

1 2 1 2 1 2

1 2

1

2 2 2

1 2 1 2 1 2

2

1 2

1 2 1 2

1 2

( , ,..., ) ( , ,..., ) ( , ,..., )

( , ,..., ) ( , ,..., ) ( , ,..., )

( , ,..., ) ( , ,..., )

T T T

n n n

n

T T T

n n n

n

n

T T

n n

n n

f f f

x x x x x x x x x

x x x

x

f f f

x x x x x x x x x

x

x x x

x

f f f

x x x x x x

x x                     1 1 2 2 1 2 .(2.20) ( , ,..., ) n n T n n n x x x x x x

x x x

x                          

Misalkan q1 x1 x q1, 2 x2 x2,...,qn  xn xn, maka Sistem (2.20) menjadi

1 1 1

1 2 1 2 1 2

1 2

1

2 2 2

1 2 1 2 1 2

2

1 2

1 2 1 2

1 2

( , ,..., ) ( , ,..., ) ( , ,..., )

( , ,..., ) ( , ,..., ) ( , ,..., )

( , ,..., ) ( , ,..., )

T T T

n n n

n

T T T

n n n

n

n

T T

n n

n n

f f f

x x x x x x x x x

x x x

q

f f f

x x x x x x x x x

q

x x x

q

f f f

x x x x x x

x x                     1 2 1 2 . (2.21) ( , ,..., ) n T n n n q q q

x x x

x                           

Persamaan (2.21) diperoleh matriks Jacobian yaitu

1 1 1

1 2 1 2 1 2

1 2

2 2 2

1 2 1 2 1 2

1 2

1 2 1 2 1 2

1 2

( , ,..., ) ( , ,..., ) ( , ,..., )

( , ,..., ) ( , ,..., ) ( , ,..., )

( , ,..., ) ( , ,..., ) ( , ,..., )

T T T

n n n

n

T T T

n n n

n

T T T

n n n

n n n

n

f f f

x x x x x x x x x

x x x

f f f

x x x x x x x x x

x x x

J

f f f

x x x x x x x x x

x x x

                     . (2.22)                   


(24)

24 Didefinisikan jika J memiliki nilai eigen yang bernilai bagian realnya tidak nol, sehingga kestabilannya dari persamaan akan dapat dilihat sebagai berikut.

(2.23)

J

q = q

Sistem (2.23) dinamakan hasil linearisasi pada Sistem (2.17).

Setelah linearisasi dilakukan, maka pada Sistem (2.17) dilihat kestabilan sistem nonlinear di sekitar titik kesetimbangan. Kestabilan Sistem (2.17) di sekitar titik kesetimbangan x dapat dilihat dari kestabilan hasil linearisasi yaitu Sistem (2.23), hanya jika x hiperbolik. Berikut definisi untuk titik kesetimbangan hiperbolik. Definisi 2.7 (Perko, 2001: 102)

Titik kesetimbangan xn disebut titik kesetimbangan hiperbolik dari Sistem (2.17), jika bagian real nilai eigen Jf x)( 0. Sedangkan, jika Jf x)( mempunyai bagian real nol, maka disebut titik kesetimbangan nonhiperbolik.

Contoh 2.6

Diberikan Sistem (2.15) yang akan dicari matriks Jf x)( dengan 1

 

0,0

T

x dan

 

2 2, 4 .

T

x Sistem (2.15) akan dilakukan identifikasi titik kesetimbangan berikut

 

1 2 1 1 2 1

1 2

2 2

1 2 1 2

1 2

2 1

1

2 2

2

2 1

x x x x x x

x x

J

x x x x

x x

x x

x

    

 

 

 

   

 

 

  f

Untuk 1

 

0,0

T


(25)

25 Nilai eigen dari Jf

 

0,0 T diperoleh,

0 2

0

0 1

 

 

 

1

0

0 1

 

 

    

    

Bagian real nilai eigen nol, maka titik kesetimbangan 1

 

0,0

T

x adalah titik kesetimbangan nonhiperbolik. Selanjutnya x2

 

2, 4 T

 

4 2

2, 4

4 1

T

J   

 

f

Nilai eigen dari Jf

 

2, 4 T diperoleh,

4 2

0

4 1

 

2

1,2

1 2

5 12 0

5 73

2

5 73 5 73

2 2

  

 

     

 

   

   

sehingga tidak terdapat bagian real nilai eigen nol, maka titik kesetimbangan

 

2 2, 4

T

x adalah titik kesetimbangan hiperbolik.

 

0 2

0, 0

0 1

T

J    

 


(26)

26 G. Analisa Kestabilan

Kestabilan titik kesetimbangan secara umum dibagi menjadi tiga jenis yaitu stabil, stabil asimtotik, tidak stabil. Berikut definisi kestabilan

Definisi 2.8 (Olsder, 2004: 57)

Diberikan titik kesetimbangan xn dari sistem xf x( ) dikatakan,

a. Stabil jika untuk setiap  0 terdapat  0, sedemikian sehingga jika x0 xmaka x t x( , 0) xuntuk setiap tt0

b. Stabil asimtotik jika untuk setiap titik kesetimbangan xn terdapat 0 0

  sedemikian sehingga jika x0 x0 berlaku

0

limt x t x( , ) x 0.

c. Tidak stabil jika titik kesetimbangan xn tidak memenuhi (a) Definisi (2.8) disajikan gambar berikut.


(27)

27 Definisi (2.8) terlalu sulit untuk menemukan kestabilan titik kesetimbangan. Selanjutnya, teorema kestabilan diberikan agar memudahkan dalam menganalisa kestabilan model di sekitar titik kesetimbangan dengan melihat nilai eigen.

Teorema 2.2 (Olsder, 2004: 58)

Diberikan persamaan diferensial x = x dengan A , A adalah matriks berukuran

,

nxn mempunyai w nilai eigen yang berbeda  1, 2,...,w dengan wn.

a. Titik kesetimbangan x =0 adalah stabil asimtotik jika dan hanya jika

( i) 0, 1, 2, 3,..., .

ei w

   

b. Titik kesetimbangan x =0 adalah stabil jika dan hanya jika e(i)0, untuk semua i1, 2,...,w dan untuk setiap nilai eigen i imajiner dengan

( i) 0,

e

  yang multisiplisitas aljabar dan multisiplisitas geometri untuk nilai eigen sama.

c. Titik kesetimbangan x =0 tidak stabil jika dan hanya jika

( i) 0, 1, 2,...,

ei w

    atau jika ada i imajiner dengan e(i)0, maka multisiplisitas aljabar dan multisiplisitas geometri untuk nilai eigen tidak sama.

Bukti:

a. Akan dibuktikan bahwa ()

Jika titik kesetimbangan x =0 adalah stabil asimtotik maka

( i) 0, 1, 2, 3,..., .

ei w


(28)

28 Menurut Definisi (2.8), titik kesetimbangan x =0 disebut stabil asimtotik, jika limt x t x( , 0) x 0. Artinya untuk t , ( ,x t x0) menuju x =0 Solusi x t x( , 0) dari sistem persamaan diferensial x = x maka A , x t x( , 0) selalu memuat ( )

.

i e t

e  Artinya untuk ee(i)t

yang menuju x =0 maka

( i) 0

e

  untuk semua i1, 2,3,..., .w

()

Jika e(i)  0, i 1, 2, 3,...,w maka titik kesetimbangan x =0 adalah stabil asimtotik.

Solusi x t x( , 0) selalu memuat ee(i)t,

jika e(i)0maka untuk t , ( i)

e t

e  menuju x =0. Berdasarkan Definisi (2.8) titik kesetimbangan x =0 stabil asimtotik.

b. Akan dibuktikan bahwa ()

Jika titik kesetimbangan x =0 adalah stabil, maka

( i) 0, 1, 2,..., .

ei w

   

Andaikan jika ada e(i)0,maka titik kesetimbangan tidak stabil. Jika

( i) 0,

e

  maka x t x( , 0) yang selalu memuat ee(i)t

untuk t  akan menuju  artinya menjauhi x0. Jadi, sistem tidak stabil. Kontradiksi dari bukti tersebut menyimpulkan bahwa e(i)0. Jadi terbukti bahwa jika titik kesetimbangan x0 stabil, maka

( i) 0, 1, 2,..., .

ei w

   


(29)

29 Jika e(i)  0, i 1, 2,...,w, maka titik kesetimbangan x =0 adalah stabil dan jika e(i)0, maka multisiplisitas aljabar dan multisiplisitas geometri untuk nilai eigen harus sama.

Solusi x t x( , 0)yang selalu memuat ( ) .

i

e t

e  Jika e(i)0, maka ee(i)t

akan menuju x0, artinya stabil asimtotik. Titik kesetimbangan yang stabil asimtotik pastilah stabil. Jika e(i)0, maka nilai eigen berupa bilangan kompleks murni. Menurut Luenberger (1979:85), multiplisitas aljabar berhubungan dengan nilai eigen dan multiplisitas geometri berhubungan dengan vektor eigen. Akan dibuktikan bahwa banyak nilai eigen dan vektor eigen adalah sama. Misalkan diberikan sebarang sistem

2

yang mempunyai nilai eigen kompleks murni. 0

, 0

x c x

y e y

     

     

      dengan c0,e0. (2.24)

Akan dicari nilai eigen sistem (2.24).

0 1 0

0

0 0 1

c

e

   

   

   

0 0

0,

0 0

c e

 

   

 

   

0, c e

 

 

2

0.

ce

   (2.25)


(30)

30 1,2

4 2

2 2

ce ce

i i ce

       

didapat 1i ce dan 2  i ce Vektor eigen untuk 1i ce adalah

1

2 0 0 v

i ce c

v

e i ce

                   maka

1 2 1

2 1

0 0 1 1 0

0 0 0

1

0 0

ce

i ce c e i ce i

R R R e

e

e i ce i ce c

i ce c

ce i

R i ceR e

                              sehingga diperoleh, 1 2 1 2 0 , ce

v i v

e ce

v i v

e

 

misal v2t maka v1 i cet e

 dan diambil t1 diperoleh

1 2 1 ce v i e v             

Selanjutnya vektor eigen untuk 2  i ce adalah 1

2 0 0 v

i ce c

v

e i ce

                 


(31)

31 maka

1 2 1

0 0 1 1 0

0 0 0

ce

i ce c e i ce i

R ~ R R e

e

e i ce i ce c

i ce c

                   2 1 0 1 0 0 0 ce i

R i ceR e

         sehingga 1 2 0 1 . 0 0 0 ce v i e v                   diperoleh

1 2 0,

ce

v i v

e

 

misal v2t maka 1

ce

v i t

e

  dan diambil t1 diperoleh

1 2 1 ce v i e v            

Terbukti jumlah nilai eigen sama dengan jumlah vektor eigen sebanyak 2 buah.

c. Jika titik kesetimbangan x =0 tidak stabil, maka e(i)  0, i 1, 2,...,w

Titik kesetimbangan tidak stabil, untuk t , ( ,x t x0) menuju  hanya apabila e(i)0.


(32)

32 Jika e(i)  0, i 1, 2,...,w maka titik kesetimbangan x =0 tidak stabil. Diberikan e(i)0, ( ,x t x0) yang selalu memuat

(i)

e t

e  akan selalu

menuju . Jadi titik kesetimbangan x =0 tidak stabil .

Disimpulkan bahwa untuk melihat kestabilan suatu nilai eigen dari Sistem (2.17) digunakan sistem linearisasi agar menjadi sistem linear xAx, dimana AJf(x) adalah matriks Jacobian. Teorema kestabilan sistem linear didapat sebagai berikut.

Teorema 2.3: (Hale & Kocak, 1991: 267)

Misal fC'(E) dengan E adalah himpunan terbuka. Jika semua nilai eigen dari matriks Jacobian mempunyai bagian real negatif, maka titik kesetimbangan

x dari Sistem (2.17) stabil asimtotik. Teorema 2.4: (Hale & Kocak, 1991: 272)

Misal fC'(E) dengan E adalah himpunan terbuka. Jika terdapat nilai eigen dari matriks Jacobian yang mempunyai bagian real positif, maka titik kesetimbangan x dari Sistem (2.17) tidak stabil.

Selanjutnya, kestabilan yang dimaksud yaitu kestabilan lokal.

H. Bilangan Reproduksi Dasar

Menurut Driessche dan Watmough (2001) bilangan reproduksi dasar adalah jumlah kasus infeksi sekunder pada populasi kelas individu susceptible oleh individu yang terinfeksi tunggal, sehingga dari penularan tersebut diharapkan adanya rata – rata durasi menular dan rata - rata tingkat penularan infeksi


(33)

33 sekunder. Bilangan reproduksi dasar dilihat dari titik kesetimbangan model, dalam hal ini dinotasikan dengan Rˆ0.

Selanjutnya, populasi dibagi atas dua kelas yaitu populasi kelas individu yang terinfeksi dan populasi kelas individu yang tidak terinfeksi. Berikut diberikan model kelas populasi tersebut.

   

, , , m

IP I SQ I S I (2.26)

 

, , n.

Sz I S S

(2.27)

dengan

I sebagai populasi kelas individu yang terinfeksi penyakit,

S sebagai populasi kelas individu yang tidak terinfeksi penyakit atau rentan

penyakit,

P sebagai matriks dari rata – rata jumlah individu baru dalam populasi kelas individu yang teinfeksi penyakit,

Q sebagai matriks dari rata – rata berkurangnya jumlah individu dalam populasi kelas individu yang teinfeksi penyakit.

Dimisalkan (0,S0) untuk menyatakan titik kesetimbangan bebas penyakit. Sementara, bilangan Rˆ0 menyatakan jumlah kasus infeksi sekunder pada populasi, maka melihat ada atau berkurangnya infeksi hanya menggunakan Persamaan (2.26) pada titik kesetimbangan bebas penyakit. Persamaan (2.26) dapat ditulis sebagai berikut

 

, dan ( , )


(34)

34 Hasil dari linearisasi MP I S

 

, dan VQ I S( , ) di (0,S0) berikut

0 (0, ) M

B S

I

 

  dan D V (0,S0)

I

 

 

dengan B dan D merupakan matriks mxm .

Didefinisikan WBD1 sebagai next generation matrix, sehingga bilangan

reproduksi dasar diperoleh dari nilai eigen terbesar dari matriks W.

I. Kriteria Routh Hurwitz

Analisa kestabilan titik kesetimbangan x dapat menggunakan kriteria Routh Hurwitz sebagai alternatif menentukan tanda bagian real dari nilai – nilai eigen.

Diberikan suatu persamaan polinomial berikut

1

1 1 0

( ) n n ... , 0, 0,1,..., .

n n i

r  a  a    aa ain

(2.28) Menurut Olsder (2004) kriteria Routh Hurwitz dipakai untuk mengecek langsung kestabilan tanpa menghitung akar – akar dari Persamaan (2.28). Koefisien dari Persamaan (2.28) disusun sebagai berikut.

2 4

1 3 5

2 4 6

3 5 7

... ... ... ...

n n n

n n n

n n n

n n n

a a a

a a a

b b b

c c c

 

  

  

  


(35)

35

1 2 3 2 3 4 1

2 3

1 2

1 4 5 2 5 6 1

4 5

1 2

,

,

n n n n n n n n

n n

n n

n n n n n n n n

n n

n n

a a a a b a b a

b c

a b

a a a a b a b a

b c

a b

      

 

 

      

 

 

 

 

 

 

Nilai tersebut berhenti ketika hasil dari perhitungan adalah nol. Jika kolom pertama pada susunan tersebut semua bertanda positif atau semua bertanda negatif, maka bagian real dari polinom r( ) adalah negatif.

J. Optimal Kontrol

Menurut Naidu (2002: 6) tujuan utama dari optimal kontrol adalah menentukan kontrol yang akan menyebabkan sistem memenuhi beberapa konstrain fisik dan pada waktu yang sama dapat ditentukan ekstrim (maksimum/ minimum) yang sesuai dengan fungsi tujuan atau performance index yang diketahui. Berikut proses kontrol melalui alur kontrol

Gambar 2.3 Alur Kontrol

Gambar 2.3 diperoleh notasi kontrol yaitu u(t) sehingga dinotasikan pula untuk optimal kontrol yaitu u* t() yang menandakan kondisi yang optimal. Selanjutnya,

) ( * t


(36)

36 keadaan awal hingga keadaan akhir. Kontrol yang digunakan dengan keadaan dan waktu ekstrim yang sama sesuai fungsi tujuan.

Formulasi yang dapat diberikan pada permasalahan optimal kontrol menurut Naidu (2002: 6) adalah:

a. Diskripsi matematika atau model matematika artinya diperoleh metode matematika dari proses terjadinya pengendalian (secara umum dalam bentuk variabel keadaan),

b. Spesifikasi dari fungsi tujuan,

c. Menentukan kondisi batas dari konstrain fisik pada keadaan (state) dan atau kontrol.

Tujuan mencari kontrol u( )t dengan memaksimumkan atau meminimumkan fungsi tujuan. Didefinisikan fungsi tujuan sebagai berikut

0

( ( ), )f f tf ( ( ), ( ), )

t

K  x t t

F x t u t t dt

(2.29)

dengan kendala ( ( ), ( ), )

g t t t

x x u (2.30)

0 0

( )t

x x

Fungsi tujuan (2.29) dikatakan bentuk Lagrange jika ( ( ), )x tf tf 0 dan dikatakan bentuk Mayer jika F( ( ), ( ), )x t u t t 0.


(37)

37 Saat u*( )t menjadi optimal kontrol melalui substitusi ke Sistem (2.30), sehingga state akan diperoleh yang optimal x*( )t dan fungsi

tujuan (2.29) juga akan optimal. (Naidu, 2002: 10)

K. Prinsip Minimum Pontryagin

Prinsip Minimum Pontryagin adalah suatu kondisi sehingga dapat diperoleh penyelesaian optimal kontrol yang sesuai dengan fungsi tujuan yaitu meminimumkan fungsi tujuan.

Berikut tahap – tahap penyelesaian optimal kontrol suatu model akan dibahas dengan Prinsip Minimum Pontryagin, khusus untuk fungsi tujuan bentuk Lagrange.

Didefinisikan notasi vektor kontrol kontinu yaitu u( )t

u t1( ),...,u tm( )

T dan vektor keadaan yaitu x( )t

x t1( ),...,x tn( )

pada interval tertutup

 

t t0,1 . Selanjutnya, menurut Naidu (2002: 257) diperoleh fungsi tujuan yang diminimumkan berikut.

1 0

( ) min t ( ( ), ( ), )

t

K u

F x t u t t dt (2.31) dengan fungsi kendala,

( ( ), ( ), )

g t t t


(38)

38

0 0

( )

( ) . (2.33)

a t b

t

 

u

x x

Berikut persamaan Lagrangian dibentuk: ( ( ), ( ), ) ( ( ), ( ), )

L xt ut tF xt ut t (2.34)

Selanjutnya, persamaan Hamiltonian yang dibentuk yaitu penjumlahan antara Persamaan (2.34) dan perkalian pengali Lagrange dengan kendala :

( ), ( ), ( ),

( ), ( ),

( ), ( ),

H x t ut l t tF x t ut tlTg x t ut t (2.35)

dimana l adalah variabel co- state.

Persamaan (2.32) dinamakan pula sebagai sistem persamaan state. Penyelesaian state dan co state dinyatakan sebagai berikut

( ), ( ), ( )

( )t H t t t , (2.36)

x u

x l

l

( ), ( ), ( )

( )t  H t t t . (2.37)

x u

x l l

penyelesaian didapat untuk mencari kondisi setimbang menggunakan Sistem (2.35) berikut. (Naidu, 2002: 89)

( ), ( ), ( )

0

H t t t

x u

u l

(2.38)


(39)

39 Berdasarkan Persamaan (2.38) dan kondisi batas variabel kontrol au( )tb, solusi u( )t yang optimal diperoleh berikut

,

a jika u( )ta *( )t  ( ),t

u u jikaau( )tb (2.39)

b, jika u( )tb Bentuk (2.39) dapat ditulis sebagai berikut

*( )tmaks min ( ),t b a, .


(40)

78 DAFTAR PUSTAKA

Anton, Howard. 1997. Aljabar Linear Elementer, Fifth Edition (Alih Bahasa Pantur Silaban, Ph. D). Jakarta: Erlangga.

Brauer, Fred, dkk. 2008. Mathematical Epidemiology: Mathematical Biosciences Subseries. Berlin: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

CIA. 2011. Diakses dari https://www.cia.gov/library/publications/the-world factbook/rankorder/2155rank.html. pada tanggal 22 Juni 2015, jam 16.00 WIB.

Driessche, P. Van Den and James Watmough. 2001. Reproduction numbers and sub-threshold endemic equilibria for compartmental models of disease transmission. Mathematical Biosciences 180 (2002) 29-48.

Emvudu, Yves and Eric Kokomo. 2012. Stability Analysis of Cholera Epidemic Model of a Closed Population. Journal of Applied Mathematics and Boinformatics, Vol.2, No.1, 69-97.

General Task Force on Cholera Control. 2010. Cholera Country Profile: Haiti. WHO.

Hale, J.K., and Kocak, H. 1991. Dynamics and Bifurcations. New York: Springer -Verlag.

Hartley, D.M, Morris, Smith. 2006. Hyperinfectivity: A Critical Element in The Ability of Vibrio Cholerae To Cause Epidemical. PloS Med 3(1): e7. Hendrix, T.R.. 1984. Abstract: Effect Cholera Enterotoxin on Intestinal

Permeability. Springer.

Hertcote, Herbert W.. 2000. The Mathematics of Infectious Disease. SIAM Review Vol. 42, No. 4, pp. 599-653.

Kamien, M.I. dan Schwarz, N.I.. 1991. Dynamics Optimization: The Calculus Of Variations and Optimal Control In Economics And Management. North Holland. Amsterdam.

Liao, Shu and Weiming Yang. 2013. On The Dynamics of a Vaccination Model with Multiple Transmission Ways. Applied Mathematical Computer Science.

Luenberger, David G.. 1979. Introduction to Dynamic Systems Theory, Models, and Applications. New York: John Wiley and Sons.

Naidu, D.S.. 2002. Optimal Control System. Washington: CRC Press, New York Olsder, G. J and Van Der Woude. 2004. Mathematical System Theory

Intermediate: third edition. The Netherlands: VVSD

Pan American Health Organization. 2011. Challenges of use Cholera Vaccine in Haiti and Americas. Regional Office of the WHO.


(41)

79 Perko, Lawrence. 2001. Differential Equations and Dynamical Systems: Third

Edition. New York: Springer-Verlag, New York.

Posny, Drew and Ji wang. 2014. Modelling Cholera in Periodic Environments. Journal of Biological Dynamics.

Ross, Shepley L. 1984. Differential Equations: Third Edition. New York: John Wiley and Sons.

Sri Amelia. 2005. Vibrio Cholerae. Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran USU.

Sun, Chengjun and Ying Hen Hsieh. 2010. Global Analysis of an SEIR Model with Varying Population Size and Vaccination. Applied Mathematical Modelling.

Tiar, Jianjun Paul, dkk. 2013. Analyzing The Infection Dynamics and Control Strategies of Cholera. Discrete and Continuous Dynamical System, pp. 747-757.

UNICEF. (2009). Vaccinating Children Deep in Borneo’s Jungle. Diakses dari http://www.unicef.org/indonesia/reallives_12421.html. pada tanggal 27 Mei 2015, jam 13.00 WIB.

Wang, Ji and Chairat Modnak. 2011. Modelling Cholera Dynamics with Controls. Canadian Applied Mathematics Quarterly, Vol.19, No. 3, Fall (2011). Wang, Xuexing and Jin Wang. 2014. Analysis of Cholera Epidemics with

Bacterial Growth and Spatial Movement. Journal of Biological Dynamics.

WHO. (2004). Joint WHO/UNICEF Statement for Cholera Vaccine Use in

Tsunami-Affected Areas. Diakses dari

http://www.who.int/cholera/tsunami_choleravaccine/en/. pada tanggal 7 Februari 2015, jam 21.40 WIB.

WHO. (2014). Cholera. Diakses dari http://www.who.int/cholera/statistics/en/. pada tanggal 3 Maret 2015, jam 19.15 WIB.

WHO. (2014). Cholera. Diakses dari

http://www.who.int/csr/don/archive/disease/cholera/en/. pada tanggal 7 Februari 2015, jam 22.34 WIB.

WHO. (2014). Cholera. Diakses dari

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs107/en/. pada tanggal 7 Februari 2015, jam 22. 15 WIB.

Widowati dan Sutimin. 2007. Pemodelan Matematika. Semarang: Jurusan Matematika Fakultas MIPA Universitas Diponegoro.

Wiggins, Stephen. 1990. Introduction to Applied Nonlinear Dynamical Systems and Chaos. New York: Springer-Verlag.


(42)

80 Zaman. Gul, Hyo Jung. Il, Yang. H.K. 2008. Stability Analysis And Optimal

Vaccination Of An SIR Epidemic Model. Biosystem. 93 (2008) 240-249.


(1)

37 Saat u*( )t menjadi optimal kontrol melalui substitusi ke Sistem (2.30), sehingga state akan diperoleh yang optimal x*( )t dan fungsi tujuan (2.29) juga akan optimal. (Naidu, 2002: 10)

K. Prinsip Minimum Pontryagin

Prinsip Minimum Pontryagin adalah suatu kondisi sehingga dapat diperoleh penyelesaian optimal kontrol yang sesuai dengan fungsi tujuan yaitu meminimumkan fungsi tujuan.

Berikut tahap – tahap penyelesaian optimal kontrol suatu model akan dibahas dengan Prinsip Minimum Pontryagin, khusus untuk fungsi tujuan bentuk Lagrange.

Didefinisikan notasi vektor kontrol kontinu yaitu u( )t

u t1( ),...,u tm( )

T dan vektor keadaan yaitu x( )t

x t1( ),...,x tn( )

pada interval tertutup

 

t t0,1 . Selanjutnya, menurut Naidu (2002: 257) diperoleh fungsi tujuan yang diminimumkan berikut.

1 0

( ) min t ( ( ), ( ), ) t

K u

F x t u t t dt (2.31)

dengan fungsi kendala, ( ( ), ( ), )

g t t t


(2)

38

0 0

( )

( ) . (2.33)

a t b

t

 

u

x x

Berikut persamaan Lagrangian dibentuk: ( ( ), ( ), ) ( ( ), ( ), )

L xt ut tF xt ut t (2.34)

Selanjutnya, persamaan Hamiltonian yang dibentuk yaitu penjumlahan antara Persamaan (2.34) dan perkalian pengali Lagrange dengan kendala :

( ), ( ), ( ),

( ), ( ),

( ), ( ),

H x t ut l t tF x t ut tlTg x t ut t (2.35)

dimana l adalah variabel co- state.

Persamaan (2.32) dinamakan pula sebagai sistem persamaan state. Penyelesaian state dan co state dinyatakan sebagai berikut

( ), ( ), ( )

( )t H t t t , (2.36)

x u

x l

l

( ), ( ), ( )

( )t  H t t t . (2.37)

x u x l l

penyelesaian didapat untuk mencari kondisi setimbang menggunakan Sistem (2.35) berikut. (Naidu, 2002: 89)

( ), ( ), ( )

0

H t t t

x u u l (2.38)


(3)

39 Berdasarkan Persamaan (2.38) dan kondisi batas variabel kontrol au( )tb, solusi u( )t yang optimal diperoleh berikut

,

a jika u( )ta *( )t  ( ),t

u u jikaau( )tb (2.39)

b, jika u( )tb Bentuk (2.39) dapat ditulis sebagai berikut

*( )tmaks min ( ),t b a, .


(4)

78

DAFTAR PUSTAKA

Anton, Howard. 1997. Aljabar Linear Elementer, Fifth Edition (Alih Bahasa Pantur Silaban, Ph. D). Jakarta: Erlangga.

Brauer, Fred, dkk. 2008. Mathematical Epidemiology: Mathematical Biosciences Subseries. Berlin: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

CIA. 2011. Diakses dari https://www.cia.gov/library/publications/the-world factbook/rankorder/2155rank.html. pada tanggal 22 Juni 2015, jam 16.00 WIB.

Driessche, P. Van Den and James Watmough. 2001. Reproduction numbers and sub-threshold endemic equilibria for compartmental models of disease transmission. Mathematical Biosciences 180 (2002) 29-48.

Emvudu, Yves and Eric Kokomo. 2012. Stability Analysis of Cholera Epidemic Model of a Closed Population. Journal of Applied Mathematics and Boinformatics, Vol.2, No.1, 69-97.

General Task Force on Cholera Control. 2010. Cholera Country Profile: Haiti. WHO.

Hale, J.K., and Kocak, H. 1991. Dynamics and Bifurcations. New York: Springer -Verlag.

Hartley, D.M, Morris, Smith. 2006. Hyperinfectivity: A Critical Element in The Ability of Vibrio Cholerae To Cause Epidemical. PloS Med 3(1): e7. Hendrix, T.R.. 1984. Abstract: Effect Cholera Enterotoxin on Intestinal

Permeability. Springer.

Hertcote, Herbert W.. 2000. The Mathematics of Infectious Disease. SIAM Review Vol. 42, No. 4, pp. 599-653.

Kamien, M.I. dan Schwarz, N.I.. 1991. Dynamics Optimization: The Calculus Of Variations and Optimal Control In Economics And Management. North Holland. Amsterdam.

Liao, Shu and Weiming Yang. 2013. On The Dynamics of a Vaccination Model with Multiple Transmission Ways. Applied Mathematical Computer Science.

Luenberger, David G.. 1979. Introduction to Dynamic Systems Theory, Models, and Applications. New York: John Wiley and Sons.

Naidu, D.S.. 2002. Optimal Control System. Washington: CRC Press, New York Olsder, G. J and Van Der Woude. 2004. Mathematical System Theory

Intermediate: third edition. The Netherlands: VVSD

Pan American Health Organization. 2011. Challenges of use Cholera Vaccine in Haiti and Americas. Regional Office of the WHO.


(5)

79 Perko, Lawrence. 2001. Differential Equations and Dynamical Systems: Third

Edition. New York: Springer-Verlag, New York.

Posny, Drew and Ji wang. 2014. Modelling Cholera in Periodic Environments. Journal of Biological Dynamics.

Ross, Shepley L. 1984. Differential Equations: Third Edition. New York: John Wiley and Sons.

Sri Amelia. 2005. Vibrio Cholerae. Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran USU.

Sun, Chengjun and Ying Hen Hsieh. 2010. Global Analysis of an SEIR Model with Varying Population Size and Vaccination. Applied Mathematical Modelling.

Tiar, Jianjun Paul, dkk. 2013. Analyzing The Infection Dynamics and Control Strategies of Cholera. Discrete and Continuous Dynamical System, pp. 747-757.

UNICEF. (2009). Vaccinating Children Deep in Borneo’s Jungle. Diakses dari

http://www.unicef.org/indonesia/reallives_12421.html. pada tanggal 27 Mei 2015, jam 13.00 WIB.

Wang, Ji and Chairat Modnak. 2011. Modelling Cholera Dynamics with Controls. Canadian Applied Mathematics Quarterly, Vol.19, No. 3, Fall (2011). Wang, Xuexing and Jin Wang. 2014. Analysis of Cholera Epidemics with

Bacterial Growth and Spatial Movement. Journal of Biological Dynamics.

WHO. (2004). Joint WHO/UNICEF Statement for Cholera Vaccine Use in

Tsunami-Affected Areas. Diakses dari

http://www.who.int/cholera/tsunami_choleravaccine/en/. pada tanggal 7 Februari 2015, jam 21.40 WIB.

WHO. (2014). Cholera. Diakses dari http://www.who.int/cholera/statistics/en/. pada tanggal 3 Maret 2015, jam 19.15 WIB.

WHO. (2014). Cholera. Diakses dari

http://www.who.int/csr/don/archive/disease/cholera/en/. pada tanggal 7 Februari 2015, jam 22.34 WIB.

WHO. (2014). Cholera. Diakses dari

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs107/en/. pada tanggal 7 Februari 2015, jam 22. 15 WIB.

Widowati dan Sutimin. 2007. Pemodelan Matematika. Semarang: Jurusan Matematika Fakultas MIPA Universitas Diponegoro.

Wiggins, Stephen. 1990. Introduction to Applied Nonlinear Dynamical Systems and Chaos. New York: Springer-Verlag.


(6)

80 Zaman. Gul, Hyo Jung. Il, Yang. H.K. 2008. Stability Analysis And Optimal

Vaccination Of An SIR Epidemic Model. Biosystem. 93 (2008) 240-249.