PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA TERKAIT DENGAN PELANGGARAN WAKTU KERJA PADA PERUSAHAAN GARMEN HAPE INTERIOR DESIGN DI SANUR DENPASAR SELATAN.

(1)

SKRIPSI

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA

TERKAIT DENGAN PELANGGARAN WAKTU KERJA

PADA PERUSAHAAN GARMEN HAPE INTERIOR

DESIGN DI SANUR DENPASAR SELATAN

BAGUS MADE BAMA ANANDIKA BERATA NIM. 1116051120

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA

TERKAIT DENGAN PELANGGARAN WAKTU KERJA

PADA PERUSAHAAN GARMEN HAPE INTERIOR

DESIGN DI SANUR DENPASAR SELATAN

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

BAGUS MADE BAMA ANANDIKA BERATA NIM. 1116051120

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

(4)

(5)

(6)

KATA PENGANTAR

Atas berkat, rahmat dan perlindungan Tuhan Yang Maha Esa, maka dapatlah penulisan tugas akhir yang berjudul, “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA TERKAIT DENGAN PELANGGARAN WAKTU KERJA PADA PERUSAHAAN GARMEN HAPE INTERIOR DESIGN DI SANUR DENPASAR SELATAN“, diselesaikan dengan baik dan lancar. Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat guna mencapai gelar Sarjana Hukum (S-1) di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tugas akhir ini dapat terselesaikan berkat dorongan, bimbingan, arahan dan bantuan semua pihak. Untuk itu, ucapan terima kasih penulis haturkan kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH. Dekan Fakultas

Hukum Universitas Udayana;

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH.,MH. Pembantu Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Udayana;

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH.,MH. Pembantu Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Udayana;

4. Bapak I Wayan Suardana SH., MH. Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Udayana;

5. Bapak A.A. Ngurah Oka Parwatha, SH.,Msi. Ketua Program Ekstensi


(7)

6. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, SH.,MH., Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana;

7. Ibu Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH.,M.Hum., Dosen Pembimbing I yang

telah meluangkan banyak waktu untuk mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyusun tugas akhir ini;

8. Bapak I Made Dedy Priyanto, SH.,MKn., Dosen Pembimbing II yang

telah banyak memberikan petunjuk, bimbingan, dan saran yang berguna dalam penyusunan tugas akhir ini;

9. Bapak I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja, SH.,M.Hum., Pembimbing

Akademik yang selalu memberikan arahan dan saran dalam setiap tindakan yang penulis lakukan pada saat menempuh studi;

10.Bapak Dewa Gede Ersandi, selaku pemilik dari Perusahaan Garmen Hape

Interior Design, Ibu Ketut Srinadi sebagai pekerja/buruh dari Perusahaan Garmen Hape Interior Design, dan Bapak I Wayan Gede Dedy Wirawan, ST., sebagai pengawas Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kota Denpasar yang telah bersedia memberikan informasi sehingga tugas akhir penulis dapat terselesaikan dengan baik;

11.Para Dosen dan Asisten di Fakultas Hukum Uiversitas Udayana yang telah

mendidik dan membimbing penulis selama menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Udayana;


(8)

12.Staff Pegawai Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu dalam penyelesaian administrasi selama penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Udayana;

13.Keluarga Besar terutama orang tua dan kakak, yang penuh kesabaran dan

kasih sayang serta selalu memberikan dukungan, nasehat, dan semangat dalam penyelesaian penelitian dan studi ini;

14.Sahabat-sahabat penulis yang telah memberikan semangat, nasehat dan

bantuan selama penulis menyelesaikan tugas akhir ini ( Citos, Parartha, Henny, Sitta, Anastasia, Gung Adi, Krisnadi, Adis, Wisnu, Widhi, Tugus, Bill, Pebri, Gung Krisna, teman-teman angkatan 2011 dan teman-teman kelas XX );

Dalam penyusunan tugas akhir ini penulis berusaha dengan segenap kemampuan dan pengetahuan agar dapat memaparkan permasalahan diangkat secara terarah dan sistematis.Namun dengan kemampuan yang terbatas, penulis menyadari bahwa hasil ini jauh dari sempurna baik dalam teknis penulisan maupun materi yang dikaji, oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga tugas kahir ini bermanfaat bagi dunia pendidikan serta dapat dijadikan bahan kajian yang berarti.

Denpasar, 2 Februari 2016


(9)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM i

PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING iii

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN iv

KATA PENGANTAR v

DAFTAR ISI vii

ABSTRAK xi

ABSTRACT xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 7

1.3. Ruang Lingkup Masalah ... 8

1.4. Orisinalitas Penelitian ... 8

1.5. Tujuan Penelitian ... 10

1.5.1. Tujuan Umum ... 10


(10)

1.6. Manfaat Penelitian ... 11

1.6.1.Manfaat Teoritis ... 11

1.6.2.Manfaat Praktis ... 11

1.7. Landasan Teoritis ... 12

1.8. Metode Penelitian ... 22

1.8.1.Jenis Penelitian ... 22

1.8.2. Jenis Pendekatan ... 23

1.8.3. Sifat Penelitian ... 23

1.8.4. Data dan Sumber Data ... 24

1.8.5. Teknik Pengumpulan Data ... 24

1.8.6. Teknik Penentuan Sampel Penelitian ... 25

1.8.6. Pengolahan dan Analisis Data ... 25

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERLINDUNGAN HUKUM, DAN PELANGGARAN WAKTU KERJA 2.1. PEKERJA DAN PELANGGARAN WAKTU KERJA 2.1.1. Pengertian Pekerja ... 27

2.1.2. Pengertian Waktu Kerja ... 30

2.1.3. Pelanggaran Waktu Kerja ... 32 2.2. PERLINDUNGAN HUKUM


(11)

2.2.1. Pengertian Dan Prinsip Perlindungan Hukum ... 32

2.2.2. Perlindungan Hukum Bagi Pekerja ... 35

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA TERKAIT

DENGAN WAKTU KERJA PADA PERUSAHAAN GARMEN HAPE INTERIOR DESIGN

3.1. Pengaturan Hak-Hak Pekerja Terkait Dengan

Waktu Kerja 41

3.2. Perlindungan Hukum Pekerja Terkait Dengan Waktu KerjaPada Perusahaan Garmen Hape

Interior Design 49

BAB IV UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PEKERJA

UNTUK MENDAPATKAN HAK-HAKNYA

4.1. Upaya Yang Dilakukan Oleh Pekerja Pada Perusahaan Garmen Hape Interior

Design Untuk Mendaptkan Hak-Haknya 58

4.2. Kendala Dalam Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Pada Perusahaan Garmen


(12)

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan ... 69 5.2. Saran ... 70 DAFTAR PUSTAKA


(13)

ABSTRAK

Perlindungan mengenai waktu kerja merupakan bagian dari perlindungan terhadap kesehatan kerja yang masih kurangnya pelaksanaannya di lapangan, seperti yang ada di perusahaan garmen Hape Interior Design yang menerapkan waktu kerja selama 9 jam dalam 6 hari kerja. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh di perusahaan garmen Hape Interior Design dan juga faktor penyebabnya, serta upaya yang dapat dilakukan pekerja/buruh dalam mendapatkan haknya yang dilanggar.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis empiris.Metode ini digunakan unrtuk melakukan penelitian langsung dilapangan dan mengkaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di masyarakat.

Dari penelitian ini dapat menghasilkan faktor-faktor yang menjadi kendala susahnya memenuhi perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh di perusahaan garmen Hape Interior Design sehingga terjadi penerapan waktu kerja yang berbeda dari peraturan perundang-undangan yang ada dan faktor yang menjadi kendala Disnaker kota Denpasar dalam melakukan pengawasan dalam perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh. Serta upaya yang dilakukan oleh pekerja/buruh dalam hal ini adalah upaya penyelesaian di luar pengadilan atau non litigasi

Kata Kunci: Perlindungan Hukum Pekerja/Buruh, Waktu Kerja, Pelanggaran Waktu Kerja


(14)

ABSTRACT

Protection regarding working time is part of protection against occupation health which still lack of is implementation in the environment of the community, such as those in garment company Hape Interior Design that apply the working time for 9 hours in 6 working days. As the purpose of this research is to know and understand how the legal protection of workers in garment company Hape Interior Design and is also a contributing factor, as well as the efforts that can be made in getting the workers right are violated.

The methods used in this research is the empirical juridical method. This method is to conduct research directly in the community and examines on the basis of legislation in force in the community.

From this research can produce factors that become an obstacle of this difficult meet the legal protection of workers in garment company Hape Interior Design so the application of working time which is different from existing regulations and factors into constraints of the Department of employment of Denpasar city in conducting surveillance in the legal protections of workers. As well s the efforts made by the worker in this case is setting out of the court or non litigation.

Keyword : Legal Protection Of Workers, Working Time, Violations Of Working Time


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai Negara yang berkembang terus berusaha meningkatkan pembangunan di segala bidang karena pembagunan merupakan usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.Oleh karena itu maka hasil dari pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia dengan adil dan merata.

Pembangunan di bidang ekonomi adalah salah satu pembangunan yang sedang dilakukan Indonesia dan pembangunan di bidang ekonomi ini juga ikut melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaannya seperti misalnya keterlibatan perusahaan dalam negeri maupun perusahaan asing yang beroperasi di dalam negeri.Keterlibatan perusahaan dalam pembangunan juga melibatkan tenaga kerja dimana tenaga kerja juga merupakan asset dari perusahaan.

Tenaga kerja juga merupakan peran yang sangat penting dalam pembangunnan nasional sebagai pelaku dan tujuan dari pembangunan itu sendiri.Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa : “ tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan


(16)

sendiri maupun untuk masyarakat.” Dan pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Ketenagakerjaan juga menjelaskan tentang pekerja yaitu bahwa “ pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.” Dari dua penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa apa yang dimaksud dengan tenaga kerjaadalah seseorang yang bekerja pada orang lain baik itu orang perseorangan,pengusaha,badan hukum maupun badan-badan lainnya yang mempekerjakan seseorang tersebut dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Pada dasarnya manusia bekerja untuk bertanggungjawab bagi kelangsungan dan perkembangan hidupnya, tidak hanya sekedar mencari nafkah melainkan harus pula didasari itikad baik bahwa dengan jasa-jasa yang telah dijualnya itu dapat pula merupakan sumbangan untuk turut melancarkan usaha dan kegiatan dalam

pengembangan masyarakat.1

Undang-Undang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja atau buruh dan

Maka dari itu setiap orang berhak mendapatkan pekerjaan yang layak dengan nilai-nilai kemanusiaan, hal ini tertuang dalam pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi bahwa : “ tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

1

G. Kartasapoetra, R.G. Kartasapoetra, dan A.G Kartasapoetra, 1985, Hukum Perburuhan Di


(17)

3

menjamin kesamaan kesempatan kerja serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apa pun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja atau buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.

Perlindungan terhadap pekerja/buruh merupakan faktor utama dalam kesehatan dn keselamatan kerja. Kesehatan kerja didefinisikan sebagai segala aturan dan upaya yang bertujuan untuk melindungi pekerja/buruh dari tindakan maupun kondisi yang dapat mengganggu kesehatan fisik, psikis, atau kesusilaannya. Pendapat serupa dikemukakan oleh Imam Soepomo, bahwa kesehatan kerja adalah “ aturan-aturan dan usaha-usaha untuk melindungi pekerja/buruh dari kejadian atau keadaan perburuhan yang merugikan atau dapat merugikan kesehatan dan kesusilaan dalam

seseorang itu melakukan pekerjaan dalam hubugan kerja.”2Keselamatan kerja

didefinisikan sebagai segala aturan dan upaya yang bertujuan untuk menyediakan perlindungan teknis bagi pekerja/buruh dari risiko-risiko akibat penggunaan alat dan bahan berbahaya/beracun di tempat kerja. Imam Soepomo berpendapat bahwa keselamatan kerja adalah “ aturan yang bertujuan menjaga keamanan pekerja/buruh atas bahaya kecelakaan dalam menjalankan pekerjaan di tempat kerja yang

menggunakan alat dan mesin atau bahan pengolah berbahaya.”3

Kesehatan dan keselamatan kerja bertujuan untuk melindungi pekerja/buruh dari risiko-risiko yang mungkin timbul dalam pelaksanaan pekerjaan, khusunya risiko

2

Imam Soepomo, 1974, Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan Kerja ( Perlindungan Buruh ), Pradnya Paramita, Jakarta, h.7-8.

3


(18)

kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.4Terdapat beberapa prinsip dalam pengaturan maupun pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja.Secara garis besar,

prinsipnya adalah perlindungan pekerja/buruh.5

a. 7 ( tujuh ) jam 1 ( satu ) hari dan 40 ( empat puluh ) jam 1 ( satu )

minggu untuk 6 ( enam ) hari kerja dalam 1 ( satu ) minggu; atau Ada beberapa ruang lingkup dalam kesehatan kerja salah satunya yang sangat penting adalah mengenai waktu kerja.

Waktu kerja merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam dunia ketenagakerjaan.Hal ini mengingat bahwa pekerja/buruh adalah manusia kodrati dengan segala keterbatasan fisik dan psikis serta disamping perannya sebagai salah satu faktor produksi maka perlu mengatur dan memperhatikan waktu kerja.

Pasal 77 ayat ( 1 ) Undang-undang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. Dan pasal 77 ayat ( 2 ) Undang-Undang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa :

Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :

b. 8 ( delapan ) jam 1 ( satu ) hari dan 40 ( empat puluh ) jam 1 ( satu )

minggu untuk 5 ( lima ) hari kerja dalam 1 ( satu ) minggu.

Pasal 78 ayat ( 1 ) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan meneyebutkan bahwa :

4

L. Meily Kurniawidjaya, 2010, Teori dan Aplikasi Kesehatan Kerja, UI Press, Jakarta, h.1-2. 5

John Bowers dan Simon Honeyball, 2000, Textbook on Labour Law, terjemahan Melania Kiswandari, Jakarata, h.30-33.


(19)

5

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 ayat ( 2 ) harus memenuhi syarat :

a. Ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan

b. Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 ( tiga )

jam dalam 1 ( satu ) hari dan 14 ( empat belas ) jam dalam 1 ( satu ) minggu.

Pasal 78 ayat ( 2 ) Undang-undang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) wajib membayar upah kerja lembur.

Dewasa ini, masih sering terjadi masalah terkait ketenagakerjaan walaupun peraturan yang mengatur ketenagakerjaan sudah ditetapkan.Seperti yang kita ketahui juga bahwa dewasa ini banyak perusahaan-perusahaan yang berdiri dan berkembang dengan baik dan pesat, hal ini tentu saja mempengaruhi pekerja.Seperti salah satu masalah yang sering terjadi adalah pelanggaran jam atau waktu kerja tenaga kerja dan tidak membayarkan upah kerja lembur apabila pekerja bekerja melebihi waktu kerja yang sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan.Pelanggaran masalah tenaga kerja terkait waktu kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan ini sering terjadi di perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang industri dan sedang mendapatkan angin baik dalam usahanya atau perusahaan yang sedang melakukan kejar target dalam usaha produksinya.Perusahaan seperti ini bisanya perusahaan yang bergerak di bidang produksi, seperti salah satunya perusahaan garmen. Perusahaan garmen yang sering mendapatkan pemesanan selalu mendapatkan masalah dalam hal penyelesaian produksi agar sesuai dengan target penyelesaian yang telah menjadi deadlinenya


(20)

dengan klien. Salah satunya seperti di perusahaan industri garmen HapeInterior Design yang ada di daerah Sanur, Denpasar Selatan. Pada perusahaan garmen Hape interior design memiliki pekerja/buruh jarit sebanyak 3 orang yang bertugas melakukan penyelesaian proses penjaritan yang melakukan pekerjaannya selama 9 jam dalam 6 hari kerja, dalam hal ini sudah tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.Disamping itu dengan banyaknya pemesanan dirasa dapat memberatkan pekerja/buruh karena dapat menyebabkan waktu kerja yang berlebihan.

Karena seorang pekerja sering memilki posisi atau kedudukan yang lebih rendah dari perusahaan atau majikannya menyebabkan pekerja sering merasa malu, sungkan, dan takut dalam melakukan upaya-upaya untuk melindungi haknya atau mungkin pekerja/buruh masih tidak mengetahui bahwa ada upaya-upaya yang dapat dilakukan olehnya untuk melindungi hak-hak mereka sebagai pekerja/buruh. Maka dari itu perlu adanya pengawasan ketenagakerjaan yang lebih baik agar hak-hak pekerja bisa lebih diperjuangkan.Apabila pekerja/buruh sudah melakukan upaya-upaya dalam mendapatkan hak-haknya maka dirasa perlu dikaji lebih mendalam, hal ini mengingat bahwa pekerja/buruh tidak mengikuti serikat pekerja dan dapar melakukan penyelesaian secara bipartit.

Berdasarkan uraian di atas, maka timbul keinginan penulis untuk mengkaji tentang perlindungan hukum bagi pekerja yang dilanggar hak-haknya terkait dengan pelanggaran waktu kerja.Maka penulis memberikan judul pada penulisan hukum ini


(21)

7

adalah “ PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA TERKAIT

DENGAN PELANGGARAN WAKTU KERJA PADA GARMEN HAPE INTERIOR DESIGN DI SANUR DENPASAR SELATAN.”

1.2Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memudahkan penulis dalam membatasi masalah yang diteliti sehingga sasaran yang hendak dicapai menjadi jelas, searah dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan.Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja terkait

dengan waktu kerja pada perusahaan garmen Hape Interior Designdi Sanur Denpasar Selatan ?

2. Apakah upaya hukum yang dilakukan oleh pekerja untuk mendapatkan

hak-haknyapada perusahaan garmen Hape Interior Design di Sanur Denpasar Selatan ?

1.3Ruang Lingkup Masalah

Sehubungan dengan masalah yang telah dikemukakan diatas dan agar pembahasan dari penulisan karya ilmiah ini tidak menyimpang jauh dari pokok


(22)

permasalahan yang dikehendaki, perlu ditentukan batasan-batasan dari materi yang akan dibahas. Hal ini dimaksudkan untuk tidak mengaburkan tentang apa yang dibahas serta memudahkan penulis dalam penyampaian isi dari permasalahan yang dibahas.

Dalam hal ini permasalahan yang akan dibahas adalah tentang perlindungan hukum pekerja terkait dengan waktu kerja dan upaya-upaya yang dapat dilakukan pekerja agar dapat melindungi hak-haknya yang dilanggar

1.4Orisinalitas Penelitian

Dalam tulisan ini, penulis menggunakan 3 ( tiga ) skripsi ilmu hukum terdahulu melalui penulusuran di Ruang Koleksi Skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana dimana hal itu dimaksudkan sebagai referensi pada penulisan dan untuk menghindari terjadiya perbuatan plagiasi serta menyatakan bahwa tulisan ini memang hasil dari pemikiran penulis sendiri, adapun skripsi yang penulis maksud adalah :

No Judul Penulis Rumusan Masalah

1 Pemberian Uang

Pesangon Terhadap Pekerja Kontrak Waktu Tertentu Yang Diberhentikan Pada Dinas Perkebunan Provinsi Bali.

I Kadek Yudhi Pramadita.

1. Bagaimanakah

perlindungan hukum bagi pekerja kontrak waktu tertentu yang diberhentikan pada Dinas Perkebunan Provinsi Bali ?

2. Bagaimanakah

pemberian uang pesangon terhadap pekerja kontrak waktu


(23)

9

diberhentikan pada Dinas Perkebunan Provinsi Bali ?

2 Pelaksanaan

Perlindunngan Terhadap

Keselamatan Kerja Bagi Pekerja Pada PT. WARISAN Di BR. Tegaljaya Desa Dalung Kabupaten Badung.

I Ketut Bijaya Negara

1. Bagaimanakah

pelaksanaan syarat-syarat perlindungan kerja terhadap pekerja pada PT. Warisan ?

2. Faktor-faktor apakah

yang menghambat

pelaksanaan

syarat-syarat keselamatan kerja pada PT. Warisan ?

3 Perjanjian Kerja

Bagi Tenaga Kerja Asing Pada PT. Protection One.

I Made Dwi Ary Sulastika

1. Bagaimanakah

pelaksanaan perjanjian kerja bagi tenaga kerja asin pada PT. Protection One ?

2. Bagaimanakah akibat

hukum dari berakhirnya perjanjian kerja bagi tenaga kerja asing pada PT. Protection One ?

Penelitian ini merupakan asli dari pemikiran penulis sendiri, tetapi tidak dipungkiri juga dengan adanya kemiripan atau serupa dengan penelitian skripsi yang telah disebut diatas. Kemiripan yang dimaksud adalah bukan kemiripan yang benar-benar sama, tetapi ada letak perbedaanya juga.

Melihat penulisan skripsi nomor 1, letak kemiripan/serupa ada pada rumusan masalah pertama yang mengacu pada perlindungan hukum bagi pekerja. Hal lain


(24)

yang terlihat serupa juga adalah berupa waktu. Penelitian ini tertuju pada waktu kerja dan penulisan skripsi nomor 1 mengacu pada pekerja waktu tertentu. Letak perbedaan yang lain adalah lokasi penelitian yang dilakukan oleh penulis tidak sama.

Kemiripan pada penulisan skripsi nomor 2 terletak pada perlindungan terhadap pekerja.Perbedaannya terletak pada rumusan masalah dan lokasi penelitian.Penulisan skripsi nomor 3 memiliki kemiripan karena sama-sama mengangkat tema tentang ketenagakerjaan, dan memiliki perbedaan dalam rumusan masalah dan lokasi penelitian.

1.5Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk memberi arah dalam melangkah sesuai dengan maksud dari penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :

1.5.1 Tujuan Umum

1. Untuk mengetahui tentang perlindungan hukum kepada pekerja yang terkait dengan pelanggaran waktu kerja.

2. Untuk mengetahui upaya-upaya hukum apa saja yang dapat dilakukan pekerja untuk mendaptkan hak-haknya yang dilanggar.


(25)

11

1. Untuk memahami lebih dalam tentang perlindungan hukum kepada pekerja

yang terkait dengan pelanggaran waktu kerja.

3. Untuk memahami lebih dalam upaya-upaya hukum apa saja yang dapat

dilakukan pekerja untuk mendapatkan hak-haknya yang dilanggar.

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan dalam ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum ketenagakerjaan.Dan dapat menjadi pedoman untuk lebih memahami tentang perlindungan hukum dan upaya-upaya yang dapat dilakukan terhadap pekerja terkait dengan waktu kerja.

1.6.2 Manfaat Praktis

1. Untuk dapat memberikan masukan bagi pemerintah dalam memecahkan masalah-masalah terkait dengan perlindungan hukum terhadap pekerja yang terkait dengan waktu kerja.

2. Dapat memberikan kontribusi dalam bentuk pedoman-pedomanbagi semua pihak dalam upaya-upaya mendapatkan hak-hak pekerja yang dilanggar terkait dengan waktu kerja.


(26)

3. Dapat menambah pengalaman dan kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian hukum.

1.7 Landasan Teoritis

Dalam pasal 1 ayat( 1 ) Undang-Undang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Ketenagakerjaan adalah hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Berdasarkan pengertian ketenagakerjaan tersebut dapat dirumuskan pengertian hukum ketenagakerjaan adalah semua peraturan hukum yang berkaitan dengan tenaga kerja baik sebelum bekerja, selama atau dalam hubungan kerja, dan sesudah hubungan kerja.Jadi pengertian hukum ketenagakerjaan lebih luas dari hukum perburuhan yang selama ini kita kenal yang ruang lingkupnya hanya berkenaan dengan hubungan hukum antara buruh

dengan majikan dalam hubungan kerja saja.6

Tenaga kerja atau pekerja didefinisikan sebagai orang yang bekerja dan menerima upah. Menurut pasal 1 ayat( 2 ) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang dimaksud dengan tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Dan pengertian pekerja dalam pasal 1 ayat( 3 ) Undang-Undang Keteagakerjaan adalah bahwa pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

6

Lalu Husni, 2014, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, h.35.


(27)

13

Pengertian tenaga kerja dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut menyempurnakan pengertian tenaga kerja dalam Undang-Undang No.14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan Pokok Ketenagakerjaan, yang memberikan pengertian tenaga kerja setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Pengertian tenaga kerja menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut sejalan dengan pengertian tenaga kerja menurut konsep ketenagakerjaan pada umumnya sebagaimana ditulis oleh Payaman J. Simanjuntak bahwa pengertian tenaga kerja atau manpower adalah mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari kerja dan yang melakukan pekerjaan lain seperti sekolah dan mengurus rumah tangga.Dari skema tersebut jelaslah bahwa, tenaga kerja terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.Kelompok yang bukan angkata kerja adalah mereka yang dalam studi, golongan yang mengurus rumah tangga, golongan penerima pendapatan yakni mereka yang tidak melakukan aktivitas ekonomi tapi memperoleh pendapatan, misalnya seperti pensiunan, penerima bunga deposito dan

sejenisnya.7

Perjanjian diatur dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata ( KUHPer ) tentang “ Perikatan “ yang sifatnya terbuka. Kata perikatan memiliki arti yang lebih luas dari perjanjian. Sebab kata perikatan tidak hanya mengandung

7


(28)

pengertian hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari undang-undang.Definisi perikatan menurut Subekti adalah suatu perubungan hukum antara dua orang tau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak

yang lain berhak untuk memenuhi tuntutan itu.8

Hubungan antara perikatan dengan perjanjian dapat dirumuskan, bahwa perjanjian merupakan sumber utama dari suatu perikatan, sehingga perikatan itu ada

bilamana ada perjanjian.9

Perjanjian kerja diatur secara khusus dala Bab VII KUHPerdata tentang persetujuan-persetejuan untuk melakukan pekerjaan.Dalam pasal 1601a KUHPerdata dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian kerja adalah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan, dengan upah selama waktu yang

Dengan demikian antara perjanjian dengan perikatan terdapat hubungan sebab akibat, yaitu perjanjian sebagai sebab yang merupakan peristiwa hukum, sedangkan perikatan sebagai akibat hukumnya.

Perjanjian merupakan suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji maupun kesanggupan, baik secara lisan maupun secara tertulis.Dari hubungan ini timbul suatu perikatan antara dua pihak yang membuatnya.Dengan demikian perjanjian merupakan sumber dari suatu perikatan.

8

Subekti, 1998, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, h. 1. 9


(29)

15

tertentu.Selanjutnya dalam pasal 1 ayat ( 14 ) Undang-Undang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.

Berdasarkan pengertian penjanjian kerja tersebut terdapat unsur-unsur : adanya pekerjaan, adanya unsur dibawah perintah, adanya upah tertentu, adanya waktu.Dalam melakukan hubungan kerja harus dilakukan dengan waktu yang sudah ditentukan dalam perjanjian kerja atau yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 1 ayat( 15 ) Undang-Undang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Menurut Hartono Widodo dan Judiantoro hubungan kerja adalah kegiatan-kegiatan pengerahan tenaga/jasa seseorang secara teratur demi kepentingan orang lain yang memerintahnya ( pengusaha/majikan ) sesuai dengan

perjanjian yang telah disepakati.10

Pengertian waktu kerja pada umumnya adalah waktu yang ditentukan untuk melakukan pekerjaan.Waktu kerja merupakan bagian paling umum yang harus ada pada perusahaan dan waktu kerja umumnya ditentukan oleh pemimpin perusahaan. Menurut Stephen P Robbins waktu kerja merupakan bagian dari empat faktor

10

Hartono Judiantoro, 1992, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Rajawali, Jakarta, h.10.


(30)

organisasi yang merupakan sumber potensial dari stress para karyawan ditempat kerja.11

Konsep tentang perlindungan hukum terhadap pekerja yang dipergunakan adalah perlindungan terhadap hak pekerja dengan menggunakan sarana hukum, atau perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap pekerja tindakan-tindakan pengusaha pada saat sebelum bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja.Perlindungan hukum adalah perlindungan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal yang lainnya.

Perlindungan terhadap tenaga kerja wajib dilaksanakan seperti yang tertera pada Bab X Undang-Undang Ketengakerjaan mengenai perlindungan, pengupahan, dan kesejahteraan tenaga kerja.

12

Perlindungan hukum adalah penyempitan dari perlindungan, dalam hal ini hanyalah perlindugan dari hukum saja.Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interkasinya dengan sesama manusia serta lingkungannya.Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk

11

Stephen P Robbins, 2006, Perilaku Organisasi, PT Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta, h.796.

12

Philipus M. Hadjon I, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, h. 25.


(31)

17

melakukan suatu tindakan hukum.13Menurut Satjipto Rahardjo perlindungan hukum

adalah memberikan pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati

hak-haknya yang telah diberikan oleh hukum.14

Negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindugan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah dilandasi dua prinsip negara hukum, yaitu perlindungan hukum yang preventif dan perlindungan hukum yang represif.Perlindungan hukum yang preventif adalah perlindungan hukum kepada rakyat yang diberikan lewat peraturan perundang-undangan menjadi bentuk yang definitif.Sedangkan perlindungan hukum yang represif adalah perlindungan hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.Kedua bentuk perlindungan hukum tersebut bertumpu dan bersumber pada pengakuan dan perlindungan hak asasi

manusia serta berlandaskan pada prinsip negara hukum.15

Perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar

sesama manusia.16

13

CST Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pusataka, Jakarta, h.102.

14

Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 54. 15

Zahirin Harahap, 2001, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.2.

16

Muchsin, 2003, “ Perlindungan Dan Kepastian Hukum Bagi Investor di Indonesia “, Tesis

Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, h.14.


(32)

subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua.Yang pertama yaitu perlindungan hukum preventif yang berarti bahwa perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran.Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta

memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu

kewajiban.Dan yang kedua adalah perlindungan hukum represif yaitu perlindungn hukum berupa perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukum tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suau

pelanggaran.17

Hubungan industrial pada dasarnya berfungsi dan bertujuan untuk menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, memberikan kesejahteraan dan ketenangan kerja bagi pekerja/buruh, dan ketenangan berusaha bagi para pengusaha sehingga pemerintah memperoleh keuntungan dari hubungan tersebut dengan berputarnya roda perekonomian nasional.Dalam hal ini Perlindungan hukum terjadi akibat adanya pelanggaran hukum yang dilakukan.Yang dimaksud dengan pelanggaran hukum adalah pelanggaran terhadap peraturan-peraturan perundang-undangan negara, karena hukum oleh negara dimuatkan dalam peraturan perundang-undangan.

17


(33)

19

para pihak dalam hubungan industrial memiliki kepentingan yang berbeda-beda sehingga berpotensi menimbulkan adanya perselisihan-perselisihan yang disebut dengan perselisihan hubungan industrial.

Perselisihan dalam hubungan industrial dapat diselesaikan dengan duacara. Yang pertama dengan jalur litigasi, yaitu penyelesaian sengketa yang dilakukan lewat pengadilan. Dan jalur non litigasi, yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau yang sering disebut dengan penyelesaian sengketa alternative atau Alternative

Dispute Resolution ( ADR ).18

Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimaana antara dua orang atau lebih para pihak yang mempunyai hal atau bersengketa saling melakukan kompromi atau tawar menawar terhadap kepentingan penyelesaian suatu hal atau sengketa untuk mencapai kesepakatan.

Penyelesaian sengketa dengan jalur non litigasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu sepertinegosiasi, mediasi, konsiliasi,dan arbitrase.Non litigasi pada umumya dilakukan pada kasus perdata saja karena lebih bersifat privat.

19

18

Susanti Adi Nugroho, 2009, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta, h.1.

Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang kurang lebih hampir sama dengan negosiasi. Bedanya adalah terdapat pihak ketiga yang netral dan berfungsi sebagai penengah atau memfasilitasi mediasi tersebut.Pihak ketiga tersebut disebut dengan mediator.Pihak ketiga tersebut hanya

19

Fitrua Ramadhani, 2015, “Non Litigasi“, URL


(34)

dapat member saran yang sugestif, sedangkan pengambilan keputusan tetap

tergantung oleh setiap pihak yang bersengketa.20

Konsiliasi merupakan upaya penyelesaian sengketa dengan cara melibatkan pihak ketiga yang memiliki kewenangan untuk memaksa para pihak untuk mematuhi

dan menjalankan hal yang diputuskan oleh pihak ketiga tersebut.21 Konsiliasi

merupakan proses yang serupa dengan mediasi, tetapi biasanya diatur oleh undang-undang. Ketika suatu pihak diwajibkan hadir, konsiliator cenderung menekan dan bertanggung jawab atas norma sesuai dengan undang-undang atau badan terkait, dan

langkah hukum akan diambil bila kesepakatan tidak dicapai.22

20

Ibid. 21

Jimmy Joses Sembiring, 2011, Cara Menyelesaikan Sengketa Di Luar Pengadilan, Visi Media, Jakarta, h. 46.

22

Ibid, h. 47.

Pasal 1 ayat( 1 ) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesasian Sengketa yang selanjutnya disebut sebagai UU No. 30 Tahun 1999 menjelaskan arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yng didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.


(35)

21

Teori sistem hukum juga sangat diperlukan disini untuk melihat efektifitas hukum mengingat metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian empiris dengan pendekatan fakta, Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa berhasil atau tidaknya penegakan hukum teragantung dari tiga unsur sistem hukum, yaitu sturuktur hukum yang menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum yang meliputi perangkat perundang-undangan, dan budaya hukum yang merupakan

kekuatan sosial bagaimana hukum itu digunakan oleh masyarakat.23

Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan sesuatu, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala utuk menambah pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.

1.8 Metode Penelitian

24

Maka dari itu seseorang diharapkan mampu untuk menemukan dan menganalisa masalah yang diteliti sehingga dapat mengungkapkan suatu kebenaran, karena metode memberikan pedoman tentang cara bagaimana seorang ilmuwan mempelajari memahami dan menganalisa permasalahan yang dihadapi.

23

Lawrence M. Friedman, 1969, The Legal System: A Sosial Science Perspektive, Russel Soge Foundation, New York, h. 16.

24


(36)

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian secara yuridis empiris.Yang dimaksud dengan penelitian hukum secara yuridis empiris adalah penelitian langsung di lapangan dan mengkaji berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Jenis penelitian yuridis empiris digunakan karena dalam permasalahan mengenai waktu kerja terhadap pekerja terdapat di lapangan, sehingga jenis penelitian yang tepat dilakukan adalah jenis penelitian yuridis empiris.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan yang dilakukan dalam penelitian yang dilakukan secara empiris dalam skripsi ini adalah jenis pendekatan yang mengacu pada pendekatan fakta ( The Fact Approach ).

Pendekatan faktaadalahpendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaji permasalahan yang muncul dengan berlandaskan pada peraturan-peraturan hukum dan teori-teori yang ada, untuk kemudian dihubungkan dengan fakta-fakta yang ada di lapangan. Dengan demikian tidak hanya sebatas mempelajari pasal-pasal perundang-undangan dan pendapat para ahli utuk kemudian diuraikan, tetapi juga


(37)

23

menggunakan bahan-bahan yang sifatnya normatif, dalam rangka mengolah data dan

menganalisis data dari lapangan yang disajikan sebagai pembahasan.25

1.8.4 Data dan Sumber Data 1.8.3 Sifat Penelitian

Sifat Penelitian dalam penelitian ini mengarah pada penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif pada penelitian secara umum, termasuk pula didalamnya penelitian ilmu hukum, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Sifat penelitian deskriptif sering dilakukan apabila ingin mengetahui tentang berfungsinya hukum dalam masyarakat.

Sumber data hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini terdiri dari :

1. Data Hukum Primer

Data hukum primer adalah sumber data yang diperoleh dari tangan pertama, dari sumber asalnya yang pertama, yang belum diolah, dan yang belum diuraikan oleh orang lain.Data yang langsung di dapat dari masyarakat.Data ini didapat dari sumber pertama dari individu atau perseorangan.

2. Data Hukum Sekunder

25

Hilman Hardikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, h.63.


(38)

Data hukum sekunder, yaitu data-data hukum yang mengikat, berupa perundang-undangan.Dalam hal ini penulis menggunakan KUHPerdata dan Undang-Undang Ketengakerjaan.Dan disertai beberapa data hukum berupa literatur yang memuat teori-teori dan pendapat sarjana yang berhubungan dengan penulisan skripsi.Serta penulis juga menggunakan kamus hukum dan ensiklopedia yang menjelaskan mengenai permasalahan hukum yang sedang diteliti, hal ini bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap data hukum primer dan sekunder.

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini dilakukan dengan cara :

1. Teknik pengumpulan data hukumprimer yaitu cara pengumpulan data

yang diperoleh dengan cara melakukan wawancara dengan pihak yang berkompeten.

2. Teknik pengumpulan data hukum sekunder yaitu dengan mengumpulkan

peraturan-perturan yang berhubungan dengan permasalahan dan data-data kepustakaan. Data sekunder ini digunakan untuk memperkokoh dan memperluas hasil-hasil penelitian

1.8.6 Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Penulisan ini menggunakan teknik pengambilan sampel dengan menggunakan


(39)

25

mengenai berapa sampel yang harus diambil agar dapat dianggap mewakili populasinya seperti dalam teknik random sampling.Penulisan ini menggunakan teknik non probability sampling dengan bentuk purposive sampling.Yaitu penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, dimana sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh peneliti, yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya.

1.8.6 Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dan dikumpulkan tersebut, baik yang berupa data primer maupun sekunder yang merupakan hasil dari studi kepustakaan, dan wawancara itu kemudian diolah secara kualitatif.Dalam hal ini, data yang diperoleh tersebut kemudian diklasifikasikan dan dikumpulkan berdasarkan kerangka penulisan sehingga lebih sistematis dan mempermudah penulisan skripsi secara menyeluruh. Selanjutnya data yang telah diklasifikasikan tersebut dianalisa secara deskriptif analisis, yaitu dengan cara menggambarkan secara jelas dan sistematis yang kemudian dapat diperoleh suatu kesimpulan atas permasalahan yang dibahas.


(40)

(41)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERLINDUNGAN HUKUM, DAN PELANGGARAN WAKTU KERJA

2.1 Pekerja Dan Pelanggaran Waktu Kerja

2.1.1 Pengertian Pekerja

Istilah buruh sangat umum terdengar di dalam dunia perburuhan atau ketenagakerjaan, istilah buruh ini sudah digunakan sejak lama bahkan mulai dari zaman penjajahan Belanda dan juga karena peraturan perundang-undangan yang lama juga menggunakan istilah buruh. Pada zaman penjajahan Belanda buruh dibagi menjadi dua klasifikasi, yaitu :

1. Buruh Profesional ( White Collar ), yaitu buruh yang menggunakan tenga

otak dalam melakukan pekerjaan.

2. Buruh Kasar ( Blue Collar ), yaitu buruh yang menggunakan tenaga otot

dalam melakukan pekerjaan.1

Buruh, pekerja, dan karyawan adalah seseorang yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan, baik yang berupa uang maupun bentuk lainnya. Pada dasarnya semua istilah tersebut berarti sama namun dalam kultur di Indonesia istilah buruh lebih diartikan kedalam artian

1


(42)

pekerja kasar dan rendahan sedangkan istilah pekerja atau karyawan lebih baik karena

menggunakan otak dan bukan otot dalam melakukan pekerjaan.2

Menurut pasal 1 angka 3 Undang-Undang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dari pengertian pekerja tersebut jelas bahwa tenaga kerja yang sudah bekerja yang dapat disebut pekerja/buruh.Istilah buruh/pekerja yang sekarang disandingkan muncul karena dalam Undang-Undang yang lahir sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Buruh/Pekerja menyandingkan kedua istilah tersebut.Munculnya istilah buruh/pekerja yang disejajarkan disebabkan selama ini pemerintah menghendaki agar istilah buruh diganti dengan istilah pekerja karena istilah buruh selain berkonotasi pekerja kasar juga menggambarkan kelompok yang selalu berlawanan dengan pihak majikan.Karena itulah pada era Orde Baru istilah serikat buruh diganti dengan istilah serikat pekerja, serikat pekerja pada saat itu sangat sentralistik sehingga mengekang kebebasan buruh untuk membentuk organisasi/serikat serta tidak respons terhadap aspirasi buruh. Pada saat Rancangan Undang-Undang serikat buruh/pekerja diabahas terjadi perdebatan yang panjang mengenai kedua istilah ini, dari pemerintah menghendaki istilah pekerja sementara dari kalangan buruh/pekerja menghendaki istilah buruh, hal ini karena trauma pada masa lalu dengan istilah pekerja yang

2

Herdiansyah Hamzah, 2014, “ Seri Hukum Perburuhan : Antara Buruh, Pekerja, Dan

Karyawan “, Serial Online 23 Januari, URL :


(43)

melekat pada istilah serikat pekerja yang pada saat itu pekerja dikendalikan untuk kepentingan pemerintah. Maka digunakan jalan tengah untuk mensejajarkan kedua

istilah tersebut.3

Menurut Payaman Simanjuntak, pekerja/buruh adalah penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan, dan yang melaksanakan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus kegiatan rumah tangga atau yang lainnya. Dalam hal ini pekerja/buruh yaitu individu yang sedang mencari atau sudah melakukan pekerjaan yang menghasilkan barang atau jasa yang sudah memenuhi persyaratan ataupun batasan usia yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan yang bertujuan untuk memperoleh hasil atau upah untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan hanya menggunakan istilah pekerja saja, namun agar selaras dengan undang-undang yang lahir sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Buruh Dan Pekerja yang menggunakan istilah serikat buruh/pekerja, maka kedua istilah tersebut disesuaikan.

4

Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan pasal 1 angka 3 memberikan pengertian pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian ini agak umum namun maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum dengan menerima upah atau imbalan dalam

3

Lalu Husni, 2014, op.cit, h.31-32 4

Payaman J. Simanjuntak, 1985, Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, h.3.


(44)

bentuk lain. Penegasan imbalan dalam bentuk lain ini perlu karena upah selama ini diidentikkan dengan uang, padahal ada pula buruh/pekerja yang menerima imbalan dalam bentuk barang.

Untuk kepentingan santunan jaminan kecelakaan kerja dalam perlindungan Jaminan Sosial Tenaga Kerja ( Jamsostek ) berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992, pengertian pekerja diperluas yakni termasuk magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah maupun tidak, mereka yang memborong pekerjaan kecuali yang memborong adalah perusahaan, dan narapidana

yang dipekerjakan di perusahaan.5

2.1.2 Pengertian Waktu Kerja

Dalam perjanjian kerja terdapat unsur-unsur, salah satu unsur dalam perjanjian kerja tersebut adalah waktu kerja.Unsur waktu dalam hal ini adalah adanya suatu waktu untuk melakukan pekerjaan dimaksud atau lamanya pekerja melakukan pekerjaan yang diberikan oleh pemberi kerja.Waktu kerja merupakan waktu yang ditentukan untuk melakukan pekerjaan.Buruh/Pekerja adalah manusia biasa yang memerlukan waktu istirahat, karena itu untuk menjaga kesehatan fisiknya harus

dibatasi waktu kerjanya dan diberikan hak istirahat.6

Dalam bidang kesehatan kerja salah satu hal utama yang penting untuk dibahas adalah mengenai waktu kerja dan waktu istirahat. Hal tersebut didasarkan

5

Lalu Husni, op.cit , h.46-47. 6


(45)

pada tujuan awal yang melatarbelakangi gerakan perlidungan bagi pekerja/buruh pada masa revolusi industri terhadap praktik-praktik eksploitasi berupa jam kerja berkepanjangan. Filosofinya adalah bahwa pekerja/buruh karena statusnya merupakan salah satu faktor produksi, namun demikian pekerja/buruh adalah manusia kodrati dengan segala keterbatasan fisik, psikis, dan harkat martabatnya.Untuk itu,

maka diapandang perlu mengatur waktu kerja dan waktu istirahat bagi mereka.7

1. 7 ( tujuh ) jam 1 ( satu ) hari dan 40 ( empat puluh ) jam 1 ( satu ) minggu

untuk 6 ( enam ) hari kerja dalam 1 ( satu ) minggu.

Pada prinsipnya pekerja/buruh dapat dipekerjakan, namun terdapat pembatasan berupa pengaturan mengenai waktu/jam kerja karena alasan filosofis tersebut. Dalam Undang-Undang Ketenenagakerjaan, pengaturan mengenai waktu kerja terdapat dalam pasal 77 ayat 2 bahwa waktu kerja dilaksanakan dalam dua ketentuan :

2. 8 ( delapan ) jam 1 ( satu ) hari dan 40 ( empat puluh ) jam 1 ( satu )

minggu untuk 5 ( lima ) hari kerja dalam 1 ( satu ) minggu.

Tetapi di sisi lain terdapat pengaturan yang berbeda bagi sektor usaha dan jenis pekerjaan tertentu. Atas pengaturan waktu kerja yang bersifat umum tersebut, masih dimungkinkan adanya pengecualian, berupa kerja pekerja/buruh yang melebihi batas waktu kerja yang diperbolehkan, guna mengakomodir kepentingan dunia usaha apabila ada pekerjaan bertumpuk yang harus diselesaikan. Adapun syarat-syarat yang

7


(46)

harus dipenuhi dalam melakukan kerja lembur, yaitu pelaksanaannya hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam per hari atau 14 (empat belas) jam per minggu, dan membayar upah kerja lembur yang menjadi hak pekerja/buruh tersebut.

2.1.3 Pelanggaran Waktu Kerja

Pengertian pelanggaran waktu kerja adalah bahwa perusahaan/majikan yang mepekerjakan pekerja/buruhnya lebih dari waktu kerja yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan dalam pasal 77 ayat 2, dan apabila juga syarat-syarat lembur yang tidak terpenuhi, serta tidak membayarkan upah lembur yang menjadi hak dari pekerja/buruh tersebut, sesuai dengan yang tertera pada pasal 78 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Apabila hal ini dilakukan pada pekerja/buruh yang bergerak pada bidang usaha yang tidak diatur khusus oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan maka perusahaan/majikan tersebut dapat dikatakan melakukan pelanggaran hukum terhadap pekerja/buruh tersebut.

2.2 Perlindungan Hukum

2.2.1 Pengertian Dan Prinsip Perlindungan Hukum

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia perlindungan berasal dari kata lindung, dimana kata lindung ini memiliki arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan juga membentengi.Dan juga bisa diartikan sebagai menjaga


(47)

merawat dan mencegah.8

Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah “zoon politicon”, yang artinya manusia adalah makhluk sosial atau makhluk yang bermasyarakat, hal itu disebabkan oleh karena tiap anggota masyarakat yang satu memiliki hubungan dengan yang lainnya.Sebagai makhluk sosial maka sadar atau tidak sadar manusia selalu melakukan perbuatan hukum dan hubungan hukum.

Pengertian perlindungan dalam ilmu hukum adalah merupakan suatu bentuk tindakan pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman baik secara fisik maupun secara mental terhadap masyarakat.

9

Setiap hubungan hukum akan menimbulkan hak dan kewajiban dari setiap kepentingannya, maka dari itu tampil hukum untuk mengatur dan melidungi kepentingan-kepentingan tersebut yang disebut dengan perlindungan hukum. Perlindungan hukum merupakan suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.Dapat dikatakan bahwa Perbuaan hukum merupakan setiap perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja atas kehendaknya untuk menimbulkan hak dan kewajiban yang akibatnya diatur oleh hukum.Dari perbuatan hukum tersebut timbul adanya hubungan hukum yang merupakan hubungan antara dua atau lebih subyek hukum.

8

Ebta Setiawan, 2015, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Versi 1.4 Januari 2015, URL :http://www.kbbi.web.id/lindung. Diakses tanggal 6 Agustus 2015

9


(48)

perlindungan hukum merupakan gambaran dari fungsi hukum itu sendiri, dimana konsep hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan,

dan kedamaian.10

Pancasila sebagai ideologi dan landasan falsafah negara merupakan landasan dalam prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia.Sedangkan konsep perlindungan hukum di negara barat bersumber pada konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang tertuang dalam konsep rechtsstaat dan

rule of law.11

Dengan berlandaskan pada Pancasila dan dengan menggunakan konsepsi barat sebagai kerangka berpikir, maka prinsip-prinsip dasar dalam perlindungan hukum adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip negara hukum yang bersumber pada Pancasila.Pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dikaitkan bersumber kepada Pancasila, karena pengakuan dan perlindungan terhadapnya secara intensik melekat pada Pancasila dan seyogyanya memberi warna

serta corak negara hukum yang berlandaskan Pancasila.12

10

Uti Ilmu Royen, 2009, “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Outsourcing (Studi Kasus Di Kabupaten Ketapang)”, Tesis Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, h.53.

11

Philipus M. Hadjon II, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia “ Sebuah Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkup Peradilan Umum Dan

Pembentukan Peradilan Administrasi”, M2 Print, Jakarta, h.1.

12


(49)

2.2.2 Perlindungan Hukum Bagi Pekerja

Menyadari akan pentingnya pekerja bagi perusahaan, pemerintah, dan masyarakat, maka perlu dilakukan pemikiran agar pekerja dapat menjaga keselamatannya dalam menjalankan pekerjaan. Demikian pula perlu diusahakan ketenangan dan kesehatan pekerja agar apa yang dihadapinya dalam pekerjaan dapat diperhatikan semaksimal mungkin, sehingga kewaspadaan dalam menjalankan pekerjaan itu tetap terjamin. Pemikiran-pemikiran itu merupakan program perlindungan pekerja, yang dalam praktik sehari-hari berguna untuk dapat mempertahankan produktivitas dan kestabilan perusahaan.

Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan menejelaskan bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.

Perlindungan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hak pekerja yang berkaitan dengan norma kerja yang meliputi waktu kerja, istirahat, dan cuti. Perlindungan ini sebagai wujud pengakuan terhadap hak-hak pekerja sebagai manusia yang harus diperlakukan secara manusiawi dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan fisiknya, sehingga harus diberikan waktu yang cukup untuk beristirahat. Dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan sebelumnya yakni


(50)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1984 dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Kerja yang saat ini sudah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan, maka pembahasan mengenai perlindungan norma kerja ini meliputi pekerja anak, pekerja perempuan, waktu kerja dan istirahat.

Perlindungan pekerja dapat dilakukan, baik dengan jalan memberikan tuntutan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia, perlindungan fisik, dan teknis serta sosial dan ekonomi melalui norma yang berlaku dalam lingkungan kerja itu. Dengan demikian maka perlindungan pekerja ini mencakup :

1. Norma Keselamatan Kerja yang meliputi keselematan kerja yang bertalian

dengan mesin, pesawat, alat-alat kerja bahan dan proses pengerjaannya, keadaan tempat kerja dan lingkungan serta cara-cara dalam melakukan pekerjaan.

2. Norma Kesehatan Kerja dan Higiene Kesehatan Perusahaan yang meliputi

pemeliharaan, dan mempertinggi derajat kesehatan pekerja, dilakukan dengan mengatur pemberian obat-obatan, perawatan tenaga kerja yang sakit. Mengatur persediaan tempat, cara dan syarat kerja yang memenuhi heigiene kesehatan perusahaan dan kesehatan pekerja untuk mencegah penyakit, baik sebagai akibat bekerja atau penyakit umum serta menetapkan syarat kesehatan bagi perumahan pekerja.


(51)

3. Norma kerja yang meliputi perlindungan terhadap tenaga kerja yang bertalian dengan waktu bekerja, sistem pengupahan, istirahat, cuti, kerja wanita, kerja anak, kesusilan ibadah menurut agama keyakinan masing-masing yang diakui oleh pemerintah, kewajiban sosial kemasyarakatan dan sebagainya guna memelihara kegairahan dan moril kerja yang menjamin daya guna kerja yang tinggi serta menjaga perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral.

4. Kepada Tenaga Kerja yang mendapat kecelakaan dan/atau menderita

penyakit kuman akibat pekerjaan, berhak atas, ganti rugi perawatan dan rehabilitasi akibat kecelakaan dan atau penyakit akibat pekerjaan, ahli

warisnya berhak mendapat ganti kerugian.13

Berkaitan dengan hal tersebut, Imam Soepomo membagi perlindungan pekerja ini menjadi tiga macam yaitu :

1. Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan

dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk dalam hal pekerja tersebut tidak mampu bekerja karena sesuatu di luar kehendaknya. Perlindungan ini disebut dengan jaminan sosial.

13

G Kartasapoetra dan Rience Indraningsih, 1982, Pokok-Pokok Hukum Perburuhan, Armico Bandung, Bandung, h. 43-44.


(52)

2. Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemsyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan memperkembangkan prikehidupannya sebagai manusia pada umumnya, dan sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga, atau yang biasa disebut dengan kesehatan kerja.

3. Perlindungan Teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan

dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh pesawat-pesawat atau alat kerja lainnya atau oleh bahan yang diolah atau dikerjakan perusahaan. Perlindungan ini disebut

dengan keselamatan kerja.14

Perlindungan pekerja/buruh merupakan faktor utama dalam kesehatan dan keselamatan kerja.Pendekatan tersebut bermula dari meningkatnya dampak buruk perkembangan doktrin Laissez Faire di Eropa pada abad pertengahan.Doktrin tersebut mengusung filosofi liberalisasi ekonomi, khususnya di sector industri.Secara garis besar, intervensi pemerintah dalam hubungan ekonomi/industrial tidak diperkenankan. Berkembang pula aksi pengabaian terhadap berbagai peraturan ( perundang-undangan ) yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Kebebasan untuk berusaha dan bekerja guna mencapai keuntungan yang semaksimal mungkin hanya

dapat dibatasi oleh individu lain melalui mekanisme kompetisi bebas.15

14

Zainal Asikin et.al, 2012, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta, h.97. 15

Neil Gilbert, 2002, Transformation of the Welfare State: The Silent Surrender of Public


(53)

Penyusunan dan penertiban undang-undang pertama bidang kesehatan kerja ( arbeidsbeschermingswetten ) bermula di Inggris pada tahun 1802 melalui The Health and Morals of Apprentices Act yang ditujukan bagi para pekerja/buruh anak magang yang dipekerjakan di pabrik dengan jam kerja yang berkepanjangan. Selanjutnya, perkembangan serupa terjadi di Jerman dan Prancis sekitar tahun 1840 serta Belanda setelah tahun 1870. Perlindungan yang diatur adalah perlindungan terhadap kesehatan kerja ( gezondheid/health ) dan keselamatan atau keamanan kerja ( veiligheid/safety ) dalam menjalankan pekerjaan. Kedua hal tersebut dikembangkan sebagai suatu bidang tersendiri dalam hukum perburuhan, yang menonjolkan intervensi negara dalam bentuk hukum ( peraturan perundang-undangan ). Pada mulanya, peraturan yang disusun hanya berupa pembatasan jam kerja bagi pekerja/buruh anak, kemudian pekerja/buruh remaja dan selanjutnya pekerja/buruh wanita. Dalam perkembangannya, mencakup pula perlindungan bagi pekerja/buruh ( arbeidsbescherming ) pada umumnya terhadap jam kerja yang terlalu panjang serta keadaan perburuhan dan kondisi kerja yang tidak aman. Undang-Undang perlindungan pekerja/buruh pertama, menandai berawalnya hukum perburuhan

dengan memuat aturan-aturan yang disebut sebagai arbeidsbeschermingsrecht.16

Menurut M.G. Rood sebagaimana yang telah dikutip oleh Prof. Dr Aloysius Uwiyono berpendapat bahwa undang-undang mengenai perlindungan pekerja/buruh merupakan contoh hukum sosial yang ciri utamanya secara umum didasarkan pada

16


(54)

teori ketidakseimabangan kompensasi.Teori tersebut bertitik tolak pada pemikiran bahwa antara pemberi kerja dengan penerima kerja secara sosial ekonomi tidak sama kedudukannya. Pihak penerima kerja umumnya sangat tergantung pada pemberi kerja, baik dari aspek ekonomi, sosiologis maupun psikologis.Maka hukum yang mengatur mengenai hubungan hukum antar keduanya bertujuan untuk memberikan kompensasi atas ketidakseimbangan yang terjadi dalam bentuk pembatasan-pembatasan. Hukum perlu memberikan hak yang lebih banyak kepada pihak yang lemah ( penerima kerja ) daripada pihak yang kuat ( pemberi kerja ). Hukum bertindak tidak sama bagi para pihak oleh karena latar belakang tersebut. Teori ketidakseimbangan kompensasi yang dianut hukum dapat ditemukan dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan. Jadi, untuk mengimbangi ketidakseimbangan kedudukan maka diperlukan tindakan dari pihak penguasa ( pembentuk undang-undang ) melalui pengaturan hak dan kewajiban masing-masing pihak agar terjadi suatu keseimbangan yang sesuai. Hal tersebut dipandang sebagai solusi yang tepat guna terpenuhinya prinsip keadilan sosial daripada membiarkan

ketidakseimbangan tersebut berlangsung terus.17

17


(1)

2.2.2 Perlindungan Hukum Bagi Pekerja

Menyadari akan pentingnya pekerja bagi perusahaan, pemerintah, dan masyarakat, maka perlu dilakukan pemikiran agar pekerja dapat menjaga keselamatannya dalam menjalankan pekerjaan. Demikian pula perlu diusahakan ketenangan dan kesehatan pekerja agar apa yang dihadapinya dalam pekerjaan dapat diperhatikan semaksimal mungkin, sehingga kewaspadaan dalam menjalankan pekerjaan itu tetap terjamin. Pemikiran-pemikiran itu merupakan program perlindungan pekerja, yang dalam praktik sehari-hari berguna untuk dapat mempertahankan produktivitas dan kestabilan perusahaan.

Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan menejelaskan bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.

Perlindungan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hak pekerja yang berkaitan dengan norma kerja yang meliputi waktu kerja, istirahat, dan cuti. Perlindungan ini sebagai wujud pengakuan terhadap hak-hak pekerja sebagai manusia yang harus diperlakukan secara manusiawi dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan fisiknya, sehingga harus diberikan waktu yang cukup untuk beristirahat. Dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan sebelumnya yakni


(2)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1984 dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Kerja yang saat ini sudah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan, maka pembahasan mengenai perlindungan norma kerja ini meliputi pekerja anak, pekerja perempuan, waktu kerja dan istirahat.

Perlindungan pekerja dapat dilakukan, baik dengan jalan memberikan tuntutan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia, perlindungan fisik, dan teknis serta sosial dan ekonomi melalui norma yang berlaku dalam lingkungan kerja itu. Dengan demikian maka perlindungan pekerja ini mencakup :

1. Norma Keselamatan Kerja yang meliputi keselematan kerja yang bertalian

dengan mesin, pesawat, alat-alat kerja bahan dan proses pengerjaannya, keadaan tempat kerja dan lingkungan serta cara-cara dalam melakukan pekerjaan.

2. Norma Kesehatan Kerja dan Higiene Kesehatan Perusahaan yang meliputi

pemeliharaan, dan mempertinggi derajat kesehatan pekerja, dilakukan dengan mengatur pemberian obat-obatan, perawatan tenaga kerja yang sakit. Mengatur persediaan tempat, cara dan syarat kerja yang memenuhi heigiene kesehatan perusahaan dan kesehatan pekerja untuk mencegah penyakit, baik sebagai akibat bekerja atau penyakit umum serta menetapkan syarat kesehatan bagi perumahan pekerja.


(3)

3. Norma kerja yang meliputi perlindungan terhadap tenaga kerja yang bertalian dengan waktu bekerja, sistem pengupahan, istirahat, cuti, kerja wanita, kerja anak, kesusilan ibadah menurut agama keyakinan masing-masing yang diakui oleh pemerintah, kewajiban sosial kemasyarakatan dan sebagainya guna memelihara kegairahan dan moril kerja yang menjamin daya guna kerja yang tinggi serta menjaga perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral.

4. Kepada Tenaga Kerja yang mendapat kecelakaan dan/atau menderita

penyakit kuman akibat pekerjaan, berhak atas, ganti rugi perawatan dan rehabilitasi akibat kecelakaan dan atau penyakit akibat pekerjaan, ahli

warisnya berhak mendapat ganti kerugian.13

Berkaitan dengan hal tersebut, Imam Soepomo membagi perlindungan pekerja ini menjadi tiga macam yaitu :

1. Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan

dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk dalam hal pekerja tersebut tidak mampu bekerja karena sesuatu di luar kehendaknya. Perlindungan ini disebut dengan jaminan sosial.

13

G Kartasapoetra dan Rience Indraningsih, 1982, Pokok-Pokok Hukum Perburuhan, Armico Bandung, Bandung, h. 43-44.


(4)

2. Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemsyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan memperkembangkan prikehidupannya sebagai manusia pada umumnya, dan sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga, atau yang biasa disebut dengan kesehatan kerja.

3. Perlindungan Teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan

dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh pesawat-pesawat atau alat kerja lainnya atau oleh bahan yang diolah atau dikerjakan perusahaan. Perlindungan ini disebut

dengan keselamatan kerja.14

Perlindungan pekerja/buruh merupakan faktor utama dalam kesehatan dan keselamatan kerja.Pendekatan tersebut bermula dari meningkatnya dampak buruk

perkembangan doktrin Laissez Faire di Eropa pada abad pertengahan.Doktrin

tersebut mengusung filosofi liberalisasi ekonomi, khususnya di sector industri.Secara garis besar, intervensi pemerintah dalam hubungan ekonomi/industrial tidak diperkenankan. Berkembang pula aksi pengabaian terhadap berbagai peraturan ( perundang-undangan ) yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Kebebasan untuk berusaha dan bekerja guna mencapai keuntungan yang semaksimal mungkin hanya

dapat dibatasi oleh individu lain melalui mekanisme kompetisi bebas.15

14

Zainal Asikin et.al, 2012, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta, h.97. 15

Neil Gilbert, 2002, Transformation of the Welfare State: The Silent Surrender of Public Responsibility, terjemahan Melania Kiswandari, Jakarata, h. 61-67.


(5)

Penyusunan dan penertiban undang-undang pertama bidang kesehatan kerja ( arbeidsbeschermingswetten ) bermula di Inggris pada tahun 1802 melalui The Health and Morals of Apprentices Act yang ditujukan bagi para pekerja/buruh anak magang yang dipekerjakan di pabrik dengan jam kerja yang berkepanjangan. Selanjutnya, perkembangan serupa terjadi di Jerman dan Prancis sekitar tahun 1840 serta Belanda setelah tahun 1870. Perlindungan yang diatur adalah perlindungan terhadap kesehatan

kerja ( gezondheid/health ) dan keselamatan atau keamanan kerja ( veiligheid/safety )

dalam menjalankan pekerjaan. Kedua hal tersebut dikembangkan sebagai suatu bidang tersendiri dalam hukum perburuhan, yang menonjolkan intervensi negara dalam bentuk hukum ( peraturan perundang-undangan ). Pada mulanya, peraturan yang disusun hanya berupa pembatasan jam kerja bagi pekerja/buruh anak, kemudian pekerja/buruh remaja dan selanjutnya pekerja/buruh wanita. Dalam perkembangannya, mencakup pula perlindungan bagi pekerja/buruh ( arbeidsbescherming ) pada umumnya terhadap jam kerja yang terlalu panjang serta keadaan perburuhan dan kondisi kerja yang tidak aman. Undang-Undang perlindungan pekerja/buruh pertama, menandai berawalnya hukum perburuhan

dengan memuat aturan-aturan yang disebut sebagai arbeidsbeschermingsrecht.16

Menurut M.G. Rood sebagaimana yang telah dikutip oleh Prof. Dr Aloysius Uwiyono berpendapat bahwa undang-undang mengenai perlindungan pekerja/buruh merupakan contoh hukum sosial yang ciri utamanya secara umum didasarkan pada

16


(6)

teori ketidakseimabangan kompensasi.Teori tersebut bertitik tolak pada pemikiran bahwa antara pemberi kerja dengan penerima kerja secara sosial ekonomi tidak sama kedudukannya. Pihak penerima kerja umumnya sangat tergantung pada pemberi kerja, baik dari aspek ekonomi, sosiologis maupun psikologis.Maka hukum yang mengatur mengenai hubungan hukum antar keduanya bertujuan untuk memberikan kompensasi atas ketidakseimbangan yang terjadi dalam bentuk pembatasan-pembatasan. Hukum perlu memberikan hak yang lebih banyak kepada pihak yang lemah ( penerima kerja ) daripada pihak yang kuat ( pemberi kerja ). Hukum bertindak tidak sama bagi para pihak oleh karena latar belakang tersebut. Teori ketidakseimbangan kompensasi yang dianut hukum dapat ditemukan dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan. Jadi, untuk mengimbangi ketidakseimbangan kedudukan maka diperlukan tindakan dari pihak penguasa ( pembentuk undang-undang ) melalui pengaturan hak dan kewajiban masing-masing pihak agar terjadi suatu keseimbangan yang sesuai. Hal tersebut dipandang sebagai solusi yang tepat guna terpenuhinya prinsip keadilan sosial daripada membiarkan

ketidakseimbangan tersebut berlangsung terus.17

17