DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK DI DAERAH PARIWISATA DAN NON PARIWISATA.

(1)

DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK DI

DAERAH PARIWISATA DAN NON

PARIWISATA

Oleh :

IR. NI WAYAN PUTU ARTINI, MP.

NIP : 195912311986012002

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS

PERTANIAN UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

OKTOBER 2015


(2)

DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK DAERAH PARIWISATA DAN NON PARIWISATA DI KABUPATEN BADUNG

RINGKASAN

Berbagai program yang dijalankan pemerintah pada hakekatnvamempunyai tujuan utama yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Walaupun berbagai upaya dan kebijakan telah dilakukan pemerintah namun kesejahteraan masyarakat belum merata. Hal ini dapat dilihat dan realitas yang ada, di mana masih ada daerah yang kondisi sosialnya masih tertinggal dibandingkan dengan daerah lain atau dengan kata [am masih ada gap keadaan sosial ekonomi masyarakat baik antar lapisan masyarakat (vertical inequity] maupun antar daerah (spatial inequity). Permasalahan ini menjadi agenda serius dalam pembangunan, sementara pemerintah selalu berusaha memperbaiki kondisi sosial ekonomi daerah-daerah yang masih tertinggal.

Kabupaten Badung yang dibagi menjadi tiga wilayah yaitu Badung Utara (merupakan daerah pertanian) yang dalam penelitian mi dikategorikan daerah non pariwisata, Badung Selatan merupakan daerah pariwisata) dan Badung Tengah yang merupakan transisi antara daerah pariwisata dan non pariwisata. Penelitian ini dilakukan di daerah pariwisata dan non pariwisata.

Adapun tujuan dan penelitian mi adalah untuk mengetahui karakteristik. mengetahui besarnya pendapatan, serta distribusi pendapatan penduduk di daerah


(3)

pariwisata dan non pariwisata Besarnya sampel yang diambil sebanyak KKJ kepala keluarga (50 orang di daerah pariwisata dan 50 orang di daerah non pariwisata).

Dalam penelitian ini yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan memakai daftar pertanyaan (kuesioner), wawancara mendalam, dan observasi; sedang data sekunder diperoleh dan instansi-instansi terkait dan hasil-hasil penelitian sebelumnya. Data dianalisis secara deskriptif yaitu mendiskripsikan, memberikan penafsiran-penafsiran yang memadai terhadap fakta yang diperoleh dengan interpretasi yang rasional terhadap fakta-fakta di lapangan dan analisis Gini Ratio untuk menentukan distribusi pendapatan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di daerah non pariwisata luas pemilikan dan luas garapan pen duduk lebih luas dibandingkan dengan di daerah pariwisata. Rata-rata pemilikan dan penguasaan tanah di daerah non pariwisata 33,39 arc dan 50,87 arc sementara di daerah pariwisata pemilikan dan penguasaannya masing-masing 24,38 are dan 48.61 are. Pendapatan penduduk di daerah non pariwisata dan daerah pariwisata masing-masing Rp 3.871.801,38 dan Rp 5.472.329,47 per kapita per tahun. Distribusi pendapatan per kapita per tahun penduduk di daerah non pariwisata dan di daerah pariwisata tergolong dalam ketimpangan sedang dengan Indek Gini masing-masing 0,62 dan 0.65


(4)

Discription analyses shows three results:

1. Land owner and land holder in non tourism area were 33.39 acre and 50.87 acre while in tourism area were 24.38 acre and 48.61 acre respectively 2. Annual income per capita at non tourism and tourism region were

3.871.801,38 rupiahs and 5.472.327,47 rupiahs

3. The population income at this two type region were medium in equally distributed. The Gini Ratio were 0.62 and 0.65 respectively.


(5)

PRAKATA

Puji syukur yang sedalam-dalamnya penulis panjatkan ke hadirat Ida Sang Hyang WidiWasa/TuhanYangMaha Esaatasanugrah-Nya sehinggapenelitianinidapat diselesaikan dengan baik.Penelitian ini dilaksanakan di daerah pariwisata dan non pariwisata di Kabupaten Badung, Propinsi Bali.

Pada kesempatan mi penulis mengucapkan terima kasih kepada masyarakat di daerah pariwisata dan non pariwisata yang telah membantu peneliti dalammemberikan informasi ataupun data yang diperlukan, sena terima kasih juga kami sampaikan pada semua pihak yang telah membantu peneliti baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa apa yang disajikan dalam penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu tegur sapa dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca akan penulis terima dengan kerendahan hati. Akhirnya penulis mengharapkan semoga apa yang disajikan dalam tulisan ini ada manfaatnya.

Denpasar, Oktober 2015


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL PENELITIAN ... i

RINGKASAN ... ii

PRAKATA ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 10

3.1. Tujuan Penelitian ... 10

3.2. Sasaran dan Manfaat Penelitian ... 10

IV. METODE PENELITIAN ... 12

4.1. Lokasi Penelitian ... 12

4.2. Pengambilan Sampel ... 12

4.3. Metode Pengumpulan Data ... 12

4.4. Analisis Data ... 14

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

5.1. Kondisi Fisik ... 16

5.2. Penduduk dan Mata Pencaharian ... 20

5.3. Potensi Pertanian ... 25

5.4. Sosial Ekonomi ... 28

5.5. Karakteristik Responden ... 31

5.5.1. Umur ... 31

5.5.2. Pendidikan ... 32

5.5.3. Penguasaan Lahan ... 32

5.6. Pendapatan ... 34

5.7. Distribusi Pendapatan ... 36

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

6.1. Kesimpulan ... 39

6.2. Saran ... 40


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 1. Sumber dan besar investasi di Kabupaten Badung selama lima tahun ... 3

Tabel 2. Luas wilayah dan tata guna tanah di Kabupaten Badung ... 17

Tabel 3. Realisasi dan keadaan normal curah hujan di Kabupaten Badung ... 19

Tabel 4. Jumlah penduduk Kabupaten Badung dirinci per kecamatan ... 20

Tabel 5. Perkembangan Penduduk di Kabupaten Badung selama delapan tahun terakhir... 21

Tabel 6. Komposisi Penduduk di Kabupaten Badung ... 22

Tabel 7. Distribusi penduduk Kabupaten Badung berdasarkan lapangan Pekerjaan . 23 Tabel 8. Kontribusi berbagai lapangan usaha terhadap PDRB Kabupaten Badung tahun 2001 ... 24

Tabel 9. Luas areal, produksi dan produktivitas tanaman pangan dan tanaman perkebunan di Kabupaten Badung ... 25

Tabel 10. Populasi Ternak di Kabupaten Badung ... 26

Tabel 11. Luas pemeliharaan, produksi dan nilai perikanan di Kabupaten Badung tahun 1998 s.d 2002 ... 27

Tabel 12. Jumlah Sekolah, Murid dan Guru di Kabupaten Badung ... 28

Tabel 13. Sarana/prasarana Kesehatan di Kabupaten Badung ... 29

Tabel 14. Komposisi Penduduk Kabupaten Badung Dirinci Menurut Agama yang Dianut ... 30


(8)

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Secara implisit program kebijakan pemerintah dewasa ini adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat (dan atau mengurangi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan) dan melaksanakan delapan jalur pemerataan yaitu pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok, pemerataan pembagian pendapatan, pemerataan pembangunan, pemerataan memperoleh pendidikan, pelayanan kesehatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, dan pemerataan dalam memperoleh keadilan. Walaupun berbagai upaya dan kebijakan telah dilaksanakan oleh pemerintah, namun tingkat kesejahteraan masih belum merata. Hal ini dapat dilihat dari realitas yang ada, di mana masih ada daerah yang kondisinya sosialnya masih tertinggal dibanding dengan daerah lainnya dengan kata lain belum meratanya kesejahteraan masyarakat. Permasalahan ini menjadi agenda serius dalam perkembangan dan pemerintah selalu berusaha memperbaiki kondisi sosial ekonomi daerah-daerah yang masih tertinggal.

Pendapatan merupakan salah satu indikator untuk mengukur kesejahteraan seseorang atau masyarakat, sehingga pendapatan itu mencerminkan kemajuan ekonomi suatu masyarakat. Kemajuan itu dapat dilihat dari tiga aspek yaitu tingkat pendapatan, pertumbuhan atau perkembangan pendapatan, dan distribusi vertikal maupun horizontal. Ketiga aspek pendapatan tersebut di atas adalah perekonomian yang kegiatannya diatur dan dilaksanakan seeara berencana


(9)

hendaknya berjalan secara seimbang agar tercapai stabilitas ekonomi yang mantapdan dinamis.

Bali tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pariwisata mempunyai peranan besar sebagai lokomotif pembangunan ekonomi dan sekaligus sebagai generator dalamperubahan sosial budaya. Keadaan ini menyebabkan angka pertumbuhan FDRB Bali selalu di atas rata-rata nasional. Dalam pembangunan pariwisata Bali, ada beberapa masalah mendasar seperti ketidakmerataan manfaat ekonomi baik antar lapisan masyarakat (vertical inequity) maupun ketimpangan antar daerah (.spatial inequity), Kabupaten Badung, Gianyar, dan Kodya Denpasar merupakan tiga kabupaten yang mempunyai pendapatan sangat besar dari sektor pariwisata. sedangkan kabupaten lainnya mendapat manfaat ekonomi yang jauh di bawah. Hal ini menimbulkan adanya pergeseran penyerapan tenaga kerja pada berbagai sektor di mana terdapat indikasi bahwa “eksodus”tenaga kerja dari sektor pertanian ke non pertanian. Dampak lain yang ditimbulkan oleh sektor pariwisata antara lain keterkaitan dan keterlibatan individual dengan masyarakat luar, hubungan interpersonal antara anggota masyarakat, ritme kehidupan sosial masyarakat, pola pembagian kerja, stratifikasi dan mobilitas dan sebagainya (Cohen, dalam Pitana 1999). Dalam kaitannya dengan hubungan interpersonal

terlihat bahwa pola interaksi sosial di Bali sudah mengarah pada “dominasi

ekonomi” sehingga seakan-akan pertimbangan ekonomi menjadi prioritas utama

dalam hubungan sosial di mana konformitas sosial (social conformity) yang tinggi tergeser oleh individualisme. Di samping itu Bali telah menjadi daya tarik bagi penduduk luar sehingga menimbulkan migrasi antar pulau yang sangat besar.


(10)

Kabupaten Badung yang merupakan daerah pusat pariwisata dan sekaligus merupakan pusat aktivitas perekonomian merupakan daerah tujuan para urban. Pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat yang ditandai dengan pembangunan pemukiman, pusat-pusat pembelanjaan, perkantoran, hiburan, dan sebagainya akan membawa dampak sosial baik yang bersilat positif maupun negatif. Kesenjangansosial yang semakin nyata merupakan dampak negatif dari pertumbuhan ekonomi yang kurang memperhatikan aspek pemerataan. Ketimpangan pembangunan cendrung mengakibatkan ketimpangan dalam kesejahteraan penduduk karena kesejahteraan merupakan fungsi dari investasi yang dilakukan. Semakin tinggi tingkat investasi semakin tinggi tingkat kesejahteraan penduduk. Di Kabupaten Badung besarnya investasi yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta selama lima tahun terakhir disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sumber dan besar investasi di Kabupaten Badung Selama lima tahun terakhir

Tahun

Sumber dan besar investasi

Jumlah (Rp) Pemerintah (Rp) Swasta (Rp) Swadaya (Rp)

1995/1996 97.378.433.849,00 1.386.037.060.732,00 18.711.480.795,00 1.502.126.975,376,00 1996/1997 155.874.526.581,00 1.444.259.189.090,00 15.579.644.385,00 1.615.813.377.056,00 1997/1998 233.184.926.370,00 1.500.365305.611,31 35.262.133.000,00 1.769.442.364.981,31 1998/1999 221.906.722.752,75 827.339.922910,00 42.991.198.000,00 1.092.237.843.662,75 1999/2000 368.192.874.659,00 3.657.739.930.174,00 44.038.317.000,00 4.339.971.121.833,00


(11)

Kabupaten Badung membawahi enam kecamatan yaitu Kuta Selatan, Kuta, Kuta Utara, Mengwi, Abiansemal, dan Petang; dibagi menjadi tiga wilayah yaitu Badung Selatan (Kecamatan Kuta Utara, Tengah, dart Selatan), Badung Tengah (Kecamatan Mengwi), dan Badung Utara (Kecamatan Abiansemal dan Petang) mempunyai karakteristik sendiri-sendiri. Badung Selatan adalah daerah pariwisata yang membutuhkan hasil-hasil pertanian untuk mensupply kebutuhan hotel dan restoran sedangkan dilain pihak Badung Utara (Kecamatan Abiansemal dan Petang) yang notabene daerah pertanian (non pariwisata) adalah sebagai pemasok hasil-hasil pertanian yang dibutuhkan Badung Selatan. Ini berarti ada simbiose yang mutualistis antara Badung Utara dengan Badung Selatan. Adanya anggapan sementara masyarakat awam bahwa penduduk Badung Selatan lebih sejahtera, lebih glamour, lebih makmur, dan sebagainya dibanding Badung Utara,

mendorong peneliti untuk mengetahui tingkat kesejahteran penduduk di daerah

pariwisata (Badung Selatan) dan di daerah non pariwisata (Badung Utara) dilihat dari distribusi pendapatan masing-. masing.

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang permasalahan yang disebutkan di atas, maka permasalahan penting yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimanakah distribusi pendapatan penduduk di daerah pariwisata dan non pariwisata, di mana kedua daerah tersebut saling membutuhkan.


(12)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pendapatan merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan seseorang atau masyarakat, sehingga pendapatan ini mencerminkan kemajuan ekonomi suatu masyarakat. Pendapatan itu dapat dilihat dari tiga aspek yaitu tingkat pendapatan, pertumbuhan atau perkembangan pendapatan, dan distribusi antara individu atau rumah tangga. Ketiga aspek pendapatan tersebut dalam perekonomian yang kegiatannya diatur dan dilaksanakan secara berencana hendaknya berjalan secara seimbang agar tercapai stabilitas ekonomi yang mantap dan dinamis.

Pembagian pendapatan yang sangat timpang akan berakibat fatal terhadap keadaan sosial ekonomi, sosial budaya, dan sosial politik. Kesenjangan pendapatan yang tinggi dapat mengganggu stabilitas politik (Pareto, 1971 dalam Hasibuan, 1993). Tingkat pendapatan masyarakat dapat dilihat dari berbagai pendekatan, salah satu pendekatan yang sering dilakukan adalah dengan memakai pendapatan per kapita.

Di Indonesia pembangunan ekonomi sering ditunjukkan dengan pendapatan penduduk per kapita, pertumbuhan, pemerataan, dan struktur ekonomi. Dalam analisis ekonomi makro sederhana, maka pendapatan yang diperoleh dialokasikan untuk konsumsi dan ditabung untuk investasi. Pendapatan per kapita dapat dihitung dengan membagi pendapatan total dengan jumlah


(13)

penduduk. Pembangunan dikatakan berhasil bila peningkatan pendapatan lebih besar dari peningkatan jumlah penduduk.

Di samping pemerataan, unsur lain dari Trilogi Pembangunan adalah pertumbuhan. Persoalan yang ada dalam pertumbuhan pendapatan adalah “trade off dan pertumbuhan yang tinggi. Pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan yang tinggi akan cendrung menyingkirkan aspek pemerataan. Demikian sebaliknya, jikatujuan pembangunan yang diutamakan adalah pemerataan, maka tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak tercapai. Di samping itu ada yang berpendapat bahwa masalah pemerataan adalah soal waktu, karena dalam jangka waktu tertentu, ekonomi dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi akan mengurangi tingkat kesenjangan setelah melalui kesenjangan yang tinggi (Kusnet, 1955 dalam Hasibuan, 1993).

Tjiptohenjanto (1882) menyatakan bahwa, kemiskinan berhubungan erat dengan kesenjangan pendapatan. Dari berbagi hasil penelitian didapatkan adanya kecendrungan bahwa kesenjangan pendapatan di daerah miskin lebih kecil dibandingkan dengan kesenjangan pendapatan di daerah yang maju. Di samping itu King dan Weldon (1976 dalam Artini, 1996) menemukan bahwa di daerah pedesaan kesenjangan pendapatan lebih kecil dibandingkan dengan di daerah perkotaan, akan tetapi rendahnya rendahnya tingkat kesenjangan pendapatan sekaligus dibarengi dengan rendahnya pendapatan per kapita. Keberhasilan pembangunan tidak hanya dapat diukur secara kuantitatif seperti besar dan distribusi pendapatan, tetapi bisa juga diukur secara kualitatif seperti yang dikemukakan oleh Nasikun (1992).


(14)

Salah satu indikator untuk mengukur tolak ukur keberhasilan pembangunan menurut Nasikun (1992) yaitu dengan menggunakan indeks kualitas hidup (PQLI). Di lihat dari tujuan PQLI cocok diterapkan sebagai tolak ukur keberhasilan pembangunan dalam kerangka model pembangunan pemerataan melalui pertumbuhan dan model pembangunan pemenuhan kebutuhan dasar. PQLI menunjukkan seberapa jauh masyarakat berhasil mencapai sejumlah karakteristik sosial atau kebutuhan dasar yang menjamin kelangsungan hidup manusia. Komponen PQLI adalah: 1) angka harapan hidup pada usia satu tahun 2) kematian bayi dan angka melek huruf. Angka harapanhidup pada usia satu tahun dan kematian bayi digambarkan untuk mengukur hasil dari proses sosial. Keduanya dapat dilihat sebagai proksi kombinasi dari efek hubungan-hubungan sosial, status nutrisi, kesehatan masyarakat, dan lingkungan keluarga. Angka melek huruf menunjukkan kemampuan menangkap informasi tentang potensi pembangunan dan peluang yang dimiliki oleh kelompok penduduk miskin untuk dapat menikmati kemungkinan-kemungkinan dan keuntungan-keuntungan dari kegiatan pembangunan. Adapun lima dimensi kemiskinan menurut Nasikun (1992) yaitu:

1. Kemiskinan “proper” artinya kurangnya pemilikan asset atau rendahnya

akses terhadap aliran uang dan barang.

2. Kelemahan fisik, ditunjukkan oleh berat badan yang tidak normal dan sensitif terhadap variasi musim.Kelemahan fisik dapat diukur dengan jumlah atau persentase anak-anak balita yang memiliki berat badan atau


(15)

lingkar lengan yang tidak normal dan atau persentase anak-anak balita yang meninggal selama setahun terakhir.

3. Kerentanan, yang dapat dilihat dariketidakmampuan keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu dalam menghadapi situasi darurat. Dimensi kerentanan dapat diukur dengan persentase penduduk yang berusia 10 tahun ke atas yang bersetatus sebagai buruh tani dan atau tidak memiliki pekerjaan yang tetap.

4. Ketidakberdayaan, tercermin dalam seringnya elit desa menjaring bantuan yang sebenarnya diperuntukkan orang miskin. Ketidakberdayaan dapat diukur melalui penyusunan indeks diferensiasi pendidikan, okupasial, dan indeks kompetisi atau diferensiasi politik dan

5. Keterasingan (isolasi), di mana keluarga miskin umumnya tersisih dari pusat kehidupan dan kemajuan. Hal ini dapat diukur melalui panjang jalan yang dapat dilalui kendaraan roda empat sepanjang tahun per kilometer persegi luas daerah, persentase rumah tangga yang memiliki radio, televisi, dan berlangganan koran.

Keadilan Distribusi Pendapatan

Keadilan distribusi pendapatan pada dasarnya erat kaitannya dengan keadilan sosial. Keduanya merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Terciptanya keadilan sosial akan menjamin terwujudnya keadilan distribusi pendapatan. Sebaliknya keadilan distribusi akan membawa pada keadilan sosial. Dalam keadilan, distribusi kekayaan tidak boleh terpusat ditangan


(16)

sekelompok orang. Dalam pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 dikatakan bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ini berarti setiap orang berhak memperoleh aset-aset ekonomi secara adil dan merata, sesuai dengan bakat, keahlian, dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Penguasaan atas sumber pendapatan oleh satu kelompok tertentu bukan hanya bertentangan dengan UUD 1945, tetapi juga mengingkari semangat persaudaraan, kemanusiaan, dan keadilan sosial. Semangat persaudaraan bisa luntur bila terjadi ketimpangan sosial. Sebagian kecil anggota masyarakat menikmati kehidupan yang sejahtera, sementara sebagian besar lainnya tidak mampu memenuhi kehidupan yang paling asasi sekalipun. Hal ini tentu akan menimbulkan kecemburuan dan permusuhan sebagian besar masyarakat terhadap segelintir elit ekonomi tersebut.

HasilpenelitianArtinidkk.(2001)menyebutkanbahwapendapatan

masyarakat di daerah pariwisata lebih besar dari di daerah non pariwisata, tetapi distribusi pendapatan di daerah pariwisata lebih timpang dibanding di daerah non pariwisata.


(17)

III.TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1.Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan dan penelitian ini adalah membandingkan distribusi pendapatan sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk di daerah pariwisata dan daerah non pariwisata. Secara lebih terperinci tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui karakteristik penduduk dt daerah pariwisata dan non pariwisata

2. Mengetahuibesarnyapendapatanpendudukdidaerahpariwisatadannon pariwisata

3. Mengetahuidistribusipendapatanpendudukdidaerah pariwisatadannon pariwisata

3.2.Sasaran dan Manfaat Penelitian

 Adapun sasaran dari penelitian ini adalah penduduk yang berada di Kabupaten

BadungkhususnyayangberdomisilidiBadungUtarasebagaidaerahnan pariwisata dan Badung Selatan sebagai daerah pariwisata.

 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pemerintah yaitu sebagai bahan informasi dalam memantapkan/meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan dan menentukan langkah-langkah kebijakan


(18)

yang diambil dalam upaya memeratakan dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

 Penelitian ini juga dimaksudkan untuk mengupayakan terobosan atau alternatif pemecahan masalah yang mungkin ada di daerah penelitian

 Sebagai input kepada pemerintah dalam menentukan kebijakan di masa mendatang dalam mengurangi ketimpangan dalam pembagian pendapatan di masyarakat.


(19)

IV.METODE PENELITIAN

4.1.Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Badung yaitu di wilayah Badung Utara dan Badung Selatan. Pemilihan daerah ini didasarkan atas pertimbangan bahwa kedua daerah tersebut berada dalam satu wilayah kabupaten dimana wilayah Badung Utara merupakan daerah yang lokasinya jauh dari kota serta merupakan daerah pertaniaan(daerah non pariwisata) dan Badung Selatan adalah daerah yang berlokasi di pusat perkotaan yang sekaligus merupakan daerah pariwisata. Wilayah Badung Utara yang dijadikan lokasi penelitian adalah Kecamatan Abiansemal dan Kecamatan Petang, sedangkan wilayah Badung Selatan adalah Kecamatan Kuta, Kuta Utara, dan Kuta Selatan.

4.2.Pengambilan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah semua penduduk yang berada di kedua wilayah tersebut (Badung Utara dan Badung Selatan). Adapun banyaknya sampel yang akan diambil dalam penelitian berjumlah 100 orang (50 orang diambil di Badung Utara dan 50 orang di Badung Selatan. Dalam pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana di mana setiap orang dalam populasi mempunyai peluang yang sama untuk diambil.

4.3.Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang dicari adalah data yang bersifat umum, data


(20)

yangmenjadi pokok penelitian dan data yang menunjang penelitian,baik itu data kualitatif maupun data kuantitatif. Dalam mencari data primer dilakukan dengan cara:

1. Dengan survey, dengan memakai kuesioner (daftar pertanyaan) yang dipersiapkan sebelumnya seperti yang dikemukakan oleh Singarimbun (1982). 2. Dengan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap responden/ informan tertentu. Wawancara mendalam ini dilakukan terhadap sejumlah tokoh-tokoh masyarakat, seperti bendesa adat, kepala desa, dan tokoh masyarakat lainnya yang dianggap tahu dan bisa memberikan informasi yang akurat terhadap hal-hal yang ditanyakan. Wawancara mendalam dilakukan menurut kategori profesi, status sosial dan kategori lainnya jika dipandang

perlu. Untuk wawancara mendalam

penelitimenggunakansuatupedomanwawancara (guided interview) untuk

memudahkanmelakukanwawancara,walaupundilapanganpertanyaan-pertanyaan terus berkembang).

3. Dengan observasi, yaitu suatu pengumpulan data dengan pengamatan langsung di lapangan untuk menguji dan melengkapi data lainnya.Observasi secara langsung mi sangat baik dilakukan terutama untuk melihat pola

hubungan sosial maupun

dalamkegiatankeagamaansehinggaakantampaktingkatkohesisosial masyarakat desa yang terkait pada norma-norma yang telah melembaga.


(21)

Sedangkan data sekunder dicari dari dinas/instansi yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan masalah distribusi pendapatan masyarakat serta dari hasil-hasil penelitian sebelumnya.

4.4. Analisis Data

Dalam penelitian ini data kuantitatif akan dianalisis secara tabulasi tanpa memakai uji statistik, sedangkan data kualitatif akan dianalisis secara diskriptif kualitatif yaitu dengan mendiskripsikan kemudian memberikan penafsiran-penafsiran dengan interprestasi rasional yang memadai terhadap fakta-fakta yang diperoleh dilapangan. Secara rinci analisis data dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui karakteristik penduduk dan besamya pendapatan penduduk dilakukan analisis data secara diskriptif dan tabulasi

2. Untuk mengetahui distribusi pendapatan dipakai suatu indikator yang disebut Gini Ratio (Sajogyo,1992) dengan formula:

GR=

      1 1 000 . 10 ) )( ( 1 i i i t i

i F Y Y

F k

Keterangan:

• GR = Gini Ratio yang mempunyai nilai antara 0 dan 1

• Fi = persentase kumulatif jumlah keluarga kelas ke-i

• Fi-1 = persentase kumulatif jumlah keluarga sebelum kelas ke-i

• Yi = persentase kumulatif jumlah pendapatan kelas ke-i


(22)

• k = jumlah kelas.

Gini Ratio merupakan bilangan yang besarnya berkisar antara 0 dan I (0<GR<1). Dalam menentukan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan masyarakat dipakai kriteria yang di kemukakan oleh Tjiptoherijanto (1992), di mana distribusi pendapatan dikatagorikankedalam ketimpangan berat, ketimpangan sedang, dan ketimpangan ringan.


(23)

V.HASIL DAN PEMBAIIASAN

5.1. Kondisi Fisik

Kabupaten Badung yang menjadi lokasi dalam penelitian ini secara geografis terletakantara08°14’205> - 08°50’48’; LS dan 115°05’00”-

115°26’16”BT dengan luas wilayah 418,52 Km2

. Secara administratif Kabupaten Badung terbagi atas enam kecamatan yaitu Kecamatan Kuta Selatan, Kuta, Kuta Utara, Mengwi, Abiansemal, dan Petang. Penelitian ini dilakukan di wilayah Badung Selatan (Kecamatan Kuta, Kuta Utara, dan Kuta Selatan) dan Badung Utara (Kecamatan Abiansemal dan Petang). Adapun luas wilayah dan tataguna tanah di Kabupaten Badung disajikan pada Tabel 2.


(24)

Tabel 2. Luas wilayah dan tata guna tanah Kabupaten Badung

Penggunaan lahan Luas (Km”)

Sawah 104,13

Pekarangan rumah 90,76

Tegal/kebun 86,20

Tambak 0,01

Kolam/empang 0,26

Tanah sementara tidak diusahakan 1,64

Hutan rakyat 12,52

Hutan negara 14,90

Tanah perkebunan 66,22

Lainnya 41,88

Jumlah 418,52

Sumber: Badung dalam angka 2002

Dari tabel di atas terlihat bahwa wilayah Kabupaten Badung hanya 24,88% merupakan sawah sedang 75,12% lainnya bukan sawah (pekarangan, tegal, hutan, dan sebagainya).

Badung Selatan dengan luas wilayah 152,51Km2 terletak antara 08°38’44,2”

-08°46’58,7” LS dan 115°09’42,3” - 115°10’41,3”BT dengan batas-batas wilayah


(25)

sebelah Barat adalah Samudra Indonesia. Secara administratif Badung Selatan terbagi atas 17 Desa/Kelurahan, sedang Badung Utara terdiri atas 24 Desa Kelurahan. Badung Selatan (Kuta secara keseluruhan) adalah daerah obyek wisata manca negara di Bali Hingga kini berkembang sangat pesat terutama dalam bidang pariwisata dengan segala pendukungnya.

Kecamatan Abiansemal dengan luas wilayah 69,01 Km2 terletak diantara

08°26’59” - 08°36’10;’ LS dan 115°11’38” - 115°14’57”BT dengan batas wilayah

sebagai berikut: di sebelah Utara Kecamatan Petang, di sebelah Timur KabupatemGianyar, di sebelah Selatan Kodya Denpasar, dan di sebelah Barat Kecamatan Mengwi. Secara administratif Kecamatan Abiansemal terbagi atas 17 desa. Hampir sebagian besar wilayah Abiansemal adalah sawah (44,59%) sedang 54,41% lainnya untuk tegalan, pekarangan, perkebunan, kolam, dan sebagainya.

Sementara Kecamatan Petang dengan luas wilayah 115,00 Km2 terletak antara

08°14’17” - 08°28’25” LS dan 115°ir01” - 115°15’09”BT. Secara administratif

Kecamatan Petang terdiri atas 7 desa. Adapun batas-batas wilayah Kecamatan Petang sebagai berikut: di sebelah Utara Kabupaten Buleleng, di sebelah Timur Kabupaten Bangli dan Gianyar, di sebelah Selatan Kecamatan Abiansemal, dan di Kabupaten Tabanan. Hampir sebagian besar wilayah Kecamatan Petang adalah tegalan (42,43%) sedang 57,57% sisanya untuk sawah, hutan, dan sebagainya.

Sama halnya dengan pulau Bali yang beriklim tropis, Kabupaten Badung mempunyai dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan biasanya terjadi antara Bulan Oktober sampai Bulan April, sedangkan musim


(26)

kemarau biasanya terjadi antara Bulan April sampai Oktober. Perbedaan curah hujan dart bulan ke bulan cukup tinggi dibandingkan dengan keadaan normal. Realisasi curah hujan di Kabupaten Badung tahun 2002 disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Realisasi dan keadaan normal curah hujan di Kabupaten Badung

No Bulan

Curah hujan (mm)

Realisasi Normal

1 Januari 326 392

2 Pebruari 406 315

3 Maret 73 203

4 April 36 112

5 Mei 10 79

6 Juni 0,2 67

7 Juli 5,6 57

8 Agustus 0,8 31

9 September 2,1 43

10 Oktober 0 98

11 November 95 177

12 Desember 210 280


(27)

5.2. Penduduk dan MataPencaharian

Besar kecilnya pertumbuhan penduduk di suatu daerah dipengaruhi oleh besarnya angka kelahiran, kematian, dan migrasi penduduk. Jumlah penduduk Kabupaten Badung pada tahun 2002 sebanyak 342.013 orang yang terdiri atas 171.166 orang laki-laki dan 170.847 orang perempuan dengan seks ratio 100,19 serta kepadatan penduduk 817 jiwa per kilometer persegi. Jumlah penduduk Kabupaten Badung yang dirinci per kecamatan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah penduduk Kabupaten Badung dirinci per kecamatan

Kecamatan

Luas wilayah

(Km2)

Jumlah penduduk (orang) Jumlah KK Kepadatan per Km2

Laki-laki Perempuan

Kuta Selatan 101,13 29.188 28.658 12.491 572

Kuta 17,52 16.712 16.025 6.858 1.869

Kuta Utara 33,86 26.204 25.891 10.893 1.539 Mengwi 82,00 48.901 49.696 22.739 1.202

Abiansemal 69,01 36.745 37.228 18.543 1.072

Petang 115,00 13.416 13.349 6.656 233

Kab. Badung 418,52 171.166 170.847 78.180 817


(28)

Perkembangan penduduk Kabupaten Badung disajikan pada Tabel 5. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa penduduk Kabupaten Badung semakin bertambah dalam delapan tahun terakhir. Hal ini disebabkan karena fertilitas masyarakatmeningkat, mortalitas turun karena sarana dan prasarana kesehatan sudah semakin canggih, kesadaran masyarakat akan sanitasi meningkat, dan sebagainya.

Tabel 5. Perkembangan penduduk di Kabupaten Badung selama delapan tahun terakhir

Tahun Jumlah penduduk (orang)

Laki-laki Perempuan Jumlah

1995 141.490 141.058 282.548

1996 143.667 143.256 286.923

1997 145.644 145.233 290.877

1998 147.292 146.672 293.964

1999 152.613 151.223 303.836

2000 158.401 159.663 345.863

2001 163.669 163,537 327.206

2002 171.166 170.847 342.013

Sumber: Badung dalam angka 2002.

Komposisi penduduk di Kabupaten Badung yang dirinci menurut kelompok umur tertentu yaitu kelompok umur yang masih produktif (15-64) tahun dan kelompok umur tidak produktif (di bawah 14 tahun dan di atas 64 tahun) disajikan pada Tabel 6. Dalam Tabel 6 tersebut dapat dilihat bahwa distribusi


(29)

produktif yaitu kelompok umur 15 s.d 64 tahun. Hal mi terkait dengan mudah tidaknya masyarakat menerima inovasi baru, tingkat mobilitas, motivasi kerja, produktivitas, dan sebagainya.

Tabel 6. Komposisi penduduk di Kabupaten Badung (data sensus tahun 2000)

Klp. Umur (Thn) Jumlah Penduduk (orang)

<.14

15-64

> 64

80.036

248.298

17.529

Jumlah 345.863

Sumber: Badung dalam angka 2002.

Bali sebagai daerah tujuan wisata dunia (terutama Kabupaten Badung) merupakan tempat yang potensial untuk dituju oleh migran dari Iuar daerah. Sektor pariwisata/jasa di kawasan ini mempunyai daya tarik yang cukup tinggi, untuk menarik para migran yang ingin mengadu nasibnya. Di Kabupaten Badung tersedia berbagai ragam lapangan pekerjaan dari tingkat yang terendah (tidak memerlukan keterampilan khusus) sampai yang profesional. Hal ini memperkuat pendapat berbagai kalangan yang menyebutkan pulau Bali sebagai gadis cantik yang memikat yang dirindukan banyak orang namun si gadis tidak hanya dilirik tetapi menjadi rebutan dengan berbagai macam kepentingan. Distribusi penduduk


(30)

di Kabupaten Badung menurut lapangan pekerjaan tahun 2001, dan 2002 disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Distribusi penduduk Kabupaten Badung berdasarkan lapangan pekerjaan (hasil Susenas) tahun 2001 dan 2002

Jenis pekerjaan

Persentase tenaga kerja Tahun 2001 Tahun 2002

Pertanian 14,71 17,58

Pertambangan dan penggalian 0,37 0,07

Industri 34,17 11,27

Listrik, gas, dan air 0,06 0,23

Bangunan 14,55 12,52

Dagang, hotel, dan restoran 29,93 35,52

Pengangkutan dan komunikasi 6,73 6,21

Keuangan dan asuransi 3,36 2,76

Jasa kemasyarakatan 16,22 13,61

Lainnya 0,00 0,24

Sumber: Badung dalam angka 2002.

Dalam label 7 di alas dapat dilihat bahwa sektor pertanian menyerap tenaga kerja yang paling besar dibanding dengan sektor-sektor lainnya. Hal ini


(31)

bekerja di sektor pertanian tidak memerlukan keterampilan khusus; ditambah lagi dengan adanya krisis moneter yang dimulai tahun 1997 menyebabkan tenaga kerja yang kena PHK terpaksa mau tidak mau mereka kebanyakan sebagai petani.

Kalau dilihat dari kontribusi berbagai sektor terhadap PDRB ternyata kontribusi dari sektor perdagangan, hotel, dan restoran memberi andil yang paling tinggi yaitu 48,08% kemudian sektor angkutan dan komunikasi (22,30%) sedangkan kontribusi dan sektor pertanian hanya 6,89%. Kontribusi dari berbagai sektor lapangan pekerjaan di Kabupaten Badung terhadap PDRB disajikan dalam Tabel 8.

Tabel 8. Kontribusi berbagai lapangan usaha terhadap PDRB Kabupaten Badung tahun 2001

Lapangan usaha Atas dasar harga berlaku (%)

Atas dasar harga konstanthn 1993 (%)

Pertanian 8,29 6,89

Pertambangan dan penggalian 0,23 0,23

Industri pengolahan 2,92 3.28

Listrik, gas, dan air 1,43 1,48

Bangunan 4,50 5,06

Dagang, hotel, dan restoran 42,22 48,08 Pengangkutan dan komunikasi 29,60 22,30

Keuangan dan asuransi 2,78 2.94

Jasa lainnya 8,03 9.74


(32)

5.3.Potensi Pertanian

Usahatani di Kabupaten Badung sebagian besar masih bersifat tradisional, di mana tanah masih merupakan modal utama dalam proses produksi pertanian. Di Kabupaten Badung ditanam berbagai jenis tanaman pangan, tanaman perkebunan, serta terdapat berbagai jenis peternakan. Produksi dan produktivitas tanaman pangan dan tanaman perkebunan di Kabupaten Badung disajikan dalam Tabel 9.

Tabel 9. Luas areal. produksi dan produktivitas tanaman pangan dan tanaman perkebunan di Kabupaten Badung

Komoditi Luas (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Kw/Ha)

Padi 21.293 121.712 57,16

Jagung 61 177 29,02

Ubi kayu 342 6.849 200,26

Ubi j alar 191 3.746 196,13

Kacang tanah 739 938 12,69

Kedelai 1.791 2.172 12,13

Kelapa 2.554,64 2.414,040 9,45

Kopi robustan 537,24 277,890 5,17

Kopi arabika 887,38 266,520 3,00

Cengkeh 402,21 11,770 0,29

Panili 71,25 1,600 0,22

Jambu mete 101,79 4,340 0,43

Kapuk 424,99 1 8,000 0,42


(33)

Dalam Tabel 9 dapat dilihat bahwa produktivitas tanaman perkebunan masih rendah, karena masyarakat lebih cendrung mengusahakan tanaman pangan. Di Kabupaten Badung disamping dihasilkan tanaman pangan dan perkebunan, masyarakat juga mempunyai penghasilan tambahan dari ternak. Ternak yang paling diminati oleh masyarakat setempat adalah babi, ayam buras, dan ayam pedaging. Populasi ternak di Kabupaten Badung disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Populasi ternak di Kabupaten Badung tahun 2000, 2001, 2002

Jenis ternak

Populasi (ekor)

1998 1999 2000 2001 2002

Sapi potong 46.960 45.114 44.403 39.262 40.302

Kambing 2.181 1.505 1.655 918 421

Babi 187.460 175.998 167.614 149.893 90.986

A. buras 986.597 993.957 912.915 826.710 422.345

A.pedaging 233.877 243.030 232.512 234.805 211.832

A.petelur 30.847 30.447 29.569 23.071 44.911

Itik 92.678 89.569 85.105 87.134 77.555

Sumber: Badung Dalam Angka 2002,

DalamTabel 10 dapat dilihat bahwa dalam lima tahun terakhir perkembangan ternak secara keseluruhan cenderung menurun. Hal ini disebabkan oleh karena adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan serta adanya kecendrungan masyarakat untuk mengurangi mengkonsumsi daging baik karena


(34)

alasan spiritual maupun alasan kesehatan. Ternak sapi, babi, ayam buras, kambing dan itik sangat akrab dipelihara oleh masyarakat karena sangat mudah diuangkan dan juga dibutuhkan oleh masyarakat untuk kepentingan upacara.

Disamping peternakan, perikanan juga merupakan mata pencaharian beberapa penduduk di Kabupaten Badung. Produksi perikanan ini diharapkan mampu untukmeningkatkan status gizimasyarakat.Produksiperikanan diKabupaten Badung disajikan padaTabel 11

Tabel 11. Luas pemeliharaan, produksi, dan nilai perikanandi Kabupaten Badung tahun 1998 s.d 2002

Luas, produksi, dan nilai perikanan

Tahun

1998 1999 2000 2001 2002

Luas perikanan (Ha):

-Tambak 3,00 3,00 3.00 - -

-Kolam 23,68 22,65 24,65 24,65 24,65

-Sawah 128,65 175,03 181,55 171,80 171,78

Produksi (ton):

-Tambak 24,10 13,50 12,40 - -

-Kolam 28,78 18,91 27,56 31,60 45,57

-Sawah 19,63 20,79 31,33 35,53 20,87

Nilai (jutaan rupiah)

-Tambak 482,00 1.080,00 1.116,00 - -

-Kolam 143,90 180,10 275,60 252,00 683,55

-Sawah 98,15 207,90 313,30 253,44 313,05


(35)

Dari Tabel 11dapat dilihat bahwa pada nilai perikanan cendrung meningkat dari tahun ketahun.Hal ini karena masyarakat cendrung untuk mengkonsumsi ikan sebagai sumber protein hewani.

5.4. Sosial Ekonomi

Pendidikan merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan masyarakat mencerminkan tingkat intelektual suatu bangsa atau negara. Sejauh mana pendidikan telah tercapai, kemampuan penduduk membaca dan menulis, kemampuan penduduk berbahasa Indonesia sangat penting mendapat perhatian dalam pembangunankhususnya dalam upaya mencerdaskan bangsa. Untuk itu penyediaan sarana dan prasarana pendidikan mutlak diperlukan. Untuk menunjang pembangunan di bidang pendidikan, perlu didukung oleh sarana dan prasarana pendidikan yang memadai. Di bawah ini disajikan sejumlah sarana dan prasarana pendidikan yang ada di Kabupaten Badung Tabel 12)

Tabel 12. Jumlah sekolah, murid, dan guru di Kabupaten Badung

Jenis sekolah Jumlah sekolah Jumlah murid Jumlah guru

TK 127 8.917 427

SD 250 2.540 2.354

SLIP 40 5.430 1.252

SLTA 29 11.097 1.006


(36)

Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa jumlah Sekolah Dasar paling banyak dibandingkan dengan yang lainnya. Demikian pula halnya dengan guru, jumlah guru di sekolah Dasar paling banyak. Kalau dilihat dari jumlah murid, ternyata murid yang berpendidikan SMA yang terbanyak. Ini berarti bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan semakin meningkat.

Di samping pendidikan, kesehatan masyarakat juga perlu mendapat perhatian dalam upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Manusia di samping sebagai obyek juga sekaligus subyek dalam pembangunan, di mana manusia sebagai perencana, pelaksana, dan pengevaluasi program pembangunan yang ada. Di Bawah ini disajikan sarana/prasarana kesehatan yang ada di Kabupaten Badung (Tabel 13).

Tabel 13.Sarana/prasarana kesehatan di Kabupaten Badung

Nomor Sarana/prasana kesehatan Jumlah

1 Rumah sakit 2

2 Puskesmas 1 1

3 Puskesmas pembantu 41

4 Apotik 56

5 Klinik KB 53

Sumber: Badung dalam angka 2002

Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa sarana kesehatan di Kabupaten Badung cukup lengkap, hal ini wajar karena Kabupaten Badung adalah daerah pariwisata


(37)

sehingga semua fasilitas kesehatan tersedia dalam jumlah yang memadai, di samping karena jumlah penduduk Kabupaten Badung cukup tinggi.

Kehidupan masyarakat di Kabupaten Badung dihiasi dengan keanekaragaman, baik dalam bidang sosial politik, sosial agama/budaya, maupun sosial ekonomi. Komposisi penduduk Kabupaten Badung dilihat dari segi agama yang dianut disajikan dalam Tabel 14.

Tabel 14. Komposisi penduduk Kabupaten Badung dirinci menurut agama yang dianut

Agama Jumlah Persen

Hindu 325.467 95,16

Islam 8.916 2,61

Katolik 2.809 0,82

Kristen 4.149 1,21

Buda 672 0,20

Jumlah 342.013 100,00

Sumber: Badung dalam angka 2002

Di Bali, khususnya Kabupaten Badung yang menganut agama Hindu masih mayoritas (95,16%) sedangkan 4,84% lainnya adalah masyarakat non Hindu. Agar setiap umat beragama dapat melakukan ibadah sesuai dengan agama/kepercayaan masing-masing, di Kabupaten badung telah ada sejumlah tempat peribadatan yang berupa 2.755 buah pura, 12 buah mesjid, 11 buah langgar, 31 buah mushola, 25 buah gereja, dan empat (4) buah kelenteng.


(38)

5.5.Karakteristik Responden

5.5.1. Umur

Dari 100 orang kepala keluarga yang diambil sebagai responden semua berjenis kelamin laki-laki. Rata-rata umur kepala keluarga responden di daerah pertanian (Badung Utara) 45, 52 tahun dengan kisaran 27 s.d 70 tahun) dan rata-rata umur kepala keluarga di daerah pariwisata (Badung Selatan) 47,72 tahun (dengan kisaran 27 s.d 63 tahun).

Dilihat dari rata-rata umur kepala rumah tangga, ternyata masih tergolong usia produktif. Penduduk yang tergolong produktif mempunyai sifat respon terhadap suatu inovasi, dan masih produktif untuk melakukan kegiatan. Sampai pada umur tertentu, semakin tua umur, semakin meningkat kekuatan fisik dan pada tingkatan umur tertentu semakin tua umur, kekuatan fisik menurun, yang berarti produktivitasnya menurun.

Sebaliknya, apabila umur dikaitkan dengan pengalaman, maka semakin tua umur semakin banyak pengalaman yang diperoleh. Karena pengalaman juga rnenunjukkan produktivitas, sehingga dengan meningkatnya umur maka produktivitas meningkat.


(39)

5.5.2.Pendidikan

Tingkat pendidikan penduduk suatu masyarakat merupakan faktor penting untuk melihat mutu sumber daya manusia. Tingkat pendidikan dapat menentukan kemajuan pembangunan suatu masyarakat, karena pendidikan dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan dan keterampilan penduduk. Dalam pembangunan pertanian,pendidikan merupakanfaktor pelancar tingkat pendidikan formal kepala rumah tangga penduduk di Badung Utara dan Badung Selatan berturut-turut 9,4 tahun dan 7,2 tahun atau dengan kata lain tingkat pendidikannya masih rendah

Pendidikan merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk suatu daerah (BPS, 1998). Tingkat pendidikan yang rendah akan mempersulit untuk mendapat pekerjaan di luar sektor pertanian serta mempersulit difusi suatu inovasi pada rnasyarakat. Hariandja (1979) mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan salah satu sumber kemiskinan selain kurangnya tanah sebagai sumber penghasilandan jumlah anggota yang besar.

5.5.3. Penguasaan Lahan

Besar kecilnya pendapatan masyarakat terutama petani) tergantung dari luas penguasaan lahannya., kesuburan lahan, jenis lahan, jenis komoditi yang diusahakan, serta tingkat penerapan teknologi. Rata-rata luas penguasaan lahan penduduk cli Badung Utara dan Badung Selatan sebesar 33,39 dan 24.38 are


(40)

sedangkan luas pemilikannya ternyata lebih besar dibandingkan dengan luas penguasaannya yaitu 50.87 dan 48,61 are. Baik penguasaan maupun pemilikan tanah penduduk di Badung Utara lebih besar dan di Backing Selatan. Hal ini disebabkan karena Badung Utara merupakan daerah pertanian sementara Badung Selatan adalah daerah pariwisata. Untuk menentukan luas tanah yang ideal bagi seseorang (terutama petani) tidakmudah, karena hal ini tergantung dari banyak faktor seperti kemampuan lahan untuk berproduksi, topografi, jenis tanah, penggunaan lahan, serta jauh tidaknya letak lahan dari pasar. Baik di Badung Utara maupun di Badung Selatan penguasaannya tanahnya lebih rendah dan rata-rata penguasaan lahan rumah tangga di Bah. Dari sensuspertanian 1993 dilaporkan rata-rata luas penguasaan lahan rumah tangga petani di Bali 72 are(Sensus Pertanian, 1993).

Singarimbun dan Penny (1976, dalam Sudana, 1984) menyatakan bahwa, suatu rumah tangga petani untuk dapat hidup dengan cukupan paling sedikit harus memiliki 70 are sawah dan 30 are tegalan atau pekarangan. Sedangkan menurut Direktorat Jendral Transmigrasi (dalam Raharjo, 1979), dikatakan suatu rumah tangga untuk dapat hidup secara layak harus memiliki tanah minimal 200 are (2 hektar), yang terdiri atas satu hektar sawah, 0,75 hektar tegalan, dan 0,25 hektar pekarangan. Kalau mengikuti pendapat tersebut dan terutama di Badung Selatan sebagian besar lahan pertanian telah beralih fungsi ke non pertanian, serta tanah banyak yang merupakan tanah kapur, maka kesimpulan untuk menyatakan penduduk hidup di bawah garis kecukupan perlu ditinjau kembali.


(41)

Penguasaan dan pemilikan lahan erat kaitannya dengan status penguasaan lahan. Sebagai akibat terjadinya perubahan dalam status penguasaan lahan. maka rata-rata luas pemilikan berbeda dengan luas lahan garapan pertanian rumah tangga. Luas pemilikan berarti luas milik yang digarap ditambah dengan luas milik yang tidak digarap (disakapkan, disewakan dan sebagainya), sedangkan luas garapan berarti luas lahan yang disakap ditambah luas milik yang digarap (tidak termasuk luas milik yang digarap orang lain). Di daerah penelitian pemilikan lebih luas dari penguasaan lahan, ini berarti ada sebagian tanah miliknya yang dikerjakan orang lain (disakapkan, disewakan, dan sebagainya).

5.6.Pendapatan

Pendapatan merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat kemakmuran dan atau kesejahteraan sesorang atau masyarakat, sehingga pendapatan mencerminkan kemajuan ckonomi suatu masyarakat. Tujuan pokok dan pembangunan nasional adalah meningkatkanpendapatan, masyarakat, ini berarti bahwa pendapatan masyarakat dapat dipakai untuk melihat keberhasilan pembangunan ekonomi. Keberhasilan ini dapat dilihat dari tiga aspek yaitu besarnya, pertumbuhan dan distribusinya. Untuk mengkaji pendapatan dalam penelitian ini dilakukan dengan dua (dua) pendekatan yaitu:

1. Pendekatan produksi (production approach), yaitu dengan menghitung sernua nilai produksi barang dan jasa yang dapat dihasilkan dalam suatu periode tertentu.


(42)

2. Pendekatan pendapatan (income approach) yaitu dengan menghitung sernua nilai keseluruhan balas jasa yang dapat diterima oleh pemilik faktor produksi dalam suatu periode tertentu.

Dalam tulisan ini pendapatan yang dicari adalah pendapatan yang berasal dariusahatanidan non usahatani. Pendapatan dari usahatanidihitung berdasarkan jumlah produksi yang dihasilkan dikalikan dengan harga per unit produksi yang berlaku di daerah penelitian kemudian dikurangi dengan biaya-biaya riil yang dikeluarkan selama proses produksi. Sedangkan pendapatan dari luar pertanian dihitung berdasarkan hasil riil yang diterima sebagai imbalan tenaga kerja yang dicurahkan di tempat mereka bekerja.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan yang intensif berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat. Pembangunan yang intensif berarti terjadi penanaman modal (investasi) yang intensif.

Dari hasil penelitian diperoleh, pendapatan rumah tangga penduduk di Badung. Utara (sebagai daerah pertanian) sebesar Rp. 22.766.192,12 dan Badung Selatan (sebagai daerah pariwisata) Rp. 22.172.715,15. Dengan membagi pendapatan rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga, maka diperoleh pendapatan per kapita sebesar Rp. 3,871.801,38./tahun di wilayah Badung Utara dan Rp.5.472,329/tahun di wilayah Badung Selatan. Dengan memakai uji statistik (t.test), ternyata secara statistik pendapatan masyarakat di wilayah Dadung Utara sangat berbeda nyata dengan pendapatan masyarakat di wilayah Badung Selatan Ini berarti bahwa masyarakat di wilayah Badung Utara sangat membutuhkan


(43)

Besarnya pendapatan masyarakat di wilavah Badung Selatan ini karena Badung Selatan merupakan pusat pariwisata sehingga perekonomian masyarakatnya lebih baik dibanding dengan masyarakat, di Badung Utara.

Bila dibandingkandengan Pendapatan Daerah Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Badung tahun 2001, ternyata baik pendapatan masyarakat di wilayah Badung Utara maupun Badung Selatan lebih kecil. di mana PDRB perkapita berdasarkan alas harga konsyan 1993 sebesar Rp 5,591 .260,67 (BPS, 2002).

5.7.Distribusi Pendapatan

Di samping besarnya pendapatan, distribusi pendapatan yang merupakan salah satu bagian dan Trilogi Pembangunan merupakan komponen yang tidak bisa diabaikan dalam pembangunan Distribusi pendapatan merupakan salah satu indikator untuk menentukan/mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat. Pembagian pendapatan yang tidak merata tidak saja mengganggu stabilitas ekonomi, tetapi juga sosial, budaya, dan politik (Pareto dkk., dalam Hasibuan, 1993).

Salah satu sebab terjadinya tingkat kesenjangan pembagian pendapatan di negara-negara sedang berkembang adalah keadaan struktur kegiatan ekonomi yang senjang misalnya di sektor pertanian terdapat tenaga kerja setengah menganggur yang tinggi dan tingkat pendapatan pekerja yang relatif rendah. sedangkan di pihak lain sektor manufaktur dengan teknologi yang relatif modern dan tingkat upah pekerja relatif tinggi.


(44)

Sektor pertanian adalah sektor yang menampung sebagian besar tenaga kerja dengan tingkat produktivitas yang rendah, sektor mi kebanyakan bersifat tradisional dengan tingkat pendidikan tenaga kerja yang relatif tertinggal, Banyak para ahli yang meneliti tentang kesenjangan pembagian pendapatan personal pada sektor pertanian. Dari tulisan tersebut diperoleh bahwa beberapa variabel yang berkaitan dengan kesenjangan pembagian pendapatan yaitu luas tanah, kesempatan kerja, kesempatan dalam memperoleh irigasi, status pemilikan tanah, dan tingkat pertumbuhan (Hasibuan, 1993). Sedangkan Bellante dan Jakson (1990) menyebutkan sumber ketidaksamaan pendapatan adalah perbedaan dalam human capital yang pada akhimya membawa perbedaan dalam penghasilan. Lebih lanjut disebutkan bahwa perbedaanitukarenaperbedaan citarasa dan preferensi seseorang,kesediaan menggantikan pekerjaan dengan waktu untuk leisure, jenis serta jumlah pekerjaan, dan motivasi.

Untuk mengukur keberhasilan pembangunan, hendaknya tidak hanya diukur dengan besarnya pendapatan tetapi juga dilihat dari bagaimana penyebaran pendapatan tersebut di masyarakat. Distribusi pendapatan merupakan suatu konsep yang empiris untuk menentukan atau menilai bagaimana pendapatan total populasi itu terbagi diantara satuan-satuan yang menerima pendapatan (Soejono, 1978). Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan distribusi pendapatan dalam tulisan ini adalah suatu keadaan yang menunjukkan bagaimana penyebaran total pendapatan diantara penerima pendapatan di Badung Utara dan Badung Selatan. Didalam menghitung distribusi pendapatan ini dipakai satuan


(45)

Dari hasil perhitungan dengan formula Gini Ratio diperoleh bahwa distribusi pendapatan per kapita per tahun untuk wilayah Badung Utara dan Badung Selatan tergolong dalam ketimpangan sedang dengan Gini Ratio sebesar 0,62 dan 0,65.dan

Gini Ratio di negara-negara sedang berkembang rata-rata 0,467 sedangkan untuk negara-negara maju 0,392 (Irawan dan Suparmoko, 1992). Ini berarti tingkat kesejahteraan penduduk di wilayah Badung Utara maupun Badung Selatan masih perlu mendapat perhatian dan berbagai pihak.

Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Artini (1996) di Kecamatan Abang di mana distribusi pendapatan petani di Kecamatan Abang tergolong dalam ketimpangan ringan dengan Gini Ratio sebesar 0,229. Dari hasil penelitian Artinidkk, (2001) sebelumnya menunjukkan bahwa Gini Ratio pendapatan masyarakat Di Badung Utara dan Badung Selatan sebesar 0,64 dan 0,73. Ini berarti setelah meledaknya Bom Bali tahun 2002 pendapatan masyarakat di Daerah penelitian mengalami penurunan yang signifikan. Penurunan pendapatan ini sekaligus menurunkan angka Gini (perbaikan penyebaran pendapatan).


(46)

VI.KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari uraian sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan:

1. Masyarakat di Badung Utara (daerah non pariwisata) mempunyai karakteristik antara lain: rata-rata pendidikan formal 9,4 tahun; luas penguasaan tanah 33.39 are dan pemilikan tanah 50,87 are. Sementara masyarakat di Badung Selatan (daerah pariwisata) rata-rata pendidikannya 7,2 tahun, luas penguasaan tanah 24,38 are serta luas pemilikan tanah sebesar 48,61 are.

2. Pendapatan penduduk Badung Utara (daerah non pariwisata) dan pendapatan penduduk di Badung Selatan (daerah pariwisata) masing-masing Rp 3.871.801,38 dan Rp 5.472.329,47 per kapita per tahun.

3. Distribusi pendapatan per kapila per tahun masyarakat di Badung Utara (daerah non pariwisata) dan masyarakat di Badung Selatan (daerah pariwisata) Tergolong dalam ketimpangan sedang dengan indek Gini masing-masing62dan 0,65.


(47)

6.2 Saran

1. Perlu ada upaya peningkatan pendapatan masyarakat baik di daerah non pariwisata maupun di daerah pariwisata.

2. Perlu adanya upaya-upaya untuk mengurangi ketimpangan pendapatan masyarakat agar tidak menimbulkan gejolak sosial. Hal ini dapat dicapai bila pemerintah menciptakan iklim yang berpihak kepada golongan masyarakat menengah ke bawah.


(48)

DAFTAR PUSTAKA

Artini, Ni Wayan Putu (1996). Analisis Rumah Tangga Petani di Desa Miskin dan Tidak Miskin, Thesis Pasca Sarjana universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Artini, Ni Wayan Putu, I gdePItana, Ni Wayan Sri Astiti, dan I WayanWidyantara

(2001). Tingkat kesejahteraan penduduk di Badung Utara dan Badung Selatan, Kerjasama Pusat Penelitian Kepariwisataan dan Kebudayaan dengan Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar

Badan Pusat Statisitk (2002). Badung Dalam Angka 2002. Bappeda Kabupaten Badung.

Bellante, D. dan Mark Jakson (1990). Ekonomi Ketenagakerjaan, terjemahan Wimanjaya K. Liotohe dan M. Yasin Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Halide (1979). Pemanfaatan Waktu Luang Rumah Tangga Petani di Daerah Aliran Sungai Jeneberang, Disertai Doktor Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Hasibuan, Nurimansyah (1993). Pemerataan dan Pembangunan Ekonomi, Universitas Sri Wijaya, Palembang.

Nasikun (1992). Indek Kualitas Hidup Fisik : Makna dan LImitasinya. Kumpulan Makalah Membangun Martabat Manusia, Gajah Mada Universitas Press. Pitana, I Gde (1999). Pelangi Pariwisata Bali, Kajian Aspek Sosial Budaya

Kepariwisataan Bali di Penghujung Abad, BP, Denpasar.

Santyosa (1974). Penyebaran Industri di Daerah Pedesaan, Warta Pertanian NO. 31 Tahun IV, Departemen Pertanian Jakarta.

Singarimbun, Masri dan Tri Handayani (1982). Pembuatan Kuesioner, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta.

Soejono, I (1978). Metode Penelitian Distribusi Pendapatan di Pedesan, Pola Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Dalam Pelita III, Kompetensi Nasional V Perhepi, Yayasan Agroekonomika, Jakarta.


(49)

Sudana, I Wayan (1984). Tingkat Kemiskinan Keluarga Petani di Desa Pupuan, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar, Skripsi Sarjana Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Universitas Udayana, Denpasar.

Thiptoherijanto, Prijono (1982). Masalah Ekonomi dalam Fakta dan Analisa, Bina Aksara, Jakarta.


(1)

Sektor pertanian adalah sektor yang menampung sebagian besar tenaga kerja dengan tingkat produktivitas yang rendah, sektor mi kebanyakan bersifat tradisional dengan tingkat pendidikan tenaga kerja yang relatif tertinggal, Banyak para ahli yang meneliti tentang kesenjangan pembagian pendapatan personal pada sektor pertanian. Dari tulisan tersebut diperoleh bahwa beberapa variabel yang berkaitan dengan kesenjangan pembagian pendapatan yaitu luas tanah, kesempatan kerja, kesempatan dalam memperoleh irigasi, status pemilikan tanah, dan tingkat pertumbuhan (Hasibuan, 1993). Sedangkan Bellante dan Jakson (1990) menyebutkan sumber ketidaksamaan pendapatan adalah perbedaan dalam human capital yang pada akhimya membawa perbedaan dalam penghasilan. Lebih lanjut disebutkan bahwa perbedaanitukarenaperbedaan citarasa dan preferensi seseorang,kesediaan menggantikan pekerjaan dengan waktu untuk leisure, jenis serta jumlah pekerjaan, dan motivasi.

Untuk mengukur keberhasilan pembangunan, hendaknya tidak hanya diukur dengan besarnya pendapatan tetapi juga dilihat dari bagaimana penyebaran pendapatan tersebut di masyarakat. Distribusi pendapatan merupakan suatu konsep yang empiris untuk menentukan atau menilai bagaimana pendapatan total populasi itu terbagi diantara satuan-satuan yang menerima pendapatan (Soejono, 1978). Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan distribusi pendapatan dalam tulisan ini adalah suatu keadaan yang menunjukkan bagaimana penyebaran total pendapatan diantara penerima pendapatan di Badung Utara dan Badung Selatan. Didalam menghitung distribusi pendapatan ini dipakai satuan pendapatan per kapita.


(2)

Dari hasil perhitungan dengan formula Gini Ratio diperoleh bahwa distribusi pendapatan per kapita per tahun untuk wilayah Badung Utara dan Badung Selatan tergolong dalam ketimpangan sedang dengan Gini Ratio sebesar 0,62 dan 0,65.dan

Gini Ratio di negara-negara sedang berkembang rata-rata 0,467 sedangkan untuk negara-negara maju 0,392 (Irawan dan Suparmoko, 1992). Ini berarti tingkat kesejahteraan penduduk di wilayah Badung Utara maupun Badung Selatan masih perlu mendapat perhatian dan berbagai pihak.

Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Artini (1996) di Kecamatan Abang di mana distribusi pendapatan petani di Kecamatan Abang tergolong dalam ketimpangan ringan dengan Gini Ratio sebesar 0,229. Dari hasil penelitian Artinidkk, (2001) sebelumnya menunjukkan bahwa Gini Ratio pendapatan masyarakat Di Badung Utara dan Badung Selatan sebesar 0,64 dan 0,73. Ini berarti setelah meledaknya Bom Bali tahun 2002 pendapatan masyarakat di Daerah penelitian mengalami penurunan yang signifikan. Penurunan pendapatan ini sekaligus menurunkan angka Gini (perbaikan penyebaran pendapatan).


(3)

VI.KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari uraian sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan:

1. Masyarakat di Badung Utara (daerah non pariwisata) mempunyai karakteristik antara lain: rata-rata pendidikan formal 9,4 tahun; luas penguasaan tanah 33.39 are dan pemilikan tanah 50,87 are. Sementara masyarakat di Badung Selatan (daerah pariwisata) rata-rata pendidikannya 7,2 tahun, luas penguasaan tanah 24,38 are serta luas pemilikan tanah sebesar 48,61 are.

2. Pendapatan penduduk Badung Utara (daerah non pariwisata) dan pendapatan penduduk di Badung Selatan (daerah pariwisata) masing-masing Rp 3.871.801,38 dan Rp 5.472.329,47 per kapita per tahun.

3. Distribusi pendapatan per kapila per tahun masyarakat di Badung Utara (daerah non pariwisata) dan masyarakat di Badung Selatan (daerah pariwisata) Tergolong dalam ketimpangan sedang dengan indek Gini masing-masing62dan 0,65.


(4)

6.2 Saran

1. Perlu ada upaya peningkatan pendapatan masyarakat baik di daerah non pariwisata maupun di daerah pariwisata.

2. Perlu adanya upaya-upaya untuk mengurangi ketimpangan pendapatan masyarakat agar tidak menimbulkan gejolak sosial. Hal ini dapat dicapai bila pemerintah menciptakan iklim yang berpihak kepada golongan masyarakat menengah ke bawah.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Artini, Ni Wayan Putu (1996). Analisis Rumah Tangga Petani di Desa Miskin dan Tidak Miskin, Thesis Pasca Sarjana universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Artini, Ni Wayan Putu, I gdePItana, Ni Wayan Sri Astiti, dan I WayanWidyantara

(2001). Tingkat kesejahteraan penduduk di Badung Utara dan Badung Selatan, Kerjasama Pusat Penelitian Kepariwisataan dan Kebudayaan dengan Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar

Badan Pusat Statisitk (2002). Badung Dalam Angka 2002. Bappeda Kabupaten Badung.

Bellante, D. dan Mark Jakson (1990). Ekonomi Ketenagakerjaan, terjemahan Wimanjaya K. Liotohe dan M. Yasin Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Halide (1979). Pemanfaatan Waktu Luang Rumah Tangga Petani di Daerah Aliran Sungai Jeneberang, Disertai Doktor Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Hasibuan, Nurimansyah (1993). Pemerataan dan Pembangunan Ekonomi, Universitas Sri Wijaya, Palembang.

Nasikun (1992). Indek Kualitas Hidup Fisik : Makna dan LImitasinya. Kumpulan Makalah Membangun Martabat Manusia, Gajah Mada Universitas Press. Pitana, I Gde (1999). Pelangi Pariwisata Bali, Kajian Aspek Sosial Budaya

Kepariwisataan Bali di Penghujung Abad, BP, Denpasar.

Santyosa (1974). Penyebaran Industri di Daerah Pedesaan, Warta Pertanian NO. 31 Tahun IV, Departemen Pertanian Jakarta.

Singarimbun, Masri dan Tri Handayani (1982). Pembuatan Kuesioner, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta.

Soejono, I (1978). Metode Penelitian Distribusi Pendapatan di Pedesan, Pola Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Dalam Pelita III, Kompetensi Nasional V Perhepi, Yayasan Agroekonomika, Jakarta.


(6)

Sudana, I Wayan (1984). Tingkat Kemiskinan Keluarga Petani di Desa Pupuan, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar, Skripsi Sarjana Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Universitas Udayana, Denpasar.

Thiptoherijanto, Prijono (1982). Masalah Ekonomi dalam Fakta dan Analisa, Bina Aksara, Jakarta.