PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN METACOGNITIVE SCAFFOLDING : studi kuasi eksperimen di salah satu SMPN kota Serang.

(1)

TESIS

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika

oleh Diny Hildhany

NIM 1202178

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG


(2)

Oleh Diny Hildhany

S.Pd. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), 2008

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Matematika

© Diny Hildhany 2015 Universitas Pendidikan Indonesia

Agustus 2015

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difotokopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF

LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN

PENDEKATAN METACOGNITIVE SCAFFOLDING (Studi Kuasi Eksperimen di Salah Satu SMPN Kota Serang)


(3)

Disetujui dan disahkan oleh pembimbing Pembimbing I

Dr. H. Tatang Mulyana, M.Pd

NIP. 19510106 197603 1 004

Pembimbing I

Dr. Kusnandi, M.Si

NIP. 19690330 199303 1 002 Mengetahui

Plt. Ketua Program Studi Pendidikan Matematika

Dr. Elah Nurlaelah, M.Si

NIP.19641123 199103 2 002

MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING

TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN

METACOGNITIVE SCAFFOLDING


(4)

Diny Hildhany, 2015

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN

METACOGNITIVE SCAFFOLDING

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

vi ABSTRAK

Diny Hildhany (2015) : PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN METACOGNITIVE SCAFFOLDING

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pencapaian dan peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis serta sikap siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif

Learning Two Stay Two Stray (TSTS) dengan pendekatan metacognitive scaffolding

dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif biasa dengan pendekatan konvensional, adapun keunggulan pembelajaran tersebut dapat meningkatkan kemampuan sosial antar siswa, siswa dapat belajar secara mandiri sesuai pengalaman sendiri ataupun orang lain, dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis serta dapat meningkatkan sikap positif terhadap matematika. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMPN 13 Kota Serang dengan sampel dipilih dua kelas dari 8 kelas yang tersedia. Penelitian ini merupakan penelitian quasi experiment dengan desain penelitian Non-equivalent Control Group Design.. Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) pencapaian kemampuan pemahaman matematis siswa dengan pembelajaran kooperatif Learning TSTS dengan pendekatan Metacognitive Scaffolding lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran kooperatif konvensional. (2) peningkatan kemampuan pemahaman dengan pembelajaran kooperatif Learning TSTS dengan pendekatan Metacognitive Scaffolding lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran kooperatif konvensional (3) pencapaian kemampuan komunikasi dengan pembelajaran kooperatif Learning TSTS dengan pendekatan Metacognitive Scaffolding lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran kooperatif konvensional (4) peningkatan kemampuan komunikasi dengan pembelajaran kooperatif Learning TSTS dengan pendekatan Metacognitive Scaffolding kebih baik dibandingkan dengan pembelajaran kooperatif konvensional, (5) sikap siswa yang positif terhadap pembelajaran kooperatif Learning TSTS dengan pendekatan Metacognitive Scaffolding

Kata Kunci : pembelajaran kooperatif learning Two Stay Two Stray (TSTS), pendekatan

metacognitive scaffolding , kemampuan pemahaman matematis , kemampuan komunikasi matematis, sikap siswa


(5)

Diny Hildhany, 2015

UNDERSTANDING AND COMMUNICATION OF STUDENTS THROUGH

COOPERATIVE LEARNING Two Stay Two Stray (TSTS) BY USING Metacognitive Scaffolding

This study aims to assess the achievement and improvement of the capability of

understanding and communication of mathematical and attitudes of students who

received cooperative learning, through Two Stay Two Stray (TSTS) approach

metacognitive scaffolding compared with students who received cooperative

learning usual with conventional approaches. The advantages of learning can

improve social skills among students, students can learn independently according

to experience it, students can improve comprehension and mathematical

communication and students increase positive attitudes towards mathematics. The

populations in this study were all students of class VIII SMPN 13 Serang with

purposive samples of two classes of eighth grade available. This research used a

quasi-experimental research with non-equivalent control group design. The results

revealed that (1) the achievement of students' mathematical understanding of the

ability of cooperative learning through TSTS with Scaffolding metacognitive

approach is better than the conventional cooperative learning. (2) increase the

ability of understanding with cooperative learning throgh TSTS approach

metacognitive Scaffolding better than the cooperative learning conventional (3) the

achievement of communications capabilities with cooperative learning through

TSTS approach metacognitive Scaffolding is better than the cooperative learning

conventional (4) improvement of communication skills with cooperative learning

through TSTS metacognitive Scaffolding approach is significantly better than with

conventional cooperative learning, (5) there is a positive student attitudes toward

Cooperative Learning through TSTS with Metacognitive Scaffolding approach.

Keywords: Cooperative Learning through Two Stay Two Stray (TSTS), metacognitive scaffolding approach, the ability of mathematical understanding, mathematical communication skills, attitudes students


(6)

Diny Hildhany, 2015

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN

METACOGNITIVE SCAFFOLDING

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

vii

DAFTAR ISI

PERNYATAAN………..

KATA PENGANTAR……….

UCAPAN TERIMA KASIH………

PERSEMBAHAN……….. ABSTRAK………... DAFTAR ISI………

DAFTAR TABEL………

DAFTAR GAMBAR………...

DAFTAR LAMPIRAN………

DAFTAR DIAGRAM ………... BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah………... 1.2 Rumusan Masalah………... 1.3 Tujuan Penelitian……….. 1.4 Manfaat Penelitian………..……….. 1.5 Definisi Operasional………. BAB II. KAJIAN TEORITIS

2.1 Kemampuan Pemahaman Matematis…..…...……….. 2.2 Kemampuan Komunikasi Matematis………..………….. 2.3 Pendekatan Metacognitive Scaffolding………... 2.4 Pembelajaran Kooperatif Learning Two Stay Two Stray

(TSTS)…...………... 2.5 Teori belajar yang mendukung……….

2.6 Sikap Siswa……….

2.7 Penelitian yang Relevan………... 2.8 Kerangka Berfikir ………

i ii iii v vi vii x xiv xv xvii 1 11 12 13 14 17 20 22 28 33 39 40 42


(7)

Diny Hildhany, 2015

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN

3.1 Desain Penelitian………..

3.2 Populasi dan Sampel……….... 3.3 Variabel Penelitian ………. 3.4 Instrumen Penelitian……… 3.4.1 Tes Kemampuan Pemahaman Matematis……… 3.4.2 Tes Kemampuan Komunikasi Matematis……….

3.4.3 Angket ………...

3.4.4 Lembar Observasi……….. 3.5Teknik Analisis Instrumen……….….………...

3.5.1 Validitas……….

3.5.2 Reliabilitas……….

3.5.3 Daya Pembeda………

3.5.4 Tingkat Kesukaran……….

3.6Perangkat Pembelajaran………. 3.7Prosedur Penelitian………

3.7.1 Tahap Persiapan ……….

3.7.2 Tahap Pelaksanaan ……….. 3.7.3 Tahap Pengumpulan Data ……….. 3.8Teknik Pengumpulan Data………. 3.9Teknik Analisis Data

3.9.1 Data Hasil Tes Kemampuan Pemahaman dan komunikasi Matematis……….. 3.9.2 Analisis Data Sikap Siswa ……… 3.9.3 Lembar observasi ……….………. 3.10 Alur Uji Statistik………. BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

47 48 49 49 49 50 52 53 54 54 56 57 59 60 61 62 62 62 63 63 66 67 68


(8)

Diny Hildhany, 2015

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN

METACOGNITIVE SCAFFOLDING

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

viiii

4.1Hasil Penelitian………..

4.1.1 Analisis statitik deskriptif kemampuan pemahaman dan komunikasi Matematis………..…. 4.1.2 Analisis Statistika Inferensial ………

4.1.2.1 Analisis Data Kemampuan Pemahaman Matematis………... 4.1.2.2 Analisis Data Kemampuan Komunikasi

Matematis………...

4.1.3 Analisis Angket Sikap Siswa…….……… 4.1.3.1 Analisis Deskriptif Angket Sikap Siswa …… 4.1.3.2 Analisis Inferensial Angket Sikap Siswa ….. 4.1.4 Analisis Hasil Observasi Kegiatan Guru dan Siswa….. 4.1.5 Hasil observasi aktivitas siswa selama proses

pembelajaran ……….……… 4.2Pembahasan

4.2.1 Kemampuan Pemahaman Matematis……… 4.2.2 Kemampuan Komunikasi Matematis……… 4.2.3 Kooperatif Learning Two Stay Two Stray(TSTS) …...

4.2.4 Sikap Siswa………

BAB. V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan………

5.2Saran……….

DAFTAR PUSTAKA………..

LAMPIRAN……….

RIWAYAT HIDUP ………. 69 70 72 73

81 89 90 94 95 96 97 99 101 102 104 105 107 114 276


(9)

Diny Hildhany, 2015

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN

Tabel 2.1 Sintaks (Tingkah Laku Mengajar) Model Pembelajaran Kooperatif...

30 Tabel 3.1 Kriteria pemberian Skor Kemampuan Pemahaman Matematis. 50 Tabel 3.2 Kriteria Pemberian Skor Kemampuan Komunikasi Matematis 51 Tabel 3.3 Klasifikasi koefisien Validitas... 55 Tabel 3.4 Data Hasil uji coba validitas butir soal Pemahaman dan

Komunikasi Matematis ... 55 Tabel 3.5 Klasifikasi koefisien Reliabilitas... 57 Tabel 3.6 Data hasil uji coba klasifikasi Koefisien Reliabilitas ... 57 Tabel 3.7 Klasifikasi Daya Pembeda ... 58 Tabel 3.8 Data Hasil Uji Coba Daya Pembeda Butir Soal Pemahaman

dan Komunikasi Matematis... 58 Tabel 3.9 Klasifikasi Tingkat Kesukaran... 59 Tabel 3.10 Data Hasil Uji Coba Tingkat Kesukaran Butir Soal

Pemahaman dan Komunikasi Matematis... 60 Tabel 3.11 Rekapitulasi Data Hasil Uji Coba Instrumen... 60 Tabel 3.12 Klasifikasi Gain Ternormalisasi... 64 Tabel 3.13 Pembobotan Skala Sikap Siswa……….

Tabel 3.14 Klasifikasi Aktivitas Siswa...

66 67 Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Kemampuan Pemahaman dan komunikasi

Matematis………... 70


(10)

Diny Hildhany, 2015

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN

METACOGNITIVE SCAFFOLDING

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

ixii

Tabel 4.2 Data Hasil Uji Normalitas skor pretest Kemampuan Pemahaman………...

73 Tabel 4.3 Data hasil uji Homogenitas skor pretest Kemampuan

Pemahaman Matematis ……... 74 Tabel 4.4 Hasil Uji Perbedaan Rata-rata skor Pretest Kemampuan

Pemahaman Matematis ……..……….

75 Tabel 4.5 Data Hasil Uji Normalitas Postest Kemampuan Pemahaman

Matemat... 76 Tabel 4.6 Hasil Uji Mann Whitney skor postest Kemampuan

Pemahaman Matematis ... 77 Tabel 4.7 Rerata dan Klasifikasi Ngain Kemampuan Pemahaman

Siswa………... 77 Tabel 4.8 Hasil Uji Normalitas skor Ngain Kemampuan Pemahaman

Matematis …… ... 78 Tabel 4.9 Hasil Uji Homogenitas Varians N-Gain Kemampuan

Pemahaman Matematis ... 79 Tabel 4.10 Hasil Uji Perbedaan Rerata Skor NGain Kemampuan

Pemahaman Matematika…….………..

80 Tabel 4.11 Hasil Uji Normalitas Pretest Kemampuan Komunikasi

Matematis ...

82 Tabel 4.12 Hasil Uji Homogenitas Skor Pretest Kemampuan

Komunikasi Matematis ... 83 Tabel 4.13 Hasil Uji Perbedaan Rerata Pretest Kemampuan Komunikasi

Matematis ...

83 Tabel 4.14 Data Hasil Uji Normalitas Postest Kemampuan Komunikasi

Matematis ….. ...

84 Tabel 4.15 Hasil Uji Homogenitas skor Postest Kemampuan

Komunikasi Matematis Siswa ... 85


(11)

Diny Hildhany, 2015

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN

……….

Tabel 4.18 Data Hasil Uji Normalitas Skor Ngain Kemampuan Komunikasi Matematis ...

87 Tabel 4.19 Data Hasil Uji Perbedaan Rerata SKor Ngain Kemampuan

Komunikasi Matematis……….. ... 89 Tabel 4.20 Distribusi Hasil Sikap Siswa mengenai Minat SIswa

terhadap Pembelajaran Matematik……… 90 Tabel 4.21 Distribusi Sikap Siswa terhadap Manfaat Model

Pembelajaran Kooperatif Learning Two Stay Two Stray.(TSTS) dengan Pendekatan Metacognitive Scaffolding terhadap soal-soal pemahaman dan komunikasi matematis

91

Tabel 4.22 Distribusi Hasil Sikap Siswa Memberikan Penjelasan Secara Logis dan Benar atau Argumen Verbal yang didasarkan pada Analisis terhadap Gambar dan Konsep-konsep Formal (Aspek Written Text)……….

92

Tabel 4.23 Distribusi Hasil Sikap Siswa terhadap Membuat Model Matematis (Aspek Mathematical Expression)……….

92 Tabel 4.24 Distribusi Hasil Sikap Siswa terhadap Memunculkan Model

Konseptual seperti Gambar, Diagram, Tabel dan Grafik (Aspek Drawing) ...

93

Tabel 4.25 Distribusi Hasil Sikap Siswa Menununjukkan Kesungguhannya dalam berpikir untuk memahami Konsep suatu Masalah……… ...

93

Tabel 4.26 Distribusi Hasil Sikap Siswa terhadap Kesetujuan Siswa bahwa Pembelajaran Matematika Melalui Model


(12)

Diny Hildhany, 2015

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN

METACOGNITIVE SCAFFOLDING

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

xiii

Pembelajaran Kooperatif Learning Two Stay Two Stray

(TSTS) dengan Pendekatan Metacognitive Scaffolding

untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematis... Tabel 4.27 Hasil Pengamatan Observasi aktivitas Guru Selama

Pembelajaran Dengan model pembelajaraan kooperatif

learning Two Stay Two Stray (TSTS) dengan Pendekatan

Metacognitive Scaffolding………... 95

Tabel 4.28 Hasil Pengamatan Observasi aktivitas Siswa Selama Pembelajaran Dengan Model Pembelajaraan Kooperatif

Learning Two Stay Two Stray (TSTS) dengan Pendekatan

Metacognitive Scaffolding...

97

Tabel 4.29 Rerata Postest tiap Butir Soal Kemampuan Pemahaman Matematis ...

98 Tabel 4.30 Rerata Postest tiap Butir Soal Kemampuan Komunikasi

Matematis ... 100


(13)

Diny Hildhany, 2015

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN

Gambar E.3 Presentasi Hasil Diskusi ……… 275 Gambar E.4 Fase Evaluasi ……… 275


(14)

Diny Hildhany, 2015

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN

METACOGNITIVE SCAFFOLDING

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

xiiiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A

A.1 Silabus ... 114

A.2 RPP Kelas Eksperimen ... 121

A.3 Lembar Kegiatan Siswa ………. 153

A.4 RPP Kelas Kontrol... 185

Lampiran B B. 1 Kisi-Kisi Tes Pemahaman dan Komunikasi Matematis ………… 214

B.2 Tes Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis …….. 219

B.3 Alternatif Jawaban Tes Pemahaman dan Komunikasi Matematis... 221 B.4 Kisi-kisi Butir Skala Angket Sikap Siswa... 226

B.5 Angket Sikap Siswa ... 227

B.6 Lembar Observasi ... 229 Lampiran C

C.1 Hasil Analisis Validasi Instrumen Kemampuan Pemahaman Matematis...

231 C.2 Hasil Analisis Reliabilitas Instrumen Kemampuan Pemahaman

Matematis ... 232 C.3 Hasil Analisis Tingkat Kesukaran Instrumen Kemampuan

Pemahaman Matematis ... 233 C.4 Hasil Analisis Daya Pembeda Instrumen Kemampuan

Pemahaman Matematis ... 234 C.5 Hasil Analisis Validasi Instrumen Kemampuan Komunikasi

Matematis ... 235 C.6 Hasil Analisis Reliabilitas Instrumen Kemampuan Komunikasi

Matematis

236 C.7 Hasil Analisis Tingkat Kesukaran Instrumen Kemampuan

Komunikasi Matematis ...

237 C.8 Hasil Analisis Daya Pembeda Instrumen Kemampuan

Komunikasi Matematis ... 238 Lampiran D

D.1 Data Pretest Aspek Kemampuan Pemahaman Matematis Kelas Eksperimen………...

239 D.2 Data Postest Aspek Kemampuan Pemahaman Matematis Kelas

Eksperimen………...

240 D.3 Data Pretest, Postest dan N-Gain Kemampuan Pemahaman

Matematis Kelas Eksperimen ... 241 D.4 Data Pretest Aspek Kemampuan Pemahaman Matematis Kelas

Kontrol………...

242 D.5 Data Postest Aspek Kemampuan Pemahaman Matematis Kelas 243


(15)

Diny Hildhany, 2015

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN

D.7 Data Pretest Aspek Kemampuan Komunikasi Matematis Kelas Eksperimen………...

245 D.8 Data Postest Aspek Kemampuan Komunikasi Matematis Kelas

Eksperimen………...

246 D.9 Data Pretest, Postest, dan N-Gain Komunikasi Pemahaman

Matematis Kelas Eksperimen ... 247 D.10 Data Pretest Aspek Kemampuan Komunikasi Matematis Kelas

Kontrol………...

248 D.11 Data Postest Aspek Kemampuan Komunikasi Matematis Kelas

Kontrol………...

249 D.12 Data Pretest, Postest, dan N-Gain Kemampuan Komunikasi

Matematis Kelas Kontrol ...

250 D.13 Pengolahan Data dan Analisis Uji Statistika Pretest, Postest dan

NGain Kemampuan Pemahaman Matematis ………. 251

D.14 Pengolahan Data dan Analisis Uji Statistika Pretest, Postest dan NGain Kemampuan Komunikasi Matematis ………. 258

D.15 Data Skala Respon Siswa ………... 265

D.16 Analisis Deskriptif angket Respon Siswa ……….. 267

D.17 Analisis Uji Tanda Angket Respon Siswa ………. 269

Lampiran E E.1 Dokumentasi Kegiatan Pembelajaran ... 273


(16)

Diny Hildhany, 2015

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN

METACOGNITIVE SCAFFOLDING

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

xvii

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 2.1 Teknik Two Stay Two Stray ……… 32 Diagram 3.1 Prosedur Penelitian ... 61 Diagram 3.2 Alur Pengolahan Data ……... 68


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan sebagaimana yang dinyatakan di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 1 angka 1 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Adapun tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana telah dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Tujuan pendidikan nasional diatas mengandung makna bahwa proses pendidikan tidak terlepas dari kegiatan belajar dan pembelajaran di sekolah. Pembelajaran adalah proses interaksi antar peserta didik, antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (UU Peraturan Pemerintah Republik INDONESIA Nomor 32 Tahun 2013) (Depdiknas, 2013). Proses pembelajaran akan terjalin dengan baik apabila terjadi interaksi yang baik antara guru dan siswa. Berbagai macam ilmu yang diperoleh siswa dengan salah satu mata pelajaran pokok yang perlu mendapat perhatian di sekolah adalah matematika, dimana matematika diajarkan mulai dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi.

Bertolak belakang dengan tujuan nasional di atas kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Hal ini terlihat dari hasil survey The Trends International Mathematics Science Study (TIMMS), survey internasional tentang prestasi matematika dan sains pada tahun 2003, dimana Indonesia berada di peringkat 34 dari 45 negara dengan rerata skor 411, pada tahun 2007 prestasi


(18)

2

Diny Hildhany, 2015

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN METACOGNITIVE SCAFFOLDING

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

matematika siswa Indonesia, berada di peringkat 36 dari 49 negara, bahkan pada tahun 2011 lebih memprihatinkan lagi, karena rerata skor siswa turun menjadi 397 jauh lebih rendah dibanding prestasi pada tahun 2003, bahkan lebih rendah sekali jika dibandingkan dengan rerata skor internasional yaitu 500 (Ruhyadi dan Elah, 2013).

Kondisi yang tidak jauh berbeda terlihat dari hasil studi yang dilakukan PISA (Programme for International Student Assesment). Hasil studi PISA 2012, Indonesia berada di peringkat ke 64 dari 65 negara peserta dengan skor rata-rata 375 sedangkan skor rata-rata internasional 500 (Zakaria, 2014).

Mencermati hasil riset TIMMS dan PISA diatas menunjukkan bahwa kemampuan matematika siswa di Indonesia masih jauh di bawah rata-rata internasional. Meskipun hal tersebut bukan merupakan barometer bagi keberhasilan pendidikan Indonesia, tetapi hal tersebut dapat dijadikan acuan sebagai evaluasi untuk memotivasi semua pihak dalam dunia pendidikan sehingga prestasi belajar matematis siswa di Indonesia dapat ditingkatkan lagi.

Sebagaimana tercantum dalam Permendikbud No. 58 Tahun 2014, proses pendidikan dikatakan sebagai proses perubahan kognitif, afektif, dan psikomotorik kearah kedewasaan sesuai dengan kebenaran logika. Proses perubahan ketiga aspek itu tercermin dalam proses pembelajaran matematika. Proses pembelajaran matematika memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan potensi dirinya dan meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan. Matematika sebagai salah satu pelajaran yang diajarkan sejak bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi di berbagai disiplin ilmu dalam mengembangkan potensi peserta didik sehingga fungsi matematika menjadi sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Bakhtiar (2004) menyatakan bahwa pembelajaran matematika merupakan salah satu pembelajaran yang mendasar untuk pencapaian ilmu lainnya. Sejalan dengan pendapat Suherman, dkk (Wahyuni, 2013) bahwa tujuan pembelajaran matematika antara lain adalah mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola berpikir matematika dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mempelajari matematika, siswa dilatih untuk berpikir secara logis, analitis, sistematis, kritis,


(19)

dan kreatif, sesuai dengan salah satu karakteristik matematika sebagai ilmu yang terstruktur, sistematis dan mempunyai sifat keteraturan yang indah. (Sumarmo: 2006).

Depdiknas (2006) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran matematika adalah agar siswa mampu: (1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah; (2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Dilihat dari tujuan nomor 1 sampai dengan nomor 4 diatas, menunjukkan kompetensi atau kemampuan berpikir matematika, sedangkan tujuan nomor 5 menggambarkan ranah kompetensi afektif.

Penempatan kemampuan pemahaman pada butir pertama dari tujuan pembelajaran matematika, mengisyaratkan bahwa kemampuan pemahaman memiliki peranan yang cukup penting dan merupakan prasyarat untuk mencapai kemampuan matematika yang lainnya. Pentingnya aspek pemahaman matematis dalam pembelajaran matematika, tersirat pula dalam NCTM 2000, yang menyatakan bahwa dalam belajar matematika siswa harus disertai dengan pemahaman, hal ini merupakan visi dari belajar matematika. Dinyatakan pula dalam NCTM 2000 bahwa belajar tanpa pemahaman merupakan hal yang terjadi dan menjadi masalah sejak tahun 1930-an, sehingga belajar dengan pemahaman tersebut terus ditekankan dalam kurikulum.

Untuk memiliki berbagai kemampuan matematis maka diperlukan proses pemahaman konsepnya harus ditanam terlebih dahulu agar konsep melekat lebih


(20)

4

Diny Hildhany, 2015

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN METACOGNITIVE SCAFFOLDING

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

lama. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Sumarmo (dalam Ummu, 2015) yang menyatakan bahwa pemahaman matematis penting dimiliki karena diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematika, masalah dalam disiplin ilmu lain dan masalah dalam kehidupan sehari-hari, yang merupakan visi pengembangan pembelajaran matematika untuk memenuhi kehidupan masa kini.

Adapun Sumarmo (dalam Ummu, 2015) mengklasifikasikan berpikir matematik berdasarkan jenisnya ke dalam lima ranah, yaitu Pemahaman matematik (mathematical understanding), Pemecahan masalah (mathematical problem solving), Komunikasi matematik (mathematical communication), Koneksi matematik (mathematical connection), dan Penalaran matematik (mathematical reasoning)

Sumarmo (2013) mengelompokkan pemahaman menjadi dua bagian, yaitu pemahaman tingkat rendah seperti pemahaman mekanikal, komputasional, dan instrumental serta pemahaman tingkat tinggi seperti pemahaman relasional dan pemahaman rasional. NCTM (Riyanti, 2011) merinci pemahaman matematis meliputi kemampuan: mendefinisikan konsep secara verbal dan tulisan; membuat contoh dan non contoh; mempresentasikan suatu konsep dengan model, diagram dan simbol; mengubah suatu bentuk representasi ke bentuk representasi yang lain; mengenal berbagai makna dan interpretasi konsep; mengidentifikasi sifat-sifat suatu konsep dan mengenal syarat-syarat yang menentukan suatu konsep; membandingkan dan membedakan konsep-konsep.

Berbagai penelitian tentang pemahaman telah dilakukan, namun beberapa diantaranya belum mencapai hasil yang diharapkan. Salah satu studi yang dilakukan Priatna (2003), mengenai kemampuan pemahaman, diperoleh temuan bahwa kualitas kemampuan pemahaman konsep berupa pemahaman instrumental dan relasional masih rendah yaitu sekitar 50% dari skor ideal. Hasil penelitian Anna (2010), mengenai kemampuan pemahaman, diperoleh temuan bahwa kualitas kemampuan pemahaman konsep berupa pemahaman instrumental dan relasional masih rendah yaitu sekitar 25% dari skor ideal.

Berdasarkan hasil studi Tim JICA (Japan International Corporation Agency), salah satu penyebab rendahnya kualitas pemahaman siswa SD dan SMP


(21)

adalah karena pada proses pembelajaran guru terlalu berkonsentrasi pada latihan soal yang bersifat prosedural sehingga siswa tidak cepat memperoleh makna dari kegiatan pembelajaran. Hal ini mengakibatkan siswa terbiasa soal algoritmik saja tanpa memahami konsepnya sehingga mengalami kesulitan ketika siswa berhadapan dengan soal tidak rutin (Suherman, 2003).

Selain kemampuan pemahaman matematis siswa juga perlu dibekali dengan kemampuan komunikasi matematis. Komunikasi merupakan aspek penting dalam proses pembelajaran terutama dalam pembelajaran matematika. Dalam proses pembelajaran siswa dapat mengkomunikasikan ide matematis, baik secara tertulis maupun tulisan dalam permasalahan matematika berupa kata-kata, bilangan, simbol/gambar, diagram, tabel dan lain-lain.

Kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis adalah kemampuan yang perlu tertanam dalam diri siswa dalam belajar matematika. Menurut Nirmala (dalam Lindawati, 2010), membangun pemahaman pada setiap kegiatan belajar matematika akan mengembangkan pengetahuan matematika yang dimiliki oleh seseorang. Artinya, semakin luas pemahaman tentang ide atau gagasan matematika yang dimiliki oleh seorang siswa, maka akan semakin bermanfaat dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapinya. Sehingga dengan pemahaman diharapkan tumbuh kemampuan siswa untuk mengkomunikasikan konsep yang telah dipahami dengan baik dan benar setiap kali ia menghadapi permasalahan dalam pembelajaran matematika.

Dalam memunculkan ide, baik secara lisan maupun tulisan dibutuhkan komunikasi yang baik sehingga ide-ide tersebut dapat dipahami oleh orang lain. Kemampuan pemahaman dan komunikasi matematika merupakan hal yang sangat penting dan perlu ditingkatkan dalam pembelajaran matematika karena pemahaman dan komunikasi bisa membantu pembelajaran siswa tentang konsep matematika ketika mereka memerankan situasi, menggambar, menggunakan objek, memberikan laporan dan penjelasan verbal. Keuntungan lainnya adalah bisa mengingatkan siswa bahwa mereka dapat berbagi tanggung jawab dengan guru atas pembelajaran yang muncul dalam pembelajaran tertentu. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Turmudi (2008) bahwa ”Aspek komunikasi dan


(22)

6

Diny Hildhany, 2015

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN METACOGNITIVE SCAFFOLDING

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

penalaran hendaknya menjadi aspek penting dalam pembelajaran matematika. Aspek komunikasi melatih siswa untuk dapat mengkomunikasikan gagasannya, baik komunikasi lisan maupun komunikasi tulis”.

Kemampuan komunikasi yang baik akan memudahkan seorang pendidik untuk memahami kemampuan siswa dalam menginterpretasikan dan mengekspresikan pemahamannya tentang konsep dan proses matematika yang mereka pelajari. Agar kemampuan komunikasi matematis siswa dapat berkembang dengan baik, maka dalam proses pembelajaran matematika guru perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam mengkomunikasikan ide-ide matematisnya. Menurut konsep komunikasi, pembelajaran adalah proses komunikasi fungsional antar siswa dengan guru dan siswa dengan siswa, dalam rangka perubahan sikap dan pola pikir yang akan menjadi kebiasaan bagi siswa yang bersangkutan (Suherman, 2001).

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan matematis khususnya siswa SMP di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Anggraeni dan Turmudi (2012) menyatakan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis merupakan dua kemampuan matematis yang harus dimiliki oleh siswa SMP berdasarkan hasil riset siswa belum memiliki kemampuan tersebut dengan optimal. Mengenai hal lemahnya kemampuan berkomukasi ini dipertegas dengan hasil diskusi yang diperoleh Qohar (2010) bersama dengan beberapa guru SMP yang menyimpulkan bahwa siswa masih kurang baik dalam melakukan komunikasi matematis, baik komunikasi secara lisan maupun tulisan. Hal ini mendasari penelitian bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa harus dikembangkan pada siswa SMP.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan penulis di salah satu SMPN Kota Serang, sebagian besar siswa beranggapan bahwa matematika adalah pelajaran yang sulit serta memerlukan pemikiran yang keras dan cerdas. Hal ini tercermin pada saat siswa diberikan soal, siswa tidak mengerjakan atau malas mengerjakan soal dan lebih suka berkata tidak bisa sebelum mencoba, siswa


(23)

mengandalkan penjelasan dari guru dalam proses pembelajaran, siswa hanya mencatat apa yang telah dicatat guru di papan tulis dan setiap ada pertanyaan, siswa tidak menjawab dan mereka cenderung menunggu jawaban guru kemudian mencatatnya, siswa hanya terpaku dengan contoh-contoh soal materi yang diberikan oleh guru atau yang terdapat pada buku paket dan tidak pernah mencari sumber buku lainya. Jika soal tersebut dimodifikasi sedikit saja, maka siswa akan sulit mengerjakannya. Ada kenyataan lain yang berhubungan dengan perhatian guru yaitu kurangnya kesempatan untuk mengecek apakah setiap siswa sudah tuntas dalam memahami satu konsep pada topik tertentu sementara pembelajaran terus melangkah ke topik berikutnya yang lebih tinggi, maka diduga siswa akan mengalami kesulitan untuk memahami topik baru tersebut. Apabila situasi seperti itu terjadi terus menerus, maka akan ada siswa yang tidak pernah memahami konsep dengan tuntas.

Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa sebagaimana pendapat Ruseffendi (dalam Darta, 2004) bahwa dalam proses belajar matematika, terdapat sepuluh faktor yang mempengaruhi keberhasilan anak belajar. Kesepuluh faktor tersebut adalah kecerdasan anak, bakat, kemampuan belajar, minat anak, model penyajian materi, pribadi dan sikap guru, suasana belajar, kompetensi guru, serta kondisi masyarakat luas. Kesepuluh faktor tersebut secara garis besarnya dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu: faktor yang berasal dari dalam diri siswa dan yang berasal dari luar diri siswa. Faktor luar adalah faktor guru dan faktor masyarakat luas.

Menyadari dengan realita seperti diatas, untuk mengatasi hal tersebut diperlukan sebuah upaya pembelajaran bermakna yang dapat menumbuhkan refleksi dan penggalian ide-ide matematika untuk menjelaskan perilaku kognitif siswa sehingga kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis dalam menyelesaikan masalah matematika dalam kehidupan sehari-hari dengan lebih baik. Diduga, salah satu pendekatan pembelajaran yang akan membantu siswa agar lebih mudah dalam memahami dan berkomunikasi matematis adalah pembelajaran dengan pendekatan metacognitive scaffolding.


(24)

8

Diny Hildhany, 2015

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN METACOGNITIVE SCAFFOLDING

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Mokos & Kafoussi (2013) memberikan kontribusi hasil studinya bahwa setiap jenis masalah akan memunculkan strategi metakognitif secara spontan yang ditandai dengan pengakuan siswa terhadap jenis masalah matematika. Hal ini dapat membantu guru untuk menekankan sejumlah aspek strategi metakognitif siswa, dan merancang rencana intervensi dalam rangka meningkatkan fungsi kontrol metakognitif utamanya dalam masalah yang kompleks. Mevarech & Arami (dalam Mokos & Kaffoussi, 2013) menyatakan bahwa melalui bimbingan metakognitif dalam kelompok kecil, siswa dapat memperoleh kinerja pemecahan masalah yang baik dan menciptakan masalah lingkungan sosial yang interaktif. Tahap kinerja melibatkan proses, seperti penerapan strategi pembelajaran dan pemantauan metakognitif.

Menurut Lipscomb (dalam Nussu, 2011), Scaffolding atau bimbingan bertahap adalah suatu model pembimbingan yang bertolak dari kemampuan aktual peserta didik agar dapat mencapai kemampuan potensialnya. Pentahapan yang dimaksud dalam konteks ini bisa diartikan pula sebagai suatu transisi yang memungkinkan peserta didik beranjak dari pengalaman yang ada pada diri mereka pengalaman baru melalui orang yang lebih ahli. Scaffolding ini dibutuhkan karena sebenarnya siswa memiliki potensi yang sangat kaya namun siswa belum memiliki kemampuan untuk mengorganisisr informasi atau kemampuan awal yang telah dia miliki. Kemampuan mengorganisir ini menurut Awi (2010) dikenal sebagai salah satu bentuk kemampuan metacognitive. Selanjutnya Awi menambahkan bahwa untuk melibatkan metakognisi siswa pada saat berada pada tahap ZPD (Zona of Proximal Development), maka dibutuhkan bantuan berupa

scaffolding dari guru atau orang yang lebih menguasai. Bantuan yang dimaksud disini bukan dengan cara memberikan teorema atau rumus yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi siswa, namun berupa bantuan yang mengarahkan siswa melibatkan metakognisinya dalam belajar. Bantuan dalam hal ini dapat berupa pertanyaan, arahan atau perintah yang diistilahkan sebagai metacognitive scaffolding.


(25)

Setiap siswa sudah tentu mempunyai kemampuan metakognitif yang berbeda-beda, sehingga tentu saja guru dalam memberikan bantuan kepada siswa harus memberikan bantuan yang berbeda-beda pula kepada setiap siswa tergantung kepada kemampuan yang dimilikinya. Dalam pembelajaran matematika di kelas yang terdiri dari puluhan siswa, pada kondisi semacam ini sangat dibutuhkan suatu model pembelajaran yang bisa memudahkan guru untuk memberikan bantuan (scaffolding) kepada para siswa untuk memancing dan membuka jalan ke arah pemahaman dan komunikasi matematis yaitu dengan menggunakan pembelajaran kooperatif. Sejalan dengan pendapat Lester (2013), berpandangan bahwa kegiatan matematika memberikan peran menonjol dalam aktivitas metakognitif baik oleh individu maupun kelompok. Jika bantuan (scaffolding) ini dirancang dengan baik dalam kegiatan pembelajaran, sangat dimungkinkang siswa dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis.

Salah satu model pembelajaran inovatif yang diduga dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis dalam pendekatan

metacognitive scaffolding adalah model pembelajaraan kooperatif. Model kooperatif adalah salah satu model dengan kelompok kecil yang terdiri dari sejumlah siswa dengan tingkat kemampuan yang heterogen. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap anggota harus berdiskusi dan bekerja sama dengan anggota lain untuk menyelesaikan suatu masalah. Dalam model pembelajaran kooperatif siswa diajak untuk lebih banyak berdiskusi dengan teman sebayanya. Diskusi antar teman sebaya dapat mencairkan suasana karena bahasa teman sebaya lebih mudah dipahami, tidak ada rasa malu untuk bertanya ataupun minta bantuan sehingga timbul sikap positif kemauan untuk menemukan solusi terhadap matematika siswa yang diduga akan meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematisnya.

Model pembelajaran kooperatif terdiri dari beberapa tipe, diantaranya pembelajaran kooperatif Two Stay Two Stray (TSTS). Model pembelajaran TSTS adalah pembelajaran kooperatif yang memberi kesempatan kepada kelompok


(26)

10

Diny Hildhany, 2015

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN METACOGNITIVE SCAFFOLDING

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok lain. Ciri khas dari model pembelajaran ini adalah adanya pembagian tugas dalam kelompok, yaitu dua siswa bertugas sebgai tamu untuk mencari informasi dari kelompok lain dan dua siswa lainnya tetap berada untuk mencari informasi kepada tamunya dari kelompok lain, jika mereka telah selesai melaksanakan tugasnya, mereka kembali ke kelompoknya masing-masing. Setelah itu siswa yang bertugas menjadi tamu atau yang menerima tamu mendiskusikan dan membahas hasil kerja mereka.

Selain kemampuan pemahaman dan kemampuan komunikasi matematis juga diperlukan sikap positif terhadap matematika yang harus dimiliki oleh siswa Sikap adalah reaksi atau respon yang bersifat positif atau negatif terhadap suatu objek atau stimulus secara konsisten dan berulang-ulang. Sikap positif siswa terhadap pembelajaran juga akan mendukung keberhasilan belajar siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Ruseffendi (2006) bahwa sikap positif siswa berkorelasi positif terhadap prestasi belajar. Sikap positif siswa dapat terlihat dari kesungguhannya mengikuti pelajaran, menyelesaikan tugas dengan baik, berpartisipasi aktif selama pembelajaran, menyelesaikan tugas dengan tuntas dan tepat waktu, serta merespon baik tantangan yang diberikan guru. Sebaliknya sikap negative siswa terhadap pembelajaran akan membuatnya sulit untuk menerima pembelajaran. Berdasarkan pengalaman peneliti di lapangan kebanyakan sikap siswa menunjukkan mengalami masalah dalam pembelajaran seperti kurangnya motivasi, kurangnya ketekunan, sering menunda tugas, tergantung pada orang lain, khawatir ide yang disampaikan di kritik oleh orang lain dan malu jika idenya tidak sebaik orang lain. Menumbuhkan sikap senang terhadap matematika merupakan salah satu tujuan pembelajaran diantaranya memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam menyelesaikan masalah. Sikap siswa positif ini perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika melalui pembelajaran kooperatif, setiap anggota kelompok saling bekerja sama untuk mengoptimalkan diri selama proses pembelajaran berlangsung untuk mencapai hasil yang maksimal. Dalam pembelajaran kooperatif ini siswa dilatih untuk bernegosiasi dengan dirinya,


(27)

maupun dengan teman-temannya, sehingga akan terbangun sikap terbuka untuk menerima kritik, menghargai perbedaan pendapat yang muncul dalam kelompok tersebut, sikap toleran dan kesetiakawanan. Dengan demikian perlu pula diperhatikan bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Learning Two Stay Two Stray dengan Pendekatan

Metacognitive Scaffolding.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti apakah Pembelajaran Kooperatif Learning Two Stay Two Stray (TSTS) dengan menggunakan Pendekatan Metacognitive Scaffolding dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan kemampuan komunikasi matematis siswa. Oleh karena itu, penulis mengajukan penelitian dengan judul “Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Siswa SMP melalui Pembelajaran Kooperatif Learning Two Stay Two Stray (TSTS) dengan menggunakan Pendekatan Metacognitive Scaffolding”.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pokok dari penelitian ini adalah sebagai berikut “Apakah Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Learning Two Stay Two Stray dengan Pendekatan Metacognitive Scaffolding dapat lebih meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Siswa SMP dibandingkan dengan Model Pembelajaran kooperatif biasa dengan pendekatan Konvensional”

Rumusan tersebut di atas dapat dijabarkan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Apakah pencapaian kemampuan pemahaman matematis siswa yang memperoleh pembelajaran menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif

Learning Two Stay Two Stray (TSTS) dengan Pendekatan Metacognitive Scaffolding lebih baik daripada siswa yang memperoleh model pembelajaran kooperatif biasa dengan pendekatan konvensional?

2. Apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang memperoleh pembelajaran menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif


(28)

12

Diny Hildhany, 2015

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN METACOGNITIVE SCAFFOLDING

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Scaffolding lebih baik daripada siswa yang memperoleh model pembelajaran kooperatif biasa dengan pendekatan konvensional?

3. Apakah pencapaian kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif

Learning Two Stay Two Stray (TSTS) dengan Pendekatan Metacognitive Scaffolding lebih baik daripada siswa yang memperoleh model pembelajaran kooperatif biasa dengan pendekatan konvensional?

4. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif

Learning Two Stay Two Stray (TSTS) dengan Pendekatan Metacognitive Scaffolding lebih baik daripada siswa yang memperoleh model pembelajaran kooperatif biasa dengan pendekatan konvensional?

5. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Learning Two Stay Two Stray (TSTS) dengan Pendekatan Metacognitive Scaffolding?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengkaji apakah pencapaian kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran Kooperatif Two Stay Two Stray (TSTS) dengan pendekatan Metacognitive Scaffolding lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh model pembelajaran kooperatif biasa dengan pendekatan konvensional

2. Untuk mengkaji apakah pencapaian kemampuan pemahamssan dan komunikasi matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran Kooperatif Two Stay Two Stray (TSTS) dengan pendekatan Metacognitive Scaffolding lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh model pembelajaran kooperatif biasa dengan pendekatan konvensional.


(29)

3. Untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran matematika di sekolah, pembelajaran menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Learning Two Stay Two Stray (TSTS) dengan Pendekatan Metacognitive Scaffolding

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkam dalam penelitian ini adalah sebagai berikut 1. Manfaat Ketika Proses Penelitian

a. Pada saat proses penelitian guru dapat melihat penerapan pembelajaran kooperatif Learning Two Stay Two Stray (TSTS) sehingga memperluas pengetahuannya tentang penerapan pembelajaran kooperatif Learning Two Stay Two Stray (TSTS) dengan menggunakan pendekatan Metacognitive Scaffolding..

b. Pada saat proses meneliti siswa dapat mengembangkan kemampuan dan pemahaman matematisnya.

2. Manfaat Hasil Penelitian a. Manfaat Praktis

Memberikan informasi terhadap guru, sekolah dan peneliti-peneliti lain tentang sejauh mana peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif

Learning Two Stay Two Stray (TSTS) dengan menggunakan pendekatan

Metacognitive Scaffolding. b. Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan untuk pengembangan teori yang berkaitan dengan model pembelajaran Learning Two Stay Two Stray (TSTS) dengan menggunakan pendekatan Metacognitive Scaffolding terhadap kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis.

2. Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi dan inspirasi bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengkaji lebih dalam tentang pemahaman dan komunikasi matematis siswa dengan pemilihan pendekatan yang lainnya.


(30)

14

Diny Hildhany, 2015

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN METACOGNITIVE SCAFFOLDING

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

3. Hasil penelitian ini pula diharapkan dapat melengkapi teori-teori pembelajaran matematika yang telah ada, khususnya berkenaan dengan pengembangan kemampuan pemahaman dan komunikasi siswa dengan karakteristik tertentu

E. Definisi Operasional

Untuk memperoleh kesamaan persepsi tentang istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka perlu dijelaskan definisi operasional dari istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut :

1. Kemampuan Pemahaman Matematis

Kemampuan pemahaman matematis dapat diartikan kesanggupan siswa untuk menggunakan pengetahuan, keterampilan, prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang berkaitan dengan mata pelajaran matematika. Adapun kemampuan pemahaman matematis yang diukur adalah :

a. Pemahaman instrumental adalah hafal konsep/prinsip tanpa kaitan dengan yang lainnya, dapat menerapkan rumus dalam perhitungan sederhana dan mengerjakan perhitungan secara algoritmik.

b. Pemahaman relasional adalah dapat mengaitkan satu konsep/prinsip dengan konsep/prinsip lainnya secara benar

2. Kemampuan Komunikasi Matematis

Kemampuan Komunikasi Matematis adalah kemampuan siswa dalam mengkomunikasikan ide matematis, baik secara lisan maupun tulisan dalam permasalahan matematika dengan indikator-indikator yang digunakan melalui representasi yang meliputi aspek drawing, aspek mathematical expression, dan aspek written texts.

3. Model Pembelajaran Kooperatif Learning Two Stay Two Stray (TSTS)

Model Pembelajaran Kooperatif Learning Two Stay Two Stray (TSTS) adalah kelompok kecil yang terdiri dari 4 orang siswa yang mempunyai kemampuan heterogen, mereka terlibat secara aktif bersama-sama saling berbagi peran dan tugas. Adapun langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif Two Stay Two Stray yaitu 1) Siswa berdiskusi dalam kelompok berempat seperti biasa, 2)


(31)

Setelah selesai berdiskusi, dua orang dari kelompoknya dan masing-masing bertamu ke dua kelompok yang lain, 3) Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi ke tamu mereka, 4) Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan temuan mereka dari kelompok lain, 5) Kelompok mencocokkan dan membahas hasil-hasil kerja mereka.

4. Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran Konvensional adalah suatu pembelajaran yang biasa diterapkan di sekolah penelitian yang disesuaikan dengan amanat kurikulum yang berlaku. 5. Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Metacognitive Scaffolding

Pendekatan metacognitive scaffolding adalah salah satu pendekatan pembelajaran yang menanamkan kepada siswa suatu proses bagaimana merancang (planning), memonitor (monitoring) serta mengevaluasi (evaluation) informasi/pengetahuan yang dimiliki untuk kemudian dikembangkan menjadi tindakan (action) dalam menyelesaikan suatu masalah. Guru bertindak sebagai penuntun dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan metakognitif yang merangsang kognitif siswa pada saat menyampaikan materi dan membimbing siswa untuk mengajukan dan menjawab pertanyaan metakognitif mereka kemudian mengarahkan siswa untuk dapat berdiskusi untuk menyelesaikan atau menjawab pertanyaan guru atau pertanyaan mereka dalam kelompoknya yang terdapat pada bahan ajar yang ada berupa LAS.

6. Model Pembelajaran Kooperatif Learning TSTS dengan Metacognitive Scaffolding

Model pembelajaran Kooperatif Learning (TSTS) dengan pendekatan

metacognitive scaffolding adalah model pembelajaran dengan membentuk kelompok kecil siswa yang bekerja sama sebagai sebuah tim, mereka terlibat secara aktif bersama-sama saling berbagi peran dan tugas yaitu dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi ke tamu mereka serta dua orang sebagai tamu mencari informasi atau temuan dari kelompok yang dikunjungi sehingga tertanam suatu proses scaffolding bagaimana


(32)

16

Diny Hildhany, 2015

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN METACOGNITIVE SCAFFOLDING

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

merancang (planning), memonitor (monitoring) serta mengevaluasi (evaluation) informasi atau pengetahuan yang dimiliki untuk kemudian dikembangkan menjadi tindakan (action) dalam menyelesaikan suatu masalah matematis.


(33)

BAB III

METODE PENELITIAN 3. 1 Desain Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian “Quasi-Eksperimen”. Pada kuasi

eksperimen, subjek tidak dikelompokkan secara acak, tetapi peneliti menerima keadaan subjek apa adanya (Ruseffendi, 1994). Pertimbangan penggunaan desain penelitian ini adalah kelas yang ada sudah terbentuk sebelumnya, sehingga tidak dilakukan lagi pengelompokkan secara acak. Sampel yang digunakan terdiri dari dua kelompok sampel yang memiliki kemampuan yang sama dengan model pembelajaran yang berbeda tetapi materi yang diberikan sama. Pada kelas eksperimen diberikan pembelajaran kooperatif Learning Two Stay Two Stray

(TSTS) dengan menggunakan pendekatan Metacognitive Scaffolding, sedangkan pada kelas kontrol diberikan pembelajaran kooperatif biasa dengan pendekatan konvensional.

Desain rencana penelitian pada aspek kognitif yaitu untuk kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis adalah Non-equivalent Control Group Design (Sugiyono, 2012) , yang digambarkan sebagai berikut:

Kelas Eksperimen : O X O

Kelas Kontrol : O O

Keterangan :

O : Pretest dan Posstest Kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis X : Perlakuan menggunakan Kooperatif Learning TSTS dengan pendekatan

Metacognitive Scaffolding

---- : Subjek tidak dikelompokkan secara acak.

Desain rencana penelitian untuk aspek afektif yaitu angket siswa menggunakan desain perbandingan kelompok statik (Ruseffendi, 2005). Angket hanya diberikan di akhir pembelajaran yaitu pada siswa kelas eksperimen yang memperoleh pembelajaran Kooperatif Learning TSTS dengan pendekatan


(34)

48

Diny Hildhany, 2015

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN METACOGNITIVE SCAFFOLDING

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

3. 2 Populasi dan Sampel Penelitian a. Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh siswa VIII SMPN 13 Kota Serang Provinsi Banten. Peneliti memilih populasi siswa SMP dengan pertimbangan bahwa tingkat perkembangan kognitif siswa masih pada tahap peralihan dari tahap operasi konkret ke operasi formal dan yang dirasa siap untuk menerima perlakuan penelitian ini baik secara waktu dan materi yang tersedia. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak sekolah, dalam hal ini bagian kurikulum bahwa karakterisitik untuk setiap penerimaan masuk siswa baru setiap tahunnya mempunyai standar nilai yang reratanya relatif sama sehingga untuk siswa-siswa pada tahun pelajaran dengan tingkatan yang berbeda memiliki karakteristik yang relatif sama pula. Sedangkan dalam penentuan komposisi siswa di setiap kelas merata sehingga kelas manapun yang akan digunakan untuk penelitian dapat mempresentasikan populasinya

b. Sampel

Dari populasi tersebut dipilih dua kelas sebagai sampel penelitian yang ditentukan berdasarkan purposive sampling dengan tujuan agar penelitian dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien terutama dalam hal pengawasan, kondisi subyek penelitian, waktu penelitian yang ditetapkan, kondisi tempat penelitian serta prosedur perizinan. Dengan pertimbangan lain yang mana di SMPN 13 Kota Serang untuk kelas VIII tidak mempunyai kelas unggulan didalamnya maka dapat diasumsikan setiap kelas yang ada menyebar secara seimbang sehingga kemampuan matematis siswanya tidak jauh berbeda. Siswa kelas VIII SMPN 13 Kota Serang tahun ajaran 2014/2015 yang terdiri dari 8 kelas yaitu dari kelas VIII sampai kelas VIII . Teknik pengambilan sampel dalam penelitian diambil dua kelas yaitu kelas VIII dan VIII . Dari dua kelas tersebut kemudian dipilih kelas VIII sebagai kelas eksperimen dengan jumlah 34 siswa dan kelas VIII sebagai kelas kontrol dengan jumlah 36 siswa.


(35)

3. 3 Variabel Penelitian

Menurut Arikunto (2006) “Variabel adalah objek dari suatu penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian”. Pada penelitian ini variabel yang akan digunakan terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat.

Adapun variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Variabel Bebas

Variabel bebas adalah tipe variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab terjadinya perubahan atau timbulnya variable terikat. Variabel bebas (X) pada penelitian ini adalah model pembelajaran yaitu Pembelajaran dengan Model Kooperatif Learning TSTS dengan pendekatan Metacognitive Scaffolding

2. Variabel Terikat

Variabel terikat adalah tipe variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Variabel terikat (Y) pada penelitian ini adalah kemampuan pemahaman dan komunikasi matematika

3. 4 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian terdiri dari dua jenis instrumen yaitu instrumen tes dan instrumen non-tes. Instrumen dalam bentuk tes terdiri dari pretest dan postest untuk mengukur kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa. sedangkan instrumen dalam bentuk non-tes terdiri dari skala angket siswa dan lembar observasi yang memuat indikator-indikator aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran. Berikut ini merupakan uraian dari instrumen yang digunakan

3.4.1 Tes Kemampuan Pemahaman Matematis

Instrumen tes kemampuan pemahaman matematis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tes tertulis yang terdiri dari 4 soal dalam bentuk uraian. Tes disusun berdasarkan pokok bahasan yang dipelajari siswa kelas VIII SMP semester genap yaitu materi persamaan garis lurus. Penyusunan tes diawali dengan tahap-tahap sebagai berikut:


(36)

50

Diny Hildhany, 2015

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN METACOGNITIVE SCAFFOLDING

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

1) Menyusun kisi-kisi soal yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator soal yang mengukur aspek pemahaman konsep, nomor soal, serta skor penilaian.

2) Menyusun soal beserta alternatif jawaban dari masing-masing butir soal untuk memberikan penilaian yang objektif.

Tes berbentuk uraian maka kriteria pemberian skor untuk soal-soal pemahaman berpedoman kepada holistic scoring rubrics dari Cai, Lane dan Jakabcsin (Nanang, 2009). Kriteria skor untuk tes ini dapat dilihat pada tabel diatas.

Tabel 3.1

Kriteria Pemberian Skor Kemampuan Pemahaman Matematis

Skor Respon Siswa

0 Tidak menunjukkan pemahaman konsep dan prinsip terhadap soal matematika

1

Menunjukkan pemahaman konsep dan prinsip terhadap soal matematika sangat terbatas dan sebagian besar jawaban masih mengandung perhitungan yang salah.

2

Menunjukkan pemahaman konsep dan prinsip terhadap soal matematika kurang lengkap dan perhitungan masih terdapat sedikit kesalahan.

3

Menunjukkan pemahaman konsep dan prinsip terhadap soal matematika secara hampir lengkap, penggunaan istilah dan notasi matematika hampir benar, penggunaan algoritma secara lengkap, perhitungan secara umum benar, namun mengandung sedikit kesalahan.

4

Menunjukkan pemahaman konsep dan prinsip terhadap soal matematika secara lengkap, penggunaan istilah dan notasi matematika secara tepat, penggunaan algoritma secara lengkap dan benar.

Sumber : Cai, Lane, Jacabcsin (Nanang, 2009)

3.4.2 Tes Kemampuan Komunikasi Matematis

Instrumen tes kemampuan komunikasi matematis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tes tertulis yang terdiri dari 4 soal dalam bentuk uraian. Tes disusun berdasarkan pokok bahasan yang dipelajari siswa kelas VIII SMP semester genap yaitu materi persamaan garis lurus.


(37)

Tes berbentuk uraian maka kriteria pemberian skor untuk soal-soal komunikasi berpedoman kepada kriteria skor untuk tes ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.2

Kriteria Pemberian Skor Kemampuan Komunikasi Matematis

SKOR KATEGORI KUALITATIF

ASPEK

REPRESENTASI KRITERIA

4

Jawaban benar dan lengkap sesuai

permintaan dengan disertai contoh-contoh dan alasan

Written Texts Menuliskan penjelasan/ alasan yang logis dan benar ditinjau dari aspek bahasa maupun matematika, berkaitan dengan tata bahasa, kosa kata, tanda baca, simbol, semantik dan gramatikal

Drawing Gambar, diagram, tabel dibuat secara lengkap dan benar

Mathematical Expression

Kalimat matematika yang dibuat, dan perhitungan dengan benar tanpa kesalahan

3

Jawaban benar, tapi contoh-contoh dan alasan masih kurang lengkap dan terdapat beberapa

kekurangan

Written Texts Menuliskan penjelasan/ alasan yang logis, tetapi bila ditinjau dari aspek bahasa maupun matematika masih terdapat beberapa kekurangan dalam hal tata bahasa, kosa kata, tanda baca, simbol, semantik dan gramatikal

Drawing Gambar, diagram, tabel dibuat secara lengkap dan benar, walaupun masih ada yang kurang lengkap

Mathematical Expression

Kalimat matematika yang dibuat, dan perhitungan dilakukan dengan benar tanpa kesalahan

2

Jawaban hanya sebagian yang

benar dan

kurang lengkap, contoh-contoh dan alasan

Written Texts Menuliskan penjelasan/ asalan yang kurang logis, ditinjau dari aspek bahasa maupun matematika dalah hal tata baca, kosa kata, tanda baca, simbol semantik dan gramatikal


(38)

52

Diny Hildhany, 2015

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN METACOGNITIVE SCAFFOLDING

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

kurang Drawing Gambar, diagram, tabel dibuat kurang lengkap

Mathematical Expression

Kalimat matematika dan perhitungan tidak semua diselesaikan dengan benar

1

Jawaban hanya sebagian kecil yang benar dan tidak lengkap, dan sangat sedikit contoh-contoh dan alasan yang mungkin dibuat

Written Texts Tidak menuliskan alasan. Hanya menuliskan kembali sedikit soal, atau sedikit sekali kosa-kata dan simbol-simbol matematis

Drawing Gambar, diagram, tabel dibuat hanya sebagian kecil

Mathematical Expression

Kalimat matematika dan perhitungan tidak semua diselesaikan dengan benar

0

Jawaban tidak benar atau hanya sebagian kecil yang mungkin

dihadirkan, tidak ada contoh-contoh dan alasan

Written Texts Tidak menuliskan alasan. Menuliskan hal-hal yang kurang bermakna dan tidak diminta

Drawing Tidak membuat gambar atau menggambar tidak lengkap

Mathematical Expression

Kalimat matematika maupun perhitungan tidak benar

3.4.3 Angket Siswa

Angket adalah sekumpulan pernyataan atau pertanyaan yang harus dilengkapi oleh responden dengan memilih jawaban atau menjawab pertanyaan melalui jawaban yang sudah disediakan atau melengkapi kalimat dengan jalan mengisi (Russeffendi, 1994).

Dalam penelitian ini, angket ini dipersiapkan dan dibagikan kepada siswa-siswa di kelas eksperimen setelah tes akhir (postest) dilaksanakan. Angket ini diberikan untuk mengetahui sikap para siswa tentang pembelajaran yang dilaksanakan dan perangkat tes yang mereka terima. Adapun angket yang diberikan terdiri dari 28 pernyataan berbentuk pernyataan yang terdapat dalam skala berupa 14 penyataan positif dan 14 pernyataan negatif dengan berpedoman pada tipe Likert, dimana responden diminta untuk menjawab suatu pernyataan dengan jawaban sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju(T) dan sangat tidak setuju (ST). Jawaban N (Netral) tidak digunakan, untuk mendorong siswa


(39)

melakukan keberpihakan jawaban dan menghindari jawaban aman. Menurut Subiono (Anna, 2010) mengemukakan bahwa penentuan skala likert dapat dilakukan secara apriori dan dapat pula secara aposteriori.

Adapun masing-masing jawaban tersebut dikaitkan dengan angka atau nilai, yaitu bagi pernyataan yang mendukung sikap positif (favorable), Sangat Setuju (SS; skor = 5), Setuju (S; skor = 4), Tidak Setuju (TS; skor = 2) dan Sangat Tidak Setuju (STS; skor = 1) dan pernyataan yang mendukung sikap negatif

(unfavorable), Sangat Setuju (SS; skor = 1), Setuju (S; skor = 2), Tidak Setuju (TS; skor = 4), dan Sangat Tidak Setuju (STS; skor = 5).

Sebelum instrumen digunakan dilakukan uji validitas expert yang divalidasi oleh ahli atau evaluator dengan cara berkonsultasi dengan dosen pembimbing, mengenai kesesuaian isi dari instrumen dengan indikator yang telah ditentukan sebelumnya. Berdasarkan validasi oleh validator, terpilih 28 butir angket bisa digunakan pada penelitian untuk mengetahui pandangan siswa terhadap pelajaran matematika secara umum dan terhadap pembelajaran kooperatif Learning TSTS dengan pendekatan Metacognitive Scaffolding.

3.4.4 Lembar Observasi

Lembar observasi terdiri dari lembar observasi guru dan siswa selama proses pembelajaran berlangsung, kemampuan guru dalam mengelola kelas ketika mengajar, dan kesesuaian pelaksanaan pembelajaran di kelas. Ketika proses pembelajaran kooperatif Learning TSTS dengan pendekatan Metacognitive Scaffolding berlangsung, untuk setiap pertemuannya observer diminta memberikan tanda cek (√) pada kotak skala nilai sesuai dengan aktivitas yang dilakukan siswa dan guru. Skala nilai yang digunakan adalah 5 untuk sangat baik (SB), 4 untuk kriteria baik (B), 3 untuk cukup baik (CB), 2 untuk kurang (K), atau 1 untuk sangat kurang (SK).

Gambaran yang diperoleh tentang suasana pembelajaran yang difokuskan pada sikap siswa, sikap guru dan interaksi antara keduanya selama proses pembelajaran berlangsung. Hasil yang diperoleh dari observasi ini dijadikan bahan masukan untuk pembahasan secara deskriptif.


(40)

54

Diny Hildhany, 2015

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN METACOGNITIVE SCAFFOLDING

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

3. 5 Tehnik Analisis Instrumen

Tahap selanjutnya sebelum soal tes kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis digunakan dalam penelitian, terlebih dahulu diuji cobakan. Selanjutnya tes di uji coba kepada siswa yang telah memperoleh materi yang berkenaan dengan penelitian ini. Materi yang diajarkan dalam penelitian ini adalah persamaan garis lurus. Soal yang dibuat dari 1 set soal, yaitu 4 soal untuk soal pemahaman dan 4 soal komunikasi. Sebelum digunakan, instrument yang disusun diuji cobakan untuk mengetahui validitas, reliabilitas, daya pembeda dan indeks kesukarannya. Hasil pengukurannya diuraikan berikut ini :

3.5.1 Analisis Validitas Tes

Suatu instrumen dikatakan valid tergantung pada sejauh mana kevalidan instrumen itu dalam melaksanakan fungsinya.. Validitas merupakan suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan sesuatu instrumen (Arikunto, 2006). Tes yang akan dipakai untuk mengumpulkan data harus divalidkan terlebih dahulu Mengukur validitas meliputi validitas teoritik dan validitas empirik validity oleh ahli (expert) dalam hal ini dosen pembimbing dan rekan sesama mahasiswa pascasarjana sebelum tes dijadikan instrumen penelitian.

Uji validitas butir soal pada penelitian ini menggunakan dua uji validitas yaitu validitas teoritik dan validitas empirik.

a. Validitas Teoritik

Validitas teoritik untuk sebuah instrumen evaluasi merujuk pada kondisi bagi sebuah instrumen yang memenuhi persyaratan valid berdasarkan pertimbangan (judgement) teoritik atau logika (Suherman, 2003). validitas muka dilakukan dengan melihat dari sisi muka atau tampilan dari instrumen itu sendiri. Validitas muka dalam penelitian ini dilakukan dengan melihat apakah kalimat atau kata-kata dari soal tes yang digunakan sudah tepat dan layak digunakan sehingga tidak menimbulkan tafsiran lain termasuk kejelasan gambar dan soal (Suherman, dkk, 2003).


(41)

b. Validitas Butir Tes

Validitas butir tes ditinjau dengan kriteria tertentu yang diuji dengan bantuan

Microsoft Excel 2010. Kriteria ini digunakan untuk menentukan tinggi rendahnya koefisien validitas alat evaluasi yang dibuat melalui perhitungan korelasi product moment pearson (Arikunto, 2012) dengan langkah-langkah sebagai berikut:

r xy = N ∑ − ∑ ∑

√{N ∑ 2–(∑ 2} {N ∑ 2− ∑ 2}

Keterangan :

rxy = Koefisian korelasi antara variabel x dan variabel y

X = Skor tiap butir soal

Y = Jumlah skor total

N = Jumlah subyek

Tabel 3.3

Klasifikasi Koefisian Validitas

Koefisien Validitas Interpretasi 0,90 ≤ rxy≤ 1,00 Sangat tinggi 0,70 ≤ rxy < 0,90 Tinggi

0,40 ≤ rxy < 0,70 Sedang 0,20 ≤ rxy < 0,40 Rendah

0,00 ≤ rxy <0,20 Sangat Rendah rxy≤ 0,00 Tidak Valid

(Suherman, 2003)

Hasil perhitungan validitas dari soal yang telah diujicobakan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran C.1 Berikut rangkuman uji validitas butir soal tes kemampuan pemahaman konsep matematis disajikan pada Tabel 3. 4 di bawah ini

Tabel 3.4

Data Hasil Uji Coba Validitas Butir Soal Pemahaman Matematis dan Komunikasi Matematis

No Soal

Kemampuan Pemahaman Matematis

Kemampuan Komunikasi Matematis

� Kriteria Keterangan � Kriteria Keterangan 1 0,59 Cukup Valid 0, 76 Tinggi Valid 2 0,77 Tinggi Valid 0,74 Tinggi Valid 3 0,73 Tinggi Valid 0,39 Rendah Valid 4 0,84 Tinggi Valid 0,76 Tinggi Valid


(42)

56

Diny Hildhany, 2015

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN METACOGNITIVE SCAFFOLDING

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

3.5.2 Analisis Reliabilitas

Menurut Suherman (2003) suatu alat evaluasi disebut reliabel jika alat evaluasi memberikan hasil yang relatif tetap jika digunakan untuk subyek yang sama, dengan demikian reliabilitas disebut juga konsisten dan ajeg. Ini berarti semakin reliabel suatu tes memiliki persyaratan maka semakin yakin kita dapat menyatakan bahwa dalam hasil suatu tes mempunyai hasil yang sama ketika dilakukan tes kembali.

Untuk mengetahui koefisien reliabilitas perangkat tes berupa bentuk uraian dipergunakan rumus Cronbach Alpha sebagai berikut (Suherman, 2003):

� = � −� −∑ �

dengan:

� = koefisien reliabilitas soal n = banyak butir soal

2

i

S = jumlah varians skor setiap item

2

t

S = varians skor total

Untuk menentukan nilai-nilai tersebut, baik untuk setiap item (i) atau skor total (t) dengan menggunakan rumus varians berikut :

 

N N

x x

S

 

2 2

2

Dimana, untuk nilai tiap item (i) adalah sebagai berikut : Σ x = Jumlah item soal

Σ x2 = Jumlah kuadrat item soal N = banyak item

Sedangkan untuk skor total (i) adalah sebagai berikut : Σ x = Jumlah item soal

Σ x2 = Jumlah kuadrat skor soal N = banyak item


(1)

Depdiknas. (2006). Standar Kompetnsi dan Kompetensi Dasar. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.

Depertemen Pendidikan Nasional. (2013). Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan RI No.23. Jakarta: Pusat Kuriulum Balitbang Depdiknas.

Dimyati. (1994). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta.

Flavell, J.H. (1979). Metacognition and Cognitive Monitoring. A New Area of Cognitive-Developmental Inquiry. Journal of American Psychology, 34(10), hlm. 906-911. [Online] Diakses dari

http://jwilson.coe.uga.edu/EMAT7050/Students/Wilson/Flavell%20( 1979).pdf

Hake, R.R. (1999). Analyzing Change/Gain Scores. [Online]. Tersedia:

http://www.physic.indiana.edu/sdi/analyzingchange-gain.pdf. [1 Mei 2014]

Hudojo, H. (1985). Teori Belajar dalam Proses Belajar-Mengajar Matematika. Jakarta. Depdikbud

Irawan, P. (2006). Logika dan Prosedur Penelitian, Jakarta, STIA LAN PRESS.

Kuzle, A. (2013). Patern of Metacognitif Behavior During Mathematics Problem-Solving in a Dynamics Geometry Environment. International Electronics Journal of Mathematics Education-IJME,

8(1), hlm. 20-40. [Online] Diakses dari

http://www.iejme.com/012013/full.pdf

Kurniawati, L (2006). Pembelajaran dengan pendekatan Pemecahan Masalah untuk meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMP. Tesis pada Program PascaSarjana UPI. Bandung. Tidak Diterbitkan.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2014). Permendikbud No. 58 tentang Kurikulum 2013. Jakarta: Kemdikbud

Lester, F.K. (2013). Thoughts About Research On Mathematical Problem- Solving Instruction. Dalam Sriraman, B. (ed). The Mathematics Enthusiast, 10(1&2), hlm. 245-278. [Online] Diakses dari


(2)

Diny Hildhany, 2015

http://www.math.umt.edu/TMME/vol10no1and2/TME_vol10nos1an d2_2013_fullissue.pdf

Lie, A. (2006). Cooperative Learning Mempraktekkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas, Cet. Ke-3. Jakarta : Grasindo. Lindawati, S (2010). Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Inkuiri Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis Pada Program PascaSarjana UPI. Bandung. Tidak Diterbitkan.

Livingston, J.A. (1997). Metacognition: An Overview [Online] Diakses darihttp://www.qse.buffalo.edu/fas/schuel/cep564/metacog.htm Machmud, T. (2013). Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Pemecahan

Masalah Matematis dan Self –efficacy Siswa SMP Melalui Pendekatan Problem-Centered Learning dengan Strategi Scaffolding. Disertasi FPMIPA UPI Bandung : Tidak Diterbitkan

Maulidawati, M.S.(2006). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Tertulis Siswa SMA. Skripsi FMIPA UPI. Bandung : Tidak Diterbitkan.

Mokos, E. & Kafoussi, S. (2013). Elementary Students' Spontaneous Metacognitive Functions in Different Types of Mathematical Problems. REDIMAT - Journal of Research in Mathematics Education, 2(2), hlm.242-267. [Online]. Diakses dari http://www.hipatiapress.info/hpjournals/index.php/redimat/arti cle/view/487/pdf

Nanang. (2009). Studi Perbandingan Kombinasi Pembelajaran Kontekstual dan Metakognitif terhadap Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP. Disertasi SPs UPI. Bandung. Tidak diterbitkan

NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics Overview. [Online]. Tersedia:

http://www.nctm.org/uploadedFiles/Math_Standards/12752_ex ec_pssm.pd f. (23 Oktober 2014)

Nur, M. (2004). Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Edisi 4. Surabaya: UNESA Pusat Sains dan Matematika Sekolah.


(3)

Nurchayati, S. (2006). Efektivitas Pendekatan Cooperative Learning Teknik Two Stay Two Stray terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa. Skripsi pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Nussu, A. (2011). Scaffolding dalam program Pengajaran Mikro Kimia

Disertasi Doktor SPS UPI Bandung : Tidak Diterbitkan

Palmer, J.A. (2006). Fifty Modern Thinkers on Education – 50 Pemikir Paling Berpengaruh terhadap Dunia Pendidikan Modern. Yogyakarta: IRCiSoD

Pierce, R., Stacey, K. & Barkatsas, A. (2007). A Scale for Monitoring Students Attitude to Learning Mathematics with Technology. [online]. Tersedia:

http://clint.sharedwing.net/research/equity/attitudes%20wrt%20learning %20with%20technology.

Priatna, N. (2003). Kemampuan Penalaran Induktif dan Deduktif serta Kaitannya dengan Pemahaman Matematika Siswa Kelas III SLTP di Kota Bandung. Disertasi pada SPS UPI: Tidak Diterbitkan

Purwanto, M. N. (1990). Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaka Karya CV.

Qohar, Abd. (2010). Mengembangkan Kemampuan Pemahaman Koneksi dan Komunikasi Matematis serta Kemandirian Belajar Matematika Siswa SMP Melalui Reciprocal Teaching. Disertasi pada PPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Riyanti, S. (2011). Jejak:Pemahaman Relasional. [Online]. Tersedia:

http://sin-riyanti.blogspot.com/2011/12/pemahaman-relasional.html. (18 Desember 2014)

Ruseffendi, E.T. (1994). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Semarang: IKIP Semarang Press.

Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Menigkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Edisi Cetak Pertama. Semarang : IKIP Semarang Press

Ruseffendi, E.T. (1993). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press.


(4)

Diny Hildhany, 2015

Ruhyadi, T & Nurlaelah, E (2013). Meningkatkan kemampuan Pemahaman Konsep dan koneksi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD disertai Tugas Bentuk Superitem. Jurnal Pendidikan Sigma Didaktika Vol. 1(2), hal. 121.

Rodgers, A. & Rodgers, E. M. (2004). Scaffolding Literacy Instruction. Strategies for K-4 Classrooms, Portsmouth: Heinemann.

Sardjoko, T. (2011). Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together dan Group Investigation Pada Prestasi Belajar Matematika Ditinjau Dari Motivasi Berprestasi Siswa SMA di Kabupaten Ngawi. (Tesis). Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Slavin, R. E. (1997). Educational Psychology: Theory Practise (5th Edition). and Boston: Allyn and Bacon

Slavin, R. (2009). Cooperative Learning: Teori Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media.

Sudjana. (2002). Metode Statistika. Bandung : Tarsito

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta

Suharta, I.G.P. (2004). Matematika Realistik: Apa dan Bagaimana? Editorial Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Edisi 38. Jakarta: Depdiknas.

Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius

Suparno, P. (2001). Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius.

Suherman. E. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: JICA Suherman. E. dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika

Kontemporer. Bandung: JICA FPMIPA UPI.

Sumarmo. U (2006). Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika pada Siswa Sekolah Menengah.[Online]. Tersedia:


(5)

http://www.academia.edu/4609768/Sumarmo_Pembelajaran_K eterampilan_Membaca_Matematika_pada_Siswa_Sekolah_Me nengah (29 November 2014)

Sumarmo, U. (2013). Kumpulan Makalah Berpikir dan Disposisi Matematik serta Pembelajarannya. FPMIPA UPI.

Sumarmo. (2006). Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika pada Siswa Sekolah Menengah.[Online]. Tersedia:

http://www.academia.edu/4609768/Sumarmo_Pembelajaran_K eterampilan_Membaca_Matematika_pada_Siswa_Sekolah_Me nengah (29 November 2014) Prabawanto, S. (2013) Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah, Komunikasi dan Self-Efficay Matematis Mahasiswa melalui pembelajaran dengan Pendekatan Metacognitive Scaffolding. Disertasi FPMIPA UPI Bandung : Tidak Diterbitkan.

Sundayana, R. (2010). Statistika Penelitian Pendidikan. Garut: STKIP Garut Press.

Sutawidjaja, A. & Dahlan, J. A. (2011). Pembelajaran Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka.

TIM MKPBM. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA UPI.

Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (Berparadigma Eksploratif dan Investigatif). Jakarta: Leuser Cipta Pustaka.

Ummu K.S (2015) Perbandingan Model Kooperatif Tipe The Power Of Two dan Tipe Jigsaw Dalam Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Disposisi Matematis Siswa SMP. Tesis pada SPS UPI: Tidak Diterbitkan

Undang-Undang RI No.20 Tahun 2003. (2006). Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bandung : Citra Umbara.

Wahyuni, S. (2013). Peningkatan Kemampuan Representasi Matematika dan Self Esteem Siswa Sekolah Menengah Pertama dengan Menggunakan Model Pembelajaran Arias. Jurnal Pendidikan Matematika: Sigma Didaktika. Bandung: APMI FPMIPA UPI Walqui, A. (2006). Scaffolding Instructional for English Language

Learners: A Coceptual Framework. The International Journal of Bilingual Education and Bilingualism. Vol. 9 No. 2

Wulandari, I. 2012. Peningkatan Kemampuan Generalisasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Atas melalui Metode Penemuan


(6)

Diny Hildhany, 2015

Terbimbing. (Tesis). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak Diterbitkan

Yulianti, P. (2015): Implementasi Pendekatan Metakognitif dan Problem Posing Dalam Pencapaian Kemampuan Pemecahan Masalah dan Self- Efficacy Matematis Siswa. Tesis pada PPs UPI Bandung : Tidak Diterbitkan

Zakaria, A. (2014). Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMP Antara Yang Mendapatkan Pembelajaran Dengan Menggunakan Strategi Konflik Kognitif Piaget Dan Hasweh. (Tesis). Program PascaSarjana UPI. Bandung. Tidak Diterbitkan.

Zan, R. & Martino, P.D. (2007). Attitude Toward Mathematics: Overcoming The Positive or Negatie Dichotomy. Montana: The Montana council of teachers of mathematics. Tersedia:

http://www.math.umt.edu/


Dokumen yang terkait

perbedaan hasil belajar biologi siswa yang diajarkan melalui pembelajaran kooperatif teknik jigsay dengan teknik two stay two stray (kuasi eksperimen di MTs PUI Bogor)

0 5 185

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Two Stay Two Stray(Dua Tinggal Dua Tamu) Dengan Pendekatan Nilai Untuk meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Konsep Cahaya

0 6 192

Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Two Stay Two Stray Terhadap Keterampilan Menyimak Siswa Kelas V MIN 15 Bintaro Jakarta Selatan

1 10 130

Perbedaan hasil belajar ips siswa dengan menggunakan pembelajaran kooperatif teknik inside outside circle dan two stay two stray

0 12 0

Perbedaan Hasil Belajar Antara Siswa yang Menggunakan Metode Pembelajaran Two Stay Two Stray dan Jigsaw Pada Konsep Pencernaan

2 14 198

Pengaruh teknik kooperatif Two Stay Two Stray (TSTS) dengan Guided Note Taking (GNT) terhadap hasil belajar siswa pada konsep archaebacteria dan eubacteria: kuasi eksperimen di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan.

0 9 243

MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TWO STAY TWO STRAY (TSTS)

6 25 59

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TWO STAY TWO STRAY (TSTS) MENGGUNAKAN CD PEMBELAJARAN

0 10 193

perbedaan hasil belajar peserta didik menggunakan pendekatan sts, sets, dan stem pada pembelajaran konsep virus

3 22 77

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SERTA SELF-CONCEPT SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TWO-STAY TWO-STRAY.

0 8 62