KEMANDIRIAN HAKIM DALAM PENEGAKAN HUKUM

KEMANDIRIAN HAKIM DALAM
PENEGAKAN HUKUM*

Oleh: Prof. Dr. Muladi, S.H.

I.

PENGANTAR

Richard A. Posner, seorang hakim senior pada Seventh Circuit.
US Court of Appeals, yang juga seorang dosen di University of Chicago
Law School dalam salah satu bukunya (Cardozo, A Study in Reputation),
telah membandingkan beberapa hakim Jegendaries (the highest rank of
American judges) seperti Cardozo, Holmes, John Marshall, Brandeis dan
I

Learned Hand. Ia menggambarkan mengapa seorang Benyamm Nathan
Cardozo ( 1870-1938), seorang hakim pada US Supreme Court dikategorikan
sebagai seorang "eminellt judge". Paling tidak ada 6 (enam) hal yang
sangat menonjol yaitu : (a) kemampuan retorika (rhectorical skill) yang
ada pada Cardozo, tidak hanya karena gaya penulisan yang disusunnya,

tetapi juga karena bangunan (architecture) dari pendapatnya, yang
digambarkan sebagai sesuatu yang sangat mempesonakan baik dari segi
I
kesusasteraan maupun essay, yang dapat membawa hukum Jebih dekat
kepada perasaan keadilan bagi siapa saja termasuk mereka yang bukan
sarjana hukum; (b) Kemampuan retorika tersebut mempunyai makna
yang positif dari segi pragmatic (to sugercoat the pragmatic pill), karena
pendapatnya tidak hanya bisa diterima oleh kolega di lingkungan
peradilan, tetapi juga oleh segenap masyarakat hukum karena bersifat
realistis, anti formalisme dan bersifat instrumental; (c) Pelbagai karya
tulisnya yang bersifat "extralegal" sangat menonjol, yang menaikkan
derajatnya sebagai professional hukum. (d) Cardozo adalah manusia
yang atraktif. Dia tidak hanya dikagumi, tetapi juga memperoleh simpati
dan kasih sayang. Dalam hal ini apa yang dinamakan "karakter" menjadi
sangat penting dalam kaitannya dengan integritas dan sifat dapat
dipercaya (trustworthiness). Karakter semacam itu penting dalam suatu

*

Disampaikan pacta Seminar tentang Tanggung Jawab Hakim sebagai Pejabat Negara

dalam Sistem Peradilan Indonesia, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman
dan HAM, tanggal 2 Oktober 2002.

37

reputasi juridis karena pekerjaan seorang hakim secara tak terelakkan
akan banyak bertumpu pada keyakinan (inevitably take much on faith);
(e) Cardozo mendayagunakan pandangan-pandangan hukum dari dunia
akademis sebagai referensi (scholarly citations) jauh lebih banyak
daripada yang dilakukan kolega-koleganya (2.3 : 0,6). (f) Cardozo tidak
pernah terlibat sebagai partisan politik, namun pencalonannya selalu
didukung oleh partai-partai politik yang dominan. Cardozo adalah
"intelligent, well read, hardworking, decorous, courteous and independent of his law clerks". Posner, 1990).
Pengantar tersebut penting untuk memberikan gambaran, bahwa
menjadi hakim yang unggul (eminent) tidak hanya cukup berbekal
dengan tekad untuk bisa mempertahankan kemandirian (independensi),
tetapi memerlukan sikap serta karakter lain yang sebenarnya bisa
dipelajari dan dilatih. Sikap dan karakter lain tersebut dapat digambarkan
sebagai akuntabilitas dan profesionalisme.
Namun secara universal diakui, bahwa kemandirian hakim dalam

penegakan hukum merupakan salah satu elemen dari Asas Kekuasaan
Kehakiman Yang Merdeka (the Principle of the Independence of the
Judiciary) yang merupakan salah satu dokumen HAM universal.

II. HAHEKAT ASAS KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG MERDEKA
Asas kekuasaan kehakiman yang merdeka dan kemandirian hakim
dalam penegakan hukum akan selalu berkaitan dengan dua hal yaitu
(a) indeks demokrasi (indices of democracy); dan (b) Perlindungan
HAM dalam administrasi peradilan (the Protection of Human Rights in
the Administration of Justice).
Indeks utama demokrasi meliputi (a) keberadaan sistem pemilihan
yang jujur dan adil (free and fair election); (b) keberadaan pemerintahan
yang terbuka, akuntabel dan responsive (open, accuntable and responsive f?OVernment); (c) adanya pemaju;;tn dan perlindungan HAM (khususnya
HAM sipil dan politik) (promotion and protection civil and political
rights); dan (d) keberadaan masyarakat demokratis (democratic society)
yang terdiri atas warga negara yang penuh percaya diri (society with
ウ・ャヲセ」ッョェゥ、エ@
citizens). Asas kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan
salah satu dari indeks demokrasi, khususnya dalam kerangka yang


38

dinamakan "Open, Accountable and Responsive Government". (Beetham,
1999). Issue yang menonjol di sini adalah:
(a)

Sampai seberapa ja '1 kekuasaan eksekutif tunduk pada "the
yang transparan yang mengatur
rule of Law" dan ,[セイ。エオョ@
penggunaan kekuasa l'nya? Sampai seberapa jauh pengadilan
mampu menjamin bahwa Lembaga eksekutif mentaati hukum?
Dan seberapa efektifkah acara yang ada dapat menjamin bahwa
semua lembaga publik dan aparatnya tunduk pada hukum
dalam menjalankan fungsinya?

(b) Sampai seberapa jauh kekuasaan kehakiman (judiciary) merdeka
(independent) dari campur tangan eksekutif dan bentuk-bentuk
campur tangan lain, dan sampai sejauh mana administrasi
hukum tunduk pada pengawasan efektif publik?
(c)


Sampai seberapa jauh seorang warga negara memperoleh akses
ke pengadilan untuk memperoleh keadilan, termasuk apabila
terjadi maladministrasi atau kegagalan pemerintah atau lembaga
publik dalam menjalankan tanggung jawabnya, dan sampat
seberapa ·jauh efekti vitas prosedur yang tersedia.

Perlindungan HAM dalam adminstrasi peradilan mempunyai
jangkauan yang luas, lebih-lebih dalam administrasi peradilan pidana
(the administration of criminal justice) yang banyak persentuhan dengan
Generasi HAM I (fundamental or basic rights to Life, Liberty, persotial
security and physical integrity). Hal ini mencakup: pencegahan diskriminasi,
perlindungan terhadap "statelessness and refugees", asas legalitas, hak
untuk hidup dan bebas dari pidana yang kejam dan luar biasa, hak
dari para tahanan dan terpidana, hak atas peradilan yang adil (right
to a fair trial), administrasi peradilan untuk remaja, kebijakan peradilan
(justice policy). pelbagai "codes of conduct", hak-hak korban (victims'
rights), prosedur keberatan dan pelaporan, pelbagai "derogation" dan
kerjasama internasional.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka (the independence of judiciary) masuk kategori "Justice Policy" karena asas ini masuk dalam

kategori prinsip-prinsip yang harus dijaga untuk mencapai keberhasilan
strategi memperoleh keadilan dalam masyarakat demokratis.

39

"The Basic Principles on the Independence of the Judiciary"
merupakan asas yang menjamin : (a) perlindungan HAM dan kebebasan dasar tanpa diskriminasi; (b) asas persamaan dalam hukum,
praduga tidak bersalah dan hak untuk diadili secara jujur dan terbuka
oleh pengadilan yang kompeten, independen dan tidak memihak atas
dasar UU; dan (c) hak untuk diadili tanpa penundaan yang tidak
semestinya.
Instrumen yang sudah diadopsi oleh SU PBB pada tahun 1985
tersebut (A/RES/40/32, 29 November 1985 dan NRES/401146, 13
Desember 1985), mengandung isyarat-isyarat sebagai berikut : (a)
Negara-negara agar menjamin asas tersebut dalam hukum dan Konstitusinya
dan Lembaga-lembaga negara lain-lainnya harus menghormati dan
mematuhi kekuasaan kehakiman yang merdeka; (b) Pengadilan harus
memutus perkara secara tidak memihak (impartiality), atas dasar fakta
dan hukum, tanpa adanya restriksi, pengaruh tidak patut, bujukan
(inducemnent), tekanan, ancaman atau campur tangan, langsung atau

tidak langsung atas dasar suatu alasan; (c) Pengadilan mempunyai
jurisdiksi terhadap semua issue juridis dan memiliki wewenang eksklusif
untuk memutuskan apakah suatu issue berada dalam kompetensinya
sebagaimana didefinisikan oleh UU; (d) Tidak akan ada campurtangan
yang tidak pantas dan tak berdasar terhadap proses judicial dan putusan
pengadilan; (e) Setiap orang dijamin haknya untuk diadili oleh peradilan
sesuai prosedur yang diatur UU; (f) Pengadilan harus menjamin bahwa
proses pengadilan dilaksanakan secara adil dan hak-hak para pihak
dihormati; (g) Setiap negara harus menyediakan sumber-sumber yang
memadai yang memungkinkan pengadilan untuk menjalankan fungsinya
secara patut: (h) Setiap negara harus minta perhatian kepada para hakim,
penasehat hukum, lembaga eksekutif dan legislatif dan masyarakat untuk
menghomati asas tersebut; (i) Anggota-anggota pengadilan harus mempunyai kebebasan untuk berekspresi dan berasosiasi; (j) Kualifikasi,
seleksi dan training harus didasarkan atas integritas dan kemampuan
individual; (k) Kerahasiaan profesi hakim dan imunitas dalam menjalankan
tugasnya harus dihormati dan dilindungi; (I) Keputusan mengenai
disiplin, skorsing, dan pencopotan harus dilakukan secara adil dan
dilakukan sesuai dengan standard perilaku judicial yang ada serta
dimungkinkan untuk ditinjau secara independen.


40

Di sampmg itu, kekuasaan kehakiman yang merdeka juga sangat
relevan dalam kerangka "Right to a fair trial", sebagaimana diatur
dalam Article I 0 Universal Declaration of Human Rights dan Article
I 4 the International Cove lilt on Civil and Political Rights, yang
semuanya menegaskan bat a setiap orang mempunyai hak dengan
kualitas penuh untuk diad .i secara jujur dan terbuka, oleh suatu
pengadilan yang "independent, impartial and competent".
Kekuasaan kehakiman yang merdeka harus didukung pula
kemerdekaan atau independensi dari sub-sistem peradilan yang lain
seperti penasehat hukum (lawyer). Dalam sistem peradilan pidana
juga kemerdekaan dari penyidik dan penuntut umum sebagai penegak
hukum.
Di dalam Code of Conduct for Law Enforcement Officials (GA
Res. 34/169, 1979) ditegaskan bahwa "In the performance of their
duty, law enforcement officials shall respect and protect human
dignity and maintain and uphold the human rights of all persons"
(Article 2).
Selanjutnya di dalam Guidelines on the Role of Prosecutors (UN

Doc. E/AC.57/DEC/ll/l6, 1990) ditegaskan bahwa "In the performance
of their duties, prosecutors shall: (a) Carry out their functions
impartially and avoid all political, social, religious, racial, cultural,
sexual or any other kind of discrimination: (Butir l3.a).
Demikian pula yang tercantum dalam UN Basic Principles on the
Role of Lawyers (UN Doc. E/AC. 57/DECill/109. Butir 16 dalam hal
ini mengatur bahwa "Government shall ensure that lawyers (a) are able
to perform all of their professional functions without intimidation,
hindrance, harrashment or improper interference;"

UN Rapporteur on the independence of the judiciary and the
protection of practicing lawyers, Mr. Louis Joinet menegaskan: "It is
now universally recognized that fundamental rights and liberties can
best be preserved in a society where the legal profession and the
judiciary enjoy freedom from interference and pressure. Justice requires
that everyone should be entitled to a fair and public hearing by a
competent, independent and impartial tribunal .................................... ".
(Brody, 1990).
41


Amandemen Ketiga UUD I 945 yang disahkan pada tanggal I 0
November 2001 menegaskan pada Pasal 24 Ayat (I) bahwa "Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan". Hal ini merupakan
kemajuan yang signifikan, sebab UUD I 945 yang asli hanya menegaskan
hal tersebut dalam Penjelasan UUD I 945 Pasal 24 dan 25.
UU No. 35 Tahun I 999 yang diundangkan di Era Reformasi,
secara sistematis berusaha untuk menghentikan kooptasi セ・ォオ。ウョ@
eksekutif terhadap kekuasaan yudikatif, sebab sebagaimana dikemukakan
dalam TAP MPR-RI No. X/MPR/1998, maka pembinaan lembaga
peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa melakukan
intervensi ke dalam proses peradilan serta berkembangnya kolusi dan
praktek-praktek negatif pada proses peradilan. Penegakan hukum belum
memberi rasa keadilan dan kepastian hukum pada kasus-kasus yang
menghadapkan pemerintah atau pihak yang kuat dengan rakyat, sehingga
menempatkan rakyat pada posisi yang lemah.
III. HAKEKAT PENEGAKAN HUKUM DAN AKUNTABILITAS
KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG MERDEKA
Pasal I Ayat (3) UUD 1945 yang merupakan basil amandemen
Ketiga menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Pengertian

negara hukum (rechtsstaat) harus diartikan secara dinamis dalam kerangka
komparasi antara konsep "Supremacy of General Law" yang berkembang
di Eropa Kontinental dengan system Anglo Saxon, dengan asas "stare
decisis" yang memungkinkan hakim untuk membentuk hukum (judge
made law). Konsep negara hukum (rechtsstaat) lebih dekat pada prinsip
"Supremacy of General Law" dalam system kontinental, yang pada
dasarnya tidak memungkinkan hakim untuk menciptakan hukum.
Namun demikian pandangan seperti ini sebenarnya sudah berubah.
Pandangan bahwa masyarakat dilindungi hukum bersifat relatif. karena
dalam kehidupan demokratis masyarakat juga mengharapkan perlindungan
terhadap hukum. Hukum tidak lagi semata-mata difungsikan sebagai
refleksi kekuasaan yang berdaulat, tetapi harus pula dipertanyakan
hakekat dan substansi hukum tersebut, sampai seberapa jauh kesesuaiannya
dengan indeks demokrasi. Dengan demikian hakim harus difungsikan

42

pula peranannya sebagai "deputy Legislators" at au "pseudo Legislators".
(Hoogers and Warmelink, 2001 ).
Penegakan hukum sendiri harus dilihat dalam kerangka yang luas.
Pertama-tama harus diartikan sebagai "total enforcement concept", di
mana diharapkan hakim agar menegakkan hukum secara menyeluruh
baik norma maupun segala nilai yang ada di belakang norma tersebut.
Hal ini tidak mungkin dilakukan, karena hukum dalam kerangka "due
process of Law" juga membatasi dirinya sendiri (self derogated) an tara
lain dengan hukum acara yang ketat. Kedua, full enforcement concept"
yang diharapkan ditegakkan secara penuh, setelah mengalami "self
derogated" tersebut ternyata memiliki "gray area" yang penuh diskresi
karena pelbagai keterbatasan baik di bidang substansi hukum, struktur
maupun kultur hukum. Yang tersisa adalah "actual enforcement concept". (Goldstein, 1986).
Kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan bagian dari usaha
perlindungan HAM, namun simultan dengan kemerdekaan tersebut
manusia juga mempertanyakan sampai seberapa jauh kemerdekaan
tersebut juga mengandung tanggung jawab. Tanggung jawab judicial
Uudicial liability) pada dasarnya merupakan "value laden concept" yang
merefleksikan hubungan tertentu antara hakim dengan nilai-nilai sosial.
Dalam hal ini terkandung dua hal penting yaitu kekuasaan kehakiman
dan akuntabilitas dalam menggunakan kekuasaan tersebut.
Kekuasaan kehakiman tidak hanya mengandung pengertian otoritas
hukum, tetapi juga kewajiban hukum yang merupakan kekuasaan melekat
pada hakim dan pengadilan untuk melaksanakan fungsi pemerintahan
berupa mengadili dan memutus (adjudication). Adjudikasi ini secara luas
mencakup tiga hal: (l) tanggung jawab administratif (manajemen
perkara); (2) tanggung jawab prosedural (manajemen peradilan atas
dasar hukum acara yang berlaku); dan (3) tanggung jawab substantif
(berkaitan dengan hubungan antara fakta dengan hukum yang berlaku).
Selanjutnya dapat dikatakan bahwa, akuntabilitas judicial dapat
bersifat (a) akuntabilitas politik baik dari hakim secara pribadi maupun
kelompok dalam kerangka Dasar Negara, konstitusi dan perundangpundangan; (b) akuntabilitas sosial atau akuntabilitas publik dari hakim,
baik pribadi maupun kelompok terhadap masyarakat untuk selalu jujur,

43

seksama, tidak diskriminatif dan adil; dan (c) akuntabilitas hukum baik
sebagai wakil (vicarious) negara maupun sebagai personal dari hakim
dari sisi hukum dan etika. Belum lagi akuntabilitas vertical kepada
Tuhan Yang Maha Esa, yang mestinya harus dirasakan paling berat.

IV. BEBERAPA ANCAMAN POTENSIAL TERHADAP KEKUASAAN
KEHAKIMAN YANG MERDEKA
Ancaman

terhadap

kekuasaan

kehakiman

yang

merdeka dan

kemandirian hakim bisa bersifat internal maupun eksternal. Ancaman
dari sisi internal kekuasaan kehakiman antara lain berupa kualitas
sumber daya manusia yang rendah baik dari segi mental maupun
intelektual, sehingga sullt untuk menegakkan akuntabilitasnya. Hal ini
seringkali berkembang menjadi sikap defensif kolektif yang mendistorsi
salah satu unsur profesionalisme yaitu rasa kesejawatan (corporateness).
Bahaya internal bisa juga berasal dari otoritas kekuasaan kehakiman
yang memiliki kewenangan untuk melakukan promosi, mutasi, dan
tindakan disiplin termasuk suspensi dan pencopotan di lingkungan
kekuasaan kehakiman.
Ancaman yang bersifat eksternal sangat luas, baik dari kekuasaan
legislatif, eksekutif, pers, masyarakat (public pressure) maupun dari para
pencari keadilan. Yang terakhir ini baik dalam bentuk kekerasan,
ancaman kekerasan sampai dengan penyuapan. Segala bentuk ancaman
baik yang bersifat internal maupun eksternal tersebut masuk dalam

"Obstruction of Justice" yang lebih bernuansa demokratis
daripada istilah "Contempt of Court" yang lebih berwarna kekuasan dan
mensyaratkan terlebih dahulu kebersihan pengadilan sebagai benteng
keadilan.
kategori

Dari

segala ancaman tersebut yang paling berbahaya adalah

ancaman yang timbul dari rezim pemerintahan yang otoriter, yang
cenderung melakukan kejahatan politik (political crimes) dalam bentuk

"crimes by f?OVernment" atau "political policing" a tau "governmental
crime" atau "state orf?anized crime", yang cenderung melakukan
politisasi hukum dalam arti negatif, baik dalam proses pembuatan
undang-undang (UU yang bersifat tiranis), penegakan hukum (kooptasi

44

terhadap kekuasaan kehakiman, "miscarriage of justice") maupun pembinaan
kesadaran hukum masyarakat secara "top down".
Dalam hal ini Friedricht (1992) mendefinisikan "governmental
crime" sebagai: "The broad, all encompassing term for a range of
illegal and demonstrably harmful activities carried out from within or
in association with, governmental status .... They (governmental crime)
are committed within a governmental context, and facilitated by
governmental power".
Keluaran (output) dari sistem politik bisa berupa keputusan
(decisions) antara lain dalam bentuk hukum, tetapi juga tindakan
(actions). Dengan demikian hukum pada · dasarnya merupakan produk
suatu sistem politik (the product of political system). Hukum yang
demokratis merupakan produk pemerintahan yang demokratis, sebaliknya
pemerintahan yang otoriter akan menghasilkan hukum yang tiranis.
McLean ( 1999) menyebutnya dengan istilah "Tyranny of Law"
(how the law is taking away our liberties). Hal ini bisa mencakup
hukum yang tidak demokratis dan represif (draconian legislation)
sampai dengan bentuk pengaturan yang eksesif (overregulation,
overcriminalization). Yang terakhir ini bisa terjadi di negara demokratis,
karena ketidaksadaran dalam rangka semangat untuk menjaga tata-tertib
kehidupan masyarakat. McLean menggambarkan bahwa kondisi tersebut
telah terjadi di negara Barat dengan menyatakan "Western countries are
sleepwalking to a police state".
Dalam hal ini dirasakan betapa pentingnya membangun kemitraan
yang simbiotik (symbiotic partnership) antara hukum dan ilmu-ilmu
sosial atas dasar prinsip saling menghormati (resiprocal influences) dan
bukan dalam bentuk peningkatan "intradisciplinary communication"
yang justru mengurangi "inter-disciplinary exchanges" dalam pemikiran.
Informasi yang bersumber dari kedua ilmu harus konvergen dan bukan
sebaliknya tidak sama dan sebangun (incongruent). (Chin and Choi,
1998).
Dalam kehidupan demokratis, para perancang hukum dan kebijakan
publik harus disadarkan bahwa setiap hukum dan kebijakan publik yang
diterbitkan akan mempunyai implikasi luas di bidang sosial, politik,
ekonomi, dan sebagainya.

45

Di atas dikatakan bahwa keluaran sistem politik tidak hanya
berupa keputusan (decisions) antara lain berupa hukum, tetapi juga
berupa tindakan (actions). Dalam suatu sistem politik atau rezim, maka
aparatur pendukung sudah dibentuk untuk secara konsisten mempertahankan
jiwa dan semangat sistem politik tersebut. Termasuk para hakim yang
seharusnya merupakan "deputy legislator" atau "pseudo legislator"
justru larut ikut serta dalam semangat mesin politik dan menjadi "state
sponsored actor" atau "state actor" dalam pelanggaran HAM.
Dalam hal ini perjalanan bangsa dan negara Indonesia sarat
dengan pengalaman kelabu. Kooptasi kekuasaan politik terhadap kekuasaan
kehakiman terjadi sejak kemerdekaan sebagai ekses semangat revolusioner
yang tak terkendali. Selanjutnya sistem demokrasi terpimpin (guided
democracy) masa Orde Lama yang ditandai dengan pertumbuhan
substansial dari kekuasaan Presiden, utamanya melalui perundangundangan yang inkonstitusional dalam bentuk Penetapan Presiden (Penpres)
yai1g mengabaikan struktur dan proses hukum. Keluarnya Penpres No.
II Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi merupakan
cacat dalam kehidupan demokrasi kita. Keberadaan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1964 memungkinkan campur tangan eksekutif terhadap
peradilan demi kepentingan revolusi. Bahkan ketua Mahkamah Agung
pernah menjadi anggota kabinet.
Era Orde Baru yang semula banyak diharapkan dalam proses
demokratisasi, pada akhirnya terjebak dalam "ideologi pembangunan
ekonomi" yang menekan hak-hak sipil dan politik. Undang-Undang
Nomor II PNPS Tahun 1963 terus diberlakukan. Penyalahgunaan
kekuasaan, pelanggaran HAM dan KKN meningkat dan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 telah menempatkan kekuasaan kehakiman di dua
dimensi kekuasaan. "Court Administration" di bawah kekuasaan eksekutif,
sedangkan ''Judicial Power'' di bawah Mahkamah Agung. Buku yang
diterbitkan oleh the international Commission of Jurist pada tahun 1999,
yang berjudul The Ruler's Law menggambarkan kondisi kehidupan
hukum di masa Orde Baru secara gamblang.
Era reformasi antara lain ditandai dengan adanya Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999, yang harus diakui telah meningkatkan kesadaran
kekuasan lain untuk tidak mencampuri kekuasaan judikatif, tetapi bahaya
terhadap kemandirian kekuasaan kehakiman dari sisi-sisi lain justru
46

meningkat. Istilah Mafia Peradilan menjadi sangat populer, KKN di
dunia peradilan sangat dirasakan, tekanan pers dan publik terhadap
proses peradilan sudah dalam taraf mengganggu dan sebagainya. Proses
pemeriksaan KPKPN sub-komisi judikatif mengungkap hal-hal negatif
terhadap kekayaan beberapa hakim, pengadilan terhadap hakim yang
didakwa korupsi terjadi dan hasil keputusannya mendapat kritik tajam
dari masyarakat.

V.

PENUTUP

Dengan telah berakhirnya proses amandemen terhadap UUD 1945,
harapan untuk semakin meningkatnya kekuasaan kehakiman yang merdeka,
termasuk kemandirian hakim cenderung bersifat positif. Selanjutnya baik
penegasan dalam Pasal 24 Ayat (I) bahwa Kekuasaan Kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan, keberadaan Komisi Judisial yang
mandiri dan berwenang mengusulkan calon-calon hakim agung dan
menjaga serta menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku
hakim, maupun keberadaan Mahkamah Konstitusi yang antara lain
berwenang menguji secara materiil undang-undang terhadap UUD,
semuanya membawa harapan yang cerah bagi kekuasaan kehakiman
yang merdeka. Namun demikian, sesuai dengan analisis di atas, tampaknya
masih diperlukan pemikiran-pemikiran sebagai berikut.
(a) Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri harus pula
didukung oleh kekuasaan sub-sistem peradilan lain (penasehat
hukum, kepolisian dan kejaksaan) yang juga harus merdeka dan
mandiri serta sating menghormati satu sama lain. Demikian pula
kekuasaan negara yang lain harus memahami dan menghormati
kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai salah satu indeks
demokrasi.
(b) Semua pemegang peran dalam kekuasaan kehakiman harus sadar
bahwa kekuasaan kehakiman merupakan salah satu indeks demokrasi,
khususnya dalam kaitannya dengan keberadaan pemerintahan yang
terbuka, akuntabel dan responsive, serta menghormati HAM, khususnya
HAM sipil dan politik.
(c) Kekuasaan kehakiman merdeka dan mandiri mencakup area yang
luas dan interdependen yaitu ruang lingkup asas dan hakekat;

47

kebebasan untuk berekspresi dan berasosiasi; kualifikasi, seleksi dan
training; kondisi pelayanan; kerahasiaan profesi dan imunitas; dan
proses penegakan disiplin, suspensi dan pencopotan.
(d) Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri harus disertai
dengan tanggung jawab judisial, yang mencakup kekuasaan kehakiman
dan akuntabilitas dalam menggunakan kekuasaan tersebut.
(e) Ancaman terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka bisa bersifat
internal dan eksternal. Yang paling berbahaya adalah keberadaan
rezim pemerintahan yang otoriter yang secara sistematis melakukan
"crimes by government" berupa kooptasi mulai dari proses pembuatan
UU, proses penegakan hukum dan proses penanaman kesadaran
hukum yang bersifat "top down".

48