KEKUASAAN DAN IN KONSISTENSI PEMBERITAAN
KEKUASAAN DAN IN-KONSISTENSI PEMBERITAAN
MEDIA TELEVISI KOMERSIAL
S. Arifianto
Peneliti Komunikasi dan Budaya Media
Latar Belakang
Informasi yang cepat dan mampu menjangkau khalayak telah menjadi
kebutuhan bagi masyarakat. Sementara media televisi merupakan salah satu
diantara media massa yang memiliki jangkauan luas tersebut. Dewasa ini
televisi, sebagai bagian dari komunikasi massa di asumsikan memegang posisi
penting dalam masyarakat. Peranannya yang penting inilah membuat media
televisi, berkembang pesat dalam 20 dasa warsa terakhir ini. Televisi hadir
sebagai alat social, politik, budaya, bahkan sebagai sebuah industry informasi
corporate. Sebagai industry, televisi menjanjikan keuntungan cukup besar bagi
pemiliknya, bersaing secara kompetitif. Misalnya kwartal 3,tahun 2006 Goup
Media Nusantara Citra (MNC) dapat meraup keuntungan Rp.4,8 triliun (32% dari
total belanja iklan TV). Kemudian Trans TV, dan Trans 7 mampu mengumpulkan
keuntungan sebesar Rp.3,4 triliun (23,2%). ANTV dan Lativi (ketika itu)
memperoleh pendapatan, Rp.2,3 triliun (15%) dari total belanja iklan televisi
(AGB Nielsen Media Research, 2006).
Hal tersebut mengakibatkan industry televisi komersial tidak lagi
berorientasi untuk memenuhi hak masyarakat agar terpenuhinya kebutuhan
informasi dan hiburan,tetapi lebih dominan berorientasi pada keuntungan
ekonomi kapitalis, kekuatan pasar secara kompetitif. Saat ini konstelasi industry
media televisi komersial cenderung mengarah pada sistem oligopoly. Media
televisi dikuasai para konglomerasi media (pemilik modal), yang sekaligus
memiliki kekuasaan untuk menentukan kebijakan content. Mereka bersaing
secara ketat, melakukan penetrasi pasar media televisi,tanpa peduli dengan hak
public untuk mendapatkan layanan informasi dan hiburan yang berkualitas.
Konsentrasi kepemilikan media televisi komersial yang terjadi saat ini
dikhawatirkan berdampak negative bukan hanya pada sistem tata kelola media
di Indonesia, tetapi juga pada konten yang di trasfoemasikan kepada masyarakat
sebagai
khalayak
pemirsanya.
Sementara
regulasi
Pemerintah,
UU
No:32/2002/tentang penyiaran tidak mampu mencegah konsentrasi kepemilikan
silang, maupun tata kelola media televise komersial pada umumnya. Konsentrasi
kepemilikan media televisi ini bukan semata-mata fenomena bisnis, tetapi
fenomena ekonomi politik yang melibatkan kekuasaan. Kini konglomerasi media
memilki potensi kekuasaan yang absolute, melebihi kekuasaan Pemerintah.
Mereka mampu membentuk opini public untuk menjungkir balikkan fakta dan
peristiwa realitas di masyarakat. Contohnya, “ kasus Bank Century, kasus mafia
pajak, kasus Antasari, kasus Bibit & Chandra, kasus Susno Duadji, kasus
Nazarudin, kasus Gayus Tambunan, kasus mafia anggaran di DPR,kasus PNS
muda ber-rekening gandut dll”.
Ekpose media televisi komersial terhadap peristiwa ekonomi, dan proses
politik dalam kasus tersebut banyak dipertanyakan. Bahkan banyak pihak
melihat jurnalisme televisi yang digunakan cenderung meninggalkan etika
praduga tidak bersalah, maupun kode etik penyiaran. Hal tersebut akan terus
berlanjut, sepanjang televisi komersial menganut ideology kapitalistik. Media
televisi akan menjadi alat pencitraan bagi penguasa media,terlebih lagi ketika
para pemilik media masuk ke dunia politik praktis maka media televisi bisa
mereka jadikan sebagai alat propaganda yang paling ampuh. Realitasnya dalam
dua dasa warsa suhu politik di tanah air konstelasinya sudah mulai menghangat,
dan akan terus berkembang ke berbagai ranah yang lainnya.
Nuansa kompetisi pemunculan para tokoh politik mulai tercermin di
berbagai pemberitaan media televisi. Pertarungan wacana politik di berbagai
media televisi belakangan ini merupakan fenomena bahwa “arena pertarungan
politik pencitraan politisi mulai bermunculan”di media televisi. Pertanyaan yang
muncul, bagaimana independensi jurnalisme media televise komersial. Apakah
netralitas, dan keberpihakan media televisi komersial
terhadap kepentingan
public masih terjamin? Apakah kebebasan yang mereka dapatkan selama ini
untuk membela kepentingan public?. Ketika media televisi digunakan sebagai
ajang pertarungan politik untuk meraih kekuasaan, lantas apa yang diharapkan
khalayak masyarakat?. Rangkaian pertanyaan tersebut menjadi permasalahan
penting untuk dicarikan alternative jawabannya.
Tulisan artikel ini bertujuan
untuk mendiskusikan dan menjelaskan relasi kekuasan, dengan realitas
pemberitaan televisi. Konsep yang digunakan untuk menganalisis permasalahan
ini adalah, teori ekonomi politik dan imparsialitas media. Sumber informasi
diperoleh dari hasil studi literatur, dokumentasi, kliping media,dan pengamatan
penulis sebagai peneliti komunikasi dan budaya media.
Analisis difokuskan
pada kuasa kepemilikan media televisi komersial, dan relasinya terhadap
netralitas pemberitaan, dengan unit analisis media televisi komersial.
KEKUASAAN MEDIA TELEVISI
Perspektif untuk melihat bagaimana peran kekuasaan/pemilik media
televisi, terhadap eksistensi perkembangan dunia pertelevisian dapat digunakan
teori ekonomi politik. Teori ini berangkat dari pendekatan kritis yang muncul
sebagai respon terhadap akselerasi kapitalisme. Teori ekonomi politik, secara
umum sering digunakan untuk mendiskripsikan relasi antara sistem ekonomi,
sistem politik, dan sistem komunikasi dalam struktur kapitalisme global
(Deliarnov, 2005). Teori ekonomi politik lebih terfokus pada hubungan struktur
ekonomi, dinamika industry media dan ideology media. Artinya media tidak lebih
dari satu bagian cakupan dalam sistem ekonomi, yang juga di asumsikan dekat
dengan sistem politik, dan kekuasaan.
Teori ini menjelaskan bahwa pasar dan ideology memiliki pengaruh besar
terhadap penentuan content media. Perbedaan content media antara satu
dengan lainnya tergantung pada kekuasaan pemilik media (modal) pada industry
media yang bersangkutan. Curran, dan Woollacott,(1982) dalam konteks ini
menganggap bahwa media berfungsi untuk melegitimasi kekuasaan dan
menanamkan kesadaran palsu bagi masyarakat sebagai khalayak media. Media
diyakini bukanlah sekedar sebagai medium lalulintas arus informasi, antara
unsur social,dan budaya dalam masyarakat. Media telah berfungsi sebagai alat
penundukan,
dan
pemaksaan
consensus,oleh
kelompok
tertentu
yang
bertendensi memiliki kepentingan ekonomi dan politik dominan. Pada ranah ini
pola kepemilikan dan produk-produk yang disampaikan media adalah perangkat
ideologis yang melanggengkan dominasi kelas pemodal terhadap public, hanya
untuk memuluskan lahirnya berbagai regulasi yang pro-kapitalis/pasar. Dalam
konteks operasional media lebih dominan sebagai medium para pengiklan
utama,yang secara signifikan mampu mendorong dan meningkatkan penjualan
produk barang dan jasa, disamping memperkuat struktur ekonomi dan politik
tertentu.
Faktor
kepemilikan
media
ini
berimplikasi
pada
konsekuensi
berkembangnya isu-isu ekonomi politik, tentang homogenisasi ,agenda setting
dan hegemoni budaya media.
(a).Homogenisasi
dapat
diartikan
sebagai
penyeragaman
bentuk
tayangan program televisi,(financial pressures ands other forces lead all media
product to becom similar,standard and uniform).
(b). Agenda setting, merupakan upaya-upaya media untuk membuat
pemberitaan tidak hanya menjadi saluran isu dan peristiwa, melainkan terdapat
strategi tertentu yang dimainkan media sehingga “pemberitaan memiliki nilai
publikasi lebih seperti yang diharapkan media yang bersangkutan.
(c). Hegemoni budaya, merupakan pandangan bahwa telah terjadi
dominasi kelas di masyarakat, atas dominasi kelas lainnya. Hegemoni budaya
mengidentivikasi dan menjelaskan dominasi dan upaya mempertahankan
kekuasaan, metode yang digunakan mereka yang berkuasa atas kelas-kelas
subordinat untuk menerima dan mengadopsi perubahan nilai dalam kelas
tersebut. Teori ekonomi politik ini menurut pengamatan penulis, akan semakin
rumit jika dikaitkan dengan konteks globalisasi.
Hal tersbut diasumsikan,di satu sisi para ekonom (peneliti ekonomi) telah
berhasil mengkonstruksi suatu “teori sistem dunia”(world system theory). Tetapi
pada sisi yang lain para ahli social politik melum mampu mengkonstruksi teori
umum tentang “system ekonomi politik global”. Menurut, Deliarnov, (2005),
kesulitan mengkonstruksi sistem ekomomi global bukan hanya terletak pada segi
analistis, tetapi lebih disebkan beragamnya ideology dan budaya di berbagai
Negara. Ideologi dan budaya masyarakat, sebagai khalayak berpengaruh
terhadap warna dan corak media televisi.
Relasi Content dan Konteks
Antara penciptaan, content, dan dampak dari teori ekonomi politik tersebut
tidak hanya bertautan dengan masalah intelektual semata, tetapi juga dengan
persoalan ideology dan keragaman budaya di masyarakat.Implikasi yang lebih
urgen dijelaskan Staniland, 1985 seperti dikutip, Deliarnov (2005:13) dimana
teori ekonomi politik mereka lihat dari dua sisi, yakni dari sisi content dan
konteks.Di lihat dari sudut pandang content,terdapat beberapa macam teori
ekonomi politik. Untuk mengidentivikasi ragam teori ekonomi politik tersebut
dapat di ajukan berbagai pertanyaan sebagai berikut. Apakah teori tersebut
memperlihatkan relasi yang bersifat sistematis antara peristiwa ekonomi dengan
proses politik.
Hubungan sistematis antara peristiwa ekonomi dengan proses politik
dapat dilihat dari 3 (tiga) aspek. (1). Terdapatnya hubungan kausalitas antara
peristiwa ekonomi dengan proses politik. Konsep tersebut lebih dikenal dengan
“model ekonomi politik deterministic”. Model ini mengasumsikan bahwa pada
hubungan deterministic antara ekonomi dan politik, dimana politik menentukan
aspek
ekonomi dan
institusi ekonomi menentukan proses
politik. (2).
Terdapatnya hubungan timbale balik antara peristiwa ekonomi, dengan proses
politik. Model ini yang disebut “ekonomi politik interaktif,yang menganggap fungsi
fungsi politik
dan ekonomi berbeda, tetapi saling mempengaruhi satu sama
lainnya. (3). Terdapatnya hubungan perilaku yang berlanjt, atau kontinyunitas
antara ekonomi dan politik.
Dari beberapa jenis model teori ekonomi politik tersebut diatas, model
mana yang bisa digunakan? Jawabnya sangat relative, tergantung dari situasi
dan kondisi obyek yang akan dianalisis. Ketika kita menghendaki sebuah
formulasi untuk segera dapat diaplikasikan dalam suatu tindakan, model
deterministic lebih tepat. Model deterministic mampu memberikan gambaran
yang lebih pasti mengenai permasalahan yang kita hadapi, disamping
menunjukkan berbagai hal yang harus diubah (Deliarnov,2005:13).
Teori
ekonomi politik mengekspresikan suatu upaya secara kontinyu, menjadikan
suatu yang rumit, menjadi lebih sederhana sehingga dapat dipahami dan di
terangkan dengan lebih baik. Terlepas dari itu semua yang paling urgen untuk
dipahami apakah teori ekonomi politik dapat memperlihatkan hubungan yang
sistematis antara peristiwa ekonomi dan proses politik atau tidak. Apakah teori
ekonomi politik dapat menjelaskan secara empiris terhadap realitas peristiwa
ekonomi dan proses politik, terkait dengan netralitas pemberitaan media televisi
yang terjadi menjelang berlangsungnya pemilu 2014 di Indonesia.
Bisa saja tekanan ekonomi yang terjadi memicu timbulnya konflik
kepentingan secara internal pada industri media. Pada organisasi media
setidaknya terdapat tiga komponen yang dapat memberikan tekanan ekonomi.
(a)
Pemilik
modal
yang
menjadi
nafas
kehidupan
organisasi
media.
(b).Pengiklan, dan (c). Investor. Implikasinya content yang ditampilkan media
televisi hanya yang bersifat ekonomi untuk mendongkrak rating, sehingga
menarik pengiklan sebanyak mungkin. Pada sisi lain konflik kepentingan bisa
saja muncul ketika akibat adanya persaingan yang sangat kompetitif dengan
kompetitornya.
Pada posisi tersebut media televisi komersial bisa terjebak pada dilemma,
antara harus menghadirkan tayangan yang melayani kepentingan public,tetapi
kemungkinan akan merugi, atau memilih jenis tayangan populer untuk meraih
capital agar mampu bertahan hidup. Konflik kepertingan seperti itu dapat
berpengaruh terhadap idependensi pemberitaan, apakah media televise yang
bersangkutan tetap fairness dan justice dalam liputannya. Pada posisi tersebut
media televisi dalam operasionalnya cenderung mangalami tekanan internal
(pemilik modal), dan tekanan eksternal (kepentingan politik, ekonomi dan social).
Akibatnya media televisi yang bersangkutan tidak akan bisa powerful, tetapi
justru powerless. Tekanan seperti itu mengakibatkan pemberitaan media televisi
menjadi tidak obyektif, karena terkontaminasi oleh berbagai tekanan dan
kepentingan tertentu.Tekanan itu bisa datang dari dalam maupun dari luar.
Tekanan dari dalam datang dari kebijakan pemilik modal, yang ambil bagian
untuk memberikan corak keredaksian. Sedangkan tekanan dari luar datang dari
sistem perpolitikan, maupun regulasi dan kebijakan pemerintah.
REALITAS DAN IMPARSIALITAS BERITA
Permasalahan paling actual yang sering menjadi topic diskusi di kalangan
akademika, dan praktisi peneliti komunikasi dan media, diantaranya netralitas
pemberitaan media televisi komersial ketika pemiliknya masuk kedalam politik
praktis. Bagi televisi komersial yang berbasis ideology kapitalisme, yang
dipersoalkan bukanlah bagaimana sebuah tayangan televisi itu bertabrakan
dengan aspek moralitas, etika politik, pornografi dan lainnya, melainkan
bagaimana ia dapat meningkatkan rating untuk mendukung perputaran capital
(Pikiran Rakyat, 10/7/2003). Lepas dari persoalan itu masuknya para pemilik
media ke dunia politik praktis menjadi sangat menarik. Meski secara formal
mereka tidak menggunakan media televisi sebagai sarana kampanye politik
mereka secara terbuka, tetapi secara sembunyi tidak bisa di pungkiri, jika awak
televisi yang mereka miliki tidak kuasa menolak keinginan sang pemilik untuk
memaksakan kehendak politiknya. Pengaruh kekuasaan pemilik (modal/media)
terhadap netralitas berita sangat kentara. Implikasinya content media televisi
komersial dalam group terentu cenderung bersifat homogin. Homoginitas content
mengakibatkan penonton media televisi mengalami kesulitan untuk mencari
referensi. Kesulitan mencari referensi karena informasi bersumber dari media
televisi group yang dimiliki orang yang sama. Para pemilik media televisi
komersial itu adalah orang yang dekat dengan kekuasaan. Mereka membangun
group media dengan kepemilikan silang, untuk kepentingan, ekonomi, politik dan
ideology tertentu.Dalam perspektif Marxian media berpotensi menyebarkan
ideology dominan. Ideologi dominan inilah yang di asumsikan mempunyai
potensi untuk menguatkan hegemoni kekuasaan para pemilik media televisi
komersial.Dimana tekanan pemilik media tidak jauh dari kepentingan ekonomi,
politik dan ideology tersebut. Tekanan dari aspek ekonomi untuk mengembalikan
investasinya. Tekanan yang datang dari aspek politik dan ideology untuk
membangun kelanggengan kekuasaan. Semankin kuatnya tekanan dari pemilik
media, semakin sulit politik keredaksian media televisi bersikap netral, untuk
mempertahankan idepedensinya di hadapan khalayak pemirsanya. Kondisi
tersebut hampir melanda televisi komersial di Indonesia.
In-konsistensi Berita Televisi
In-konsistensi pemberitaan media televisi,bisa saja terjadi ketika terjadi tekanan
dan intervensi baik
secara
internal maupun eksternal terhadap
awak
redaksi.Sebagian besar awak redaksi mengalami kesulitan untuk tidak
menjalankan ideology media atas tekanan pemiliknya, misalnya seperti contoh
peristiwa berikut, ini :
Ketika kasus NCD (Negotiable of Deposit) fiktif yang dilakukan Harry
Tanoesoedibyo selaku pemilik Group MNC yang diduga merugikan
Negara tahun 2006, dan mencuat di permukaan menjadi opini public,
dianggap terjadi inkonsistensi netralitas pemberitaan. Realitas yang terjadi
ketika itu semua pemberitaan Group MNC (RCTI,TPI/MNC, Radio Trijaya,
Trust) justru membelanya. Bahkan RCTI menggelar Dialog Khusus,
bertajuk “Kontroversi NCD Bodong” pada tanggal,20/2/2006 berupaya
untuk menetralisir dan melakukan pembelaan kepada pemilik media
tersebut. Pada hal pihak redaktur pemberitaan ketika itu Arif Suditomo
mengatakan,: “sebenarnya penonton sudah tidak tertarik pada isu ini,
namun saya tertantang untuk menampilkannya. Banyak prodoser yang
tidak mau menampilkannya karena tayangan tersebut retingnya rendah.
(Sumer ,:http://pravdakino.multiply. com/journal/item/27/ konglome rasi –
media-dalam-group-mnc-media –nusantara-citra, diakses 26/5/2010)
Kasus yang dipertontonkan Metro TV ketika menyiarkan secara langsung
dan berulang ulang tentang pendeklarasian Organisasi Sosial Nasional
Demokrat, menjadi “Partai Politik Nasional Demokrat” (Nasdem) pada
tanggal 26-27 Jula 2011 di Jakarta. Pada hal sebelumnya Surya Paloh
selalu mengatakan bahwa Nasdem organisasi social, yang menuntut
perubahan bagi Bangsa Indonesia kedepan, dan tidak akan menjadi
organisasi politik. Ucapan Surya Paloh itu, disiarkan langsung berulang
ulang oleh Metro TV. Sedangkan pasca pendeklarasian Nasdem menjadi
partai
politik
praktis
pemberitaan
Metro
TV
begitu
antosiasnya
memberikan dukungan. Dalam konteks ini Metro TV telah melakukan
pembohongan public, melalui jurnalistik penyiarannya, dan dapat
dikatagorikan in-konsistensi terhadap dunia penyiaran di Indonesia.
Keberpihakan pemberitaan TV One, terhadap kepentingan ekonomi dan
politik dalam kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Opini di
media yang muncul ketika itu terbelah menjadi dua opsi, yakni, (a).
karena kecelakaan teknis dan PT Minarak Lapindo Group Bakrie yang
harus bertanggung jawab sepenuhnya, karena tim ahli dari ITS, UGM dan
ITB memberikan rekomendasi bahwa telah terjadi kesalahan teknis dalam
pengeboran gas tersebut. (b) Disebabkan karena bencana alam setelah
terjadi deal antara Pemerintah dan Bakrie Group yang dikuatkan
konsultan yang disewa dari luar negeri. Pada awalnya media televisi
termasuk TV One begitu gencar mendukung obsi yang pertama. Tetapi
setelah ada statemen dari pemilik TV One yang juga Group Lapindo,
pemberitaan TV One berbalik 180 derajat. Bahkan pihak TV One jarang
mengangkat kasus Lumpur Lapindo meski terjadi demo besar besaran di
depan Istana Presiden. TV One ikutan menggunakan kata “Lumpur
Sidoarjo” bukan Lumpur Lapindo seperti sebelumnya. Hal ini tampak jelas
terdapat kepentingan penguasa (pemilik TV One) terhadap content media
yang bertendensi peristiwa ekonomi dan proses politik. (Sumber:
pengerankatak. blogspot.com diakses 3 Januari 2010)
Beberapa contoh yang dikemukakan diatas pernah diramalkan potorolog John
Naisbitt, dalam Buku Megatrends terbitan 1982, bahwa siapa yang menguasai
media ia akan menguasai dunia. Sudah banyak ahli ekonomi media
mengingatkan, media akan berbahaya jika dikuasai kepentingan politik. Media
akan dijadikan sebagai alat untuk mencapai, dan mempertahankan kekuasaan.
Sejatinya semangat UU No :32/2002/tentang penyiaran, melarang adanya
oligopoly,dan media harus bersifat netral dalam pemberitaan (Ps,36,UU
No:32/2000/tentang penyiaran). Relasi kepemilikan media dengan kekuasaan di
tingkat elite menjadikan media rentan untuk di politisasi. Dalam konteks ini media
selalu berada dalam situasi dan kondisi yang dilematis. Tidak jarang media
gampang memihak dan sulit menjalankan mandat jurnalisme penyiaran yang
sejatinya. Khususnya
dalam penegakan, keberimbangan, netralitas
dan
independensi. Meski independensi media cenderung lemah, tetapi pengaruh
televisi semakin kuat, sehingga menggoda penguasa dan politisi untuk alat
penggalangan massa, dan menarik simpati masyarakat. Terlebih lagi ketika
penetrasi media televisi teresterial di Indonesia yang mencapai 92% (KPI, 2011).
Artinya media televisi merupakan media massa yang paling berpengaruh di
kalangan masyarakat pemirsanya.
PEMBAHASAN DAN INTERPRETASI
Di tengah perkembangan peradapan modern ini tidak seorangpun meragukan
keunggulan media televisi, dibanding media massa lainnya. Media televisi bukan
sekedar menjadi ikon,tetapi sebagai penanda atau symbol dari setiap kehidupan
di masyarakat. Tidak sejengkalpun orang akan meninggalkan televisi, ketika ada
peristiwa penting di masyarakat. Telavisi telah menjilma menjadi sarana yang
murah dan cepat untuk mendapatkan akses hiburan dan informasi. Meski
demikian dibalik hadirnya industry televisi, juga banyak menghadirkan berbagai
permasalahan. Berbagai permasalahan itu muncul karena berkaitan dengan
sajian content media televisi. Content yang mengandung unsur pornografi,
kekerasan, dan hegemoni tertentu, masih cenderung lebih dominan. Khususnya
dunia periklanan dimana tujuan akhir siaran televisi komersial untuk mendulang
pengiklan, melalui reting tertinggi pada program siarannya. Ketika media televisi
komersial berideologi kapitalistik, sangat sulit mengharapkan televisi sebagai
media edukasi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana terdapat
pada slogan awalnya. Habermas (1989) melihat media massa sesuangguhnya
merupakan public sphere yang harus dijaga dari berbagai pengaruh kepentingan
tertentu. Media televisi seharusnya dapat digunakan sebagai penawaran
berbagai gagasan, sebagaimana konsep pasar hanya ide yang baik yang dapat
dijual dan dipasarkan kepada konsumen. Pada saat yang sama media televisi
memproduksi ideology yang bersifat kohesif, yakni suatu perangkat nilai-nilai
(commonsence) dan norma-norma yang memproduksi dominasi social tertentu
untuk memapankan kekuasaan. Dunia pertelevisian merupakan sebuah arena
pertarungan dalam memperebutkan makna antara pihak-pihak yang ingin
berkuasa. Dalam pertarungan tersebut seharusnya media televisi lebih berpihak
kepada massa, bukan penguasa atau pemilik modal. Media televisi, harus dapat
mendorong khalayaknya untuk bersikap kritis. Keberpihakan kepada khalayak ini
dilakukan untuk melawan dominasi hegemoni kekuasaan. Gramsci,(1971), lewat
teorinya menyarankan kepada massa untuk membangun counter wacana
tandingan (counter discourses). Counter ini dibangun untuk mengimbangi
dominasi dan hegemoni yang dikonstruksi kaum kapitalis.
Hal ini menunjukkan adanya kepentingan penguasa (pemilik modal)
terhadap content media televisi. Kepemilikan media televisi dapat mempengaruhi
program tayangan karena terjadinya perubahan kebijakan, menyangkut nilai,
tujuan dan budaya kerja. Pemilik media televisilah yang menentukan corak dan
karakteristik media terhadap sumber informasi media televisi. Ketika sumber
informasi dikuasai seorang penguasa yang memiliki kepentingan tertentu maka
kebenaran yang ada pada media televisi ikut tersembunyikan. Implikasinya
khalayak tidak lagi bisa mendapatkan haknya akan kebenaran informasi yang
ada. Maka terjadilah distorsi informasi public, antara yang dikehendaki khalayak,
dengan realitas yang diberitakan televisi. Kesenjangan informasi seperti itu
berimplikasi, pada berbagai aspek lainnya. Aspek yang didominasi penyiaran
televisi komersial saat ini, antara aspek ekonomi, dan politik. Kedua aspek inilah
yang digunakan para pelaku konglomerasi media televisi untuk menancapkan
kekuasaannya. Gagalnya siaran televisi berjaringan banayak disebabkan tarik
ulur kepentingan ekonomi dan politik di kalangan pelaku usaha industry televisi
komersial di Indonesia. Sering kita lihat dalam berbagai diskusi bahwa media
televisi dinobatkan sebagai pilar dan garda depan pembentukan demokratisasi.
Semua Negara demokrasi, dapat dilihat dari seberapa besar kebebasan yang
diberika kepada media massa. Dibentuknya televisi berjaringan salah satu
diantaranya bertujuan untuk melaksanakan amanah demokrasi ekonomi bidang
penyiaran di daerah. Tetapi ketika demokratisasi itu bersentuan dengan
substansi potensi ekonomi televisi teristerial maka penolakan yang terjadi. Dalam
konteks ini hegemoni kekuasaanlah yang dominan.
Daftar Pustaka
Deliarnov,2005, Mencakup Berbagai teori dan Konsep Yang Konprehensip
Ekonomi Politik Penerbit Erlangga, Jakarta
Habermas, J,1989. The Structural Transformation of the Public Sphere,
Cambridge, MA.MIT,Press
Gramsci, 1971. Selection from the Prison Notebooks London Lawrance and
Wishart
MEDIA TELEVISI KOMERSIAL
S. Arifianto
Peneliti Komunikasi dan Budaya Media
Latar Belakang
Informasi yang cepat dan mampu menjangkau khalayak telah menjadi
kebutuhan bagi masyarakat. Sementara media televisi merupakan salah satu
diantara media massa yang memiliki jangkauan luas tersebut. Dewasa ini
televisi, sebagai bagian dari komunikasi massa di asumsikan memegang posisi
penting dalam masyarakat. Peranannya yang penting inilah membuat media
televisi, berkembang pesat dalam 20 dasa warsa terakhir ini. Televisi hadir
sebagai alat social, politik, budaya, bahkan sebagai sebuah industry informasi
corporate. Sebagai industry, televisi menjanjikan keuntungan cukup besar bagi
pemiliknya, bersaing secara kompetitif. Misalnya kwartal 3,tahun 2006 Goup
Media Nusantara Citra (MNC) dapat meraup keuntungan Rp.4,8 triliun (32% dari
total belanja iklan TV). Kemudian Trans TV, dan Trans 7 mampu mengumpulkan
keuntungan sebesar Rp.3,4 triliun (23,2%). ANTV dan Lativi (ketika itu)
memperoleh pendapatan, Rp.2,3 triliun (15%) dari total belanja iklan televisi
(AGB Nielsen Media Research, 2006).
Hal tersebut mengakibatkan industry televisi komersial tidak lagi
berorientasi untuk memenuhi hak masyarakat agar terpenuhinya kebutuhan
informasi dan hiburan,tetapi lebih dominan berorientasi pada keuntungan
ekonomi kapitalis, kekuatan pasar secara kompetitif. Saat ini konstelasi industry
media televisi komersial cenderung mengarah pada sistem oligopoly. Media
televisi dikuasai para konglomerasi media (pemilik modal), yang sekaligus
memiliki kekuasaan untuk menentukan kebijakan content. Mereka bersaing
secara ketat, melakukan penetrasi pasar media televisi,tanpa peduli dengan hak
public untuk mendapatkan layanan informasi dan hiburan yang berkualitas.
Konsentrasi kepemilikan media televisi komersial yang terjadi saat ini
dikhawatirkan berdampak negative bukan hanya pada sistem tata kelola media
di Indonesia, tetapi juga pada konten yang di trasfoemasikan kepada masyarakat
sebagai
khalayak
pemirsanya.
Sementara
regulasi
Pemerintah,
UU
No:32/2002/tentang penyiaran tidak mampu mencegah konsentrasi kepemilikan
silang, maupun tata kelola media televise komersial pada umumnya. Konsentrasi
kepemilikan media televisi ini bukan semata-mata fenomena bisnis, tetapi
fenomena ekonomi politik yang melibatkan kekuasaan. Kini konglomerasi media
memilki potensi kekuasaan yang absolute, melebihi kekuasaan Pemerintah.
Mereka mampu membentuk opini public untuk menjungkir balikkan fakta dan
peristiwa realitas di masyarakat. Contohnya, “ kasus Bank Century, kasus mafia
pajak, kasus Antasari, kasus Bibit & Chandra, kasus Susno Duadji, kasus
Nazarudin, kasus Gayus Tambunan, kasus mafia anggaran di DPR,kasus PNS
muda ber-rekening gandut dll”.
Ekpose media televisi komersial terhadap peristiwa ekonomi, dan proses
politik dalam kasus tersebut banyak dipertanyakan. Bahkan banyak pihak
melihat jurnalisme televisi yang digunakan cenderung meninggalkan etika
praduga tidak bersalah, maupun kode etik penyiaran. Hal tersebut akan terus
berlanjut, sepanjang televisi komersial menganut ideology kapitalistik. Media
televisi akan menjadi alat pencitraan bagi penguasa media,terlebih lagi ketika
para pemilik media masuk ke dunia politik praktis maka media televisi bisa
mereka jadikan sebagai alat propaganda yang paling ampuh. Realitasnya dalam
dua dasa warsa suhu politik di tanah air konstelasinya sudah mulai menghangat,
dan akan terus berkembang ke berbagai ranah yang lainnya.
Nuansa kompetisi pemunculan para tokoh politik mulai tercermin di
berbagai pemberitaan media televisi. Pertarungan wacana politik di berbagai
media televisi belakangan ini merupakan fenomena bahwa “arena pertarungan
politik pencitraan politisi mulai bermunculan”di media televisi. Pertanyaan yang
muncul, bagaimana independensi jurnalisme media televise komersial. Apakah
netralitas, dan keberpihakan media televisi komersial
terhadap kepentingan
public masih terjamin? Apakah kebebasan yang mereka dapatkan selama ini
untuk membela kepentingan public?. Ketika media televisi digunakan sebagai
ajang pertarungan politik untuk meraih kekuasaan, lantas apa yang diharapkan
khalayak masyarakat?. Rangkaian pertanyaan tersebut menjadi permasalahan
penting untuk dicarikan alternative jawabannya.
Tulisan artikel ini bertujuan
untuk mendiskusikan dan menjelaskan relasi kekuasan, dengan realitas
pemberitaan televisi. Konsep yang digunakan untuk menganalisis permasalahan
ini adalah, teori ekonomi politik dan imparsialitas media. Sumber informasi
diperoleh dari hasil studi literatur, dokumentasi, kliping media,dan pengamatan
penulis sebagai peneliti komunikasi dan budaya media.
Analisis difokuskan
pada kuasa kepemilikan media televisi komersial, dan relasinya terhadap
netralitas pemberitaan, dengan unit analisis media televisi komersial.
KEKUASAAN MEDIA TELEVISI
Perspektif untuk melihat bagaimana peran kekuasaan/pemilik media
televisi, terhadap eksistensi perkembangan dunia pertelevisian dapat digunakan
teori ekonomi politik. Teori ini berangkat dari pendekatan kritis yang muncul
sebagai respon terhadap akselerasi kapitalisme. Teori ekonomi politik, secara
umum sering digunakan untuk mendiskripsikan relasi antara sistem ekonomi,
sistem politik, dan sistem komunikasi dalam struktur kapitalisme global
(Deliarnov, 2005). Teori ekonomi politik lebih terfokus pada hubungan struktur
ekonomi, dinamika industry media dan ideology media. Artinya media tidak lebih
dari satu bagian cakupan dalam sistem ekonomi, yang juga di asumsikan dekat
dengan sistem politik, dan kekuasaan.
Teori ini menjelaskan bahwa pasar dan ideology memiliki pengaruh besar
terhadap penentuan content media. Perbedaan content media antara satu
dengan lainnya tergantung pada kekuasaan pemilik media (modal) pada industry
media yang bersangkutan. Curran, dan Woollacott,(1982) dalam konteks ini
menganggap bahwa media berfungsi untuk melegitimasi kekuasaan dan
menanamkan kesadaran palsu bagi masyarakat sebagai khalayak media. Media
diyakini bukanlah sekedar sebagai medium lalulintas arus informasi, antara
unsur social,dan budaya dalam masyarakat. Media telah berfungsi sebagai alat
penundukan,
dan
pemaksaan
consensus,oleh
kelompok
tertentu
yang
bertendensi memiliki kepentingan ekonomi dan politik dominan. Pada ranah ini
pola kepemilikan dan produk-produk yang disampaikan media adalah perangkat
ideologis yang melanggengkan dominasi kelas pemodal terhadap public, hanya
untuk memuluskan lahirnya berbagai regulasi yang pro-kapitalis/pasar. Dalam
konteks operasional media lebih dominan sebagai medium para pengiklan
utama,yang secara signifikan mampu mendorong dan meningkatkan penjualan
produk barang dan jasa, disamping memperkuat struktur ekonomi dan politik
tertentu.
Faktor
kepemilikan
media
ini
berimplikasi
pada
konsekuensi
berkembangnya isu-isu ekonomi politik, tentang homogenisasi ,agenda setting
dan hegemoni budaya media.
(a).Homogenisasi
dapat
diartikan
sebagai
penyeragaman
bentuk
tayangan program televisi,(financial pressures ands other forces lead all media
product to becom similar,standard and uniform).
(b). Agenda setting, merupakan upaya-upaya media untuk membuat
pemberitaan tidak hanya menjadi saluran isu dan peristiwa, melainkan terdapat
strategi tertentu yang dimainkan media sehingga “pemberitaan memiliki nilai
publikasi lebih seperti yang diharapkan media yang bersangkutan.
(c). Hegemoni budaya, merupakan pandangan bahwa telah terjadi
dominasi kelas di masyarakat, atas dominasi kelas lainnya. Hegemoni budaya
mengidentivikasi dan menjelaskan dominasi dan upaya mempertahankan
kekuasaan, metode yang digunakan mereka yang berkuasa atas kelas-kelas
subordinat untuk menerima dan mengadopsi perubahan nilai dalam kelas
tersebut. Teori ekonomi politik ini menurut pengamatan penulis, akan semakin
rumit jika dikaitkan dengan konteks globalisasi.
Hal tersbut diasumsikan,di satu sisi para ekonom (peneliti ekonomi) telah
berhasil mengkonstruksi suatu “teori sistem dunia”(world system theory). Tetapi
pada sisi yang lain para ahli social politik melum mampu mengkonstruksi teori
umum tentang “system ekonomi politik global”. Menurut, Deliarnov, (2005),
kesulitan mengkonstruksi sistem ekomomi global bukan hanya terletak pada segi
analistis, tetapi lebih disebkan beragamnya ideology dan budaya di berbagai
Negara. Ideologi dan budaya masyarakat, sebagai khalayak berpengaruh
terhadap warna dan corak media televisi.
Relasi Content dan Konteks
Antara penciptaan, content, dan dampak dari teori ekonomi politik tersebut
tidak hanya bertautan dengan masalah intelektual semata, tetapi juga dengan
persoalan ideology dan keragaman budaya di masyarakat.Implikasi yang lebih
urgen dijelaskan Staniland, 1985 seperti dikutip, Deliarnov (2005:13) dimana
teori ekonomi politik mereka lihat dari dua sisi, yakni dari sisi content dan
konteks.Di lihat dari sudut pandang content,terdapat beberapa macam teori
ekonomi politik. Untuk mengidentivikasi ragam teori ekonomi politik tersebut
dapat di ajukan berbagai pertanyaan sebagai berikut. Apakah teori tersebut
memperlihatkan relasi yang bersifat sistematis antara peristiwa ekonomi dengan
proses politik.
Hubungan sistematis antara peristiwa ekonomi dengan proses politik
dapat dilihat dari 3 (tiga) aspek. (1). Terdapatnya hubungan kausalitas antara
peristiwa ekonomi dengan proses politik. Konsep tersebut lebih dikenal dengan
“model ekonomi politik deterministic”. Model ini mengasumsikan bahwa pada
hubungan deterministic antara ekonomi dan politik, dimana politik menentukan
aspek
ekonomi dan
institusi ekonomi menentukan proses
politik. (2).
Terdapatnya hubungan timbale balik antara peristiwa ekonomi, dengan proses
politik. Model ini yang disebut “ekonomi politik interaktif,yang menganggap fungsi
fungsi politik
dan ekonomi berbeda, tetapi saling mempengaruhi satu sama
lainnya. (3). Terdapatnya hubungan perilaku yang berlanjt, atau kontinyunitas
antara ekonomi dan politik.
Dari beberapa jenis model teori ekonomi politik tersebut diatas, model
mana yang bisa digunakan? Jawabnya sangat relative, tergantung dari situasi
dan kondisi obyek yang akan dianalisis. Ketika kita menghendaki sebuah
formulasi untuk segera dapat diaplikasikan dalam suatu tindakan, model
deterministic lebih tepat. Model deterministic mampu memberikan gambaran
yang lebih pasti mengenai permasalahan yang kita hadapi, disamping
menunjukkan berbagai hal yang harus diubah (Deliarnov,2005:13).
Teori
ekonomi politik mengekspresikan suatu upaya secara kontinyu, menjadikan
suatu yang rumit, menjadi lebih sederhana sehingga dapat dipahami dan di
terangkan dengan lebih baik. Terlepas dari itu semua yang paling urgen untuk
dipahami apakah teori ekonomi politik dapat memperlihatkan hubungan yang
sistematis antara peristiwa ekonomi dan proses politik atau tidak. Apakah teori
ekonomi politik dapat menjelaskan secara empiris terhadap realitas peristiwa
ekonomi dan proses politik, terkait dengan netralitas pemberitaan media televisi
yang terjadi menjelang berlangsungnya pemilu 2014 di Indonesia.
Bisa saja tekanan ekonomi yang terjadi memicu timbulnya konflik
kepentingan secara internal pada industri media. Pada organisasi media
setidaknya terdapat tiga komponen yang dapat memberikan tekanan ekonomi.
(a)
Pemilik
modal
yang
menjadi
nafas
kehidupan
organisasi
media.
(b).Pengiklan, dan (c). Investor. Implikasinya content yang ditampilkan media
televisi hanya yang bersifat ekonomi untuk mendongkrak rating, sehingga
menarik pengiklan sebanyak mungkin. Pada sisi lain konflik kepentingan bisa
saja muncul ketika akibat adanya persaingan yang sangat kompetitif dengan
kompetitornya.
Pada posisi tersebut media televisi komersial bisa terjebak pada dilemma,
antara harus menghadirkan tayangan yang melayani kepentingan public,tetapi
kemungkinan akan merugi, atau memilih jenis tayangan populer untuk meraih
capital agar mampu bertahan hidup. Konflik kepertingan seperti itu dapat
berpengaruh terhadap idependensi pemberitaan, apakah media televise yang
bersangkutan tetap fairness dan justice dalam liputannya. Pada posisi tersebut
media televisi dalam operasionalnya cenderung mangalami tekanan internal
(pemilik modal), dan tekanan eksternal (kepentingan politik, ekonomi dan social).
Akibatnya media televisi yang bersangkutan tidak akan bisa powerful, tetapi
justru powerless. Tekanan seperti itu mengakibatkan pemberitaan media televisi
menjadi tidak obyektif, karena terkontaminasi oleh berbagai tekanan dan
kepentingan tertentu.Tekanan itu bisa datang dari dalam maupun dari luar.
Tekanan dari dalam datang dari kebijakan pemilik modal, yang ambil bagian
untuk memberikan corak keredaksian. Sedangkan tekanan dari luar datang dari
sistem perpolitikan, maupun regulasi dan kebijakan pemerintah.
REALITAS DAN IMPARSIALITAS BERITA
Permasalahan paling actual yang sering menjadi topic diskusi di kalangan
akademika, dan praktisi peneliti komunikasi dan media, diantaranya netralitas
pemberitaan media televisi komersial ketika pemiliknya masuk kedalam politik
praktis. Bagi televisi komersial yang berbasis ideology kapitalisme, yang
dipersoalkan bukanlah bagaimana sebuah tayangan televisi itu bertabrakan
dengan aspek moralitas, etika politik, pornografi dan lainnya, melainkan
bagaimana ia dapat meningkatkan rating untuk mendukung perputaran capital
(Pikiran Rakyat, 10/7/2003). Lepas dari persoalan itu masuknya para pemilik
media ke dunia politik praktis menjadi sangat menarik. Meski secara formal
mereka tidak menggunakan media televisi sebagai sarana kampanye politik
mereka secara terbuka, tetapi secara sembunyi tidak bisa di pungkiri, jika awak
televisi yang mereka miliki tidak kuasa menolak keinginan sang pemilik untuk
memaksakan kehendak politiknya. Pengaruh kekuasaan pemilik (modal/media)
terhadap netralitas berita sangat kentara. Implikasinya content media televisi
komersial dalam group terentu cenderung bersifat homogin. Homoginitas content
mengakibatkan penonton media televisi mengalami kesulitan untuk mencari
referensi. Kesulitan mencari referensi karena informasi bersumber dari media
televisi group yang dimiliki orang yang sama. Para pemilik media televisi
komersial itu adalah orang yang dekat dengan kekuasaan. Mereka membangun
group media dengan kepemilikan silang, untuk kepentingan, ekonomi, politik dan
ideology tertentu.Dalam perspektif Marxian media berpotensi menyebarkan
ideology dominan. Ideologi dominan inilah yang di asumsikan mempunyai
potensi untuk menguatkan hegemoni kekuasaan para pemilik media televisi
komersial.Dimana tekanan pemilik media tidak jauh dari kepentingan ekonomi,
politik dan ideology tersebut. Tekanan dari aspek ekonomi untuk mengembalikan
investasinya. Tekanan yang datang dari aspek politik dan ideology untuk
membangun kelanggengan kekuasaan. Semankin kuatnya tekanan dari pemilik
media, semakin sulit politik keredaksian media televisi bersikap netral, untuk
mempertahankan idepedensinya di hadapan khalayak pemirsanya. Kondisi
tersebut hampir melanda televisi komersial di Indonesia.
In-konsistensi Berita Televisi
In-konsistensi pemberitaan media televisi,bisa saja terjadi ketika terjadi tekanan
dan intervensi baik
secara
internal maupun eksternal terhadap
awak
redaksi.Sebagian besar awak redaksi mengalami kesulitan untuk tidak
menjalankan ideology media atas tekanan pemiliknya, misalnya seperti contoh
peristiwa berikut, ini :
Ketika kasus NCD (Negotiable of Deposit) fiktif yang dilakukan Harry
Tanoesoedibyo selaku pemilik Group MNC yang diduga merugikan
Negara tahun 2006, dan mencuat di permukaan menjadi opini public,
dianggap terjadi inkonsistensi netralitas pemberitaan. Realitas yang terjadi
ketika itu semua pemberitaan Group MNC (RCTI,TPI/MNC, Radio Trijaya,
Trust) justru membelanya. Bahkan RCTI menggelar Dialog Khusus,
bertajuk “Kontroversi NCD Bodong” pada tanggal,20/2/2006 berupaya
untuk menetralisir dan melakukan pembelaan kepada pemilik media
tersebut. Pada hal pihak redaktur pemberitaan ketika itu Arif Suditomo
mengatakan,: “sebenarnya penonton sudah tidak tertarik pada isu ini,
namun saya tertantang untuk menampilkannya. Banyak prodoser yang
tidak mau menampilkannya karena tayangan tersebut retingnya rendah.
(Sumer ,:http://pravdakino.multiply. com/journal/item/27/ konglome rasi –
media-dalam-group-mnc-media –nusantara-citra, diakses 26/5/2010)
Kasus yang dipertontonkan Metro TV ketika menyiarkan secara langsung
dan berulang ulang tentang pendeklarasian Organisasi Sosial Nasional
Demokrat, menjadi “Partai Politik Nasional Demokrat” (Nasdem) pada
tanggal 26-27 Jula 2011 di Jakarta. Pada hal sebelumnya Surya Paloh
selalu mengatakan bahwa Nasdem organisasi social, yang menuntut
perubahan bagi Bangsa Indonesia kedepan, dan tidak akan menjadi
organisasi politik. Ucapan Surya Paloh itu, disiarkan langsung berulang
ulang oleh Metro TV. Sedangkan pasca pendeklarasian Nasdem menjadi
partai
politik
praktis
pemberitaan
Metro
TV
begitu
antosiasnya
memberikan dukungan. Dalam konteks ini Metro TV telah melakukan
pembohongan public, melalui jurnalistik penyiarannya, dan dapat
dikatagorikan in-konsistensi terhadap dunia penyiaran di Indonesia.
Keberpihakan pemberitaan TV One, terhadap kepentingan ekonomi dan
politik dalam kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Opini di
media yang muncul ketika itu terbelah menjadi dua opsi, yakni, (a).
karena kecelakaan teknis dan PT Minarak Lapindo Group Bakrie yang
harus bertanggung jawab sepenuhnya, karena tim ahli dari ITS, UGM dan
ITB memberikan rekomendasi bahwa telah terjadi kesalahan teknis dalam
pengeboran gas tersebut. (b) Disebabkan karena bencana alam setelah
terjadi deal antara Pemerintah dan Bakrie Group yang dikuatkan
konsultan yang disewa dari luar negeri. Pada awalnya media televisi
termasuk TV One begitu gencar mendukung obsi yang pertama. Tetapi
setelah ada statemen dari pemilik TV One yang juga Group Lapindo,
pemberitaan TV One berbalik 180 derajat. Bahkan pihak TV One jarang
mengangkat kasus Lumpur Lapindo meski terjadi demo besar besaran di
depan Istana Presiden. TV One ikutan menggunakan kata “Lumpur
Sidoarjo” bukan Lumpur Lapindo seperti sebelumnya. Hal ini tampak jelas
terdapat kepentingan penguasa (pemilik TV One) terhadap content media
yang bertendensi peristiwa ekonomi dan proses politik. (Sumber:
pengerankatak. blogspot.com diakses 3 Januari 2010)
Beberapa contoh yang dikemukakan diatas pernah diramalkan potorolog John
Naisbitt, dalam Buku Megatrends terbitan 1982, bahwa siapa yang menguasai
media ia akan menguasai dunia. Sudah banyak ahli ekonomi media
mengingatkan, media akan berbahaya jika dikuasai kepentingan politik. Media
akan dijadikan sebagai alat untuk mencapai, dan mempertahankan kekuasaan.
Sejatinya semangat UU No :32/2002/tentang penyiaran, melarang adanya
oligopoly,dan media harus bersifat netral dalam pemberitaan (Ps,36,UU
No:32/2000/tentang penyiaran). Relasi kepemilikan media dengan kekuasaan di
tingkat elite menjadikan media rentan untuk di politisasi. Dalam konteks ini media
selalu berada dalam situasi dan kondisi yang dilematis. Tidak jarang media
gampang memihak dan sulit menjalankan mandat jurnalisme penyiaran yang
sejatinya. Khususnya
dalam penegakan, keberimbangan, netralitas
dan
independensi. Meski independensi media cenderung lemah, tetapi pengaruh
televisi semakin kuat, sehingga menggoda penguasa dan politisi untuk alat
penggalangan massa, dan menarik simpati masyarakat. Terlebih lagi ketika
penetrasi media televisi teresterial di Indonesia yang mencapai 92% (KPI, 2011).
Artinya media televisi merupakan media massa yang paling berpengaruh di
kalangan masyarakat pemirsanya.
PEMBAHASAN DAN INTERPRETASI
Di tengah perkembangan peradapan modern ini tidak seorangpun meragukan
keunggulan media televisi, dibanding media massa lainnya. Media televisi bukan
sekedar menjadi ikon,tetapi sebagai penanda atau symbol dari setiap kehidupan
di masyarakat. Tidak sejengkalpun orang akan meninggalkan televisi, ketika ada
peristiwa penting di masyarakat. Telavisi telah menjilma menjadi sarana yang
murah dan cepat untuk mendapatkan akses hiburan dan informasi. Meski
demikian dibalik hadirnya industry televisi, juga banyak menghadirkan berbagai
permasalahan. Berbagai permasalahan itu muncul karena berkaitan dengan
sajian content media televisi. Content yang mengandung unsur pornografi,
kekerasan, dan hegemoni tertentu, masih cenderung lebih dominan. Khususnya
dunia periklanan dimana tujuan akhir siaran televisi komersial untuk mendulang
pengiklan, melalui reting tertinggi pada program siarannya. Ketika media televisi
komersial berideologi kapitalistik, sangat sulit mengharapkan televisi sebagai
media edukasi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana terdapat
pada slogan awalnya. Habermas (1989) melihat media massa sesuangguhnya
merupakan public sphere yang harus dijaga dari berbagai pengaruh kepentingan
tertentu. Media televisi seharusnya dapat digunakan sebagai penawaran
berbagai gagasan, sebagaimana konsep pasar hanya ide yang baik yang dapat
dijual dan dipasarkan kepada konsumen. Pada saat yang sama media televisi
memproduksi ideology yang bersifat kohesif, yakni suatu perangkat nilai-nilai
(commonsence) dan norma-norma yang memproduksi dominasi social tertentu
untuk memapankan kekuasaan. Dunia pertelevisian merupakan sebuah arena
pertarungan dalam memperebutkan makna antara pihak-pihak yang ingin
berkuasa. Dalam pertarungan tersebut seharusnya media televisi lebih berpihak
kepada massa, bukan penguasa atau pemilik modal. Media televisi, harus dapat
mendorong khalayaknya untuk bersikap kritis. Keberpihakan kepada khalayak ini
dilakukan untuk melawan dominasi hegemoni kekuasaan. Gramsci,(1971), lewat
teorinya menyarankan kepada massa untuk membangun counter wacana
tandingan (counter discourses). Counter ini dibangun untuk mengimbangi
dominasi dan hegemoni yang dikonstruksi kaum kapitalis.
Hal ini menunjukkan adanya kepentingan penguasa (pemilik modal)
terhadap content media televisi. Kepemilikan media televisi dapat mempengaruhi
program tayangan karena terjadinya perubahan kebijakan, menyangkut nilai,
tujuan dan budaya kerja. Pemilik media televisilah yang menentukan corak dan
karakteristik media terhadap sumber informasi media televisi. Ketika sumber
informasi dikuasai seorang penguasa yang memiliki kepentingan tertentu maka
kebenaran yang ada pada media televisi ikut tersembunyikan. Implikasinya
khalayak tidak lagi bisa mendapatkan haknya akan kebenaran informasi yang
ada. Maka terjadilah distorsi informasi public, antara yang dikehendaki khalayak,
dengan realitas yang diberitakan televisi. Kesenjangan informasi seperti itu
berimplikasi, pada berbagai aspek lainnya. Aspek yang didominasi penyiaran
televisi komersial saat ini, antara aspek ekonomi, dan politik. Kedua aspek inilah
yang digunakan para pelaku konglomerasi media televisi untuk menancapkan
kekuasaannya. Gagalnya siaran televisi berjaringan banayak disebabkan tarik
ulur kepentingan ekonomi dan politik di kalangan pelaku usaha industry televisi
komersial di Indonesia. Sering kita lihat dalam berbagai diskusi bahwa media
televisi dinobatkan sebagai pilar dan garda depan pembentukan demokratisasi.
Semua Negara demokrasi, dapat dilihat dari seberapa besar kebebasan yang
diberika kepada media massa. Dibentuknya televisi berjaringan salah satu
diantaranya bertujuan untuk melaksanakan amanah demokrasi ekonomi bidang
penyiaran di daerah. Tetapi ketika demokratisasi itu bersentuan dengan
substansi potensi ekonomi televisi teristerial maka penolakan yang terjadi. Dalam
konteks ini hegemoni kekuasaanlah yang dominan.
Daftar Pustaka
Deliarnov,2005, Mencakup Berbagai teori dan Konsep Yang Konprehensip
Ekonomi Politik Penerbit Erlangga, Jakarta
Habermas, J,1989. The Structural Transformation of the Public Sphere,
Cambridge, MA.MIT,Press
Gramsci, 1971. Selection from the Prison Notebooks London Lawrance and
Wishart