TINDAK PIDANA KORPORASI DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

TINDAK PIDANA KORPORASI DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA
Bambang Ali Kusumo
Staf Pengajar Fakultas Hukum UNISRI Surakarta
ABSTRACT
Lost caused by corporate crime on individual, society and state
was very numerous, however, it is not easy to give penal sanction to
such corporate. This is because, one other thing, there is many
impediment in determining the responsibility and should of the
corporate. Therefore, the effort to deterrent corporate crime not only
relies on penal act, but also on non penal act infrastructure, so that
integration of both will lessen the corporate crime.
Keywords: requirement of customer, doing an injustice corporation,
criminal law, lost
PENDAHULUAN
Korporasi adalah sebutan yang lazim dipergunakan dikalangan pakar
hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain,
khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum. Adanya korporasi
sebenarnya terjadi akibat dari perkembangan modernisasi. Pada zaman dahulu,
masyarakat primitif atau tradisional tidak dikenal badan hukum atau korporasi,
segala aktivitas/kegiatan hanya dijalankan secara individu atau perorangan. Namun
dalam perkembangannya, timbullah akan kebutuhan untuk menjalankan kegiatan

secara bekerjasama dengan beberapa orang atau korporasi. Lebih-lebih adanya
tuntutan perkembangan ekonomi dan bisnis pada zaman revolusi industri yang
semakin luas dan kompleks, terutama masalah keterbatasan dana untuk
pembeayaan industri–industri besar dan masalah pengorganisasian kerjasama
antara pemilik modal dalam melaksanakan aktivitas ekonomi dan bisnis. Adanya
korporasi dana-dana dari perseorangan dapat dikumpulkan atau digabung untuk
membiayai proyek–proyek besar yang membutuhkan dana yang sangat banyak
(Salman Luthan, 1994: 15). Di samping itu ada keinginan agar dengan
tergabungnya keterampilan akan lebih berhasil dari pada bila dilaksanakan hanya
seorang diri. Kemungkinan pula ada pertimbangan tertentu yakni dapat membagi
resiko kerugian yang kemungkinan timbul dalam usaha bersama tersebut. Dalam
perkembangan lebih lanjut usaha bersama atau korporasi ini tidak hanya
melibatkan beberapa orang, tetapi dapat terjadi beberapa ratus bahkan ribuan orang
sebagaimana yang terjadi saat ini adanya Perseroan Terbatas (PT) yang
menawarkan saham-sahamnya kepada khalayak ramai atau publik. Ini biasanya
terjadi pada Perseroan Terbatas yang sudah go public.
Pada masa kini perkembangan korporasi nampak semakin pesat baik dari
segi kualitas, kuantitas maupun bidang usaha yang dijalaninya. Korporasi bergerak

100


Tindak Pidana Korporasi dan Upaya Penanggulangannya (Bambang Ali Kusumo)

diberbagai bidang seperti bidang perbankan, bidang transportasi, komunikasi,
pertanian, kehutanan, kelautan, otomotif, elektronik, bidang hiburan dan lain
sebagainya. Hampir tidak ada bidang kehidupan kita yang terlepas dari jaringan
korporasi. Udara yang kita hirup, air yang kita minum, makanan yang kita telan,
pakaian dan alas kaki yang kita pakai, obat-obatan yang menyehatkan kita, berita
yang kita baca, masa depan yang kita rencanakan, bahkan perilaku di dalam kamar
tidurpun seperti jumlah anak yang dikehendaki, semuanya berbau korporasi, baik
dengan melalui produknya maupun pencemarannya. (IS. Susanto, 1993: 5).
Adanya korporasi memang banyak mendatangkan keuntungan bagi masyarakat dan
negara, seperti adanya kenaikan pemasukan kas negara dari pajak dan devisa,
membuka lapangan pekerjaan, peningkatan alih teknologi dan lain sebagainya.
Namun di samping ada keuntungan atau dampak positif seperti tersebut di atas,
adanya korporasi juga dapat mendatangkan dampak negatif, seperti pencemaran
lingkugan (air, udara, tanah), eksploitasi atau pengurasan sumber alam, bersaing
secara curang, manipulasi pajak, eksploitasi terhadap pekerja/buruh, menghasilkan
produk dibawah standar atau cacat yang membahayakan konsumen dan lain
sebagainya. Munculnya dampak negatif ini diakibatkan korporasi terlalu mengejar

keuntungan yang cukup besar.
Dari uraian di atas terlihat bahwa peranan korporasi sangat besar dalam
kehidupan manusia di bumi ini. Dengan ketergantungan manusia pada korporasi
yang sangat besar itu dimungkinkan korporasi akan berbuat semaunya, yang
terpenting bagi dirinya adalah mendapat keuntungan yang besar. Sehingga tidak
aneh lagi bila korporasi melakukan suatu pelanggaran dari peraturan–peraturan
yang berlaku. Berkaitan dengan hal ini, bisakah korporasi dimintai
pertanggungjawaban atas pelanggaran tersebut dalam hukum pidana Indonesia dan
bagaimana pula upaya penanggulangannya.
PENGERTIAN TINDAK PIDANA KORPORASI
Dalam membahas tindak pidana korporasi kita tidak dapat melupakan
orang yang bernama Edwin H. Sutherland, dialah orang yang pertama-tama
mengungkapkan white collar crime (kejahatan kerah putih) pada pertemuan
tahunan American Sociological Society yang ketiga puluh empat pada tahun 1939,
yang menyoroti atau menjelaskan perilaku korporasi–korporasi di Amerika yang
melanggar hukum. Namun bila ditelusuri kembali, gagasan atau permasalahan apa
yang dikemukakan oleh Sutherland, sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru.
Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya tahun 1907, Edward Ross telah lebih dahulu
membahas tentang masalah ini. Apa yang oleh Ross disebut Criminaloid
barangkali yang dewasa ini disebut sebagai perilaku tindak pidana/kejahatan

korporasi. Ross menggambarkan bahwa criminoloid menikmati kekebalan terhadap
dosa-dosanya berkat penampilannya yang terhormat, ia memperlihatkan kepada
masyarakat bahwa mereka adalah orang-orang yang berhati sosial, patuh kepada
agama, dan di rumah memperlihatkan diri sebagai seorang ayah yang patut
dicontoh. Tetapi di belakang itu semua para pemimpin korporasi ini sebetulnya
adalah manusia-manusia yang tidak bermoral, yang pada waktunya tidak segan

101

Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan Vol. 5, No. 2, Oktober 2005 : 100 – 109

untuk menyuap para birokrat dalam pemerintahan, menghindari pajak, pendeknya:
manusia serigala berbulu domba (JE. Sahetapy, 1994: 14).
Pengertian white collar crime menurut Edwin H. Sutherland sebagai a
violation of criminal law by the person of the upper socio-economic class in the
course of his accupational activities (suatu pelanggaran ketentuan hukum pidana
oleh orang/person yang mempunyai kedudukan sosio-ekonomi atas dalam bidang
aktivitas pekerjaannya). (Mardjono Reksodiputro, 1994: 66).
Bila kita memakai tipologi yang diajukan oleh Clinard dan Quinney, maka
white collar crime dapat dibagi menjadi dua macam pelaku, yaitu occupational

criminal behaviour dan corporate criminal behaviour. Yang pertama occupational
criminal behaviour adalah perilaku jahat yang sah menurut hukum. Seperti
penggelapan dana atau lebih jelasnya memperoleh keuntungan pribadi secara
melawan hukum dalam rangka menjalankan pekerjaannya. Kemudian yang kedua
corporate criminal behaviour adalah perilaku jahat yang dilakukan oleh korporasi
atau melakukan pelanggaran hukum dengan mengatasnamakan korporasi (Jan R.
Djajamihardja, 1991: 4).
Dari apa yang diuraikan di atas dapatlah disimpulkan bahwa tindak
pidana/kejahatan korporasi harus dibedakan dari tindak pidana ekonomi pada
umumnya, sebab tindak pidana/kejahatan korporasi hanya dilakukan dalam konteks
bisnis besar, bukan dilakukan bisnis kecil. Dengan demikian unsur tindak
pidana/kejahatan korporasi meliputi: merupakan suatu tindak pidana/kejahatan,
yang dilakukan oleh orang terhormat, dari status sosial tinggi, perbuatan ini
dilakukan dalam hubungannya dengan pekerjaannya serta dilakukan dengan
melanggar kepercayaan publik/masyarakat.
BENTUK DAN KERUGIAN YANG DIAKIBATKAN TINDAK PIDANA
KORPORASI
Bentuk tindak pidana/kejahatan yang dilakukan oleh korporasi sangat
beraneka ragam, bisa meliputi bidang ekonomi, bidang sosial budaya dan yang
menyangkut masyarakat luas. Di bidang ekonomi menurut Joseph F. Sheley bentuk

tindak pidana korporasi adalah sebagai berikut (Mardjono Reksodiputro, 1994: 6768):
1. Defrauding stockholders, yaitu menggelapkan atau menipu para pemegang
saham (misalnya tidak melaporkan dengan sebenarnya keuntungan
perusahaan).
2. Defrauding the public, yaitu menipu masyarakat/publik (misalnya penentuan
harga dan produk-produk yang tidak representatif atau iklan yang
menyesatkan).
3. Defrauding the government, yaitu menipu pemerintah (misalnya menghindari
pajak).
4. Endangering the public welfare, yaitu membahayakan kesejahteraan umum
(misalnya menimbulkan polusi industri).
5. Endangering employees, yaitu membahayakan pekerja (misalnya tidak
mempedulikan keselamatan kerja).

102

Tindak Pidana Korporasi dan Upaya Penanggulangannya (Bambang Ali Kusumo)

6. Illegal intervention in the political process, yaitu intervensi ilegal dalam proses
politik (misalnya memberikan dana kampanye politik yang ilegal).

Sejalan dengan perkembangan ekonomi praktik tindak pidana korporasi
yang sering dilakukan adalah pemberian keterangan yang tidak benar seperti
transfer pricing, under invoicing, over invoicing dan window dressing (Setiyono,
2002: 81-85). Transfer pricing merupakan persekongkolan dalam penentuan harga
jual sesama korporasi untuk memperkecil jumlah pajak yang harus dibayar pada
negara. Under invoicing merupakan persekongkolan antara pengimpor dan
pengekspor barang untuk menerbitkan dua invoice, satu invoice dengan harga yang
sebenarnya untuk keperluan perhitungan harga pokok, yang satunya lagi dengan
harga yang lebih rendah dengan diperhitungkan untuk keperluan pabean
(pembayaran bea masuk, PPh dan PPN). Over invoicing, yakni memanipulasi harga
dalam kegiatan pengadaan untuk mendaptkan keuntungan pribadi bagi pihak-pihak
pelaksana transaksi atau yang berwenang melakukannya. Hal ini dilakukan dengan
kerjasama dan dukungan dari pihak penjual, meminta kuitansi pembelian ditulis
dengan harga yang lebih besar dari harga yang dibayar atau harga sesungguhnya,
pengadaan proyek pemerintah dengan cara penunjukkan secara langsung pada
kontraktor tertentu dengan dalih harus segera dilakukan atau lokasi proyek yang
terpencil atau adanya rekanan yang terbatas dan lain-lain. Window dressing
merupakan tindakan mengelabui masyarakat, yang pada umumnya berupa kegiatan
untuk menciptakan citra yang baik di mata masyarakat dengan cara menyajikan
informasi yang tidak benar (fraudulent misrepresentation), misalnya dengan

menyajikan angka-angka neraca yang kurang atau tidak benar dibuat sedemikian
rupa seolah-olah korporasi memiliki kemampuan yang baik dan tangguh.
Di bidang sosial budaya tindak pidana korporasi yang dilakukan berupa
tindakan-tindakan yang merugikan pemegang hak cipta, merk; kurang
memperhatikan keamanan dan kesehatan kerja para pekerja/buruh; tindak pidana
yang berakibat merusak pendidikan dan generasi muda seperti penyalahgunaan
narkotika dan psikotropika dan lain sebagainya.
Tindak pidana korporasi yang menyangkut masyarakat luas antara lain
dapat terjadi pada lingkungan hidup (pencemaran air, udara, tanah dari suatu
wilayah), pada konsumen (produk-produk cacat yang membahayakan konsumen,
iklan yang menyesatkan), Pada pemegang saham (pemberian keterangan yang tidak
benar dalam pasar modal, praktik-praktik penipuan dan perbuatan curang dapat
dilakukan oleh emiten/korporasi sendiri atau dengan bantuan profesi atau lembaga
lain), dan lain sebagainya.
Kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana korporasi ini bagi individu,
masyarakat dan negara adalah sangat besar. Apa yang biasanya terlihat hanyalah
“puncak gunung es” saja. Persekongkolan dalam penentuan harga (fixing prices)
bahan makanan pokok atau mengiklankan secara menyesatkan barang keperluan
rumah tangga akan menimbulkan kerugian uang yang sangat besar pada
penghasilan warga masyarakat. Barang produksi yang tidak aman dipergunakan

kerugian badan kepada para pemakainya. Pencemaran lingkungan dan kerusakan

103

Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan Vol. 5, No. 2, Oktober 2005 : 100 – 109

lingkungan menimbulkan kerugian, yang tidak saja dialami sekarang, tetapi masih
pula akan dirasakan di kemudian hari.
Banyak kasus tindak pidana korporasi yang menimbulkan dampak sangat
besar, misalnya kasus “Thalidomide” yang menyebabkan ribuan bayi lahir cacat
tanpa tangan, kaki atau anggota tubuh yang lain sebagai akibat dari penggunaan
obat Thalidomide oleh ibu-ibu yang sedang mengandung, melanda beberapa negara
Eropa dan Amerika Selatan pada tahun 1960-an. Bahkan kasus tersebut seakanakan ditutupi oleh pemerintah Inggris dan baru terbongkar setelah hampir sepuluh
tahun karena jasa anggota parlemen. Kemudian kasus “Minamata” sebagai akibat
pencemaran limbah industri di teluk Minamata Jepang yang mengakibatkan
cacat/lumpuhnya bagian tubuh. Kasus tentang bocornya pabrik “Union carbide” di
Bhopal India pada tahun 1984 telah menewaskan lebih dari tiga ribu orang, ratusan
ribu yang sakit dan cacat, bahkan ribuan diantaranya cacat seumur hidup, masih
ditambah kerugian materi dan rusaknya lingkungan hidup yang bernilai ratusan juta
dollar. Kemudian salah satu kasus persaingan curang adalah kasus “Lockheed

Electra”, sebuah perusahaan pesawat terbang di Amerika yang berupa pembayaran
kepada pejabat-pejabat dari beberapa negara antara lain Belanda, Turki, Yunani,
Jepang yang mengakibatkan jatuhnya dan dipidananya Perdana Menteri Tanaka
dan dicabutnya kekuasaan Pangeran Bernard atas angkatan perang Belanda lebih
dari sepuluh tahun. (IS. Susanto, 1993: 8 – 9).
Di Indonesia, banyak perilaku korporasi yang merugikan masyarakat
berlangsung setiap hari di sekitar kita, seperti iklan yang menyesatkan, pencemaran
lingkungan, eksploitasi terhadap kaum pekerja/buruh, manipulasi restitusi pajak,
manipulasi dana masyarakat seperti kasus Bank Summa, Bapindo, Bank Arta
Prima, Bank BNI, produk makanan yang membahayakan seperti kasus biskuit
beracun dan lain sebagainya.
Barangkali kerugian yang paling besar adalah rusaknya hubunganhubungan sosial, yakni merusakkan kepercayaan dan karenanya menciptakan
ketidakpercayaan anggota masyarakat terhadap pemimpin-pemimpin dan institusi
yang ada.
Selanjutnya faktor–faktor apakah yang menyebabkan terjadinya tindak
pidana/kejahatan korporasi yang mengakibatkan kerugian yang besar baik bagi
individu, masyarakat maupun negara? Menurut Clinard dan Yeager ada dua
pandangan yang dapat dipakai untuk menjelaskan faktor–faktor yang mendorong
terjadinya tindak pidana/kejahatan korporasi, yaitu model tujuan yang rasional dan
model organik (IS. Susanto, 1993: 15). Model yang pertama mengutamakan untuk

mencari keuntungan. Ini merupakan faktor atau alasan yang utama untuk
melakukan tindak pidana/kejahatan korporasi. Kemudian model yang kedua
menekankan pada hubungan antara perusahaan dengan lingkungan dan politiknya,
seperti suplier, pesaing, konsumen, pemerintah, publik serta kelompok-kelompok
lainnya yang dipandang relevan.
Di samping motivasi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesarbesarnya yang tercermin dari ciri–ciri individual yang disebut sebagai anomic of
succes dan hubungan antara korporasi dengan lingkungan ekonomi dan politiknya,

104

Tindak Pidana Korporasi dan Upaya Penanggulangannya (Bambang Ali Kusumo)

Prof. DR. Muladi, SH. menambahkan sistem penegakan hukum yang tidak efektif,
penjatuhan pidana yang sangat ringan, kurangnya kriminalitas dan stigmatisasi,
daya tangkal, kurangnya reaksi sosial melalui mass media serta kesempatan yang
luas juga sangat mendorong terjadinya kejahatan korporasi (Muladi dalam Salman
Luthan, 1994: 20).
PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM HUKUM PIDANA
INDONESIA
Untuk kasus-kasus tindak pidana korporasi di negara kita, masih sulit
untuk meminta pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana. Hal ini
disebabkan adanya kelemahan-kelemahan dalam perundang-undangan kita.
Memang dalam hukum pidana kita telah diakui bahwa korporasi sebagai subyek
atau pelaku tindak pidana, namun pertanggungjawaban dalam hukum pidana masih
bersifat mendua. Bila kita melihat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang
masih setia kita ikuti sampai sekarang ini, tindak pidana korporasi tidak dapat
dijaring, sebab korporasi tidak termasuk subyek hukum atau pelaku. Dalam KUHP
yang menjadi subyek hukum adalah manusia/orang saja. Namun demikian
beberapa peraturan perundang-undangan yang berada di luar KUHP antara lain
Undang–Undang No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UndangUndang No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, Undang-undang No. 11
Tahun 1995 tentang Cukai, Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup serta undang-undang yang mengatur tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi telah merumuskan bahwa korporasi secara
tegas diakui dapat menjadi subyek hukum atau pelaku dan dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Akan tetapi ada perundangundangan yang lain justru tidak jelas arah mengenai pertanggungjawaban pidana
korporasi. Melihat hal demikian menunjukkan adanya keraguan dari pembuat
Undang-undang untuk menempatkan korporasi atau badan hukum sebagai subyek
atau pelaku yang dapat dibebani tanggung jawab pidana. Adanya pengaturan yang
tidak konsisten tersebut tentunya akan mempersulit penegak hukum untuk
mempertanggungjawabkan korporasi terhadap kejahatan yang dilakukan.
Di samping kelemahan-kelemahan diatas masih ada faktor-faktor lain yang
menghambat penegakan hukum atau pengendalian terhadap tindak pidana
korporasi, yaitu pertama, korporasi (sebagai pelaku tindak pidana/kejahatan yang
potensial) pada umumnya mempunyai lobby yang efektif dalam usaha perumusan
delik maupun cara-cara menanggulangi tindak pidana korporasi. Kedua,
menentukan pertanggungjawaban pidana korporasi maupun menentukan kesalahan
korporasi tidaklah mudah. (Mardjono Reksodiputro, 1994: 68)
Melihat adanya kendala-kendala seperti tersebut diatas, maka tidaklah aneh
bila sampai saat ini banyak korporasi yang melakukan tindak pidana/kejahatankejahatan yang berlangsung terus menerus tanpa ada yang bisa menghentikannya,
lihatlah pencemaran lingkungan yang semakin banyak dan semakin parah,
eksploitasi tenaga kerja yang terus–menerus dilakukan untuk membayar upah di
bawah UMR (Upah Minimum Regional) dan lain sebagainya. Dan yang

105

Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan Vol. 5, No. 2, Oktober 2005 : 100 – 109

mengherankan, bahwa sampai kini tidak ada yurisprudensi perkara pidana
Indonesia, dimana korporasi menjadi terdakwa. Tidak pula mengenai tindak pidana
ekonomi, padahal kemungkinan menuntut dan memidana korporasi telah
dimungkinkan sejak tahun 1955. Apakah dengan demikian harus disimpulkan
bahwa wajah pelaku kejahatan di Indonesia tidak mengalami perubahan yang
berarti sejak tahun 1955.
Apakah keadaan seperti itu akan berjalan terus menerus? Tentunya tidak.
Pemerintah telah berusaha mengadakan pembaharuan di bidang hukum pidana,
khususnya KUHP dengan menyusun konsep-konsep baru KUHP yang tentunya
juga memperhatikan kejahatan-kejahatan baru yang muncul akibat perkembangan
teknologi yang dimulai tahun 1964. Konsep-konsep baru KUHP yang dimulai
tahun 1964 hingga kini mengalami beberapa perubahan. Pada tahun 1981 Tim
Pengkajian bidang hukum pidana pada BPHN Departemen Kehakiman
mempersoalkan apakah korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum
pidana secara umum dalam KUHP atau pertanggungjawaban hanya terbatas pada
delik-delik yang ditentukan dalam undang–undang tertentu saja seperti saat ini?
Sebelum menjawab pertanyaan ini Tim menganalisis dahulu sistem -sistem yang
pernah ada dalam hukum pidana Indonesia mengenai kedudukan sebagai pembuat
dan sifat pertanggungjawaban korporasi, yakni (Mardjono Reksodiputro, 1994:
72):
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah bertanggung jawab;
b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab;
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab.
Akhirnya tim pengkajian dengan tim RUU bidang hukum pidana bersamasama merumuskan konsep buku I Ketentuan Umum KUHP yang baru, yang
didalamnya memuat tentang masalah korporasi (Konsep Rancangan KUHP baru
1999/2000). Korporasi diatur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 50. Dalam Pasal
45 dinyatakan bahwa korporasi merupakan subyek tindak pidana. Kemudian dalam
Pasal 46 dinyatakan jika suatu tindak pidana dilakukan oleh atau untuk suatu
korporasi, maka penuntutan dapat dilakukan dan pidananya dijatuhkan terhadap
korporasi itu sendiri, atau korporasi dan pengurusnya, atau pengurusnya saja.
Selanjutnya mengenai alasan–alasan pemidanaan korporasi sebagai
pembuat/pelaku dimuat dalam Himpunan Laporan Hasil Pengkajian Bidang
Hukum Pidana, yaitu (BPHN, 1986: 34):
a. Dalam delik-delik ekonomi bukan mustahil denda yang dijatuhkan kepada
pengurus lebih kecil dibanding keuntungan-keuntungan yang diterima
korporasi dengan melakukan perbuatan melanggar hukum, atau kerugian yang
ditimbulkan dalam masyarakat, atau yang diderita saingan-saingannya,
keuntungan dan atau kerugian–kerugian itu adalah lebih besar dibanding denda
yang dijatuhkan sebagai hukuman.
b. Pemidanaan pengurus, tidak dapat memberikan jaminan yang cukup bahwa
korporasi tidak akan melakukan kembali suatu perbuatan yang dilarang oleh
Undang-undang.

106

Tindak Pidana Korporasi dan Upaya Penanggulangannya (Bambang Ali Kusumo)

Pembenaran pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana,
dapat didasarkan atas hal-hal sebagai berikut (Muladi, 1990: 11):
a. Atas dasar falsafah integralistik, yakni segala sesuatu hendaknya diukur atas
dasar keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kepentingan individu
dan kepentingan sosial;
b. Atas dasar asas kekeluargaan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
c. Untuk memberantas anomie of succes (sukses tanpa aturan);
d. Untuk perlindungan konsumen;
e. Untuk kemajuan teknologi.
Dalam pasal 47 Rancangan KUHP yang baru dinyatakan bahwa tidak
selamanya korporasi harus dipertanggungjawabkan (dalam hukum pidana)
terhadap suatu perbuatan yang harus dilakukan atas nama atau untuk korporasi.
Untuk dapat dipertanggungjawabkan, maka perbuatan tersebut harus secara khusus
memang telah ditentukan bahwa perbuatan tersebut termasuk dalam lingkungan
usahanya, yang ternyata dari anggaran dasar atau ketentuan-ketentuan lain yang
berlaku sebagai demikian untuk korporasi yang bersangkutan. Kemudian
pertanggungjawaban pelaksana atas tindakan korporasi dibatasi sedemikian rupa,
sejauh pelaksana dalam melakukan perbuatan yang dituduhkan mempunyai
kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi (pasal 48 Rancangan
KUHP baru). Selanjutnya tidak semua tuntutan pidana terhadap korporasi harus
diterima oleh pengadilan, hakim secara khusus harus mempertimbangkan apakah
bagian hukum lainnya telah memberikan perlindungan yang lebih berguna
dibandingkan dengan dipidananya suatu korporasi, dan pertimbangan tersebut
harus dinyatakan dalam putusan hakim (Pasal 49 Rancangan KUHP). Untuk
pembelaannya, korporasi dapat mengajukan alasan-alasan penghapus pidana atau
kesalahan yang dapat diajukan oleh orang yang berbuat atas nama korporasi,
sepanjang alasan–alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang
didakwakan kepada korporasi (pasal 50 Rancangan KUHP).
Sehubungan dengan pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana,
sanksi/pidana apakah yang lebih tepat untuk dikenakan terhadap korporasi?
Menurut hemat saya yang paling tepat adalah pidana denda, dari pidana pokok
yang tersedia. Di samping pidana denda pula korporasi dikenakan pidana tambahan
berupa pencabutan hak–hak yang diperoleh korporasi, pengumuman putusan
hakim, sanksi perdata berupa ganti rugi terhadap akibat-akibat yang ditimbulkan
oleh kejahatan korporasi. Kecuali itu, dapat pula korporasi dikenakan tindakan tata
tertib, yaitu penempatan perusahaan di bawah pengawasan yang berwajib dalam
jangka waktu tertentu. Khusus mengenai pencabutan hak–hak yang diperoleh
korporasi, perlu adanya pembatasan. Bila yang dimaksud pencabutan tersebut
adalah pencabutan izin operasional, maka yang harus dipertimbangkan adalah
akibat–akibat yang mungkin timbul karena sanksi tersebut. Sebab, pencabutan izin
operasional sama saja dengan penutupan perusahaan, sehingga yang paling terkena
adalah karyawan atau buruh dibanding pengusahanya atau pemilik perusahaan.
Mengingat hal tersebut, maka dalam pemidanaan terhadap korporasi dilakukan
secara hati–hati atau selektif, sebab dampaknya sangat luas. Yang menderita tidak

107

Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan Vol. 5, No. 2, Oktober 2005 : 100 – 109

hanya yang berbuat salah, tetapi pihak lain yang tidak bersalah seperti karyawan
atau buruh, pemegang saham dan masyarakat atau konsumen ikut menderita.
UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORPORASI
Upaya penanggulangan tindak pidana korporasi dapat dilakukan melalui
upaya non penal dan melalui penal. Upaya non penal mencakup bidang yang cukup
luas. Tujuan utama penanggulangan tindak pidana korporasi melalui upaya non
penal adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak
langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap tindak pidana korporasi. Upaya
non penal ini antara lain dapat berupa tindakan-tindakan pemerintah untuk
mengubah struktur korporasi melalui peraturan perundang-undangan, mengubah
sikap dan struktur korporasi secara sukarela, tindakan-tindakan yang bersifat
administrasi dari pejabat/birokrasi, sanksi sosial yang berupa publikasi terhadap
korporasi yang melakukan tindak pidana, aksi konsumen untuk menekan perilaku
meyimpang dari korporasi, pemberian sanksi kolektif berdasarkan pemikiran rasa
malu yang terintegrasi, pengucilan eksekutif, sanksi pelayanan komunitas,
pemberian kewenangan yuridis untuk meninjau aktivitas korporasi (Setiyono,
2002: 181). Penggunaan upaya penal atau hukum pidana bukan merupakan sarana
yang bersifat absolut, artinya penggunaan hukum pidana diupayakan paling akhir
setelah upaya-upaya yang lain tidak mempan (ultimum remedium), janganlah
hukum pidana dijadikan sarana utama untuk penanggulangan tindak pidana
korporasi (primum remedium), karena tindak pidana korporasi merupakan tindak
pidana yang bersifat kompleks dan bermuatan ekonomis. Penggunaan sarana penal
dalam penanggulangan tindak pidana korporasi terdapat dua masalah pokok, yakni
perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang
sebaiknya diberikan pada pelaku. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak
pidana pada pokoknya merupakan kriminalisasi. Upaya kriminalisasi telah
dilakukan dengan adanya usaha untuk memasukkan korporasi sebagai subyek
tindak pidana dalam rancangan KUHP (baru) dan di berbagai undang-undang di
luar KUHP. Selanjutnya mengenai sanksi yang tepat untuk korporasi menurut
hemat penulis adalah denda (denda yang sangat berat), di samping pidana
tambahan dan sanksi administratif (seperti yang diuraikan oleh penulis di atas).
Sebenarnya upaya penanggulangan tindak pidana korporasi tidak hanya
dapat dilakukan melalui salah satu dari sarana non penal (sarana selain hukum
pidana) dan penal (sarana hukum pidana) tetapi harus dilakukan secara integratif
antara kebijakan non penal dan penal untuk menekan atau mengurangi faktorfaktor potensial untuk tumbuh suburnya tindak pidana korporasi.
KESIMPULAN
KUHP yang kita pakai saat ini tidak mengenal pertanggungjawaban
korporasi dalam hukum pidana, artinya KUHP hanyalah mengenal
pertanggungjawaban individu atau manusia. Pertanggungjawaban korporasi secara
khusus diatur dalam beberapa peraturan perundangan di luar KUHP. Dari peraturan
perundangan itu terlihat tidak konsistennya dalam mempertanggungjawabkan

108

Tindak Pidana Korporasi dan Upaya Penanggulangannya (Bambang Ali Kusumo)

korporasi dalam hukum pidana, sehingga tindak pidana korporasi semacam ini
telah mendapat perhatian dari pemerintah, yakni dengan mengadakan pembaharuan
dibidang hukum pidana, khususnya KUHP dengan menyusun rancangan Kitab
Undang-Undang Hukun Pidana yang baru atau lebih dikenal dengan nama Konsep
Rancangan KUHP baru, tindak pidana korporasi termuat didalamnya. Tetapi
konsep rancangan KUHP ini, yang dimulai sejak tahun 1964 dan telah mengalami
beberapa kali perubahan, hingga kini belum disahkan menjadi undang-undang.
Upaya penanggulangan tindak pidana korporasi dapat dilakukan dengan
mengintegrasikan antara sarana non penal dengan sarana penal untuk menekan atau
mengurangi faktor-faktor munculnya tindak pidana korporasi.
DAFTAR PUSTAKA
Djadjamihardja, Jan R. 1991. Kejahatan Kerah Putih (White Collar Crime).
Makalah Disampaikan Pada Seminar Sehari Tentang White Collar Crime.
UI. 24 Juli 1991.
Luthan, Salman. 1994. Anatomi Kejahatan Korporasi Dan Penanggulangannya.
Jurnal Hukum Fakultas Hukum UII Yogyakarta.
Muladi. 1990. Pertanggungjawaban Badan Hukum dalam Pidana. Makalah
Disampaikan pada Ceramah Di Universitas Muria Kudus. 5 Maret 1990.
Reksodiputro, Mardjono. 1994. Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan.
Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian masyarakat.
Sahetapy, JE. 1994. Kejahatan Korporasi. Bandung: PT. Eresco.
Setiyono. 2002. Kejahatan Korporasi. Malang: Averroes Press.
Sugandhi, R. KUHP Dengan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional.
Susanto, IS. 1993. Kejahatan Korporasi. Makalah Pada Penataran Nasional
Hukum Pidana dan Kriminologi untuk Dosen-dosen Fakultas Hukum
PTN/PTS Seluruh Indonesia.
Konsep Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Baru) 1999/2000.

109

110