Draft Buku Putih DEPARTEMEN ENERGI DAN S (1)

Draft Buku Putih

D RAFT

DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

DIREKTORAT JENDERAL MINYAK DAN GAS BUMI

Buku Putih
PERMASALAHAN KRITIS SEKTOR
MIGAS DAN DAMPAKNYA BAGI
PEREKONOMIAN INDONESIA

www.migas.esdm.go.id

Jakarta, Desember 2006

© DITJEN MIGAS 12122006

Draft Buku Putih
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................................2
BAB I ........................................................................................................................................................3
RINGKASAN...........................................................................................................................................3
BAB II.......................................................................................................................................................6
LATAR BELAKANG ..............................................................................................................................6
BAB III .....................................................................................................................................................8
SITUASI SAAT INI .................................................................................................................................8
III.1 Perkembangan Cadangan Migas (eksplorasi dan wilayah kerja) .................................................8
III.1.1 Kegiatan Eksplorasi ...............................................................................................................8
III.1.2 Sumberdaya Migas yang belum dioptimalkan......................................................................8
III.1.3 Plow back di sektor migas .....................................................................................................9
III.2 Penurunan Produksi ......................................................................................................................9
III.3 Kemampuan daya beli gas bumi Nasional..................................................................................10
III.4 Pseudo revenue ...........................................................................................................................11
III.5 Perusahaan migas hulu nasional ................................................................................................12
III.6 Keterbatasan dukungan sektor perbankan nasional ....................................................................12
III.7 Sistem Cost Recovery.................................................................................................................12
III.8 Pricing Policy dalam penyediaan BBM Nasional ......................................................................13
III.9 Terbatasnya infrastruktur di bidang Migas .................................................................................14
III.9.1 Sektor Hilir Migas ...............................................................................................................14

BAB IV ...................................................................................................................................................17
SKENARIO MASA DEPAN .................................................................................................................17
IV.1 Penurunan Penggunaan BBM sebagai Sumber Bahan Bakar ....................................................17
IV.2 Diversifikasi dan Substitusi BBM ..............................................................................................17
IV.3 Intensifikasi dan Ekstensifikasi Eksplorasi ................................................................................17
IV.4 Konservasi Cadangan Migas Nasional. ......................................................................................18
IV.4.1 Sektor Hulu Migas...............................................................................................................18
IV.4.2 Sektor Hilir Migas ...............................................................................................................19
IV.5 Pengurangan Ketergantungan Penerimaan Negara dari Sektor Migas.......................................19
IV.6 Peningkatan Penggunaan Barang dan Jasa Hasil Produksi dalam Negeri..................................20
IV.7 Peningkatan Kompetensi Sumber Daya Manusia Indonesia......................................................20
IV.8 Penguasaan dan Pengembangan Teknologi Migas....................................................................21
IV.9 Community Development sebagai agen pembangunan daerah sekitar kegiatan Migas...........22
BAB V ....................................................................................................................................................23
HAMBATAN .........................................................................................................................................23
V.1 Masalah Perpajakan .....................................................................................................................23
V.2 Tumpang Tindih Lahan................................................................................................................23
V.3 Munculnya Perda yang Tidak Sejalan dengan UU Migas ..........................................................24
V.4 Penyertaan Participating Interest Daerah.....................................................................................24


© DITJEN MIGAS 12122006

Draft Buku Putih
BAB I
RINGKASAN

1. Buku Putih ini mengulas beberapa rekomendasi tentang tindakan yang perlu diambil
oleh Pemerintah agar industri Migas Nasional dapat berkembang sesuai dengan yang
diharapkan oleh para pelaku usaha dan masyarakat , sehingga dapat memenuhi
kebutuhan migas dalam negeri dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Untuk menjawab tantangan tersebut Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral
sedang menyusun

Rencana Umum Perminyakan dan Pergasbumian Nasional

(RUPPN) sebagai penjabaran penetapan kebijakan kegiatan usaha Minyak dan Gas
Bumi. Dalam rangka mewujudkan keberhasilan kebijakan tersebut diperlukan
dukungan dan tindakan dari sektor lain yang terkait seperti Departemen Keuangan.
2. Untuk mendukung pertumbungan ekonomi yang berkelanjutan, Indonesia memerlukan
investasi di sektor migas, baik pada kegiatan usaha hulu maupun pada kegiatan

usaha hilir.


Di sektor hulu kegiatan produksi minyak bumi pada 5 (lima) tahun terakhir
menunjukkan tingkat produksi yang cenderung menurun. Kecenderungan ini
akan terus berlanjut kecuali bila diambil langkah-langkah terobosan untuk
menghapuskan

berbagai hambatan investasi, seperti hambatan birokrasi,

masalah perpajakan, kepastian hukum, tidak adanya plow-back pembiayaan di
sektor migas dan kurangnya dukungan sarana / industri penunjang migas.


Produksi minyak bumi kita masih berasal dari lapangan-lapangan yang relatif
telah tua umurnya yang telah diproduksikan sejak tahun 1970 – 1980 an.
Penemuan dan penambahan cadangan minyak bumi tersebut, baik melalui
kegiatan eksplorasi maupun peningkatan perolehan minyak bumi/enhanced oil
recovery tidak sebanding dengan laju pengurasan produksi .




Untuk mendorong kegiatan eksplorasi yang intensif dalam rangka penemuan
cadangan baru diperlukan dukungan yang

kuat dari sisi fiskal , mengingat

© DITJEN MIGAS 12122006

Draft Buku Putih
momentum kenaikan harga minyak bumi yang cukup menarik

dapat

mendorong minat investor .


Dari 60 cekungan sediment yang berpotensi mengandung minyak dan gas
bumi,


baru 16 cekungan yang telah berproduksi. Namun penentuan data

cekungan ini masih menggunakan teknologi lama. Dengan adanya teknologi
baru

seperti

high

resolution

seismic,

aero

magnetic

survey,

teknik


komputerisasi untuk interpretasi, dan lain-lain sebagainya, masih ada
kemungkinan penambahan jumlah cekungan dan juga kandungan minyak atau
gas yang lebih besar.


Di sektor hilir, kebutuhan BBM yang semakin meningkat tanpa dimbangi
dengan kapasitas kilang yang memadai, mengharuskan impor BBM yang
cenderung meningkat, sehingga dapat mengakibatkan adanya ketergantungan
pada produksi BBM impor. Peremajaan dan peningkatan efisiensi kilang yang
ada dan sudah tua serta pembangunan kilang baru di lokasi yang strategis
merupakan hal yang perlu dipertimbangkan dengan seksama.
Selain itu kurangnya pasokan minyak mentah domistik (dan / atau yang cocok
spesikasinya) untuk bahan baku kilang dalam negeri, mengakibatkan
ketergantungan ini tidak hanya kepada BBM impor, tetapi juga kepada minyak
mentah impor.



Pengembangan infrastruktur yang memadai dan dukungan pendanaan dalam

pengembangan pemakaian gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri. Selama ini kondisi sumber gas bumi kita terletak pada daerah-daerah
“remote”

yang

jauh

dari

pasar

dan

konsumen

sehingga

dibutuhkan


saran/prasarana yang memadai untuk pengembangannya.


Pengembangan bahan bakar gas sebagai pengganti bahan bakar minyak untuk
memenuhi kebutuhan pembangkit listrik, rumah tangga, transportasi dan
industri.



Ketersediaan BBM dan BBG yang mencukupi dan merata dengan harga yang
memadai akan mendukung kelancaran dan pertumbuhan perekonomian
nasional.

© DITJEN MIGAS 12122006

Draft Buku Putih
3. Kegagalan merespon kebutuhan investasi ini, baik pada sisi hulu maupun pada

sisi


hilir, akan mengancam, pertumbuhan ekonomi nasional karena akan terjadi krisis
penyediaan BBM / BBG dan menurunnya penerimaan Negara.
4. Pemerintah saat ini sedang

menyusun Rencana Umum Perminyakan dan

Pergasbumian Nasional yang merupakan kebijakan Pemerintah, sesuai dengan yang
diatur dalam UU No.22 tahun 2001, untuk memenuhi kebutuhan investasi di sektor
migas.
5. Prakondisi untuk rencana investasi ini adalah mutlak untuk segera disusun dalam
suatu perencanaan kedepan yang matang melalui kebijakan-kebijakan yang terarah,
terpadu, dan terukur sehingga sasaran dan tujuan yang ingin dicapai pada masa
depan menjadi jelas .
6. Adanya beberapa isu/kendala yang berada di luar kendali sektor migas terutama di
sektor perpajakan yang akhir-akhir ini dipermasalahkan oleh para pelaku usaha
sebagai penyebab penurunan investasi.
7. Kendala operasional yang disebabkan oleh kurangnya kelengkapan peraturan
pelaksanaan dan sinkronisasi peraturan perundangan terkait, termasuk peraturan
peraturan daerah sebagai konsekuensi otonomi daerah, perlu ditindak lanjuti dengan
mendahulukan upaya penyempurnaan peraturan perundangan minyak dan gas bumi

dan refungsionalisasi kelembagaan Migas serta peningkatan kapasitas sumber daya
manusia di sektor minyak dan gas bumi, baik ditingkat pusat maupun daerah,
sehingga proses proses kegiatan usaha minayk dan gas bumi dapat berjalan secara
efektif dan efisien. Langkah langkah penyempurnaan proses kegiatan usaha minyak
dan gas bumi ini perlu dilandasi dengan penyusunan dan penerapan tata-kelola yang
baik (good governance) di sektor Migas.

.

23 November 2006

© DITJEN MIGAS 12122006

Draft Buku Putih

BAB II
LATAR BELAKANG

Telah kita sadari bersama bahwa kontribusi kegiatan minyak dan gas bumi dalam
perekonomian Nasional

telah terbukti peranannya dalam memajukan perekonomian kita

sejak awal mula berdirinya republik ini sampai dengan sekarang.
Buku putih ini akan mengungkapkan langkah-langkah pembaharuan yang perlu
dilakukan dalam mengurangi kendala-kendala yang dihadapi disektor migas yang selama
kurun waktu 6 (enam) tahun terakhir ini

dirasakan sangat berpengaruh terhadap

perkembangan kemajuan disektor migas di tanah air dan ditambah dengan perkembangan
isu globalisasi dan keterbukaan politik dibeberapa Negara seperti ex Rusia yang menjadi
pesaing investasi bagi Indonesia.
Penurunan produksi migas pada 6 (enam) tahun terakhir sangat kita rasakan terlebih
dengan beban penerimaan Negara yang masih bersandar pada kegiatan migas ini.
Terjadinya penurunan produksi ini tidak semata-mata diakibatkan oleh turunnya
kinerja para stakeholders dibidang minyak dan gas bumi saja tetapi lebih diakibatkan oleh
faktor eksternal kita sendiri, seperti dikenakannya system perpajakan baru di Indonesia
terhadapat kegiatan hulu migas terutama pada kegiatan eksplorasi yang padat modal,
beresiko tinggi dan memerlukan teknologi tinggi. Pengenaan Ppn dan Bea Masuk pada
kegiatan eksplorasi yang nota bene nya masih menanggung resiko kegagalan harus
menanggung pajak. Penghapusan “lex speciale” yang telah dimulai sejak tahun 1999 yang
memberikan dampak sangat signifikan pada industri migas nasional dengan menurunnya
tingkat produksi minyak nasional sampai dengan saat ini karena berkurangnya investasi
kegiatan eksplorasi dan usaha perolehan minyak tingkat lanjut (enhanced oil recovery)
Keterkaitan penurunan produksi minyak kita sangat terkait dengan pemenuhan
kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia. Sebagai faktor penggerak roda
perekomonian, BBM masih sangat dominant penggunaannya di dalam negeri. Dominasi
tersebut memaksa pemerintah untuk senantiasa memenuhi kebutuhan BBM dengan harga
yang terjangkau masyrakat. Keterbatasan pemenuhan kilang dalam negeri dalam
penyediaan BBM dan ditambah dengan keterbatasan produksi minyak mentah kita telah
memaksa pemerintah untuk mengimpor baik minyak mentah dan BBM dengan harga

© DITJEN MIGAS 12122006

Draft Buku Putih
internasinal. Lebih parah lagi saaat ini harga minyak internasional mengalami pelonjakan
yang sangat tinggi , sehingga memaksa pemerintah melaksakan kebijakan subsidi yang
sangat memberatkan Neraca Anggaran Biaya Negara. Hal yang tidak dapat dielakkan oleh
pemerintah adalah kebijakan menaikkan harga BBM dalam negeri dan berakibat
menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional kita dan daya saing nasional.
Untuk mewujudkan peningkatan produksi minyak bumi nasional maka perlu dilakukan
terobosan-terobosan yang sangat signifikan ,salah satu diantaranya adalah menerapkan
kembali sistem perpajakan yang pernah kita jalankan dahulu dan telah terbukti efektif.
Keudian menerapkan plow-back dari revenue penerimaan negara sektor migas untuk
diinvestasikan kembali guna lebih merangsang iklim investasi yang kondusif di Indonesia.
.

© DITJEN MIGAS 12122006

Draft Buku Putih
BAB III
SITUASI SAAT INI

III.1 Perkembangan Cadangan Migas (eksplorasi dan wilayah kerja)
III.1.1 Kegiatan Eksplorasi
Kebijaksanaan pemerintah untuk sektor energi dan sumber daya mineral
diantaranya adalah menarik para investor agar bersedia menanamkan
modalnya di sektor migas Indonesia. Hal ini dimaksudkan guna meningkatkan
kegiatan eksplorasi di Indonesia pada umumnya dan eksplorasi pada daerah
frontier.
Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, khususnya tentang data
geosains migas, yang diatur berdasarkan UU No.22 tahun 2001 tentang Migas
dan Peraturan Pemerintah No.35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu
Migas, disebutkan bahwa semua data yang diperoleh operator pertambangan
minyak dan gas bumi, baik oleh Pertamina maupun Kontraktor Bagi Hasil
adalah milik Negara dan dikelola oleh pemerintah cq Direktorat Jenderal
Minyak dan Gas Bumi.
Kegiatan eksplorasi mencakup kegiatan seismik dan pemboran sumur
eksplorasi. Kegiatan ini pada intinya mencari data sebagus mungkin dengan
mengacu pada success ratio dari setiap pemboran sumur eksplorasi. Serta
data ini dipakai sebagai bahan untuk penyiapan wilayah kerja baru blok
perminyakan.
Dari data yang dimiliki dapat dilihat bahwa kegiatan eksplorasi di darat masih
dominan, sehingga menyulitkan pemerintah untuk menyiapkan blok-blok baru
karena kurangnya data di wilayah perairan. Untuk mengantisipasinya
pemerintah membuka kesempatan kepada pihak ketiga untuk melakukan
kontrak kerja sama dengan pemerintah dalam upaya menyiapkan data baru
dengan cara survei spekulatif.

III.1.2 Sumberdaya Migas yang belum dioptimalkan
Sejak ditetapkannya peta sumber daya migas tahun 1985, cekungan yang
teridentifikasi berjumlah 60. Dari seluruh cekungan tersebut sampai saat ini

© DITJEN MIGAS 12122006

Draft Buku Putih
hanya 16 cekungan yang telah berproduksi. Sisanya selama ini belum tergarap
secara intensif, disisi lain perkembangan teknologi untuk pencarian sumber
daya migas telah mencapai kemajuan yang sangat pesat terutama pada
pengembangan lapangan di laut dalam. Sehingga seolah-olah hanya daerahdaerah Indonesia bagian barat saja yang menjadi target utama pencarian.

III.1.3 Plow back di sektor migas
Sektor migas merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar bagi negara
Indonesia , yaitu sebesar 28% dari total pendapatan negara pada tahun 2005.
Namun besarnya pendapatan dari sektor migas ternyata tidak diikuti oleh suatu
reinvestasi. Hal ini dapat dilihat dari kecilnya anggaran yang diberikan kepada
sektor migas dalam hal ini Departemen ESDM di setiap tahunnya yang nilainya
hanya sekitar 3% dari jumlah penerimaan negara yang berasal dari sektor
migas. Sehingga mengakibatkan kurang berkembangnya sektor migas dalam
negeri.
Tabel Perbandingan Penerimaan dan Anggaran Sektor Migas (dalam ribu)
Tahun
Anggaran Migas (Rp)

2002

2003

2004

2005

2006

110,344,197

346,622,725

218,826,015

261,859,413

382,368,325

ESDM

4,077,891,986

2,561,646,760

3,352,411,513

3,296,646,498

5,382,440,000

Penerimaan Negara
dari Migas

77,480,100,000

80,464,400,000

108,205,600,000

137,675,800,000

193,782,300,000

Persentasi Anggaran
ESDM thd
Penerimaan

5.26%

3.18%

3.10%

2.39%

2.78%

Presentasi anggaran
MIGAS thd
Penerimaan

0.14%

0.43%

0.20%

0.19%

0.20%

III.2 Penurunan Produksi
Penurunan produksi minyak bumi Indonesia telah terjadi sejak tahun 1996. Pada
tahun 1996 Produksi minyak nasional mencapai 1,4 juta barel/hari, dan terus
mengalami penurunan sehingga produksi tahun 2005 hanya sebesar 930 ribu
barel/hari. Sebagian besar sekitar 88% dari total produksi nasional berasal dari
lapangan yang ditemukan pada awal tahun 1940-an dan 1970/1980-an sehingga
mengalami penurunan produksi secara alami dengan laju penurunan sebesar 5-15%
per tahun.

© DITJEN MIGAS 12122006

Draft Buku Putih
1600
1400
1200

MBOPD

1000
800
600
400
200
0

2000

2001

2002

TOTAL

1,413.9

1,340.6

OIL

1,272.5

1,208.7

141.4

131.9

CONDENSATE

2003

2004

2005

1,249.4

1,146.8

1,094.4

1,062.1

1,117.6

1,013.0

965.8

934.8

131.8

133.8

128.6

127.3

Selain akibat dari penurunan secara alami, penurunan produksi minyak bumi
Indonesia juga diakibatkan oleh gangguan-gangguan teknis yang terjadi baik di atas
maupun di bawah permukaan bumi. Kendala operasional berupa gangguan
keamanan dan terhambatnya pembebasan tanah juga merupakan faktor penyebab
turunnya produksi minyak bumi nasional.

III.3 Kemampuan daya beli gas bumi Nasional
Sesuai dengan Undang-undang Migas No. 22 tahun 2001 bahwa pemanfaatan gas
bumi diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Permasalahan yang
dihadapi dalam pemanfaatan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri
adalah kemampuan sebagian konsumen yang masih terbatas untuk dapat membeli
gas sesuai dengan keekonomiannya, terutama industri pupuk yang sampai saat ini
masih membeli gas dengan harga jauh di bawah pasar.

Pemerintah menerapkan kebijakan pengembangan dan pemanfaatan gas bumi
didasarkan pada prinsip keekonomian. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin
kelangsungan pasokan gas bumi oleh produsen gas bumi. Harga gas bumi untuk
industri berbasis gas bumi yang produknya dimanfaatkan di dalam negeri ditetapkan
Pemerintah berdasarkan keekonomian yang wajar bagi produsen gas bumi dan
industri.

© DITJEN MIGAS 12122006

Draft Buku Putih
III.4 Pseudo revenue
Pendapatan negara yang berasal dari sektor migas saat ini mengalami kenaikan
setiap tahunnya, namun perlu disadari bahwa kenaikan pendapatan ini bukan
merupakan cerminan dari peningkatan produksi minyak bumi nasional melainkan hasil
dari kenaikan harga minyak bumi yang sangat tinggi belakangan ini. Sehingga jika
terjadi suatu penurunan harga jual minyak mentah di pasaran dunia akan sangat
mempengaruhi total pendapatan negara yang berasal dari minyak bumi. Sebagai
gambaran dapat dilihat dari tabel perbandingan di bawah ini, pada tabel tersebut
terlihat bahwa produksi minyak bumi nasional terus mengalami penurunan sejak tahun
2001, sehingga jika tidak ada kenaikan harga minyak maka dapat dipastikan
pendapatan negara yang berasal dari minyak bumi akan terus menurun setiap
tahunnya.

Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005

Pendapatan Negara Saat Ini
Produksi
Pendapatan Negara dari MB
MB (ribu
barel)
Harga MB
(milyar)
451,333.00
$28.39
58,542.90
471,258.90
$23.66
67,543.80
442,491.41
$24.57
54,249.80
400,621.14
$28.77
49,266.70
379,109.84
$37.58
71,100.80
365,943.94
$53.40
82,732.80

Kondisi Pendapatan Negara dengan Asumsi Harga MB Tetap
Pendapatan
Produksi MB (ribu
Harga MB
Negara dari MB
Tahun
barel)
(milyar)
2000
451,333.00
$28.39
58,542.90
2001
471,258.90
$28.39
61,127.51
2002
442,491.41
$28.39
57,396.05
2003
400,621.14
$28.39
51,965.01
2004
379,109.84
$28.39
49,174.75
2005
365,943.94
$28.39
47,466.99

Oleh karena itu kita tidak dapat berpegang pada hasil akhir yang berupa pendapatan
yang berasal dari sektor minyak bumi. Karena itu diperlukan suatu upaya yang dapat
mempertahankan produksi minyak bumi nasional atau jika mungkin meningkatkan
jumlah produksi sehingga pendapatan negara yang berasal dari minyak bumi dapat
terus dipertahankan tanpa menggantungkan diri kepada harga minyak bumi di
pasaran dunia.

© DITJEN MIGAS 12122006

Draft Buku Putih
III.5 Perusahaan migas hulu nasional
Dari sebanyak 137 perusahaan migas yang saat ini beroperasi di Indonesia sebagian
besar merupakan

perusahaan multinasional sedangkan perusahaan nasional hanya

sebanyak 20 perusahaan atau sebesar 14,6%. Dari 20 perusahaan tersebut baru 10
perusahaan yang sudah produksi sedangkan sisanya masih belum berproduksi.
Pemerintah telah melakukan upaya untuk memperbesar keterlibatan perusahaan
nasional dalam pengelolaan sumber daya migas nasional melalui lelang ataupun
penawaran langsung.
Keterbatasan perusahaan dalam hal dana merupakan hambatan terbesar bagi
perusahaan nasional untuk dapat berkontribusi dalam pengelolaan migas nasional.
Sehingga sampai saat ini keterlibatan perusahaan nasional dalam hal pengelolaan
sumber daya migas masih sangat kecil.

III.6 Keterbatasan dukungan sektor perbankan nasional
Kurangnya peran perusahaan nasional dalam pengelolaan sumber daya alam migas
tidak terlepas dari kurangnya dukungan sektor perbankan nasional terhadap kegiatan
migas di dalam negeri. Saat ini banyak perusahaan nasional dan daerah yang
mengalami hambatan pendanaan untuk ikut serta dalam pengelolaan sumber daya
migas di daerahnya, sehingga pada akhirnya hal tersebut dapat mempengaruhi
pelaksanaan kegiatan produksi migas di daerah tersebut.
Untuk itu diperlukan dukungan dari sektor perbankan nasional terhadap perusahaan
migas nasional dan daerah dalam rangka pengelolaan sumber daya migas di daerah,
sehingga tidak lagi menggantungkan sepenuhnya kepada pembiayaan dari luar.
Selain memperkuat perusahaan nasional,

dukungan ini juga dapat membantu

peningkatan produksi minyak bumi Indonesia yang terus menurun

III.7 Sistem Cost Recovery
Seperti yang kita ketahui saat ini seluruh biaya operasi yang terkait dengan petroleum
operation dapat di recovery dari pendapatan minyak bumi dan/atau gas bumi. Cost
recovery ini dilakukan pada sistem Kontrak Kerja Sama yang berbentuk Production
Sharing Contract (PSC) yang telah berjalan sejak pertengahan tahun 1960an.
Tidak efisiennya biaya operasi atau cost recovery akan mengakibatkan berkurangnya
pendapatan negara, untuk itu perlu dilakukan efisiensi dalam cost recovery sehingga
pendapatan negara menjadi lebih besar. Efisiensi dapat dilakukan dengan

© DITJEN MIGAS 12122006

Draft Buku Putih
memberikan batas-batas yang jelas mengenai hal-hal apa yang dapat di-cost
recovery-kan dan yang tidak, sehingga memudahkan pemantauannya dan hasilnya
akan lebih optimal. Pengaturan mengenai cost recovery ini tidak secara jelas
disebutkan dalam UU No.22/2001 sehingga perlu diciptakan suatu peraturan tentang
cost recovery ini sehingga memudahkan bagi pelaksana untuk melakukan
kegiatannya.
Selain melalui efisiensi cost recovery, UU No.22/2001 tentang minyak dan gas bumi
juga memungkinkan untuk menerapkan sistem Kontrak Kerja Sama (KKS) selain
Production Sharing Contract (PSC) seperti yang telah dilakukan pada lapangan
Wailawi (Kaltim) dengan sistem Cost and Fee dengan tetap memenuhi persyaratan
dasar yaitu entitlement migas berada pada pemerintah sampai dengan titik
penyerahan. Dengan sistem kontrak kerja sama baru ini cost recovery tidak lagi
membebani pendapatan negara.

III.8 Pricing Policy dalam penyediaan BBM Nasional
Penyediaan dan pendistribusian jenis bahan bakar minyak tertentu bahwa penetapan
jenis, standar dan mutu (spesifikasi), harga, volume, dan konsumen ditetapkan oleh
pemerintah. Penetapan harga jual BBM tertentu (Premium, Solar dan Kerosene)
kepada konsumen tertentu ditetapkan berdasarkan harga patokan.

Selisih antara

harga patokan dengan harga jual eceran tersebut disubsidi oleh Pemerintah, dimana
pada tahun 2006 jumlahnya mencapai Rp. 64,212 trilyun.
Hal tersebut dilakukan karena kondisi perekonomian nasional yang masih tidak
mendukung sehingga memaksa pemerintah untuk melakukan subsidi pada BBM
untuk kalangan masyarakat tertentu. Akibat dari adanya subsidi pada jenis BBM
tertentu ini telah membuat tidak adanya dorongan untuk pembuatan kilang minyak
baru di Negara kita. Hal ini berdampak pada sistem penyediaan bahan bakar Negara
kita dimana jumlah supply bahan bakar tidak mengalami peningkatan sementara
jumlah permintaan terus meningkat dengan pesat.
Keadaan yang demikian memaksa untuk dilakukannya impor bahan bakar minyak
yang jumlahnya dari tahun ke tahun terus meningkat yang menyebabkan
ketergantungan akan supply dari Negara lain. Kondisi seperti ini akan menyebabkan
kestidakstabilan perekonomian dan juga ketahanan nasional, karena dengan adanya
sedikit perubahan pada harga minyak dunia (baik naik ataupun turun) akan
menyebabkan gangguan pada kondisi perekonomian nasional.

© DITJEN MIGAS 12122006

Draft Buku Putih
Dengan adanya suatu solusi terhadap permasalahan Pricing policy diharapkan
pembangunan kilang minyak dapat dilanjutkan kembali sehingga dapat memenuhi
kebutuhan bahan bahan bakar minyak dalam negeri. Selain itu juga dapat membantu
menyerap tenaga kerja dan meningkatkan kestabilan ekonomi dan ketahanan
nasional.

III.9 Terbatasnya infrastruktur di bidang Migas
III.9.1 Sektor Hilir Migas
- Keterbatasan Kapasitas Kilang Minyak
Kemampuan kapasitas pengolahan minyak mentah seluruh kilang minyak
dalam negeri pada saat ini mencapai 1.057 MBSD. Dalam waktu 10 tahun
terakhir ini nampak bahwa tidak ada penambahan kapasitas kilang yang
signifikan, dimana pada tahun 1995 kapasitas pengolahan minyak mentah
sebesar 991,1 MBSD. Total kemampuan produksi BBM pada saat ini sebesar
268,53 juta barrel (42,7 juta KL), sementara itu pertumbuhan kebutuhan BBM
Nasional terus meningkat yang pada saat ini baru dapat dipenuhi sekitar 65,3%
dari hasil produksi BBM dalam negeri.

- Ketersediaan Bahan Baku Minyak Mentah
Ketersediaan bahan baku minyak mentah adalah faktor utama dalam menjamin
kelangsungan operasi kilang minyak. Pada saat kilang-kilang minyak di
Indonesia dibangun pada era 1970an, terletak di lokasi yang mendekati
sumber-sumber bahan bakunya (lapangan produksi minyak bumi), sehingga
desain kilangpun menyesuaikan dengan spesifikasi minyak bumi yang tersedia
di sekitar lokasi kilang minyak.
Namun secara alamiah produksi minyak bumi dari sumur-sumur minyak
tersebut mengalami penurunan, sehingga semua kilang minyak harus
mengolah berbagai jenis dan spesifikasi minyak mentah (cocktail crude) yang
dapat disediakan baik yang berasal dari dalam negeri maupun impor. Pada
saat ini penyediaan minyak mentah untuk diolah dikilang minyak berasal dari
produksi dalam negeri sebesar 63 % san sisanya 37 % dari impor. Hal ini tentu
berpengaruh pada kehandalan operasi kilang minyak yang dapat berdampak
pada menurunnya efesiensi dan kemampuan produksi serta kualitas BBM yang
dihasilkan.

© DITJEN MIGAS 12122006

Draft Buku Putih
- Kualitas Hasil Produksi BBM
Semua desain kilang minyak dalam negeri yang dibangun pada era 1970an
lebih

mempertimbangkan

pada

kemampuan

untuk

memproduksi

BBM

semaksimal mungkin untuk dapat memenuhi seluruh kebutuhan BBM dalam
negeri,tanpa memperhatikan atau mengatisipasi perkembangan kualitas BBM
dimasa depan. Nampak bahwa konfigurasi kilang minyak cukup sederhana
dengan kapasitas secondary proses yang cukup kecil.
Dewasa ini ketika dampak pembakaran BBM terutama pada sector transportasi
semakin merusak kelestarian lingkungan hidup dan kesehatan manusia, maka
dunia secara bertahap segera mengupayakan penyediaan BBM yang lebih
ramah lingkungan.
Sebagai contoh pada saat ini hanya tinggal beberapa Negara saja di dunia ini
yang masih menggunakan BBM jenis Bensin Bertimbal termasuk Indonesia
(satu-satunya Negara di ASEAN). Untuk dapat menyediakan Bensin Tanpa
Timbal guna memenuhi seluruh kebutuhan Bensin dalam negeri, sangat
dibutuhkan sejumlah besar komponen mogas beroktan tinggi (HOMC) sebagai
pengganti Timbal (TEL), yang sangat terbatas produksinya dari kilang minyak
dalam negeri. Karena itu dibutuhkan impor HOMC dalam jumlah besar yang
tentunya akan sangat berpengaruh pada keuangan Negara disamping
menimbulkan ketergantungan pada Negara lain.
Hal-hal yang sangat berpengaruh terhadap kualitas BBM yang ramah
lingkungan pada saat ini adalah pembatasan pada kandungan Aromatik, Olefin,
Benzene, Sulfur dan Oxygenate.

- Kebutuhan Pembangunan Kilang Minyak Baru
Total kapasitas kilang minyak dalam negeri saat ini sekitar 1 juta barel per hari.
Pada tahun 2005 kemampuan produksi BBM 42,7 juta KL, sementara konsumsi
BBM dalam negeri tahun 2005 mencapai 65,34 juta KL, sehingga defisit BBM
sekitar 22,64 juta KL yang selama ini dipenuhi dari impor.
Berdasarkan angka-angka tersebut diatas, seyogianya dibutuhkan tambahan
kilang minyak baru dengan kapasitas sekitar 540 MBSD. Dengan asumsi
kenaikan kebutuhan BBM dalam negeri sekitar 5 % per tahun, maka
diperkirakan pada tahun 2010 konsumsi BBM mencapai sekitar 83,8 juta KL

© DITJEN MIGAS 12122006

Draft Buku Putih
per tahun. Dengan demikian apabila tidak ada penambahan kapasitas kilang
pada saat ini, maka pada tahun 2010 diperlukan kapasitas kilang minyak
sekitar 2.027MBCD atau perlu tambahan kilang minyak baru dengan kapasitas
970 MBCD.
Undang-undang No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi memberikan
kesempatan kepada badan usaha untuk melakukan kegiatan usaha hilir migas
yang meliputi pengolahan, pengangkutan,penyimpanan dan niaga minyak dan
dan gas bum. Oleh karena itu pemerintah sangat mendorong partisipasi badan
usaha untuk pembangunan kilang minyak di dalam negeri.
Sejak tahun 1994, pemerintah telah memberi kesempatan kepada badan usaha
swasta untuk berpartisipasi dalam pembangunan kilang minyak. Hingga
sebelum diterbitkan Undang-undang No.22 Tahun 2001 telah diterbitkan
persetujuan prinsip pembangunan kilang minyak kepada 20 perusahaan.
Setelah diterbitkan Undang-undang No.22 Tahun 2001, telah ada 15 Badan
Usaha yang mengajukan permohonan Izin Usaha Pengolahan Migas dengan
status 1 Badan Usaha telah memperoleh Izin Usaha Pengolahan, 5 Badan
Usaha memperoleh Izin Usaha Pengolahan Sementara, dan selebihnya masih
dalam proses evaluasi.
Dari sejumlah perusahaan yang telah mendapat izin tersebut, pada umumnya
kemajuan rencana proyek-proyek kilang swasta masih pada tahap studi
kelayakan, penyusunan AMDAL, penjajakan pendanaan dan penyediaan
minyak mentah.
Mengingat pembangunan suatu kilang minyak bumi memerlukan dana yang
cukup besar namun keuntungan yang marjinal, badan usaha membutuhkan
dukungan pemerintah dalam bentuk insentif investasi termasuk insentif sistem
perpajakan yang lebih menarik untuk investasi.

© DITJEN MIGAS 12122006

Draft Buku Putih
BAB IV
SKENARIO MASA DEPAN

IV.1 Penurunan Penggunaan BBM sebagai Sumber Bahan Bakar
Penggunaan BBM sebagai sumber bahan bakar utama harus mulai dapat digantikan
perannya di masa yang akan datang. Pada tahun 2005 penggunaan BBM dalam
energi final masih sebesar 52% pada tahun 2025 peran BBM diharapkan dapat
digantikan dengan sumber energi lain sehingga perannya dapat diturunkan menjadi
20%. Hal ini sejalan dengan kebijakan energi nasional yang diatur dalam Perpres
No.5 tahun 2006, dan juga kondisi cadangan minyak bumi kita yang semakin menipis.
Dengan adanya penurunan persentasi penggunaan BBM diharapkan kebutuhan BBM
dalam negeri dapat dipenuhi oleh kilang minyak dalam negeri dan tidak lagi
bergantung impor BBM dari negara lain.

IV.2 Diversifikasi dan Substitusi BBM
Pencanangan era kebangkitan energi dimulai sejak tahun 1966 yaitu dengan
melakukan eksplorasi dan produksi energi fosil secara besar-besaran, dimana pada
saat itu kontribusi sektor migas pada APBN mencapai 70%. Saat ini dicanangkan
kebangkitan energi kedua, yaitu meningkatkan penggunaan biofuel, energi gas, dan
batubara. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan penggunaan BBM
sebagai sumber energi.
Program diversifikasi dan subtitusi BBM dilakukan dengan cara subtitusi solar dengan
biodiesel, subtitusi minyak tanah dengan briket batubara, briket fragmnetal dan LPG,
subtitusi premium dengan CNG, subtitusi BBM dengan batu bara cair, dan
pengembangan pembangkit listrik non-BBM. Dengan adanya diversifikasi energi maka
dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan energi alternatif,
mendorong adanya investasi swasta, menjaga cadangan minyak bumi nasional, dan
mengurangi ketergantungan akan impor BBM dari luar negeri.

IV.3 Intensifikasi dan Ekstensifikasi Eksplorasi
Dalam rangka meningkatkan status potensi migas (sumber daya) menjadi cadangan
migas nasional yang siap diproduksikan, intensifikasi eksplorasi dilakukan melalui

© DITJEN MIGAS 12122006

Draft Buku Putih
peningkatan kegiatan survei umum geologi/geofisika dan pembukaan Wilayah Kerja
baru khusunya di daerah yang belum pernah dieksplorasi maupun daerah laut dalam
yang pada saat ini telah tersedia teknologi eksplorasinya.

Disisi lain aktifitas

eksplorasi oleh Kontraktor KKS diberikan insentif untuk melaksanakan kegiatan
eksplorasi pada obyektif baru yang umumnya terdapat di Indonesia Timur yang
selama ini belum dilakukan dengan menerapkan konsep eksplorasi baru, khususnya
dilakukan pada lapisan Pra Tersier dan wilayah laut dalam. Hasilnya antara lain telah
dan siap diproduksikan di wilayah Grissik Jambi, Pulau Seram, Laut Arafuru, Bintuni
Irian Jaya (Proyek Tangguh) dan West Seno Selat Makasar Kaltim. Intensifikasi
eksplorasi

juga

mulai

dilakukan

terhadap

potensi

gas

metana

batubara

(coalbedmethane/CBM) dan gas hydrate yang keberadaannya tersebar diberbagai
cekungan sedimen Tersier dan wilayah laut dalam dengan nilai cadangan yang cukup
menjanjikan.
Sedangkan ekstensifikasi eksplorasi dilakukan dalam rangka keamanan suplai energi
(energy security) jangka panjang sehingga dilakukan baik di dalam maupun di luar
negeri. Di dalam negeri ekstensifikasi eksplorasi terutama diarahkan ke daerahdaerah terpencil (remote area) yang pada umumnya kurang infrastruktur. Adapun
ekstensifikasi ke luar negeri antara lain dilakukan oleh BUMN dan swasta nasional ke
negara-negara Timur Tengah (Irak, Libia, Yaman) dan Asean (Myanmar, Malaysia,
Thailand).

IV.4 Konservasi Cadangan Migas Nasional.
IV.4.1 Sektor Hulu Migas
Konservasi cadangan migas dimaksudkan untuk optimasi pengurasan
cadangan migas semaksimal mungkin tanpa terjadinya kerusakan formasi yang
dapat mengganggu kinerja reservoir, sehingga mengurangi potensi tersisanya
cadangan pada reservoir yang ada. Dengan demikian pengurasan tersebut
harus dilakukan dengan manajemen reservoir yang benar. Pengurasan primer
hanya dapat menguras 30% cadangan setempat, selebihnya harus dilakukan
dengan pengurasan sekunder ataupun tersier yang mampu menguras hingga
lebih dari 50% cadangan dengan pemilihan teknologi yang tepat.

Usaha

pengurasan primer telah berlangsung cukup lama sejak jaman kolonial dan
sekarang telah melewati puncak produksi hingga cadangan nasional terambil
lebih dari 75%. Untuk menguras sisa cadangan nasional tersebut sudah

© DITJEN MIGAS 12122006

Draft Buku Putih
dipikirkan insentif pengembangannya untuk merangsang KKKS dalam optimasi
pengurasan cadangan melalui pemilihan teknologi yang tepat. Sementara itu
pengurasan sekunder dan tersier (EOR) juga sudah berlangsung hingga
produksinya mencapai 30% dari total produksi minyak nasional.

IV.4.2 Sektor Hilir Migas
Cadangan BBM Nasional adalah jumlah tertentu BBM untuk mendukung
penyediaan BBM dalam negeri (PP No. 36 tahun 2004). Dengan terlah
diberlakukannya UU No.22 tahun 2001, cadangan BBM Nasional dimiliki oleh
badan-badan usaha dalam rangka mendukung kegiatan usaha hilir migas,
sehingga tidak terjadi kelangkaan. Ketahanan persediaan masing-masing
badan usaha bervariasi antara 7 sampai 22 hari.
Dalam rangka mendukung konservasi cadangan BBM dalam negeri dibuat
suatu sistem cadangan strategis untuk BBM, dan juga melalui subtitusi BBM
dengan bahan bakar alternatif seperti bio-diesel, bio ethanol dan lain-lain.

IV.5 Pengurangan Ketergantungan Penerimaan Negara dari Sektor Migas
Perlu disadari bahwa keberadaan migas sebagai sumber devisa dan penerimaan
negara harus sudah dapat bergeser tidak lagi sebagai tumpuan pendukung APBN
karena sifat alamiah minyak dan gas bumi yang tidak terbarukan. Apabila kita tetap
bergantung pada peranan energi minyak bumi sebagai salah satu sumber penerimaan
negara yang sangat penting dalam APBN maka dapat membahayakan pendapatan
negara dalam mendukung APBN.
Penerimaan Negara VS Penerimaan Migas

45

Persentasi

40
35
30
25
20
1990

1995

2000

2005

2010

Tahun

Seperti dapat dilihat pada gambar di atas, terlihat bahwa persentasi penerimaan
sektor migas terhadap penerimaan total negara semakin kecil dari tahun ke tahun. Hal

© DITJEN MIGAS 12122006

Draft Buku Putih
ini akan terus berlanjut seiring dengan semakin berkurangnya produksi migas kita.
Oleh karena itu ketergantungan terhadap sektor migas harus dapat dikurangi,
sehingga kedepannya sektor migas tidak lagi menjadi tumpuan utama penerimaan
negara.

IV.6 Peningkatan Penggunaan Barang dan Jasa Hasil Produksi dalam Negeri.
Tingkat belanja pengeluaran (expenditure) di Kegiatan Usaha Hulu Migas pada tahun
2005 ini mencapai US$ 8.167 juta, oleh karena itu hal ini perlu dioptimalkan
pemanfaatan penggunaan barang dan jasa hasil produksi dalam negeri.
Selama ini industri barang dan jasa dalam negeri sebagai penunjang kegiatan usaha
Migas belum dapat berkembang sebagaimana yang diharapkan sesudah sekian lama
diberi kemudahan (preferensi harga). Preferensi harga tidak pernah dinikmati oleh
produsen barang dan jasa dalam negeri, karena hanya digunakan sebagai alat
evaluasi penawaran harga akhir.

Pada kenyataannya apabila tender dimenagkan

oleh produsen barang dan jasa dalam negeri, maka selalu harus mengalami negosiasi
sehingga harga penawaran produsen dalam negeri harus sama atau lebih murah
dibandingkan penawaran barang dan jasa ex. Impor. Untuk memenuhi harapan
pemakai barang dan jasa, maka industri barang dan jasa dalam negeri, harus
meningkatkan daya saing melalui manajemen yang sehat dan efisiensi produksi.
Kompetisi bisnis harus dilakukan secara sehat melalui peningkatan kualitas yang
memenuhi persyaratan/standar internasional, harga yang kompetitif berbasis Total
Cost Ownership (TCO), waktu suplai (delivery time) yang wajar sesuai waktu standar
pabrik dan layanan purna jual yang memadai.

IV.7 Peningkatan Kompetensi Sumber Daya Manusia Indonesia
Penempatan tenaga kerja asing dalam industri perminyakan di indonesia merupakan
suatu hal yang tidak dapat dihindaridengan alasan alih teknologi pada posisi yang
belum dapat diisi oleh tenaga kerja Indonesia. Hal ini menunjukkan masih kurangnya
jumlah tenaga kerja Indonesia yang memiliki kompetensi di bidang minyak dan gas
bumi bila dibandingkan dengan tenaga kerja asing. Hal ini menyebabkan dominasi
tenaga kerja asing pada industri perminyakan masih sangat dominan, terutama pada
posisi-posisi yang penting dan strategis.
Berdasarkan data bahwa pada tahun 2005 jumlah tenaga kerja Indonesia yang
memiliki kompetensi berjumlah 1.401 orang, jumlah ini masih lebih sedikit bila

© DITJEN MIGAS 12122006

Draft Buku Putih
dibandingkan dengan tenaga kerja asing yang bekerja di Industri perminyakan
nasional yakni sejumlah 1669 orang. Dari grafik di bawah dapat dilihat bahwa
perkembangan jumlah tenaga kerja Indonesia yang memiliki kompetensi dari tahun ke
tahun terus bertambah, namun jumlah tenaga

kerja asing tidak menunjukkan

penurunan. Diharapkan pada masa yang akan datang melalui suatu mekanisme yang
baik, jumlah tenaga kerja asing di Indonesia dapat dikurangi dan digantikan dengan

Jumlah Tenaga Kerja

tenaga kerja Indonesia yang memiliki kompetensi.

1800
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0

1602
1209

2003

1694

1669
1401

1335

2004

2005

Tahun
Jumlah TKA

Jumlah TKI berkompetensi

IV.8 Penguasaan dan Pengembangan Teknologi Migas
Penguasaan dan pengembangan teknologi di bidang migas dapat dikatakan sangat
minim sekali di Indonesia. Minimnya penguasaan dan pengembangan teknologi ini
dapat dilihat dari masih tingginya pengeluaran disektor migas yang tergantung dari
luar negeri. Tidak berkembangnya teknologi di beberapa perusahaan migas dalam
negeri,seperti halnya di BUMN dan Perusahaan Migas Nasional kita , karena sematamata masih mengejar net present value yang tinggi dan belum dikembalikan dalam
bentuk pengembangan teknologi. Struktur out sourcing yang selama ini berjalan
sepertinya merupakan sesuatu yang tinggal digunakan sehingga tanpa sadar telah
membuat kita ketergantungan pada pihak lain. Oleh karena itu perlu dikembangankan
secara bersama baik oleh pemerintah maupun swasta dalam hal penguasaan dan
pengembangan teknologi yang tepat dimana laboratorium alam telah kita miliki dan
berada didepan mata kita.
Dengan sistem kontrak kerja di negara kita yang masih menerapkan cost recovery
adanya penguasaan dan pengembangan teknologi di bidang migas sangatlah
diperlukan sehingga dapat mengurangi ketergantugan kita terhadap komponen luar

© DITJEN MIGAS 12122006

Draft Buku Putih
negeri dalam hal pengelolaan sumber daya migas. Diharapkan kedepannya kita dapat
mengelola sendiri sumber daya migas yang kita miliki. Seperti Cina yang saat ini
dengan peningkatan penguasaan teknologi telah mampu mengolah sumber daya
migasnya dan bahkan telah mampu mengembangkan ke negara-negara lain.

IV.9 Community Development sebagai agen pembangunan daerah sekitar
kegiatan Migas
Minyak dan gas bumi merupakan SDA yang bersifat tidak dapat diperbaharui, oleh
karena itu dibutuhkan suatu kegiatan yang dapat menjamin kelangsungan kehidupan
masyarakat di sekitar kegiatan migas saat minyak dan gas bumi sudah tidak lagi
dihasilkan di daerah tersebut.
Community Development (Pengembangan Masyarakat) di sekitar kegiatan migas
dilakukan dengan tujuan meningkatkan taraf hidup dan kemandirian masyarakat yang
isinya telah diatur di dalam UU No.22 tahun 2001 dan wajib dimuat di dalam kontrak
kerja. Pelaksanaan program ini terbagi menjadi 3 jenis, yaitu Community Service
(pelayanan), Community Empowering (Pemberdayaan) dan Community Relation
(hubungan). Diharapkan dengan 3 jenis program tersebut dapat tercipta suatu
peningkatan taraf hidup masyarakat di sekitar kegiatan migas baik dalam hal
fasilitas/infrastruktur publik, kualitas Sumber Daya Manusia, dan juga perekonomian.
Selain itu juga diharapkan akan menciptakan suatu sinergi antara perusahaan dengan
masyarakat sekitar sehingga terwujud kegiatan migas yang aman dan dapat diterima
oleh masyarakat.

© DITJEN MIGAS 12122006

Draft Buku Putih
BAB V
HAMBATAN

V.1 Masalah Perpajakan
Sesuai dengan Pasal 31 Undang-undangan Nomor 22 Tahun 2001, ditetapkan bahwa
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap diwajibkan untuk membayar penerimaan
negara berupa pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Ketentuan
tersebut menimbulkan dualisme pemahaman. Pemahaman pertama adalah bahwa
kewajiban pembayaran tersebut sebagaimana diimplementasikan dalam ketentuan
Kontrak Kerja Sama yang pada intinya menyatakan bahwa pajak-pajak Indonesia
seperti Value Added Tax (PPN), Transfer Tax, Import and Export duties on materials,
equipment and supplies brought to Indonesia (Bea Masuk) adalah sudah termasuk
pembayaran bagian negara yang dibayarkan oleh Kontraktor (assummed and
discharged), sehingga tidak perlu dibayarkan secara sendiri, kecuali Pajak
Penghasilan (PPh) Badan. Sedangkan pemahaman kedua adalah bahwa bila
dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan umum, maka
kewajiban pembayaran oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tidak di-assumed
and discharged, artinya harus dibayar langsung oleh Kontraktor kepada Negara.
Perbedaan pemahaman tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum baik bagi
Kontraktor maupun calon investor terutama terkait dengan penerapan fiscal system
dalam Kontrak Kerja Samanya.

V.2 Tumpang Tindih Lahan
Permasalahan tumpang tindih lahan yang mengemuka saat ini ada dua jenis, yaitu
tumpang tindih lahan dengan kawasan hutan dan tumpang tindih lahan dengan Kuasa
Pertambangan (KP) yang izinnya dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah setempat.
Permasalahan pada tumpang tindih lahan dengan kawasan hutan terjadi karena
adanya kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi Migas di lahan dipetakan sebagai
kawasan hutan tertentu dimana didalam kawasan tersebut tidak dapat dilakukan
kegiatan yang bersifat mengurangi fungsi kawasan hutan tersebut, termasuk
pertambangan. Namun demikian, apabila kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi tetap
harus dilakukan, maka diperlukan Izin dari Menteri Kehutanan dengan kompensasi
tertentu dari Kontraktor yang bersangkutan. Salah satu peraturan yang mengatur

© DITJEN MIGAS 12122006

Draft Buku Putih
mengenai hal tersebut adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 14 Tahun 2006
tantang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, disebutkan bahwa apabila kegiatan
Eksplorasi dan Eksploitasi dilaksanakan di wilayah kawasan hutan, maka Kontraktor
wajib mengganti dengan lahan lain yang

berbatasan langsung dengan kawasan

hutan seluas dua kali lipat dari luas yang dipakai secara clear and clean, dan bila hal
tersebut tidak dapat dilaksanakan maka Kontraktor wajib menggantikan dengan
kompensasi sebesar 1% dari jumlah produksi. Pengaturan tersebut sangat tidak
kondusif bagi Kontraktor, karena tidak aplikatif atau sulit dilaksanakan dan juga
berakibat pada biaya tinggi (high cost).
Adapun permasalahan tumpang tindih lahan dengan Kuasa Pertambangan yang
Izinnya dikeluarkan oleh Pemda setempat, adalah tidak adanya koordinasi secara baik
antara Pemda setempat dengan Pemerintah Pusat dan Kontraktor sebelum
dikeluarkannya Izin tersebut. Hal tersebut berakibat pada munculnya permasalahanpermasalahan di lapangan antara Kontraktor Migas dan Perusahaan pelaksana Kuasa
Pertambangan.

V.3 Munculnya Perda yang Tidak Sejalan dengan UU Migas
Dengan adanya Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan kepada Daerah
untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri menimbulkan efek bagi Daerah
untuk membuat regulasi yang dapat mendukung pelaksanaan otonomi tersebut. Pada
umumnya Daerah membuat regulasi yang dapat meningkatkan PAD mereka,
akibatnya kebanyakan penetapan Peraturan Daerah tersebut tidak sejalan dengan
peraturan perundang-undangan bidang Minyak dan Gas Bumi atau peraturan lain
yang lebih tinggi. Hal tersebut tentu saja menimbulkan ketidakpastian hukum bagi
investor sehingga tidak dapat memberikan iklim yang kondusif bagi investasi Minyak
dan Gas Bumi di Indonesia. Oleh karenanya perlu dilakukan pencabutan atas PerdaPerda yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan bidang minyak dan
gas bumi atau peraturan lain yang lebih tinggi.

V.4 Penyertaan Participating Interest Daerah
Isu participating interest (PI) menjadi bahan pembicaraan yang marak pada akhir-akhir
ini, setelah diberlakukannya undang-undang otonomi daerah dimana tuntutan daerah
semakin kuat untuk terlibat di dalam pengelolaan sumber daya alam di daerahnya.
Selain itu permasalahan ini juga menjadi perebutan beberapa daerah di sekitar
kegiatan migas yang merasa berhak untuk ikut berpartisipasi dalam pengelolaan SDA

© DITJEN MIGAS 12122006

Draft Buku Putih
migas di daerah tersebut. Kendala yang dihadapi adalah kesiapan daerah
mengantisipasi untuk menerima participating interest yang menjadi hak daerah
setelah disetujuinya POD pertama yang meliputi sisi pendanaan, kemampuan
berbisnis,

dan

penguasaan

teknologi.

Banyak

terjadi

setelah

daerah

akan

mendapatkan hak PI, BUMD yang bersangkutan harus mencari partner swasta lain
sebagai investor untuk mendukung pendanaan sehingga tujuan dari pemberian hak PI
kepada daerah tidak mencapai sasaran secara tepat. Hal tersebiut juga berdampak
apabila BUMD tidak siap akan menghambat dimulainya produksi migas oleh
kontraktor di wilayah kerjanya.

© DITJEN MIGAS 12122006