Hubungan antara hipertensi dengan gangguan keseimbangan di poli rawat jalan saraf RSUD Dr. Moewardi Surakarta

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Amaliah G.0006039

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hipertensi merupakan gangguan kesehatan yang sering dijumpai dan termasuk problem kesehatan masyarakat yang perlu segera ditanggulangi, sebelum timbul komplikasi dan akibat-akibat jelek lainnya (Soeparman, 1991). Data WHO tahun 2000 menunjukkan, di seluruh dunia sekitar 972 juta orang atau 26,4% mengidap hipertensi dengan perbandingan 26,6% pria dan 26,1% wanita. Angka ini kemungkinan akan meningkat menjadi 29,2% di tahun 2025. Dari 972 juta pengidap hipertensi, 333 juta berada di negara maju dan 639 juta sisanya berada di negara berkembang, termasuk Indonesia (Andra, 2007). Pada tahun 2025 penyandang hipertensi diperkirakan hampir mencapai 1,6 milyar orang. Di Inggris, 34% pria dan 30% wanita menderita tekanan darah tinggi atau sedang mendapat pengobatan tekanan darah tinggi (Palmer, 2007). Prevalensi di Vietnam pada tahun 2004 mencapai 34,5%, Thailand (1989) 17%, Malaysia (1996) 29,9%, Philippina (1993) 22%, dan Singapura (2004) 24,9%. Di Amerika, prevalensi tahun 2005 adalah 21,7% (Karyadi, 2002).

Menurut Indonesian Society of Hypertension (InaSH), tahun 2000 hipertensi menyumbang 12,8% dari seluruh kematian dan 4,4% dari semua kecacatan (disabilitas). Hospital based study yang melibatkan 28 rumah sakit di Indonesia dengan 3.273 pasien tercatat bahwa 40,4% kasus hipertensi

(Andra, 2007). Di Indonesia, belum ada data nasional lengkap untuk prevalensi hipertensi. Dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, prevalensi hipertensi di Indonesia adalah 8.3%. Survei faktor risiko penyakit kardiovaskular (PKV) oleh proyek WHO di Jakarta, menunjukkan angka prevalensi hipertensi dengan tekanan darah 160/90 masing-masing pada pria adalah 13,6% (1988), 16,5% (1993), dan 12,1% (2000). Pada wanita, angka prevalensi mencapai 16% (1988), 17% (1993), dan 12,2% (2000). Secara umum, prevalensi hipertensi pada usia lebih dari 50 tahun berkisar antara 15%-20%. Survei di pedesaan Bali (2004) menemukan prevalensi pria sebesar 46,2% dan 53,9% pada wanita. Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB) (Karyadi, 2002).

Bila hipertensi tidak dikontrol dengan baik, maka dapat terjadi serangkaian komplikasi serius seperti angina dan serangan jantung, stroke, kerusakan ginjal, masalah mata. Hipertensi yang persisten dapat pula menimbulkan masalah di sistem sirkulasi seperti penyakit arteri perifer, klaudikasio intermiten, aneurisma aorta dan gangguan pada otak (Palmer,2007).

Hipertensi merupakan faktor resiko terpenting pada penyakit jantung koroner dan kecelakaan serebrovaskuler (Kumar, 1999). Penyakit

Prevalensi usia (per 100.000) untuk penyakit serebrovaskuler paling tinggi pada usia lebih dari 65 tahun lalu diikuti usia 45-64 tahun (Hennerici, 1991). Sementara itu hipertensi kronis juga dapat menimbulkan berbagai gangguan neurologi pada sistem saraf pusat, antara lain hipertensi ensefalopati, stroke, aneurisma intrakranial dan arteriosklerosis pada otak (Chusid, 1994).

Sirkulasi darah menurun sejalan dengan usia karena perubahan pada jantung dan pembuluh darah yang tentu saja dipengaruhi oleh proses arteriosklerosis (Isbagio dan Setiati, 2006). Arteriosklerosis yang berat, cukup untuk menimbulkan insufisiensi vaskuler terdapat pada 2% kasus usia 30-40 tahun dan sebanyak 6-8% pada pasien yang berusia 60-70 tahun (Chusid, 1994). Arteriosklerosis pada arteri karotis maupun arteri vertebralis dapat mengakibatkan otak menerima lebih sedikit oksigen dan nutrisi yang selanjutnya berdampak buruk pada status fungsionalnya (Price, 2005). PSV (Peak Systolic Velocities) pada arteri carotis komunis menurun 7 mm/detik/tahun sedangkan EDV (End Diastolic Velocities) turun 2,31 mm/detik/tahun. Pada arteri vertebralis PSV turun sekitar 0,91 mm/detik/tahun dan EDV turun 0,86 mm/detik/tahun (Kalvacha, 2007).

Arteriosklerosis dapat menimbulkan ketidakseimbangan ketika terjadi lesi periventrikuler yang mempengaruhi serat sensoris dan motoris yang menghubungkan area korteks dengan talamus, ganglia basalis, serebelum dan medula spinalis (Bronstein, 2006).

Hipertensi yang tidak terkontrol dapat menimbulkan disabilitas dan

(Hajjar, 2007). Laporan Sidang Dunia Kedua tentang Lanjut Usia (2002) memperkirakan jumlah lansia di Indonesia menempati urutan ke empat terbesar di dunia. SKRT 2001 menunjukkan angka disabilitas 88,9% lansia, termasuk disabilitas ringan (gangguan keseimbangan), yang merupakan masalah besar bagi Indonesia (Trihandini, 2007).

Belum banyak penelitian mengenai gangguan keseimbangan di Indonesia serta berdasarkan latar belakang diatas penulis terdorong untuk mengadakan penelitian untuk mengetahui adanya hubungan antara hipertensi dengan gangguan keseimbangan.

B. Perumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara hipertensi kronis dengan gangguan keseimbangan?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian dilaksanakan untuk mengetahui hubungan antara hipertensi kronis dengan gangguan keseimbangan.

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

a. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah yang bermanfaat bagi pengetahuan tentang hipertensi a. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah yang bermanfaat bagi pengetahuan tentang hipertensi

2. Praktis

Dengan mengetahui adanya hubungan antara hipertensi dan gangguan keseimbangan pada pasien, maka diharapkan pengobatan dari gangguan keseimbangan tidak hanya simtomatis tapi juga kausatif.

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Hipertensi

Tekanan darah berarti kekuatan yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap satuan luas dinding pembuluh. Tekanan darah hampir selalu dinyatakan dalam milimeter air raksa (mmHg) karena manometer air raksa telah dipakai sebagai rujukan baku untuk pengukuran tekanan darah. Pada pemeriksaan tekanan darah akan didapatkan dua angka. Angka yang lebih tinggi diperoleh pada saat jantung berkontraksi (sistolik), angka yang lebih rendah diperoleh pada saat jantung relaksasi (diastolik) (Guyton, 1997).

Tekanan darah tinggi (hipertensi) dikenal sebagai peningkatan tekanan darah abnormal, umumnya berhubungan dengan abnormalitas struktur dan fungsi banyak organ, antara lain pembuluh darah, jantung, otak dan ginjal. Sampai saat ini tidak ada kesatuan pendapat mengenai definisi hipertensi.

Kategori

Tekanan Darah

Sistolik

Tekanan Darah Diastolik

Normal

Di bawah 130 mmHg Di bawah 85 mmHg

Normal tinggi

130-139 mmHg

85-89 mmHg

Stadium1 (Hipertensi ringan)

140-159 mmHg

90-99 mmHg

Stadium2 (Hipertensi sedang)

160-179 mmHg

100-109 mmHg

Stadium3 (Hipertensi Berat)

180-209 mmHg

110-119 mmHg

Stadium4 (Hipertensi maligna)

210 mmHg atau lebih 120 mmHg atau lebih (Mubin, 2008) Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala, meskipun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi (padahal sesungguhnya tidak). Gejala yang dimaksud adalah sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan dan kelelahan, yang bisa saja terjadi pada penderita hipertensi maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal (Andra, 2007). Tidak ada tanda dan gejala spesifik yang dapat dihubungkan dengan penyakit hipertensi, selain 210 mmHg atau lebih 120 mmHg atau lebih (Mubin, 2008) Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala, meskipun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi (padahal sesungguhnya tidak). Gejala yang dimaksud adalah sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan dan kelelahan, yang bisa saja terjadi pada penderita hipertensi maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal (Andra, 2007). Tidak ada tanda dan gejala spesifik yang dapat dihubungkan dengan penyakit hipertensi, selain

Diagnosis hipertensi tidak boleh ditegakkan berdasarkan sekali pengukuran, kecuali bila tekanan darah diastolik (TDD) ³120 mmHg dan/

atau tekanan darah sistolik (TDS) ³ 210 mmHg. Pengukuran pertama harus dikonfirmasi pada sedikitnya dua kunjungan lagi dalam waktu satu sampai beberapa minggu. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila dari pengukuran berulang-ulang tersebut diperoleh nilai rata-rata TDD ³ 90

mmHg dan/ atau TDS ³ 140 mmHg (Ganiswarna, 2001).

Dari berbagai penelitian dapat dilihat bahwa tekanan darah dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain adalah jenis kelamin, umur, pekerjaan, lingkungan hidup, suku bangsa (Singgih, 1989). Selain itu hasil pengukuran tekanan darah juga dipengaruhi beberapa faktor antara lain adalah aktifitas pasien sebelum melakukan pengukuran, tekanan (stres) yang dialami, posisi saat pengukuran-berdiri atau duduk, dan waktu pengukuran (Palmer, 2007).

Praktis Penyakit Kardiovaskuler”, ada dua macam jenis hipertensi berdasar etiologinya, yaitu :

Yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya. Tidak ada sebab spesifik yang dikenal untuk peningkatan tekanan arteri pada kebanyakan pasien. Lebih dari 90% kasus hipertensi termasuk dalam kelompok ini (Ganiswarna, 2001). Dengan kemajuan pemahaman masalah hipertensi, maka kebanyakan ahli tiba pada kesimpulan bahwa masalah multifaktorial ini suatu “disregulasi” fisiologi (Chung, 1995). Diduga hipertensi primer (esensial) sering disebabkan oleh :

1) kelainan genetik ekskresi natrium oleh ginjal

2) kelainan genetik pada transpot natrium atau kalsium dalam otot polos vaskuler

3) variasi gen yang mengkode angiotensinogen dan protein lain pada sistem renin-angiotensin

4) pengaruh meningkatnya vasokonstriktor lain : tabiat, neurogen, hormonal (Ganiswarna, 2001).

b. Hipertensi Sekunder

Dari sisa 5 sampai 10% pasien hipertensi arterial, bisa diidentifikasi suatu sebab yang dapat dikenali atau penyakit yang dikenal. Hipertensi sekunder dapat disebabkan oleh :

1) Penyakit Ginjal (Hipertensi Renal) dapat disebabkan karena lesi pada arteri ginjal atau lesi pada parenkim ginjal

2) Penyakit Endokrin (Hipertensi Endokrin), terjadi misalnya oleh akibat kelainan korteks adrenal, tumor di medula adrenal, 2) Penyakit Endokrin (Hipertensi Endokrin), terjadi misalnya oleh akibat kelainan korteks adrenal, tumor di medula adrenal,

3) Penyakit Lain, yang dapat menimbulkan hipertensi adalah koarktasio aorta, kelainan neurologik, stres akut, polisitemia, dan lain-lain

4) Beberapa obat, misalnya kontrasepsi hormonal (paling sering), hormon adrenokortikotropik, kortikosteroid, simpatomimetik amin, kokain, siklosporin, dan eritropoetin (Ganiswarna, 2001).

Jangan disesatkan dengan pemikiran bahwa hanya karena sebab hipertensi dikenal, maka hipertensi dapat disembuhkan (Chung, 1995). Faktor resiko tekanan darah tinggi antara lain yaitu genetik, kelebihan berat badan, kurang olah-raga, mengkonsumsi makanan berkadar garam tinggi, kurang mengkonsumsi buah dan sayuran segar (Palmer, 2007).

Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi, bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar 10 tahun akan timbul tanda dan gejala hipertensi dengan kemungkinan komplikasinya.

Terapi umum pada penderita hipertensi antara lain adalah istirahat, diet (diet rendah garam, diet tinggi magnesium, diet tinggi kalium seperti pisang, melon, kurma), penurunan berat badan, olah-raga teratur, menghindari faktor resiko misalnya rokok, alkohol, hiperlipidemi,

Pada prinsipnya pengobatan hipertensi dilakukan secara bertahap (Ganiswarna, 2001).

2. Sirkulasi Darah Otak

Berat otak kira-kira hanya 2% dari total berat badan, namun otak menerima 15% dari total curah jantung dan menggunakan 20% dari konsumsi energi tubuh (Hennerici, 1991).

Otak memperoleh darah melalui dua sistem yakni sistem karotis interna dan sistem vertebral. Arteri karotis interna setelah memisahkan diri dari arteri karotis komunis, naik dan masuk ke rongga kranium melalui kanalis karotikus, berjalan dalam sinus kavernosus, mempercabangkan a.oftalmika untuk nervus optikus dan retina, akhirnya bercabang dua: a.serebri anterior dan a.serebri media. Untuk otak sistem ini memberi aliran darah bagi lobus frontalis, parietalis dan beberapa bagian lobus temporalis.

Sistem vertebral dibentuk oleh a.vertebralis yang berpangkal di a.subklavia, menuju dasar tengkorak melalui kanalis transversalis di kolumna vertebralis servikalis, masuk rongga kranium melalui foramen magnum, lalu mempercabangkan masing-masing sepasang a.inferior posterior serebeli. Pada batas medula oblongata dan pons, keduanya bersatu menjadi a.basilaris yang mempercabangkan a.inferior anterior serebeli dan berakhir sebagai sepasang a serebri posterior, yang melayani

Sedangkan arteria untuk daerah otak tertentu antara lain, serebelum diperdarahi oleh a.superior serebeli, a.inferior anterior serebeli dan a.inferior posterior serebeli. Talamus mendapat cabang dari a.komunikan posterior, a.basilaris dan a.serebri posterior. Mesenceflon diperdarahi oleh a.serebri posterior, a.serebeli superior, a.basilaris. Pons diperdarahi oleh a.basilaris serta a.inferior anterior dan superior serebeli (Snell, 2007).

Darah vena dialirkan dari otak melalui 2 sistem: kelompok vena interna, yang mengumpulkan darah ke vena Galeni dan sinus rektus, dan kelompok vena eksterna yang terletak dipermukaan hemisfer otak, dan mencurahkan darah ke sinus sagitalis superior dan sinus-sinus basalis lateralis, dan seterusnya melalui vena-vena jugulares, dicurahkan menuju ke jantung (Harsono, 1996).

3. Keseimbangan Tubuh

Keseimbangan merupakan komponen penting dalam stabilitas gerak makhluk hidup. Tiga sistem informasi sensoris digunakan oleh sistem saraf untuk menjaga keseimbangan yaitu penglihatan, proprioseptif yang ada di seluruh tubuh dan sistem vestibular di dalam telinga (Barr,1984). Ketiga hal tersebut disebut sebagai equilibrial triad (Noback, 1981).

Penglihatan berperan penting dalam menjaga keseimbangan. Sesudah kerusakan aparatus vestibular dan bahkan sebagian besar informasi proprioseptif dari tubuh hilang, ternyata penderita masih dapat menggunakan mekanisme visualnya secara efektif untuk menjaga keseimbangan. Bahkan gerakan linier atau gerakan rotasi tubuh akan segera menggeser bayangan penglihatan yang ada di retina, dan selanjutnya informasi ini akan dipancarkan ke pusat keseimbangan. Namun, bila pergerakan cepat sekali atau bila mata penderita ditutup, maka keseimbangan akan segera hilang (Guyton, 1997).

Pemasok arteri utama ke orbita dan bagian-bagiannya berasal dari arteria oftalmika, cabang besar pertama dari bagian intra kranial arteri karotis interna. Cabang intra orbital pertama adalah arteri retina sentralis (Snell, 2007).

Sumbatan arteri atau vena retina sentralis atau kelainan arteriosklerotik di dalam saraf optikus itu sendiri yang mengganggu pasokan darah atau destruksi sel-sel ganglion sebagai akibat dari penyakit degeneratif sistemik dapat menyebabkan atrofi saraf optikus.

Temuan klinis berupa hilangnya ketajaman penglihatan, lapang pandang, dan penglihatan warna adalah satu-satunya gejala. Perubahan fungsi penglihatan belangsung sangat lambat dalam beberapa minggu atau bulan.

pelemahan fokal dan iregularitas kaliber pembuluh. Gambaran pada pembuluh retina yaitu produk-produk lemak kuning keabu-abuan yang terdapat di dinding pembuluh bercampur dengan warna merah kolom darah dan menghasilkan gambaran khas “kawat tembaga” (copper- wire ), hal ini mengisyaratkan arteriosklerosis tingkat sedang. Apabila sklerosis berlanjut, refleksi cahaya dinding pembuluh kolom darah mirip dengan “kawat perak”, yang mengisyaratkan arteriosklerosis berat, kadang-kadang bahkan dapat terjadi sumbatan suatu cabang arteriol (Vaughan, 2000).

Hipertensi dapat menyebabkan penyempitan arteriol fokal dan rusaknya sawar darah retina yang menyebabkan munculnya tanda kebocoran vaskuler. Ini terutama terlihat bila hipertensi bukan disebabkan oleh penyakit ginjal. Pasien sering mengeluhkan penglihatan kabur dan episode hilangnya penglihatan temporer. Terapi hipertensi dan menghindari penurunan yang dapat mempresipitasi oklusi vaskuler akan menghasilkan resolusi tanda retina. Hal ini dapat memakan waktu beberapa bulan (James, 2006).

Cara menilai status kesehatan mata:

1) Anamnesa : gejala okuler yang dirasakan, onset, riwayat okuler, riwayat medis lain yang mempengaruhi okuler (DM, hipertensi), riwayat pengobatan terhadap mata, riwayat penyakit keluarga, alergi.

3) Tes lapang pandang

4) Oftalmoskop

b. Proprioseptif

Proprioseptif merupakan bagian dari sistem sensorik yang berespon terhadap perubahan posisi dan pergerakan terutama berhubungan dengan sistem muskuloskeletal. Proprioseptor adalah reseptor yang menerima impuls primer berasal dari kumparan otot dan organ tendon, misal: otot, tendon, sendi (Kurnia, 2009). Sebagian besar informasi proprioseptif penting yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan dijalarkan oleh reseptor-reseptor sendi leher. Selain dari leher, informasi juga dapat berasal dari tapak kaki. Impuls dijalarkan oleh proprioseptor di leher dan bagian tubuh lainnya langsung ke nuklei vestibuler dan nuklei retikuler batang otak dan secara tak langsung ke serebelum (Guyton, 1997).

c. Vestibular

Salah satu organ yang mendeteksi sensasi keseimbangan adalah aparatus vestibular (Guyton, 1997). Bagian vestibula dari labirintus membranakeus terdiri dari kanalis semisirkularis, utrikulus dan sakulus. Dimana terdapat sel-sel siliaris yang menangkap rangsang keseimbangan yang bersifat gelombang (Sidharta, 1997).

Secara umum arus informasi berlangsung intensif bila ada gerakan dari kepala atau tubuh. Akibat gerakan ini menimbulkan

rambut menekuk menyebabkan permeabilitas membran sel berubah sehingga ion kalsium menerobos masuk ke dalam sel (influks) dengan akibat terjadi depolarisasi yaitu pelepasan neurotransmiter eksitator (glutamat) yang selanjutnya impuls diteruskan ke pusat di nukleus vestibularis terus ke otak kecil, korteks serebri, hipotalamus dan pusat otonomik di formasio retikularis. Selanjutnya sebagai hasilnya dikeluarkan perintah ke efektor melalui neurotransmiter inhibitor (gamalat, dopamin) (Sodeman, 1974).

Gangguan vestibular dan hubungan sentralnya, pertama-tama menghasilkan vertigo, memberikan perasaan seseorang berputar pada aksisnya sendiri atau semua disekelilingnya berputar dengan cepat. Perasaan ini menimbulkan rasa tidak mantap pada waktu berjalan dan berdiri, serta kecenderungan untuk jatuh (Duus, 1996). Vertigo dinyatakan sebagai pusing, pening, rasa berputar-putar, sempoyongan, rasa seperti melayang atau merasakan badan atau dunia sekelilingnya berputar-putar dan berjungkir balik (Sidharta, 1997).

Pengaturan keseimbangan tubuh dilakukan oleh pusat-pusat yang terletak pada semua tingkatan susunan saraf pusat, mulai dari medula spinalis hingga korteks serebri (Wibowo, 2008). Struktur dalam sistem saraf pusat yang mengendalikan berdiri dan berjalan adalah ganglia basalis, “daerah lokomotor” dalam mesensefalon, serebelum dan medula spinalis. Korteks serebral pasti penting dalam beberapa aspek berdiri dan Pengaturan keseimbangan tubuh dilakukan oleh pusat-pusat yang terletak pada semua tingkatan susunan saraf pusat, mulai dari medula spinalis hingga korteks serebri (Wibowo, 2008). Struktur dalam sistem saraf pusat yang mengendalikan berdiri dan berjalan adalah ganglia basalis, “daerah lokomotor” dalam mesensefalon, serebelum dan medula spinalis. Korteks serebral pasti penting dalam beberapa aspek berdiri dan

Serebelum merupakan komponen terpenting dalam menjaga keseimbangan tubuh. Untuk tujuan klinis, serebelum dibagi menjadi tiga garis longitudinal yang tersusun dari medial ke lateral, termasuk korteks serebelaris, substansia alba dibawahnya, dan nuklei serebelaris profunda:

1) Zona garis tengah, terdiri dari daerah vermal dengan nukleus fastigial. Lesi pada zona ini menyebabkan gangguan cara berdiri dan berjalan, ataksia tubuh, dan titubation, serta sikap kepala terputar atau terangkat.

2) Zona intermedia, daerah paravermal, dengan interposed nuklei. Lesi pada zona ini menyebabkan gejala khas terkenanya zona garis tengah maupun lateral.

3) Zona lateral terdiri dari hemisfer serebelaris dengan nukleus dentata. Lesi pada zona ini mengakibatkan gangguan pada gerakan tungkai yang terkoordinasi (ataksia), disartria, hipotonia, nistagmus, dan tremor kinetik (Harrison, 1962).

Stimulasi silia di aparatus vestibuler mengaktifkan saraf sensoris Stimulasi silia di aparatus vestibuler mengaktifkan saraf sensoris

(Fox, 2002). Pemeliharaan sikap berdiri dan gaya berjalan yang normal juga merupakan hasil kerja dari sejumlah respon refleks postural, antara lain:

1) Reaksi statik lokal yang bekerja pada tungkai itu sendiri

Meliputi refleks regangan dan reaksi penopang positif. Refleks regangan yang paling sederhana digambarkan oleh respon regangan otot, kedutan otot yang singkat dicetuskan oleh regangan

Mata

Aparatus Vestibuler

Sendi, tendo, otot, reseptor kulit

Serebelum Nukleus vestibuler

Pusat okulomotor

Sumsum Tulang Belakang Sumsum Tulang Belakang

2) Reaksi statik segmental yang menghubungkan ekstremitas secara bersamaan Termasuk reflek ekstensi menyilang dan koordinasi antar tungkai.

3) Reaksi statik umum akibat posisi kepala dalam ruangan

Terdiri dari reflek leher tonik dan labirintin, yang bersama- sama berfungsi menyesuaikan sikap tubuh ketika kepala bergerak dihubungkan terhadap tubuh dalam ruangan.

Pada waktu berjalan normal tubuh dipertahankan agar tegak, kepala sebaiknya lurus ke depan, dengan lengan bebas disamping tubuh, setiap gerakan ritmik dengan gerakan tungkai yang berlawanan. Bahu dan pinggul sejajar dan lengan berayun seimbang. Langkah sebaiknya lurus dan sama panjang. Pada setiap langkah pinggul dan lutut fleksi secara halus, pergelangan tangan dorsofleksi, dan kaki melintasi tanah dengan mudah. Mula-mula tumit mencapai tanah dan berat badan dialihkan secara berturut-turut pada telapak kaki dan selanjutnya pada jari kaki. Kepala dan tubuh agak berotasi pada setiap langkah tanpa terhuyung-huyung atau gerakan jatuh (Harrison, 1962).

Ketidakseimbangan atau disequilibrium, yang juga disebut ketidakmantapan, ketidakstabilan, dan inkoordinasi, tanpa vertigo merupakan ‘dizziness’ tersering (Thane, 1991). Gangguan keseimbangan dinyatakan sebagai pasien merasa tidak seimbang (subyektif) dan atau pasien terlihat tidak seimbang (obyektif) (Bronstein, 2006). Pasien sering mengeluhkan pusing untuk menyatakan perasaan tidak seimbang sewaktu berdiri atau berjalan serta dirasakan tidak ada hubungan dengan sakit kepalanya (Joesoef, 2002).

Pusing dapat merupakan manifestasi berbagai gangguan atau penyakit di bidang neurologi, otologi, kardiologi, oftalmologi, psikiatri atau kelainan iatrogenik. Oleh sebab itu keluhan pusing harus dievaluasi secara sistematis dan komprehensif untuk mencari penyebab yang mendasarinya agar pengobatan dapat optimal (Mansjoer, 2000). Contohnya keadaan setelah sembuh dari penyakit demam, operasi, gizi buruk. Selain itu bisa disebabkan oleh anemia, hipotensi, hipertensi, mengeluarkan tenaga sambil membungkuk, sewaktu menderita menstruasi bagi wanita, dan setelah minum alkohol sedikit terlalu banyak (Sidharta, 1997).

a. Patogenesis

Kondisi yang mengganggu baik input sensorik maupun output motorik dapat menimbulkan ketidakseimbangan tubuh.

Ketidakseimbangan umumnya multifaktorial, pasien mungkin mempunyai kombinasi abnormalitas minor yang menghasilkan ketidakseimbangan yang signifikan, walaupun setiap abnormalitas yang ada sepertinya tidak menimbulkan masalah yang serius (Gelb, 1995).

c. Klasifikasi

Berdasarkan episode gejala yang timbul, gangguan keseimbangan dibagi menjadi:

1) Ketidakseimbangan kronis

Dapat disebabkan oleh gangguan sistem vestibular dan juga tidak jarang disebabkan oleh kelainan nonvestibular. Kelainan vestibular yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan kronis antara lain ataksia herediter. Sedangkan kelainan nonvestibular yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan kronis adalah degenerasi subakut, sebab-sebab psikogen.

2) Episode ketidakseimbangan tunggal spontan dan berlangsung lama

3) Serangan gangguan keseimbangan spontan berulang, antara lain iskemia arteria vertebrobasilaris

4) Ketidakseimbangan sikap

Terdiri dari ketidakseimbangan sikap idiopatik dan akibat kelainan komplek nukleus vestibularis serebelum (Gelb, 1995). Adapun klasifikasi yang lain :

Gangguan terjadi akibat lesi intrinsik pada serebelum atau dari lesi pada jalur penghubung ke dan dari serebelum. Orang yang terkena biasanya berdiri dengan tungkai bawah terpisah, dan berdiri dapat mencetuskan titubation, tremor badan yang kasar ke depan dan belakang. Usaha berdiri dengan kaki rapat menyebabkan badan bergoyang atau jatuh. Jika terdapat gangguan gaya berjalan ringan, berjalan akan memburuk ketika berusaha berjalan tandem dalam garis lurus.

Jika penyakit terbatas pada bagian garis tengah (vermal), gangguan cara berdiri dan gaya berjalan dapat terjadi tanpa tanda disfungsi selebelar lainnya seperti ataksia atau nistagmus. Sebaliknya, penyakit hemisfer serebelum, baik unilateral maupun bilateral, seringkali menyebabkan ataksia tungkai yang nyata dan nistagmus dalam hubungannya dengan gangguan gaya berjalan.

2) Ataksia sensoris

Gangguan gaya berjalan yang khas akibat hilangnya sensasi pada ekstrimitas bawah disebabkan oleh proses penyakit pada saraf-saraf perifer, radiks dorsalis, kolumna dorsalis medula spinalis atau lemnikus medialis. Pasien tidak sadar akan posisi ekstrimitas bawahnya dan akibatnya adalah kesulitan pada waktu berdiri dan berjalan. Pasien berjalan dengan tungkai bawah terpisah lebar, memperhatikan tanah dengan hati-hati. Jika penglihatan Gangguan gaya berjalan yang khas akibat hilangnya sensasi pada ekstrimitas bawah disebabkan oleh proses penyakit pada saraf-saraf perifer, radiks dorsalis, kolumna dorsalis medula spinalis atau lemnikus medialis. Pasien tidak sadar akan posisi ekstrimitas bawahnya dan akibatnya adalah kesulitan pada waktu berdiri dan berjalan. Pasien berjalan dengan tungkai bawah terpisah lebar, memperhatikan tanah dengan hati-hati. Jika penglihatan

Pasien tetap stabil jika diminta berdiri dengan kaki rapat dan mata terbuka tetapi bergoyang dan sering kali jatuh (tanda Romberg positif) jika mata ditutup.

3) Ataksia lobus frontalis

Penyakit lobus frontalis bilateral menyebabkan gaya berjalan yang khas yang biasanya disertai dengan demensia dan lobus frontalis melepaskan tanda, meliputi refleks memegang, mengisap dan mencucur. Pasien berdiri secara khas dengan kaki terpisah lebar dan hanya melakukan langkah pertama setelah lama. Keraguan ini diikuti dengan langkah kaki diseret sangat kecil dan selanjutnya dengan beberapa langkah dengan amplitudo sedang.

Pasien biasanya hanya dapat melakukan gerakan ekstrimitas ketika berbaring terlentang. Gangguan gaya berjalan dengan penyakit lobus frontalis adalah bentuk apraksia, misalnya gangguan dalam penampilan fungsi motorik tanpa adanya kelemahan otot yang diperlukan untuk berfungsi.

4) Gangguan pada lansia

Perubahan gaya berjalan dan kesulitan keseimbangan terjadi dengan bertambahnya usia. Pria tua mengalami fleksi ke depan dari tubuh bagian atas dengan fleksi lengan dan lutut, ayunan lengan berkurang, dan panjang langkah memendek. Wanita Perubahan gaya berjalan dan kesulitan keseimbangan terjadi dengan bertambahnya usia. Pria tua mengalami fleksi ke depan dari tubuh bagian atas dengan fleksi lengan dan lutut, ayunan lengan berkurang, dan panjang langkah memendek. Wanita

5) Gangguan neuron motorik bawah

Penyakit pada neuron motorik bawah atau saraf perifer secara khas menyebabkan kelemahan tungkai distal. Drop Foot adalah manifestasi umum. Pasien biasanya tidak dapat melakukan dorsofleksi kaki dan mengkompensasikannya dengan mengangkat lutut lebih tinggi dari biasanya. Jika otot proksimal terkena, gaya berjalan juga diseret.

6) Gangguan keseimbangan histerikal (mendadak)

Gangguan gaya berjalan histerikal biasanya terjadi dalam hubungannya dengan paralisis histerik dari satu tungkai atau lebih. Pasien biasanya mengkontraksikan otot-ototnya dengan dengan sangat lambat ketika diminta, menunjukkan konsentrasi dan usaha yang kuat untuk menimbulkan kontraksi. Tanda obyektif dari penyakit neurologik tidak ada.

Pasien histeris dapat jatuh ketika berjalan, tetapi hanya jika dokter atau anggota keluarga berdiri di dekatnya sehingga dapat menangkap pasien atau jika tersedia benda lunak mengurangi rasa sakit jika jatuh. Gangguan gaya berjalan biasanya dramatik jika ada penonton, dan pasien dapat menunjukkan ketangkasan dalam penyesuaian sikap tubuh cepat yang terjadi.

Kelemahan otot-otot yang nyata dari tubuh dan bagian proksimal tungkai bawah yang menyebabkan cara berdiri dan gaya berjalan yang khas. Ketika berusaha bangkit dari posisi duduk, individu yang terkena akan membungkuk ke depan, tubuh fleksi pada pinggul, meletakkan tangan pada lutut, dan mendorong tubuh ke atas dengan menggerakkan tangan keatas pada paha.

8) Khorea

Gerakan khoreik terdiri dari gerakan cepat intermiten wajah, tubuh, leher dan tungkai. Gerakan fleksi, ekstensi, dan rotasi dari leher terjadi bersamaan dengan gerakan wajah menyeringai, gerakan melingkar dari tubuh dan tungkai, dan gerakan jari-jari bermain piano yang cepat. Pasien mengerutkan dahi, merengut dan tersenyum secara tidak sadar. Berjalan biasanya menambah gejala khoreik.

9) Kelumpuhan serebral

Istilah ini meliputi sejumlah abnormalitas motorik yang berbeda, sebagian besar dari abnormalitas ini akibat cidera iskemik hipoksia pada sistem saraf pusat dalam periode perinatal. Beratnya gangguan berjalan bervariasi dengan sifat dan luasnya lesi. Atetosis sering terjadi dan terdiri dari gerakan berkelok-kelok lambat atau agak cepat dari lengan dan tungkai bawah, dengan Istilah ini meliputi sejumlah abnormalitas motorik yang berbeda, sebagian besar dari abnormalitas ini akibat cidera iskemik hipoksia pada sistem saraf pusat dalam periode perinatal. Beratnya gangguan berjalan bervariasi dengan sifat dan luasnya lesi. Atetosis sering terjadi dan terdiri dari gerakan berkelok-kelok lambat atau agak cepat dari lengan dan tungkai bawah, dengan

Lesi terbatas ringan dapat mengakibatkan meningkatnya refleks tendo profunda dan respons ekstensor plantaris dengan derajat talipes equinovarus ringan, tanpa gangguan gaya berjalan yang jelas. Lesi yang lebih berat dan luas biasanya mengakibatkan hemiparesis bilateral. Pasien berdiri dan berjalan dengan sikap tubuh dan gaya berjalan paraparetik. Lengan adduksi pada bahu dan fleksi pada siku dan pergelangan tangan (Harrison, 1962).

d. Gejala Klinik

Ketidakseimbangan bisa bervariasi dari ringan dan hampir tidak terlihat pengamat sampai ataksia hebat dengan inkoordinasi gerakan volunter yang jelas, antara lain :

1) ketidakseimbangan sewaktu berdiri atau berjalan

2) ketidakseimbangan kronis akibat kelainan otak biasanya disertai dengan nistagmus kasar di semua lapang pandang

3) terdapat kelemahan gaya berjalan mantap (‘tandem’)

4) tidak mantap sewaktu memutar tubuh

5) gaya berjalan dengan jarak kedua kaki yang lebar

6) tidak dapat mempertahankan keseimbangan di tempat gelap

7) dapat disertai dengan gejala serupa seperti vertigo yang meliputi nausea, vomitus, diare, pucat, berkeringat banyak tetapi gejala penyerta ini kurang jelas dibandingkan vertigo. Dengan kata lain, 7) dapat disertai dengan gejala serupa seperti vertigo yang meliputi nausea, vomitus, diare, pucat, berkeringat banyak tetapi gejala penyerta ini kurang jelas dibandingkan vertigo. Dengan kata lain,

e. Tes-Tes Penunjang untuk Menentukan Gangguan Keseimbangan

1) Tes romberg

Tes ini digunakan untuk mengetahui adanya kelainan di funikulus dorsalis. Penderita berdiri tegak dengan mata terbuka atau tertutup. Tangan dan kaki rapat berimpit samping lalu berdiri selama 20 sampai 30 detik. Tes Romberg dinilai positif bila dengan mata terbuka atau tertutup penderita bergoyang atau jatuh.

2) Modifikasi romberg

Jalan di tempat, mata tertutup, tangan lurus ke depan, angkat kaki setinggi-tingginya selama satu menit.

3) Babinsky well

Berjalan dengan mata tertutup tiga langkah atau 30 detik lurus ke depan, lalu disuruh berbalik.

4) Barany

Penderita duduk di kursi, mata tertutup menunjukkan sesuatu sampai 20 kali, tidak boleh bersandar. Modifikasi dari Barany yaitu dengan menyatukan kedua ujung telunjuk tangan kanan dan kiri (Sudarman, 1994).

5) Finger to Finger Test

Dengan mata terbuka atau tertutup kedua tangan direntangkan lalu saling mempertemukan kedua telunjuk. Pada Dengan mata terbuka atau tertutup kedua tangan direntangkan lalu saling mempertemukan kedua telunjuk. Pada

6) Writing Test

Dengan mata tertutup, kepala menghadap ke muka, penderita diminta untuk menulis huruf-huruf sepanjang 20 cm atau

15 kata. Pada garis vertikal yang lurus, posisi kepala bisa berubah menjadi ekstensi atau fleksi menurut tujuannya. Pada waktu menulis tangan harus bebas tidak boleh mengendur. Pada penderita dengan gangguan serebelum akan tampak gambaran seperti bentuk huruf yang kacau (ataksia).

7) Tes Kalori

Tes ini digunakan untuk mengetahui adanya gangguan di pons atau untuk mengetahui refleks okulovestibularis. Caranya yaitu dengan merangsang meatus akustikus internus dengan air panas (44°C). Tes ini dinilai positif bila ada gerakan mata cepat

kearah telinga yang dirangsang. Ahli THT yang memiliki Elektronistagmografi (ENG) dapat melakukan tes kalori bitermal. (Cody, 1981).

5. Hubungan Antara Hipertensi Dengan Gangguan Keseimbangan

Aliran darah otak dipengaruhi terutama oleh 3 faktor yaitu tekanan untuk memompakan darah dari sistem arteri-kapiler ke sistem vena, tahanan perifer pembuluh darah otak dan faktor darah itu sendiri

Tekanan darah arterial fluktuatif, walaupun demikian tekanan arteriolar-kapiler otak konstan. Ketika tekanan darah arterial meningkat, arteriole otak konstriksi, derajatnya bergantung kenaikan tekanan darah. Jika berlangsung dalam periode singkat dan tekanan tidak terlalu tinggi maka tidak berbahaya. Namun bila berlangsung bulan sampai tahun dapat terjadi hialinisasi otot pembuluh darah dan diameter lumen menjadi tetap. Hal ini merupakan salah satu bentuk penyakit degeneratif yang merupakan salah satu penyebab penyakit saraf. Pada gangguan ini, satu atau lebih komponen sistem saraf menjadi malfungsi setelah berfungsi normal beberapa tahun serta bersifat kronis, difus dan progresif (Gelb, 1995).

Hipertensi kronis dapat menimbulkan ketidakseimbangan ketika terjadi lesi periventrikuler yang mempengaruhi serat sensoris dan motoris yang menghubungkan area korteks dengan talamus, ganglia basalis, serebelum dan medula spinalis (Bronstein, 2006). Dimana pengaturan keseimbangan merupakan fungsi gabungan dari bagian serebelum, substansia retikuler dari medula, pons, dan mesensefalon (Guyton, 1997).

tekanan CO2 arterial dan hipertensi.

Hipocapinea

Normotensi Hipertensi

Normokapnea Hipercapnea

( mean ) blood pressure (mm Hg)

Cerebral perfusion (me/min/100 g)

(Hennerici, 1991). Dari diagram diatas terlihat bahwa hipertensi kronis menyebabkan penurunan perfusi darah ke otak. Jika perfusi turun, membrane potensial juga akan turun. Hipoksia dan hipoglikemia akan mempunyai konsekuensi patologis. Karena kurangnya oksigen, produksi energi melalui siklus asam sitrat untuk memproduksi ATP akan turun. Selain itu akan menimbulkan asidosis yang mempengaruhi fungsi enzim di otak (Hennerici, 1991).

Hipertensi Kronis

Jumlah curah jantung ke otak meningkat

Dinding arteriol kecil dan kapiler otak menebal serta tetap terkonstriksi sepanjang

waktu

Penurunan aliran darah ke otak

Berlangsung bertahun-tahun

Hipoglikemi dan hipoksia menahun

menurunkan fungsi neuron otak

Gangguan pusat keseimbangan

Gangguan Keseimbangan

Berdasarkan tinjauan pustaka diatas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah ada hubungan antara hipertensi kronis dan gangguan keseimbangan dengan mekanisme penurunan fungsi neuron pada pusat keseimbangan.

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional. Yaitu penelitian yang dilakukan dengan pengamatan sesaat atau dalam satu periode tertentu dan setiap subyek studi hanya dilakukan satu kali pengamatan selama penelitian.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Poliklinik Rawat Jalan Saraf RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

C. Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan tanggal 01-30 Agustus 2009.

D. Subyek Penelitian

Yang dimaksud populasi adalah semua pasien di poli rawat jalan saraf RSUD. Dr. Moewardi Surakarta.

E. Teknik Sampling

Sampel diambil dengan cara Purposive Random Sampling dimana semua individu yang memenuhi kriteria dalam populasi secara sendiri-sendiri Sampel diambil dengan cara Purposive Random Sampling dimana semua individu yang memenuhi kriteria dalam populasi secara sendiri-sendiri

1. Penderita hipertensi dan normotensi

2. Usia 40-80 tahun

3. Tidak mempunyai faktor resiko gangguan keseimbangan yang lain, seperti: gangguan telinga, penglihatan, proprioseptif maupun penyakit yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan seperti neuropati perifer, miopati, stroke, diabetes melitus, parkinson, trauma kapitis, trauma medula spinalis, Atrial fibrilasi.

4. Bersedia ikut dalam penelitian Penentuan besar sampel pada penelitian ini menurut Slovin dengan rumus sebagai berikut :

n = Za 2 .p.q

Keterangan : p = perkiraan prevalensi penyakit yang diteliti atau paparan pada populasi

q = 1-p

d = presisi absolut yang dikehendaki pada kedua sisi proporsi populasi Za 2 = nilai statistik pada kurve normal standar pada tingkat kemaknaan (Murti, 2003). Dengan rumus diatas maka sampel yang digunakan pada penelitian

ini, dengan menggunakan prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 8.3% (Karyadi, 2002) adalah 116 sampel, yang pada penelitian ini digunakan 120

Tes Romberg

Gangguan Keseimbangan +

Gangguan Keseimbangan -

Populasi

Hipertensi

Wawancara dan Pemeriksaan

Tekanan Darah

Tidak menderita gangguan penglihatan, gangguan vestibuler, gangguan proprioseptif, DM, stroke, neuropati, miopati, parkinson, trauma kapitis, trauma medula

spinalis, atrial fibrilasi

Normotensi

1. Variabel Bebas : Hipertensi kronis

2. Variabel Terikat : Gangguan keseimbangan

3. Variabel Pengganggu

a. Terkendali : Usia, gangguan penglihatan, gangguan proprioseptif, gangguan vestibuler, diabetes, stroke, neuropati, miopati, parkinson, trauma kapitis, trauma medula spinalis

b. Tidak terkendali : Genetik, subyektifitas respoden dalam menjawab pertanyaan dalam wawancara.

H. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Hipertensi Kronis Kriteria hipertensi adalah kenaikan tekanan darah dimana TDS ³

140mmHg dan TDD ³ 90mmHg selama beberapa tahun. Dibuktikan dengan pengukuran tekanan darah. Skala pengukuran adalah nominal.

2. Gangguan Keseimbangan Pasien mengalami gangguan keseimbangan sentral yang dibuktikan dengan tes Romberg. Dimana pasien yang mengalami gangguan keseimbangan sentral, maka saat dilakukan tes romberg pasien akan goyah ke arah depan dan belakang.

3. Usia Saat mencapai usia 40 tahun, komplikasi hipertensi mulai tampak. Sumber : rekam medik.

Gangguan penglihatan yang dapat mempengaruhi keseimbangan berupa kurangnya ketajaman penglihatan dan lapang pandang. Gangguan penglihatan pada pasien dilihat dari apakah ada strabismus atau tidak, serta perbedaan visus mata kanan dan kiri. Sumber : rekam medik. Jika data rekam medik mengenai gangguan penglihatan tidak ada maka dilakukan tes lapang pandang untuk mengetahui adanya gangguan penglihatan.

4. Gangguan vestibular

mempengaruhi keseimbangan, terutama berupa vertigo yaitu pasien merasa dirinya atau lingkungan sekelilingnya berputar. Dibuktikan dengan tes Romberg. Jika pasien mengalami gangguan vestibuler, maka pasien akan goyah ke arah kanan dan kiri.

5. Diabetes Melitus (DM) Pasien dinyatakan menderita diabetes mellitus jika glukosa darah sewaktu lebih dari 200 mg/dl dan kadar glukosa darah puasa lebih dari 126 mg/dl. Sumber: rekam medik/Hasil pemeriksaan laboratorium.

5. Stroke Pasien stroke mempunyai gejala berupa gangguan fungsi otak secara fokal maupun global, yang dapat menimbulkan kematian atau 5. Stroke Pasien stroke mempunyai gejala berupa gangguan fungsi otak secara fokal maupun global, yang dapat menimbulkan kematian atau

6. Neuropati perifer Pada neuropati perifer, pasien merasa kulit pada tangan dan kaki menebal serta terdapat parestesi. Sumber: rekam medik.

Jika tidak terdapat data mengenai neuropati perifer pada rekam medik maka dilakukan Froments Sign Test dan Finger Flexion Sign Test. Pasien dengan neuropati perifer, pada kedua tes tersebut tidak dapat menahan kertas diantara dua jarinya.

7. Miopati Pasien dengan miopati mempunyai gejala utama berupa otot-otot proksimal (otot yang dekat sumbu tubuh) menjadi lemah dan atrofi. Sumber: rekam medik.

Jika data rekam medik mengenai miopati tidak ada maka dilakukan tes untuk mengetahui adanya miopati. Bila ada kelemahan otot terjadi penurunan tangan atau kaki saat saat dilakukan tes ini (mengangkat tangan dan kaki pada posisi duduk dengan mata tertutup).

8. Parkinson Penyakit ini ditandai dengan kekakuan pada banyak otot tubuh, tremor involunter, kesulitan yang serius dalam memulai gerakan (akinesia).

9. Trauma kapitis Pasien dikatakan menderita trauma kapitis apabila terdapat perlukaan di bagian luar atau dalam kepala, serta terdapat riwayat trauma kepala masa lalu. Sumber: rekam medik.

10. Trauma medula spinalis Terdapat perlukan pada medula spinalis maupun adanya manifestasi luka traumatik medula spinalis. Sumber: rekam medik.

12. Atrial fibrilasi (AF) Gejala yang umum terjadi pada AF adalah palpitasi, detak jantung yang tidak teratur dan cepat. Gejala lain yang dapat terjadi berupa pusing, lemah, nafas pendek dan angina. Sumber: rekam medik.

Jika tidak terdapat data mengenai adanya atrial fibrilasi pada rekam medik maka dilakukan pemeriksaan nadi dan denyut jantung. Pasien dengan atrial fibrilasi, pada pemeriksaan tersebut terjadi denyut nadi yang tidak teratur serta denyut nadi tidak sinkron dengan detak jantung.

I. Instrumen Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah

1. Sphygnomanometer air raksa merk ABN dengan satuan mmHg

2. Stetoskop ABN

1. Melihat riwayat penyakit yang diderita pasien dalam buku rekam medis untuk mengetahui apakah menderita DM, penyakit jantung (atrial fibrilasi), stroke, parkinson.

2. Pengukuran secara langsung tekanan darah pasien di Poliklinik Rawat Jalan Saraf RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Cara pengukuran tekanan darah :

a. Pasien berbaring santai di kamar yang tenang sedikitnya 5 menit sebelum pengukuran. Mereka tidak boleh merokok atau minum kopi minimal 30 menit sebelumnya.

b. Memasang manset (cuff) menutup sedikitnya 80% dari lingkar lengan penderita denagn lengan tidak tertutup pakaian dan disangga setinggi jantung.

c. Meraba denyut nadi arteri brakhialis, kemudian stetoskop diletakkan di daerah tersebut.

d. Mengencangkan sekrup pada balon lalu cuff dipompa sampai 20-30 mmHg diatas TDS, kemudian tekanan diturunkan 3 mmHg per detik. Sebagai TDD diambil Korotkoff fase V.

e. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila dari pengukuran tersebut dan rekam medis diperoleh nilai rata-rata TDD ³ 90 mmHg dan/ atau TDS ³ 140 mmHg (Ganiswarna, 2001).

3. Wawancara Memberikan pertanyaan mengenai riwayat hipertensi kronis yang dialami

4. Pemeriksaan Fisik

a. Tes Penglihatan Menggunakan pemeriksaan lapang pandang.

b. Tes Vestibular Adanya kelainan vestibular ditunjukkan dengan hasil tes Romberg positif saat mata tertutup, dimana pasien bergoyang ke arah kanan-kiri.

c. Tes Proprioseptif Pasien diminta untuk duduk dengan mengangkat kedua lengan dan kedua kaki serta mata tertutup, maka pada kelainan proprioseptif akan terjadi kenaikan lengan atau kaki.

d. Neuropati Dilakukan Froments Sign Test yaitu pasien diminta meletakkan lengan di meja sambil mengekstensikan tangan secara maksimal kemudian diminta menahan kertas dengan jari-jarinya. Selain itu juga dilakukan Finger Flexion Sign Test yaitu dengan cara pasien diminta meletakkan lengan dengan relaks kemudian menahan kertas diantara kedua jarinya.

e. Miopati Pasien diminta duduk di kursi dan angkat kedua lengan serta kedua kaki dengan mata tertutup. Bila ada kelemahan otot terjadi penurunan tangan atau kaki.

data yang diperoleh untuk mengelompokkan dari subyek penelitian mana yang tergolong gangguan keseimbangan dan tidak mengalami gangguan keseimbangan.

K. Teknik Analisa Data

Data dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan uji chi square. Batas kemaknaan yang dipakai adalah taraf signifikasi (µ) = 0,05 atau dalam tabel interval kepercayaan 95%. Selanjutnya untuk mengetahui tingkat hubungan antara hipertensi kronis dengan gangguan keseimbangan menggunakan metode ukuran asosiasi dengan Odds Rasio serta uji kontingensi.

1) Tabel hipertensi kronis dengan gangguan keseimbangan

Sampel

Gangguan Keseimbangan

Tidak Gangguan Keseimbangan

Total

Hipertensi Kronis

a b a+b

Tidak Hipertensi Kronis

a+b+c+d Keterangan :

a = Pasien hipertensi kronis dengan gangguan keseimbangan

b = Pasien hipertensi kronis tanpa gangguan keseimbangan

2) Uji Chi Square ( x 2 ) n (ad-bc) 2

x 2 = (a+b)(c+d)(a+c)(b+d)

Dengan : x 2 : nilai chi square

a, b, c, d : frekuensi kebebasan

Ketentuan :

Ho ditolak bila x 2 hitung > x 2 tabel Ho diterima bila x 2 hitung < x 2 tabel

3) Odds Rasio

Untuk mengetahui tingkat kekuatan hubungan antara hipertensi menahun dengan gangguan keseimbangan. OR = ad

bc

Dengan : OR : Nilai ODDS Rasio

a, b, c, d : frekuensi kebebasan

Ketentuan : Ada hubungan antara hipertensi kronis dengan gangguan keseimbangan jika OR > 2.

Dengan : C : Nilai kontingensi

N : Jumlah sampel

X 2 : Nilai uji chi square

HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada tanggal 01-30 Agustus 2009. Subyek penelitian sebanyak 120 orang dengan perincian 66 orang subyek penelitian kasus dan 54 orang subyek penelitian kontrol. Penentuan sampel menggunakan cara purposive random sampling yang disajikan sebagai berikut

Tabel 2. Distribusi hipertensi kronis dan normotensi menurut jenis kelamin. Jenis

Kelamin

Hipertensi Kronis

Jumlah % Laki-laki Perempuan

120 100 (Data Primer, Agustus 2009)

Berdasar tabel 2 diatas tampak bahwa menurut jenis kelamin didapatkan kejadian hipertensi kronis pada laki-laki sebanyak 28 sampel (42.4%) dan pada perempuan sebanyak 38 sampel (57.6%). Sedangkan pada kejadian normotensi pada laki-laki sebanyak 17 sampel (31,5%) dan perempuan sebanyak 37 sampel (68.5%).