PENGARUH PERUBAHAN CUACA EKSTREM TERHADA

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PENYEBARAN PENYAKIT
FLU BURUNG PADA HEWAN DAN MANUSIA” untuk memenuhi tugas mata
kuliah Metode Ilmiah. Selain itu, tujuan penulis menyusun makalah ini adalah
untuk lebih menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan
terlebih saat musim pancaroba atau perubahan iklim demi menurunkan risiko
penyebaran penyakit flu burung.
Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada setiap pihak yang
telah membantu proses penyelesaian makalah ini. Penulis menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran sangat penulis harapkan. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.

Sumedang, 21 Maret 2017

Penulis

1|Page


DAFTAR ISI
Kata pengantar…………………………………………………………………..1
Daftar isi………………………………………………………………………...2
Bab I Pendahuluan…………………………………….…………...…………....3
I.I

Latar Belakang…………………........………………...……………3

I.II

Perumusan Masalah……………………………….......…………....4

I.III Tujuan Penulisan…………………………………………………...4
I.IV Hipotesis…………………………………………………………....4
I.V

Metode Penelitian………………………………………………..…5

Bab II Pembahasan…………………………………………………………..….6

II.I

Flu Burung (Avian Influenza)…………………………………..….6
II.I.I

High Pathogenic Avian Influeanza (HPAI)………..…...7

II.I.II

Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI)………...…….9

II.II Gejala Penyakit……………………………………………...……..10
II.II.I

Pada Hewan……………………………………...……..10

II.II.I

Pada Manusia………………………………......……….13


III.II Upaya Pencegahan………………………………………...……….17
Bab III Penutup……………………………………………………......…….....18
III.I Kesimpulan……………………………………………..…………18
Daftar Pustaka……………………………………………………...…………..20

2|Page

BAB I
PENDAHULUAN

I.I.

LATAR BELAKANG
Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara, maka

setiap negara berlomba-lomba semaksimal mungkin untuk mengeksploitasi
sumber daya alam, baik yang ada dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini
memang terbukti dapat meningkatkan perekonomian global dimana sektor
pertambangan menjadi komoditas perdagangan utama. Termasuk juga hasil hutan
yang menjadi komoditas andalan bagi beberapa negara berkembang yang

memiliki luas hutan cukup luas.
Akan tetapi, eksploitasi berlebihan yang dilakukan oleh beberapa negara
telah memicu perubahan fenomena alam diantaranya adalah naiknya permukaan
air laut, mencairnya es kutub, dan perubahan iklim dunia. Fenomena-fenomena
tersebut dipicu oleh maraknya industri primer, industri manufaktur, dan
meningkatnya sektor transportasi global.
Dampak dari pemanasan global dan perubahan iklim ini diantaranya akan
menimbulkan perubahan musim, terjadinya iklim yang ekstrem, banjir di suatu
tempat yang disertai dengan kekeringan di tempat lain, serta perubahan suhu dan
kelembapan udara. Keadaan ini dapat memicu perubahan kehidupan biologis
berbagai agen patogen seperti virus, bakteri, parait, dan juga berbagai spesies
hewan sebagai vektor seperti nyamuk dan lalat yang dapat menularkan penyakit
ke berbagai hewan. Tentunya kondisi seperti ini juga dikhawatirkan dapat
melahirkan penyakit baru atau memunculkan kembali penyakit lama. Oleh karena
itu, tulisan ini akan mengulas kemungkinan munculnya penyakit zoonosis,
terutama flu burung (avian influenza) terkait dengan terjadinya pemanasan global
dan perubahan iklim ekstrem.

3|Page


I.II.

PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan yaitu :

1. Apa pengertian penyakit flu burung?
2. Bagaimana karakteristik gejala dari hewan dan manusia yang tejangkit flu
burung?
3. Bagaimana pengaruh perubahan iklim terhadap penyebaran penyakit flu
burung?
4. Bagaimana cara pencegahan penyakit flu burung terlebih ketika perubahan
iklim akibat pemanasan global?

I.III. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
a. Untuk memenuhi tugas mata kuliah metode ilmiah.
b. Untuk memperoleh pengetahuan mengenai penyakit flu burung.
c. Untuk mengetahui karakteristik gejala dari hewan dan manusia yang
tejangkit flu burung.
d. Untuk mengetahui perubahan iklim terhadap penyebaran penyakit flu

burung.
e. Untuk mengetahui cara pencegahan penyakit flu burung terlebih ketika
perubahan iklim akibat pemanasan global.

I.IV.

HIPOTESIS
Adapun hipotesis (jawaban sementara) dalam makalah ini adalah :



Penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus H5N1 dapat berkembang
atau menyebar lebih cepat ketika terjadi perubahan cuaca ekstrem atau
terjadi perubahan iklim karena pada saat tersebut virus dapat bertahan
hidup lebih lama sementara ungags dan/atau manusia mengalami
penurunan sistem imunitas.

4|Page

I.V.


METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah dengan melalui
dua cara yaitu :
1. Studi pustaka
Dilakukan dengan mencatat data yang dibutuhkan dari pustaka-pustaka
yang ada.
2. Pencarian data
Dilakukan dengan mencari data atau informasi tentang flu burung dari
sumber di berbagai website di internet.

5|Page

BAB II
PEMBAHASAN

II.I.

FLU BURUNG (AVIAN INFLUENZA)

Avian Influenza (AI) atau yang lebih dikenal dengan flu burung

disebabkan oleh virus influenza tipe A. Virus influenza termasuk famili
Orthomyxoviridae. Virus influenza tipe A dapat berubah-ubah bentuk (Drift,
Shift), dan dapat menyebabkan epidemi dan pandemi. Virus influenza tipe A
terdiri dari Hemaglutinin (H) dan Neuramidase (N), kedua huruf ini digunakan
sebagai identifikasi kode subtipe flu burung yang banyak jenisnya. Pada manusia
hanya terdapat jenis H1N1, H2N2, H3N3, H9N2, H1N2, H7N7. Sedangkan pada
hewan H1-H5 dan N1-N9. Strain yang sangat virulen/ganas dan menyebabkan flu
burung adalah dari subtipe A H5N1 (Kemenkes RI, 2005 dalam Novitri, 2014).
Virus AI dapat menyebar dengan cepat di antara populasi unggas dengan
kematian tinggi. Penyakit ini menular dengan melalui beberapa cara, yaitu antarternak unggas, ternak-manusia, dan antar-manusia (Yudhastuti dan Sudarmaji
2006 dalam Novitri, 2014). Penyakit Avian Influenza (AI) sangat berbahaya
karena menyebabkan kematian unggas secara mendadak dan menyebar secara
cepat. Penyakit ini dapat menyerang semua jenis ternak unggas termasuk ayam
lokal, dan yang lebih menakutkan lagi bahwa AI dapat menular pada manusia dan
menyebabkan kematian (Zainuddin dan Wibawan, 2008 dalam Novitri, 2014).
Selain mengakibatkan kematian, kejadian wabah AI juga memberikan
dampak yang besar di berbagai sektor, diantaranya industri dan peternakan rakyat.
Virus AI menyerang industri unggas di Indonesia tahun 2003 telah memberikan

dampak ekonomi yang sangat luas. Angka kematian unggas mencapai 6-10 juta
ekor dan terjadi penurunan produksi daging dan telur hingga 30-40%. Kematian
unggas dan penurunan produksi telur dan daging mengakibatkan menurunnya

6|Page

permintaan telur dan daging. Kerugian besar juga terjadi pada pembibit yang
dalam produksi DOC untuk ekspor dan pasar dalam negeri terpaksa menganggur
(Basuno, 2008 dalam Novitri, 2014).
Hewan-hewan yang dapat terjangkit flu burung adalah Ayam, itik, angsa,
ayam kalkun, ayam mutiara, burung puyuh, burung kuau, burung merpati,
“burung penyanyi” dan banyak burung liar lainnya dapat dijangkiti oleh virusvirus ini. Bergantung kepada virus atau induk semangnya, ternak-ternak unggas
tersebut akan atau tidak akan memperlihatkan tanda-tanda klinis.
Penyebab dan tingkat keganasan penyakit flu burung berbeda-beda dan
menunjukkan beberapa bentuk yang berbeda, diantaranya adalah :


Tanda-tanda klinis yang umum dan parah = High Pathogenic (HPAI)




Tanda-tanda klinis pada pernafasan dan ringan = Low Pathogenic (LPAI)



Tidak ada tanda-tanda klinis.

II.I.I High Pathogenic Avian Influeanza (HPAI)
Patogenesis sebagai sifat umum virus dalam virus influenza A merupakan
bakat filogenik dan sangat bergantung pada sebuah konstelasi gen yang ‘optimal’
yang mempengaruhi antara lain tropisme (reaksi ke arah atau menjauhi stimulus)
dari jaringan dan pejamu, efektivitas replikasi dan mekanisme penghindaran
imunitas. Selain itu faktor spesifik pada tiap spesies berperanan juga terhadap
hasil suatu infeksi, yang terjadi setelah penularan antar spesies, dan karenanya
tidak dapat diduga sebelumnya (Budiman, 2005).
Proses timbulnya penyakit flu burung dalam perjalanan penyakit
dipengaruhi oleh sifat-sifat mikroorganisme sebagai agen penyebab penyakit.
High Pathogenic Avian Influenza (HPAI) adalah peningkatan kemampuan

7|Page


mikroorganisme (avian virus influenza) untuk menimbulkan penyakit flu burung
pada manusia atau dalam kondisi virus influneza unggas yang sangat patogen
yang sampai saat ini secara eksklusif ditimbulkan oleh subtipe H5 dan H7
(Budiman, 2005).
Dalam kenyataannya hanya sebagian kecil subtipe H5 dan H7 yang
menunjukan subtipe yang sangat patogen. Biasanya virus-virus H5 dan H7
bertahan stabil dalam pejamu alaminya dalam bentuk yang berpatogenesis rendah.
Dari resevoir ini virus dapat ditularkan melalui berbagai jalan ke kawanan unggas
ternak. Setelah masa sirkulasi yang bervariasi dan tidak pasti (dan barang kali juga
beradaptasi) dalam populasi unggas yang rentan, virus-virus tersebut dapat secara
melompat mengalami mutasi menjadi bentuk yang sangat patogen (Rohm, et al.
1995 dalam Budiman, 2005).
Setelah masa tunas yang biasanya berlangsung selama beberapa hari
(jarang sampai 21 hari), bergantung pada karakteristik isolat, dosis inokulum,
spesies dan usia unggas, gambaran klinis influenza unggas pada burung bervariasi
dan gejalanya sering tidak spesifik (Elbers, et al., 2005 dalam Budiman, 2005).
Oleh karena itu tidak mungkin untuk menegakkan diagnosis hanya berdasarkan
gambaran klinis.
Gejala-gejala yang terjadi setelah terinfeksi oleh avian influenza virus
berpatogenesis rendah mungkin tidak terlalu jelas, seperti bulu-bulu yang kusut,
produksi telur yang secara transien menurun atau berat badan menurun yang
disertai sedikit gangguan pernafasan (Capua dan Mutineli, 2001 dalam Budiman,
2005).
Dalam bentuknya yang patogen, penyakit yang terjadi pada ayam dan
kalkun ditandai dengan serangan yang mendadak dengan gejala yang hebat serta
kematian yang mendekati 100% dalam jangka waktu 48 jam. Penyebaran dalam
kelompok bergantung pada pemeliharaan dalam kelompok yang dilepas di tempat
yang kotor dan terjadi hubungan langsung serta percampuran dengan hewan lain,
penyebaran infeksi berlangsung lebih cepat daripada yang dipelihara dalam
8|Page

kandang, tetapi masih juga diperlukan beberapa hari untuk terjadinya penularan
yang sempurna (Capua, 2000 dalam Budiman, 2005). Seringkali hanya sebagian
kandang saja yang terkena. Banyak unggas yang mati tanpa gejala-gejala awal
sehingga kadang-kadang pada mulanya orang menduga telah terjadi keracunan
(Nakatami, 2005 dalam Budiman, 2005).
Di perusahaan ternak unggas yang besar, terjadinya penurunan konsumsi
air dan makanan yang progresif dan dalam waktu singkat, dapat menjadi tanda
akan adanya penyakit sistemik pada kawanan unggas ternak. Pada unggas petelur,
terhentinya produksi telur sangat nyata. Secara individual, ungags yang terkena
HPAI sering hanya menunjukan gejala apatis dan tidak banyak bergerak (Kwon,
et al., 2005 dalam Budiman, 2005). Pembengkakan nampak pada daerah kepala
yang tidak ditumbuhi bulu, terjadi sianosis pada jengger, gelambir, dan kaki, diare
dengan kotoran berwarna kehijauan dan nampak susah bernafas, dapat dijumpai
meskipun tidak selalu (inkonsisten).
Pada unggas petelur, mulanya telur yang dihasilkan berkulit lembek, tetapi
kemudian produksi telur berhenti secara cepat sejalan dengan perkembangan
penyakit (Elbers, 2005 dalam Budiman, 2005). Gejala-gejala sistem syaraf
termasuk tremor, tortikolis, dan ataxia mendominasi gambaran klinis pada spesies
yang tidak begitu rentan seperti bebek, angsa, dan jenis burung onta (Kwon, 2005
dalam Budiman, 2005).

II.I.II. Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI)
Kerusakan jaringan (lesio) yang terjadi bervariasi bergantung pada strain
virus dan spesies serta umur pejamu. Pada umumnya, hanya kalkun dan ayam
yang menunjukan terjadinya perubahan mikroskopik yang besar terutama dengan
strain yang sudah beradaptasi dengan penjamu ini (Capua dan Mutinelli, 2001
dalam Budiman, 2005).

9|Page

Pada kalkun terjadi sinusitis, trakheitis, meskipun kemungkinan ada juga
peranan infeksi bakteri sekunder. Pernah juga dilaporkan terjadinya pankreatitis
pada kalkun. Pada ayam yang paling sering dijumpai adalah radang ringan di
saluran pernafasan. Selain itu, lesi juga terjadi pada organ reproduktif (ovarium,
saluran telur, peritonitis kuning telur) dari unggas petelur (Budiman, 2005).

II.II. GEJALA PENYAKIT
II.II.I Pada Hewan
Menurut Food and Agriculture Organization (2005) dalam Buku Panduan
bagi Paramedik Veteriner. Disebutkan bahwa Virus dapat masuk ke areal
peternakan unggas melalui beberapa cara:


Membeli atau menghadiahkan satu atau lebih unggas peliharaan meskipun
dalam kondisi tidak sakit



Manusia (anggota keluarga atau sanak famili, staf, “paramedik veteriner”,
pedagang perantara, pengantar pakan ternak, dll.] yang datang ke areal
peternakan setelah berada di areal peternakan lain, di pasar ternak unggas,
di rumah potong hewan, di laboratorium, dan tempat lain yang
terkontaminasi/terinfeksi virus. Mereka dapat membawa virus tersebut di
pakaian, sepatu, boot, kendaraan bermotor (misalnya pada roda sepeda
motor), pada rak telur dll.



Membeli atau menghadiahkan hewan lain [misalnya, babi] yang berasal
dari areal peternakan unggas yang terinfeksi virus.



Anjing-anjing yang membawa burung-burung yang mati dari areal
peternakan yang terinfeksi.

10 | P a g e



Burung-burung liar selama mereka migrasi dari tempat satu ke tempat
lainnya. Mereka bisa mengkontaminasi peternakan melalui kontak
langsung dengan burung-burung peliharaan atau melalui kotoran yang
terinfeksi dan jatuh di tanah atau di kolam.



Itik yang datang dari dan pergi ke sawah.



Unggas peliharaan yang harus mencari makanannya sendiri di luar
peternakan.



Kontak dengan air kolam.



Kontak dengan pupuk kandang yang terinfeksi.

Selain itu, adapun gejala yang ditimbulkan oleh hewan yang telah terinfeksi virus
H5N1, yaitu:
• Masa Inkubasi:
o Biasanya masa inkubasi berlangsung 2 sampai 5 hari dari sejak
terkontaminasi oleh virus dan saat munculnya tanda-tanda klinis
• Tanda-tanda klinis:
o Flu Burung sangat mirip dengan Penyakit Newcastle/ND/Tetelo. Pemilik
harus mencurigai Flu Burung bila melihat kematian yang tinggi dan cepat
pada ternak unggas
o Tanda-tanda klinis sangat bervariasi, dan dipengaruhi oleh faktor lain
seperti jenis virus yang menginfeksinya, jenis unggas yang terinfeksi,
umur unggas, penyakit-penyakit lain yang ada pada saat itu, dan
lingkungannya.
o Penyakit-penyakit muncul tiba-tiba pada sekelompok ternak, dan banyak
unggas yang mati: Bisa dengan sangat cepat tanpa menunjukkan tanda-

11 | P a g e

tanda sakit atau dengan hanya menunjukkan sedikit depresi, tidak nafsu
makan, bulu rontok dan suhu badan tinggi.
o Unggas lainnya menunjukkan kondisi yang lemah dan jalannya
sempoyongan.
o Unggas yang sakit seringkali duduk atau berdiri dalam keadaan setengah
tidur atau mengantuk dengan kepala menyentuh tanah.
o Beberapa hewan, khususnya unggas yang masih muda memperlihatkan
tanda-tanda sakit pada syaraf.
o Ayam betina yang mulai bertelur, cangkang telurnya tipis, dan kemudian
segera berhenti bertelur.
o Jengger dan pial berwarna merah kehitaman sampai biru dan bengkak, dan
dapat juga disertai pendarahan yang kental diujung-ujungnya.
o Diare banyak dan seringkali muncul, dan unggas merasa haus luar biasa.
o Nafas cepat dan sulit.
o Pendarahan bisa terjadi pada daerah kulit yang tidak ditumbuhi bulu,
khususnya tulang kering pada kaki.
o Laju kematian bervariasi, dari 50% sampai 100%: sedikitnya setengah dari
ternak unggas mati.
o Pada ayam kalkun, penyakitnya mirip dengan yang menyerang pada ayam
petelur, tetapi berlangsung 2 atau 3 hari lebih lama. Kadang-kadang
kelopak mata dan rongga hidung bengkak.
o Pada itik dan angsa peliharaan, tanda-tanda depresi, sedikit makan dan
diare yang terjadi, mirip dengan yang terjadi pada ayam petelur, walaupun
seringkali dikaitkan dengan pembengkakan sinus/rongga hidung.

12 | P a g e

o Itik yang terinfeksi Flu Burung dan mengeluarkan kotoran yang
mengandung virus bisa tidak menunjukkan tanda-tanda klinis atau luka.
• Patologi:
o Pada unggas yang mati dengan sangat cepat akibat dari penyakit ini, hanya
sedikit luka saja dapat terlihat : dehidrasi, penyumbatan organ-organ dalam
dan otot.
o Pada unggas yang tidak mati secara cepat: Pendarahan pada seluruh tubuh,
khususnya di pangkal tenggorokan, trakea dan disekitar hati, dll.
o Keluarnya cairan di bawah kulit yang sangat banyak, khususnya disekitar
kepala dan lutut kaki.
o Karkas bisa mengalami dehidrasi.
o Bintil-bintil berwarna kuning atau abu-abu dapat muncul di limpa, hati,
ginjal dan paru-paru.
o Kantong udara dapat berisi cairan kental.
o Limpa dapat membesar, berwarna gelap dan mengalami pendarahan.
II.II.II

Pada Manusia
Menurut Dr. Budiman, S.Pd., SKM., S.Kep., M.Kes (2005), riwayat

alamiah perjalanan penyakit flu burung pada manusia yaitu :
1.

Tahap pre-patogenesis
Tahap pre-patogenesis merupakan tahap berlangsungnya proses etiologis,

dimana faktor penyebab pertama kalinya bertemu dengan pejamu. Faktor
penyebab pertama belum menimbulkan penyakit, tetapi telah mulai meletakkan
dasar-dasar bagi berkembangnya penyakit nantinya. Tahap pre-patogenesis
penyakit flu burung terjadi karena seseorang interaksi dengan unggas. Interaksi
13 | P a g e

terjadi tidak disengaja, tidak disadari, dan terjadi karena kebetulan. Interaksi
antara manusia dengan sumber penularan (unggas) secara dominan terjadi di
lingkungan sekitar rumah.
Menurut WHO (2006), penularan penyakit flu burung kepada manusia
dapat melalui kontak langsung dengan sekret/lendir atau tinja binatang yang
terinfeksi melalui saluran pernafasan atau mukosa konjunctiva (selaput lendir).
Dari studi kasus yang dilakukan oleh peneliti, kejadian flu burung di Propinsi
Jawa Barat sebagian besar melalui kontak dengan unggas (ayam) yang mati
mendadak. Unggas yang mati mendadak ini bukan berasal dari peternakan
melainkan berasal dari peliharaan ayam miliknya sendiri atau milik tetangga.
Selanjutnya WHO (2006) menyatakan bahwa penyakit ini juga bisa menular
melalui udara yang tercemar virus Avian Influenza (H5N1) yang berasal dari tinja
atau sekret/lender unggas atau binatang lain terinfeksi dalam jarak terbatas dan
kontak dengan benda yang terkontaminasi H5N1. Pada beberapa pasien yang
dijadikan studi kasus oleh peneliti menunjukan hal yang sama, pasien terinfeksi
melalui burung peliharaan yang tergantung di rumahnya dan terinfeksi melalui
kotoran unggas yang mati mendadak (Budiman, 2005).

2.

Tahap Inkubasi
Tahap inkubasi (tahap prasimtomatik) merupakan tahap berlangsungnya

proses perubahan patologik yang diakhiri dengan keadaan ireversibel (yaitu,
manifestasi penyakit tidak dapat dihindari lagi). Pada tahapan ini belum terjadi
manifestasi penyakit, tetapi telah terjadi tingkat perubahan patologis yang siap
untuk dideteksi tanda dan gejala pada tahap berikutnya (Murti, 1997 dalam
Budiman, 2005). Pendapat lain menjelaskan bahwa tahap inkubasi merupakan
masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh pejamu (manusia) tetapi gejala penyakit
belum tampak (Azwar, 1999 dalam Budiman, 2005).

14 | P a g e

Tahap inkubasi penyakit flu burung pada manusia menurut referensi yang
ada sampai saat ini belum diketahui secara pasti namun untuk sementara para ahli
(WHO) menetapkan masa inkubasi virus influenza ini pada manusia rata-rata
adalah 3 hari (Depkes dan WHO, 2006 dalam Budiman, 2005).
3.

Tahap Klinis
Tahap klinis dihitung mulai dari munculnya gejala penyakit sampai kepada

seseorang memerlukan perawatan dan pengobatan secara khusus karena
ketidakmampuan tubuh melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Tahap
klinis penyakit flu burung klinis diantaranya: demam panas ≥ 38ºC, adanya batuk,
sakit tenggorokan, pilek, dan sesak nafas.
Menurut Soejoedono dan Handharyani (2005) orang yang terserang flu
burung menunjukan gejala seperti terkena flu biasa, hanya saja karena keganasan
virusnya menyebabkan flu ini juga ganas. Selanjutnya disampaikan dalam waktu
singkat, gejala-gejala tersebut dapat menjadi lebih berat dengan terjadinya
peradangan paru-paru (pneumonia). Gejala lain yang dapat ditemukan adalah
pilek, sakit kepala, nyeri otot, infeksi selaput mata, diare atau gangguan saluran
cerna. Bila ditemukan gejala sesak menandai terdapat kelainan saluran nafas
bawah akan ditemukan bronchitis di paru dan bila semakin berat frekuensi
pernafasan akan semakin cepat (Depkes RI, 2006 dalam Budiman, 2005).
4.

Tahap Terminal
Perjalanan penyakit pada suatu saat akan berakhir sesuai dengan riwayat

alamiahnya. Tahap terminal penyakit merupakan titik berakhir suatu mekanisme
penyakit di dalam tubuh manusia dalam keadaan sembuh, mengalami kecacatan,
atau meninggal dunia. Termasuk perjalanan akhir penyakit flu burung pada
manusia.
Perjalanan akhir penyakit flu burung lebih disebabkan adanya komplikasi
pada infeksi paru-paru (pneumonia) berat yang bisa menyebabkan gagal nafas.

15 | P a g e

Hal ini terjadi karena adanya gangguan ventilasi dan perfusi jaringan paru-paru.
Selain itu juga sering terjadi syok (dapat hipovolemik, distributif, kardiogenis
ataupun obstruktif) yang pada akhirnya tubuh tidak lagi mampu menahan
keseimbangan.

I.

PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PENYEBARAN
PENYAKIT FLU BURUNG
Sesungguhnya keadaan iklim terkait erat dengan timbulnya gangguan

kesehatan karena dapat memicu timbulnya berbagai penyakit infeksi, terutama
pada pemanasan yang berkepanjangan dan ketidakstabilan iklim seperti cuaca
yang ekstrim. Keadaan iklim seperti ini dapat memicu munculnya atau
kemunculan kembali penyakit infeksius global (Nicholls, 1993; Epstein, 1999;
2001 dalam Bahri dan Syafriati, 2011).
Pada umumnya hampir semua agen infeksius (seperti virus, bakteria,
parasiter) perkembangannya dapat dipengaruhi oleh keadaan iklim setempat,
terutama yang paling peka pada saat agen patogen tersebut menjalani siklus
hidupnya di luar hospes utamanya (McMichael dan Woondruff, 2008 dalam Bahri
dan Syafriati, 2011). Patz et al. (1998) mengemukakan bahwa suhu yang lebih
tinggi dapat mempercepat masa perbanyakan suatu agen patogen dalam kelenjar
liur nyamuk, sehingga nyamuk menjadi lebih infektif dan dapat meningkatkan
penularan. Kuman Salmonella spp. juga akan berkembang lebih cepat pada suhu
yang lebih panas. Demikian juga dengan bakteri Vibrio cholera juga akan lebih
berkembangbiak pada air yang lebih hangat yang terdapat di danau, muara dan
pantai (Willcox dan Cowell, 2005 dalam Bahri dan Syafriati, 2011), namun tidak
semua organisme akan memberikan respon yang sama terhadap perubahan iklim
(Slenning, 2010 dalam Bahri dan Syafriati, 2011).
Pemanasan global dan perubahan iklim dapat berpengaruh langsung
kepada spesies hewan sebagai hospes utama, antara lain timbulnya stres sehingga
hewan menjadi peka terhadap infeksi suatu agen patogen, sehingga akan muncul
16 | P a g e

gejala penyakit. Pengaruh langsung juga dapat terjadi pada hospes utama berupa
burung yang biasa bermigrasi karena mengikuti musim. Pada perubahan iklim
maka migrasi dapat dipercepat atau diperlambat sehingga apabila burung tersebut
telah terinfeksi misalnya virus West Nile maka virus ini akan ikut menyebar ke
lokasi baru (Bahri dan Syafriati, 2011)
Demikian juga dengan unggas lain yang bermigrasi dan membawa agen
patogen seperti virus H5N1 dalam tubuhnya sebagai reservoar, dapat menularkan
penyakit avian influenza (AI) di lokasi yang baru (Gilbert et al., 2006). Hal yang
sama juga dapat terjadi pada kalong yang pindah lokasi karena gangguan habitat
lingkungannya dengan membawa serta virus Nipah dalam tubuhnya yang
berperan sebagai reservoar (Aziz et al., 1999; Chua et al., 2000a; Field et al.,
2007 dalam Bahri dan Syafriati, 2011).
Pada keadaan curah hujan atau musim hujan yang berkepanjangan akan
meningkatkan kelembaban termasuk di lokasi peternakan unggas terutama ayam
kampung maupun itik yang dipelihara masyarakat secara tradisional sehingga
keadaan lingkungan di sekitar kandang unggas tersebut menjadi lembab dan virus
AI H5N1 yang masih terdapat di Indonesia akan bertahan hidup lebih lama,
sementara itu kondisi ayam tersebut menjadi lemah. Keadaan demikian akan
memicu munculnya wabah penyakit flu burung. Selain itu migrasi burung/unggas
pada keadaan pemanasan global dan perubahan iklim global juga akan terus
terjadi, dan migrasi burung/unggas liar dari China dan negara Asia bagian Barat
dan Utara yang masih belum bebas AI akan memicu munculnya penyakit AI strain
baru (hasil mutasi dari virus H5N1 yang ada). Oleh karena itu, hal demikian perlu
diantisipasi dengan mengembangkan vaksin AI yang sesuai dan biosekuriti yang
ketat (Bahri dan Syafriati, 2011).

III.II. UPAYA PENCEGAHAN
Kewaspadaan terhadap suhu karena perubahan iklim merupakan hal yang
penting untuk melakukan pemantauan, surveilans dan deteksi dini, terutama di
17 | P a g e

daerah endemis serta lebih diprioritaskan pada keadaan iklim yang ekstrim seperti
curah hujan yang tinggi dan berkepanjangan atau musim kemarau yang
berlangsung lama seperti penyakit BT, leptospirosis, anthrax dan AI H5N1. Hal
lain yang penting adalah dalam memperkuat sistem pelayanan kesehatan hewan
nasional, umumnya sistem pelayanan kesehatan hewan di negara Asia sangat
lemah, sehingga kemampuan mendiagnosa penyakit hewan menular secara dini
diragukan (Forman et al., 2008 dalam Bahri dan Syafriati, 2011). Pemberian
vaksinasi yang rutin dan pakan yang baik merupakan salah satu upaya pencegahan
dan pengendalian penyakit flu burung yang tidak boleh terlewati.
Sementara itu pada manusia, sebagai upaya pencegahan, WHO
merekomendasikan untuk orang-orang yang mempunyai risiko tinggi kontak
dengan unggas atau orang yang terinfeksi, dapat diberikan terapi profilaksis
dengan 75 mg oseltamivir sekali sehari, selama 7 sampai 10 hari (Radji, 2006).
Beberapa hal yang patut diperhatikan untuk mencegah semakin meluasnya
infeksi H5N1 pada manusia adalah dengan menjaga kebersihan lingkungan,
menjaga kebersihan diri, gunakan penutup hidung dan sarung tangan apabila
memasuki daerah yang telah terjangkiti atau sedang terjangkit virus flu burung,
dan amati dengan teliti kesehatan kita apabila telah melaku kan kontak dengan
unggas/burung. Segeralah cari perhatian medis apabila timbul gejala-gejala
demam, infeksi mata, dan/atau ada gangguan pernafasan (Radji, 2006).
BAB III
PENUTUP

III. I. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan maka dapat diperoleh
kesimpulan bahwa :

18 | P a g e

1.

Avian Influenza (AI) atau yang lebih dikenal dengan flu burung
disebabkan oleh virus influenza tipe A. Strain yang sangat virulen/ganas
dan menyebabkan flu burung adalah dari subtipe A H5N1. Virus AI dapat
menyebar dengan cepat di antara populasi unggas dengan kematian tinggi.
Penyakit ini menular dengan melalui beberapa cara, yaitu antar-ternak
unggas, ternak-manusia, dan antar-manusia.

2.

Tanda-tanda klinis sangat bervariasi, dan dipengaruhi oleh faktor lain
seperti jenis virus yang menginfeksinya, jenis unggas yang terinfeksi,
umur unggas, penyakit-penyakit lain yang ada pada saat itu, dan
lingkungannya. Penyakit-penyakit muncul tiba-tiba pada sekelompok
ternak, dan banyak unggas yang mati: Bisa dengan sangat cepat tanpa
menunjukkan tanda-tanda sakit atau dengan hanya menunjukkan sedikit
depresi, tidak nafsu makan, bulu rontok dan suhu badan tinggi. Sementara
itu, pada manusia, gejala awal ditandai dengan demam tinggi, sakit
tenggorokan, batuk dan pilek.

3.

Pada keadaan curah hujan atau musim hujan yang berkepanjangan akan
meningkatkan kelembaban termasuk di lokasi peternakan unggas terutama
ayam kampung maupun itik yang dipelihara masyarakat secara tradisional
sehingga keadaan lingkungan di sekitar kandang unggas tersebut menjadi
lembab dan virus AI H5N1 yang masih terdapat di Indonesia akan
bertahan hidup lebih lama, sementara itu kondisi ayam tersebut menjadi
lemah. Keadaan demikian akan memicu munculnya wabah penyakit flu
burung. Selain itu migrasi burung/unggas pada keadaan pemanasan global
dan perubahan iklim global juga akan terus terjadi.

4.

Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan memperkuat sistem pelayanan
kesehatan hewan nasional. Pemberian vaksinasi yang rutin dan pakan yang
baik merupakan salah satu upaya pencegahan dan pengendalian penyakit
flu burung yang tidak boleh terlewati. Sementara itu pada manusia,
sebagai upaya pencegahan, WHO merekomendasikan untuk orang-orang

19 | P a g e

yang mempunyai risiko tinggi kontak dengan unggas atau orang yang
terinfeksi, dapat diberikan terapi profilaksis dengan 75 mg oseltamivir
sekali sehari, selama 7 sampai 10 hari.

DAFTAR PUSTAKA

Bahri, Sjamsul dan T. Syafriati. 2011. Mewaspadai Munculnya Beberapa
Penyakit Hewan Menular Strategis di Indonesia Terkait dengan
Pemanasan Global dan Perubahan Iklim. WARTAZOA 21 (1) : 26-39.

20 | P a g e

Budiman. 2005. Penyakit Flu Burung : Riwayat Alamiah dan Pencegahannya.
http://jurnalkeperawatan.stikes-aisyiyahbandung.ac.id/file/13.%20Penyakit
%20Flu%20Burung.pdf [Diakses pada Selasa, 21 Maret 2017 pukul 21.45
WIB]
Food and Agriculture Organization. 2005. Pencegahan dan Pengendalian Flu
Burung (Avian Influenza) pada Peternakan Unggas Skala Kecil. Buku
Petunjuk bagi Paramedik Veteriner.
http://www.fao.org/docs/eims/upload/241491/ai303id00.pdf [Diakses pada
Selasa, 21 Maret 2017 pukul 21.48 WIB]
Nofitri, Zella. 2014. Manajemen Resiko Rantai Pasok Unggas Terkait Kasus Avia
Influenza di Kabupaten Bandung. SKRIPSI. Bogor : Fakultas Kedokteran
Hewan Insitut Pertanian Bogor.
Radji, Maksum. 2006. Avian Influenza A (H5N1) : Patogenesis, Pencegahan, dan
Penyebaran Pada Manusia. Majalah Ilmu Kefarmasian 3 (2) : 55-65.

21 | P a g e