KONSEP BIDAH DALAM HADIS. doc

KONSEP BIDAH DALAM HADIS
Oleh: Riri Widya Ningsih*
Pada dasarnya perbedaan merupakan rahmat yang telah Tuhan berikan. Dengan
perbedaan manusia hendaknya saling menghargai dan menjadi sebuah warna dalam kehidupan.
Namun karena beberapa alasan konsep dasar tersebut berubah haluan. Yang mana salah satu
penyebabnya adalah adanya legitimasi sepihak dari para dalang atau oknum yang menyatakan
bahwa keyakinan merekalah yang paling benar. Dengan alasan bahwa yang disampaikan nash
yang shahih dan seharusnya diamalkan apa adanya. Sontak pernyataan tersebut memancing
emosi masyarakat berbagai kalangan terutama ulama dan akademisi. “Semua bidad adalah
sesat” salah satu pernyataan yang beberapa dekade ini menjadi buah hangat perbincangan dan
mencuatnya slogan ini ketika disebarluaskan melalui media sosial. Benarkah di masa
Rasulullah, beliau melarang semua bentuk yang baru? Dan bagaimana pemahaman hadis bidah
terutama di Indonesia dengan masyarakat yang hidup di tengah kemajemukan? Sabda
Rasulullah:

‫حإدي إ‬
‫عدة مضملال مةة‬
‫حمدمثاتدمها موك د مدل إبعد م‬
‫ح ممدد مومش مدر ال عأ ددموإر دم ع‬
‫ب الل مإه مومخيعدر ال عدهمدى دهمدى دم م‬
‫أ م مما بمععدد مفإإ من مخيعمر ال ع م‬

‫ث إكمتا د‬
"Amma ba'du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Seburuk-buruk perkara adalah
perkara yang diada-adakan dan setiap bid'ah adalah sesat." (HR. Muslim, no. 1435)
Untuk mengetahui bagaimana status hadis yang akan diteliti¸ karena yang dipahami
bahwa syarat hadis yang akan diteliti dalam ilmu maanil hadis mestilah hadis yang shahih
minimal berstatus hasan. Dengan demikian untuk mengetahuinya maka digunakanlah ilmu
kritik sanad hadis. Untuk hadis ini merujuk skripsi dengan judul Hadis-hadis tentang Bidah
karya Erma Rohmana A, disebutkan bahwan sanad hadis ini shahih masyhur, sanadnya
bersambung, dan tidak ada cacat pada rawinya. Dan asumsi dari penulis juga bahwa hadis ini
secara matan shahih karena mukharrij nya adalah Imam Muslim, dan yang diketahui bahwa
dua imam utama, yaitu al Bukhari dan Muslim hadisnya dinilai shahih.
Sedangkan pemahaman sisi matan hadis dibutuhkan seperangkat keilmuan lainnya.
Seperti aspek kebahasa, tematik dan perbandingan hadis setema, dan lainnya. Dari aspek
bahasa, secara leksikal, yang tercantum dalam kamus al Munawwir karya Ahmad Warson
Munawwir kata ‫ بدعة‬merupakan kata benda mashdar dari kata ‫ بدع — يبدع‬yang berarti
mencipta, memulai, mereka-reka, mengada-adakan, membuat, sesuatu yang baru. Abdul Ilah
bin Husain al Arfaj dalam bukunya yang berjudul Konsep Bidah dan Toleransi Fiqih
mengatakan bidah adalah setiap hal yang baru dan pertama kali ditemukan atau dibuat tanpa
ada contoh praktek sebelumnya. Meliputi urusan dunia, agama, aqidah, ibadah dan lain

sebagainya.
Agar hadis yang diteliti dapat diketahui apakah bertentangan dengan dalil yang
posisinya lebih tinggi (baca: al Quran) dan sejalan atau tidaknya dengan hadis lain yang
setema, maka dibutuhkan konfirmasi dengan ayat al Quran dan hadis. Pertama QS. al Baqarah
[2]: 117.

“Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu,
maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah". Lalu jadilah ia.”
Kedua hadis riwayat al Bukhari no. 2499
Artinya: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang membuat perkara
baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak".
Analisis realitas historisnya, yaitu mencari konteks sosio historis dan asbab wurud mikro.
Dari konteks sosio-historisnya, hadis ini muncul sebagai gambaran sekaligus larangan Rasul
bagi manusia untuk tidak mengikuti jejak nenek moyang mereka sebelumnya. Yang mana
mereka melakukan perkara bidah yang tidak pernah bahkan diperintahkan oleh penyampai
risalah Islam pada saat itu. Seperti menyembah patung sapi, homo seksual, perubahan kitab
suci dan lainnya. Dan asbab wurud mikro hadis ini dapat diketahui langsung dari matan
hadisnya, yaitu hadis dalam Shahih Muslim no. 1435 disebutkan bahwa hadis ini muncul ketika
Nabi sedang melakukan khutbah, maka kedua matanya memerah, suaranya lantang, dan
semangatnya berkobar-kobar bagaikan panglima perang yang sedang memberikan komando

kepada bala tentaranya, dan beliau bersabda mengena bidah.
Sebagai pendukungnya berdasarkan hadis riwayat Imam Ahmad hadis ini muncul pada
saat menjelang wafatnya Rasulullah. Pada saat itu Rasulullah memberikan wasiat kepada
sahabat untuk berpegang teguh pada agama, al Quran dan Hadis, dan menghindari hal syubhat.
Sebagaimana yang diketahui bahwa Islam pada saat itu sudah sempurna. Rasulullah berwasiat
karena beliau tahu bahwa umatnya kelak akan melakukan perkara-perkara baru, muncullah
hadis ini agar umatnya tidak berbuat bidah. Dari sini dapat dipahami juga bahwa peran Nabi
saat hadis ini muncul adalah sebagai seorang qadhi dan panglima perang, yang mana hadis
tersebut secara otomatis harus diamalkan. Namun tidak dalam bentuk yang ekstrem dan
monoton.
Untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif maka dirasa perlu menggunakan
disiplin ilmu atau pendapat ulama yang pasti relevan dengan pembahasan dan keadaan umat.
Salah satu ulama yang berpendapat mengenai luasnya makna bidah dhalalah adalah Imam
Syafii, yaitu bahwa bidah terbagi menjadi dua: (1) Bidah Mahmudah (baik) dan (2) Bidah
Mazmumah (tercela). Jika perkara tersebut sejalan dengan sunnah dengan artian tidak
menyalahi atau menyimpang dari kaidah dasar hadis maka tidaklah bidah. Pernyataan ini
sejalan dengan hadis Rasulullah mengenai balasan bagi orang yang memberikan suri tauladan
yang baik:

‫عإممل إبمها موملا يمن عدقدص إمعن‬

‫ب ل مده إمثعدل أ معجإر ممعن م‬
‫ممعن مس من إفي ال عإإعسملاإم دسن مةة محمسن مةة مفدعإممل إبمها بمععمدده ك دإت م‬
‫د‬
‫عإممل إبمها موملا‬
‫عل ميعإه إمثعدل إوعزإر ممعن م‬
‫ب م‬
‫أدجوإرإهعم مشعيءة موممعن مس من إفي ال عإإعسملاإم دسن مةة مس إيمئمةة مفدعإممل إبمها بمععمدده ك دإت م‬
‫يمن عدقدص إمعن أ معومزاإرإهعم مشعيءة‬
Sedangkan pemahaman hadis mengenai bidah di Indonesia, penulis berangkat dari sebuah
poster yang menanggapi keadaan masyarakat kekinian menggenai hadis bidah adalah sesat,
yang dilansir dari situs https://tirto.id/memahami-bidah-dan-anti-bidah-cpqs. Menjawab hal
tersebut ulama dari kalangan Nahdathul Ulama (NU) di dalam sebuah situs NU Online
menyampaikan penjelasan mengenai bidah. (1) Tidak semua lafaz ‫ كل‬bermakna “keseluruhan”
atau bersifat am muthlaq (semua tanpa terkecuali), namun bisa jadi bersifat am makhsus

(semua terkecuali). (2) Kurun waktu yang sangat jauh dan kondisi yang berbeda antara
kehidpan pada awal kedatangan Islam dan saat ini menghendaki bahwa pengamalan hadis ini
tidak mutlak seperti zahirnya, namun melihat situasi dan kondisi umat sehingga menjawab
segala bentuk problem masyarakat. (3) Memperbarui yang dibolehkan dalam agama adalah
tata cara atau metodenya. Perkara pokok agama seperti aqidah, rukun iman, rukun islam maka

tidak ada lahan bagi siapapun untuk mencari pembaharuan.
Dari pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa secara zahirnya hadis terlihat
adanya penjelasan secara mutlaknya bahwa setiap bidah adalah sesat. Namun setelah ditelusuri
lebih lanjut ternyata makna bidah di sini lebih luas dan tidak monoton. Jika pemaknaan hadis
dipaksakan secara zahirnya maka akan ditemukan hanya pertanyaan lagi dan tidak menjawab
problem masyarakat.

*Mahasiswa Semester 4, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Program Studi Ilmu Hadis