PENANGANAN AFLATOKSIN PADA BAHAN PAKAN J

PENANGANAN AFLATOKSIN PADA BAHAN PAKAN JAGUNG
MENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG DI KALIMANTAN BARAT
Tatang M Ibrahim dan L.M. Gufroni AR
Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat
Jalan Budi Utomo 45, Siantan Hulu, Pontianak 78241
Abstrak
Hasil pertanian tanpa penanganan yang tepat akan mengalami perubahan
akibat pengaruh-pengaruh fisiologis, mekanis, fisik, kimia, parasitik dan
mikrobiologik. Infeksi jamur dapat terjadi pada hampir 100 % biji jagung oleh jamur
bermiselia putih dan hitam (Aspergilus dan Penicillium). Tujuan penulisan makalah ini
adalah untuk mengetahui potensi kerusakan jagung di Kalimantan Barat akibat
aflatoksin, mengetahui faktor-faktor yang mendukung pertumbuhan jamur
Aspergillus, mengetahui teknologi pra dan pasca panen yang dapat menekan
pertumbuhan jamur Aspergillus serta menyusun rekomendasi penanganan pasca
panen biji jagung yang spesifik di Kalimantan Barat.
Potensi biji jagung terinfeksi jamur Aspergillus flavus sangat tinggi sehingga
perlu penanganan pasca panen yang tepat. Potensi kerusakan jagung akibat
aflatoksin di Kalimantan Barat cukup tinggi akibat iklim tropis yang basah dengan
kelembaban yang tinggi. Aflatoksin dapat menyebabkan hepatotoksik (keracunan
hati), karsinogenik (penyebab kanker), menghambat pertumbuhan, merusak sistem
kekebalan tubuh, penurunan berat badan, pertumbuhan sel-sel darah merah,

kandungan kalsium (Ca), magnesium (Mg) di dalam plasma darah, penurunan kadar
protein dan albumin dalam darah.
Teknik pengendalian aflatoksin meliputi pengendalian lingkungan tempat
tumbuh jamur dan pemilihan bahan baku biji jagung yang baik. Petani jagung di
Kalimantan Barat perlu mendapatkan pengetahuan yang memadai tentang teknis
penanganan pra dan pasca panen jagung. Pemerintah perlu melakukan langkah
teknis dan strategis yang dilaksanakan secara terpadu untuk mengendalikan tingkat
kerusakan biji jagung akibat aflatoksin.
Kata Kunci : bahan pakan jagung, aflatoksin, aspergillus, pasca panen

Pendahuluan
Latar Belakang
Bahan mentah hasil panen pertanian tanpa pengawetan atau
penanganan yang tepat lama kelamaan akan mengalami perubahan akibat
pengaruh-pengaruh fisiologis, mekanis, fisik, kimia, parasitik dan
mikrobiologik. Kerusakan bahan pangan dapat disebabkan oleh faktor-faktor
seperti pertumbuhan dan aktifiatas mikroba, terutama bakteri, ragi dan
kapang, aktivitas enzim-enzim dalam bahan pangan, serangga, parasit, tikus,
suhu, kadar air, udara, sinar dan jangka waktu penyimpanan. Perubahan
tersebut ada yang menguntungkan, tetapi lebih banyak yang merugikan.

Peningkatan produksi hasil pertanian juga dibayangi terjadinya perubahan
yang merugikan atau mengalami kerusakan. Jumlah kerusakan untuk sayur
dan buah di Indonesia mencapai 30-40 % (Winarno et al., 1980).
Penelitian di Jawa Timur menunjukkan hasil uji infeksi jamur terjadi
pada hampir 100 % biji jagung biji yang diambil dan terinfeksi oleh jamur

Disampaikan dalam ”Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan”, Auditorium Balai
Penelitian danVeteriner, 14 September 2005

1

bermiselia putih dan hitam (tidak dilakukan identifikasi lanjut), Aspergilus dan
Penicillium (Rahayu, et al., 2003). Keadaan ini menunjukkan sangat tingginya
persentase kerusakan biji jagung di Indonesia, mengingat Jawa Timur
merupakan Propinsi penghasil jagung terbesar di Indonesia yaitu sebesar
35,8 % dari luas areal panen jagung di Indonesia (www.bps.go.id, 2004).
Penggunaan biji jagung selain untuk konsumsi manusia juga digunakan
sebagai bahan baku dengan proporsi terbesar sebagai campuran bahan
pakan ternak, terutama pakan ternak unggas.
Pemerintah Daerah Kalimantan Barat sejak tahun 1998 telah

mencanangkan program Gerakan Satu Juta Ton (Gentaton) untuk mencapai
sasaran produksi 1 juta ton padi, 50 ribu ton jagung dan 10 ribu ton kedelai
yang terus dilanjutkan hingga saat ini (Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Kalbar, 2004). Belajar dari kasus biji jagung di Jawa Timur, maka Pemerintah
Daerah Kalimantan Barat perlu menyusun langkah-langkah antisipasi untuk
menghindari potensi terjadinya kerusakan yang dapat merugikan disebabkan
oleh mikroorganisme dari golongan jamur tersebut.
Jamur yang menyebabkan kerusakan makanan merupakan spesies dari
Aspergillus, Penicillium, Mucor dan Rhizopus. Aspergillus menjadi perhatian
utama karena beberapa spesiesnya mampu melepaskan zat beracun ke
dalam makanan. Jamur yang mampu menghasilkan racun bagi manusia dan
ternak dikenal sebagai mycotoxins. Aflatoksin merupakan jenis racun yang
penting disebabkan kemampuannya menyebabkan kanker (karsinogenik).
Aflatoksin dihasilkan oleh pencemar utama Aspergillus flavus dan Aspergillus
parasiticus (Longree dan Armbruster, 1987).
Peran utama teknologi pasca panen adalah untuk merancang teknikteknik yang dapat membatasi sebanyak mungkin kerusakan dari produk
selama periode antara pemanenan dan penggunaan akhir (Wills, et al.,
1998). Penanganan pasca penen biji jagung di Kalimantan Barat dengan iklim
katulistiwa yang khas perlu menerapkan teknik pasca panen yang spesifik
dilandasi sifat biologis jamur Aspergillus yang menghasilkan Aflatoksin dari

hasil metabolismenya. Untuk mendapatkan produk biji jagung yang
berkualitas perlu dipahami aspek teknis yang harus dipenuhi sejak dari
pemilihan varietas, teknis budidaya, pemanenan, penyimpanan dan
pengolahannya.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah Penanganan Aflatoksin Pada Bahan Pakan
Jagung
Mendukung Pengembangan Jagung di Kalimantan Barat ini adalah :
1. Mengetahui potensi kerusakan jagung di Kalimantan Barat akibat
aflatoksin
2. Mengetahui faktor-faktor yang mendukung pertumbuhan jamur
Aspergillus dalam menghasilkan aflatoksin
3. Mengetahui teknologi pra dan pasca panen yang dapat menekan
pertumbuhan jamur Aspergillus
4. Menyusun rekomendasi penanganan pasca panen biji jagung yang
spesifik di Kalimantan Barat.
POTENSI PENGEMBANGAN JAGUNG DI KALIMANTAN BARAT
Disampaikan dalam ”Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan”, Auditorium Balai
Penelitian danVeteriner, 14 September 2005


2

Propinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan
tepatnya diantara garis 2o08’ LU dan 3o05’ LS serta antara 108o0’ BT dan
114o10’ BT. Daerah Kalimantan Barat tepat dilalui oleh garis khatulistiwa,
tepatnya di atas Kota Pontianak. Pengaruh letak ini menjadikan Kalimantan
Barat sebagai salah satu daerah tropik dengan suhu udara tinggi serta
diiringi kelembaban yang tinggi (Badan Pusat Statistik, 2001). Iklim di
Kalimantan Barat menurut Koppen termasuk tipe A yaitu iklim hujan tropis
dengan susu rata-rata bulanan terdingin 18 oC, jumlah curah hujan pada bulan
kering lebih dari 60 mm dan tetap basah semua musim (MK dan MH), dengan
suhu rata-rata bulanan terpanas >22 oC (Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Kalbar, 2004). Umumnya suhu udara di Kalbar cukup normal namun
bervariasi sekitar 25oC sampai 28oC dengan rata-rata 25,8oC, suhu udara
terendah tercatat 18,6oC, sedangkan suhu tertinggi tercatat sebesar 35 oC
(Badan Pusat Statistik, 2001).
Secara umum daerah Kalimantan Barat memiliki curah hujan rata-rata
cukup tinggi dengan rata-rata curah hujan tahunan di atas 3.000 mm yang
hampir merata di seluruh kabupaten/kota. Rata-rata curah hujan bulanan
selama 10 tahun (1993-2003) adalah sebesar 252 mm/bulan dengan jumlah

hari hujan rata-rata sebesar 155 hari/tahun (Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Kalbar, 2004). Kelembaban udara relatif di Kalimantan Barat adalah sebesar
85,94 % (Badan Pusat Statistik, 2001). Kondisi iklim wilayah Kalimantan Barat
dengan suhu tinggi, curah hujan tinggi dan kelembaban udara relatif yang
tinggi merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
jamur.
Berdasarkan luas potensi lahan yang dapat ditanami jagung, Propinsi
Kalimantan Barat memiliki paling sedikit 2.014.252 hektar lahan yang dapat
ditanami. Potensi luas lahan ini dapat melebihi 1,7 kali luas areal pertanaman
jagung Propinsi Jawa Timur sebagai pemasok utama jagung Indonesia (35,8
%) saat ini, dengan luas 1.210.961 hektar. Metode penghitungan luas potensi
lahan didasarkan pada asumsi bahwa lahan perkebunan saat diremajakan
akan menyediakan 16% luas lahan sebagai areal terbuka untuk ditanami
jagung (Diwyanto dan Priyanti. 2005). Khusus untuk lahan tegal, ladang dan
sawah tetap dimasukkan sebesar luas lahan potensialnya, dengan asumsi
lahan tersebut minimal dapat ditanami jagung setahun sekali (IP 1,00).
Tabel 1. Potensi Pengembangan Jagung Berdasarkan Kelompok Lahan di Kalimantan

Barat
N

o
1.
2.
3.
4.
5.

Kelompok Lahan

Luas (ha)

Luas Potensi
Areal Jagung (ha)

Pekarangan
255.845
40.935
Tegal dan Ladang
717.512
717.512

Sawah
456.632
456.632
Perkebunan
1.613.741
258.199
Lahan tidak
diusahakan
1.703.538
272.566
6. Gambut
1.677.550
268.408
Jumlah
6.424.818
2.014.252
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kalbar, 2004.

Persentase
Potensi

Areal(%)
2,03
35,62
22,67
12,82

Disampaikan dalam ”Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan”, Auditorium Balai
Penelitian danVeteriner, 14 September 2005

13,53
13,33
31,35

3

Realiasasi luas panen jagung di Kalimantan Barat tahun 2003 adalah
sebesar 31.438 hektar (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kalbar, 2004).
Pencapaian realisasi luas panen jagung ini jika dibandingkan dengan
perhitungan potensi pengembangan jagung di Kalimantan Barat baru
mencapai 1,56 % dari luas potensi lahannya untuk tanaman jagung, sungguh

suatu nilai yang masih sangat kecil. Masih terdapat 98,44 % atau paling
sedikit 62,6 kali luas areal tanam jagung yang dapat diusahakan di
Kalimantan Barat saat ini, sehingga masih sangat besar potensi yang belum
dimanfaatkan.
Berdasarkan produktivitas lahan, hasil panen jagung pada tahun 2003
mencapai 26,9 kuintal/hektar, atau total mencapai produksi sebesar 84.582
ton untuk Kalimantan Barat (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kalbar, 2004).
Sementara secara nasional dicapai produktivitas sebesar 32,01 kuintal/hektar
dengan total produksi diperkirakan mencapai 10.820.617 ton (www.bps.go.id,
2004). Jika dibandingkan tingkat produktivitas lahan di Kalimantan barat
dengan tingkat produktivitas nasional lebih rendah sebesar 5,11 kuintal yang
dapat disebabkan antara lain oleh perbedaan agroekosistem dan teknis
budidaya.
Kerugian Akibat Aflatoksin
Racun dari jamur disebut mikotoksin dapat menyebabkan penyakit
bagi ternak dan manusia. Toksin ini dapat menyebabkan penyakit yang
kadang-kadang fatal dan beberapa diantaranya mempunyai sifat
karsinogenik. Mikotoksikosis merupakan keracunan yang disebabkan
mengkonsumsi jamur yang mencemari bahan pakan atau makanan, seperti
biji-bijian berjamur (Longree dan Armbruster, 1987; Supardi dan

Sukamto,1999). Bahan pangan merupakan media yang sangat baik untuk
tumbuh fungi bila keadaan memungkinkan. Metabolit yang dikeluarkan fungi
dalam pertumbuhannya menjadikan bahan tersebut terkandung dalam bahan
pangan. Mengetahui macam mikotoksin dengan berbagai sifat-sifatnya
diperlukan mengingat penerapannya dalam usaha mencegah dan
mengendalikan pengaruh buruk toksik dari mikotoksin (Makfoeld , 1999).
Epidemi ternak kalkun di Inggris tahun 1960 menelan korban lebih dari
100.000 ekor dalam waktu tiga bulan merupakan awal ditemukannya
Aflatoksin. Ternyata penyakit itu tidak hanya menyerang ternak unggas
seperti itik, burung dan lainnya, tetapi juga babi dan sapi dengan gejala yang
sama. Penelitian kemudian menunjukkan bahwa penyebabnya adalah tepung
kacang tanah dari Brazilia, campuran pakan ternak yang telah ditumbuhi
fungi. Fungi diidentifikasi sebagai Aspergillus flavus dan zat toksik sebagai
mikotoksin disebut sebagai Aspergilus flavus toksin. Zat yang dihasilkan fungi
A. Flavus tersebut dinamakan aflatoksin. Nama aflatoksin diambil dari
singkatan Aspergilus flavus toksin (Makfoeld , 1999).
Penyakit yang ditimbulkan oleh aflatoksin (aflatoksikosis) dapat
bersifat kronis dan akut. Pada ternak unggas, aflatiksikosis kronis
diindikasikan dengan terhambatnya pertumbuhan dan perubahan konversi
pakan serta penurunan produksi telur. Aflatoksikosis akut mengakibatkan
kematian. Kontaminasi aflatoksin menyebabkan hewan menjadi sangat
rentan penyakit dan menimbulkan residu pada produk peternakan seperti
hati, daging, telur dan susu. Aflatoksin terutama aflatoksin B 1 (AFB1) sangat
Disampaikan dalam ”Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan”, Auditorium Balai
Penelitian danVeteriner, 14 September 2005

4

potensial menimbulkan kanker hati, menurunkan produktivitas dan
menghambat pertumbuhan serta rentan terhadap penyakit. AFB 1 mempunyai
sifat hepatotoksik yaitu dapat merusak dan meracuni hati dan dikatagorikan
sebagai senyawa karsinogenik tingkat A1. Bahaya AFB 1 adalah menghambat
pertumbuhan dan merusak sistem kekebalan tubuh, penurunan berat badan,
pertumbuhan sel-sel darah merah, kandungan kalsium (Ca) dan magnesium
(Mg) di dalam plasma darah, penurunan kadar protein dan albumin dalam
darah (Maryam, et al., 2001; Maryam, et al., 2003 dan Arifin, et al., 2004).
Mengingat kerugian ekonomi dan bahayanya bagi ternak maupun manusia
sebagai konsumen, maka tindakan pencegahan dan penanggulangan
cemaran aflatoksin pada pakan sagat diperlukan.
Aflatoksin tidak hanya dapat dihasilkan dari A. flavus tetapi juga A.
parasiticus, A. niger, A. oryzae, A. ruber, A. wentii, A. ostianus, Penicillium
citrinum, P. frequentans, P. expansum, P. variabile, P. puberulum, Rhizopus sp
dan Mucor mucedo. Secara alami aflatoksin terdapat pada jagung, barley,
tepung biji kapas, kacang, beras, kedelai, gandum dan biji sorgum. Bahanbahan ini ditumbuhi jamur selama pemanenan dan penyimpanan pada
kondisi lembab. Aflatoksin dapat diproduksi oleh A. flavus pada suhu antara
7,5 – 40oC dengan suhu optimum 24-28oC. Untuk biji-bijian berpati seperti
jagung dan gandum, kadar air batas untuk pertumbuhannya adalah 18,5%.
Rh minimum untuk pertumbuhan A. flavus adalah 80 % (aw=0,80). Kenaikan
suhu,
pH
dan
persyaratan-persyaratan
lingkungan
lainnya
akan
menyebabkan aw minimum bertambah tinggi. Pada suhu 30oC, Rh minimum
untuk pembentukan aflatoksin adalah 83 % (Makfoeld , 1999).
Pemasakan makanan yang mengandung aflatoksin tidak dapat
merusak racunnya yang stabil pada suhu tinggi. Produksi aflatoksin pada
suhu dibawah 8 – 10oC dapat terjadi dengan lambat, sehingga temperatur
penyimpanan dibawah 5oC dianjurkan untuk komoditas yang dapat ditumbuhi
aspergillus (Longree dan Armbruster, 1987).
Inkubasi pada 15oC selama 24 jam dan kemudian 21 oC selama 24 jam
dan akhirnya pada 28 oC selama 4 hari akan berakibat terbentuknya
aflatoksin 4 kali lebih tinggi daripada inkubasi pada suhu konstan 28 oC
selama 6 hari. Fungi ini tidak akan tumbuh baik pada pH kurang dari 4,0,
pembentukan aflatoksin masimum pada pH 5,5-7,0. Kadar karbohidrat yang
tinggi akan menguntungkan pembentukan aflatoksin. NaCl antara 1-3% akan
memperbesar pembentukannya, sedangkant pada 8%
pertumbuhan
dihambat pada suhu 24 oC. Tidak ada pertumbuhan bila kadar NaCl 14 %.
Oksigen dan Nitrogen menurunkan kemampuan fungi untuk membentuk
aflatoksin. Efek penghambatan oleh CO 2 dipertinggi dengan menaikkan suhu
atau menurunkan Rh. Secara alami, aflatoksin terdiri dari 4 komponen induk,
yaitu aflatoksin B1 (AFB1), aflatoksin B2 (AFB2), aflatoksin G1 (AFG1) aflatoksin
G2 (AFG1). Aflatoksin B1 adalah yang paling berbahaya dan paling banyak
terdapat di alam. Batas rekomendasi dari WHO dan FAO jumlah aflatoksin
total adalah 30 ppb (Makfoeld , 1999).
Pencegahan Munculnya Aflatoksin
Aflatoksin diketahui sangat stabil, dengan beberapa perlakuan tidak
mengurangi toksisitasnya. Jalan paling baik adalah mencegah aflatoksin
dalam bahan pangan maupun pakan dengan menghabat atau mencegah
Disampaikan dalam ”Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan”, Auditorium Balai
Penelitian danVeteriner, 14 September 2005

5

petumbuhan fungi penghasil aflatoksin dalam bahan bersangkutan. Terdapat
tiga hal utama dalam mengurangi pertumbuhan fungi, yaitu mengendalikan
lingkungan tempat tumbuh, penggunaan zat kimia misalnya antifungi,
fungistatik, fungisida dan pemakaian faktor resisten alami. Menghindari
petumbuhan mikrobia yang umum dilakukan dengan menekan kelembaban
yang rendah dibawah 80 % sehingga didapat harga aw sekitar 0,65-0,70
dimana fungi akan terhambat pertumbuhannya. Penyimpanan kering bahan
pangan kadar air 10-12 % sangat dianjurkan dan bila mungkin disimpan pada
suhu dingin. Hindari bahan yang terserang hama, terluka dan lainnya.
Kerusakan akibat serangga ternyata merupakan serangan awal petumbuhan
fungi. Jagung yang terserang serangga menunjukkan sampel jagung
mengandung aflatoksin hampir 90 %. Aplikasi pH dibawah 4,0 dapat
menekan pertumbuhannya. Penurunan O2 atau menambahkan CO2 dan atau
N2 akan menurunkan kemampuan fungi membentuk aflatoksin. Pengaturan
ruang penyimpanan dengan rasio O2 dan CO2 yang baik dapat mengurangi
petumbuhan fungi. Pemakaian bahan
pangan yang resisten terhadap
aflatoksin seperti pada jenis jagung opaque-2 (Makfoeld , 1999).

Penanganan Pasca Panen Jagung
Cara panen yang umum dilakukan petani dengan mengeringkan
terlebih dahulu tongkol jagung berklobot saat masih menempel pada batang
tanaman, setelah kering tongkol dipotong secara manual. Pengeringan
tongkol jagung yang dipanen dilakukan dengan menggunakan sinar matahari,
kemudian dipipil dengan tangan atau dengan pemipil. Pengeringan jagung
pipilan dilanjutkan dengan sinar matahari setelah kering jagung kering
disimpan dalam karung plastik. Kadar air jagung rata-rata di bawah 20 %
(Rahayu, et al., 2003).
Pemanenan jagung di Kalimantan Barat pada umumnya juga sama
dengan petani di Jawa, yaitu tongkol jagung biasanya dikeringkan langsung
pada batang tanaman, kemudian setelah kering dipotong atau dipanen.
Selanjutnya dilakukan pengeringan di sinar matahari dan dipipil.
Perbedaannya dengan di Jawa, jagung yang telah dipipil selain dijemur
dibawah sinar matahari jika memungkinkan, biasanya dibawa ke tempattempat alat pengeringan jangung (dryer) dengan bahan bakar minyak atau
kayu. Mesin pengering umum digunakan di daerah sentra produksi jagung
seperti di daerah Sanggau Ledo Kabupaten Bengkayang, mengingat
tingginya curah hujan di Kalimantan Barat. Namun ketersediaan mesin
pengering masih sangat terbatas sehingga produksi jagung di Kalimantan
Barat masih banyak yang dikeringkan dengan sinar matahari.
Potensi Serangan
Kalimantan Barat

Aspergillus

Pada

Bahan

Pakan

Jagung

di

Pengeringan setelah dipanen akan menghindarkan biji jagung dari
kontaminasi A. falvus. Penundaan pengeringan selama dua hari telah
meningkatkan kontaminasi aflatoksin dari 14 menjadi 94 ppb. Oleh karena itu
pengeringan untuk menurunkan kadar air hingga ke level aman 13%
Disampaikan dalam ”Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan”, Auditorium Balai
Penelitian danVeteriner, 14 September 2005

6

merupakan tindakan yang sangat penting. Penyimpanan pada kadar air
tersebut juga akan memperlama masa simpan. Terdapat hubungan anrara
kadar air biji, kelembaban udara dan resiko terinfeksi A. falvus. Tingkat
kelembaban udara selama penyimpanan di dalam rumah berkisar antara 8095 % Kondisi ini sangat mendukung pertumbuhan jamur. Jamur umumnya
tumbuh dengan baik pada kadar air biji 18-18,5 % dan ditunjang oleh
kelembaban nisbi ruangan simpan lebih tingi dari 70 %
(Rahayu, et al.,
2003).
Daerah Kalimantan Barat dengan suhu rata-rata 25,8 oC dengan curah
hujan yang tinggi, memiliki kelembaban udara relatif sebesar 85,94 %.
Kondisi ini merupakan kondisi yang sangat mendukung bagi pertumbuhan
jamur A. flavus, sehingga penanganan pasca panen jagung di Kalimantan
Barat perlu memperhatikan agar biji jagung setelah panen dapat langsung
dikeringkan mencapai level 13 %. Dengan demikian diharapkan pertumbuhan
jamur dan produksi aflatoksin dapat ditekan serendah mungkin.
Petani umumnya melakukan praktek produksi jagung yang kurang
tepat. Kurang optimalnya masukan pupuk dan minimnya pengendalian hama
dan penyakit menyebabkan jagung tidak tumbuh dengan optimal dan mudah
terserang penyakit dan infeksi jamur. Biji jagung hibrida dengan klobot yang
tidak tertutup sempurna merupakan peluang pertama infeksi jamur,
khususnya apabila biji yang tidak menutup ini terserang hama. Proses
pengeringan yang dilakukan pada tempat yang kebersihannya tidak terjaga
dengan baik dan tidak diaturnya kondisi ruangan penyimpanan yang tepat
dapat meningkatkan kadar air jagung dan menyebabkan jamur tumbuh
dengan subur dan menghasilkan aflatoksin(Rahayu, et al., 2003).
Petani di Kalimantan Barat umumnya juga melakukan praktek
budidaya yang masih sederhana. Penggunaan bibit yang baik, pemupukan
yang sesuai anjuran masih jarang dilakukan petani sehingga produktivitas
lahannya masih rendah, yaitu sebesar 26,9 kuintal/ha. Kurang
diperhatikannya pemupukan pada tanaman jagung akan berakibat lemahnya
resistensi tanaman terhadap serangan hama dan penyakit, sehingga
membuka peluang terjadinya kontaminasi A. flavus. Proses pengeringan oleh
petani di lapangan masih dilakukan seadanya tidak atau belum
menggunakan lantai jemur yang terjaga kebersihannya. Bahkan sebagian
hanya dijemur dengan dihamparkan langsung di tanah dengan alas karung
plastik. Kondisi ini juga dapat meningkatkan potensi kontaminasi jamur pada
biji jagung.
Penentuan saat panen yang tepat dengan mempertimbangkan
kandungan kadar air biji jagung yang cukup rendah sudah diupayakan oleh
petani di Kalimantan Barat. Para petani akan melakukan panen pada saat
kadar air biji sekitar 20 %. Keadaan ini sudah sesuai dengan harapan bahwa
dengan kadar air yang rendah (17-20%) akan menurunkan susut mutu
menjadi sekitar 5-9 % saja. Namun demikian jamur masih dapat tumbuh
dengan baik pada kadar air 18-18,5 % apalagi jika kelembaban nisbi
lingungan lebih dari 70 % (Rahayu, et al., 2003). Oleh karena itu pengeringan
biji jagung segera setelah panen di Kalimantan Barat mutlak diperlukan.
Para petani di Kalimantan Barat umumnya melakukan penjemuran biji
jagung hingga mencapai kadar air 15 %, degan demikian masih melebihi
level aman sebesar 13 %. Oleh karena itu perlu dilakukan penyuluhan kepada
para petani jagung untuk melakukan penjemuran hingga mencapai kadar air
Disampaikan dalam ”Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan”, Auditorium Balai
Penelitian danVeteriner, 14 September 2005

7

biji sekitar 13 %. Untuk mencapai kondisi tersebut tentu perlu ditunjang
dengan ketersediaan peralatan untuk mengukur kadar air biji yang praktis
bagi petani.
Pada tingkat pedagang pengumpul umumnya mereka menerima biji
jagung dengan kadar air mencapai 14 % atau masih diatas level aman 13 %.
Dengan pertimbangan kondisi kelembaban nisbi di Kalimantan Barat yang
relatif tinggi, yaitu sebesar 85,94 %, maka kadar air biji jagung di tingkat
pedagang juga memiliki resiko ditumbuhi oleh jamur A. Flavus yang lebih
besar. Oleh karena itu para pedagang perlu melakukan pengeringan kembali
dari biji jagung yang masih mengandung kadar air 14 % ke atas. Para
pedagang juga perlu melengkapi peralatan untuk mengukur kadar air dari biji
jagung yang dimilikinya.
Tingginya curah hujan di Kalimantan Barat juga merupakan tantangan
bagi pengembangan jagung, disebabkan petani tidak setiap saat dapat
menjemur hasil panen jagungnya. Kondisi pemanenan jagung pada kadar air
yang masih tinggi juga meningkatkan potensi tumbuhnya jamur A. Flavus.
Petani umumnya tidak memiliki tempat penyimpanan hasil panen yang
memadai. Penyimpanan di dalam rumah atau diatas dapur yang umum
dilakukan petani cenderung lembab didukung kelembaban nisbi lingkungan di
Kalimantan Barat yang tinggi (>70%) merupakan kondisi yang sangat
mendukung pertumbuhan jamur.
Penanganan Aflatoksin Dalam Rangka Pengembangan Jagung Di
Kalimantan Barat
Untuk mendukung pengembangan jagung di Kalimantan Barat, pihak
Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah antisipatif untuk menghindari
tingginya tingkat kontaminasi dari jamur yang dapat menghasilkan aflatoksin
pada biji jagung. Salah satu yang dilakukan pemerintah dengan penyediaan
alat dan mesin pertanian. Hingga saat ini pemerintah telah menyediakan
fasilitas berupa alat dan mesin pertanian yang dapat mendukung
pengembangan tanaman jagung di Kalimatan Barat berupa peralatan untuk
mengolah tanah (traktor), alat pengering hasil pertanian (dryer) dan pompa
air. Keterbatasan pemerintah untuk menyediakan alat dan mesin pertanian di
Kalimantan Barat merupakan salah satu kendala yang perlu dirumuskan
pemecahan masalahnya. Hingga tahun 2003, kebutuhan alsintan untuk
mendukung pengembangan tanaman jagung dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Prakiraan Kebutuhan Alsintan di Propinsi Kalimantan Barat Sampai
Dengan Tahun 2003
No Jenis
Keperlua Jumlah
Persentase
Kekurangan
.
Alsintan
n
Alsintan
Ketersediaan
Alsintan
Alsintan
Tersedia
Alsintan
1.
Hand
9.331
566
8.765
Traktor
6,07%
2.
Dryer
5.039
131
2,60% 7.908
3.
Pompa Air
3.414
283
8,29% 3.131
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kalbar, 2004.
Teknis budidaya yang baik akan menghasilkan tanaman dengan
pertumbuhan yang baik sehingga menjamin tingginya tingkat resistensi
tanaman terhadap serangan hama dan penyakit. Seperti sudah diketahui
bahwa pertumbuhan yang baik, resistensi terhadap hama dan penyakit akan
Disampaikan dalam ”Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan”, Auditorium Balai
Penelitian danVeteriner, 14 September 2005

8

meningkatkan ketahanan tanaman jagung terhadap resiko kontaminasi jamur
A. Flavus. Ketersediaan dryer di tingkat petani akan sangat menentukan
keberhasilan penanganan awal biji jagung. Secara umum untuk Kalimantan
Barat ketersediaan alat dan mesin pertanian masih sangat minim sehingga
masih jauh dari kondisi yang ideal untuk dapat menunjang pengembangan
jagung. Oleh karena itu pemerintah perlu meningkatkan upaya penyediaan
alat atau pembuatan alat pertanian yang dapat dilakukan secara swadaya
oleh petani. Dengan demikian kerusakan bahan pakan jagung di Kalimantan
Barat dapat ditekan sekecil mungkin.
Pemerintah perlu menyediakan tempat-tempat penyimpanan biji
jagung masal seperti silo. Dengan tersedianya silo yang memiliki fasilitas
pengaturan suhu, pengaturan udara dan kelembaban sehingga jagung yang
dihasilkan petani dapat disimpan sampai saatnya didistribusikan atau dijual.
Pengaturan kondisi lingkungan penyimpanan jagung dengan silo akan
menjamin kualitas biji jagung dan keseragaman hasil panen jagung petani.
Secara ringkas yang perlu diperhatikan dalam pengembangan jagung
yang bebas aflatoksin adalah dengan menjaga lingkungan penyimpanan biji
jagung yang terkendali sehingga dapat menekan tumbuhnya jamur. Prosedur
sederhana adalah dengan menjaga kebersihan tempat pengeringan jagung,
menjaga kelembaban relatif dibawah 80 % dan menyimpan jagung
diupayakan pada kadar air sekitar 10-12 %. Selain itu penerapan teknis
budidaya yang baik, meliputi penggunaan benih yang baik, pemupukan
sesuai anjuran hingga penanganan pra panen akan memberi jaminan hasil
panen jagung yang berkualitas. Pemanenan sebaiknya dilakukan pada saat
kadar air jagung di pohonnya lebih kecil dari 20 % dan langsung dilakukan
pengeringan. Sejalan dengan rekomendasi teknis yang dijalankan pemerintah
juga perlu dilakukan koordinasi dan regulasi antar instansi terkait untuk
bersama-sama merumuskan suatu sistem pengendalian timbulnya aflatoksin
pada bahan pakan secara terpadu.
KESIMPULAN
1. Potensi biji jagung terinfeksi jamur Aspergillus flavus sangat tinggi
sehingga perlu penanganan pasca panen yang tepat.
2. Potensi kerusakan jagung akibat aflatoksin di Kalimantan Barat cukup
tinggi akibat iklim tropis yang basah dengan kelembaban yang tinggi.
3. Aflatoksin dapat menyebabkan hepatotoksik (keracunan hati),
karsinogenik (penyebab kanker), menghambat pertumbuhan, merusak
sistem kekebalan tubuh, penurunan berat badan, pertumbuhan sel-sel
darah merah, kandungan kalsium (Ca), magnesium (Mg) di dalam
plasma darah, penurunan kadar protein dan albumin dalam darah.
4. Teknik pengendalian aflatoksin meliputi pengendalian lingkungan
tempat tumbuh jamur dan pemilihan bahan baku biji jagung yang baik
5. Petani jagung di Kalimantan Barat perlu mendapatkan pengetahuan
yang memadai tentang teknis penanganan pra dan pasca panen
jagung
6. Pemerintah perlu melakukan langkah teknis dan strategis yang
dilaksanakan secara terpadu untuk mengendalikan tingkat kerusakan
biji jagung akibat aflatoksin.
Disampaikan dalam ”Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan”, Auditorium Balai
Penelitian danVeteriner, 14 September 2005

9

DAFTAR PUSTAKA
Arifin Z, Sri Rachmawati, Darmono dan Agus Safuan. 2004. Pengaruh
Aflatoksin B1 Terhadap Kandungan Kalisum dan Magnesium Dalam
Serum Itik. Dalam Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner 2004, Buku 2. Puslitbangnak, Bogor.
Badan Pusat Statistik. 2001. Kalimantan Barat Dalam Angka 2001. Badan
Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Barat, Pontianak.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kalbar. 2004. Laporan Tahunan Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Kalbar Tahun 2003. Dinas Pertanian
Tanaman Pangan Kalbar, Pontianak.Diwyanto, K dan Atien Priyanti.
2004. Pengembangan Sistem Integrasi Jagung-Ternak Untuk
Meningkatkan Daya Saing dan Pendapatan Petani. Dalam Prosiding
Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Jagung-Ternak di Kalimantan
Barat. BPTP Kalimantan Barat, Pontianak.
Longree K dan Gertrude Armbruster. 1987. Quantity Food Sanitation. John
Wiley and Sons. New York.
Makfoeld D. 1999. Mikotoksin Pangan. Pusat Antar Universitas, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Maryam R., Hermenigilda Nehat, Rachmat Firmansyah, Siti Djuariah dan
Miharja. 2001. Dalam Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner 2001. Puslitbangnak, Bogor.
Maryam R., Yulvian Sani, Siti Juariah, Rachmat Firmansyah dan Miharja. 2003.
Efektifitas Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum Linn) Dalam
Penanggulangan Aflatoksikosis Pada Ayam Petelur. Dalam Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2003.
Puslitbangnak, Bogor.
Rahayu, E.S., Sri Raharjo dan Agustina A Rahmianna. 2003. Cemaran
Aflatoksin Pada Produksi Jagung di Daerah Jawa Timur. Agritech
Volume 23, No. 4 Tahun 2003. Fakultas Teknologi Pertanian,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Supardi, I. dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi Dalam Pengolahan dan
Keamanan Pangan. Penerbit Alumni, Bandung.
Wills, R., Barry McGlasson, Doug Graham dan Daryl Joyce. 1998. Post Harvest
: An Introduction to the Physiology & Handling of Fruit, Vegetables
and Ornamentals. Hydepark Press, South Australia.
Winarno,F.G., Srikandi Fardiaz dan Dedi Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi
Pangan. PT. Gramedia, Jakarta.
www.bps.go.id. 2004. BPS Statistics Indonesia, Food Crops Statistic :
Harvested Area, Yield Rate and Production of Maize by Province,
2003. BPS, Jakarta.

Disampaikan dalam ”Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan”, Auditorium Balai
Penelitian danVeteriner, 14 September 2005

10

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124