ETIKA PEMERINTAHAN DAN POLITIK sistem

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konsepsi etika, sebenarnya sudah lama diterima sebagai suatu sistem nilai
yang tumbuh dan berkembang pada peradaban manusia, sehingga dengan demikian
pada dasarnya etika yaitu serangkaian upaya yang menjadikan moralitas sebagai
landasan bertindak dalam tatanan kehidupan yang kolektif. Etika memungkinkan
berjalannya kehidupan sosial yang harmonis dan damai. Penerapkan etika dalam
hidup akan membuat manusia dapat berkembang lebih baik.
Dalam menjalankan suatu pemerintahan, etika juga sangat perlu diterapkan.
Hal ini guna memastikan agar jalannya pemerintahan tetap berorientasi pada
tercapainya tujuan dan kepentingan bersama. Hal ini akan berimbas pula pada
meningkatnya rasa solidaritas dan persatuan yang tinggi dalam masyarakat sehingga
akan berimbas pada perkembangan ekonomi yang lebih baik.
Dalam praktik pemerintahan masa sekarang ini banyak terjadi penyimpangan
dan pelanggaran etika. Praktik pelanggaran etika ini dilakukan oleh individu atau
kelompok tertentu yang hanya ingin memenuhi kepentingannya sendiri dengan tidak
mengindahkan kepentingan bersama. Hal tersebut amat sangat merugikan
masyarakat dan menimbulkan ketimpangan, serta ketidakharmonisan sosial yang
berimbas pada munculnya rasa ketidakpuasan pada pemerintah.
Praktik-praktik pelanggaran etika tersebut diantaranya adalah korupsi, kolusi,

dan nepotisme (KKN) yang belakangan semakin marak dan seakan telah menjadi
budaya dalam masyarakat. Pelanggaran etika tersebut dilakukan tidak hanya oleh
kalangan pejabat tingkat negara saja, tapi juga tingkat daerah, dan bahkan para
bawahannya pula. Hal ini mengakibatkan pemerintahan menjadi tidak sehat dan
masyarakatlah yang akan menanggung kerugiannya kelak. Pada kesempatan ini,
pemakalah akan membahas tentang etika politik dalam pemerintahan daerah,
dikaitkan dengan pelanggaran etika politik oleh salah Ratu Atut Chosiyah, Gubernur
provinsi Banten, yang baru-baru ini terjerat kasus KKN.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka terdapat beberapa
permasalahan yang perlu dikaji:
1. Apakah yang dimaksud dengan etika politik?
2. Apakah yang dimaksud dengan etika pemerintahan?
3. Bagaimanakah seharusnya etika politik dalam pemerintahan daerah?

1.3 Tujuan
1. Menjelaskan tentang etika politik.
2. Menjelaskan tentang etika pemerintahan.
3. Memaparkan tentang bagaimana seharusnya etika politik dalam

pemerintahan daerah.

1.4 Manfaat
1. Bagi mahasiswa
Untuk memahami lebih dalam tentang etika politik, etika pemerintahan, serta
memahami bagaimana seharusnya etika politik dalam pemerintahan daerah.
2. Bagi dosen
Penulisan makalah ini dapat menjadi tolok ukur pemahaman mahasiswa
tentang etika politik.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Etika Politik
Etika Politik Secara subtantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan
dengan subyek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik
berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa
pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subyek etika. Maka
kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajiban-kewajiban lainya, karena
yang dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manusia. Walaupun dalam
hubunganya dengan masyarakat bangsa maupun negara, Etika politik tetap

meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih
meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat
manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, Etika politik menuntut agar
kekuasaan dalam negara dijlankan sesuai dengan Asas legalitas (Legitimasi hukum),
secara demokrasi (legitimasi demokrasi) dan dilaksanakan berdasarkan prinsipprinsip moral (legitimasi moral). Etika politik ini harus direalisasikan oleh setiap
individu yang ikut terlibat secara kongkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara,
Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup yang baik, bersama dan untuk
orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusiinstitusi yang adil. Definisi etika politik membantu menganalisis korelasi antara
tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Dalam
perspektif ini, pengertian etika politik mengandung tiga tuntutan:
(1) upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain;
(2) upaya memperluas lingkup kebebasan; dan
(3) membangun institusi-institusi yang adil.
Tiga tuntutan tersebut saling terkait. "Hidup bersama dan untuk orang lain"
tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka

institusi-institusi yang adil. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan
kebebasan yang mencegah warga negara atau kelompok-kelompok dari perbuatan
yang saling merugikan. Kebebasan warga negara mendorong inisiatif dan sikap kritis

terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan dimaksudkan
sebagai syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan konkret
kebebasan atau democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan
berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya. Dalam konteks ini
pembicaraan mengenai ingatan sosial erat kaitannya dengan etika politik. Apalagi,
berbagai kasus kekerasan dan pembunuhan massal selalu terulang di Indonesia. Dari
pengalaman ini orang mulai curiga jangan- jangan tiadanya proses hukum terhadap
kekerasan dan pembunuhan yang terjadi merupakan upaya sistematik untuk
mengubur ingatan sosial.
Kesimpulannya Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang jujur,
bertatakrama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan,
jauh dari sifat munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif
dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.

2.2 Etika Pemerintahan
Dalam etika pemerintahan, terdapat asumsi yang berlaku bahwa melalui
penghayatan yang etis yang baik, seorang aparatur akan dapat membangun
komitmen untuk menjadikan dirinya sebagai teladan tentang kebaikan dan menjaga
moralitas pemerintahan.Aparatur pemerintahan yang baik dan bermoral tinggi, akan
senantiasa menjaga dirinya agar dapat terhindar dari perbuatan tercela, karena ia

terpanggil untuk menjaga amanah yang diberikan, melalui pencitraan perilaku hidup
sehari- hari. Dalam lingkup profesi pemerintahan misalnya, ada nilai- nilai tertentu
yang harus tetap ditegakkan- demi menjaga citra pemerintah dan yang dapat
menjadikan pemerintah, mampu menjalankan tugas dan fungsinya. Diantara nilainilai tersebut, ada yang tetap menjadi bagian dari etika dan adapula yang telah
ditranspormasikan ke dalam hukum positif. Contohnya, tindakan kolusi dengan
kelompok tertentu, lebih tepat dipandang sebagai pelanggaran etika daripada
pelanggaran hukum dikarenakan hukum belum secara rinci mengatur tentang bentuk

pelanggaran yang umumnya berlangsung secara diam- diam dan tersembunyi. Oleh
karena itu, seorang aparatur pemerintah yang ketahuan melakukan tindakan kolusi,
sekalipun tidak dapat selalu dituduh melanggar hukum berarti ia dinilai telah
melanggar etika, sehingga secara profesional dan moral, tetap dapat dikenakan
sanksi.
Kolusi merupakan sikap tidak jujur dengan cara membuat kesepakatan
tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan
pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi
lancar.
Etika pemerintahan seyogyanya dikembangkan dalam upaya pencapaian
misi, artinya- setiap tindakan yang dinilai tidak sesuai- dianggap tidak mendukungapalagi dirasakan dapat menghambat pencapaian misi dimaksud, seyogyanya
dianggap sebagai satu pelanggaran etik. Pegawai pemerintah yang malas masuk

kantor, tidak secara sungguh-sungguh melaksanakan tugas yang dipercayakan
kepadanya, minimal dapat dinilai- telah melanggar etika profesi pegawai negeri sipil.
Mereka yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi- kelompokatau golongan- dengan merugikan kepentingan umum pada hakikatnya telah
melanggar etika pemerintahan.
Etika pemerintahan mengamanatkan agar pejabat memiliki rasa kepedulian
tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa
dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai atau pun dianggap tidak mampu
memenuhi amanah masyarakat, bangsa dan negara.
Etika ini dimaksud untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efesien dan
efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan
keterbukaan, rasa bertanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai
perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih
benar walau datang dari orang per-orang ataupun kelompok orang, serta menjunjung
tinggi Hak Asasi Manusia.

Etika pemerintahan selalu berkaitan dengan nilai-nilai keutamaan yang
berhubungan dengan hak-hak dasar warga negara dalam selaku manusia sosial.
Nilai-nilai keutamaan yang dikembangkan dalam etika kepemerintahan adalah:
1. Penghormatan terhadap hidup manusia dan hak asasi manusia lainnya.
2. Kejujuran (honesty) baik terhadap diri sendiri maupun terhadap manusia

lainnya.
3. Keadilan (justice) dan kepantasan, merupakan sikap yang terutama harus
diperlakukan terhadap orang lain.
4. Fortitude, yaitu kekuatan moral, ketabahan serta berani karena benar terhadap
godaan dan nasib.
5. Temperance, yaitu kesederhanaan dan pengendalian diri
6. Nilai-nilai adama dan sosial budaya termasuk nilai agama agar umat manusia
harus bertindak secara profesional dan bekerja keras.
2.3 Etika Politik Pemerintah Daerah
Karena pemerintahan itu sendiri menyangkut pencapaian tujuan negara
(dimensi politis), maka dalam perkembangannya etika pemerintahan tersebut
berkaitan dengan etika politik. Etika politik subjeknya adalah negara, sedangkan
etika pemerintahan subjeknya adalah pejabat dan para pegawai.
Etika politik berhubungan dengan dimensi politik kehidupan manusia, yaitu
berhubungan dengan pelaksanaan sistem politik seperti tatanan politik, legitimasi
dan kehidupan berpolitik. Bentuk nilai keutamaannya seperti demokrasi, martabat
manusia, kesejahteraan warga negara, dan kebebasan berpendapat.
Etika politik juga mengharuskan sistem politik menjunjung nilai-nilai
keutamaan yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara etis maupun normatif.
Misalnya legitimasi politik harus dapat dipertanggungjawabkan demikian juga

tatanan kehidupan politik dalam suatu negara.
Etika pemerintahan berhubungan dengan keutamaan-keutamaan yang harus
dilaksanakan oleh para pejabat dan pegawai pemerintahan. Karena itu dalam etika
pemerintahan

membahas

perilaku

penyelenggara

pemerintahan,

terutama

penggunaan kekuasaan, wewenang termasuk legitimasi kekuasaan dalam kaitannya
dengan tingkah laku yang baik atau buruk. Wujud etika pemerintahan tersebut adalah
aturan-aturan ideal yang dinyatakan dalam undang-undang dasar baik yang

dikatakan oleh dasar negara maupun dasar-dasar perjuangan negara, serta etika

pegawai pemerintahan. Wujudnya di Indonesia adalah Pembukaan Undang-Undang
Dasr 1945 sekaligus Pancasila sebagai dasar negara, serta doktrin dan etika Pegawai
Negeri Sipil.
Doktrin Pegawai Negeri Sipil dinamakan “Bhinneka Karya Abdi Negara”
yaitu walaupun anggota-anggota KORPRI melaksanakan tugas di berbagai bidang
dan jenis karya yang beraneka ragam, tetapi adalah dalam rangka pelaksanaan
pengabdian kepada bangsa, negara dan masyarakat Indonesia. Etika Pegawai Negeri
Sipil disebut dengan “Panca Prasetya KORPRI”, yaitu anggota KORPRI beriman
kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah insan yang:
1. Setia dan taat kepada negara kesatuan dan pemerintah Republik Indonesia
yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh
rahasia jabatan dan rahasia negara.
3. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan
pribadi dan golongan.
4. Bertekad memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan
KORPRI
5. Berjuang

menegakkan


kejujuran

dan

keadilan,

serta

meningkatkan

kesejahteraan dan profesionalisme. (Dharma Setyawan Salam, 2004: 64-65)
Widjaja (Dharma Setyawan Salam, 2004: 67) mengatakan bahwa etika
berupa ajaran untuk mencapai tujuan dalam mewujudkan pemerintahan yang stabil
dan berwibawa menghendaki kondisi yang baik dari pelaksana-pelaksananya. Dalam
rangka menegakkan suatu pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa, maka
etika pemerintahan juga harus memperhatikan perkembangan demokrasi dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagai hubungan yang sinergis antara
negara, swasta dan masyarakat.
Sejarah pemerintahan di Indonesia membuktikan bahwa etika pegawai negeri

yang tercantum dalam Panca Prasetya KORPRI maupun yang diatur secara tersirat
dalam peraturan perundang-undangan yang ada belum mampu menjadi pedoman
perilaku bagi pejabat dan Pegawai Negeri Sipil di Indonesia. Misalnya, praktikpraktik penyalahgunaan wewenang serta korupsi, kolusi dan nepotisme tetap marak
dalam setiap babakan sejarah pemerintahan di Indonesia.

Karena itu etika pemerintahan harus diimplementasikan secara tegas dalam
bentuk peraturan perundang-undangan (baik undang-undang maupun peraturan
daerah). Pembuatan undang-undang etika pemerintahan ini didasarkan pada hakikat
pemerintahan berdasarkan pandangan etika pemerintahan adalah penerapan suatu
kewenangan yang berdaulat secara berkelanjutan berupa penataan, pengaturan,
penertiban, pengamanan dan perlindungan terhadap sekelompok manusia untuk
mencapai tujuan tertentu baik secara arbiter maupun berdasar pada peraturan
perundang-undangan.
Di samping itu, pembuatan undang-undang etika pemerintahan ini
merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan etika kepemerintahan, yaitu:
1. Menciptakan pemerintahan yang adil, bersih dan berwibawa.
2. Menempatkan segala perkara pada tempatnya sesuai dengan kodrat, harkat,
martabat manusia serta sesuai dengan fungsi, peran dan misi pemerintahan.
3. Terciptanya masyarakat demokratis.
4. Terciptanya ketertiban, kedamaian, kesejahteraan dan kepedulian.
Dapat disimpulkan bahwa pemerintahan pada dasarnya merupakan upaya
menjalankan kekuasaan untuk mencapai tujuan tertentu. Namun demikian, dalam
menjalankan pemerintahan itu, penguasa (termasuk aparatur pemerintahan daerah)
harus bersikap adil, jujur, menjunjung tinggi hukum dan memanusiakan manusia.
Karena itu dalam etika pemerintahan, memerintah berarti menerapkan kekuasaa
secara adil (baik secara hukum alam maupun hukum positif) dan memanusiakan
manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya.
Implikasinya dalam menerapkan kekuasaan tidak berdasarkan kekuasan fisik
tetapi berdasr asas kesamaan/kesetaraan, kebebasan, kepedulian/solidaritas, dan
menjunjung tinggi hukum. Dengan penerapan asas ini maka diharapkan
penyalahgunaan wewenang dan kesewenang-wenangan dapat dihindari.
Sebaliknya, penyelenggaraan pemerintahan (pemerintahan daerah) juga
memerlukan kekuasaan dalam bentuk wewenang dan otoritas. Dengan kekuasaan ini,
pemerintah (pemerintah daerah) memiliki hak untuk menuntut ketaatan dan memberi
perintah kepada orang-orang yang diatur atau diperintahnya. Namun demikian,
kekuasaan, wewenang, otoritas serta hak-hak yang melekat itu harus memiliki
legitimasi (keabsahan) berdasarkan norma tertentu. Di samping itu, sudah menjadi

kewajiban moral bagi aparatur pemerintahan untuk mempertanggungjawabkan
segala sikap dan perilakunya.
Syarat-syarat yang perlu dipenuhi oleh aparatur pemerintahan daerah
dalam setiap perbuatan hukumnya agar dapat diterima oleh masyarakat adalah
sebagai berikut:
1. Efektifitas. Kegiatan harus mengenai sasaran atau tujuan yang telah
ditetapkan atau direncanakan.
2. Legitimasi. Kegiatan pemerintah daerah harus dapat diterima masyarakat dan
lingkungannya.
3. Perbuatan para aparatur pemerintahan tidak boleh melanggar hukum.
4. Legalitas. Semua perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah harus
berdasarkan hukum yang jelas.
5. Moralitas. Moral dan etika umum maupun kedinasan wajib dijunjung tinggi.
6. Efisiensi. Kehematan biaya dan produiktivitas wajib diusahan setinggitingginya.
7. Teknik dan teknologi yang setinggi-tingginya wajib dipakai untuk
mengembangkan atau mempertahankan mutu prestasi yang sebaik-baiknya.
(Dharma Setyawan Salam, 2004: 88-89)

2.4 Pelanggaran etika politik oleh pemerintah daerah
Pelanggaran etika politik terjadi ketika para aparatur daerah tidak lagi
mengindahkan etika politik dalam pemerintahannya. Pelanggaran yang marak terjadi
di Indonesia adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme. Salah satunya adalah yang terjadi
baru-baru ini di provinsi Banten. Yaitu, tindak KKN yang dilakukan oleh gubernur
Banten, Ratu Atut Chosiyah.
Yang paling jelas terlihat dari tindak KKn Ratu Atut adalah adanya politik
dinasti pemerintahan, dimana banyak anggota keluarga dan orang-orang terdekat
Ratu Atut yang menjabat di pemerintahan. Dinasti politik keluarga Gubernur banten,
Ratu Atut Chosiyah, dinilai tidak berkualitas dan merusak tatanan demokrasi. Hal itu
diperparah

dengan

cara-cara

kotor

dan

korupsi

untuk

meraih

jabatan.

Sebenarnya tidak ada larangan bagi setiap warga negara untuk berpolitik, namun
ketika mereka dipaksakan menjadi pejabat publik tanpa melalui tahapan dan seleksi,
maka hasilnya tidak akan maksimal

Dinasti politik terjadi tidak hanya karena pejabat dan kroni-kroninya
melainkan juga ditentukan oleh partispasi rakyat. Sebagai pemilih, rakyat tidak
memperhatikan latar belakang orang yang dipilihnya namun lebih pada money
politik yang akan diterimanya.rakyat sebagai pemilih sering terbuai dengan berapa
uang yang diterima untuk memilih calon pemimpin mereka.
Dalam politik, aturan pembatasan dinasti politik tidak bisa dilakukan karena
melanggar hak asasi manusia. Pasalnya, setiap warga negara mempunyai berpolitik
untuk memilih dan dipilih. Dalam hal ini yang perlu diatur adalah proses
kompetisinya. Semuanya harus melewati tahapan dan fase yang sama, tidak ada
pembedaan. Jangan sampai seseorang bisa dengan mudah mendapat jabatan hanya
kaerna dia adalah kerabat dari seorang pejabat yang lebih tinggi.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Etika Politik Secara subtantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan
dengan subyek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik
berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa
pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subyek etika. Maka
kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajiban-kewajiban lainya, karena
yang dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manusia. Walaupun dalam
hubunganya dengan masyarakat bangsa maupun negara, Etika politik tetap
meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih
meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat
manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya.
Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang jujur, bertatakrama dalam
perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sifat
munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai
tindakan yang tidak terpuji lainnya.
Etika pemerintahan mengamanatkan agar pejabat memiliki rasa kepedulian
tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa
dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai atau pun dianggap tidak mampu
memenuhi amanah masyarakat, bangsa dan negara.
Etika ini dimaksud untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efesien dan
efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan
keterbukaan, rasa bertanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai
perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih
benar walau datang dari orang per-orang ataupun kelompok orang, serta menjunjung
tinggi Hak Asasi Manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Budi, Taufik. 2013. Dinasti Politik Ratu Atut Jelek dan Merusak Demokrasi.
http://news.okezone.com/read/2013/10/15/339/881681/redirect. 19 Oktober,
2013.

Dabur, Elias Sumardi. 2010. Korupsi Sebagai Kejahatan Luar Biasa. Jurnal
Nasional 9-12-2010.
Handoyo, Eko Dkk. 2010. Etika Politik dan Pembangunan. Semarang: Widya Karya
Semarang.
Salam, Dharma Setyawan. (2004). Manajemen Pemerintahan Indonesia. Jakarta :
Penerbit Djambatan.

ETIKA POLITIK PEMERINTAH
DAERAH

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Politik

Disusun oleh:
Nama

: Putri Maharani Safitri

NIM

: 3312412047

Jurusan

: Ilmu Politik

Fakultas

: Fakultas Ilmu Sosial

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013