PETA PENELITIAN DALAM BIDANG PENDIDIKAN

PETA PENELITIAN DALAM BIDANG PENDIDIKAN KIMIA
Makalah
Disampaikan pada Workshop Penelitian Tindakan Kelas
untuk Guru Mata Pelajaran Kimia yang diselenggarakan oleh
Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI, 19 April 2008

Oleh:
Harry Firman

1.

Pendahuluan

Guru adalah suatu profesi, artinya adalah tindakan profesional guru dalam
mengajar dan membimbing perlu berlandaskan pengetahuan (knowledge
based). Pengetahuan tersebut diperlukan untuk memahami fenomena yang
muncul dalam konteks pembelajaran. Pengetahuan itu pula menjadi kerangka
acuan untuk memilih tindakan-tindakan profesional dalam konteks
pembelajaran. Oleh karena itu kekayaan terhadap basis pengetahuan untuk
mengajar (knowledge base for teaching) membedakan kepiawaian satu guru
dengan guru lainnya. Basis pengetahuan ini diperoleh guru dari aktivitas

berbagi pengetahuan dengan sejawat, pencerahan dari pakar, pengalaman
profesional, serta penelitian ilmiah.
Terdapat dua kategori pengetahuan untuk mengajar, yakni pengetahuan
teoretik (theoretical knowledge) dan pengetahuan praktis (practical
knowledge). Pengetahuan teoretik lebih banyak diperlukan untuk menjawab
pertanyaan “mengapa” terhadap fenomena pembelajaran, sedangkan
pengetahuan praktis lebih banyak diperlukan dalam menjawab pertanyaan
“bagaimana” melakukan tindakan profesional dalam konteks pembelakaran.
Pengetahuan teoretik mengajar bersumber pada hasil kajian pakar terhadap
temuan penelitian mereka. Sementara itu pengetahuan praktis mengajar
bersumber pada pengkajian terhadap pengalaman dan penelitian guru sebagai
praktisi mengajar. Kedua jenis pengetahuan ini sama pentingnya untuk
mendukung profesionalisme guru.
Pengetahuan praktis mengajar dalam konteks pendidikan kimia hingga saat
ini lebih digali, diformulasi, dan diangkat menjadi bentuk pengetahuan yang
dapat disebarluaskan, dipertukarkan, dan diaplikasikan. Kemiskinan akan basis
pengetahuan praktis tentang mengajar kimia menyebabkan ketidakmampuan
komunitas pendidik kimia secara keseluruhan untuk memecahkan
permasalahan kronis dalam pendidikan yakni “materi pelajaran kimia itu sukar
dimengerti”, sekalipun disadari banyak pihak bahwa pengetahuan kimia itu

penting bagi semua orang. Dalam kaitan ini guru sebagai praktisi pendidikan
kimia perlu turut aktif untuk mengali pengetahuan praktis mengajar kimia
untuk memecahkan “masalah bersama” yang dihadapi melalui penelitian
ilmiah dan publikasi hasilnya, sehingga dapat dirujuk oleh semua anggota
komunitas guru kimia ketika melaksanakan tugas profesinya.
Makalah ini ditulis dengan tujuan memberikan perspektif tentang
penelitian-penelitian dalam bidang pendidikan kimia dewasa ini, baik dari

1

aspek persoalan yang dikaji dan aspek metodologi, dengan harapan dapat
memunculkan inspirasi bagi komunitas pendidik kimia untuk melakukan
penelitian sebagai bagian integral tugas profesionalnya.

2. Ranah-Ranah Penelitian dalam Bidang Pendidikan Kimia
Fenomena belajar kimia mempunyai kompleksitas tinggi, sementara ilmu
pendidikan kimia belum sampai pada taraf cukup matang untuk mengarahkan
praksis pendidikan kimia di sekolah. Oleh karenanya tidak semua persoalan
pembelajaran kimia dapat dipecahkan, sehingga terdapat banyak masalah
pendidikan kimia yang sekalipun telah teridentifikasi sejak lama, namun masih

tinggal sebagai masalah. Untuk itu masih diperlukan penelitian-penelitian
mendalam terhadap permasalahan-permasalahan pembelajaran kimia yang
terorganisasikan dalam jejaring penelitian yang sistematik.
Peta penelitian dalam bidang pendidikan kimia di dunia internasional
mengindikasikan bahwa topik-topik penelitian yang dilaporkan dalam publikasi
ilmiah dalam satu dekade terakhir terkonsolidasi pada sejumlah ranah
(domain) penelitian (Gabel, 1994; Bucat, 1995; DeJong, 1999), antara lain
analisis konsepsi/miskonsepsi peserta didik terhadap konsep-konsep esensial
yang menjadi materi pembelajaran kimia, remediasi miskonsepsi kimia,
diagnosis kesalahan pemecahan masalah dalam kimia, analisis pembelajaran
kimia, inovasi-inovasi pembelajaran kimia, korelat-korelat hasil belajar kimia,
serta analisis data penilaian hasil belajar kimia (Lihat Gambar 1).
Gambar 3: Ranah-Ranah Penelitian Pendidikan Kimia
Analisis
konsepi/
miskonsepsi

Analisis
pembelajaran


Pengembangan
& uji coba
inovasi

Remediasi
miskonsepsi

Ranah
Penelitian
Pendidikan
Kimia

Korelatkorelat hasil
belajar kimia

2

Diagnosis
kesulitan
pemecahan

masalah

Analisis data
sekunder hasil
penilaian

(1) Analisis konsepsi siswa. Penelitian dalam ranah ini mengidentifikasi
konsepsi-konsepsi siswa mengenai konsep-konsep esensial dalam silabus
mata pelajaran kimia di SMP/MTs dan SMA/MA dengan berbagai macam
metode standar, antara lain assessmen dengan tes diagnostik miskonsepsi,
interviu klisnis (dengan perekaman) terhadap peserta didik, atau pemetaan
konsep oleh peserta didik. Hasil studi dalam ranah ini diharapkan dapat
memperkaya pengetahuan tentang konsepsi-konsepsi alternatif yang ada
dalam pikiran siswa sekolah menengah pada umumnya. Pengetahuan ini
penting sebagai landasan bagi guru untuk merancang strategi
pembelajaran yang efektif untuk mencegah dan menghilangkan
miskonsepsi.
(2) Remediasi
miskonsepsi.
Penelitian-penelitian

dalam
ranah
ini
mengembangkan metode, teknik, dan media (konvensional dan digital)
pembelajaran yang dirancang untuk meremedi peserta didik yang
teridentifikasi mengalami miskonsepsi. Pada umumnya penelitian dalam
ranah ini menggunakan teori pengubahan konsep (conceptual change),
yang memberikan kerangka acuan bagaimana suatu miskonsepsi yang
sifatnya resisten pada benak siswa dapat diubah (Stavy, 1995).
Pengetahuan yang dihasilkan dari penelitian-penelitian dalam ranah ini
sangat dinantikan untuk mengatasi masalah rendahnya hasil belajar yang
rutin kita dihadapi, apalagi pada saat prinsip belajar tuntas (mastery
learning) dituntut untuk dilakukan dalam tugas profesional saat kini.

3

(3) Diagnosis kesulitan dalam memecahkan masalah hitungan kimia.
Kompetensi
melakukan
perhitungan-perhitungan

numerik
dalam
pembelajaran kimia, misalnya perhitungan stoikiometri, kesetimbangan,
termokimia, pH larutan asam-basa, buffer, hidrolisis, kelarutan,
elektrokimia, teridentifikasi sebagai masalah nyata yang dihadapi siswa.
Analisis lebih mendalam perlu dilakukan terhadap titik kelemahan peserta
didik dalam proses pemecahan masalah, yang menyebabkan mereka
memperoleh jawaban salah. Metode standar yang dapat dipakai dalam
mengidentifikasi kelemahan tersebut adalah analisis terhadap respon
tertulis peserta didik pada penyelesaian soal hitungan serta metode
“thinking-aloud” (Bowen, 1994). Pada penelitian seperti ini subyek
penelitian diminta menyelesaikan soal numerik sambil mengutarakan
proses penalaran yang terjadi dalam pikirkannya, dan peneliti
merekamnya.
Analisis
terhadap
transkripsi
rekaman
tersebut
memungkinkan peneliti dapat menelusuri titik awal peserta didik berbuat

salah. Selanjutnya, atas dasar pengetahuan itu strategi-strategi
pembelajaran dalam konteks pemecahan masalah numerik kimia dapat
dikembangkan.
(4) Analisis pembelajaran. Penelitian dalam ranah ini mengobservasi dan
merekam eksplanasi pendidik dan eksplanasi peserta didik dalam situasi
pembelajaran kimia yang yang dilakukan oleh guru piawai ketika
mengajarkan suatu materi pokok tertentu pada silabus mata pelajaran
kimia. Selanjutnya peneliti melakukan analisis terhadap transkripsi interaksi
belajar-mengajar tadi untuk menemukan bagaimana guru memfasilitasi
siswa dalam mengkontruksi konsep kimia. Strategi guru dalam menerapkan
pedagogi materi subyek yang membuat materi pelajaran terpahami
(tercerna) menjadi temuan-temuan penting dari penelitian semacam ini.
Dapat juga perilaku pengajar guru piawai diperbandingkan dengan guru
pemula, sehingga pengetahuan praktis (practical knowledge of teaching)
guru yang menyebabkan kepiawaian dalam mengajar kimia dapat
diidentifikasi dan dihimpun untuk dijadikan model.
(5) Pengembangan dan ujicoba pembelajaran inovatif. Penelitian dalam
ranah ini pada dasarnya menerapkan teori, prinsip, pendekatan baru dalam
mengajar, atau penggunaan teknologi yang prospektif untuk meningkatkan
keberhasilan pembelajaran, khususnya yang menyangkut materi

pembelajaran yang sesuai.
Dalam penelitian pada konteks ini
dikembangkan suatu program pembelajaran dengan menerapkan teori,
prinsip, pendekatan, teknik yang dirujuk, misalnya konstruktivisme,
pedagogi materi subyek, CTL (contextual teaching-learning), SETS (science,
environment, technology, society), PBL (Problem based learning),
cooperative learning, visualisasi dengan multimedia, dll.) kemudian
mengimplementasikannya dalam kelas oleh pendidik atau peneliti.
Penelitian semacam ini umumnya dilakukan secara penelitian tindakan
kelas (classroom action research) secara kolaboratif antara peneliti dan
pendidik di sekolah. Pengetahuan yang dihasilkan dari penelitian dalam
ranah ini memperkaya pilihan model, strategi, pendekatan, metode, dan
teknik pembelajaran yang telah teruji efektivitasnya dalam konteks
ujicobanya, sehingga pendidik dapat menggunakannya dalam konteks
kelasnya masing-masing.
(6) Korelat-korelat hasil belajar kimia. Hingga saat ini pengetahuan
tentang faktor-faktor determinan keberhasilan belajar kimia belum konklusif
karena kurangnya penelitian yang dilakukan dalam rahan ini. Akibatnya

4


tidak tersedia rujukan yang dapat dipegang oleh para praktisi pendidikan
kimia di lapangan dalam merencanakan pembelajaran. Faktor-faktor
tersebut bertemali dengan hasil belajar dalam model struktural yang
umumnya cukup kompleks. Pemodelan antarhubungan variabel-variabel
dengan hasil belajar diungkap melalu penelitian korelasional. Pengetahuan
tentang korelat-korelat hasil belajar kimia ini sangat berguna dalam
merencanakan pembelajaran kimia yang efektif dengan merujuk pada
faktor-faktor yang teridentifikasi berpengaruh pada capaian hasil belajar
kimia.
(7) Analisis data penilaian hasil belajar kimia. Penilaian hasil belajar, baik
oleh Pemerintah, badan independen, satuan pendidikan, maupun pendidik
dalam konteks pendidikan kimia menghasilkan lautan data, yang dapat
digunakan untuk mengungkap fenomena-fenomena yang terkait pada
proses pembelajaran. Basis data hasil Ujian Nasional yang direlease oleh
Puspendik
Depdiknas
memberikan
data
terkonsolidasi

yang
memperlihatkan proporsi peserta ujian yang menjawab benar dan profil
respon siswa terhadap setiap butir soal dalam tes yang dipakai pada unit
sekolah, kabupaten/kota, atau nasional, di samping profil rata-rata capaian
sekolah, kabupaten/kota, dan secara nasional.
Analisis lebih lanjut
terhadap data tersebut (seringkali disebut secondary data analysis)
terhadap data masing-masing sekolah akan melahirkan temuan tentang
profil capaian siswa sekolah itu (termasuk tingkat kompetensi lulusan) serta
posisi relatif capaian sekolah itu terhadap rata-rata capaian benchmark
yang ditetapkan (sekolah lain, kabupaten/kota, provinsi, nasional). Temuan
penelitian seperti itu lebih lanjut dapat menjadi alat diagnostik tentang
kelemagan dan kekuatan pembelajaran yang dilaksanakan. Tinjauan lebih
lanjut antarhubungan antara capaian individual siswa dengan data
karakteristik siswa (potensi akademik, bakat, minat, dll.) akan mengungkap
lebih banyak hal-hal lain yang menarik dan berguna. Analisis data sekunder
dapat pula dilakukan terhadap data hasil penilaian sumatif pretasi belajar
lainnya, seperti ulangan akhir semester, atau survey-survey nasional
prestasi belajar yang dilakukan Pemerintah.

3. Metode-Metode dalam Penelitian Pendidikan Kimia
Penelitian dalam bidang pembelajaran dapat berupa penelitian kualitatif dan
penelitian kuantitatif. Perbedaan keduanya bukan dikhotomi, melainkan suatu
kontinum. Banyak penelitian berada pada posisi tertentu dalam kontinum itu,
dalam arti menggunakan prosedur penelitian kualitatif dan kuantitatif
sekaligus sesuai dengan permasalahan yang akan dipecahkannya. Penelitian
kualitatif lebih banyak dilakukan dengan tujuan memahami suatu fenomena
pendidikan secara mendalam dan holistik. Sementara itu penelitian kuantitatif
dilakukan untuk menentukan hubungan, pengaruh, dan penyebab. Penelitian
kualitatif terikat konteks sehingga tak dapat digeneralisasi ke dalam konteks
lain, sementara itu penelitian kuantitatif justru mencari generalisasi
(kesimpulan umum) yang bebas konteks (context-free). Jika penelitian
kualitatif mempelajari fenomena secara holistik (menyeluruh), maka penelitian
kuantitatif justru terfokus pada faktor atau variabel tertentu secara terpisah.
Dalam pengumpulan data, penelitian kuantitatif bertumpu pada desain,
prosedur dan alat ukur standar yang telah ditetapkan sebelumnya, sedangkan
dalam penelitian kualitatif prosedur pengumpulan data lebih fleksibel,
dilakukan oleh peneliti sendiri (peneliti sebagai instrumen) dan memanfaatkan

5

banyak cara (multi-method). Untuk meyakinkan peneliti dalam menarik
kesimpulan, peneliti melakukan triangulasi, yakni memperhatikan informasi
tentang suatu aspek yang diteliti dari lebih dari satu sumber. Sementara itu
dalam laporan, jika laporan penelitian kuantitatif lebih menitikberatkan pada
presentasi angka dan statistik, maka laporan penelitian kualitatif didominasi
oleh deskripsi naratif. Beberapa metode yang seringkali digunakan dalam
penelitian pembelajaran dipaparkan berikut ini.
(1)Metode eksperimen. Eksperimen adalah suatu metode penelitian yang di
dalamnya peneliti menyelidiki pengaruh suatu perlakuan (treatment) pada
subyek penelitian. Dalam penelitian eksperimen satu variabel (variabel
eksperimen) secara sengaja “dimanipulasi” (divariasikan) oleh peneliti
untuk menentukan pengaruh dari variasi tersebut. Sementara itu variabelvariabel (extraneous variable) lain yang secara teoretik berpengaruh pada
hasil eksperimen dikendalikan (controlled) dengan pelbagai cara, antara
lain memilih anggota kelompok eksperimen (experimental group) dan
anggota kelompok kontrol (kelompok kontrol) sebagai pembanding secara
acak (random). Selanjutnya kelompok eksperimen dikenai perlakuan
(treatment), yang dirancang, sementara kelompok pembanding tidak
menerima
perlakukan
itu.
Dampak
variasi
dievaluasi
dengan
membandingkan hasil pengukuran pasca perlakukan (post-test) terhadap
kedua kelompok tadi. Untuk lebih meyakinkan bahwa dampak tadi memang
karena perlakuan, acapkali pre-test dilakukan dan selisih antara post- dan
pre-test (gain) turut diperbandingkan.

(2) Metode quasi-eksperimen. Dalam prakteknya sangat sulit untuk memilih
anggota kelompok eksperimen dan kelompok kontrol secara acak, sebab
dalam setting alaminya di persekolahan siswa telah dikelompokkan ke
dalam kelas-kelas. Dengan demikian keacakan pemilihan sampel penelitian
tak terpenuhi. Penelitian yang tidak bertumpu pada keacakan (randomness)
dalam penugasan kelompok eksperimen dan kelompok, dinamakan
penelitian quasi-eksperimen. Tetapi bukan berarti kedua kelompok sampel
dibiarkan tidak setara, karena yang diambil adalah dua kelompok yang
lebih mempunyai kesamaan di antara keseluruhan kelompok yang tersedia.
Berdasarkan indikator-indikator tertentu dapat ditunjukkan bahwa kedua
kelompok tersebut “setara”, misalnya dari tingkat kecerdasan rata-rata
siswa, perolehan hasil belajar, fasilitas belajar yang dipunyai, lingkungan
belajar yang dialami, dsb. Kesetaraan kedua kelompok seringkali
ditunjukkan pula oleh kesamaan dalam skor pre-test. Penelitian quasieksperimen sangatlah umum dilakukan dalam penelitian pendidikan.
Sebagai contoh penelitian quasi-eksperimen, seorang peneliti ingin
meneliti dampak dari penggunaan media pembelajaran berbasis IT
terhadap pemahaman siswa ketika mempelajari topik struktur atom di kelas
satu SMA. Ia memilih dua kelas satu di suatu sekolah yang berdasarkan
indikator-indikator rata-rata kelas dalam prestasi belajar, tingkat status
ekonomi sosial, dsb. tidak berbeda. Tidak mungkin peneliti membentuk
kelas eksperimen dan kelas kontrol sendiri secara acak. Oleh karenanya
salah satu kelas ditugasi sebagai kelompok eksperimen (akan menerima
perlakukan eskperimen) dan yang lainnya dijadikan kelompok pembanding.
Selanjutnya pembelajaran berbasis IT diterapkan pada kelas eksperimen,
sedangkan kelas pembanding menerima pengalaman belajar konvensional.
Waktu belajar dan ruang lingkup materi pembelajaran kedua kelas
disamakan (dikontrol). Setelah materi pelajaran selesai diajarkan, kepada

6

dua kelas tersebut diberikan suatu test yang sama, yang mengukur
pemahaman siswa terhadap materi pelajaran tersebut, untuk kemudian
diperbandingkan rata-rata skor test kedua kelompok tersebuit secara
statistika.
(3)
Metode kuantitatif non-eksperimen. Beberapa tipe penelitian
kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode non-eksperimen, yakni
penelitian deskriptif, penelitian komparatif, penelitian korelasional, serta
penelitian “ex-post facto”. Penelitian deskriptif memaparkan suatu
fenomena dalam pembelajaran dengan ukuran-ukuran statistik, seperti
frekuensi, persentase, rata-rata, variabilitas (rentang dan simpangan baku),
serta citra visual dari data misalnya dalam bentuk grafik. Sebagai contoh,
penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi topik-topik materi pelajaran
kimia yang dirasakan sulit oleh siswa kelas XII SMA di Kota Bandung. Untuk
mengumpulkan data, dilakukan survey dengan instrumen kuesioner
terhadap sejumlah siswa yang menjadi “sampel” dalam penelitian ini.
Kekuatan penelitian seperti ini bergantung pada ketepatan melakukan
“sampling”, sehingga jumlah anggota sampel yang terbatas itu
representatif. Berdasarkan data yang diperoleh dari sampel dapat
disimpulkan tentang kondisi populasi, yakni topik-topik materi pelajaran
kimia yang dirasakan sulit.
Penelitian komparatif meninjau hubungan antara dua atau lebih variabel
dengan melihat perbedaan yang ada pada dua atau lebih kelompok subyek
penelitian. Jadi, masing-masing kelompok diperbandingkan dari variabel
tertentu yang diselidiki. Sebagai contoh suatu penelitian berusaha
meninjau hubungan antara tingkatan kelas dan minat pada pelajaran kimia
di suatu sekolah, dengan mensurvey minat siswa kelas X, kelas XI, dan
kelas XII terhadap pelajaran kimia dan membedakannya satu sama lain
secara statistika (misalnya analisis variansi untuk perbedaan rata-rata),
sehingga hubungan antara minat terhadap pelajaran kimia dan tingkatan
kelas dapat disimpulkan. Namun demikian, hubungan yang ditemukan dari
penelitian komparatif ini, tidak serta merta dapat ditafsirkan sebagai
hubungan kausal (sebab-akibat).
Penelitian korelasional menyelidiki hubungan di antara variabel-variabel,
yang diungkapkan dengan nilai koefisien korelasi. Untuk mencari korelasi,
setiap subyek penelitian memberikan satu skor untuk masing-masing
variabel yang diteliti, sehingga terdapat dua himpunan skor yang jika
dihitung nilai koefisien korelasinya memperlihatkan derajad kekuatan
hubungan di antara variabel-variabel yang diselidiki hubungannya. Contoh
penelitian korelasional adalah penelitian tentang kekuatan hubungan
antara IQ dengan kemampuan belajar kimia siswa SMA. Contoh lain adalah
penelitian tentang daya prediksi nilai kimia tes SPMB terhadap IPK
mahasiswa program studi kimia di perguruan tinggi. Jika penelitian
korelasional melibatkan lebih dari dua variabel sekaligus, maka teknik
analisis statistika yang lebih rumit diperlukan dalam analisis data (misalnya
regresi ganda). Jika keterkaitan hubungan antar variabel dapat dijelaskan
secara teoretik, maka korelasi antarvariabel tersebut dapat dimaknai
sebagai hubungan kausal.
Penelitian “ex-post facto” (setelah terjadi), yang seringkali disebut juga
penelitian kausal-komparatif, pada dasarnya merupakan penelitian noneksperimen yang dipoles sehingga nampak seperti suatu eksperimen. Studi
ex-post facto menguji suatu fenomena yang telah terjadi dan berusaha

7

menarik kesimpulan tentang adanya hubungan-hubungan kausal. Contoh
pertayaan penelitian dari studi ex-post facto: Apakah siswa SMA yang
mengikuti bimbingan tes mempunyai prestasi belajar kimia lebih tinggi
daripada siswa yang tidak mengikuti bimbingan tes dalam SPMB? Pada
studi ini keikutsertaan dalam bimbingan tes dapat dipandang sebagai
“perlakuan”, dan pengaruhnya terhadap keberhasilan dalam SPMB diselidiki
dari perbedaan rata-rata nilai prestasi kedua kelompok tersebut.
(4) Metode
kualitatif:
Penelitian
etnografik,
analisis
konten,
fenomenology, dan studi kasus. Dalam konteks pendidikan, penelitian
etnografik didefinisikan sebagai pendeskripsian secara ilmiah sistem,
proses, dan fenomena pendidikan dalam konteks budayanya. Penelitian
etnografik berkaitan erat dengan observasi, deskripsi, dan interpretasi
terhadap fenomena yang diselidiki. Penelitian etnografik berlangsung
dalam setting alami dan berfokus pada proses dalam mencoba memperoleh
gambaran tentang obyek studi secara holistik. Sebagai contoh, suatu
penelitian etnografik dalam pendidikan kimia berangkat dari pertanyaan:
“Seperti apa pembelajaran kimia di sebuah sekolah berstandar
internasional yang berhasil?” Observasi dilakukan dalam interaksi siswa
dalam pembelajaran dalam kelas, laboratorium kimia, lab komputer, dan
perpustakaan sekolah, dalam kurun waktu tertentu. Peneliti membuat
catatan lapangan (field notes) secara intensif tentang apa yang
diobservasinya, serta melakukan interviu terhadap banyak siswa dan guru.
Berdasarkan semua informasi yang dikumpulkannya, peneliti memberikan
paparan dan interpretasi yang akurat tentang pembelajaran kimia di
sekolah yang menjadi situs penelitiannya, sehingga dapat menjadi model
bagi guru di sekolah lain.
Analisis konten (content analysis) adalah suatu metode penelitian untuk
menghasilkan deskripsi yang obyektif dan sistematik mengenai isi (content)
yang terungkap dalam suatu komunikasi (Zuchdi, 1993). Analisis konten
dimanfaatkan untuk memahami makna dalam bentuk dokumen, artikel,
buku ajar, soal ujian, media pembelajaran, rekaman video interaksi bekajarmengajar, dll. Tahapan analisis konten mencakup tahap pendeskripsian
yang diikuti dengan tahapan analisis dan inferensi. Analisis dapat dilakukan
secara kuantitatif, seperti frekuensi, asosiasi dan korelasi, ataupun
dilakukan secara kualitatif yang menekankan pola-pola hubungan yang ada
dalam dokumen yang dianalisis. Satu contoh penelitian yang menggunakan
analisis konten adalah penelitian tentang struktur pemecahan masalah
dalam soal stoikiometri dalam tes SPMB. Peneliti mula-mula menentukan
rentang tahun penerbitan soal-soal SPMB yang akan dianalisis, selanjutnya
ia memecahkan soal-soal stoikiometri tersebut secara sistematis sampai
memperoleh hasil akhir yang tepat. Dari proses pemecahan masalah yang
dilakukannya, peneliti kemudian menartik kesimpulan tentang banyaknya
langkah (step) yang diperlukan dalam memecahkan masalah, konsep dan
prinsip apa yang terlibat, serta pola strukur pemecaham masalahnya
(linear, bercabang di awal, bercabang di akhir, dll.) Penggambaran struktur
proses pemecahan masalah stoikiometri dalam tes SPMB tersebut berguna
bagi guru untuk mengajarkan “strategi pemecahan masalah” stoikiometri
kepada siswa dalam rangka menyiapkan siswa menghadapi ujian SPMB.
Penelitian fenomenologi, adalah penelitian yang bertujuan untuk
mengungkap persepsi, pemahaman, dan pandangan orang terhadap
fenomena baru tertentu yang di dalamnya mereka terlibat (insider’s
perspective). Sebagai contoh, sebuah penelitian mengungkap pandangan

8

dan pengalaman guru kimia melakukan tugas profesional baru atau tak
biasa, misalnya mengimplementasikan KTSP sekolahnya yang berbasis
kompetensi, menerapkan pendekatan pembelajaran baru, misalnya
pendekatan kecerdasan ganda, pendekatan kontekstual, penilaian
alternatif, dsb. Pengetahuan yang diangkat dari penelitian ini bermanfaat
bagi pihak manajemen sekolah atau di lingkup yang lebih luas sebagai
landasan untuk mengembangkan kondisi yang menunjang implementasi
inovasi-inovasi di tataran satuan pendidikan.
Studi kasus (case study). Studi kasus merupakan pengkajian secara
mendalam terhadap sebuah kelompok atau sejumlah kecil individu untuk
mengungkap fenomena yang menjadi tujuan penelitian. Sebagai contoh,
didorong oleh keinginan mendiagnosis akar masalah dari fenomena
rendahnya hasil belajar siswa secara konsisten dari tahun ke tahun dalam
materi pokok struktur atom di kelas XI, seorang guru melakukan “interviu
klinis” secara mendalam beberapa orang siswa yang berprestasi rendah
dalam tes struktur atom. Pada interviu itu guru mengajukan serangkaian
pertanyaan dan mendalami jawaban siswa untuk mengungkap konsepsikonsepsi siswa tentang konsep-konsep inti struktur atom yang telah
diajarkan. Dari interviu klinis yang dilakukan guru akhirnya mampu
mengidentifikasi aneka konsepsi dan miskonsepsi umum yang dialami
siswa yang berkesulitan belajar kimia tersebut. Informasi hasil penelitian
semacam itu sangat berguna bagi guru untuk merancang program remedi
agar efektif menolong siswa yang berkesulitan belajar kimia. Sementara itu
informasi yang sama jika dipublikasikan berguna bagi guru-guru lain untuk
mengantisipasi miskonsepsi serupa. Studi kasus melalui interviu klinis ini
patut dilakukan guru untuk mendiagnosis secara mendalam tentang akar
masalah yang menimbulkan fenomena kesulitan siswa dalam memecahkan
soal kuantitatif kimia, sebagaimana yang menggejala hingga saat ini.

4. Penutup
Paparan tentang aneka domain dan metodologi penelitian di atas merupakan
alternatif pilihan untuk menggali dan mengembangkan basis pengetahuan
untuk mengajarkan kimia, baik yang bersifat sebagai pengetahuan teoretik
maupun sebagai pengetahuan praktis. Kemampuan komunitas profesi guru
kimia untuk memecahkan masalah bersama bergantung pada kekayaan basis
pengetahuan yang dapat dibagi dalam komunitas. Keberadaan basis
pengetahuan tersebut akan mengatasi praksis mengajar kimia dengan
mengandalkan intuisi semata, sehingga keberhasilannya dapat lebih dijamin.
Tugas menggali dan membagi pengetahuan untuk mengajarkan kimia bukan
hanya tugas pakar, melainkan tugas semua anggota komunitas pendidikan
kimia. Kolaborasi antara pakar dan praktisi dalam konteks penggalian,
pengembangan, dan penyebarluasan pengetahuan untuk mengajarkan kimia
tersebut diyakini akan berkontribusi pada peningkatan kualitas pendidikan
secara nasional. Di samping itu, yang tak kalah pentingnya dalam upaya
peningkatan kualitas pendidikan kimia adalah kesediaan anggota komunitas
pendidik kimia untuk mengikuti perkembangan hasil-hasil penelitian, serta
mengaplikasikan secara kontekstual dalam kelasnya.

9

Rujukan
Bowen, C. W. (1994). What is research in chemistry education. Journal of
chemical education, 71(3), 184-190.
Bucat, B. & Fensham, P. (Eds.) (1995). Selected papers on chemical education
research: Implications for the teaching of chemistry. Delhi: The IUPAC
committee on teaching of chemistry.
Cohen, L., Manion, L., & Morrison, K. (2007). Research methods in education.
London: Taylor & Francis Group.
De Jong, O., Schmidt, H., Burger, M. & Eybe, H. (1999). Empirical research into
chemical education: The motivation, research domains, methods and
infrastructure of a maturing scientific discipline. [Online] Tersedia:
http://www.euchems.org/binaries/ [10 Feb 2006]
Gabel, D. L. (Ed.) (1994). Handbook of research on science teaching and
learning. New York: Macmillan.
Stavy, R. (1988). Children’s conception of gas. International Journal of Science
Education, 10(5), 553-560.
Zuchdi, D. (1993). Panduan penelitian analisis konten. Yogyakarta: Lembaga
Penelitian IKIP Yogyakarta.

10