Laporan Penelitian Politik Luar Negeri

HI UII

LAPORAN PENELITIAN Kode Nomor: LAPORAN PENELITIAN

Politik Luar Negeri Arab Saudi dan Ajaran Salafi-Wahabi di

Indonesia

Dilaporkan Oleh: Hasbi Aswar, S.IP, MA

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA 2016

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI.................................................28

6.1 Kesimpulan......................................................................................................28

6.2 Rekomendasi....................................................................................................29 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

ABSTRACT

This research aims to explore the role of Saudi Foreign Policy in disseminating Wahhabi Doctrine in Indonesia. Islam is one important aspect in Saudi Arabian Foreign Policy since its beginning in 18th century until nowadays. In early Saudi kingdom, its foreign policy focused on expansion of its power and spread the Wahhabi doctrines in the region of Arabia. This expansive policy resulted long conflict between Saudi Kingdom and Ottoman Empire. In modern Saudi Kingdom, Islam in Saudi Foreign Policy can be seen through its big role to support and contribute Islamic Dakwah (Preaching of Islam) in the world in many ways such as by education assistance and building Islamic Center in many countries. However, the expansion of Saudi Islamic da`wah still remains controversy between many observers. Some contend, Islamic Da`wah based on Wahhabi doctrine can produce extrimism/radicalism that can become a threat to world peace and security.

Keywords: Wahhabi, Saudi Foreign Policy, Indonesia

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplor peran kebijakan luar negeri Arab Saudi dalam mendukung penyebaran doktrin Wahhabi di Indonesia. Di negara Arab Saudi, Islam merupakan sebuah faktor penting dalam polugri negara ini sejak abad 18 hingga sekarang. Di awal berdirinya negara ini, polugri diprioritaskan pada ekspansi kekuasaan dan penyebaran ajaran Wahhabi. Kebijakan ekspansif ini berdampak pada terjadinya perebutan kekuasaan atau konflik yang panjang antara Saudi dan kesultanan Usmani. Sementara, di era modern, polugri Aab Saudi kebanyakan melakukan dukungan yang besar terhadap dakwah Islam di seluruh dunia melalui bantuan pendidikan dan pembangunan pusat-pusat dakwah Islam di seluruh dunia. Meskipun demikian, polugri Arab Saudi, masih menjadi perdebatan bagi banyak kalangan. Diantaranya, ada yang mengatakan bahwa dakwah ajaran wahabi bisa menghasilkan sikap ekstrimisme dan radikalisme yang berpotensi mengancam keamanan dan perdamaian dunia.

Kata Kunci: Wahabi, Politik Luar Negeri Arab Saudi, Indonesia

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan berkembangnya ancaman gerakan terorisme dan radikalisme global, salah satu yang menjadi sorotan adalah paham Salafi - Wahabi. Paham ini oleh banyak kalangan menjadi sumber ideologi kekerasan yang dibawa oleh kelompok- kelompok esktrimis atau radikal. Karakter eksklusif, kaku dan militan yang dimiliki oleh paham ini dianggap bisa menginspirasi siapa saja untuk melakukan tindakan- tindakan kekerasan dan untuk melawan siapa yang dianggap musuh baik sesama muslim sendiri, apalagi yang non-muslim atau kafir. Pillalamari (2014) mencontohkan pengaruh Wahabi di Asia Selatan. Menurutnya, karakter wilayah ini yang lebih cenderung Islam yang sufistik dan terpengaruh oleh tradisi Hindu menjadi berubah saat masuknya pengaruh paham Wahabi dari Arab Saudi di era perang Afghanistan tahun 1980an. Masuknya Wahabi menciptakan skala kekerasan yang meningkat yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam, khususnya diwilayah India, Kashmir dan Bangladesh.

Ajaran Wahabi diemban oleh negara Arab Saudi serta akar historis dari berkembangnya pemikiran ini adalah dari Arab Saudi. Ajaran ini dibawa oleh Muhammad bin Abdul Wahhab kemudian diterima dengan baik oleh Muhammad bin Saud sebagai salah seorang kepala suku di jazirah Arab, setelah itu ajaran Abdul Wahhab disebarluaskan melalui kekuasaan dan kekuatan persenjataan ibnu Saud. Hingga kini, hubungan saling menguntungkan antara penguasa Saudi dan aliran Wahabi tetap bertahan.

Aliran wahabi ini memiliki ciri khas tersendiri yang membedakan dengan muslim yang lain. Kelompok wahabi sangat ketat dalam mengadopsi tradisi-tradisi baru Aliran wahabi ini memiliki ciri khas tersendiri yang membedakan dengan muslim yang lain. Kelompok wahabi sangat ketat dalam mengadopsi tradisi-tradisi baru

Ajaran wahabi, tidak hanya menjadi mazhab atau ajaran yang diakui oleh kerajaan Arab Saudi, namun menjadi salah satu aspek penting dalam mempengaruhi kebijakan politik pemerintah termasuk dalam hal politik luar negeri. Negara ini mengeluarkan banyak biaya untuk menyebarluaskan ajaran ini ke seluruh dunia melalui berbagai lembaga yang dimiliki. Wilayah yang menjadi prioritas adalah wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara sebagai wilayah berpenduduk muslim terbanyak di dunia (Winsor, 2007).

Di wilayah Asia Tenggara, sebagian kalangan menyebut dakwah Islam yang dijalankan oleh Saudi tersebut adalah ancaman terhadap keberagamaan dalam menjalankan ajaran Islam. Secara sinis Bendle (2007) menyebutnya sebagai sebuah usaha imperalialisme agama “saudi religious imperialism”. Diplomat senior Malaysia Dennis Ignatius (2015) mengungkapkan nada yang sama terkait pengaruh Wahabi di Asia Tenggara. Ignatius mengungkapkan pengaruh Wahabisme cenderung meningkatkan perilaku ekstrimisme di kalangan muslim Asia Tenggara, seperti kelompok Jamaah Islamiyah dan Abu Sayyaf di Filipina. Doktrin Wahabi ini menurutnya menjadi potensi ancaman terhadap perdamaian dan stabilitas dunia karena memiliki cita-cita dominasi bukan hanya di Timur Tengah tapi juga dunia. Igantius menyebut usaha penyebaran ajaran Wahabi di Asia Tenggara ini sebagai “Saudization of Southeast Asia”.

Di Indonesia, gerakan dakwah salafi wahabi sangat terasa khususnya pasca rezim orde baru tumbang. Aktifitas dakwah salafi bisa dilihat dari banyaknya kegiatan- kegiatan yang dilakukan diberbagai daerah di Indonesia, termasuk banyaknya kelompok-kelompok atau yayasan yang dibentuk dan digerakkan oleh tokoh-tokoh salafi di Indonesia. Selain itu, dakwah salafi juga dijalankan melalui media-media seperti radio-radio dan stasiun TV yang dibentuk oleh kelompok salafi di Indonesia. Bebas dan aktifnya gerakan salafi di Indonesia salah satu sebabnya adalah hubungan yang baik dan erat antara pemerintah Indonesia dan pemerintah kerajaan Arab Saudi.

Di level pemerintah Indonesia, tidak ada kesan gerakan Wahabi menjadi problem. berbeda dengan level grassroot. Banyak kalangan di masyarakat Indonesia yang merespon aliran Wahabi ini sebagai ancaman terhadap kerukunan umat beragama di Indonesia. Pola pikir Wahabi yang dianggap eksklusif dikhawatirkan akan membawa masyarakat Indonesia menjadi terpecah belah dan rentan terjadinya konflik sosial. Dampaknya, penolakan-penolakan terhadap dakwah Wahabi ini menjadi marak baik dari para tokoh maupun beberapa ormas atau kelompok di indonesia.

Melihat aktif dan bebasnya gerakan dan pemikiran wahabi di Indonesia membuat kajian tentang peranan Arab Saudi dalam mendukung dan memfasilitasi dakwah aliran Salafi-Wahabi di Indonesia menjadi sangat menarik. Inilah yang mendasari alasan penelitian ini dilaksanakan.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana peran kebijakan luar negeri Arab Saudi dalam mendukung penyebaran ajaran Salafi-Wahabi di Indonesia ?

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini akan menjelaskan peran Arab Saudi terhadap penyebaran Salafi- Wahabi di Indonesia dan respon lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia terhadap ajaran salafi-wahabi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ajaran dan Gerakan Wahabi

Gerakan Wahabi atau sering dikenal juga dengan gerakan Salafi merupakan sebuah gerakan yang berbasis di Arab Saudi dan lahir dan berkembang di sana sejak abad 18. Ciri khas dari pemikiran ini adalah mengajak untuk kembali kepada Islam yang sesuai dengan al-salaf al-shalih, al-quran, sunnah nabi, para sahabat dan ajaran ulama-ulama besar terdahulu. Bagi banyak penulis, istilah Wahabi lebih banyak digunakan untuk menggambarkan pemikiran salafi yang berada di Saudi sebab penggunaan kata salafi juga digunakan oleh banyak gerakan selain dari Saudi seperti, gerakan pembaharuan Islam yang dibawa oleh Muhammad Abduh (1849) dan Jamaluddin al-Afghani (1839-1897) (Rasheed, 2007). Sementara salafi yang berada di Arab Saudi berakar pada pemikiran yang dibawa oleh Muhammad bin Abdul Wahhab. Kata Wahabi lazim digunakan untuk mengungkapkan aliran pemikiran yang dibawa oleh pengikut Abdul Wahhab meskipun, para pengikutnya sendiri sebenarnya tidak senang disebut sebagai Wahabiyyun atau pengikut gerakan Wahabi.

Terdapat Beberapa ciri khas pemikiran Wahabi yang khas dan membedakan dengan aliran-aliran atau mazhab yang lain dalam Islam, antara lain: teks-teks al-Quran atau hadits yang berkaitan dengan sifat Allah dipahami secara literal yang berdampak pada penyerupaan tuhan dengan makhluknya (anthropomorphist) seperti, tuhan duduk di singgasana (al-Kursi) dan Allah turun ke langit dunia secara fisik setiap sepertiga malam terakhir; mengharamkan praktek tawassul melalui orang-orang sholeh; Allah memiliki keterbatasan yang hanya Dia sendiri yang mengetahuinya serta Allah; serta membagi tauhid dalam beberapa bagian, Tauhid Uluhiyyah, Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Asma` Wa Shifat (Mousalli, 2009).

Hal yang membedakan kelompok wahabi dengan umat Islam yang lain adalah konsep bidah. Bidah merupakan sebuah konsep dalam Islam yang berkaitan dengan amalan- amalan yang tidak diamalkan oleh nabi atau tidak ada tuntunannya dalam agama. Bidah merupakan kebalikan dari sunnah. Bagi umat Islam, wajib untuk melaksanakan sunnah dari nabi dan dilarang atau haram untuk melakukan bidah. Bagi banyak kalangan ulama umat Islam, persoalan bidah merupakan sesuatu istilah yang sudah disepakati maknanya. Namun, ulama berbeda pendapat dalam mengklasifikasi perkara-perkara yang baru, yang mana yang layak dianggap bidah dan bertentangan dengan Islam dan yang mana tidak. Bahkan ada ulama yang membagi bahwa bidah itu terbagi dua ada bidah yang baik dan ada yang buruk. Yang dilarang agama adalah yang buruk.

Dalam perspektif kelompok wahabi, bidah dipahami sebagai sebuah terma yang tunggal dan bermakna negatif serta dianggap sesat bagi para pelakuknya. “Bidah dalam pandangan Wahabi adalah seluruh praktik atau konsep keagamaan yang baru ada setelah abad ketiga hijriyah” (Algar, 2011). Dengan pemahaman seperti ini, wahabi banyak membidahkan berbagai praktek-praktek yang dilakukan oleh kelompok muslim yang lain seperti berbagai praktik zikir dan ritual kelompok sufi, perayaan tradisi perayaan Idul Fitri dan Idul Adha, perayaan Maulid Nabi, pembacaan Qasidah al-Baranji, dst. Di saat wahabi telah memberikan label bidah pada orang atau kelompok tertentu, maka secara otomatis telah sesat dan siapa saja yang sesat pasti akan mendapatkan siksa di neraka.

Madawi Rasheed (2007) menyebutkan, karakter dari pemikiran Wahabi ini sebagai sebuah paham yang otoriter, sama seperti negara yang menyokongnya. Disebut otoriter karena, aliran Wahabi menganggap ajarannya yang paling yang murni dan paling Islam sementara yang lain disebut sebagai ahli bid`ah atau orang-orang yang menyelewengkan agama. Rasheed menyebutkan, “Official Wahabiyya is religiously dogmatic, socially conservative and politically acquiescent” (inti dari ajaran Wahabi adalah dogmatis, konservatif dan pasif secara politik) (Rasheed, 2007).

Secara historis ajaran Wahabi pertama kali dibawa oleh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kemudian didukung oleh salah satu penguasa suku yang bernama muhammad bin Saud. Abdul Wahhab memandang kondisi Arab waktu itu, dan kesultanan Usmani telah banyak melenceng dari ajaran Islam. Bersama Kekuasaan ibnu Saudi, Abdul Wahhab menyebarkan ajarannya di wilayah Jazirah Arab. Sikap ekspansif Saudi membuatnya harus berhadap-hadapan dengan kekuasaan Turki Usmani sebagai penguasa dunia Arab dan Islam saat itu. Turki Usmani memvonis gerakan Abdul Wahhab sebagai gerakan yang menyimpang dan telah melakukan pemberontakan di tubuh kekuasaan Usmani. Turki Usmani bahkan menyetarakan gerakan Abdul Wahhab sebagai kelompok Khawarij dan kelompok Syiah Qaramithah yang pernah mencuri hajar aswad (Commins, 2006). Berbagai peperangan telah pernah dilakukan antara Usmani dan kekuasaan ibnu Saud namun Usmani tidak mampu menaklukkan dan menghapuskannya, hingga akhirnya kekuasaan Saudi semakin terkonsolidasi dan berhasil mendeklarasikan negara Arab Saudi tahun 1932.

Meskipun kelompok Wahabi menganggap diri mereka sebagai representasi Islam yang murni, bukan berarti para tokoh atau ulamanya juga memiliki pandangan yang sama. Dalam sejarah Saudi, pertentangan-pertentangan dan saling menyalahkan bahkan menyesatkan telah pernah terjadi antar tokoh atau ulama pengikut aliran Wahabi sendiri. Seperti, pemberontakan kelompok bersenjata ikhwan yang memiliki perbedaan pandangan dengan pemerintah Saudi terkait modernisasi teknologi dan kebijakan ekspansi kerajaan Saudi; peristiwa pengepungan Masjid al-Haram tahun 1979 yang dilakukan oleh kelompok yang dipimpin oleh juhayman al-Utaybi dan Muhammad bin Abdullah al-Qahtani yang didasari atas ketidakpuasan terhadap pemerintah Saudi yang dianggap tidak menerapkan Islam secara menyeluruh dan mengadopsi budaya barat; dan kritik yang dilakukan oleh banyak ulama Saudi pada tahun 90an terhadap kerajaan yang telah dianggap melenceng dari ajaran Islam. Beberapa tokoh ulama oposisi yang terkenal adalah Safar Hawali, Salman al-Awdah Meskipun kelompok Wahabi menganggap diri mereka sebagai representasi Islam yang murni, bukan berarti para tokoh atau ulamanya juga memiliki pandangan yang sama. Dalam sejarah Saudi, pertentangan-pertentangan dan saling menyalahkan bahkan menyesatkan telah pernah terjadi antar tokoh atau ulama pengikut aliran Wahabi sendiri. Seperti, pemberontakan kelompok bersenjata ikhwan yang memiliki perbedaan pandangan dengan pemerintah Saudi terkait modernisasi teknologi dan kebijakan ekspansi kerajaan Saudi; peristiwa pengepungan Masjid al-Haram tahun 1979 yang dilakukan oleh kelompok yang dipimpin oleh juhayman al-Utaybi dan Muhammad bin Abdullah al-Qahtani yang didasari atas ketidakpuasan terhadap pemerintah Saudi yang dianggap tidak menerapkan Islam secara menyeluruh dan mengadopsi budaya barat; dan kritik yang dilakukan oleh banyak ulama Saudi pada tahun 90an terhadap kerajaan yang telah dianggap melenceng dari ajaran Islam. Beberapa tokoh ulama oposisi yang terkenal adalah Safar Hawali, Salman al-Awdah

Walaupun terdapat problem dan silang pendapat yang terjadi diinternal ulama dan tokoh Wahabi, ajaran ini tetap kokoh sebagai ajaran resmi negara yang dipegang oleh pemerintah Saudi. Ajaran Islam “Wahabi” inilah yang dijadikan paradigma dalam mengatur negara Arab Saudi baik dari aspek ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan aspek sosial masyarakat termasuk dalam politik luar negeri.

2.2 Islam dan Politik Luar Negeri Pemerintah Saudi

Dalam kajian politik luar negeri, faktor-faktor agama masih menjadi suatu hal yang tidak penting atau marjinal bahkan dianggap sebagai sebuah faktor nomor sekian saja, epiphenomena. Sehingga, saat mengamati berbagai analisis dalam mengamati berbagai fenomena politik internasional atau politik luar negeri, perspektif yang digunakan didominasi oleh perspektif mainstream yang mengedepankan aspek-aspek materiil atau tangible (hard) power semata, seandainya pun menggunakan soft power, agama bukanlah menjadi variabel penting.

Mengapa agama tersingkirkan dalam diskursus pengetahuan sosial modern dan Hubungan Internasional. Fox & Sandlers (2004) menjawab dengan tiga alasan utama. Pertama, ilmu hubungan internasional didominasi oleh perspektif ilmu sosial barat yang berangkat dari sikap permusuhan terhadap agama. Agama dianggap sebagai sesuatu hal yang diluar rasionalitas dan hanya menjadi bagian dari hal-hal yang primordial yang tidak bisa diukur dalam. Kedua, pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam hubungan internasional lebih banyak menggunakan metodologi behavioralism dan metode quantitative dalam menjelaskan berbagai fenomena sehingga berdampak pada tersingkirnya agama dalam diskursus ilmu hubungan internasional. Ketiga, berbagai teori mainstream dalam hubungan internasional memang tidak melibatkan agama dalam asumsi-asumsi dasar mereka dan lebih didominasi oleh ukuran-ukuran yang sifatnya materiil (material power).

Akan tetapi, para penstudi hubungan internasional tidak bisa mengelak bahwa agama memiliki peran penting dalam mempengaruhi berbagai peristiwa dan aktor dalam hubungan internasional. Banyak peristiwa yang terjadi seperti revolusi politik, demokratisasi, dan konflik melibatkan para aktor yang memiliki basis agama tertentu. Begitupun halnya, banyak aktor yang aktif dalam memperjuangkan isu internasional (non-agama) yang memiliki latar belakang dan termotivasi agama tertentu.

Satu aspek penting yang dimiliki oleh agama sehingga mampu mendorong para aktor dalam hubungan internasional adalah faktor legitimasi. Dengan menggunakan legitimasi, aktor-aktor dalam hubungan internasional bisa memilih atau tidak memilih untuk menjalankan kebijakannya dalam sebuah isu tertentu. Agama memiliki kekuatan legitimasi tersebut. Dalam konteks politik luar negeri, para pembuat kebijakan akan membuat kebijakan tertentu karena memiliki legitimasi. Dengan legitimasi pula, sebuah negara menolak atau mengecam tindakan negara lain. Dengan legitimasi, negara mampu memobilisasi warga negara untuk mendukung kebijakan- kebijakannya begitupun sebaliknya. Termasuk, dengan legitimasi sistem dunia yang ada itu dibangun (Fox & Sandlers, 2004).

Bukti-bukti peran agama dalam politik luar negeri bisa dilihat dari banyak peristiwa yang terjadi saat ini, seperti kolonialisasi Israel dan Palestine juga dipengaruhi oleh keyakinan-keyakinan Zionisme –Yahudi, keengganan sebagian besar negara Muslim untuk membuka hubungan dengan Israel juga dipengaruhi oleh faktor-faktor agama. Konflik antara Arab Saudi dan Iran terkait eksekusi salah satu tokoh agama Syiah di Arab Saudi akarnya adalah agama, dan persoalan sulitnya Turki untuk mendapatkan akses keanggotaan di Uni Eropa diantara faktornya juga adalah identitas agama.

Di negara Arab Saudi, peran-peran agama sangat kental terlihat diberbagai kebijakan- kebijakan baik domestik maupun luar negerinya. Sebab, Arab Saudi memang sejak berdirinya telah mendelarasikan Islam menjadi asas dari konstitusi negara Arab Saudi, termasuk lambang bendera negaranya pun bertuliskan lafadz tauhid dan Di negara Arab Saudi, peran-peran agama sangat kental terlihat diberbagai kebijakan- kebijakan baik domestik maupun luar negerinya. Sebab, Arab Saudi memang sejak berdirinya telah mendelarasikan Islam menjadi asas dari konstitusi negara Arab Saudi, termasuk lambang bendera negaranya pun bertuliskan lafadz tauhid dan

Dalam konteks politik luar negeri, dalam laman kementerian luar negeri Saudi disebutkan bahwa Islam menempati posisi penting dan berpengaruh dalam politik luar negeri Arab Saudi. Bahkan, menurut Arab Saudi, negara ini sejak berdiri hingga saat ini telah mencurahkan berbagai potensi dan sumber daya yang dimiliki untuk ikut terlibat dalam menangani berbagai persoalan yang terjadi di dunia Islam untuk meraih solidaritas dan persatuan umat Islam berdasarkan atas kesamaan aqidah Islam.

Dalam mewujudkan tujuan dari kebijakan solidaritas dan persatuan, Arab Saudi bersama negara-negara muslim lain bahu membahu membentuk Organisai Kerjasama Islam (OIC) dan Liga Muslim Dunia sekaligus Arab Saudi menjadi rumah bagi kedua lembaga tersebut. Kedua lembaga ini dibentuk dengan tujuan menjaga hubungan damai antara sesama negara Islam serta sebagai wadah saling memberikan dukungan moral dan material kepada berbagai kelompok Islam dimanapun mereka berada dengan berbagai sarana seperti membangun masjid dan berbagai lembaga Islam yang lain (Mofa, 2015).

Bukti dari pengaruh Islam terhadap polugri Arab Saudi bisa dilihat dari dukungan finansial yang besar kepada para mujahidin saat terjadi invasi Soviet ke Afghanistan tahun 1980an, dan dukungan kepada kelompok-kelompok pejuang seperti PLO di Palestina serta Muslim di Bosnia. Di Asia, Arab Saudi menduduki posisi ke dua sebagai penyumbang donasi terbesar di dunia. Antara tahun 1973-1991 saja, Saudi telah menyumbang sekitar 60 juta dollar ke negara-negara berkembang dan pada Bukti dari pengaruh Islam terhadap polugri Arab Saudi bisa dilihat dari dukungan finansial yang besar kepada para mujahidin saat terjadi invasi Soviet ke Afghanistan tahun 1980an, dan dukungan kepada kelompok-kelompok pejuang seperti PLO di Palestina serta Muslim di Bosnia. Di Asia, Arab Saudi menduduki posisi ke dua sebagai penyumbang donasi terbesar di dunia. Antara tahun 1973-1991 saja, Saudi telah menyumbang sekitar 60 juta dollar ke negara-negara berkembang dan pada

Sebagian dari donasi Saudi itu digunakan untuk mendukung aktifitas dakwah Islam di negara-negara muslim seperti dukungan kepada madrasah, organisasi dakwah dan sekolah-sekolah tinggi Islam lainnya. Disebutkan, sekitar jutaan dollar digelontorkan oleh arab Saud untuk merekrut para pelajar untuk mengisi 1.500 masjid, 210 Islamic center, 202 perguruan tinggi Islam dan 2.000 madrasah serta menempatkan di lembaga-lembaga tersebut sekitar 4.000 pendakwah di berbagai belahan dunia, Asia Tengah, Selatan dan Asia Tenggara serta Afrika, Eropa dan Amerika Utara. Saudi juga menjadi penyumbang terbesar 4 per 5 dari jumlah keseluruhan percetakan buku Islam secara global (Choksy & Choksy, 2015). Untuk mencetak para pelajar atau para muballig yang akan berdakwah di wilayah masing-masing di seluruh dunia, pemerintah Arab Saudi membangun universitas-universitas Islam di Arab Saudi Seperti Universitas Islam Madinah dan Ummul Qura (Commins, 2006).

Terdapat dua lembaga yang menjadi penyalur donasi Saudi ke seluruh dunia yaitu Liga Muslim Dunia, MWL (Muslim World League), Rabithah al-alam al-Islami, dan the World Assembly of Muslim Youth, or WAMY. MWL memiliki sekitar 56 kantor cabang diseluruh dunia serta berafiliasi dengan sekitar 14 lembaga yang aktif membangun jaringan dan menyalurkan dana keseluruh dunia seperti diantaranya, The World Organization for Presenting Islam, the World Foundation for Reconstruction and Development of Mosques; the Islamic Fiqh Council, the Makkah Charity Foundation for Orphans, and the International Islamic Relief Organizationof Saudi Arabia (IIRO) (Haring, 2012). Bagi Amerika Serikat, beberapa lembaga yang berafiliasi dengan MWL terindikasi terlibat jaringan terorisme sehingga dibekukan asetnya oleh Amerika Serikat. Al-Haramain Islamic Foundation, tahun 2004 dibekukan oleh pemerintah Arab Saudi sendiri setelah lama dikritik oleh pemerintah Amerika Serikat karena keterlibatan yayasan tersebut dalam jaringan terorisme (Blanchard & Prados, 2007).

Dalam menjalankan politik luar negeri Arab Saudi khusus dalam diseminasi pemikiran-pemikiran Wahabi, terlihat Arab Saudi banyak menggunakan lembaga- lembaga non-formal, NGOs, atau institusi-institusi pendidikan. Sebenarnya praktik- praktik penggunaan unsur-unsur soft power dalam menjalankan diplomasi ala Arab Saudi ini sudah lazim dijalankan oleh berbagai negara di dunia. Amerika Serikat dan Inggris, bisa menjadi contoh bagaimana lembaga-lembaga non formal baik itu lembaga hiburan, percetakan, serta institusi-institusi pendidikan menjadi wadah penyebaran nilai-nilai serta budaya dari kedua negara tersebut.

Politik luar negeri Saudi berupa bantuan amal dan pendidikan ke negeri-negeri muslim dan negara-negara yang lain banyak dianggap sebagai ancaman. Misi pendidikan yang dibawa oleh Saudi ke negara lain dianggap sebagai program indoktrinasi untuk menggantikan ajaran-ajaran Islam lain dengan doktrin Wahabi (Hoffman, tt).

Menurut Madawi Rasheed (2007) berbagai bantuan yang disebarkan Saudi ke seluruh dunia Islam (Transnationalisation of Islam) sebenarnya bukan murni dilandasi oleh kepentingan Islam namun lebih merupakan motif politik. Menurut Rasheed, ada dua kepentingan utama Saudi terhadap kebijakan luar negeri terkait amal dan pendidikan, pertama: kepentingan meraih simpati domestik sehingga stabilitas terjaga dari berbagai hal yang bisa menggoyang negara. Kedua, kepentingan internasional, untuk membangun citra positif Saudi sebagai kiblat muslim dunia dengan tujuan agar tidak ada warga muslim di negara manapun yang bisa melakukan provokasi untuk mendelegitimasi kekuasaan Saudi. “Charity and education proved to be powerful mechanisms: the first bought dissenting voices, while the second aimed to control the minds and hearts of Muslims from Detroit to Jakarta” (Rasheed, 2007).

Tulisan-tulisan terkait gerakan dan pemikiran Wahabi serta peran Arab Saudi dalam mendukung aktifitas penyebaran pemikiran ini sudah sangat banyak ditulis oleh berbagai kalangan. Namun, terkhusus pembahasan peran Arab Saudi di Indonesia Tulisan-tulisan terkait gerakan dan pemikiran Wahabi serta peran Arab Saudi dalam mendukung aktifitas penyebaran pemikiran ini sudah sangat banyak ditulis oleh berbagai kalangan. Namun, terkhusus pembahasan peran Arab Saudi di Indonesia

Seperti tulisan Fred R. Von der Mehden, yang dimuat dalam Middle East Jurnal, 2014, menuliskan secara singkat pengaruh pemikiran Wahabi di Indonesia kepada kelompok-kelompok militan seperti jamaah Islamiah, Darul Islam, dan kelompok salafi non-politis. Dalam tulisan itu juga ditunjukkan sejarah masuknya dukungan finansial dari pemerintah Saudi terhadap dakwah salafi di Indonesia dan kerjasama dengan Dewan Dakwah Islam Indonesia dalam mendirikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab. Namun, pembahasan ini hanya merupakan tulisan ringkas terkait pengaruh pemikiran Wahabi di Indonesia, bukan untuk membahas dalam konteks politik luar negeri Arab Saudi.

Tulisan yang cukup menarik mengenai Radikalisasi islam di Indonesia dan Ekspor pendidikan salafi oleh Arab Saudi ditulis oleh Amanda Kovac, (2014). Tulisan banyak menulis sisi politis dari kebijakan “wahabisasi” baik diinternal Arab Saudi sendiri maupun di level internasional, termasuk di Indonesia. Kovac, berhasil memotret sisi lain dari kepentingan Arab Saudi dalam membangun lembaga ilmu pengetahuan Islam dan Bahasa Arab (LIPIA) di Jakarta yang menurutnya tidak hanya kepentingan agama tapi juga, kepentingan menangkal pengaruh revolusi Syiah di dunia Islam. Tulisan ini sebenarnya ingin memfokuskan pada pengaruh Wahabi terhadap munculnya kelompok-kelompok militan dan radikal di Indonesia, namun pembahasannya menjadi sangat umum karena tidak hanya memotret Peran Arab Saudi terhadap dukungan pendidikan salafi di Indonesia tapi juga membahas peran- peran politik Wahabi secara domestik.

Dalam aspek Wahabi sebagai bagian dari politik luar negeri Arab Saudi, Laurent Bonnefo (2013) menggambarkan dengan baik berbagai cara yang dilakukan oleh Arab Saudi untuk menjalankan praktek diplomasi Budayanya “Wahabi” di berbagai

Negara. Bonnefo menekankan pada aspek pengoptimalan lembaga-lembaga non- negara seperti, NGOS, Liga Muslim Dunia (World Moslim League) & Persatuan Pemuda Muslim (Moslem Youth Assembly) sebagai sarana penyebaran ide-ide Wahabi dari Arab Saudi. Disamping NGOs, Arab Saudi juga menjadikan sarana pendidikan seperti memberikan beasiswa kepada mahasiswa asing untuk belajar di universitas-universitas di Arab Saudi untuk menyebarkan wahabisme di berbagai negara. Selain itu, musim haji digunakan oleh Arab Saudi untuk menyebarkan atau memberikan oleh-oleh kepada para jamaah haji berbagai buku tentang Islam yang dibagikan secara cuma-cuma dalam bahasa yang telah diterjemahkan ke bahasa dari Negara para jamaah haji tersebut. Yang menjadi sorotan dari Bonnefo, tidak semua institusi bisa dijangkau oleh pemerintah Arab Saudi untuk menyebarkan pemikiran- pemikiran wahabinya, seperti media, internet, dan tokoh-tokoh salafi yang beda pendapat dengan para ulama mainstream di Arab Saudi.

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Metode Kualitatif Penelitian ini akan menggunakan tipe atau model penelitian deskriptif dengan

mengangkat studi peran agama dalam politik luar negeri dengan studi kasus ajaran wahabi dan politik luar negeri Arab Saudi di Indonesia. Dukungan pemerintah Saudi terhadap gerakan penyebaran Wahabi di dunia sudah merupakan isu yang sudah jamak diketahui namun, khusus kajian terkait Indonesia belum ditemukan kajian- kajian sebelumnya. Poin inilah yang kedepannya akan diteliti.

3.2 Prosedur Riset

a. Pra-Riset Dalam tahap ini pra riset ini, berbagai aktifitas akan dilakukan untuk mempersiapkan

riset seperti, mempersiapkan instrument-instrumen penelitian dan fiksasi jadwal penelitian.

b. Teknik Pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan teknik penelitian pustaka yaitu dengan menelusuri berbagai dokumen tertulis yang berkaitan dengan buku-buku, jurnal dan artikel-artikel yang mengenai topik tersebut. Situs-situs yang akan menjadi tempat mencari tulisan dan jurnal seperti, jstor.org, google.scholar, dan Microsoft academic search. Untuk data-data dari pemerintah dan lembaga-lembaga yang berada dibawah naungan Arab Saudi akan dicari di laman, Kementerian Luar Negeri Arab Saudi, Moslem World League, termasuk juga World Association of Moslem Youth. Sementara tempat-tempat untuk mencari data hard file adalah di perpustakaan-perpustakaan sekitar kampus di Yogyakarta termasuk perpustakaan Universitas Islam Indonesia Sendiri.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan data sekunder dan data primer. Data primer di dapat dari catatan-catatan resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Arab Saudi terkait kebijakan-kebijakan luar negerinya yang berhubungan penyebaran dakwah Islam “wahabi”. Data yang akan ditelusuri adalah data-data online. Sementara data sekunder didapat melalui tulisan-tulisan, jurnal atau buku yang berkaitan dengan isu-isu penyebaran Wahabi dan peran kebijakan luar negeri Arab Saudi di dalam mendukung penyebaran tersebut.

c. Teknik Analisis Data Setelah proses pengumpulan data, data tersebut akan dianalisis melalui beberapa

tahap yaitu, Mengelola dan mempersiapkan data untuk dianalisis. Langkah selanjutnya adalah, membaca seluruh data untuk memahami sebuah ide umum yang tersirat dari semua data kemudian akan dicatat atau direkam ide tersebut. Langkah ketiga, melakukan proses coding, yaitu dengan melakukan kategorisasi terhadap data- data yang telah dikumpulkan kemudian diberikan penamaan, seperti Pemikiran Wahabi, Sejarah pemikiran Wahabi di Indonesia, Politik Luar Negeri Arab Saudi di Indonesia, dan dampak serta respon terhadap Wahabi di Indonesia. Langkah keempat adalah mengembangkan narasi atau deskripsi berdasarkan atas hasil coding tersebut. Dimungkinkan akan ada penambahan sub-sub tema dan kategori berdasarkan atas masing-masing kategorisasi diatas. Langkah kelima, menuliskan deskripsi terhadap temuan yang dihasilkan dari penelitian. Dan langkah terakhir, melakukan interpretasi terhadap hasil temuan dari penelitian tersebut.

BAB IV HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN

4.1 Gerakan dan Pemikiran Wahabi di Indonesia

Keberadaan paham Wahabi di Asia Tenggara cenderung dipandang sebagai ancaman terhadap tradisi keagamaan khususnya Islam yang telah berkembang lama dan berjalan beriring dengan budaya setempat di negara-negara Asia Tenggara. Wahabi dianggap ancaman karena cenderung ekslusif dan cenderung melakukan penyeragaman terhadap tradisi keislaman di wilayah di Asia Tenggara. Bukan hanya itu, beberapa kelompok yang sering dianggap biang terorisme di Asia Tenggara sangat dipengaruhi oleh aliran pemikiran Wahabi. Upaya Saudi menyebarkan aliran Islamnya di Asia Tenggara disebut oleh Igantius (2015) sebagai, Saudization of South East Asia, Christina Lin (2015) menyebutnya ekspor paham Wahabi sebagai senjata upaya pengembangan senjata pemusnah massal dari Saudi, Saudi WMD (Wahabis of Mass Destruction) proliferation.

Meskipun banyak kalangan menilai negatif keberadaan paham Wahabi di Asia Tenggara namun, secara institusional hubungan diplomasi antara negara-negara Asia Tenggara khususnya Indonesia dengan Arab Saudi masih berjalan dengan baik serta tidak terpengaruh oleh usaha-usaha berbagai pihak yang mencoba melakukan sekuritisasi terhadap keberadaan Wahabi di negara-negara tersebut. Arab Saudi masih tetap menjalankan kebijakan eskpor pendidikan serta pemikiran di Indonesia melalui berbagai agenda yang telah dibuat.

Di Indonesia, Interaksi antara pemikiran Wahabi dengan masyarakat Indonesia mulai terlihat pada abad 19. Ide dakwah Ibnu Abdul Wahhab dianggap menginspirasi ulama asal sumatera Barat yang dikenal dengan kaum Paderi yang dipimpin oleh Tuanku

Imam Bonjol. Namun, fakta sejarah ini, menurut Martin Van Bruinessen, kurang kuat dalam mendukung argumen pengaruh Wahabi dalam gerakan Paderi, bahkan banyak fakta-fakta lain yang justru tidak menunjukkan argumen tersebut (Bruinessen, 2001). Pemikiran Salafi - Wahabi di Indonesia juga dianggap telah mempengaruhi pemikiran Syaikh Ahmad Syurkati pendiri Madrasah al-Irsyad di awal-awal abad 20 (At-Tamimi, 2015).

Pengaruh pemikiran Wahabi secara masif masuk ke Indonesia melalui peran Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikan oleh Muhammad Natsir. Melalui dukungan dana dari Arab Saudi, lembaga ini banyak mengirimkan mahasiswa ke Timur Tengah untuk belajar Islam. Melalui dukungan dari Saudi pula, DI mendirikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) tahun 1981 yang kurikulumnya mengikut Universitas al-imam Muhammad bin Suud al-Islamiyyah di Riyadh. Dari LIPIA inilah, lahir kader-kader dakwah salafi di Indonesia serta menjadi sarana diseminasi pemikiran Wahabi melalui kitab-kitab yang dicetak serta dibagikan gratis oleh lembaga ini. Melalui LIPIA pula, banyak mahasiswa yang setiap tahun dikirim ke Arab Saudi untuk belajar Islam (Mufid, 2011; Wahid, 2009).

Beberapa alumni LIPIA yang saat ini telah menjadi tokoh penting di kalangan Salafi di Indonesia seperti antara lain, Yazid Jawwas, di Minhaj us-Sunnah di Bogor; Farid Okbah, direktur al-Irsyad; Ainul Harits, Yayasan Nida''ul Islam, Surabaya, Abubakar M. Altway, Yayasan al-Sofwah, Jakarta, Ja'far Umar Thalib, pendiri Forum Ahlussunnah Wal Jamaah dan Yusuf Utsman Bais’a direktur al-Irsyad Pesantren, Tengaran (Ali, 2011).

4.2 Arab Saudi & Diseminasi pemikiran Wahabi di Indonesia

Penggunaan dakwah Islam sebagai sebagai bagian dari politik luar negeri dan diplomasi Arab Saudi merupakan bagian dari maksimalisasi soft power yang dimiliki oleh Arab Saudi dalam meraih kepentingan-kepentingan nasionalnya. Dalam negara yang relatif relijius, agama memang menjadi salah satu aspek penting dalam Penggunaan dakwah Islam sebagai sebagai bagian dari politik luar negeri dan diplomasi Arab Saudi merupakan bagian dari maksimalisasi soft power yang dimiliki oleh Arab Saudi dalam meraih kepentingan-kepentingan nasionalnya. Dalam negara yang relatif relijius, agama memang menjadi salah satu aspek penting dalam

Dalam menjalankan Diplomasi Wahabi-nya di Indonesia, Arab Saudi melakukan beberapa cara antara lain:

1. Mengadakan kerjasama dengan institusi agama milik pemerintah, Kementerian Agama,

2. Bekerjasama dengan institusi-institusi pendidikan Islam di Indonesia,

3. Memberikan beasiswa untuk studi lanjut di kampus-kampus Arab Saudi,

4. Mengirimkan para tenaga pengajar dari Arab Saudi untuk kampus-kampus Islam di Indonesia,

5. Memberikan bantuan buku kepada perguruan tinggi Islam di Indonesia,

6. Memberikan bantuan untuk masjid, pesantren, dan lembaga-lembaga Islam di Indonesia.

7. Membangun pusat-pusat dakwah Islam di Indonesia

8. Memberikan dukungan kepada lembaga-lembaga dakwah Salafi di Indonesia

9. Memaksimalkan lembaga LIPIA sebagai lembaga pendidikan Islam dan Bahasa Arab yang berada di bawah tanggung jawab pemerintah Arab Saudi.

Pendirian Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) yang didanai oleh Arab Saudi merupakan salah satu kesuksesan diplomasi Wahabi-Islam Saudi melalui jalur pendidikan di Indonesia. Para Alumni LIPIA ini, setelah lulus akan kembali dan menyebarkan pemikiran-pemikiran salafi-Wahabi di lingkungan masyarakatnya. Pada tahun 2009, jumlah alumni LIPIA telah berjumlah sekitar 8604 orang dan menyebar Pendirian Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) yang didanai oleh Arab Saudi merupakan salah satu kesuksesan diplomasi Wahabi-Islam Saudi melalui jalur pendidikan di Indonesia. Para Alumni LIPIA ini, setelah lulus akan kembali dan menyebarkan pemikiran-pemikiran salafi-Wahabi di lingkungan masyarakatnya. Pada tahun 2009, jumlah alumni LIPIA telah berjumlah sekitar 8604 orang dan menyebar

Pendirian LIPIA tahun 1980an, menurut Amanda Kovacs, (2014), tidak hanya bermotifkan kepentingan dakwah Islam ke Indonesia namun, menjadi sarana Arab Saudi untuk membendung eskpansi pemikiran Syiah pasca revolusi Iran 1979. Keberadaan Iran dianggap membahayakan legitimasi Saudi sebagai sebuah negara Islam yang menjadi patron Islam seluruh dunia. Apalagi Iran sering menyerang hubungan antara Saudi dan Amerika Serikat yang dianggap sebagai pengkhianat terhadap agama Islam sendiri. Institusi LIPIA dibentuk dan didanai oleh Arab Saudi sebuah containment policy, kebijakan pembendungan terhadap efek domino revolusi Iran di Asia Tenggara. Kebijakan pendirian LIPIA ini menurut Kovac sama persis dengan usaha Arab Saudi mendirikan universitas Islam Madinah tahun 1961 sebagai usaha untuk membendung kebijakan Jamal Abdul Nasser yang menjadikan Universitas al-Azhar sebagai representasi dakwah Islam ke seluruh dunia serta sebagai pusat penyebaran visi sosialisme Arab ala Abdul Nasser (Kovacs, 2014).

Selain menjadikan LIPIA sebaga sarana pencetak kader-kader dakwah salafi-Wahabi, Saudi juga rutin memberikan beasiswa setiap tahunnya kepada mahasiswa-mahasiswa Indonesia untuk belajar di Arab Saudi seperti Universitas Islam Madinah dan Universitas Imam Muhammad ibn Sa’ud di Riyadh. Setelah menjadi alumni, mereka pulang dan ikut menyebarkan aliran paham Wahabi di daerah masing-masing baik melalui ceramah di masjid-masjid, membentuk pesantren, mendirikan radio, membuat majalah, tabloid bahkan membangun stasiun TV.

Di Indonesia, stasiun TV dan Radio milik salafi mendominasi stasiun TV dan Radio Islam, bahkan mengalahkan ormas-ormas Islam di Indonesia seperti Televisi milik NU dan Muhammadiah. Daftar televisi milik Salafi antara lain, Rodja TV, Insan TV, Sunnah TV, Wesal TV, Ahsan TV, Albinaa TV, Bunayya TV, SNTV, Salam TV, Surau TV, Robbani TV, Niaga TV, Al-Iman TV, Madani TV, dan TV Kita

(tvsunnah.com). Radio-radio juga sangat banyak jumlahnya dan hampir disetiap daerah di Indonesia radio milik kaum Wahabi ada.

Konten-konten dari media miliki Salafi Wahabi ini positifnya adalah menjadi alternatif terhadap kurangnya konten-konten Islam dalam media-media mainstream. Namun, disisi yang lain beberapa konten dakwah atau ceramah di media-media itu juga berpotensi mengancam kerukunan dalam berislam di Indonesia. Banyak isu-isu yang sifatnya kontroversial di tengah-tengah umat Islam seringkali diangkat, bahkan terkadang keluar label-label atau cap-cap sesat terhadap beberapa pelaku praktek- praktek atau tradisi masyarakat Islam di Indonesia. Hal yang kontroversial yang dianggap sesat atau melenceng dari ajaran Islam oleh kaum Wahabi seperti antara lain: Perayaan Maulid Nabi, Perayaan Isra` Mi`raj, Qunut Shubuh, Tahlilan 3, 7 14 sampai 40 hari, mengaji di depan jenazah, mengaji di kuburan, membaca Yasin malam jumat dst. Semua praktek diatas dipandang sesat karena tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW (Mufid, 2011).

Liga Muslim Dunia sebagai lembaga penyalur dana dari Arab Saudi telah cukup lama menjalin kerjasama dengan Indonesia. Lembaga ini bahkan telah memiliki kantor perwakilan di Indonesia. Selama ini kegiatannya lebih banyak pada pelaksanaan seminar-seminar atau konferensi internasional khususnya terkait media, namun beberapa tahun ini departemen agama telah meningkatkan kerjasama dengan lembaga liga muslim dunia dalam bidang, pendidikan, dakwah, sosial dan budaya.

Bukan hanya Liga Muslim Dunia, lembaga-lembaga mantelnya pun telah aktif dalam berbagai kegiatan dakwah, sosial dan pendidikan di Indonesia, seperti Yayasan Makkah al-Mukarramah dan baru-baru ini tahun 2016 dibentuk lagi sebuah yayasan baru yang bernama, yayasan al-Manarah al-Islamiah. Yayasan ini juga bergerak di bidang yang sama dengan yayasan Makkah al-Mukarramah (makkah-charity.org).

Salah satu ormas berskala nasional yang mendakwahkan ajaran salafi di Indonesia adalah Wahdah Islamiyah. Lembaga ini didirikan tahun 2002 di Makassar Sulawesi

Selatan sebagai sebuah ormas resmi di Indonesia. Salah satu pendirinya, Ustad Zaitun Rasmin, Lc adalah lulusan universitas Islam Madinah (Masykur, 2010). Wahdah Islamiah hingga saat ini sangat aktif dalam mendakwahkan Islam Salafi-Wahabi khususnya di wilayah indonesia bagian timur dan juga telah memiliki cabang di hampir seluruh wilayah Indonesia. Ormas ini juga memiliki sekolah-sekolah dan pesantren.

Lembaga pendidikan yang paling penting sebagai wadah kaderisasi dakwah salafiyyah milik Wahdah Islamiah adalah STIBA, sekolah tinggi ilmu Islam dan bahasa Arab yang diasuh oleh para alumni Universitas Islam Madinah (Dhiyaulhaq, 2013). Zaitun Rasmin sebagai ketua umum DPP Wahdah Islamiyah saat ini telah menjadi salah satu tokoh Islam yang diakui di Indonesia. Beliau menduduki jabatan di Majelis Ulama Indonesia dan sebagai wakil ketua MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia. Peran besar Rasmin dalam menghubungkan Arab Saudi dan berbagai institusi di Indonesia diberikan penghargaan oleh Arab Saudi yang diberikan langsung oleh rektor Universitas Islam Madinah dalam sebuah seminar tahun 2014 (Wahdah, 2014).

Selain menjalin kerjasama dengan lembaga – lembaga se-ideologi, Arab Saudi juga banyak bekerjasama dengan berbagai lembaga, institusi pendidikan dan berbagai ormas Islam di Indonesia. Bahkan uluran tangan Arab Saudi di Indonesia sangat disambut baik oleh banyak pihak.

Pemerintah Arab Saudi telah bekerjasama dengan universitas – universitas Islam negeri di Indonesia dalam banyak bidang seperti penyediaan buku-buku perpustakaan, termasuk pemberian bantuan biaya pembangunan gedung perkuliahan, gedung pusat studi, Masjid dan pengiriman tenaga dosen dari Arab Saudi. Kampus- kampus yang telah pernah bekerjasama dengan pemerintah Arab Saudi seperti diantaranya: bantuan buku, biaya pembangunan gedung kuliah, masjid dan pengiriman dosen dari Arab Saudi di Universitas Islam Negeri Makassar (kemenag,

2012); Bantuan buku dan kerjasama pembangunan masjid di beberapa wilayah Yogyakarta bersama Universitas Islam Indonesia Yogyakarta (Wahidin, 2009), bantuan buku-buku Islam dan bahasa Arab serta bantuan pembangunan gedung Pusat Bahasa Arab dan Kajian Keislaman di UIN Sumatera Utara (cakrafm.com); dan bantuan pendirian masjid serta Islamic Center di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta (Muhammadiah, 2012). Kerjasama juga dilakukan dengan kampus- kampus islam negeri yang lain seperti, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan kampus-kampus UIN yang lain di seluruh Indonesia.

Arab Saudi juga gencar mendirikan pusat-pusat dakwah islam, islamic center di berbagai daerah di Indonesia, seperti yang telah dibangun di Raja Ampat (fokus Islam, 2016), Papua, Takengon, Aceh, Wakatobi (Andriati, 2012), dan Tegal, Jawa Tengah. Islamic Center itu nantinya akan menjadi pusat-pusat dakwah Islam dan sarana penyebaran pemikiran-pemikiran wahabi di Indonesia. Disamping itu, hubungan baik antara pemerintah Arab Saudi dan ormasi-ormas Islam di Indonesia seperti Muhammadiah dan Nahdlatul Ulama terjalin sangat baik.

4.3 Dampak Diplomasi “Wahabi” Arab Saudi di Indonesia

Fakta-fakta yang telah dijelaskan memperlihatkan pengaruh besar dari politik luar negeri Arab Saudi di bidang pendidikan bagi penyebaran ajaran Wahabi di Indonesia. Ajaran yang awalnya berada di Arab Saudi ini akhirnya menyebar ke Indonesia melalui pelajar-pelajar yang telah diberikan beasiswa oleh pemerintah Saudi untuk belajar di universitas-universitas di Arab Saudi. Para alumni tersebut mendirikan berbagai lembaga dakwah dan pendidikan untuk mereproduksi kader lagi untuk dakwah salafi-Wahabi di Indonesia. Bisa dibilang, Indonesia merupakan salah satu tempat tumbuh subur dan berkembangnya aliran wahabi. Pemerintah Indonesia pun tidak mempersoalkan keberadaan aliran pemikiran ini, bahkan pemerintah memberikan kebebasan kepada pemerintah Saudi untuk menjalin kerjasama Fakta-fakta yang telah dijelaskan memperlihatkan pengaruh besar dari politik luar negeri Arab Saudi di bidang pendidikan bagi penyebaran ajaran Wahabi di Indonesia. Ajaran yang awalnya berada di Arab Saudi ini akhirnya menyebar ke Indonesia melalui pelajar-pelajar yang telah diberikan beasiswa oleh pemerintah Saudi untuk belajar di universitas-universitas di Arab Saudi. Para alumni tersebut mendirikan berbagai lembaga dakwah dan pendidikan untuk mereproduksi kader lagi untuk dakwah salafi-Wahabi di Indonesia. Bisa dibilang, Indonesia merupakan salah satu tempat tumbuh subur dan berkembangnya aliran wahabi. Pemerintah Indonesia pun tidak mempersoalkan keberadaan aliran pemikiran ini, bahkan pemerintah memberikan kebebasan kepada pemerintah Saudi untuk menjalin kerjasama

Dampak yang terlihat dari aktifitas aktif pemerintah Saudi dalam kebijakan luar negerinya di Indonesia adalah tercipta kesan-kesan yang positif di tengah-tengah masyarakat terhadap Arab Saudi. Bahwa Arab Saudi adalah negara yang dermawan dan sangat baik untuk kaum muslimin khususnya di Indonesia. Arab Saudi membangun masjid, sekolah, membantu orang-orang miskin, membantu kampus- kampus Islam dan seterusnya. Kebaikan-kebaikan yang nampak dari negara ini terhadap Indonesia akhirnya cukup berpengaruh dalam meredam usaha-usaha untuk mengungkap sisi lain yang negatif dari kerajaan negara Arab Saudi dan opini-opini yang menyudutkan Arab Saudi dan ajaran Wahabi. Berikut kutipan dari tulisan orang-orang yang melihat Arab Saudi secara positif dari berbagai kebijakannya di Indonesia.