12733718 Desain Pengelolaan Sampah by M Akbar PSDAL Unlam

DESAIN PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA TANAH GROGOT KABUPATEN PASER MUHAMMAD AKBAR PROGRAM STUDI

PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU

DESAIN PENGELOLAAN SAMPAH DI KECAMATAN TANAH GROGOT KABUPATEN PASER MUHAMMAD AKBAR

Tesis ini diserahkan kepada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

MAGISTER SAINS

(Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan)

Februari 2009

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat dan hidayah-Nya jualah Penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul ”Desain Pengelolaan Sampah Di Kota Tanah Grogot Kabupaten Paser” tepat pada waktu yang direncanakan.

Melalui kesempatan ini Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. M. Arief Soendjoto, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing

2. Bapak Ir. Ahmad Jauhari, M.P. selaku Anggota Komisi Pembimbing Pertama

3. Bapak Ir. H. Mijani Rahman, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing kedua.

3. Seluruh Staf Dosen dan karyawan Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Unlam dan semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan selama dilaksanakannya penyusunan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan, untuk itu Penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak untuk menyempurnakan proposal tesis ini.

Akhirnya Penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kita semua.

Banjarbaru, Februari 2009

Penyusun

DAFTAR TABEL

Halaman

11

1. Komposisi Sampah di Beberapa Kota Besar ................................................

12

2. Komposisi Umum Sampah Kota .................................................................

12

3. Cakupan Pelayanan Persampahan di Indonesia ............................................

22

4. Ratio perbandingan C dan N terhadap beberapa Bahan ................................

37

5. Data Hasil Survey Penduduk Per Jalan di Tanah Grogot..............................

38

6. Hasil Survey Rumah dan Sampel Sampah ...................................................

40

7. Sarana dan Prasarana Sampah Di Kabupaten Paser .....................................

42

8. Sarana dan Prasarana Persampahan yang diusulkan .....................................

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kondisi sampah yang berserakan di sekitar TPS .......................................... 3

2. Kerangka Pemikiran Penelitian ...................................................................

2. Tahapan Kegiatan Pengelolaan Sampah ......................................................

3. Proses Stabilisasi Komposting .....................................................................

4. Kerangka Kerja Penelitian ..........................................................................

6. Peta Jaringan Jalan, Klas Rumah dan Rumah Sampel ..................................

7. Kondisi Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Tanah Grogot ....................

8. Peta Zonasi Pengelolaan dan Sebaran TPS ..................................................

9. Peta Sebaran Tempat Pembuangan Sementara (TPS)...................................

10. Organisasi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Paser ..................

11. Salah satu sarana kebersihan (TPS) dalam kondisi rusak Struktur ................

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

55

1. Cakupan Pelayanan Persampahan di Indonesia ............................................

56

2. Sistem Pembuangan di Beberapa Kota di Indonesia ....................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah sampah sudah bukan lagi sekadar masalah kebersihan dan lingkungan saja, tetapi sudah menjadi masalah sosial yang mampu menimbulkan konflik. Lebih parahnya lagi, hampir semua kota di Indonesia, baik kota besar atau kota kecil, tidak memiliki penanganan sampah yang baik, hanya menggunakan sistem pengelelolaan yang kuno, kumpul-angkut-buang. Sebuah pengaturan klasik yang akhirnya menjadi praktik pembuangan secara terbuka di lokasi yang sudah ditentukan (open dumping). Praktik itu memiliki kelemahan dan berakibat fatal terhadap lingkungan atau manusia di sekitar lokasi pembuangan, seperti yang terjadi di Leuwigajah, Jawa Barat. Belum lagi praktik itu membutuhkan lahan yang luas, padahal penyediaan lahan menjadi kendala utama dalam penanganan sampah, seperti yang terjadi di TPST Bojong, Bogor.

Sebenarnya jika ditinjau lebih jauh lagi maka terlihat bahwa konflik permasalahan sampah terjadi hampir di seluruh kota di Indonesia. Beberapa kejadian yang berhubungan dengan pengelolaan sampah yang terdapat di Pulau Jawa seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu, sebenarnya juga akan terjadi di luar Pulau Jawa apabila kita tidak mencermati lebih jauh lagi. Pada mulanya orang hanya beranggapan bahwa dengan adanya lahan yang tersedia sehingga menyebabkan sampah yang ada hanya diberi perlakuan dengan membuang (menumpuk) saja. Akan tetapi orang tidak beranggapan bahwa lahan yang ada semakin hari akan semakin sempit sehingga permasalahan yang nantinya akan timbul adalah akan Sebenarnya jika ditinjau lebih jauh lagi maka terlihat bahwa konflik permasalahan sampah terjadi hampir di seluruh kota di Indonesia. Beberapa kejadian yang berhubungan dengan pengelolaan sampah yang terdapat di Pulau Jawa seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu, sebenarnya juga akan terjadi di luar Pulau Jawa apabila kita tidak mencermati lebih jauh lagi. Pada mulanya orang hanya beranggapan bahwa dengan adanya lahan yang tersedia sehingga menyebabkan sampah yang ada hanya diberi perlakuan dengan membuang (menumpuk) saja. Akan tetapi orang tidak beranggapan bahwa lahan yang ada semakin hari akan semakin sempit sehingga permasalahan yang nantinya akan timbul adalah akan

Tanah Grogot merupakan ibukota dari Kabupaten Paser dan merupakan salah satu dari beberapa kecamatan yang terletak di Kabupaten Paser. Kaitannya dengan pengelolaan sampah, kabupaten Paser saat ini dapat dikatakan masih kurang dan belum optimal. Hal ini dapat kita lihat bahwa jumlah penduduk kabupaten yang semakin tahun semakin meningkat sehingga dapat dipastikan bahwa sampah yang hasilkan juga semakin meningkat. Dengan adanya peningkatan terhadap jumlah sampah maka seharusnya sarana dan prasarana yang ada untuk melakukan pengelolaan juga harus seimbang serta seharusnya ada manajemen pengelolaan sampah yang sesuai dengan kondisi kota atau daerah dan adanya design tempat pembuangan akhir (TPA) yang berbasis kesehatan penduduk. Sedangkan yang terlihat pada keadaan di kabupaten Paser saat ini, untuk semua sarana dan prasarana yang mendukungnya masih kurang. Contoh nyata yang terlihat bahwa secara visual masih banyak sampah yang berserakan di sekitar TPS, selain itu juga masih banyaknya masyarakat yang membuang sampah diluar jam yang telah ditentukan oleh pemerintah daerah yakni jam 24.00 WITA serta kurangnya jumlah sarana dan Tanah Grogot merupakan ibukota dari Kabupaten Paser dan merupakan salah satu dari beberapa kecamatan yang terletak di Kabupaten Paser. Kaitannya dengan pengelolaan sampah, kabupaten Paser saat ini dapat dikatakan masih kurang dan belum optimal. Hal ini dapat kita lihat bahwa jumlah penduduk kabupaten yang semakin tahun semakin meningkat sehingga dapat dipastikan bahwa sampah yang hasilkan juga semakin meningkat. Dengan adanya peningkatan terhadap jumlah sampah maka seharusnya sarana dan prasarana yang ada untuk melakukan pengelolaan juga harus seimbang serta seharusnya ada manajemen pengelolaan sampah yang sesuai dengan kondisi kota atau daerah dan adanya design tempat pembuangan akhir (TPA) yang berbasis kesehatan penduduk. Sedangkan yang terlihat pada keadaan di kabupaten Paser saat ini, untuk semua sarana dan prasarana yang mendukungnya masih kurang. Contoh nyata yang terlihat bahwa secara visual masih banyak sampah yang berserakan di sekitar TPS, selain itu juga masih banyaknya masyarakat yang membuang sampah diluar jam yang telah ditentukan oleh pemerintah daerah yakni jam 24.00 WITA serta kurangnya jumlah sarana dan

Gambar 1. Kondisi sampah yang berserakan di sekitar TPS Permasalahan sampah tidak akan selesai dengan hanya diwacanakan, namun sangat perlu tindakan nyata di lapangan. Penanganan permasalahan sampah pun tidak dapat hanya dilakukan oleh sekelompok orang saja. Kerjasama yang baik antara pemerintah, pelaku bisnis dan masyarakat luas menjadi persyaratannya. Hal ini bukan saja harus di kabupaten Paser saja melainkan hampir diseluruh kota harus menerapkannya.

Sehubungan dengan hal tersebut sehingga perlu dicermati untuk menyelesaikan semua kondisi yang berhubungan dengan pengelolaan sampah di kabupaten Paser baik itu dari manajemen penggelolaan pengambilan sampah maupun design dan keadaan dari tempat pembuangan akhirnya (TPA) yang ada.

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Pada dasarnya hampir semua kota besar yang berada di Indonesia mengalami

Banjarmasin dan Kota Bandung. Kedua kota tersebut merupakan salah satu dari kota besar yang berada di Indonesia, akan tetapi kondisi pengelolaan persampahannya pun belum dapat dikatakan baik. Hal ini dapat terlihat dari masih berserakannya sampah yang kedua kota tersebut.

Tanah Grogot sebagai ibukota dari Kabupaten Paser tentunya merupakan sebuah kecamatan yang lebih berkembang jika dibandingkan kecamatan-kecamatan lainnya. Dipilihnya Kecamatan Tanah Grogot sebagai lokasi penelitian mengingat bahwa selain sebagai ibukota, Tanah Grogot juga dijadikan sebagai sentral perdagangan atau kegiatan perekonomian lainnya sehingga menyebabkan limbah atau sampah yang dihasilkan juga lebih banyak jika dibandingkan dengan daerah- daerah lainnya di Kabupaten Paser.

Permasalahan sampah yang ada di Tanah Grogot Kabupaten Paser semakin hari semakin kompleks baik ditinjau dari segi ekonomi, sosial, estetika maupun kesehatan. Hal ini dapat dinilai apabila melakukan pengamatan langsung di lapangan, masih terlihat sampah yang berserakan atau masih tercium bau busuk yang menyengat dari sampah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem pengelolaan sampah yang telah dijalankan masih belum sempurna atau sistem pengelolaannya masih belum optimal.

Indikator permasalahan persampahan di Tanah Grogot pada dasarnya dapat di tinjau dari sarana dan prasarana yang ada dalam pengelolaan sampah, seperti bak sampah (TPS) yang terbuat dari apa dan berapa besar volumenya (apa sudah sesuai dengan volume sampah yang dihasilkan), sarana yang digunakan dalam pengangkutan sampah dan teknis serta petugas lapangan yang ada.

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan di atas maka dapat dilihat bahwa permasalahan sampah yang ada di Tanah Grogot sebagai berikut :

1. Berapa banyak volume yang dihasilkan di Tanah Grogot

2. Apakah volume sampah yang dihasilkan sudah sesuai dengan sarana dan prasarana yang ada

3. Sistem keorganisasian yang ada (petugas yang mendukung)

4. Peta kepadatan sampah dan sebaran TPS

5. Kondisi tempat pembuangan akhir

6. Alternatif pengolahan sampah yang dilakukan.

C. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya semua bentuk penelitian yang ada pastilah memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai, sedangkan tujuan dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Menganalisis volume sampah yang dihasilkan di Tanah Grogot

2. Menentukan kebutuhan sarana dan prasarana dalam pengelolaan sampah

3. Menganalisis kebutuhan petugas dalam pengelolaan sampah dan sistem organisasi yang digunakan

4. Menentukan peta kepadatan sampah dan posisi TPS.

D. Maksud dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan memiliki maksud untuk menganalisis sistem manajemen pengelolaan sampah yang dilaksanakan di Tanah Grogot Kabupaten Paser serta mengetahui kekurangan dan permasalahan yang ada di dalam sistem pengelolaan tersebut.

Untuk kegunaan dari penelitian ini sangat diharapkan dapat memberikan ilmu-ilmu baru dalam pengelolaan lingkungan yang berhubungan dengan pengelolaan sampah serta diharapkan dapat memberikan atau menyelesaikan permasalahan pengelolaan sampah yang ada di Tanah Grogot Kabupaten Paser. Selain itu juga diharapkan dapat memberikan informasi mengenai penyelesaian- penyelesaian permasalahan sampah yang terjadi berupa alternatif-alternatif lain dalam pengelolaan sampah.

E. Kerangka Pemikiran

Pada dasarnya permasalahan yang diangkat di dalam penelitian ini adalah tentang pengelolaan sampah, dimana permasalahan ini sudah merupakan polemik yang terjadi hampir di setiap daerah di Indonesia.

Kondisi persampahan yang ada di Tanah Grogot untuk saat ini masih jauh dari yang diharapkan. Permasalahan-permasalahan yang ada disebabkan oleh banyak faktor, baik itu dari faktor sistem pengelolaan yang digunakan maupun faktor masyarakat sebagai penghasil sampah yang tersebar. Permasalahan-permasalahan tersebut terlihat dari kondisi sampah baik di TPS maupun di TPA yang tidak dikelola dengan baik.

Pada dasarnya pengelolaan sampah tersebut merupakan suatu peluang usaha, hanya saja bagaimana cara kita (masyarakat) memanfaatkan lebih baik lagi sampah tersebut, baik dari segi pengelolaan maupun segi pengolahannya. Selain itu kita perlu mengubaha pola pikir atau paradigma masyarakat yang masih memaknai bahwa sampah uitu adalah merupakan sebuh sampah yang harus diposisikan sebagai sampah. Pola pikir yang demikianlah yang sebenarnya menghilangkan suatu peluang Pada dasarnya pengelolaan sampah tersebut merupakan suatu peluang usaha, hanya saja bagaimana cara kita (masyarakat) memanfaatkan lebih baik lagi sampah tersebut, baik dari segi pengelolaan maupun segi pengolahannya. Selain itu kita perlu mengubaha pola pikir atau paradigma masyarakat yang masih memaknai bahwa sampah uitu adalah merupakan sebuh sampah yang harus diposisikan sebagai sampah. Pola pikir yang demikianlah yang sebenarnya menghilangkan suatu peluang

Pengelolaan sampah yang tidak baik tentunya dapat menyebabkan pencemaran lingkungan, menimbulkan bau busuk yang tidak sedap, menimbulkan penyebaran penyakit, dan menyebabkan menurunnya nilai estetika atau nilai keindahan terhadap suatu areal. Oleh sebab itulah perlunya suatu sistem pengelolaan sampah yang lebih baik dan menguntungkan, untuk disemua daerah khususnya Tanah Grogot Kabupaten Paser.

Sumberdaya

Manusia

Jaringan Jalan

Sistem Organisasi

Sistem Pengelolaan Sampah Yang kurang baik

Jumlah dan

TPS / TPA

Pengangkut

Sebaran Sampah

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Sampah

Sampah yang dalam bahasa Inggrisnya waste, pada dasarnya mencakup banyak pengertian. Sampah adalah zat-zat atau benda-benda yang sudah tidak terpakai lagi, baik berupa bahan buangan yang berasal dari rumah tangga maupun dari pabrik sisa proses industri yang semuanya merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia (Apriadji, 1989).

Azwar (1990) mengatakan bahwa sampah adalah sebagian dari sesuatu yang tidak terpakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang, umumnya berasal dari kegiatan manusia dan bersifat padat. Definisi lain dikemukakan oleh Hadiwijoto (1983), sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami perlakuan baik telah diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak bermanfaat, dari segi ekonomi sudah tidak ada harganya serta dari segi lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian alam.

Murtadho dan Gumbira (1988) membedakan sampah atas sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik meliputi limbah padat semi basah berupa bahan- bahan organik yang umumnya berasal dari limbah hasil pertanian. Sampah ini memiliki sifat mudah terurai oleh mikroorganisme dan mudah membusuk karena memiliki rantai karbon relatif pendek. Sedangkan sampah anorganik berupa sampah padat yang cukup kering dan sulit terurai oleh mikroorganisme karena memiliki rantai karbon yang panjang dan kompleks seperti kaca, besi, plastik, dan lain-lain. Kategori Murtadho dan Gumbira (1988) membedakan sampah atas sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik meliputi limbah padat semi basah berupa bahan- bahan organik yang umumnya berasal dari limbah hasil pertanian. Sampah ini memiliki sifat mudah terurai oleh mikroorganisme dan mudah membusuk karena memiliki rantai karbon relatif pendek. Sedangkan sampah anorganik berupa sampah padat yang cukup kering dan sulit terurai oleh mikroorganisme karena memiliki rantai karbon yang panjang dan kompleks seperti kaca, besi, plastik, dan lain-lain. Kategori

Sampah atau waste digolongkan kedalam 4 kelompok, antara lain :

1. Human excreta, merupakan bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia, seperti tinja (faeces) dan air kencing (urine).

2. Sewage, merupakan air limbah yang dibuang oleh pabrik maupun rumah tangga, contohnya air bekas cucian.

3. Refuse, merupakan bahan pada sisa proses industri atau hasil sampingan kegiatan runah tangga. Refuse inilah yang dalam pengertian sehari-harinya kerapkali kita sebut sampah.

4. Industrian waste, merupakan bahan-bahan buangan dari sisa-sisa proses industri (Apriadji, 1989).

Sampah atau refuse berdasarkan jenisnya dapat diklasifikasikan kedalam kelompok :

1. Sampah lapuk (gerbage) atau sampah organik, sampah ini merupakan sisa-sisa makanan dari rumah tangga atau merupakan sampah yang berasal dari makhluk hidup .

2. Sampah tak lapuk (rabbish) atau sampah anorganik, sampah ini tidak dapat terdegredasi secara alami.

B. Sampah Perkotaan

Komposisi jenis zat kandungan pada sampah perkotan pada umumnya terus berubah dari waktu ke waktu. Semakin meningkat kesejahteraan sosial masyarakat maka kandungan bahan organiknya semakin menurun, sedangkan kandungan plastik, kertas makin meningkat (Budirahardjo, 2002).

Hubungan antara tingkat kesejahteraan masyarakat dengan komposisi sampah yang dihasilkan di beberapa negara dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 1. Komposisi Sampah di Beberapa Kota Besar

Jakarta Bandung No Komponen (%)

London Singapura Hongkong

8 6,1 Sumber : Widyatmoko dan Sintorini (2002)

Tabel 1 menunjukkan semakin meningkat kesejahteraan sosial masyarakat suatu negara maka kandungan sampah semakin sedikit bahan organiknya, seperti negara London, Singapura dan USA yang merupakan negara sejahtera semakin sedikit bahan oraniknya yang terkandung dalam sampah dibandingkan dengan Jakarta dan Bandung. Juga sampah kertas ke tiga negara tersebut di atas lebih banyak daripada Jakarta dan Bandung.

Apabila kita meninjau lebih jauh lagi bahwa sebenarnya Indonesia sudah siap untuk mengelola sampah secara maksimal. Akan tetapi hambatan terbesar yang ada di Indonesia adalah kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia mengenai betapa pentingnya pengelolaan sampah yang baik dan benara sesuai dengan standar kesehatan.

Tabel 2. Komposisi Umum Sampah Kota

No Komponen Komposisi / Persentase

1 Serat kasar

3 Abu (mineral)

5 Ammonia 0,5-1,4 mg/g sampah

6 Senyawa nitrogen organik 4,8-14 mg/g sampah

7 Total nitrogen 7-17 mg/g sampah

Sumber : J.S.Jeris dan R.Regan (1975) dalam Hadiwiyoto (1983)

Pada sampah padatan, beberapa sifatnya telah diketahui. Sifat-sifat tersebut sangat bervariasi, tergantung pada komponen-komponen sampah, dan sangat sulit buntuk dibuat secara umum dan menyeluruh. Kekhasan sampah dari berbagai tempat/daerah serta jenisnya berlain-lainan sehingga memungkinkan sifat-sifat yang berbeda, seperti terlihat Tabel 2 di atas.

Serat kasar merupakan komposisi terbesar sampah saat ini sehingga tanpa kita sadari sendiri bahwa komposisi sampah terbesar sampah di Indonesia merupakan terbentuk dari komponen organik sehingga nantinya dapat lebih memudahkan dalam melakukan pengelolaannya.

Berikut merupakan cakupan pelayanan pengelolaan persampahan yang ada tersebar di seluruh Indonesia : Tabel 3. Cakupan Pelayanan Persampahan di Indonesia

Cakupan Pelayanan

Penduduk

Jumlah

No Propinsi

Kota (Jiwa)

Kota

Jumlah Proporsi (Jiwa)

8.218.197 46,0 2 Jawa – Bali

1 Sumatera

21.294.350 28,4 3 Kalimantan

45 1.806.718 34,4 4 Sulawesi

62 2.228.856 36,5 5 Lainnya

Sumber : Data dan Informasi Umum Pembangunan Perkotaan dan Pedesaan, Ditjen TPTP, Dep Kimpraswil, 2001

Data tersebut di atas memperlihatkan bahwa Indonesia hanya memiliki 32,1% proporsi cakupan persampahan atau sebesar 35.130.186 jiwa manusia saja. Sehingga pola pelayanan persampahan di Indonesia dinilai masih sangat kurang.

C. Masalah yang Ditimbulkan Sampah

Bahar (1986) mengatakan sampah adalah buangan berupa bahan padat merupakan polutan umum yang menyebabkan turunnya nilai estetika lingkungan, membawa berbagai jenis penyakit, menurunnya nilai sumberdaya, menimbulkan polusi, menyumbat saluran air dan berbagai akibat negatif lainnya.

1. Nilai estetika Sampah yang menumpuk dan dibiarkan pada tempat terbuka (open dump), menyebabkan rendahnya nilai estetika disekitar tempat tersebut. Hal ini disebabkan oleh penampakan fisik yang tidak enak dilihat.

2. Polusi udara dan air Pembakaran sampah secara terbuka dan tidak dikendalikan disamping menghasilkan residu dan penghancuran sampah juga menimbulkan emisi pada atmosfir dengan peningkatan komponen-komponen polutan di udara, seperti CO 2 , CO, NO, gas- gas sulfur, amoniak dan partikel-partikel kecil di udara. Air yang ada pada sampah umumnya mengandung bahan kimia, bakteri dan kotoran lainnya yang dapat merembes ke dalam tanah yang akan mencemarkan sumber air penduduk.

3. Sumber penyakit Tempat-tempat penumpukan sampah merupakan lingkungan kehidupan yang baik bagi perkembangan tikus, nyamuk, lalat, insekta dan mikroba yang dapat menimbulkan dan menyebarkan berbagai jenis penyakit.

4. Penyumbatan saluran air Kebiasan buruk bagi sebagian orang adalah membuang sampah ke sungai, got atau saluran air. Selain menimbulkan polusi air juga menyebabkan pendangkalan dan penyumbatan saluran air sehingga bila hujan datang saluran air itu akan mampat dan menimbulkan banjir.

D. Pengelolaan Sampah

Pengolahan sampah adalah perlakuan terhadap sampah yang bertujuan memperkecil atau menghilangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan lingkungan. Dalam ilmu kesehatan lingkungan, suatu pengolahan sampah dianggap baik jika sampah yang diolah tidak menjadi tempat berkembang biaknya bibit penyakit serta tidak menjadi perantara penyebarluasan suatu penyakit. Syarat lain yang harus dipenuhi adalah tidak mencemari udara, air, atau tanah, tidak menimbulkan bau, dan tidak menimbulkan kebakaran.

Secara umum pengelolaan sampah di perkotaan melalui 3 tahapan kegiatan, yaitu : pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan akhir/pengolahan. Aboejoewono (1985) menggambarkan secara sederhana tahapan-tahapan dari proses kegiatan dalam pengelolaan sampah sebagai berikut :

Gambar 3. Tahapan Kegiatan Pengelolaan Sampah

Pengumpulan diartikan sebagai pengelolaan sampah dari tempat asalnya sampai ke tempat pembuangan sementara sebelum menuju tahapan berikutnya. Pada tahapan ini digunakan sarana bantuan berupa tong sampah, bak sampah, peti kemas sampah, gerobak dorong maupun tempat pembuangan sementara (TPS). Tahapan pengangkutan dilakukan dengan menggunakan sarana bantuan berupa alat transportasi tertentu menuju ke tempat pembuangan akhir/pengolahan. Pada tahap pembuangan akhir/pengolahan, sampah akan mengalami pemrosesan baik secara fisik, kimia maupun biologis sedemikian hingga tuntas penyelesaian seluruh proses.

Sidik et. al. (1985), mengemukakan bahwa ada dua proses pembuangan akhir, yakni : open dumping (penimbunan secara terbuka) dan sanitary landfill (pembuangan secara sehat). Pada sistem open dumping, sampah ditimbun di areal tertentu tanpa membutuhkan tanah penutup, sedangkan pada cara sanitary landfill, sampah ditimbun secara berselang-seling antara lapisan sampah dan lapisan tanah sebagai penutup.

Sampah yang telah ditimbun pada tempat pembuangan akhir (TPA) dapat mengalami proses lanjutan. Teknologi yang digunakan dalam proses lanjutan yang umum digunakan adalah :

1. Pengomposan (Composting)

Uraian mengenai proses pengomposan berikut ini bersumber dari Suriawiria (1996). Pengomposan merupakan salah satu contoh proses pengolahan sampah secara aerobik dan anaerobik yang merupakan proses saling menunjang untuk menghasilkan kompos. Sampah yang dapat digunakan dengan baik sebagai bahan baku kompos adalah sampah organik, karena mudah mengalami proses dekomposisi oleh mikroba-mikroba.

Proses dekomposisi senyawa organik oleh mikroba merupakan proses berantai. Senyawa organik yang bersifat heterogen bercampur dengan kumpulan jasad hidup yang berasal dari udara, tanah, air, dan sumber lainnya, lalu di dalamnya terjadi proses mikrobiologis. Beberapa hal yang harus diperhatikan agar proses tersebut berjalan lancar adalah perbandingan nitrogen dan karbon (C/N rasio) di dalam bahan, kadar air bahan, bentuk dan jenis bahan, temperatur, pH, dan jenis mikroba yang berperan didalamnya.

Pengomposan merupakan teknik pengolahan sampah organik yang biodegradable, sampah tersebut dapat diurai oleh mikroorganisme atau cacing (vermicomposting) sehingga terjadi proses pembusukan, kompos yang dihasilkan sangat baik untuk memperbaiki struktur tanah, karena kandungan unsur hara dan kemampuannya menahan air (Damanhuri, 1999).

Pengomposan dengan menggunakan sistem agitasi dapat mempercepat proses pengomposan awal daripada sistem statis dan dalam proses metro waste diperlukan waktu kurang lebih 7 hari, cara pengomposannya yaitu dengan memberikan agitasi periodik dengan diputar (Haug, 1962). Proses pengomposan secara agitasi dapat dilakukan secara aerobik dan anaerobik, tetapi pengomposan secara aerobik lebih Pengomposan dengan menggunakan sistem agitasi dapat mempercepat proses pengomposan awal daripada sistem statis dan dalam proses metro waste diperlukan waktu kurang lebih 7 hari, cara pengomposannya yaitu dengan memberikan agitasi periodik dengan diputar (Haug, 1962). Proses pengomposan secara agitasi dapat dilakukan secara aerobik dan anaerobik, tetapi pengomposan secara aerobik lebih

Proses stabilisasi pada komposting secara aerobik dapat digambarkan sebagai berikut :

Protein Asam amino Lipida

Karbohidrat + O 2 + Nutrien + Mikroorganisme Kompos + Sel-sel Baru + Selulosa Lignin

Sel-sel Mati

Debu 2 + CO 2 +H 2 O + NO 3 + SO 4 + Panas (Komponen utama dari fraksi Organik limbah padat perkotaan)

Gambar 4. Proses Stabilisasi Komposting

Mikroorganisme yang bekerja pada proses pengomposan dibedakan atas dua kelompok, yaitu kelompok Mesophilic (mikroorganisme yang hidup pada temperatur 23°-45° C, seperti : jamur, Actinomycetes, cacing tanah, cacing kremi, keong kecil, semut, kumbang tanah) dan Thermopilic (mikroorganisme yang hidup pada temperatur 45°-65° C, seperti: cacing pita, Protozoa, Rotifera, kutu jamur).

Mikroorganisme kelompok Mesophilic dan Thermophilic melakukan proses pencernaan secara kimiawi, dimana bahan organik dilarutkan dan kemudian diuraikan. Cara kerjanya yaitu dengan mengeluarkan enzym yang dilarutkan ke dalam selaput air (water film) yang melapisi bahan organik, enzym tersebut berfungsi menguraikan bahan organik menjadi unsur-unsur yang mereka serap. Karena terjadi dipermukaan bahan, maka proses penguraian ini akan mengakibatkan semakin luasnya permukaan bahan.

Selanjutnya permukaan yang semakin luas ini akan mempercepat proses perkembangbiakan mikroorganisme. Demikian seterusnya, semakin besar populasi mikroorganisme, semakin cepat pula proses pembusukan (Harold, 1965).

Indikator yang menunjukkan bahwa proses dekomposisi senyawa organik berjalan lancar adalah adanya perubahan pH dan temperatur. Proses dekomposisi akan berjalan dalam empat fase, yaitu mesofilik, termofilik, pendinginan, dan masak. Hubungan diantara keempat fase tersebut sebagai berikut :

a. Pada proses permulaan, media mempunyai nilai pH dan temperatur sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada, yaitu pH + 6.0 dan temperatur antara 18 - 22°C;

b. Sejalan dengan adanya aktifitas mikroba (khususnya bakteri indigenousi) di dalam bahan, maka temperatur mulai naik, dan akhirnya akan dihasilkan asam organik;

c. Pada kenaikan temperatur diatas 40°C, aktifitas bakteri mesofilik akan terhenti, kemudian diganti oleh kelompok termofilik. Bersamaan dengan pergantian ini, amoniak dan gas nitrogen akan dihasilkan, sehingga nilai pH akan berubah kembali menjadi basa;

d. Kelompok jamur termofilik, yang terdapat selama proses, akan mati akibat kenaikan temperatur diatas 60°C. Selanjutnya akan diganti oleh kelompok bakteri dan actinomycetes termofilik sampai batas temperatur + 86°C.

e. Jika temperatur maksimum sudah tercapai serta hampir seluruh kehidupan di dalamnya mengalami kematian, maka temperatur akan turun kembali hingga mencapai kisaran temperatur asal. Fase ini disebut fase pendinginan dan akhirnya terbentuklah kompos yang siap digunakan.

Sebenarnya tujuan dari komposting itu sendiri, antara lain : Sebenarnya tujuan dari komposting itu sendiri, antara lain :

b. Membunuh mikroba pathogen, telur insect & organisme lain

c. Menyediakan nutrient yang cukup untuk menunjang kesuburan tanah / tanaman.

Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pengomposan adalah sebagai berikut:

1. Ukuran Bahan yang Dikomposkan Mikroorganisme adalah makhluk yang melakukan pencernaan di luar tubuhnya (extra metabolisme). Extra metabolisme ini memerlukan suatu media untuk terjadinya proses penguraian bahan, yang dalam hal ini adalah suatu selaput air yang terdapat di permukaan bahan organik itu sendiri. Semakin kecil partikel, semakin banyak jumlahnya dan semakin luas pula jumlah permukaan yang dicerna oleh organisme. Maka ukuran bahan yang layak untuk dikomposkan adalah ± 2 inchi (5 cm), sedangkan bahan yang (berasal dari kebun bunga atau truk kebun harus dipotong ± 1/2 inchi (kira- kira 1cm).

2. Temperatur dan tinggi tumpukan Metabolisme mikroorganisme dalam tumpukan menimbulkan energi dalam bentuk panas. Panas yang ditimbulkan sebagian akan tersimpan di dalam tumpukan dan sebagian lagi terlepas pada proses penguapan atau aerasi. Panas yang terperangkap di dalam tumpukan akan meningkatkan temperatur tumpukan.

Dalam proses pengomposan aerobik terdapat dua fase yaitu fase Mesophilic (23- 45)° C dan fase Thermopilic (45-65)° C. Kisaran temperatur ideal tumpukan kompos adalah 55 °C – 65 °C. Pada temperatur tersebut, perkembangbiakan mikroorganisme adalah yang paling baik sehingga populasinya baik, disamping itu, enzim yang dihasilkan untuk menguraikan bahan organik paling efektif daya urainya.

Temperatur yang tinggi (minimal 55° C) perlu dipertahankan sekurangkurangnya selama 15 hari berturut-turut, dan tumpukan dibalik ± 5 kali dalam masa tersebut dan Thcobanaglous sehingga :

a) Membunuh bibit penyakit (patogen).

b) Menetralisir bibit hama (seperti lalat).

c) Mematikan bibit rumput atau molekul organik yang resisten. Temperatur yang tinggi dalam tumpukan mengakibatkan pecahnya telur serangga pada sampah, dan serangga serta bakteri patogen akan mati. Temperatur udara luar tidak akan mempengaruhi temperatur dalam tumpukan kompos. Jadi yang penting adalah ketinggian tumpukan. Agar proses berjalan dengan cepat, maka tinggi tumpukan sebaiknya antara 1,25-2 m.

3. Ketersediaan Oksigen dan Pembalikan Kadar oksigen yang ideal adalah 10 %-18 % (kisaran yang dapat diterima adalah

5 %-20%). Jika tumpukan terlalu lembab maka proses pengomposan akan terhambat, ini dikarenakan kandungan air akan menutupi rongga udara di dalam tumpukan, sehingga akan membatasi kadar oksigen dalam tumpukan. Kekurangan oksigen mengakibatkan mikroorganisme aerobik mati dan akan tergantikan oleh mikroorganisme anaerobik. Tetapi dengan adanya pembalikan pada tumpukan kompos akan mengembalikan kondisi tumpukan menjadi normal kembali.

Aerasi sangat diperlukan untuk mengurangi kadar air yang tinggi pada bahan organik yang akan dikomposkan dan untuk menjaga agar pada proses pengomposan selalu ada udara segar dan kondisi anaerob dapat dihindari.

4. Rasio Karbon-Nitrogen (C/N) Penyebab pembusukan pada bahan organik diakibatkan adanya karbon dan nitrogen. Rasio C/N digunakan untuk mendapatkan degradasi biologis dari bahan-bahan organik yaitu apakah sampah tersebut baik atau tidak untuk dijadikan kompos, serta untuk menunjukkan umur dan kematangan kompos.

Rasio C/N optimum untuk komposting adalah 30-35. Organisme menggunakan

30 bagian karbon untuk setiap bagian nitrogen. rasio C/N setelah menjadi kompos adalah 10-20. Kadar nitrogen yang tinggi terdapat pada sayuran dengan rasio C/N 24:1, dan kadar karbon yang tinggi dijumpai pada kertas, jerami, batang tebu, dan sampah kota. Tabel 4. Ratio Perbandingan C dan N terhadap beberapa jenis bahan

No

Jenis Bahan

Ratio C/N

1 Kotoran Manusia : - Dibiarkan

6:1 - Dihancurkan

3 Sisa dapur/makanan

5 Kotoran Sapi

6 Kotoran Kuda

7 Sisa buah-buahan

8 Perdu/semak 40-80 : 1

9 Batang jagung

11 Kulit batang pohon 100-130 : 1

12 Kertas 170 : 1

13 Serbuk Gergaji 500 : 1

14 Kayu 700 : 1 Sumber : Center for Policy and Implementation Studies (CPIS), 1992 .

5. Kadar Air dan Udara pada Tumpukan Kompos Kadar air atau kelembaban yang ideal adalah antara 40%-60% dengan kadar 5. Kadar Air dan Udara pada Tumpukan Kompos Kadar air atau kelembaban yang ideal adalah antara 40%-60% dengan kadar

6. Derajat Keasaman (pH) Pada awal proses pengomposan, derajat keasaman akan selalu turun karena sejumlah mikroorganisme tertentu akan mengubah sampah organik menjadi asam organik. Dalam proses selanjutnya, mikroorganisme jenis lainnya akan memakan asam organik yang akan menyebabkan pH menjadi naik kembali, mendekati netral. pH yang ideal dalam proses pengomposan adalah antara 6-8 dengan tingkat masih diterima adalah pH 5 (minimum) dan pH 12 (maksimum).

2. Incenerator (Pembakar Sampah)

Pembakaran sampah dengan menggunakan incenerator adalah salah satu cara pengolahan sampah, baik padat maupun cair. Didalam incenerator, sampah dibakar secara terkendali dan berubah menjadi gas (asap) dan abu. Dalam proses pembuangan sampah, cara ini bukan merupakan proses akhir. Abu dan gas yang dihasilkan masih memerlukan penanganan lebih lanjut untuk dibersihkan dari zat-zat pencemar yang terbawa, sehingga cara ini masih merupakan intermediate treatment (Sidik et al., 1985).

Salah satu kelebihan incenerator menurut Salvato (1982) adalah dapat mencegah pencemaran udara dengan syarat incenerator harus beroperasi secara berkesinambungan selama enam atau tujuh hari dalam seminggu dengan kondisi temperatur yang dikontrol dengan baik dan adanya alat pengendali polusi udara hingga mencapai tingkat efisiensi, serta mencegah terjadinya pencemaran udara dan bau.

Kelebihan incenerator sebagai alat pengolah sampah juga dikemukakan oleh Sidik et al. (1985), yaitu meskipun incenerator masih belum sempurna sebagai sarana pembuangan sampah, akan tetapi terdapat beberapa keuntungan sebagai berikut :

a. Terjadi pengurangan volume sampah yang cukup besar, sekitar 75% hingga 80% dari sampah awal yang datang tanpa proses pemisahan.

b. Sisa pembakaran yang berupa abu cukup kering dan bebas dari pembusukan

c. Pada instalasi yang cukup besar kapasitasnya (lebih besar dari 300 ton/hari) dapat dilengkapi dengan peralatan pembangkit listrik Menurut Sidik et al. (1985), sistem incenerator pada dasarnya terdiri atas dua macam, yaitu :

a. Sistem pembakaran berkesinambungan. Sistem ini menggunakan gerakan mekanisasi dan otomatisasi dalam kesinambungan pengumpanan sampah ke dalam ruang bakar (tungku) dan pembuangan sisa pembakaran. Sistem ini umumnya dilengkapi fasilitas pengendali pembersih sisa pembakaran untuk membersihkan abu dan gas. Sistem ini dapat digunakan untuk instalasi dengan kapasitas besar (lebih besar dari 100 ton/hari) dan beroperasi selama 24 jam atau 16 jam per hari.

b. Sistem pembakaran terputus. Sistem ini umumnya sederhana dan mudah dioperasikan. Digunakan untuk kapasitas kecil (kurang dari 100 ton/hari). Biasanya beroperasi kurang dari 8 jam per hari. Cara kerjanya terputus-putus dalam arti bila sampah yang sudah dibakar menjadi abu, maka untuk pembakaran berikutnya abu tersebut harus dikeluarkan lebih dahulu. Setelah bersih, baru dapat dilakukan pembakaran sampah selanjutnya.

Proses yang terdapat di incenerator pada dasarnya terdiri atas enam tahap, yaitu :

1) proses pembakaran; 2) proses pengolahan abu; 3) proses pendinginan gas; 4) proses pengolahan gas; 5) proses pengolahan air kotor; dan 6) proses pemanfaatanpanas (Sidik, et al. , 1985). Proses tersebut menunjukkan bahwa pengolahan sampah dengan incenerator dilakukan dengan memperhatikan aspek keamanan terhadap lingkungan.

3. Tempat Pembuangan Akhir Sampah = TPA (landfill)

Tempat pembuangan akhir sampah adalah tempat dimana sampah dikelola untuk dimusnahkan baik dengan cara penimbunan dengan tanah secara berkala (sanitary landfill) , pembakaran tertutup (insenerasi), pemadatan dan lain-lain (Ditjend PPM dan PLP Depkes, 1989).

Menurut Sidik et al. (1985), pengolahan sampah metoda pembuangan akhir dilakukan dengan teknik penimbunan sampah. Tujuan utama penimbunan akhir adalah menyimpan sampah padat dengan cara-cara yang tepat dan menjamin keamanan lingkungan, menstabilkan sampah (mengkonversi menjadi tanah), dan merubahnya kedalam siklus metabolisme alam. Ditinjau dari segi teknis, proses ini merupakan pengisian tanah dengan menggunakan sampah. Lokasi penimbunan harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. Ekonomis dan dapat menampung sampah yang ditargetkan

b. Mudah dicapai oleh kendaraan-kendaraan pengangkut sampah

c. Aman terhadap lingkungan sekitarnya. Lokasi untuk penempatan tempat pembuangan akhir (TPA) harus memenuhi

1. Jarak terhadap pemukiman minimal 2 km karena bau yang tidak enak,

2. Jarak terhadap sumber air baku untuk minum minimal 200 m,

3. Tidak terletak pada daerah banjir,

4. Tidak terletak pada lokasi yang permukaan air tanahnya tinggi,

5. Jarak dengan tepi jalan besar sedikitnya 200 m. (Ditjend PPM dan PLP Depkes, 1989). Ada beberapa metode landfilling yang diterapkan di lahan urug antara lain open dumping , controlled landfill dan sanitary landfill. Metode open dumping harus dihindari penggunaannya. Untuk melindungi lingkungan terhadap dampak negatif yang lebih besar maka seharusnya metode sanitary landfill yang digunakan di tempat pembuangan akhir (TPA) atau minimal landfill (Bappeko Banjarmasin, 2001).

Pengawasan terhadap proses pengolahan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) harus dilakukan sepanjang waktu. Hal ini mengingat bahwa pengolahan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) memerlukan koordinasi pekerjaan, pemisahan buangan berbahaya/beracun, melarang pemulung sampah membongkar sampah yang telah dipadatkan dan meyakinkan bahwa pembuangan sampah dilakukan secara baik. Pengaturan penempatan sampah di tempat pembuangan akhir harus teratur dan pada tempat tertentu. Hal ini mengingat bahwa penempatan sampah yang tidak teratur dan tidak tepat akan mengakibatkan lebih banyak sampah bertebaran, pandangan jelek, membutuhkan waktu, tenaga dan tanah penutup yang lebih banyak (Ditjend PPM dan PLP Depkes, 1989).

Teknik sanitary landfill adalah cara penimbunan sampah padat pada suatu hamparan lahan dengan memperhatikan keamanan lingkungan karena telah ada Teknik sanitary landfill adalah cara penimbunan sampah padat pada suatu hamparan lahan dengan memperhatikan keamanan lingkungan karena telah ada

Menurut Sidik et al. (1985) penimbunan sampah yang sesuai dengan persyaratan teknis akan membuat stabilisasi lapisan tanah lebih cepat dicapai. Dasar dari pelaksanaannya adalah meratakan setiap lapisan sampah, memadatkan sampah dengan menggunakan compactor, dan menutupnya setiap hari dengan tanah yang juga dipadatkan. Ketebalan lapisan sampah umumnya sekitar 2 meter, namun boleh juga lebih atau kurang dari 2 meter bergantung pada sifat sampah, metoda penimbunan, peralatan yang digunakan, topografi lokasi penimbunan, pemanfaatan tanah bekas penimbunan, kondisi lingkungan sekitarnya, dan sebagainya. Adapun fungsi lapisan penutup tersebut sebagai berikut :

a. Mencegah berkembangnya vektor penyakit

b. Mencegah penyebaran debu dan sampah ringan

c. Mencegah tersebarnya bau dan gas yang timbul

d. Mencegah kebakaran

e. Menjaga agar pemandangan tetap indah

f. Menciptakan stabilisasi lokasi penimbunan sampah f. Menciptakan stabilisasi lokasi penimbunan sampah

a. Air lindi, yang keluar dari dalam tumpukan sampah karena masuknya rembesan air hujan ke dalam tumpukan sampah lalu bersenyawa dengan komponen-komponen hasil penguraian sampah;

b. Pembentukan gas. Penguraian bahan organik secara aerobik akan meghasilkan gas CO2, sedangkan penguraian bahan organik pada kondisi anaerobik akan menghasilkan gas CH4, H2S, dan NH3. Gas CH4 perlu ditangani karena merupakan salah satu gas rumah kaca serta sifatnya mudah terbakar. Sedangkan gas H2S, dan NH3 merupakan sumber bau yang tidak enak.

Secara sederhana pelaksanaan pengolahan sampah yang umum diterapkan di perkotaan sebagai berikut :

Kota yang Tertib, Bersih

dan Indah

Gambar 5. Tata Laksana Pengelolaan Sampah di Perkotaan

E. Keadaan Kabupaten Paser

Kabupaten Paser merupakan wilayah Propinsi Kalimantan Timur yang terletak paling selatan, tepatnya pada posisi 00 45'18,37" - 20 27'20,82" LS dan 1150 36'14,5" - 1660 57'35,03" BT. Kabupaten Paser terletak pada ketinggian yang berkisar antara 0 - 500 m di atas permukaan laut. Di sebelah utara, Kabupaten Paser berbatasan dengan Kabupaten Kutai Barat, di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Penajam Paser Utara dan Selat Makasar, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kota Baru, Propinsi Kalimantan Selatan, serta di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan.

Luas Wilayah Kabupaten Paser saat ini adalah 11.603,94 km 2 , terdiri dari 10 Kecamatan dengan 106 buah Desa/Kelurahan dan empat buah UPT (Unit Pemukiman

Transmigrasi), serta dengan jumlah penduduk pada tahun 2003 mencapai 172.608 jiwa, atau memiliki kepadatan penduduk 15 jiwa/Km 2 . Kecamatan dengan wilayah terluas di

Kabupaten Paser adalah Kecamatan Long Kali, dengan luas wilayah 2.385,39 km 2 , termasuk di dalamnya luas daerah lautan yang mencapai 20,50 persen dari luas wilayah

Kabupaten Paser secara keseluruhan, sedangkan kecamatan yang luas wilayahnya terkecil adalah Kecamatan Tanah Grogot, yang mencapai 33,58 Km2 atau 2,89 persen.

Dari segi konstelasi regional, Kabupaten Paser berada di sebelah Selatan Propinsi Kalimantan Timur. Posisinya dilintasi oleh jalan arteri primer (jalan negara/nasional) yang menghubungkan Propinsi Kalimantan Timur dengan Kalimantan Selatan. Pada bagian timur Kabupaten Paser melintang selat Makassar, yang dimasa yang akan datang memiliki prospek dan fungsi penting sebagai jalur alternatif pelayaran internasional. Pelabuhan laut utama di Kabupaten Paser, yaitu Pelabuhan Teluk Adang Dari segi konstelasi regional, Kabupaten Paser berada di sebelah Selatan Propinsi Kalimantan Timur. Posisinya dilintasi oleh jalan arteri primer (jalan negara/nasional) yang menghubungkan Propinsi Kalimantan Timur dengan Kalimantan Selatan. Pada bagian timur Kabupaten Paser melintang selat Makassar, yang dimasa yang akan datang memiliki prospek dan fungsi penting sebagai jalur alternatif pelayaran internasional. Pelabuhan laut utama di Kabupaten Paser, yaitu Pelabuhan Teluk Adang

Pada tahun 2003, berdasarkan hasil registrasi, Kabupaten paser mengalami peningkatan pertumbuhan jumlah penduduk sebesar 2,4 %, menjadi 172.608 jiwa, terdiri dari 90.889 jiwa penduduk laki-laki dan 81.719 jiwa penduduk perempuan.Kepadatan penduduk Kabupaten Paser pada tahun 2003 adalah 15 jiwa per

Km 2 . Penyebaran penduduk tersebut masih belum merata, karena penyebarannya masih terkonsentrasi pada kecamatan yang keadaan ekonominya lebih maju. Kecamatan yang mempunyai tingkat kepadatan penduduk tertinggi adalah Kecamatan Tanah Grogot dengan kepadatan penduduk rata-rata 130 jiwa per Km2, sedangkan kepadatan penduduk terendah terdapat di kecamatan Muara Komam dan Tanjung Aru, dengan

tingkat kepadatan penduduk rata-rata enam jiwa per Km 2 .

Dengan skala wilayah yang mencapai Rp 2.796.901,00 juta, kontribusi 2,86% terhadap pembentukan ekonomi wilayah Provinsi Kalimantan Timur tahun 2005. Laju pertumbuhan ekonomi yang dicapai selama 2003-2005 melebihi rata-rata pertumbuhan kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Timur. posisi ke 6 setelah Kota Bontang, Kabupaten Kutai, Kota Balikpapan, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Samarinda. Tingkat kemakmuran penduduk Kabupaten Paser lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata tingkat kemakmuran Penduduk Provinsi Kalimantan Timur. Tingkat kemakmuran penduduk Rp 16.116.838, sedangkan PDRB per Kapita Provinsi Kalimantan Timur mencapai Rp 32.852.165,-. Ekonomi Kabupaten Paser sampai tahun

2006, kontribusi terbesar pada sektor pertambangan dan penggalian dengan kontribusi 65,51 % dan pertanian 19,58 %.

Dengan mempertimbangkan nilai tambah yang dihasilkan oleh pertambangan batubara, laju sebesar 7,70%, apabila tanpa pertambangan batubara laju 5,43%. Secara sektoral, laju pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor bangunan: 16,55% per tahun, paling rendah adalah sektor industri pengolahan: 2,96% per tahun. Sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama 3,41 %.

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Lama waktu penelitian pengelolaan sampah ini kurang lebih 3 bulan, mulai dari persiapan, pengumpulan data, pengolahan data, penyusunan (penulisan laporan). Tempat penelitian pengelolaan sampah ini di Kecamatan Tanah Grogot Kabupaten Paser.

B. Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian pengelolaan sampah ini sebagai berikut :

1. GPS (Global Position System)

2. Peta Tanah Grogot / Peta RBI (Rupa Bumi Indonesia)

3. Software GIS

4. Komputer

5. Kuesioner (daftar pertanyaan)

6. Alat tulis.

C. Metode yang Digunakan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Metode ini dipilih mengingat penelitian untuk membuat deskriptif pengelolaan sampah, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai sistem pengelolaan sampah di Tanah Grogot.

Akan tetapi sebelum melakukan metode survey tersebut, terlebih dahulu melakukan pengamatan terhadap kondisi persampahan dan kondisi penduduk.saat ini. Setelah itu melakukan digitalisasi peta jalan (RBI) Kota Tanah Grogot, pemetaan rumah dan jalan serta pendataan kondisi fisik rumah. Proses ini bertujuan untuk mendapatkan peta jaringan jalan, peta sebaran pemukiman dan kondisi fisik rumah.

Dokumen yang terkait

AN ALIS IS YU RID IS PUT USAN BE B AS DAL AM P E RKAR A TIND AK P IDA NA P E NY E RTA AN M E L AK U K A N P R AK T IK K E DO K T E RA N YA NG M E N G A K IB ATK AN M ATINYA P AS IE N ( PUT USA N N O MOR: 9 0/PID.B /2011/ PN.MD O)

0 82 16

Anal isi s L e ve l Pe r tanyaan p ad a S oal Ce r ita d alam B u k u T e k s M at e m at ik a Pe n u n jang S MK Pr ogr a m Keahl ian T e k n ologi , Kese h at an , d an Pe r tani an Kelas X T e r b itan E r lan gga B e r d asarkan T ak s on om i S OL O

2 99 16

ANALISA BIAYA OPERASIONAL KENDARAAN PENGANGKUT SAMPAH KOTA MALANG (Studi Kasus : Pengangkutan Sampah dari TPS Kec. Blimbing ke TPA Supiturang, Malang)

24 196 2

Pengelolaan Publikasi MelaluiMedia Sosial Sebagai sarana Pengenalan Kegiatan Nandur Dulur( Studi deskriptif pada tim publikasi Nandur Dulur)

0 66 19

Desain Pelat Beton Berpori dengan Polikarbonat

3 35 9

EVALUASI PENGELOLAAN LIMBAH PADAT MELALUI ANALISIS SWOT (Studi Pengelolaan Limbah Padat Di Kabupaten Jember) An Evaluation on Management of Solid Waste, Based on the Results of SWOT analysis ( A Study on the Management of Solid Waste at Jember Regency)

4 28 1

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Enriching students vocabulary by using word cards ( a classroom action research at second grade of marketing program class XI.2 SMK Nusantara, Ciputat South Tangerang

12 142 101

Perancangan Sistem Informasi Pengelolaan Yayasan (Sinpeya) Pada Balai Perguruan Putri (BPP) Pusat Bandung

7 79 187

Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

0 19 17