Pemanfaatan Limbah Kulit Kacang Tanah

TUGAS
MATA KULIAH PENATAGUNAAN TANAH
"PENGATURAN PEMANFAATAN TANAH”

Disusun Oleh :
Diploma IV Semester III Kelas B
1.
2.
3.

Amran A.S Wahidin
Rangga Agung C
Sandy Irawan

KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/
BADAN PERTANAHAN NASIONAL
SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
PROGRAM DIPLOMA IV PERTANAHAN
2015

NIM. 14232834

NIM. 14232858
NIM. 14232866

“PENGATURAN PEMANFAATAN TANAH”
Pola pemanfaatan lahan pada hakikatnya adalah hasil perpaduan antara
faktor sejarah, faktor fisik, faktor sosial budaya dan ekonomi. Pola pemanfaatan
lahan di suatu wilayah mencerminkan pada orientasi kehidupan masyarakat di
wilayah tersebut, seperti tingkat kehidupan sosial dan ekonomi, budaya dan
teknologi. Jumlah penduduk dan perubahan, penyebaran dan bidang nafkah adalah
sesuatu yang merupakan faktor penentu di dalam pola maupun orietasi
pemanfaatan lahan.
Tanah dapat juga diartikan sebagai lahan, Soerianegara (1978) menyatakan
bahwa penggunaan tanah ternyata ditentukan oleh keadaan topografi, relief dan
ketinggian, aksesibilitas, kemampuan dan kesesuaian tanah.
Sifat perubahan pemanfaatan lahan secara garis besar dapat dibagi dua yaitu
bersifat musiman dan permanen. Perubahan pemanfaatan lahan musiman biasanya
terjadi pada lahan pertanian tanaman pangan yang juga disebut rotasi tanaman.
Sebagai contoh lahan sawah pada musim penghujan digunakan untuk tanaman
padi sawah dan pada musim kemarau untuk tanaman palawija. Perubahan
pemanfaatan lahan musiman ini tidak hanya karena faktor musim saja, tetapi

kehendak manusia juga akan menentukan perubahan pemanfaatan lahan.
Sedangkan perubahan pemanfaatan lahan yang bersifat permanen yaitu perubahan
pemanfaatan lahan dalam periode waktu relatif lama. Perubahan pemanfaatan
lahan yang bersifat lama ini disebabkan karena faktor perubahan alam, atau
karena faktor kehendak manusianya sendiri. Seperti pemanfaatan daerah pesisir
pantai sebagai hutan bakau, hal ini merupakan faktor perubahan alam yang
didukung kehendak manusia dengan tujuan sebagai pengaman daerah pantai dari
intrusi air laut dan abrasi pantai.
Tanah adalah sumber utama kesejahteraan dan kehidupan masyarakat dan
karenanya tanah haruslah digunakan dan dimanfaatkan dengan optimal.
Perwujudan penggunaan dan pemanfaatan tanah yang optimal tersebut dilakukan
melalui penyusunan rencana tata ruang yang semestinya mengintegrasikan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, sebagaimana diamanatkan dalam UU
No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Rencana tata ruang merupakan rencana letak dari berbagai macam
penggunaan dan pemanfaatan tanah yang direncanakan dalam rangka memenuhi
berbagai ragam keinginan (wants) dan kebutuhan (needs) masyarakat. Dalam
kenyataannya, untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat, banyak
sekali jenis penggunaan dan pemanfaatan tanah yang harus diakomodir di atas

tanah. Tidaklah mungkin semua jenis itu bisa diakomodir dalam rencana tata
ruang. Karena itu, rencana penggunaan dan pemanfaatan tanah yang diletakkan
dalam rencana tata ruang hanya mencerminkan rencana penggunaan dan
pemanfaatan yang benar-benar menjadi prioritas.
Karena tanah bersifat terbatas (finite), penggunaan dan pemanfaatan tanah
tersebut haruslah efisien, tertib dan teratur. Untuk itu, para pengguna tanah, dalam
menggunakan dan memanfaatkan tanahnya, harus mengacu pada persyaratan
(land use codes) yang disyaratkan dalam rencana tata ruang, untuk memastikan
penggunaan dan pemanfaatan tanahnya Lestari, Optimal, Serasi, dan Seimbang
(LOSS) di kawasan pedesaan; dan, Aman, Tertib, Lancar, Asri, dan Sehat
(ATLAS) di kawasan perkotaan.
Dalam tataran operasional, tanah digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia
yang menguasai tanah untuk mensejahterakan hidupnya. Penggunaan oleh
manusia tersebut sifatnya mendasar dan berlangsung terus menerus hingga
memunculkan suatu hubungan hukum antara manusia pengguna dengan tanah
yang digunakan. Terganggunya hubungan manusia pengguna dengan tanahnya
akan berimplikasi pada kesejahteraan pengguna tanah, karena itu perlu ada
jaminan kepastian hukum. Gangguan hubungan ini dapat dilihat dalam dua
perspektif. Pertama, gangguan hubungan dapat berupa sulitnya akses masyarakat
kepada sumber daya tanah; kedua, besarnya ongkos yang harus dikeluarkan untuk

menggunakan sumber daya tanah dimaksud. Kesulitan ini diakibatkan oleh
persediaan tanah yang memang terbatas dan adanya berbagai macam hambatan
institusional (kelembagaan) yang terkait dengan tanah, sehingga kepemilikan dan
penguasaan tanah tersebut bisa saja didominasi oleh sekelompok masyarakat
dengan

kepentingan

tertentu,

yang

bermuara

pada

ketidak

seimbangan/ketimpangan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.


Agar masyarakat dapat menggunakan dan memanfaatkan tanah dengan
optimal, tertib dan teratur, harus ada keserasian diantara kelembagaan yang terkait
dengan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sehingga memungkinkan
digunakan dan dimanfaatkan secara efisien, tanpa mengabaikan keadilan sosial,
dan tidak merusak fungsinya. Keserasian inilah yang melandasi perlunya
penatagunaan

tanah.

Penatagunaan

tanah

merupakan

pola

pengelolaan

penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi

pemanfaatan

tanah melalui pengaturan

kelembagaan yang

terkait

dengan

pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat
secara adil.
Pelaksanaan

konsolidasi

pemanfaatan

tanah


melalui

pengaturan

kelembagaan di atas harus mengacu kepada kebijakan penatagunaan tanah yang
telah digariskan dalam PP No.16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Secara
ringkas, kebijakan ini meliputi:


penggunaan dan pemanfaatan tanah harus sesuai dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;



penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai rencana tata
ruang wilayah tidak dapat diperluas, dikembangkan, atau ditingkatkan;



pelayanan administrasi pertanahan dilaksanakan apabila pemegang hak

memenuhi syarat-syarat menggunakan tanah sesuai rencana tata ruang,
tidak saling mengganggu, tidak saling bertentangan, memelihara tanah,
tidak merobah bentang alam, memberikan nilai tambah penggunaan
tanah dan lingkungan;



pemanfaatan tanah dapat ditingkatkan apabila tidak mengubah
penggunaan tanahnya dengan memperhatikan hak atas tanah serta
kepentingan masyarakat sekitar;



terhadap tanah dalam kawasan lindung yang belum ada hak atas
tanahnya dapat diberikan hak atas tanah, kecuali pada kawasan hutan;



tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah
perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai

langsung oleh negara;



penggunaan dan pemanfaatan tanah terhadap pulau-pulau kecil harus
memperhatikan kepentingan umum, tidak menutup akses umum ke
pantai/laut;



apabila pemilik tanah tidak mentaati syarat-syarat menggunakan dan
memanfaatkan tanah, dikenakan sanksi;



penetapan rencana tata ruang wilayah tidak mempengaruhi status
hubungan hukum atas tanah.

Kebijakan


di

atas,

selanjutnya,

harus

menjadi

koridor

dalam

penyelenggaraan kegiatan penatagunaan tanah. Penyelenggaraan penatagunaan
tanah, sesuai PP No.16 Tahun 2004, terdiri atas tiga jenis kegiatan pokok, yaitu:


pelaksanaan inventarisasi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan




tanah;
penetapan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan,



penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan;
penetapan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan
tanah dengan rencana tata ruang wilayah.
Output penyelenggaraan kegiatan di atas adalah data dan informasi yang

disajikan dalam bentuk peta (spasial) dengan skala lebih besar dari pada skala peta
rencana tata ruang wilayah yang bersangkutan, sedangkan outcome-nya adalah
kesesuaian dan keserasian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah
dengan rencana tata ruang yang disepakati.
Lebih jauh, substansi kegiatan pokok kedua, yaitu: penetapan
perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan di atas, pada dasarnya, adalah data
dan informasi yang dikemas dalam bentuk neraca perimbangan (Balance).

Neraca perimbangan ini berisi data dan informasi, baik tekstual maupun
spasial, dari perubahan, kesesuaian, dan ketersediaan tanah pada rencana tata
ruang wilayah. Dengan demikian, pengelolaan data dan informasi penatagunaan
tanah merupakan bagian dari perencanaan dan pemodelan suatu rencana tata
ruang. Karena itu, infrastruktur data spasial dan teknologi informasi penatagunaan
tanah memegang peranan penting dan strategis dalam penataan ruang.
Pembuatan keputusan dalam penataan ruang memerlukan akses kepada
data dan informasi yang akurat dan relevan, yang dikemas dalam suatu bentuk
yang interaktif dan tersedia pada saat diperlukan. Dalam menyusun rencana tata
ruang, keputusan yang baik tentunya harus didasarkan pada informasi
penatagunaan tanah yang baik. Selanjutnya, informasi penatagunaan tanah yang
baik harus pula didasarkan pada data yang baik.
Kebutuhan (demand) atas informasi tekstual dan spasial penatagunaan tanah
untuk pengambilan keputusan dalam penataan ruang mencakup dua hal. Pertama,
informasi

penatagunaan

tanah

merupakan input dalam

proses

pembuatan

keputusan (informed decisions). Kedua, informasi tekstual dan spasial juga
diperlukan dalam rangka analisis dampak keputusan.
Karena setiap keputusan mempunyai dampak, baik jangka pendek
maupun jangka panjang, maka konsekuensi dari keputusan tersebut harus bisa
diprediksi dan dikendalikan. Prediksi dan pengendalian ini dapat dilakukan
melalui pemantauan dan evaluasi hasil dari keputusan yang dibuat tersebut
(decision’s outcome). Dengan demikian, akuntabilitas keterpaduan antara
komunitas, dampak, dan efek dari keputusan dapat dipertanggungjawabkan.