235899897 Menyongsong Era Bangunan Tingg

Menyongsong Era Bangunan Tinggi dan Bentang Panjang

Bagian I : Tinggi, Super-tinggi dan Mega-tinggi

Wiryanto Dewobroto

Universitas Pelita Harapan wiryanto.dewobroto@uph.edu

Abstrak

Pelaksanaan gedung tinggi tidak sekedar masalah menambah jumlah lantai saja. Itu terkait erat dengan kemajuan ilmu dan teknologi untuk material, komputer simulasi (gempa, angin maupun tahapan konstruksi), uji terowongan angin, sistem perancah, pompa beton kapasitas tinggi dan lainnya. Dapat dikatakan, mempelajari progress kemajuan gedung tinggi, ibarat mengenal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Saat ini gedung tinggi tidak sekedar super-tinggi, dengan selesainya Burj- Khalifa Tower (828 m, 2010) di Dubai, maka era gedung mega-tinggi sudah dimulai. Apakah itu relevan dipelajari. Jangan salah sangka, meskipun penduduk Indonesia mayoritas masih asing dengan gedung-gedung tinggi (kecuali di Jakarta), ternyata CTBUH (2012) mencantumkan nama Indonesia atas adanya rencana pembangunan gedung mega-tinggi (> 600 m) di Jakarta. Fakta tak terduga, oleh karena itu tidak salah kiranya jika para praktisi dan akademisi bidang rekayasa teknik sipil perlu mempersiapkan diri. Itulah salah satu maksud ditulisnya makalah ini, yang berisi pengenalan lebih dekat, melalui pendekatan yang komprehensif tetapi memotivasi, berdasarkan falsafah ilmu struktur untuk memahami kemajuan rekayasa teknik sipil pada gedung-gedung high-rise, super-tall maupun yang trend saat ini : mega-tall.

Key words : high-rise, tall-building, super-tall, mega-tall, CTBUH

1/90

Menyongsong Era Bangunan Tinggi dan Bentang Panjang 1

Bagian I : Tinggi, Super-tinggi dan Mega-tinggi

Wiryanto Dewobroto

Universitas Pelita Harapan wiryanto.dewobroto@uph.edu

1. KONSTRUKSI DAN PERADABAN

Tidak disangkal lagi, adanya kebanggaan dan kepercayaan diri akan kemajuan negara atau bangsa, perlu bukti fisik dengan adanya bangunan besar dan megah. Hal ini sudah terjadi sejak awal mula peradaban. Ingatlah legenda Menara Babel yang tertulis di kitab Kejadian, karya tulis manusia tertua yang masih terpelihara sampai sekarang. Juga adanya peninggalan bangunan kuno di tiap-tiap peradaban maju yang dianggap pernah ada, misal bangunan Piramid dari jaman Mesir kuno dan Maya (Meksiko kuno), ataupun Tembok Besar di China. Itu semua menjadi petunjuk, betapa tingginya tingkat kemajuan peradaban bangsa-bangsa tersebut.

Kebiasaan seperti di atas, ternyata masih berlanjut sampai sekarang. Negara-negara kaya baru, mereka juga tidak mau ketinggalan membuat bangunan besar dan megah, baik berupa gedung tinggi maupun jembatan bentang panjang. Contoh nyata, negara Uni Emirat Arab, yang dahulu hanya dikenal akan padang pasirnya, onta dan buah kormanya. Saat ini, karena hasil minyak telah menjadikannya negara maju (kaya), mereka membuat gedung pencakar langit tertinggi di Dubai, Burj Khalifa (828 m), yang baru saja diresmikan pada bulan Januari tahun 2010 lalu. Gedung itu sengaja dibangun lebih tinggi dari pencakar langit tertinggi di Taiwan, Taipei-101 (509 m), yang ketika diresmikannya (2004) adalah gedung tertinggi di dunia mengalahkan Menara Petronas (452 m) di Kuala Lumpur, Malaysia. Jadi ketika gedung Taipei-101 di Taiwan dilampaui tingginya oleh gedung Burj Khalifa di Dubai, maka otomatis gedung tersebut menjadi gedung bertingkat tertinggi di dunia saat ini.

Suatu negara berupaya membangun sesuatu yang tertinggi atau semacamnya, agar meningkat reputasinya, dianggap terkemuka. Jadi saat gedung Burj Khalifa, di Dubai, menjadi gedung pencakar langit tertinggi dunia, maka bangsa lain harus mengakui bahwa penguasa Dubai memang terkemuka, maju dan kaya. Kemajuan negara atau kekayaan peradaban dapat diukur dari bangunan besar dan megah di wilayahnya.

1 Kuliah umum Civil Engineering’s Days 2012, R. Audiovisual, Kampus Thomas Aquinas, Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), hari Rabu, 9 Mei 2012.

2. PERADABAN DAN KEMAMPUAN REKAYASA

Adanya hubungan kemajuan peradaban bangsa dan keberadaan bangunan megah, kita juga bisa berbangga diri. Indonesia mempunyai bangunan megah juga, seperti candi Borobudur dan candi Prambanan. Meskipun itu sudah kuno, tetapi adalah fakta bahwa bangsa kita dahulu telah memiliki tingkat peradaban yang tinggi (kaya).

Tetapi sayang, fakta adanya bangunan megah bukanlah petunjuk bahwa bangsa di wilayah tersebut telah mempunyai kompetensi mendirikan bangunan atau rekayasa konstruksi yang maju. Sepintas ini tentu bertentangan dengan keyakinan umum, yang seakan-akan secara otomatis menganggap bahwa bangunan megah yang ada di suatu wilayah adalah hasil kemampuan membangun dari bangsa di wilayah itu sendiri. Keberadaan bangunan megah di suatu wilayah dan kemajuan kompetensi rekayasa dari penduduknya, kadang kala tidak ada hubungannya sama sekali.

Untuk mendapatkan pengertian bahwa peradaban tinggi (kaya) tidak selalu terkait dengan kompetensi bangsa akan bidang rekayasa konstruksinya, maka ada baiknya belajar dari informasi yang terkait dengan pembangunan gedung tertinggi yang baru saja dibahas. Informasi yang diulas adalah yang berkaitan dengan kepemilikan, asal negara pembuatan rencana (desain) dan pelaksanaan pembangunannya. Kesemua informasi tersebut akan disajikan dalam bentuk tabulasi (lihat Tabel 1).

Tabel 1. Gedung-gedung tertinggi dunia, pemilik dan pelaksananya (Sumber Wikipedia)

No. Nama gedung (tinggi)

Perencana struktur Kontraktor utama kota lokasi, negara

Skidmore, Owings and Samsung (Korea) Dubai, Uni Emirat Arab

1 Burj Kalifa (828 m)

Emaar Properties

(Uni Emirat Arab)

Merrill (USA)

2 Taipei 101 (509 m) Taipei Financial Center Thornton Tomasetti KTRT Joint Venture Taipei, Taiwan

(Jepang) 3 Menara Petronas (452)

Corp. (Taiwan)

(USA)

Thornton Tomasetti Hazama (Jepang) Kuala Lumpur, Malaysia

KLCC Holdings Sdn

Bhd (Malaysia)

(USA)

Samsung (Korea)

Selanjutnya perhatikan hubungan antara negara pemilik, perencana dan kontraktor dengan wilayah negara tempat didirikannya, ternyata hanya unsur pemiliknya saja yang berhubungan. Perencana dan kontraktor pembangunan bisa datang dari mana saja, atau dengan kata lain pembangunan gedung bertingkat megah tersebut tidak harus berasal dari bangsa atau penduduk asli di wilayahnya tersebut. Jadi adanya bangunan megah di suatu wilayah bukan indikasi bahwa kompetensi bangsanya telah maju di bidang rekayasa dan teknologi konstruksi. Itu hanya membuktikan bahwa bangsa tersebut cukup kaya mengupayakan bangunan megah terwujud. Agar kaya, suatu bangsa atau negara umumnya harus maju dan beradab.

3. PENTINGNYA KEMAMPUAN KOMUNIKASI PADA KOMPETENSI REKAYASA

Kemampuan bangsa manusia mendirikan bangunan besar, megah tidak diragukan lagi. Ketika ada sekelompok manusia, atau suatu bangsa meragukan bahwa sesuatu tidak akan bisa dibangun atau didirikan, ternyata di sudut dunia lain, ada manusia atau bangsa yang berhasil membuktikan bahwa itu bisa didirikan.

Dengan demikian untuk bangsa yang tadinya ada keraguan tersebut, tetapi masih berkeinginan kuat mendirikan sesuatu yang akan dibangun dan punya modal cukup, maka solusinya penyelesaiannya adalah cukup sederhana, yaitu komunikasi.

Adanya kemampuan komunikasi yang baik memungkinkan terjadinya sharing antar manusia secara menguntungkan. Seperti diketahui bersama, kemampuan manusia sangat beragam, sangat jarang yang menguasai segala-galanya. Di satu sisi ada yang punya materi berlebih tapi tanpa keahlian yang diperlukan, sedangkan di sisi lain punya keahliannya tapi juga membutuhkan materi. Komunikasi menghasilkan titik temu. Salah satu unsur penting dalam komunikasi adalah kemampuan berbahasa.

Hubungan antara kemampuan berbahasa dan membangun, ternyata sangat lekat. Bahkan jika salah satu dari itu tidak ada, bangunan tidak akan dapat berdiri.

Bagi masyarakat yang terbiasa mengenal pembagian IPA (eksakta) dan IPS (sosial) akibat sistem pendidikan di sekolah-sekolah, tentu merasa bahwa pernyataan di atas sangat berlebihan. Bagaimana tidak, kemampuan membangun atau rekayasa adalah eksak, sedangkan kemampuan berbahasa, non-eksak. Selama ini kesannya adalah dua bidang keahlian terpisah, berdiri sendiri. Jadi mengapa membangun perlu kemampuan berbahasa. Argumentasi yang dirasakan wajar bagi kita semua, yang merasa wajar juga dengan pembagian kelas IPA dan IPS. Betul khan.

Untuk menghindari stagnasi, baca dahulu alasan mengapa Menara Babel yang ada pada kitab Kejadian, tidak berhasil dibangun :

Adapun seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya. . . . Juga kata mereka: ”Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah

menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi.” .

Lalu turunlah Tuhan untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh anak-anak manusia itu, dan Ia berfirman: ”Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa untuk semuanya. Ini barulah permulaan usaha mereka; mulai dari sekarang apapun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana. Baiklah Kita turun dan mengacau-balaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing.

Demikianlah mereka diserakkan Tuhan dari situ ke seluruh bumi, dan mereka berhenti mendirikan kota itu.

Kejadian[11:1, 4-8]

Ternyata risalah berumur ribuan tahun telah mengungkapkan secara tepat, betapa pentingnya kemampuan berbahasa (berkomunikasi) bagi kesuksesan kerja rekaya- sawan dalam pembangunan sebuah menara. Kebenaran isi risalah tersebut tentunya tidak perlu diragukan lagi, bahkan diyakini masih sangat relevan sampai saat ini.

Bagi calon sarjana teknik sipil, yang akan bekerja pada bidang rekayasa menghadapi era pembangunan gedung tinggi dan jembatan bentang panjang, maka jangan lupa mempersiapkan diri, berlatih meningkatkan kemampuannya dalam berkomunikasi, baik lesan maupun tertulis. Jangan terjebak berkutat saja pada pengetahuan atau ketrampilan harafiah dalam hitung berhitung. Meskipun itu penting, tapi yang lebih penting adalah dari hitungan yang dibuat, apa yang dapat diungkapkan. Jangan lupa, pada dasarnya manipulasi angka-angka yang terdapat pada hitungan, yang disebut matematika, sebenarnya mempunyai fungsi sama seperti fungsi bahasa yang kita kenal sehari-harinya (Suriasumantri 2006), yaitu mengkomunikasikan penalaran, memformulasikan fenomena-fenomena alam, dan mengungkapkan suatu kepastian.

Pada konteks komunikasi tersebut, jika dapat digunakan media tertulis akan sangat luar biasa dampaknya. Bahkan ada orang yang berani menyatakan bahwa kemajuan peradaban dan budaya suatu bangsa sangat tergantung dari produk tertulis yang dihasilkannya. Itu bisa dibenarkan, karena tulisan apapun bentuknya merupakan suatu ungkapan pikiran yang ingin disampaikan ke orang lain. Adanya tulisan, maka pikiran-pikiran orang yang banyakpun dapat dirangkumkan menjadi satu kesatuan sehingga dapat disimpan, dan dibaca di lain waktu. Dari tulisan pula maka pikiran seseorang dapat diketahui oleh orang banyak, dipahami dan bisa saja dilaksanakan sekaligus secara bersama, bahkan pada tempat berbeda sesuai keinginan penulis. Dari situlah pikiran menyebar. Bisa baik dan buruk. Pada konteks rekayasa maka dari tulisan itu pulalah, maka seseorang dapat belajar bagaimana suatu bangunan dapat dibangun. Tentu saja untuk itu, tulisan yang dimaksud harus ditulis oleh orang ahli bangunan yang dimaksud, jika tidak, maka tentu tidak akan bermakna.

Oleh karena itu, untuk menghadapi era kemajuan bidang konstruksi, selain harus mempersiapkan diri dengan ilmu pengetahuan dan teknologi baru, maka insinyur- insinyur teknik sipil yang ingin kompeten, juga melengkapi diri dengan kemampuan berkomunikasi, khususnya bahasa tulis. Berbicara tentang kompetensi, memang

Melihat itu semua, tentunya dapat dipahami bahwa kemampuan menulis secara baik adalah sama pentingnya dengan penguasaan ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Adanya kemampuan menulis memungkinkan terjadinya penyebaran ilmu, sekaligus pematangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Maklum, untuk dapat ditulis secara baik, ilmu pengetahuan yang dipahami penulisnya, perlu ditata dan dikelola secara tepat, logis, maupun kronologi sehingga dapat dipahami orang lain secara mudah. Jika ilmu yang dituliskan itu dibaca orang lain yang kompentensi sama atau lebih tinggi, maka tentunya dapat dievaluasi dan diberikan komentar yang membangun. Jika itu yang terjadi, maka penulis ilmu tersebut akan mendapat masukan untuk perbaikan dan akhirnya mendapatkan keyakinan diri bahwa ilmu yang dipunyainya, memang benar adanya. Itulah alasan mengapa ilmuwan kelas dunia, dievaluasi dari produk tulis yang dipublikasikan di jurnal-jurnal yang bereputasi.

Dengan cara pikir seperti di atas, penulis senang dan lega ketika Dirjen Dikti, Prof. Dr. Djoko Santosa, tanggal 27 Januari 2012, menerbitkan Surat No. 152/E/T/2012 yang ditujukan kepada para pimpinan perguruan tinggi seluruh Indonesia perihal “Publikasi Karya Tulis”. Isinya meminta alumni perguruan tinggi di Indonesia wajib pernah menerbitkan suatu tulisan di jurnal ilmiah. Ditinjau dari segi intelektualitas, bahwa tulisan merupakan isi pikiran seseorang, maka tentunya surat Dirjen Dikti tersebut merupakan suatu terobosan baru untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi kita. Tetapi nyatanya terjadi penolakan, dan paling keras dari masyarakat civitas akademi itu sendiri. Jika penolakannya datang dari pejabat birokrasi, dapat dimaklumi. Gimana lagi, kemampuan menulis dosennya sendiri tidak bisa dihandal- kan, jadi kalau harus diterapkan ke mahasiswa, tentu masalah. Adapun penolakan yang tidak dapat dipahami, jika itu diberikan oleh seorang yang bergelar Profesor.

Seorang mendapatkan gelar Profesor karena telah dianggap dapat menjadi gurunya guru. Oleh karena itu sering disebut juga sebagai mahaguru atau gurubesar. Salah satu tanggung jawab Profesor yang diamanahkan oleh undang-undang pendidikan adalah penyebar luasan gagasan atau pikiran melalui karya tulis ilmiah. Jadi sangat aneh sekali, ketika ada permintaan agar para calon sarjana untuk mulai membuat karya tulis ilmiah yang dimuat di jurnal, mengapa ada Profesor yang tidak setuju.

Dampak dari adanya penolakan-penolakan itu, maka kewajiban menulis di jurnal ilmiah menjadi terkatung-katung. Sayang sekali sebenarnya, tapi anehnya banyak yang merasa lega. Maklum, para sarjana kita pada umumnya sudah puas dengan kemampuan tukang asalkan mendapatkan gaji besar, dianggapnya kemampuan tulis menulis adalah ketrampilan administratif saja. Sekali lagi sangat disayangkan.

4. KEUNTUNGAN MENGUASAI KOMPETENSI REKAYASA SECARA MANDIRI

Suatu bangsa yang mempunyai kompetensi tinggi di bidang rekayasa konstruksi, jelas mengindikasikan bangsa maju. Mereka akan mampu mendirikan bangunan- bangunan konstruksi yang besar atau megah sendirian, tanpa bantuan bangsa lain, sehingga kekayaan yang dipakainya akan kembali lagi kepada bangsa tersebut. Itu berarti kekayaan bangsa secara umum tidak berkurang, bahkan bisa semakin kaya karena mendapat tambahan adanya bangunan baru di wilayahnya.

Bahkan jika kompetensinya itu begitu istimewa, dibandingkan yang ada di bangsa lain, maka dimungkinkan juga untuk dibagikan, membantu bangsa lain. Jika terjadi maka itu berarti dapat menambah devisa bagi bangsa itu sendiri. Bertambah kaya, meskipun mungkin sumber daya alam yang dimiliki bangsa tersebut terbatas.

Itulah yang terjadi pada negara kaya karena kepintaran manusianya, mereka akan semakin bertambah kaya, sedangkan negara kaya karena mengandalkan sumber alamnya yang dieksploatasi, maka lama-lama akan habis juga.

Bagaimanakah kondisi di negara kita, Indonesia. Sudahkan menguasai kompetensi rekayasa secara mandiri. Ini tidak sederhana menjawabnya, jika disebut sudah tapi mengapa sampai terjadi keruntuhan jembatan seperti di Kutai Kartanagara tempo hari. Juga saat pembangunan jembatan Suramadu, jembatan terpanjang Indonesia, mengapa masih diperlukan kerja sama dengan pihak asing (China).

Kondisi ini tentunya menunjukkan bahwa masih terdapat peluang luas bagi usaha- usaha peningkatan diri untuk lebih mandiri di bidang rekayasa di Indonesia.

5. BANGUNAN, AHLI BANGUNAN DAN INSINYUR

Masyarakat awam di pedesaan (juga sebagian di kota) jika membangun rumahnya, maka mereka akan mencari tukang berpengalaman. Tidak pernah terpikirkan oleh mereka, mencari sarjana teknik sipil lulusan perguruan tinggi terkenal. Jadi tukang berpengalaman itulah yang dianggapnya sebagai ahli bangunan terbaik, yang dapat membangun rumah yang kuat dan baik untuk menjadi tempat tinggalnya.

Itu tidak mengherankan. Bayangkan saja, bahkan tanpa tukang berpengalamanpun tapi jika didasari suatu motivasi kuat dan keberanian serta rasa kebersamaan yang tinggi, dapat saja dibuat suatu bangunan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Untuk itu, perhatikan Gambar 1, suatu jembatan sederhana berhasil dibangun untuk menyeberangi sungai yang lebar, foto diambil di Vietcong, Vietnam.

Gambar 1. Jembatan tradisionil bambu sederhana di Vietcong

Manusia dengan akal budi dan kemampuannya bernalar, ketika berinteraksi dengan alam sekitarnya, akhirnya dapat memperbandingkan satu hal dengan hal lainnya, untuk akhirnya dipilih mana yang lebih baik dari yang lain. Ini disebut juga naluri. Selanjutnya dengan konsep trial-and-error, dapatlah dibuat bangunan sederhana seperti di atas, memenuhi apa yang diperlukannya. Manusia pada dasarnya bisa menjadi ahli bangunan untuk kepentingannya sendiri. Baca juga nats berikut:

. . . Orang itu menggali dalam-dalam dan meletakkan dasarnya di atas batu. Ketika datang air bah dan banjir melanda rumah itu, rumah itu tidak dapat digoyahkan, karena rumah itu kokoh dibangun.

Lukas [6:48]

Nats di atas dikutip dari kitab suci, untuk menunjukkan bahwa pengetahuan akan persyaratan bangunan yang kokoh dari jaman dahulu, ternyata masih dipakai ahli- ahli bangunan sampai pada masa sekarang. Tidak ada sesuatu yang baru lagi.

Jadi, jika sampai diadakan pendidikan tinggi di bidang rekayasa teknik sipil. Apakah nanti lulusannya cukup menjadi seperti ahli bangunan di atas, yaitu menjadi ahli melalui prinsip "bisa karena biasa”. Biasa diartikan juga sebagai berpengalaman, jadi ahli yang dimaksud akan bisa melaksanakan sesuatu jika hal itu pernah dikerjakan sebelumnya. Cara berpikir seperti itulah yang mendasari konsep pendidikan yang dikenal sebagai link-and-match, belajar tentang hal-hal yang nanti banyak ditemui saat bekerja, yang umumnya berupa ketrampilan praktis. Jika seperti itu tidak heran jika nanti akan ada jargon promosi : ”siap meluluskan sarjana-sarjana siap pakai”.

Apakah seperti itu yang dimaksud dengan tujuan pendidikan sarjana teknik sipil ? Konsep link-and-match itu sendiri, tentu saja tidak salah. Bukankah penerima kerja

akan senang, jika ada pegawai baru dapat cepat beradaptasi dan berproduktivitas pada pekerjaan rutin yang ada. Apalagi memang, sebagian besar jenis pekerjaan konstruksi umumnya juga bersifat rutin. Kalaupun ada yang bersifat spesifik, dapat diambil alih sesaat oleh para seniornya.

Tetapi jika tujuan pendidikannya adalah semata-mata link-and-match saja, diajarkan yang praktis-praktis saja, maka dalam jangka panjang para sarjana tersebut pasti akan kewalahan menghadapi tuntutan masyarakat yang semakin maju (berubah). Konsep link-and-match tidak cukup untuk menghadapi jenis-jenis pekerjaan yang berubah-ubah, yang baru, yang belum ada sebelumnya. Karena jika demikian, ketika bertemu hal yang baru, maka yang bisa dikerjakan oleh ahli tersebut adalah ”coba dulu”, yang berarti cara trial-and-error.

Cara trial-and-error untuk hal yang sederhana dan beresiko kecil, tentunya tidak akan menjadi masalah. Tetapi jika diaplikasikan pada hal-hal yang kompleks, yang beresiko tinggi terhadap biaya maupun keselamatan jiwa manusianya, maka tentu tidak dapat diandalkan lagi. Untuk itu maka tidak bisa lagi, sarjana teknik sipil harus menguasai ilmu pengetahuan yang mendasari aplikasi praktis, juga teknologi yang mendukungnya. Dalam banyak hal, ilmu pengetahuan yang dimaksud kadangkala bersifat teoritis, tidak praktis jika diaplikasikan pada permasalahan sebenarnya, yang kompleks sifatnya. Tetapi itu penting diberikan pada calon sarjana teknik sipil sebagai sarana membentuk kerangka berpikir logis berkaitan dengan bidangnya.

Akhirnya untuk merangkum dua hal di atas, tujuan pendidikan sarjana teknik sipil diterjemahkan sebagai bisa meluluskan sarjana yang siap bekerja di bidangnya, maupun mempersiapkan diri untuk jenjang studi lebih tinggi.

Melalui konsep pendidikan sarjana teknik sipil tersebut, diharapkan akan lahir tidak sekedar ahli bangunan, tetapi insinyur-insinyur teknik sipil yang kompeten.

Jika ahli bangunan menekankan penyelesaian masalah mengandalkan pengalaman yang dimilikinya, baik itu berupa ketrampilan, atau ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada. Maka seorang insinyur teknik sipil diharapkan dapat bertindak lebih smart lagi. Jika menghadapi permasalahan rutin, maka bisa saja memanfaatkan strategi yang digunakan ahli bangunan, jika memang terbukti itu lebih efisien. Jika tidak memungkinkan, maka seorang insinyur akan berani mencoba strategi baru yang dipilihnya berdasarkan ilmu dan pengetahuan yang dikuasainya. Bahkan untuk permasalahan yang belum ada ilmunya, dimungkinkan untuk menderifasi ilmu baru, termasuk menciptakan teknologi yang membantunya.

Konsep insinyur teknik sipil yang di atas, bukan sesuatu yang mustahil, meskipun dalam banyak hal seorang sarjana teknik sipil sudah cukup puas untuk menjadi ahli bangunan saja. Adapun yang bisa disebut insinyur pada konteks di atas dapat dilihat pada pribadi-pribadi berikut:

 John A. Roebling, dengan jembatan Brooklyn di New York.  Robert Maillart, dengan jembatan Salginatobel di Swiss.  Fritz Leonhardt, dengan tower TV Stuttgart, di Jerman.  Sedijatmo, dengan konstruksi Cakar Ayam-nya, di Indonesia.  Tjokorda Raka Sukawati , dengan teknik Sosrobahu, di Indonesia.

Nama-nama di atas dapat dicari karena ada tulisan yang membahasnya, kenyataan real bisa saja masih banyak yang lain, yang umumnya akan mengiringi kesuksesan proyek-proyek konstruksi khas yang belum pernah ada sebelumnya. Mereka tidak diketahui karena tidak dituliskan, itulah mengapa hanya sedikit yang dapat menjadi inspirasi bagi calon-calon insinyur lainnya. Jadi terbukti lagi, bahwa kemampuan menulis berkaitan langsung dengan kemajuan atau peningkatan insinyur itu sendiri.

Uraian di atas perlu diungkapkan untuk mengevaluasi kesiapan sarjana teknik sipil di Indonesia menghadapi era pembangunan gedung super tinggi maupun jembatan bentang panjang yang mulai menjadi wacana umum negeri ini. Mengapa demikian, karena dapat dimaklumi bahwa yang namanya gedung super tinggi, yang umumnya didasari oleh motivasi ingin menjadi terkemuka, maka bentuk dan ukurannya harus dipilih istimewa, minimal berbeda dengan yang telah ada. Berarti itu adalah hal yang baru, bukan. Jadi kalau hanya mengandalkan level ahli bangunan tentu tidak mudah.

6. BAGAIMANA MENJADI INSINYUR DAN TIDAK SEKEDAR AHLI BANGUNAN

Telah diungkapkan, bahwa kompetensi insinyur dianggap siap mengantisipasi era pembangunan yang mencakup gedung tinggi maupun jembatan bentang panjang, atau bahkan bangunan-bangunan baru yang belum pernah ada sebelumnya.

Keberadaan orang dengan level insinyur juga tidak diragukan lagi berada di setiap kesuksesan proyek-proyek baru yang ada. Hanya karena tidak terpublikasi, maka tidak banyak orang yang mengetahuinya. Oleh sebab itu hanya dapat diketahui dan dipelajari jika bergaul atau mengalami sendiri proyek-proyek yang dimaksud. Bisa- bisa ternyata kita sendiri mempunyai kapasitas seperti itu, yaitu ketika proyek yang menjadi tanggung jawab kita, ternyata berhasil dengan sukses dilaksanakan.

Tetapi bagi anak-anak muda, yang sedang belajar, tentunya masih akan bertanya- tanya, apakah mereka juga mampu mencapai level insinyur tersebut. Jadi kalau bisa, sedini mungkin mereka dapat mempersiapkan diri, mempelajari apa-apa saja yang mendukung tercapainya level insinyur tersebut. Jadi apa-apa saja itu, tentu sesuatu yang ditunggu-tunggu. Ternyata, untuk mencari tahu itu ternyata tidak mudah, cara yang umum dilakukan adalah membaca biografi dari insinyur yang dianggap sukses, tapi jika dibandingkan antara satu insinyur yang sukses dengan insinyur sukses lainnya, ternyata sangat bervariasi. Jadi kesan yang didapat bersifat subyektif.

Di belahan dunia lain, khususnya di Amerika ada hal yang menarik, dan kelihatan- nya dapat menjawab pertanyaan di atas. Asosiasi insinyur teknik sipil Amerika atau

ASCE (American Society of Civil Engineers) telah mencoba mencari jawabnya 2 . Itu dimaksudkan sebagai petunjuk bagi generasi mudanya bagaimana menjadi insinyur.

Langkah awal yang diberikan, adalah menjadikan terlebih dahulu profesi tersebut suatu kebanggaan bagi yang memilihnya, seperti diungkap pada quote berikut:

It is a great profession. There is the fascination of watching a figment of the imagination emerge

through the aid of science to a plan on paper. Then it brings jobs and homes…it elevates the standards of living and adds to

the comforts of life. That is the engineer’s high privilege.

Herbert Hoover, engineer, humanitarian, and 31 st U.S. President

2 ASCE, The Vision for Civil Engineering in 2025, Based on The Summit on the Future of Civil Engineering - 2025, June 21-22, 2006

Betul juga, jika ingin menjadikan yang terbaik, harus dimulai dari motivasi diri, yang menyangkut totalitas hidup yang dapat diberikan. Jadi, jika ingin jadi insinyur hanya sekedar uang atau materi yang banyak. Maka tahapan ini belum tentu diperlukan, maklum menjadi ”makelar” di jaman sekarang ini, kadang sudah memungkinkan.

Permasalahan yang dihadapi para insinyur teknik sipil diberbagai negara ternyata mirip dengan yang terjadi di Indonesia. Inilah isue yang ditangkap dalam KTT ASCE:

Buruknya kondisi infrastruktur di banyak negara, banyak terjadinya korupsi di industri konstruksi / rekayasa secara global, minimnya keterlibatan insinyur sipil pada kebijakan politik, issue keberlanjutan lingkungan masih kurang, terjadinya globalisasi di bidang rekayasa, dan sulitnya menarik generasi muda yang terbaik dan cerdas untuk berprofesi tersebut.

Padahal masalah di bidang teknik sipil yang akan dihadapi generasi mendatang bukannya berkurang, sebagaimana telah diidentifikasi oleh ASCE sebagai berikut:

Populasi global yang terus meningkat, yang terus bergeser ke daerah perkotaan akan membutuhkan penyesuaian yang berkelanjutan. Tuntutan akan energi, air minum, udara bersih, pembuangan limbah yang aman, dan transportasi akan mendorong diperlukannya perlindungan lingkungan sekaligus pengembangan infrastruktur. Masyarakat akan menghadapi ancaman meningkat dari bencana alam, kecelakaan, dan mungkin penyebab lain seperti terorisme.

Permasalahan semakin kompleks di atas, menurut ASCE memerlukan keterlibatan berbagai disiplin ilmu, baik di bidang riset maupun aplikasinya. Pada kasus seperti ini maka kemampuan berkomunikasi menjadi satu-satunya sarana mencapai sukses.

Visi kedepan yang diharapkan dari insinyur teknik sipil menurut ASCE adalah: Insinyur sipil harus dapat menjadi ahli bangunan, penjaga lingkungan, inovator

dan integrator, pemimpin untuk mengatasi risiko dan ketidakpastian, serta dalam membentuk kebijakan publik.

Ternyata spesifikasi insinyur yang dikemukakan ASCE lebih dari cukup untuk dijadi- kan petunjuk menjadi insinyur yang diharapkan, untuk itulah akan dijadikan acuan. ASCE mengungkapkan, insinyur yang baik sebaiknya melengkapi diri dengan tiga atribut penting, yaitu: [1] knowledge; [2] skill; dan [3] attitudes. Sampai disini diketahui bahwa dua atribut pertama telah dibahas, sedangkan atribut ke tiga sebelumnya tidak dibahas karena dianggap melekat pada setiap personil.

Jika sebelumnya atribut tersebut dibahas dalam tahap kualitatif, maka yang menarik ASCE telah mendaftarkan tahap kuantitatif atribut-atribut yang dimaksud, yaitu:

a) Knowledge atau pengetahuan yang menyangkut ranah kognitif dan umumnya penguasaan teori-teori utama dan yang mendasar, seperti geometri, kalkulus, vektor, momentum, friksi, tegangan dan regangan, mekanika fluida, enerji, sifat menerus (continuity) sifat variabel (variability).

b) Skill atau ketrampilan yang mendukung dapat diselesaikannya secara baik, tugas yang diberikan atasan, contohnya mengoperasikan komputer dengan baik (menguasai spreadsheet, pengolah kata, basis data dsb), kemampuan organisasi, bahasa asing (lesan dan tulisan). Secara umum disebutkan, bahwa pendidikan formal mengusahakan peningkatan bidang knowledge, sedang skill memerlukan pendidikan formal dan non-formal. Ini berarti mahasiswa tidak cukup hanya sekedar belajar dan belajar saja, tetapi juga kegiatan intra kurikuler.

c) Attitudes atau sikap mental, merujuk pada nilai-nilai yang menjadi pegangan hidup, yang menentukan bagaimana seseorang bersikap pada kehidupan ini. Sikap mental yang mendukung mutu profesional kerja misalnya kemampuan berkomitmen, keingin-tahuan yang tinggi, kejujuran, integritas, sikap optimis, bersifat obyektif, kepekaan, ketelitian dan toleransi kerja (ketepatan).

Jika mempelajari petunjuk yang diberikan ASCE untuk membentuk insinyur di masa depan, rasanya sangat umum. Hanya 1/3 saja, yaitu knowledge yang ditentukan oleh kurikulum pengajaran di level pendidikan tinggi, adapun 2/3 yang lain lebih banyak berfokus pada usaha-usaha pengembangan diri pribadi secara umum. Jika demikian dapat diambil kesimpulan bahwa untuk menjadi insinyur, selain perlu pendidikan formal yang benar, yaitu meraih gelar sarjana teknik, juga diperlukan usaha-usaha pengembangan diri yang terus menerus. Salah satu upaya yang biasa diambil adalah magang, atau nyantrik pada insinyur senior yang terkenal reputasinya.

7. KARAKTER BANGUNAN TINGGI DAN BANGUNAN BENTANG PANJANG

Bila kesiapan sarjana teknik sipil diarahkan untuk berani menerima tanggung jawab yang lebih dari sekedar tukang atau ahli bangunan, maka wajar jika selanjutnya membahas bangunan tinggi atau jembatan panjang yang mungkin tidak terbayang- kan sebelumnya. Kalaupun nantinya, masih melibatkan rekanan dari manca-negara, tetapi event tersebut merupakan sarana transfer of knowledge and technology.

Karena perlu membahas bangunan gedung tinggi dan jembatan bentang panjang sekaligus. Ada baiknya mengenal lebih mendalam karakter keduanya, sehingga dapat diketahui apakah untuk mengenal keduanya dapat sekaligus (paralel) atau secara sendiri-sendiri (seri). Karakter yang dimaksud, dapat dilihat di Tabel 2.

Tabel 2. Perbedaan karater gedung tinggi dan jembatan panjang

No Item

Gedung tinggi

Jembatan panjang

1 Orientasi fisik

Horizontal 2 Profesional penentu

Vertikal

Multidisiplin, arsitek sebagai leader, Insinyur sipil, sangat jarang arsitek dibantu insinyur sipil, M&E, dll.

terlibat.

3 Tujuan pemakaian

Hunian, baik sementara atau tetap

Bukan hunian, hanya sebagai

Interaksi manusia banyak, faktor

penghubung dan karena tempatnya

kenyamanan dan rasa terlindung

terbuka (terpapar cuaca) maka kesan menjadi penting. Ini gunanya arsitek. keselamatan jadi utama. Arsitek tidak Insinyur beri jaminan keselamatan. punya peran yang signifikan.

4 Tampak visual luar

Material penutup, bahan finishing

Struktur terlihat langsung. Penutup, bangunan yang berupa non-struktur. pelindung pengaruh lingkungan luar.

Sistem struktur tidak menonjol, perlu Sistem struktur terlihat jelas, dapat pengamatan khusus mendalam.

digolongkan dari sistem strukturnya. 5 Beban yang menentukan Beban gempa (sementara).

Beban gravitasi (tetap). dalam perencanaan.

Gedung sudah berdiri, tapi belum

Kondisi pelaksanaan kadang paling teruji gempa sesungguhnya. Resiko menentukan. Sering dijumpai runtuh runtuh saat konstruksi relatif jarang, saat pelaksanaannya belum selesai. peran insinyur tidak menonjol.

6 Kepemilikan dan

Dimiliki pemerintah dan dipakai oleh pemakaian

Sifatnya pribadi atau private, dan

publik (masyarakat). 7 Sifat beban

pemakaiannya bersifat tertutup.

Beban hidup relatif terkontrol, sebab Beban hidup dari publik, pelanggaran bangunan gedung sifatnya tertutup. yaitu kelebihan beban.

Beban hidup bersifat statik, kecuali Beban hidup bergerak, resiko terjadi gempa yang dinamik.

fatik.

8 Metode konstruksi dan Metode konstruksi tidak menentukan Metode konstruksi bagian desain, proses desain.

dalam perencanaan.

bisa menentukan sistem strukturnya. Untuk menghindari monopoli, maka Pekerjaan desain dan konstruksi

sistem struktur yang didesain harus harus sinkron dan tergantung bersifat umum.

teknologi yang tersedia. Faktor lingkungan dan

Sistem struktur terlindung. Pengaruh Sistem struktur terbuka. Faktor sistem struktur

thermal tidak dominan, sehingga

lingkungan dominan, jadi korosi jadi

struktur menerus (statis tak tentu)

penting diperhatikan. Untuk struktur

tidak masalah. Ini dipilih untuk

statis tak tentu (menerus) pengaruh

menghasilkan struktur redundan,

thermal, differential settlemen

sehingga ketika ada gempa dapat

sangat penting. Untuk mengatasinya

dihasilkan keruntuhan bertahap.

struktur pisah (siar dilatasi, bearing).

Struktur yang menyatu dengan

Kondisi struktur atas pisah dengan

pondasi menyebabkan gempa

struktur bawahnya membuatnya

diteruskan ke struktur atas.

lebih baik bilamana terjadi gempa.

Jadi gedung (super) tinggi dan jembatan (sangat) panjang mempunyai karakter yang saling berlainan. Oleh sebab, untuk mendapatkan pemahaman yang baik, uraiannya sebaiknya tidak disatukan, tetapi dibahas tersendiri atau tepatnya dapat difokuskan.

8. BANGUNAN GEDUNG TERHADAP GEMPA DAN ANGIN

8.1. Umum

Sebelum membahas bangunan tinggi, ada baiknya memperhatikan musibah gempa yang pernah terjadi, yaitu 26 Desember 2004 di Aceh, 9.3 Skala Richter (SR) dengan tsunami, 27 Mei 2006 di Yogyakarta, 5.9 SR, 30 September 2009 di Padang, 7.6 SR. Itu catatan kejadian di dalam negeri, adapun di luar negeri yaitu 15 Agustus 2007 di Peru, 7.9 SR, lalu 22 Februari 2011 di Christchurch, Selandia Baru, 6.5 SR, dan tidak lama kemudian 11 Maret 2011 di Jepang, 8.9 SR dengan tsunaminya yang dahyat. Adanya gempa-gempa tersebut dan lokasinya menjadi bukti bahwa yang dinamakan ring of fire adalah fakta yang tidak dapat disepelekan, lihat Gambar 2.

Gambar 2. Ring of Fire peta resiko gempa di kawasan Asia-Pasific

Peta virtuil ring of fire di atas dihasilkan dari pemikiran adanya pelat tektonik bumi yang terpisah dan saling bergerak satu dan lainnya, ada bagian yang berjauhan dan ada bagian yang saling bertemu. Pada daerah itulah yang diyakini sumber terjadinya gempa. Jadi gempa adalah dampak pergerakan itu, dan akan terus terjadi selama ada pergerakan tersebut. Resiko gempa tidak bisa diabaikan, suatu saat akan terjadi. Hanya kapan waktunya yang tepat, sampai sekarang belum ada ilmu dan teknologi yang dapat mengungkapkannya, baru pada tahap dugaan semata. Bisa ya, bisa tidak.

Pada bangunan tinggi, dampak gempa mirip dengan angin, yaitu pembebanan arah lateral. Karena karakternya didominasi arah vertikal dibanding horizontal, maka pengaruh gempa pada gedung tinggi lebih signifikan menentukan perencanaannya.

8.2. Karakteristik Penting Bangunan terhadap Gempa dan Angin

Angin dan gempa pada gedung tinggi, efeknya sama, sehingga perlu sistem struktur penahan lateral. Meskipun demikian, proses terjadinya beban berbeda, sehingga karakternya juga berbeda. Beban gempa terjadi akibat adanya percepatan tanah pada pondasi yang diteruskan ke struktur atas. Ini terjadi, karena secara tradisionil bangunan bersatu dengan pondasinya. Hasilnya jika disederhanakan, pada pusat massa seakan-akan ada beban lateral, sesuai hukum kedua Newton, yaitu F = m∙ a.

Gambar 3. Perilaku struktur gedung tinggi terhadap angin dan gempa

Besarnya percepatan tanah (a) tergantung lokasi (tempat), karena Indonesia berada pada daerah ring of fire (Gambar 2), maka resiko terjadi gempa juga besar. Adapun parameter massa (m) tergantung jenis bangunan, yang ringan mengakibatkan beban gempa lebih yang kecil dibanding yang berat. Itulah mengapa bangunan tradisionil dari kayu relatif lebih tahan gempa (rusak sedikit) dibanding rumah batu. Bahkan dapat dijelaskan, mengapa kolom rumah joglo yang hanya duduk di atas umpak batu punya kinerja lebih baik saat ada gempa dibanding kolom yang tertanam di pondasi.

Karakter bangunan untuk menghadapi gempa berbeda dibandingkan dengan angin. Bangunan ringan dan terpisah dari pondasi adalah faktor yang menguntungkan terhadap efek gempa, tetapi sebaliknya jika dimaksudkan untuk menghadapi angin. Jika diterapkan, maka bisa-bisa bangunannya terbawa terbang oleh angin topan. Angin bekerja langsung menekan (menghisap) bangunan, jadi semakin berat dan terikat erat dengan sistem pondasinya, maka bangunan akan semakin stabil (kuat).

Jadi meskipun pengaruh angin dan gempa adalah sama-sama sebagai beban lateral pada gedung, tetapi karena karakternya berbeda maka solusinya juga bisa berbeda.

Karakteristik bangunan juga tergantung dari material utama yang dipakai. Jika terkait gedung tinggi dan jembatan panjang, maka materialnya relatif terbatas, yaitu beton atau baja, atau kombinasi keduanya. Untuk itu mari kita lihat masing-masing.

Material baja secara alami mempunyai rasio kuat berbanding berat-volume yang tinggi, sehingga dihasilkan bangunan yang relatif ringan. Ini penting pada bangunan tahan gempa. Selain itu, material baja punya karakter kekuatan tinggi, relatif kaku dan sangat daktail, yang merupakan syarat ideal mengantisipasi beban tak terduga. Karena produk pabrik, mutunya relatif seragam, tetapi karena itu pula ukuran dan bentuknya tertentu, terpisah dan baru disatukan di lapangan. Pada satu sisi hal itu kelemahan karena sulit dihasilkan struktur monolit, perlu detail sambungan yang baik. Tetapi jika dapat diantisipasi, ternyata dapat dibuat suatu detail khusus sehingga jika terjadi kerusakan (akibat gempa) maka bagian itu saja yang diperbaiki. Itu sangat memungkinkan karena dari awalnya memang tidak monolit.

Material beton berbeda dari segi kekuatan, kekakuan atau daktilitasnya, kalah dari material baja. Bahkan beton hanya dimanfaatkan terhadap tekan. Jadi untuk dapat digunakan perlu bantuan baja, jadilah beton bertulang atau beton prategang. Sisi lain, secara alami beton punya karakter lebih awet, ketahanan lingkungan yang baik, tidak korosi, tahan panas (tidak terbakar), dan mudah untuk dibentuk. Ini yang menyebabkan konstruksi beton lebih monolit atau menerus. Sistem sambungan pada konstruksi beton bertulang bukan sesuatu yang signifikan rumit dalam desainnya, kecuali jika memakai sistem beton pracetak. Material beton punya rasio kuat dibanding berat-volume yang rendah, hasilnya sistem strukturnya relatif lebih berat, tetapi sifat seperti ini ternyata baik jika digunakan terhadap beban angin. Adanya karakter berbeda antara material baja dan beton, tetapi sebenarnya saling melengkapi, menyebabkan keduanya menjadi material utama pada gedung tinggi.

8.3. Sistem Struktur Penahan Lateral

8.3.1. Sistem struktur dan jumlah lantai Jarak antar kolom (bentang balok) pada bangunan tinggi umumnya relatif pendek. Dimensi bangunan meningkat kearah vertikal., sehingga gempa dan angin akan lebih berpengaruh. Akibatnya diperlukan sistem struktur penahan lateral yang sesuai, yang mempengaruhi konfigurasi atau tata letak elemen vertikal dari segi arsitektur.

Pada bangunan relatif tidak tinggi, sistem penahan lateral dapat dirangkap sekaligus dengan sistem penahan gravitasi, yaitu rigid frame atau portal. Penggunaan beton bertulang untuk rigid frame relatif mudah karena sifatnya monolit, tetapi untuk baja perlu sistem sambungan yang detailnya lebih kompleks dibanding beton bertulang. Selanjutnya semakin tinggi bangunan, sistem rigid-frame tidak cukup, perlu dibuat struktur khusus yang memang didedikasikan untuk sistem struktur penahan lateral.

Ada berbagai macam sistem struktur penahan lateral, efektivitasnya ditentukan oleh kekakuan lateral yang dihasilkan. Untuk itu dapat dilihat pada Gambar 4 berbagai macam sistem yang dijumpai, yang dibedakan antara struktur baja dan struktur beton bertulang. Sistem yang dipilih juga ditentukan dari jumlah lantai bangunan, karena semakin banyak lantai maka diperlukan sistem yang lebih efektif.

Gambar 4. Hubungan sistem penahan lateral dan jumlah lantai (Taranath 2005)

Catatan : Daftar atas belum memperhitungkan sistem struktur Burj-Khalifa (2010), yang berbeda dan dianggap sistem baru, terbukti dapat dipakai sampai  160 lantai.

Sistem struktur penahan lateral menentukan kekakuan bangunan terhadap beban lateral (gempa dan angin). Ini sangat penting, karena deformasi lateral bangunan harus dibatasi, agar nyaman dipakai (jangan sampai terjadi goyangan berlebih) yang dirasakan secara langsung oleh pemakainya, juga dampak pada kekuatannya akibat adanya momen tambahan dengan terjadinya efek P-Δ pada elemen vertikal (kolom).

Perilaku lateral gedung tinggi dapat dianalogikan sebagai kantilever, dimana untuk beban titik deformasinya Δ = PL 3 /(3EI), dengan P gaya lateral (gempa atau angin), L tinggi bangunan, E modulus elastisitas material, dan I momen inersia atau konstanta lentur berdasarkan konfigurasi fisik geometrinya. Jika kekakuan adalah besarnya

gaya per-unit deformasi, maka kekakuan lentur kantilever k = 3EI/L 3 , berbanding linier dengan EI tetapi berbanding terbalik pangkat tiga dengan tingginya.

Parameter E tergantung materialnya, jika struktur baja nilai E s = 200,000 MPa, tapi untuk struktur beton bervariasi tergantung mutu beton yaitu E c = 4700 √fc’ MPa. Jadi dapat dipahami mengapa bangunan super tinggi, pemakaian beton mutu tinggi adalah sangat penting, tidak hanya dari segi kekuatannya, yaitu kemampuannya menahan gaya tekan yang lebih besar, tetapi juga agar kekakuan struktur meningkat untuk mengurangi deformasi lateral. Jika peningkatan mutu bahan (E) tidak bisa, atau tidak cukup ekonomis diusahakan, maka alternatif lainnya adalah peningkatan faktor I , yang dalam hal ini tentunya tidak sekedar momen inersia seperti kantilever biasa, tetapi lebih pada konstanta yang mewakili kondisi geometri atau bentuk fisik struktur terhadap beban lateral.

Gambar 5. Macam sistem struktur penahan lateral: (a) steel rigid frame; (b) RC rigid frame; (c) braced steel frame; (d) RC frame - shear wall; (e) steel frame - shear wall; (f)

steel frame – infilled walled (Taranath 2005)

8.3.2. Gedung tinggi dan analogi kolom kantilever Pentingnya mengetahui karakter geometri atau bentuk fisik struktur gedung tinggi berkaitan dengan perilakunya terhadap beban lateral. Ini tentu berbeda jika yang mempelajarinya arsitek, yang akan mengevaluasi dari segi keindahan atau fungsinya adapun engineer tentunya melihat dari sisi kekuatan, kekakuan dan faktor daktilitas.

Selanjutnya dapat dipelajari strategi peningkatan kekakuan lateral, ditinjau sistem flat-slab kolom (yang paling sederhana). Kekakuan lateral semata-mata ditentukan oleh elemen vertikal (kolom), yang bekerja sebagai kantilever. Berdasarkan teori elastisitas dapat diketahui perilaku umumnya terhadap beban terpusat (Gambar 6).

Gambar 6. Perilaku kolom kantilever terhadap beban lateral terpusat

Deformasi lateral ( total ) akibat beban terpusat (P) terdiri deformasi lentur ( lentur ) dan deformasi geser ( geser ), keseluruhannya adalah  total = lentur + geser , adapun

 lentur = PL 3 /(3EI) dan  geser = 1.2PL/(GA) pada penampang persegi, G = ½E/(1+) jadi jika  = 0.2 (material beton) maka G = ½E/(1+) = 0.4167E.

Selanjutnya parameter numerik tersebut digunakan untuk menunjukkan seberapa besar pengaruh deformasi terhadap perubahan ukuran kolom (b x h), dimana nilai h akan ditingkatkan sesuai arah pembebanan, sampai akhirnya disebut dinding.

Tabel 3. Pengaruh dimensi kolom terhadap perilaku deformasi

No b h h/L

I A  lentur

 geser  total

7 (100%) Catatan : P =1; E=1 dan L=10

Dari Tabel 3 diketahui bahwa rasio tinggi penampang (h) terhadap tinggi kolom (L), mempengaruhi perilaku struktur. Jika h/L kecil (kolom) maka deformasi lentur dominan, tetapi h/L semakin besar (dinding), sehingga kekakuan lentur bertambah maka deformasi yang terjadi sebagian disebabkan oleh adanya geser. Sehingga untuk kolom langsing, deformasi geser dapat diabaikan, tetapi sebaliknya untuk dinding maka deformasi geser yang terjadi harus diperhitungkan.

8.3.3. Sistem rigid frame Perkembangan lanjut adalah rigid frame atau portal. Kekakuan ujung-ujung bebas kolom bebas diberdayakan, yaitu dengan menghubungkannya pada balok kaku.

Kaku atau tidaknya balok ditentukan parameter EI b /L b , yang berbanding lurus dengan tinggi penampang balok tetapi berbanding terbalik dengan panjangnya.

Perilaku lateral rigid frame dan kolom bebas (kantilever) ternyata berbeda. Untuk itu akan diperlihatkan komponen-komponen deformasinya sebagai berikut.

Gambar 7. Deformasi rigid-frame: (a) bending momen ; (b) geser

Gambar 7a merupakan deformasi terhadap bending momen yang terjadi jika rigid frame bekerja sebagai satu kesatuan struktur monolit, yang identik dengan Gambar 6c. Ciri-cirinya ada sisi kolom tekan (-) dan ada sisi kolom tarik (+).

Gambar 7b merupakan deformasi yang diakibatkan oleh kekakuan lentur kolom secara individu, yang bentuknya identik dengan deformasi geser jika dianggap rigid frame dapat bekerja sebagai satu kesatuan monolit, lihat Gambar 6e. Ciri-cirinya tidak terjadi perubahan panjang dari masing-masing kolom.

Dalam kenyataannya, deformasi lateral rigid-frame secara keseluruhan didominasi oleh bentuk deformasi geser (Gambar 7b). Itu terjadi karena kolom secara individu mempunyai kekakuan aksial yang besar dibanding lenturnya, sehingga yang lemah (lentur penampang) menentukan perilaku rigid-frame secara keseluruhan.

Terkait bangunan tinggi, dimana rasio lebar tapak dan tingginya (h/l) relatif kecil, maka perilakunya dapat dianalogikan sebagai kolom langsing. Sistem tersebut akan efektif jika mekanisme pengalihan gaya-gaya lateral ke pondasi melalui kekakuan lentur dibanding kekakuan gesernya. Itu dijelaskan di Tabel 3, kolom dengan rasio h/l = 0.1 maka 99.8% lendutannya ditentukan dari kekakuan lentur. Ciri-cirinya, ada sisi tekan dan sisi tarik pada potongan penampangnya. Selanjutnya untuk perilaku rigid-frame ternyata tidak seperti itu, tidak dijumpai sisi tekan atau tarik yang cukup signifikan besarnya, yang ada adalah deformasi lateral pada sistem seperti akbiat deformasi geser. Itu berarti, balok (horizotal) penghubung kolom (vertikal) dengan komponen vertial lainnya, belum efektif. Dalam praktek, rigid-frame optimal dipakai pada sistem struktur penahan lateral gedung 25 lantai ke bawah (lihat Gambar 4).

8.3.4. Sistem braced-frame Untuk itu dibuat studi lagi, mencari sistem penghubung kolom-kolom agar efektif bekerja secara monolit. Alternatifnya adalah brace-frame atau sistem rangka dengan batang diagonal. Konfigurasinya dapat dikategorikan sebagai concentric brace frame (CBF) dan eccentric brace fream (EBF), sebagai berikut:

Gambar 8. Macam-macam sistem rangka dengan batang diagonal

Jika konfigurasi rangka keseluruhan dibentuk dari segitiga-segitiga, disebut CBF, jika hanya sebagian disebut EBF, misalnya rangka g, i, j, dan l pada Gambar 8. Konfigurasi batang diagonal (bracing) yang bermacam-macam, umumnya untuk mengakomodasi keperluan tata layout ruang di dalamnya, seperti jendela atau pintu

Gambar 9. Aliran gaya-gaya pada rangka dengan batang diagonal

Adanya batang tekan (-) dan tarik (+) pada rangka dengan batang diagonal, menjadi petunjuk bahwa sistem brace-frame lebih optimal terhadap beban lateral daripada sistem rigid-frame yang mengandalkan penghubung balok horisontal saja. Juga jika diperhatikan, bentuk deformasinya mirip dengan kantilever (lihat Gambar 10).

Gambar 10. Perilaku brace-frame: deformasi (a) lentur; (b) geser; (c) kombinasi

Brace-frame hanya populer digunakan pada konstruksi baja, untuk maksud sama pada konstruksi beton bertulang digunakan dinding struktur (semacam kolom yang diperbesar), untuk sistem struktur penahan lateral disebut shear-wall atau dinding geser. Perilaku shear-wall pada bangunan tinggi tidak ubahnya seperti kolom kantilever, dimana deformasi lentur menjadi dominan (lihat Gambar 6).

8.3.5. Sistem Ganda, kombinasi braced / wall dengan frame Karena tidak setiap sisi bangunan dapat dipasang bracing atau dijadikan dinding struktur maka dapat dibuat sistem kombinasi antara sistem rigid-frame dan sistem brace-frame atau dinding geser (shear wall).

Gambar 11. Sistem kombinasi braced-frame atau shear-wall dengan rigid-frame