PENDIDIKAN HAK ASASI MANUSIA DALAM MENGA

PENDIDIKAN HAK ASASI MANUSIA DALAM MENGANTISIPASI
RADIKALISME DAN TERORISME
Dr. Mulyawan Safwandy Nugraha, M.Ag., M.Pd., 1 Isep Ali Sandi 2
1
Peneliti dan Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Sukabumi.
2
Peneliti dan Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Mas’udiyah Sukabumi dan Mahasiswa
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga – Yogyakarta.
[email protected] / [email protected] atau 081646920930
Abstrak
Pendidikan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan model pendidikan yang dikembangkan
oleh kalangan aktivis hak asasi manusia sebagai jalur pendidikan kritis dalam merancang
sebuah sistem pendidikan yang mengajarkan terkait penanaman nilai moral dan kesadaran
individu untuk menjalin rasa persaudaraan, penjagaan hak-hak individu, penerimaan terhadap
hak privat, penerimaan terhadap perbedaan ras, penerimaan terhadap perbedaan agama, dan
penerimaan terdadap globalisasi sebagai bentuk perwujudan dari konsep dasar kemanusiaan.
Sehingga program yang dikembangkan untuk proyeksi pendidikan berbasis pada hak asasi
manusia adalah menggagas sejumlah kebebasan dasar manusia yang harus dilindungi,
dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan,
kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Dalam pendidikan hak asasi manusia sejumlah paparan yang akan banyak dibahas yaitu

terkait dengan ketentuan Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia
pada pasal 4 yang menyatakan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak hak manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan keadaan apapun dan oleh siapapun.
Untuk itu, makalah ini akan membahas konsep pendidikan hak asasi manusia dalam tinjauan
yuridis untuk dapat diimplementasikan sebagai upaya dalam mencegah atau mengantisipasi
radikalisme dan terorisme yang kerap terjadi di Indonesia sebagai Negara yang memiliki
multi-budaya, multi-ras, multi-agama, multi-suku dan multi-golongan. Sehingga dengan kata
lain makalah ini menawarkan konsepsi baru bagi perkembangan dunia pendidikan dalam
mengajarkan sistem nilai kehidupan masyarakat yang berlandaskan pada hokum normative
yang berlaku dalam menjaga stabilitas keamanan nasional dengan mengurangi tingkat
radikalisme dan terorisme yang ada.
Dengan demikian, maka hasil dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah berkaitan
dengan bagaimana program pelaksanaan pendidikan hak asasi manusia, langkah praktis
pelaksananaan pendidikan hak asasi manusia, metode penerapan pendidikan hak asasi
manusia dan peran pendidikan hak asasi manusia dalam menanggulangi radikalisme dan
terorisme yang kerap terjadi.
Kata Kunci


: Hak Asasi Manusia, Pembelajaran, Antisipasi, Radikalisme, Terorisme

HUMAN RIGHTS EDUCATION IN ANTICIPATION
RADICALISM AND TERRORISM
Dr. Mulyawan Safwandy Nugraha, M.Ag., M.Pd.,1 Isep Ali Sandi 2
1
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Sukabumi.
2
Peneliti dan Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Mas’udiyah Sukabumi dan Mahasiswa
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga – Yogyakarta.
[email protected] / [email protected] atau 081646920930

abstract
Education for Human Rights ( HR ) is an educational model developed by human rights
activists as an educational pathways critical in designing an education system that teaches
moral values and associated planting individual consciousness to establish a sense of
brotherhood, guarding individual rights, acceptance of the right private, acceptance of racial
differences, acceptance of religious differences, and acceptance terdadap globalization as a
form of embodiment of the basic concepts of humanity. So that programs developed for

projection -based education on human rights was initiated a number of basic human
freedoms must be protected, respected, and enforced in order to improve human dignity,
well-being, happiness, and intelligence and justice.
In human rights education a lot of exposure that will be discussed is related to the provisions
of Law No. 39 of 1999 on human rights in article 4 which states that every individual has the
right to life, the right not to be tortured , the right of personal freedom , the mind and
conscience, freedom of religion, the right not to be enslaved, the right to recognition as a
person before the law and equality, and the right not to be prosecuted based on retroactive
laws are human rights that can not be reduced under any circumstances and the
circumstances by anyone.
To that end, this paper will discuss the concept of human rights education in the judicial
review to be implemented in an effort to prevent or anticipate radicalism and terrorism that
often occurs in Indonesia as a country which has a multi-cultural, multi- racial, multireligious, and multi-ethnic groups. So in other words this paper offers a new concept for the
development of education in teaching the value system of a society that is based on normative
law applicable in maintaining the stability of national security by reducing the level of
radicalism and terrorism there.
Thus, the results of research conducted by the researchers are concerned with how the
program implementation of human rights education , practical steps implementation human
rights education, methods of implementation of human rights education and the role of
human rights education in tackling radicalism and terrorism that often occur.

Keywords : Human Rights , Learning , Anticipation , Radicalism , Terrorism
A. PENDAHULUAN
Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration
of Human Rights) pada tahun 1948 telah terjadi perubahan arus global di dunia internasional
untuk mengubah cara pandang dan kesadarannya terhadap pentingnya suatu perlindungan
hak-hak asasi manusia (HAM). Meningkatnya kesadaran masyarakat internasional mengenai
isu HAM ini dalam tempo yang relatif singkat merupakan pula suatu langkah maju dalam
kehidupan bernegara secara demokratis menuju sistem kenegaraan yang menjunjung tinggi
nilai-nilai HAM.

Semenjak Indonesia merdeka, negara ini memiliki konsep kehidupan masyarakat
dengan berpedoman pada pancasila. Oleh karena itu setiap program yang dirancang selalu
diupayakan untuk sesuai dengan nilai-nilai pancasila yang ada. Maka dengan demikian,
untuk dapat menjalankan dan menerapkan nilai-nilai pancasila tersebut diperlukan sebuah
sarana khusus, yang dapat menujang konsep idiologis kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hampir telah disetujui oleh seluruh para ahli bahwa pendidikan merupakan kebutuhan
mendasar dalam membangun sebuah masyarakat, sehingga oleh karena itu, peran lembaga
pendidikan dalam membangun sebuah masyarakat sangatlah besar, terutama dalam
menentukan tumbuh kembang suatu masyarakat untuk maju dalam bidang ilmu pengetahuan,
teknologi, social kemasyarakatan, kehidupan beragama, dan penegakan hukum 1.

Fokus utama pendidikan agama dititikberatkan pada kepercayaan, prilaku, moral dan
berbagai bentuk ritual seremonial keagamaan yang ada. Logikanya, telah 12 tahun mereka
merasakan kegiatan belajar mengajar (KBM) di bangku sekolah. Selama itu pula mata
pelajaran pendidikan tidak pernah absen menemani mereka. Pada dewasa ini, sistem
pendidikan yang dirancang di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen, dan Undang-Undang nomor 12 tahun 2012 tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi. Mengarahkan Indonesia untuk membangun sebuah sistem pendidikan yang
menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila yang dijabarkan melalui sejumlah program seperti
pendidikan berbasis karakter, pendidikan berbasis gender 2, pendidikan berbasis hak asasi
manusia3, pendidikan berbasis kearifan local4, pendidikan berbasis perdamaian dan
pendidikan berbasis multi-kultural. Yang dilakukan dalam kurikulum tersembunyi dalam
proses penyelenggaraan pendidikan yang dibantu oleh stuktur kurikulum dalam sejumlah
mata pelajaran seperti pendidikan kewarganegaraan, ilmu pendidikan social, dan pendidikan
agama.
Hal ini dilaksanakan bertujuan untuk membangun sebuah masyarakat yang berbineka
tunggal ika yang menjadi pedoman bangsa. Sehingga kedepannya diharapkan mampu
mewujudkan sebuah masyarakat yang harmonis dan dinamis dalam membangun masyarakat
Indonesia. Karena perkembangan pemikiran manusia terkait gender dan Hak Asasi Manusia
(HAM) 5 di Indonesia sangat besar dipengaruhi oleh budaya masyarakat yang multi-budaya,

multi-agama dan multi-ras. Oleh karenanya, dalam ranah kehidupan sering berlajut hingga
titik nadir memunculkan sejumlah asumsi dan kegiatan yang mengarah pada perbaikan
system social masyarakat disuatu tempat.
Pendidikan Islam di Indonesia dihadapkan pada tantangan semakin berkembangnya
model-model pendidikan yang diselenggarakan oleh berbagai lapisan masyarakat. Dari
1

Isep Ali Sandi, Feminist Contributions Indonesia In The Islamic Education Curriculum-Based Character
Gender (Case Study At The Centre For Women's Studies Of Gadjah Mada University And The Center For
Women's Studies Islamic University Of Sunan Kalidjaga), (Paper Presentation and proceeding Seminar on
Islam, Science and Technology: State Islamic University of Sunan Kalijaga, 2013), hlm 73-75
2
Isep Ali Sandi, Investment Values of Character-Based Religious Education Gender and Local Wisdom, (Paper
Presentation at International Conference- ISRA, UIN Sunan Kalijaga; Yogyakarta), 2012, hlm 1-15.
3
Isep Ali Sandi, Rohmalina Wahab, 2013, HUMAN RIGHTS-BASED EDUCATION: A Review of Policies and
Implementation Measures in Indonesia (Paper Presentation Annual Conference Asia Pacific Network on
Moral Education: Yogyakarta State University) hlm 1-13.
4
Isep Ali Sandi, Mulyawan Safwandy Nugraha, 2013, INVESTMENT POLICIES IN THE IMPLEMENTATION

OF
THE
NATIONAL
CHARACTER
VALUE
OF
INDONESIA;
Review Before Application of Curriculum 2013. (Paper Presentation and in Print Book in Programme
International Seminar on Primary Education; Yogyakarta State University Print), hlm 66-72.
5
Martinus Nijhoff , Economic, Social and Cultural Right, (Martinus Nijhoff Publisher an imprint of Brill
Academic Publishers; English) 2001. Hlm. 351-373. Penjelasan lebih detail terkait masalah yang berkaitan
dengan hak asasi manusia yang berkaitan dengan bahasan feminism dan perempuan dapat dipelajari dalam
buku terjemahan bahasa Indonesia.

tingkat yang paling dasar (Madrasah Ibtidaiyah/MI) hingga perguruan tinggi (UIN, IAIN,
STAIN, PTAI), pencarian yang ideal tentang studi Islam terus dilakukan, terutama untuk
mewujudkan cita-cita pendidikan Islam. Model pendidikan Islam di Indonesia masih jauh
dari memuaskan, terutama jika dilihat dari sistem pengelolaan, kualitas kurikulum, hingga
pada kualitas lulusannya.

Yang tak kalah seriusnya adalah tantangan globalisasi yang memungkinkan sebuah
lembaga pendidikan mesti memiliki kualifikasi tertentu sehingga orientasi pendidikan Islam
di Indonesia masih belum begitu jelas, terutama dalam menentukan pola, arah, dan capaian
tertentu yang diinginkan, sehingga pendidikan Islam kita dapat diakui secara internasional.
Tantangan pendidikan Islam yang sudah diharuskan memiliki kualifikasi internasional, tidak
lepas dari pandangan tentang studi Islam, yang selama ini diperdebatkan antara studi Islam di
Timur dan Barat.
B. PEMBAHASAN dan ANALISIS
1. Pembelajaran
Pembelajaran berasal dari kata belajar, yang berarti proses pembentukan tingkah laku
secara terorganisir 6. Belajar merupakan suatu upaya penguasaan kognitif, afektif, dan
psikomotor melalui proses interaksi antara individu dan lingkungan yang terjadi sebagai hasil
atau akibat dari pengalaman dan mendahului perilaku7. Dalam proses belajar mengajar terjadi
interaksi antara siswa dengan guru maupun siswa dengan siswa, sehingga dibutuhkan
kerjasama yang baik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Disamping adanya interaksi antara
guru dan siswa, kegiatan pembelajaran juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
Menurut Muhibin Syah beberapa faktor yang mempengaruhi kegiatan belajar siswa
antara lain faktor internal siswa yang meliputi aspek fisiologis dan psikologis 8. Disamping
itu, faktor eksternal juga turut berpengaruh. Faktor eksternal meliputi lingkungan sosial dan
non sosial. Dari factor eksternal yang paling berpengaruh adalah terkait struktur kurikulum

dari mulai silabus dan modul atau bahan ajar yang dipergunakan.
Modul merupakan bahan ajar yang ditulis dengan tujuan agar siswa dapat belajar
secara mandiri tanpa atau dengan bimbingan guru9. Modul telah disusun secara terstruktur
sehingga siswa dapat belajar sesuai dengan instruksi yang ada dalam modul. Pembelajaran
menggunakan modul di kelas dapat digunakan untuk membantu guru dalam mengatur
kegiatan belajar mengajar.
Menurut Wena modul merupakan salah satu bahan ajar yang berisi satu unit
pembelajaran, dilengkapi dengan berbagai komponen sehingga memungkinkan siswa-siswa
yang mempergunakannya dapat mencapai tujuan secara mandiri, dengan sekecil mungkin
bantuan guru, siswa dapat mengevaluasi kemampuan sendiri, yang selanjutnya dapat
menentukan mulai dari mana kegiatan belajar selanjutnya harus dilakukan 10. Dengan
demikian, modul merupakan bahan ajar yang menuntut kemandirian siswa. Kebebasan siswa
dalam mengatur kegiatan belajarnya sendiri, menuntut siswa untuk memiliki motivasi yang
cukup tinggi dalam melakukan kegiatan belajar.
Modul dapat digunakan oleh guru sebagai salah satu alternatif bahan ajar yang dapat
disusun sendiri maupun menggunakan modul yang sudah ada. Penggunaan modul yang sudah
6

Sholahudin, Mahfudz. Pengantar Psikologi Pendidikan. (Surabaya: Bina Ilmu, 1996), hlm. 36.
Sagala, Syaiful. 2010. Supervisi Pembelajaran Dalam Profesi penddikan. Bandung: Penerbit Alfabeta, hlm.

30.
8
Syah, Muhibin. Psikologi Pendidikan : Suatu Pendekatan Baru. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), hlm.
32.
9
Wenno, Izzak H. 2010. Pengembangan Model Modul IPA Berbasis Problem Solving Method Berdasarkan
Karakteristik Siswa Dalam Pembelajaran Di SMA/MTs. (Jurnal Cakrawala Pendidikan. 2). hlm 176-188.
10
Wena, Made. 2009. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer : Suatu Tinjauan Konseptual Operasional.
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), hlm. 232.

7

disusun secara terstruktur akan membantu guru dalam mengorganisasi kegiatan
pembelajaran. Sebelum memulai kegiatan belajar mengajar, guru harus melakukan berbagai
persiapan agar tercapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Sebagai salah satu bahan ajar,
modul tidak hanya berisi uraian materi pelajaran, namun juga berisi petunjuk pelaksanaan
kegiatan pembelajaran. Berbagai kegiatan pembelajaran dalam modul diharapkan dapat
membantu guru menyelenggarakan kegiatan pembelajaran yang bermakna bagi siswa.
Menurut Vembriarto menyatakan modul sebagai bahan ajar yang terstruktur

hendaknya terdiri atas beberapa unsur, antara lain rumusan tujuan pengajaran yang eksplisit
dan spesifik, petunjuk untuk guru, lembaran kegiatan siswa, lembar kerja bagi siswa, kunci
lembar kerja, lembar evaluasi, dan kunci lembar evaluasi11. Modul dapat disusun sedemikian
rupa sehingga sesuai dengan kegiatan pembelajaran yang diinginkan. Penggunaan modul
dapat mendukung kegiatan pembelajaran agar lebih terstruktur. Berbagai lembar kegiatan,
lembar kerja siswa, maupun kegiatan pembelajaran lainnya dalam modul dapat disusun sesuai
dengan model pembelajaran yang diharapkan. Kegiatan pembelajaran aktif seperti
pembelajaran kontekstual, pembelajaran konstruktivisme, dan kegiatan pembelajaran aktif
lainnya dapat dilaksanakan dengan menggunakan bahan ajar berupa modul.
2. Konsep Hak Asasi Manusia
Pendidikan selayaknya mendapatkan perhatian yang sangat serius dalam membangun
sebuah konsep kehidupan, terutama terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan (Human
Assesment Values), sebab dalam proses kehidupan dunia modern, pendidikan akan
berhubungan erat dengan penciptaan sebuah struktur sistem masyarakat yang berlaku. Dalam
memahami sebuah konsepsi untuk membangun kesejahtraan bersama, menjadi hal yang pasti
adalah terlindunginya sejumlah hak-hak yang mendasar bagi manusia itu sendiri, sebab tidak
dapat dipungkiri bahwa keberlangsungan sebuah kehidupan yang beradab diawali oleh
individu-individu, sehingga mampu saling menghargai, menghormati dan menjaga hak-hak
yang mendasar bagi dirinya maupun orang lain sebagai sebuah keharusan.
Indonesia saat ini mulai menerapkan nilai-nilai demokrasi. Tujuan kami adalah
mempersiapkan generasi yang akan datang untuk menangani berbagai masalah
berdasarkan nilai-nilai HAM, termasuk bagaimana menangani masyarakat usia
tidak produktif, masyarakat terbelakang, serta masalah etnik agar dapat
menghentikan berbagai macam kekerasan seperti yang terjadi di masa lampau.
Karena itu, strategi mengatasi berbagai macam masalah berdasarkan nilai-nilai
HAM perlu diciptakan. Taktik yang cukup efektif untuk membuat masyarakat
sadar mengenai pentingnya mempelajari HAM adalah melibatkan agen
perubahan yang terdiri atas tokoh agama serta tokoh masyarakat termasuk guru
dalam pengembangan serta pelatihan pengimplemetasian kurikulum HAM di
sekolah negeri dan swasta dalam semua tingkatan. 12
Sistem Pendidikan Nasional Indonesia yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar
1945; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; UndangUndang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi, pada dasarnya dirancang untuk dapat menjawab setiap
problematika yang dihadapi di dunia pendidikan, kendati demikian hal ini sebenarnya
belumlah cukup, karena bukan hanya sebatas konsepsi yang dirancang, melainkan juga akan
berhubungan erat dengan kesadaran praktisi pendidikan, akademisi, pemerintah, dan
masyarakat dalam memahami system yang dirancang.
11
12

Vembriarto. 1985. Pengantar Pengajaran Modul. Yogyakarta: Yayasan Pendidikan Paramita, hlm 37-38.
Mashadi Said, Penegakan Hak Asasi Manusia Melalui Pemanfaatan Perspektif Agama Dan Tokoh
Masyarakat: Pemajuan Pendidikan Hak Asasi Manusia (HAM) secara Nasional di Indonesia, Pusat Korban
Penganiayaan Taktik Baru dalam Proyek HAM, Minneapolis-USA, 2006, hlm 6.

Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai bagian dari keilmuan humaniora, hingga saat ini
menjadi perhatian sejumlah peneliti, baik dalam skala nasional regional maupun
internasional, untuk terus dikaji, diteliti dan dikembangkan sebagai bagian keilmuan yang
mampu memanusiakan manusia secara holistic, tanpa cela. Bahkan jika diperhatikan secara
seksama dalam konsepsi penelitian terkait Hak Asasi Manusia (HAM) cukup beragam
pendekatan keilmuan yang digunakan, seperti; hukum, pendidikan, social, agama, ekonomi
dan budaya. Dari proses dan pendekatan yang digunakan, seharusnya hasil penelitian yang
dilakukan juga mampu menawarkan konsepsi ideal dalam rancangan proses penyelanggaraan
pendidikan yang berlangsung, agar benar-benar mampu mencetak out-come pendidikan yang
lebih humanis.
Perancangan sistem pendidikan yang direalisasikan dalam pendidikan Indonesia, cukup
banyak menghasilkan sejumlah tindakan kekerasan dalam pendidikan (violance in education)
serta berujung pada kriminalitas, intimidasi dan bullying; dalam proses pendidikan. Jika
diperhatikan masalah ini muncul bukanlah disebabkan oleh system rancangan yuridis yang
berlaku, akan tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh pengaruh kurikulum, kesadaran dan
kemampuan tenaga pendidikan, kurangnya pembinaan pemerintah, dan ketidaktahuan
masyarakat dalam memahami hak-hak mendasar yang melekat pada setiap manusia.
Sebagaimana diungkapkan oleh M Nafiah Ibnor dalam laporan di jurnal kopertis pada
tahun 2009 yang menyebutkan bahwa:
Namun demikian, proses dan tata kehidupan politik yang telah berjalan dalam
usia relatif dini nampaknya belum memberikan dampak yang mengembirakan
dan menunjukkan tanda-tanda yang meyakinkan (convincing signs). Karena
masih ditemukan beberapa tindakan kontra-produktif dan destruktif seperti
tindakan pelanggaran HAM, kecenderungan tindakan yang mengarah pada
"destabilisasi", kecenderungan tindakan mobokrasi, tindak kekerasan,
rendahnya penegakan hukum bagi para pelaku pelanggaran HAM,
penyalahgunaan kekerasan, masih maraknya tindak korupsi, tingginya
pertentangan antara legislatif dengan yudikatif dalam kerangka otonomi
daerah dan sebagainya. 13
Hal ini tentunya memerlukan sejumlah grand desain, terkait tawaran konsepsi dalam
membangun rancangan sistem pendidikan yang dilakukan agar mengedepankan Hak Asasi
Manusia (HAM) sebagai sebuah jawaban dan bentuk kebutuhan yang mendasar (Need
Assesment). Mengapa bisa demikian? Hal ini tentunya dikarenakan selama ini terdapat
masalah penting, serta perlu di garis bawahi dan menjadi perhatian bersama terkait pola
kehidupan berbangsa dan bernegara dengan nilai-nilai kemanusiaan. Memang benar, masalah
tersebut adalah dikarenakan kurangnya kesadaran akan memahami hakikat manusia secara
utuh, bukan disebabkan oleh system yang salah.
3. Radikalisme
Radikalisme merupakan faham (isme), tindakan yang melekat pada seseorang atau
kelompok yang menginginkan perubahan baik, sosial, politik dengan menggunakan
kekerasan, berfikir asasi dan bertindak ekstrim14. Penyebutan istilah radikalisme dalam
tinjauan sosio-historis pada awalnya dipergunakan dalam kajian sosial budaya dan dalam
perkembangan selanjutnyanya istilah tersebut dikaitkan dengan persoalan politik dan agama.
Istilah radikalisme merupakan konsep yang akrab dalam kajian keilmuan sosial, politik dan
sejarah. Istilah radikalisme digunakan untuk menjelaskan fenomena sosial dalam suatu
13

M Nafiah Ibnor, Nilai-Nilai Demokrasi Dan Ham Dalam Sistem Pendidikan Indonesia, Ittihad Jurnal
Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009, hlm 2.
14
Tim Penyusun Pusat Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: DEPDIKBUD & Balai
Pustaka, 1998), hlm. 425.

masyarakat atau negara15. Adapun yang dimaskud kelompok Islam radikal adalah kelompok
yang mempunyai keyakinan idiologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk
menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung 16.
Secara umum, meminjam terminologi Esposito, dapat diidentifikasi beberapa landasan
idiologis yang dijumpai dalam gerakan Islam radikal. Pertama, kelompok ini berpendapat
bahwa Islam adalah agama yang komprehensif. Kedua, ideologi masyarakat Barat yang
sekuler dan materialistik harus ditolak kalau masyarakat mencontoh ideologi Barat berarti
masyarakat muslim tidak berhasil karena ideologi masyarakat Barat bukan ideologi yang
ideal menurut ajaran Islam. Ketiga, Perubahan sosial yang diinginkan oleh masyarakat Islam
adalah perubahaan sosial yang berlandaskan pada sumber hukum Islam yang utama yaitu AlQuran dan Al-Hadist. Keempat, idiologi Barat harus ditolak, oleh karena itu masyarakat
muslim harus menegakkan hukum Islam. Kelima, kelompok ini memberlakukan sistem sosial
dan hukum yang sesuai dengan ajaran yang dibawa nabi Muhammad saw, dan menolak
ideologi Barat tetapi sebenarnya kelompok ini tidak menolak moderenisasi. Moderenisasi
dalam bidang sains dan teknologi diterima asal tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Keenam, mereka berkeyakinan bahwa upaya-upaya Islamisasi pada masyarakat muslim tidak
akan berhasil tanpa menekankan aspek pengorganisasian pada masyarakat ataupun
pembentukan sebuah kelompok yang kuat 17. Selain itu dengan menyakinkan pengikutnya
untuk menjalankan tugas suci keagamaan dalam rangka menegakkan hukum Islam.
Gerakan Islam radikal telah memberikan warna berbeda bagi perjalanan corak
keberagamaan di Indonesia. Misalnya, dalam pengalaman umat Islam, terjadi polarisasi yang
sangat tajam antar Islam moderat dan Islam radikal di masa sekarang. Setelah Islam moderat
berhasil mendapatkan tempat di hati penguasa sejak 1980-an, kini di era reformasi, mereka
mendapat tantangan serius dari gerakan Islam radikal yang menyeruak ke dalam lapisan
sosial masyarakat. Mereka berhasil merebut simpati publik secara terbatas dengan
membangun opini publik dan organisasi gerakan. Tak heran jika suara mereka di pentas
nasional begitu nyaring terdengar.
Karena itu, perkembangan radikalisme Islam di Indonesia merupakan suatu kenyataan
sosio-historis dalam negara majemuk, tetapi juga bisa menjadi ancaman bagi masa depan
pluralisme di Indonesia. Sebagai antisipasi, perlu memeperluas gerakan islam yang moderat,
pluralis, dan inklusif di tengah-tengah masyarakat.
Gagasan globalisasi dan modernitas didasarkan pada dua hal. Pertama, secara
diskursif, gerakan moderasi umat diyakini sebagai penopang terciptanya harmonisasi sosial
masyarakat di era mulikultural. Karena multikulturalisme merupakan realitas historis dalam
masyarakat yang mesti disikapi secara positif. Dengan demikian, ekslusivitas beragama
diyakini secara total sebagai kebenaran agama (religious truth) bisa menjadi batu sandungan
ideologis untuk memecahkan problem pluralisme di Indonesia. Itu sebabnya pendidikan
pluralis menjadi prioritas dalam menjembatani doktrin ekslusif. Kedua, secara praksis,
praktek kehidupan beragama masih mendikotomi klaim kebenaran dan keselamatan dalam
masing-masing umat beragama mesti dikikis.
Dari sisi perjuangan dapat dianalisis adanya kesamaan visi dan misi gerakan radikal
Islam Indonesia dan Timur Tengah. Gerakan yang dilakukan FPI, FPIS dan Laskar Jihad
mirip dengan apa yang dilakukan oleh Gerakan Wahabi di Arab Saudi. Gerakan radikal Islam
Indonesia diilhami atau dipengaruhi oleh gerakan pemaharuan Islam yang dicetuskan oleh
Muhammad bin Abdul Wahhab (1703- 1792) di Timur Tengah ini. Sementara Hizbut Tahrir,
yang sebagian besar pengikutnya berasal dari kalangan kampus, tidak mengedepankan aspek
15

Bachtiar Effendy, Radikalisme: Sebuah Pengantar (Jakarta: PPIM. IAIN, 1998), hlm. xviixviii
Jamhari dan Jajang Jahroni (penyuting ), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Penerbit : PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, Cetakan Pertama 2004, hlm. 2-3.
17
Yusuf Qardhawi, al-Thtarruf al-Dini, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2004) hlm. 4-5.

16

kekerasan dalam memperjuangkan visi dan misinya. Gerakan Hizbut Tahrir memiliki
kesamaan dengan gerakan Pan-Islamisme yang ditokohi oleh Jamaluddin Al-Afghani (1871)
dan diteruskan oleh Rasyid Ridha. Baik Al-Afghani maupun Hizbut Tahrir sama-sama ingin
mengembalikan kejayaan umat Islam masa lampau untuk membangkitkan kembali umat
Islam dari kemerosotan yang amat parah, membebaskan umat Islam dari ide-ide, sistem
perundang-undangan, dan hukum kufur, serta dari dominasi negara kafir dengan membangun
Daulah Islamiyah dan mempercayai sistem kekhalifahan dengan seorang khalifah yang
dibaiat oleh kaum muslimin untuk mereka taati. Keduanya juga anti peradaban dan
imperialisme barat dan berusaha mengembangkan kebudayaan Islam sendiri 18.
Majelis Mujahidin Indonesia juga memiliki visi membangun kekhalifahan Islam,
hanya saja mereka menghendaki kekhalifahan Islam ini mencakup seluruh negara di Asia
Tenggara. Gerakan radikal Islam juga menghedaki berdirinya negara Islam dan dijalankannya
syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Hampir seluruh gerakan radikal Islam memandang
bahwa obat mujarab untuk mengobati krisis multidimensi yang dihadapi oleh Indonesia
adalah dengan menjalankan syariat Islam dengan sesungguhnya. Keterpurukan bangsa ini
diakibatkan karena penduduknya yang mengingkari Allah dan meninggalkan agamanya
dengan lebih mementingkan kepentingan duniawi.
4. Terorisme
Pembahasan terkait terorisme pada dasarnya sangat erat kaitannya dengan tidak
kejahatan criminal, hal ini disetujui oleh sejumlah negara yang ikut menandatangani deklarasi
universal tentang hak asasi manusia, sebagaimana diungkapkan oleh Farouk Muhamad yang
menyatakan bahwa “Teror merupakan reaksi jahat terhadap aksi yang dipandang “lebih
jahat” oleh pelaku, sehingga bukan merupakan kejahatan yang berdiri sendiri (interactionism)
dan dapat dikelompokkan ke dalam kejahatan balas dendam (hate crimes). Pandangan “lebih
jahat” itu sendiri lebih merupakan persepsi dari pada fakta. Karena itu, prasyarat utama bagi
terjadinya teror adalah sikap/perbuatan seseorang/sekelompok orang bahkan kebijakan
penguasa (negara) yang dipandang secara subyektif oleh pelaku atau kelompok pelaku
sebagai mendzolimi, semena‐mena, diskrimintaif dan/atau tidak adil bagi pihak lain. Kedua,
bahwa pelaku tidak mempunyai kemampuan untuk memberi reaksi (jahat) secara langsung
dan terbuka sementara di lain pihak tidak tersedia legitimate means untuk mengoreksi
sikap/perbuatan dan/atau kebijakan dimaksud. Kedua kondisi itulah yang merupakan akar
permasalahan yang menumbuhkan perbuatan teror19.
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan
perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak
tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target
korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil 20. Sebagaimana dipaparkan
dalam penjelasan pengertian terorisme dalam wikipedia dinyatatakan bahwa Istilah teroris
oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung
dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata
tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang
dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para
pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam. Akibat makna-makna
negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya
18
19

20

Zuhari Miswari dan Khamami Zada, Islam Melawan Terorisme, (Ciputat: LSIP, 2004), hlm. 56-166.
Prof. Dr. Farouk Muhammad, TERORISME : UPAYA PENGATURAN POLITIK DAN INSTITUSI,
Makalah disampaikan pada Simposium Nasional “Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme”, Rabu,
28 Juli 2010, hlm 1.
http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme, diakses pada 15 Oktober 2012.

menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan,
mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya
dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil
padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan
mengatasnamakan agama21.
Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal
dengan terorisme negara (state terorism). Misalnya seperti dikemukakan oleh Noam
Chomsky yang menyebut Amerika Serikat ke dalam kategori itu. Persoalan standar ganda
selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika
Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain
liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme
yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati22.
5. Pendidikan Hak Asasi Manusia
Perancangan system pendidikan yang berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan,
menjadi bagian sangat penting untuk dilakukan, guna meningkatkan kualitas kehidupan
manusia sebagai makhluk social dan makhluk berpendidikan. Sebab, berbicara terkait
sejumlah isu mengenai Hak Asasi Manusia (HAM), akan sangat erat kaitannya dengan
perkembangan kehidupan manusia secara global. Agar dapat dijalankan sebuah konsepsi,
perlu dirancang sistem pendidikan Indonesia yang menjungjung tinggi hak dasar bagi
manusia dengan berlandaskan pada demokrasi pancasila, agar mengarah pada perbaikan
dalam bidang Hak Asasi Manusia (HAM) pendidikan Indonesia, pemikiran dari James A.
Beane dan Micchael W. Apple dapat menjadi rujukan yang cukup tepat, untuk Indonesia
sebab sebagaimana pernyataannya bahwa:
Pendidikan demokratis tiada lain adalah mengimplementasikan pola-pola
demokratis dalam pengelolaan pendidikan, yang secara umum mencakup dua
aspek, yakni struktur organisasi dan prosedur kerja dalam struktur tersebut,
serta merancang kurikulum yang bisa mengantarkan pribadi Indonesia
memiliki berbagai pengalaman tentang prakti-praktik demokrasi. Dengan kata
lain pendidikan demokratis adalah pendidikan yang dikelola dengan
memungkinkannya praktik-praktik demokratis itu terlaksana.23
Agar dapat melaksanakan sebuah sistem pendidikan yang berbasis pada hak asasi
manusia maka diperlukan tenaga pendidik yang professional. Sebab dalam proses
penyelenggaraan pendidikan akan berhubungan erat kaitannya dengan pendidik, peserta
didik, lembaga pendidikan, kebijakan pemerintah dan dukungan masyarakat. Bahkan lebih
tegasnya lagi kebutuhan terhadap kualitas pendidik menjadi hal yang krusial untuk bisa
menjalankan pendidikan berbasis hak asasi manusia, sebagimana diungkapkan oleh Zein
sebagai berikut:
Pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia
dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan
perundangundangan. Pengakuan kedudukan Guru sebagai tenaga profesional
adalah terkait mengenai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang
dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian,
kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu
serta memerlukan pendidikan profesi. Hal ini dilakukan pemerintah agar para
21

Ibid.

22

Ibid.

23

Apple, Michael W., and James A. Beane, The Case of Democratic school, ASCD, Alexandria, Virginia, 1995,
hlm. 9.

guru di berbagai daerah di tanah air dapat bekerja secara profesional dilakukan
dengan cara mengumpulkan berbagai berkas portofolio yang terdiri bukti-bukti
prestasi, hasil kinerja dan berbagai hal yang terkait dengan kiprah guru tersebut.24
Hal ini sebagaimana digambarkan oleh Budi seorang peneliti dari Pusat Penelitian dan
pengembangan hak-hak ekonomi social dan budaya.25 Mengemukakan sebagai berikut:
Guru profesional yang dibentuk adalah untuk : (1) menentukan kelayakan guru
dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan
pendidikan nasional, (2) meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan, (3)
meningkatkan martabat guru, (4) meningkatkan profesionalitas guru.
Jika dirumuskan lagi terhadap pendidikan hak asasi manusia yang lebih mengarah pada
persepsi penyelenggaran pendidikan yang sesuai dengan amat dari undang-undang sistem
pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003, maka akan didapatkan bahwa sebenarnya proses
pendidikan dilakukan memerlukan kualitas tertentu atau dengan kata lain perlu pendidikan
yang bermutu. Adapun untuk konsepsi pendidikan bermutu, penulis mengadopsi pada
konsepsi sebagi berikut:
Pendidikan bermutu adalah investasi bukan hanya bagi individu tetapi juga bagi
masyarakat. Pendidikan bermutu merupakan investasi masa depan bangsa dalam
membentuk warga negara seutuhnya yang terdidik, cerdas, dan merupakan aset
yang menentukan eksistensi serta kemajuan bangsa dalam berbagai dimensi
kehidupan. Sehingga disimpulkan bahwa kualitas pendidikan baik di sekolah
umum maupun di madrasah dapat dicapai melalui adanya program sertifikasi
termasuk perbedaan yang berarti antar hasil belajar yang dicapai sekolah umum
maupun sekolah unggulan.26
Jika kualitas pendidikan telah bermutu maka peran pemerintah untuk menjalankan
pendidikan berbasis karakter dapat dilaksanakan. Terutama yang berkaitan dengan program
pendidikan hak asasi manusia sebagai bagian yang integral dalam merancang system
pendidikan humanis, demokratis, dan religious. Dengan demikian, maka perancangan system
pendidikan berbasis hak asasi manusia sanga diperlukan, guna lebih meningkatkan dan
menjaga harkat martabat manusia itu sendiri yang dilaksanakan melalui lingkungan buatan
atau lembaga pendidikan sebagai pelaku program untuk mengedepankan nilai-nilai hak asasi
manusia sebagai ruh dalam sistem pendidikan yang dilaksanakannya.
Mengkaji Hak Asasi Manusia (HAM) dalam dunia pendidikan merupakan wacana
baru dan masih banyak membingungkan bagi para pelaku dunia pendidikan, baik praktisi,
akademisi maupun peneliti, dalam mengembangkan projek pendidikan berbasis hak asasi
manusia. Hal ini terjadi karena, dalam konstruksi pemikiran sejumlah kalangan yang berbasis
agama di Indonesia, lebih banyak yang menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan
produk barat bukan produk agama. Konsepsi yang demikian, tentunya mempersulit bagi para
penggiat keilmuan yang akan mengembangkan konsep pendidikan berbasis hak asasi
manusia.
Pendidikan berbasis hak asasi manusia pada dasarnya memiliki perbedaan dengan
konsep pendidikan perdamaian (peace education) yang mengedepankan persamaan derajat
manusia dan pendidikan multi-kultural (multiculturalism education) yang mengusung tematema yang berkaitan dengan perbedaan buaya yang harus dihargai dan dihormati.
Adapun untuk pembelajaran berbasis hak asasi lebih mengedepankan nilai-nilai
karakter individu yang dibangun melalui proses pembelajaran tentang pemahaman jati diri
manusia sehingga lebih menghargai hak-hak individu, bertanggungjawab, memiliki
24

Zein, HM, 2010, Kiat Sukses Mengikuti Sertifikasi Guru, (Malang: Cakrawala Media Publisher), hlm 27.
Budi, Evaluasi Pelaksanan Sertifikasi Guru Sekolah Umum Dan Guru Sekolah Madrasah, Jurnal Hak Asasi
Manusia, Juli 2012, hlm 17-24.
26
Ibid, hlm 28.

25

kesadaran untuk saling menjaga, menolong, menghargai, dan menjunjung tinggi hokum legal
formal sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak yang melakat dari setiap individu
itu dikarenakan terjadinya bullying, intimidasi, pemaksaan yang mencerabut hak asasi
individu baik secara sistemik maupun cultural, dalam ruang lingkup pendidikan. Program
penyadaran pendidikan tentang hak asasi manusia inilah yang ditawarkan dengan nama
pendidikan berbasis hak asasi manusia, yang dilakukan melalui struktur kurikulum maupun
kurikulum tersembunyi terkait hak-hak antar individu yang ada baik di sekolah maupun di
lingkungan masyarakat yang bersumber pada hokum atau norma yang berlaku di wilayah
tertentu baik dari segi legal formal maupun dari segi sosio-kultural.
C. ANALISIS
Dalam upaya menutup masa lalu dan menyongsong masa depan yang lebih beradab,
tenteram, sejahtera dan damai, ada baiknya kita dapat mencontoh apa yang telah dilakukan
oleh Afrika Selatan dalam melaksanakan program rekonsiliasinya. Suatu negara yang pernah
teraniaya oleh bangsa kulit putih melalui sistem Apartheidnya, yang kini dapat hidup
berdampingan dengan mengubur permasalahan masa lalu sedalam-dalamnya untuk menuju
menjadi bangsa yang besar. Rekonsiliasi merupakan alternatif proses penyelesaian
permasalahan HAM melalui pemberian pengampunan. Di Afrika Selatan proses ini dilakukan
oleh suatu komisi yaitu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi ini memiliki tugas dan
wewenang antara lain memberikan pengampunan bagi tindakan-tindakan politik tertentu
yang telah dilakukan oleh organisasi politik atau anggota dinas keamanan dalam tugas dan
kewajiban mereka. Komisi ini juga dapat memanggil orang dan memeriksa dokumen dan
artikel sebagai usaha mendapatkan kebenaran. Selain itu juga menyusun identitas para korban
dan membuat proposal pemulihannya, serta memberikan amnesti, ganti rugi, kompensasi
dengan bantuan dana dari pemerintah27.
Melihat fenomena yang demikian ikhlasnya menunjukkan kebesaran dan kewibawaan
suatu bangsa dalam menghadapi era globalisasi di masa sekarang ini. Kiranya bangsa
Indonesia dapat berbuat hal yang sama sehingga dapat membangun bangsa dan Negara secara
bersama-sama menjadi salah satu bangsa yang besar di masyarakat internasional. Pada era
pemerintahan Abdurrahman Wahid, sebuah solusi ditawarkan berbagai pihak dengan
menyampaikan alternatif penyelesaian permasalahan HAM di Indonesia. Solusi yang
ditawarkan berupa pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dimuat
dalam RUU KKR. Solusi ini perlu ditindaklanjuti guna memberikan jawaban-jawaban atas
ketidakadilan melalui tugas dan kewenangannya sebab adanya keprihatinan masyarakat akan
ketidakmampuan melakukan penanganan terhadap penegakan HAM di Indonesia secara
efektif28. 32
Namun demikian, wacana, Ide ataupun usulan terbentuknya KKR secara formil
dimulai dengan dikeluarkannya TAP MPR No.V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan
dan Kesatuan Nasional yang kemudian dipertegas dengan UU tentang Pengadilan HAM.
Eksistensi KKR dalam UU Pengadilan HAM tersebut tercantum dalam Pasal 47 ayat (1) dan
(2). Komisi yang akan dibentuk dengan UU tersendiri dimaksudkan sebagai lembaga ekstra
yudisial yang ditetapkan dengan UU bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan
mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau 29,
27

J.E. Sahetapy, “Penyelesaian Kasus HAM Berat Didominasi Faktor Politis,” dapat diakses di
http://www.komisihukum.go.id/news_event.php?mode=detil&jenis=news&id=79, diakses tanggal 10 September 2005.

28

Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia: Catatan dan Gagasan Prof. DR. Yusril
Ihza Mahendra, (Jakarta: Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan HAM, 2002), hlm. 86-128.

29

Penyelesaian oleh KKR dalam UU Pengadilan HAM ini dibatasi hanya pada pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum
berlakunya UU ini (lihat Pasal 47 ayat (1).

sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan
rekonsiliasi nasional dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa.
Akan tetapi, hingga detik ini RUU KKR masih dalam proses pembahasan antara
eksekutif dengan legislatif. Mengingat pembentukan komisi ini sangat penting untuk segera
dilakukan dan mengingat berhasiltidaknya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat
pada masa lalu juga tergantung pada sukses tidaknya penyelenggaraan komisi ini. Berkenaan
dengan hal ini masih belum adanya konfigurasi politik yang melatabelakangi melahirkannya
RUU KKR menjadi UU. Hal ini dapat dijelaskan karena di Indonesia hukum merupakan
sebagai produk politik, dimana berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hukum
merupakan keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran
politik yang saling berinteraksi di kalangan para politisi 30. Dengan demikian kita dapat
memahami bahwa politik hukum yang terjadi masih menyimpan suatu tanda tanya perihal
hukum apa yang akan diberlakukan atau tidak yang akan diberlakukan di suatu tempat atau
kasus mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Begitu sulitnya negara ini membetuk pengadilan Hak Asasi Manusia, begitupun juga
terkait pembanguan proyek pendidikan berbasis hak asasi manusia yang ada. Untuk itu,
kebijakan untuk menjalankan program pendidikan agama berbasis hak asasi manusia, hanya
akan dapat dilaksanakan jika telah memenuhi lima strategi utama, yaitu: penyediaan akses
pendidikan yang bermutu, terutama pendidikan dasar secara merata bagi anak laki-laki dan
perempuan baik melalui pendidikan persekolahan maupun pendidikan luar sekolah;
penyediaan akses pendidikan kesetaraan bagi penduduk usia dewasa yang tidak dapat
mengikuti pendidikan sekolah; peningkatan penyediaan pelayanan pendidikan baca tulis
untuk meningkatkan derajat melek huruf, terutama penduduk perempuan; peningkatan
koordinasi, informasi, dan edukasi dalam rangka mengarusutamakan pendidikan berwawasan
hak asasi manusia; dan pengembangan kelembagaan institusi pendidikan baik di tingkat pusat
maupun daerah mengenai pendidikan berwawasan hak asasi manusia.
D. KESIMPULAN
1.

2.

3.

4.

30

Pendidikan hak asasi manusia hingga saat ini belum dapat dilaksanakan secara
holistic dan terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional, karena belum terjalin
kerjasama dalam nota kesepahaman antara menteri pendidikan nasional dengan
menteri hokum dan hak asasi manusia terkait sistem pendidikan nasional.
Perjalanan panjang peradilan hak asasi manusia di Indonesia dapat menjadi
sebuah contoh bagi kalangan akademisi untuk mulai menyususn program
pendidikan berbasis pendidikan hak asasi manusia yang dapat diterapkan dalam
sistem pendidikan.
Kekerasan yang terjadi, baik itu terorisme atau radikalisme di Negara Indonesia
sangat besar dipengaruhi oleh pandangan atau idiologi yang diajarkan kepada
individu-individu tertentu sehingga meraka kerap kali menggangu kemanan dan
ketertiban yang berdampak pada terror.
Pelaksanaan pendidikan berbasis hak asasi manusia, sebenarnya sudah
diproyeksikan oleh kami selaku peneliti bersama dengan rekan peneliti di
Universitas Sultan Idris Malaysia, untuk menyususn konsep pendidikan hak
asasi manusia dalam skala asia terutama asia tenggara.

Moh Mahfud MD, “Konfigurasi Politik dan Karakter Produk Hukum,” Prisma (Juli 1997):12.

E.

DAFTAR PUSTAKA

Apple, Michael W., and James A. Beane, The Case of Democratic school, ASCD,
Alexandria, Virginia, 1995.
Bachtiar Effendy, Radikalisme: Sebuah Pengantar, Jakarta: PPIM. IAIN, 1998.
Budi, Evaluasi Pelaksanan Sertifikasi Guru Sekolah Umum Dan Guru Sekolah Madrasah,
Jurnal Hak Asasi Manusia, Juli 2012
Farouk Muhammad, TERORISME : UPAYA PENGATURAN POLITIK DAN INSTITUSI,
Makalah disampaikan pada Simposium Nasional “Memutus Mata Rantai Radikalisme
dan Terorisme”, Rabu, 28 Juli 2010.
http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme, diakses pada 15 Oktober 2012.
Isep Ali Sandi, Feminist Contributions Indonesia In The Islamic Education CurriculumBased Character Gender (Case Study At The Centre For Women's Studies Of Gadjah
Mada University And The Center For Women's Studies Islamic University Of Sunan
Kalidjaga), (Paper Presentation and proceeding Seminar on Islam, Science and
Technology: State Islamic University of Sunan Kalijaga, 2013).
Isep Ali Sandi, Investment Values of Character-Based Religious Education Gender and Local
Wisdom, (Paper Presentation at International Conference- ISRA, UIN Sunan Kalijaga;
Yogyakarta), 2012.
Isep Ali Sandi, Rohmalina Wahab, 2013, HUMAN RIGHTS-BASED EDUCATION: A
Review of Policies and Implementation Measures in Indonesia (Paper Presentation
Annual Conference Asia Pacific Network on Moral Education: Yogyakarta State
University).
Isep Ali Sandi, Mulyawan Safwandy Nugraha, 2013, INVESTMENT POLICIES IN THE
IMPLEMENTATION OF THE NATIONAL CHARACTER VALUE OF INDONESIA;
Review Before Application of Curriculum 2013. (Paper Presentation and in Print Book
in Programme International Seminar on Primary Education; Yogyakarta State
University Print).
Jamhari dan Jajang Jahroni (penyuting ), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Penerbit : PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan Pertama 2004.
J.E. Sahetapy, “Penyelesaian Kasus HAM Berat Didominasi Faktor Politis,” dapat diakses di
http://www.komisihukum.go.id/news_event.php?mode-detil&jenis-news&id-79,
diakses tanggal 10 September 2005.
M Nafiah Ibnor, Nilai-Nilai Demokrasi Dan Ham Dalam Sistem Pendidikan Indonesia,
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009.
Martinus Nijhoff , Economic, Social and Cultural Right, (Martinus Nijhoff Publisher an
imprint of Brill Academic Publishers; English) 2001.
Mashadi Said, Penegakan Hak Asasi Manusia Melalui Pemanfaatan Perspektif Agama Dan
Tokoh Masyarakat: Pemajuan Pendidikan Hak Asasi Manusia (HAM) secara
Nasional di Indonesia, Pusat Korban Penganiayaan Taktik Baru dalam Proyek HAM,
Minneapolis-USA, 2006.
Moh Mahfud MD, “Konfigurasi Politik dan Karakter Produk Hukum,” Prisma, Juli 1997.
Sagala, Syaiful. Supervisi Pembelajaran Dalam Profesi penddikan. Bandung: Penerbit
Alfabeta, 2010.
Sholahudin, Mahfudz. Pengantar Psikologi Pendidikan. Surabaya: Bina Ilmu, 1996.
Syah, Muhibin. Psikologi Pendidikan : Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1995.
Tim Penyusun Pusat Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
DEPDIKBUD & Balai Pustaka, 1998.
Vembriarto. Pengantar Pengajaran Modul. Yogyakarta: Yayasan Pendidikan Paramita. 1985.

Wenno, Izzak H. Pengembangan Model Modul IPA Berbasis Problem Solving Method
Berdasarkan Karakteristik Siswa Dalam Pembelajaran Di SMA/MTs. Jurnal
Cakrawala Pendidikan. 2010.
Wena, Made. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer : Suatu Tinjauan Konseptual
Operasional. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009.
Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia: Catatan dan Gagasan
Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra, Jakarta: Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman
dan HAM, 2002.
Yusuf Qardhawi, al-Thtarruf al-Dini, Kairo: Maktabah Wahbah, 2004.
Zein, HM, 2010, Kiat Sukses Mengikuti Sertifikasi Guru, Malang: Cakrawala Media
Publisher. 2010.
Zuhari Miswari dan Khamami Zada, Islam Melawan Terorisme, Ciputat: LSIP, 2004.